Wednesday, October 3, 2018

Memahami Kaidah-Kaidah Bid’ah Dan Beberapa Perkara Baru.

Hasil gambar untuk bid'ah

Nasihat Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin Dan Syaikh Ali Hasan Al Halabi Bagi Pelaku Bid'ah. Hakikat Bid’ah Oleh As-Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki, Habib Umar Bin Hafidz Dan Muti Mesir DR. Ali Jum'ah, DR. M. Quraish Shihab, Buya Yahya, Ust. Abdul Somad LC Dan Adi Hidayat .
http://lamurkha.blogspot.com/2019/02/nasihat-syaikh-muhammad-bin-shalih-al.html?m=0

(1).Memahami Kaidah-Kaidah Bid’ah
(Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)

Dalam kajian ini Al-Ustadz Abdul Hakimmembahas secara rinci tentang memahami kaidah-kaidah bid’ah merujuk dari kitab yang beliau tulis ” Risalah Bid’ah “. Secara ringkas saya tuliskan beberapa kaidah bid’ah yang beliau turunkan dalam kitab Risalah Bid’ah (hal.91)
Kaidah pertama: Ketahuilah! Bahwa bid’ah itu dosa, dan kesesatannya tidak tetap pada satu tingkatan atau satu derajat. Akan tetapi bid’ah itu bertingkat-tingkat atau berderajat dosa dan kesesatannya. Kalau kita lihat dari besar dan kecilnya, bid’ah itu terbagi menjadi tiga tingkatan:
1.Sebagian bid’ah ada yang tegas-tegas mencapai tingkatan syirik dan kufur.
2.Sebagiannya lagi haram, atau masih di perselisihkan tentang syirik dan kekufurannya.
3.Sebagiannya lagi haram dan telah disepakati bahwa dia itu tidak sampai pada tingkatan syirik atau kufur. (Dari sini kita mengetahui bahwa tidak ada bid’ah yang makruh apalagi wajib atau sunnah!)
Kaidah kedua: Setiap bid’ah itu maksiat dan tidak sebaliknya, (yakni setiap maksiat itu bid’ah). Contohnya: Zina, dia itu maksiat akan tetapi bukan bid’ah. Maulid, dia itu bid’ah dan pasti maksiat!.
Kaidah ketiga: Bid’ah haqiqiyah dan bid’ah idhafiyyah
Yang dimaksud dengan bid’ah haqiqiyah ialah: “Satu macam bid’ah yang tidak ditunjuki oleh dalil syar’i (al-kitab, sunnah, dan ijma’) dari segala jurusannya, baik secara jumlah (garis besarnya) atau secara tafsil (terperinci)”. Contohnya: seperti orang yang mengaku menjadi nabi atau mengaku mendapat wahyu atau mengingkari kehujjahan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan lain-lain.
Adapun yang di maksud dengan bid’ah idhafiyyah ialah: “Satu macam bid’ah, yang apabila dilihat dari satu sisi, disyariatkan atau ada dalilnya, akan tetapi apabila dilihat dari sisi yang lain, maka dia serupa dengan bid’ah haqiqiyyah”. Contonya: seperti orang-orang yang berkumpul untuk Yasinan setiap malam Jum’at. Dilihat dari satu sisi di syari’atkan, yaitu membaca al-Qur’an termasuk di dalamnya surat Yasin. Akan tetapi dilihat dari sisi yang lain tidak syak lagi tentang bid’ahnya. Karena menentukan cara dan waktunya setiap malam Jum’at sama sekali tidak ada asal-usulnya dari Agama yang mulia ini.
Kaidah keempat: Bid’ah i’tiqadiyyah dan bid’ah amaliyyah
Yang di maksud dengan bid’ah i’tiqadiyyah ialah: “Meyakini sesuatu yang menyalahi dengan keyakinan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Shahabat beliau. Sama saja, apakah keyakinan tersebut bersama perbuatan (amal) atau tidak”. Contonya seprti bid’ahnya Syi’ah, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan lain-lain.
Adapun yang di maksud dengan bid’ah amaliyyah ialah: “Setiap perbuatan ibadah di dalam agama yang tidak pernah di syari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Atau mensyariatkan ibadah di dalam agama yang tidak pernah di syari’atkan Allah dan Rasul-Nya. Karena setiap ibadah yang tidak pernah di perintahkan oleh Agama dengan perintah wajib atau sunnat, maka sesungguhnya dia masuk ke dalam bid’ah-bid’ah amaliyyah”.
Kaidah kelima: Setiap bid’ah itu sesat, meskipun dianggap baik oleh manusia. Berkata Abdullah bin Umar: ” Setiap bid’ah itu sesat meskipun di anggap baik oleh manusia”.
Perkataan diatas keluar atau terbit dari mata air nabawiyyah bahwa:Setiap bid’ah itu sesat. Kalimat ” kullu ” (setiap) mencakup segala sesuatu yang tersebut sesudahnya yaitu bid’ah. Dan kalimat ” bid’ah ” dengan bentuk nakirah yang menunjukkan keumumannya. Dan dia tidak dapat dikhususkan atau di kecualikan, kecuali dengan tanda pengecualian. Misalnya: Setiap bid’ah itu sesat , kecuali bid’ah hasanah. Akan tetapi di dalam hadits setiap bid’ah itu sesat, tidak ada tanda pengecualian.
Oleh karena itu ia tetap di dalam keumummannya, bahwa setiap bid’ah itu sesat. Yang dengan tegas menafikan adanya pembagian bid’ah kepada hasanah dan sayyi’ah.
Inilah yang difahami oleh para Shahabat, diantaranya Abdullah Bin Umar yang mengatakan bahwa ” setiap bid’ah itu sesat, meskipun dianggap baik oleh manusia “. Tidak ada yang menyalahi kaidah ini, kecuali ulama yang tergelincir di dalam memahami sunnah atau mereka yang jahil terhadap Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ Shahabat serta bahasa Arab.
Kaidah keenam: ” Setiap kesesatan itu tempatnya di neraka “. (secara ringkas) Bahwa hadits diatas bersama saudara-saudaranya termasuk di dalam hadits-hadits mengenai ancaman (wa’id). Bahwa setiap kesesatan itu tempatnya tidak lain di dalam neraka. Ini tidak berarti bahwa setiap orang yang mengerjakan bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Berbeda hukum atas amal dengan pelaku. Oleh karenahadits diatas merupakan hadits ancaman, maka perinciannya sebagai berikut:
Adakalanya orang mengerjakan bid’ah dia mengetahui bahwa perbuatan tersebut bid’ah, atau adakalanya dia tidak mengetahui bahwa yang di kerjakan itu adalah perbuatan bid’ah. Kalau dia telah mengetahui – yakni telah tegak kepadanaya hujjah – bahwa perbuatan tersebut bid’ah, akan tetapi dia tetap di dalam bid’ahnya, maka orang yang seperti ini tidak ragu telah masuk dengan sempurna kedalam hadits diatas.
Dan kalau dia tidak mengetahui – karena belum tegak kepadanya alasan dan hujjah – yang dilakukan itu bid’ah, maka dia tidak berdosa dan sesat, meskipun p;erbuatannya tetap wajib di katakan sebagai bid’ah dan kesesatan. Dan dengan sendirinya dia tidak masuk kedalam ancaman hadits di atas. Kecuali, kalaupun mau dikatakan berdosa hanya terbatas karena dia tidak mau menuntut ilmu dan bertanya kepada ahlinya.
Kaidah ketujuh: Setiap orang yang mengerjakan bid’ah belum tentu dia sebagai ahli bid’ah (mubtadi’). Karena adakalanya dia jahil atau dia seorang mujtahid yang salah dalam ijtihadnya. Akan tetapi orang yang terus menerus di dalam bid’ahnya sesudah nyata baginya kebenaran lantaran mengikuti (taqlid) kepada nenek moyang atau kaumnya atau golongannya dan dia berpaling dan menentang kebenaran atau tidak menerimanya, karena tidak sesuaidengan fahamnya atau madzhabnya (ta’ashshub), maka orang seperti ini tidak syak/ragu lagi masuk ke dalam golongan ahlul bid’ah (mubtadi’).
Kaidah kedelapan (terakhir): Pegangan ahlul bid’ah. Adapun yang menjadi pegangan ahlul bid’ah banyak sekali diantaranya:
1.Hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) dan hadits-hadits yang batil dan munkar bersama hadits yang tidak ada asal usulnya (laa ashla lahu)
2.Menolak hadits-hadits yang telah tsabit (shahi dan hasan) dengan beberapa cara yang sangat lemah seperti: Mempertentengkan hadits dengan Qur’an atau hadits dengan akal atau hadits dengan ilmu pengetahuan(!?)
3.  Men-ta’wil ayat-ayat Al-Qur’an
4. Berpegang pada keumuman ayat yang mereka sangka denagn sebab kejahilan, bahwa ayat tersebut umum dan mutlak, untuk menolak sejumlah hadits shahih yang datang secara rinci yang tidak terdapat hukumnya di dalam A-Qur’an
5.Berpegang dengan sebagian ayat atau hadits dan meninggalkan sebagian ayat dan hadits yang lain.
6.   Mengikuti hawa nafsu
7.   Menolak kebenaran
8.   Kejahilan (kebodohan), dan lain-lain. selesai
Ini adalah secara ringkas kaidah-kaidah yang beliau Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat turunkan di dalam kitabnya. Untuk pembahasan secara luas silahkan download kajian berikut:
Semoga bermanfaat.

Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah- Syubhat Pertama :
Syubhat Kedua : Sabda Nabi “Seluruh Bid’ah Sesat, Adalah Lafal Umum Tapi Terkhususkan”
https://firanda.com/571-syubhat-kedua-sabda-nabi-seluruh-bid-ah-sesat-adalah-lafal-umum-tapi-terkhususkan.html
Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat Ketiga
https://firanda.com/576-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-ketiga.html
Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat Keempat
https://firanda.com/581-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keempat.html
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat Kelima
https://firanda.com/589-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-kelima.html
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat Keenam
https://firanda.com/629-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keenam.html
Semua Bid’ah Adalah Kesesatan (lihat Comments)
https://firanda.com/200-semua-bidah-adalah-kesesatan.html
Ulama Syafi’iyah Mengingkari Bid’ah (lihat Comments)
 https://firanda.com/613-ulama-syafi-iyah-mengingkari-bid-ah.html

Ini Dalilnya (1): Manakah Bid’ah dan Manakah Sunnah?
Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai Rujukan
Ini Dalilnya (3): Tidak Semua yang Baru Berarti Bid’ah
Ini Dalilnya (4): Adakah Bid’ah Hasanah?
Ini Dalilnya (5): Makna Setiap Bid’ah adalah Sesat
Ini Dalilnya (6): Benarkah Pembagian Bid’ah Menjadi Lima?
Ini Dalilnya (7): Beda Bid’ah dan Mashalih Mursalah
Ini Dalilnya (8): Pembagian Bid’ah yang Tepat
Ini Dalilnya (9): Meluruskan Pemahaman Tentang Bid’ah
Ini Dalilnya (10): Terapi Intensif bagi Pelaku Bid’ah
Ini Dalilnya (11): Benarkah Rasulullah Tidak Khawatir Umatnya Berbuat Syirik?
Definisi Bid’ah ('Abdullah bin 'Abdul 'Aziz at-Tuwaijiri)
‘Umar Dan Imam Syafi’i Berbicara Tentang Bid’ah Hasanah
Imam Syafi’i : Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi dan Biografi Singkat Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Syafi’i Sang Pembela Hadits Nabi
Menjawab Syubhat Kyai Idrus Ramli Dalam Melegalkan Bid’ah Hasanah
Kitab-Kitab Ulama Syafi'iyyah Dalam Memperjuangkan Sunnah Dan Mengingkari Bid'ah
Shalat Taraweh Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (Sunnah Muaqad), Bukan Bid’ahnya Umar RA. Mengapa Syiah Anti-Shalat Tarawih Berjama’ah (Karena Kedengkiannya Kepada Aisyah RA Dan Umar RA) ?
Pengertian Bid'ah Dan Bahayanya - Ustadz DR Khalid Basalamah MA
5 Model Bid'ah - Ustadz Firanda Andirja
Perhatikan !!! Perbedaan Bid'ah Akidah dan Bid'ah Fiqh - Ustadz Firanda Andirja
Bid'ah Hasanah - Tanya Jawab Ustadz DR FIranda Andirja MA
Bidah Hasanah - Ustadz Firanda Andirja, MA
Meluruskan Kekhilafan UAH Atas Perkataan Antum Bidah Dari Kepala Sampai Kaki I Ust Sofyan Chalid Rur
Menjawab Syubhat Ustadz Fulan Antum Bidah Dari Kepala Hingga Kaki I Ust Dzulqarnain M Sunusi
Definisi Bid'ah, Apa itu bid'ah dll | Ustad Badru Salam.
Definisi Bidah Menurut Bahasa dan Istilah - Ustadz Badru Salam Lc
Sebenarnya Yg B* Doh Itu Siapa Dalam Mengartikan Bid'ah Hasanah I Ust Zainal Abidin

(2).Bid’ah dan Beberapa 
Perkara Baru
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bid’ah secara bahasa ialah sesuatu yang baru, ciptaan baru tanpa contoh sebelumnya, atau suatu perkara yang diada-adakan. Dalam istilah lain bid’ah juga kerap disebut sebagai muhda-tsatul umur (urusan baru yang diada-adakan).

Ummat Islam sangat diperingatkan oleh Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam terhadap urusan bid’ah ini karena belajar dari pengalaman para pengikut Nashrani yang banyak berbuat bid’ah, lalu mereka tersesat. Bid’ah di kalangan Nashrani misalnya, mewajibkan kerahiban, sehingga seorang rahib Nashrani meninggalkan dunia, tidak menikah, mengasingkan diri dalam biara-biara untuk fokus ibadah. Mereka juga menghalalkan gambar dan patung-patung orang shalih, menghalalkan Salib dan menyembahnya, menjadikan kuburan orang shalih sebagai tempat bersujud (dulunya dalam ibadah Nashrani ada ritual bersujud), dan sebagainya.

Rasulullah  Shallallah ‘Alaihi Wasallam dalam hadits populer dari Irbath bin Sariyyah Radhiyallahu ‘Anhu pernah berkata: “Wa iyyakum min muhdatsatil umur, fa inna kulla muhdasatin bid’ah, wa kulla bid’atin dhalalah” (hati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan, karena setiap yang baru (diada-adakan) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat). Dalam riwayat lain disebutkan tambahan, “Wa kullu dhalalatin fin naar” (dan setiap yang sesat itu nanti resikonya masuk neraka). Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

Jadi, menghindari bid’ah itu adalah jalan untuk menjauhkan diri dari siksa neraka. Bukan karena ingin disebut Wahabi, atau karena ingin menang-menangan dalam perdebatan. Mungkin ada yang bilang: “Lihat nih, gua lebih hebat dari lu. Gua dalilnya lebih kuat, sedangkan lu dalilnya rusak. Singkat kata, gua nih calon ahli syurga, sementara lu calon ahli neraka. Rasain tuh jadi calon ahli neraka! Ha ha ha…!” Omongan seperti ini tidak boleh ada dalam agama. Ia adalah omongan setan yang nyaru menjadi manusia. Dalam beragama kita harus “mukhlishina lahud diin” (mengikhlaskan agama semata-mata untuk Allah). Bukan untuk menang-menangan di mata manusia.

Banyak orang mendefinisikan bid’ah dengan pengertian sekedar: “Sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi” (maa laa yakunu fi ahdin Nabi). Definisi demikian terlalu general. Nanti bisa menimbulkan masalah-masalah ketika kita bertemu hal-hal baru yang tidak ada di masa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam.

Mestinya definisi itu diperbaiki menjadi: “Sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak sesuai dengan Syariat Islam” (maa laa syara’allahu bihi wa Rasuluhu, wa huwa yukhalifu Syariatal Islam). Intinya, bid’ah itu selain tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ia juga menyelisihi Syariat Islam. (Dalam hal ini, Anda mesti ingat kaidah para ulama, bahwa Syariat Islam ditujukan untuk menjaga jiwa, menjaga agama, menjaga harta, menjaga akal, menjaga keturunan kaum Muslimin).

Kemudian pertanyaannya, adakah hal-hal baru yang tidak ada di masa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, tetapi ia sesuai dengan Syariat Islam? Jawabnya, ada dan banyak! Nah, hal demikian harus benar-benar dipahami, agar Anda tidak bingung ketika memahami persoalan Sunnah dan bid’ah.

Disini akan kita sebut hal-hal yang baru tersebut, dengan izin dan rahmat Allah Ta’ala:

[A]. MASLAHAH MURSALAH. Istilah ini sudah populer di kalangan pengkaji ilmu-ilmu fiqih. Intinya, dalam Islam itu ada urusan-urusan baru yang tidak pernah dilakukan di masa Nabi, tetapi ia sangat dibutuhkan oleh Ummat Islam, demi kemaslahatan hidupnya. Para ulama menyebut dengan istilah al maslahah al mursalah.

Contoh perkara yang masuk urusan ini ialah: Penulisan Mushaf Al Qur’an, penyeragaman Qira’ah Al Qur’an, penerapan sistem administrasi yang mengadopsi sistem orang Persia di masa Khalifah Umar Radhiyallahu ‘Anhu, musyawarah untuk menentukan Khalifah kaum Muslimin, mengangkat pegawai Khalifah dan memberikan gaji kepadanya, membuat kaidah-kaidah keilmuwan Islam, penulisan dan penerbitan buku-buku ilmiah, pendirian madrasah-madrasah Islam, membuat sistem militer yang teratur dan tetap, dan lain-lain. Semua perkara ini tak ada di masa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, tetapi sangat dibutuhkan oleh Ummat, sehingga ia diadakan dan dipelihara dari masa ke masa. Alasannya, kalau perkara-perkara itu tidak dilakukan, khawatir akan muncul kerusakan atau madharat yang merugikan.

Dulu di masa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam untuk belajar agama, kaum Muslimin belajar di masjid-masjid, dalam halaqah-halaqah majlis taklim. Tetapi cara seperti itu dianggap kurang efektif dan memenuhi kebutuhan Ummat. Maka dibentuklah madrasah-madrasah untuk mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Dengan adanya madrasah ini, proses belajar bisa lebih fokus, terarah, dan hasilnya lebih mudah dilihat.

Dasar pikiran yang sama dikembangkan di dunia militer, pelayanan kesehatan, pengembangan ekonomi, baitul maal, birokrasi, dll.

[B]. IJTIHAD ILMIAH. Selain al maslahah al mursalah, ada pula perkara ijtihad. Ijtihad ini ialah kerja ilmiah secara sungguh-sungguh untuk memberikan solusi atas masalah-masalah aktual kaum Muslimin, berlandaskan Syariat Islam. Jadi ijtihad itu bermula dari masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan kaum Muslimin, sedangkan solusinya secara qath’i (pasti) belum ada dalam Kitabullah dan Sunnah. Maka para ulama bersusah-payah mengkaji dalil-dalil Syariat untuk memberikan solusi atas masalah itu.

Imam Syafi’i rahimahullah dikenal sebagai salah seorang Ulama Mujtahid (ulama yang banyak berijtihad). Ketika beliau tinggal di Irak, fatwa-fatwa beliau dikenal sebagai Qaulun Qadim (pendapat lama). Ketika kemudian pindah ke Mesir, pendapat-pendapat beliau dikenal dengan sebutan Qaulun Jadid (pendapat baru). Ketika diteliti mengapa Imam Syafi’i seolah berubah pendapatnya. Ternyata, beliau menyesuaikan pendapatnya dalam Qaulun Jadid dengan kenyataan masyarakat di Mesir yang umumnya bekerja sebagai petani. Disini dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara ijtihad ulama dengan masalah-masalah kehidupan sosial suatu masyarakat.

Kalau al maslahah al mursalah dibutuhkan untuk memenuhi kemaslahatan hidup kaum Muslimin dan menghindarkan mereka dari resiko madharat (mafasid). Maka ijtihad ulama muncul sebagai respon atas masalah-masalah aktual yang muncul dalam kehidupan Ummat, dimana masalah itu belum ada dalilnya yang pasti dalam Syariat Islam (Kitabullah dan As Sunnah).

Contoh, di zaman modern kita menemui hal-hal baru seperti internet, televisi, operasi cesar, operasi plastik, donor organ tubuh, kloning, rekayasa genetik, bank, asuransi, transaksi elektronik, hukum merokok, video porno, dll. Semua ini masalah-masalah aktual yang muncul di tengah kaum Muslimin. Ia tidak secara pasti ada dalilnya dalam Kitabullah dan As Sunnah, sehingga membutuhkan kerja keras ulama untuk meneliti masalah itu dan mengeluarkan hukum-hukumnya.

Dalam urusan maslahah mursalah jelas-jelas tujuannya untuk mencapai maslahat dan menolak kerusakan (mafsadah). Tetapi dalam kasus ijtihad, tidak bisa dipastikan bahwa setiap urusan disana otomatis halal dilakukan. Tidak demikian. Hukum perkara-perkara dalam ijtihad bisa halal (mubah), haram, atau syubhat (meragukan). Jadi dalam perkara ijtihad tidak selalu mengharuskan untuk dilakukan. Kalau suatu urusan diputuskan hukumnya haram, maka ia jelas harus dijauhi.

Sejujurnya, peranan MUI selama ini lebih banyak dalam ranah perkara-perkara ijtihad ini. MUI dengan Komisi Fatwa-nya bekerja menghasilkan keputusan-keputusan hukum untuk memberi kepastian hukum atas masalah-masalah sosial yang ada, sesuai dengan Syariat Islam (menurut metode yang diterapkan di MUI).

[C]. ADAT. Selain maslahah mursalah dan ijtihad, ada pula perkara adat. Adat adalah suatu kebiasaan masyarakat yang bersifat alamiah, berkembang secara turun-temurun dalam masa yang panjang, dan menjadi ciri khas suatu masyarakat dibandingkan masyarakat lain. Dalam banyak hal, adat ini diberi toleransi oleh ajaran Islam, sehingga ada kaidah fiqih, “Al ‘adad al muhakamah” (adat itu bisa memberikan nilai hukum).

Kalau disebut adat, jangan Anda bayangkan kita bicara tentang kreasi-kreasi kesenian suatu masyarakat, seperti tari-tarian, baju adat, ritual adat, rumah adat, adat pernikahan tradisional, dll. Bukan, bukan yang semisal ini; meskipun pada bagian-bagian tertentu ada korelasinya. Pendek kata, Anda lepaskan dulu kesan bahwa adat itu adalah kesenian. Lepaskan dulu gambaran seperti itu!

Perkara adat ini, misalnya soal makanan pokok. Di dunia Arab dan di masa Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam yang dikenal sebagai makanan pokok adalah kurma dan  tepung untuk membuat roti. Di Indonesia, kita makan beras; di Madura –katanya- masyarakat mengonsumsi jagung; di Maluku masyarakat mengonsumsi sagu; di Papua masyarakat mengonsumsi ubi-ubian. Ketika tiba saat membayar Zakat fitrah, maka ketentuan yang berlaku di negara kita tidak ditakar dengan kurma atau tepung, tetapi dengan beras, jagung, sagu, atau ubi-ubian.

Contoh lain, profesi petani padi berbeda dengan profesi pencari sagu, apalagi nelayan pencari ikan di laut. Kalau petani padi, setiap pagi datang ke sawah, lalu pulang sore hari. Maka pencari sagu, mereka bisa kapan saja datang ke hutan untuk menebang pohon sagu, lalu memproses batang-batang sagu untuk mendapatkan makanan yang dibutuhkan. Berbeda lagi dengan nelayan, mereka pergi ke laut malam-malam, pulang saat pagi atau siang hari. Lalu apa pentingnya kita membedakan profesi-profesi ini? Jelas penting, sebab hal itu menyangkut pengaturan waktu sehari-hari yang dikaitkan dengan kewajiban Shalat Lima Waktu. Hal itu juga berkaitan dengan penggunaan air dalam profesi tersebut. Petani sangat butuh air untuk mengairi sawah, nelayan butuh air tawar untuk minum di tengah laut, sedang pencari sagu juga butuh air untuk menghasilkan sagu. Begitu pula, profesi tersebut juga berkaitan dengan modal yang dibutuhkan disana.

Contoh lain, misalnya tentang bentuk bangunan masjid. Di Indonesia, setiap masjid selalu dilengkapi atap dan saluran-saluran air, karena di Indonesia sering hujan. Air hujan kalau tidak diatur, bisa menimbulkan banyak masalah di dalam masjid. Namun di negara Afrika (seperti Sudan, Somalia, Tunisia, dll.) bentuk bangunan masjid tidak harus seperti di Indonesia, sebab disana hujan jarang turun. Maka saat membangun masjid di Indonesia, wajib hukumnya membuat atap yang rapat dan saluran-saluran air. Hal ini sesuai dengan kondisi kita di negeri ini. Kalau membuat masjid berbentuk bulat-bulat seperti di Afrika, tanpa saluran air yang memadai, hal itu justru dilarang.

Contoh lain, makanan orang Indonesia kebanyakan cirinya mengutamakan cita-rasa (rempah-rempah), keragaman menu, kandungan protein hewani terbatas, banyak mengandung karbohidrat dan serat. Pola makan seperti ini mungkin terkait dengan kondisi alam yang ramah, hangat dan banyak hujan. Kalau di negara-negara dengan empat musim, saat ada musim dingin, menu ala orang Indonesia sangat tidak cocok. Menu ala Indonesia dianggap tak cukup untuk melawan rasa dingin. Maka ketika musim dingin di bulan Ramadhan, di negara-negara itu jangan sekali-kali memberikan menu masakan Indonesia, kecuali sekedar selingan saja.

Banyak contoh adat kebiasaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu negara dengan negara lain. Adat kebiasaan itu nanti bisa menghasilkan hukum “wajib” dan “haram”, disesuaikan dengan kondisi adat kebiasaan setempat. Misalnya, bagi orang Indonesia, membuat tempat wudhu berdampingan dengan toilet, di setiap masjid-masjid adalah hal lumrah. Tetapi belum tentu itu cocok di Afrika, karena untuk mendapatkan air saja disana tidak mudah. Maka membuat tempat wudhu di setiap masjid di Indonesia bisa dianggap “wajib”, tetapi tidak untuk di Afrika. Begitu pula, orang Indonesia pergi ke masjid dengan baju tipis dan sarung, hal itu biasa dan lumrah. Tetapi di negara-negara empat musim, saat turun salju, memakai pakaian seperti itu ke masjid, sama juga dengan “bunuh diri”. Maka ia bisa dianggap perbuatan “haram” karena mencelakakan diri sendiri.

[D]. INOVASI KEDUNIAAN. Inovasi keduniaan juga merupakan hal-hal baru. Biasanya ia terkait dengan perkembangan teknologi, perkembangan sarana, atau perubahan kebiasaan hidup. Alat-alat modern seperti TV, internet, HP, telepon, pesawat terbang, mobil, mesin, obat-obatan, alat medis, dll. merupakan produk-produk inovasi kehidupan.

Hukum penemuan produk seperti ini afdhal (utama). Ia serupa seperti ilmu-ilmu agama yang bermanfaat. Seorang Muslim yang menemukan hal-hal bermanfaat itu, ia akan mendapat PAHALA JARIYAH (terus mengalir), selama penemuannya terus bermanfaat bagi kehidupan Ummat. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Al ‘ilmu yuntafa’u bihi” (ilmu bermanfaat termasuk amal yang tidak terputus pahalanya).

Bisa juga dimasukkan sebagai dalil dalam urusan ini ialah sabda Nabi:  “Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan falahu ajruhu bi mitsi ujuri man tabi’ahu, wa laa yanqhusu min ajrihim syai’a” (siapa yang memulai dalam Islam ini suatu sunnah yang baik, maka dia mendapat pahala sebanyak pahala orang-orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun). Inovasi Salman Al Farisi Radhiyallahu ‘Anhu saat mengusulkan konsep “perang parit” dalam Perang Ahzab, bisa dimasukkan kategori amal ini. Beliau mengusulkan suatu teknik baru yang belum dikenal di Jazirah Arab sebelumnya, dan teknik itu bermanfaat.

Seharusnya, dalam urusan-urusan keduniaan ini kaum Muslimin sangat semangat, gigih, dan kerja keras. Disini terbuka lebar jalan-jalan menuju pahala jariyah yang kan terus mengalir. Jangan sebaliknya; dalam urusan ibadah malah banyak inovasi, sedang dalam keduniaan lebih banyak bersandar kepada takdir; atau selalu menanti datangnya Imam Mahdi. Ironis sekali!

Demikianlah, ternyata ada hal-hal baru dalam Islam yang bukan termasuk bid’ah. Ia adalah al maslahah al mursalah, al ijtihad, dan adat suatu masyarakat. Anda harus bisa bedakan perkara-perkara ini dengan bid’ah. Bedakan dengan baik, insya Allah dirimu akan dilapangkan untuk memahami Syariat agama ini. Allahumma amin. Bid’ah ya tetap bid’ah, tidak perlu disebut bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah.

Semoga artikel sederhana ini bermanfaat. Mohon dimaafkan atas segala salah dan kekurangan. Allahummaghfirli wa li walidaiya marhamhuma ka maa rabbayani shaghira. Allahummaghfir li umina min kulli khathiah wa dzunub, wa yassir laha hayataha fi baqiyati ‘umriha, wahdi qalbaha ila maghfiratika, rahmatika, wa husnil khatimah.
Jabodetabek, 17 Desember 2011.
[Ayah Aisyah, Fathimah, Khadijah].
Catatan: Naskah ini sudah ditulis sejak pertengahan Desember 2011, tetapi baru publikasi sekitar pertengahan Januari 2012. Harap dimaklumi!

(3).Prinsip Memahami Bid’ah (Kajian Ringkas)

Dengan demikian, setiap urusan bid’ah, cirinya adalah: Ia tidak diperintahkan dalam Al Qur’an atau As Sunnah, ia tidak ada manfaatnya bagi kebaikan hidup kaum Muslimin dalam urusan dunia atau Akhirat, dan ia bila dilakukan bisa mematikan amalan Sunnah yang sudah jelas-jelas diajarkan oleh Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam

Mari kita coba aplikasikan kaidah ini dalam melihat amal-amal kaum Muslimin selama ini. Perhatikan contoh-contoh di bawah ini:
1.Apakah meminta pertolongan kepada ahli kubur yang sudah wafat (sekalipun ia adalah seorang Nabi dan Rasul) termasuk perbuatan bid’ah? [Jawabnya ialah IYA. Sebab perbuatan seperti itu selain tidak diperintahkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, ia juga bisa menyeret seseorang ke perbuatan syirik].
2.Apakah acara tahlilan 7 hari setelah seseorang wafat, pada hari ke-40, pada hari ke-100, hari ke-1000 termasuk bid’ah? [Jawabnya ialah IYA. Selain ia tidak diperintahkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak ada maslahatnya bagi urusan dunia-Akhirat, ia juga bisa mematikan perbuatan Sunnah yang sudah pasti, seperti doa anak bagi ayah-bundanya, doa orangtua bagi anak-anaknya, dll.].
3.Apakah pesawat terbang, internet, telepon, listrik, komputer, HP, dll. termasuk perbuatan bid’ah? [Jawabnya BUKAN, sebab ia adalah benda-benda teknologi yang memiliki maslahat untuk memudahkan kehidupan Ummat Islam. Kecuali, kalau alat-alat itu dipakai untuk urusan haram, maka hukumnya juga haram].
4.Apakah acara Maulid Nabi dengan menggelar dzikir berjamaah di Monas, dipimpin seorang ulama Shufi dari Jakarta, dengan melakukan hubungan teleconference dengan ulama Shufi lain dari Yaman; lalu dalam acara itu banyak campur-baur laki-laki perempuan, diadakan sampai malam hari, sehingga banyak kaum wanita dan anak-anak kesusahan di jalan, membuat macet jalanan dan kotor lingkungan, mengundang datangnya kaum kriminal, dll. apakah ia termasuk perbuatan bid’ah? [Jawabnya adalah IYA. Selain tidak ada perintah melakukan dzikir seperti itu, ia juga mendatangkan aneka madharat bagi Ummat. Ia mengundang pelanggaran-pelanggaran Syariat, dan lagi pula tidak ada manfaatnya. Doa-doa yang dibaca di majelis seperti itu agar pemimpin jadi shaleh, negeri melimpah rizki, bala dan bencana dihindarkan, dll. terbukti tidak dikabulkan. Kalau mau berdzikir, mendapat Syafaat Rasulullah, mendapat berkah doa orang shalih, mendapat pahala majelis dzikir, hal itu bisa dilakukan dengan cara yang lebih baik].
5.Apakah mendawamkan membaca Barzanji di saat Maulid Nabi, melakukan itu terus-menerus, dengan rukun-rukun amal yang pasti, dan merasa berdosa bila meninggalkannya (atau meninggalkan rukun-rukunnya), apakah hal itu merupakan bid’ah? [Jawabnya IYA. Selain tidak diperintahkan, hal ini merupakan ritual-ritual khusus yang menyaingi ritual-ritual Islami yang sudah jelas. Ia juga tidak bermanfaat, bagi kehidupan dunia dan tidak dapat dipastikan pahalanya di Akhirat, karena tidak ada dalil amaliahnya].
6.Apakah menulis buku Islami, mendirikan sekolah, membuat majalah Islam, membuat situs dakwah, mendirikan universitas Islam, membuat rumah sakit Islam, dll. termasuk bid’ah? Sebab semua itu tidak ada di zaman Nabi dan Shahabat? [Jawabnya BUKAN, sebab hal-hal itu dibutuhkan oleh kaum Muslimin dalam kehidupan mereka. Kalau semua itu tidak dilakukan, justru kaum Muslimin akan tertimpa madharat, karena sekolah Islami tidak ada, rumah sakit Islami tidak ada, universitas Islami tidak ada, dll.].
7.Apakah memfitnah ulama, mencaci-maki kehormatan mereka, menganggap ulama sangat hina, bahkan menganggap orang kafir lebih utama daripada ulama-ulama itu (seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Adz Dzahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab, Abdul ‘Aziz bin Baz, Al Albani, Al Utsaimin, dll.), apakah perbuatan ini termasuk bid’ah? [Jawabnya, bukan bid’ah lagi, tetapi ia perbuatan HARAM dan FAHISYAH (keji). Ulama-ulama itu tidak mengharamkan dirinya dikritik, sebab mereka bukan Nabi. Mereka juga tidak meminta dikultuskan. Mereka secara ikhlas melayani ilmu sesuai kaidah-kaidah Salaf. Bahkan mereka tidak membuat-buat pendapat baru, tetapi selalu mencari jalan kepada pendapat-pendapat Salaf. Misalnya, pendapat Ibnu Taimiyyah dalam masalah Istiwa’. Ini bukan baru, tetapi hanya melanjutkan pendapat Imam malik rahimahullah (bahwa Istiwa’ itu sudah maklum, tatacara Istiwa’ tidak diketahui, mengimaninya wajib, mempersoalkannya adalah bid’ah). Para penghina ulama ini wajib diingatkan agar tidak mengotori lisan dan hidupnya dengan menghujat para ulama. Bila tidak berhenti dari berbuat keji, maka berlaku firman Allah dalam hadits qudsi, “Wa man ‘ada liy waliyan, faqad adzantu lahu bil harbi” (dan siapa yang memusuhi wali-Ku, maka aku umumkan perang baginya). Wahai insan, amal-amal kalian tida ada seujung kuku dari amal-amal para ulama itu. Maka kasihanilah diri kalian, sebelum Allah mewajibkan berlakunya kehinaan atas manusia-manusia jahil yang menghina kehormatan ulama!].
Semoga risalah sederhana ini bermanfaat dan bisa menjadi pelajaran (khususnya bagi diri kami sendiri). Mohon dimaafkan atas segala salah dan kekurangan. Yang benar adalah Syariat Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam, dan yang bathil adalah jalan-jalan yang menyelisihi Syariat itu.
Jangan lemah karena omongan orang-orang menyimpang, meskipun omongan itu banyak jumlahnya. Tetap istiqamah di jalan Sunnah Sayyidil Mursalin! Qul laa ilaha illa Allah, tsumma istaqim! Wal akhiru, alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Sebagai contoh Bahasan Bid’ah diatas, silahkan baca artikel dibawah ini :
(Maulid) Pendapat Ustadz Adi Hidayat Dibantah oleh Ustadz Dzulqarnain bin MuhammadSunusi (Silahkan lihat 173 Comments)
Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi. Sampai Akhir Abad Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk Pendapat Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah.
Ustadz Abdul Somad, Lc, MA : Hukum Peringatan Maulid. Juga Pendapat Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) dan Ustadz Drs. Idrus Ramli (NU Garis Lurus). Bandingkan Dengan Paparan Artikel Komprehensif (Pro-Kontra) dilamurkha.
Tokoh Sufi Habib Luthfi Bin Yahya: Anti Maulid Lebih Berbahaya Daripada Anti Sahabat. Sedangkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Empat Mazhab, Para Ulama Ahlul Hadits Seperti Imam Bukhari, Muslim dan lain-lain, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun Mengadakan Perayaan Maulid Nabi....
Apakah Perayaan Maulid Nabi Sebuah Ketaatan (Taqarrub) Kepada Allah ?
Menjawab Syubhat Dan Argumen Perayaan Maulid Nabi Yang Disampaikan Ustadz Abdul Somad Dan Lainnya.
Ustadz Abdul Somad, Lc, MA : Hukum Peringatan Maulid. Juga Pendapat Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) dan Ustadz Drs. Idrus Ramli (NU Garis Lurus). Bandingkan Dengan Paparan Artikel Komprehensif (Pro-Kontra) dilamurkha.
http://lamurkha.blogspot.com/2017/06/ustadz-abdul-somad-lc-ma-hukum.html
Bantahan Atas Retorika Adi Hidayat Lc. MA Mengenai Pengkafirannya Atas Yang Mengingkari Al-Ihtifaal Bil Maulid
Silahkan lihat 107 Responses menarik to Prinsip Memahami Bid’ah (Kajian Ringkas)

Mengenal Seluk Beluk Bid’ah : Pengertian Bid’ah, Adakah Bid’ah Hasanah ?, Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah, Dampak Buruk Bid’ah



Pengertian Bid’ah



Saudaraku yang semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah, seringkali kita mendengar kata bid’ah, baik dalam ceramah maupun dalam untaian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, tidak sedikit di antara kita belum memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan bid’ah sehingga seringkali salah memahami hal ini. Bahkan perkara yang sebenarnya bukan bid’ah kadang dinyatakan bid’ah atau sebaliknya. Tulisan ini -insya Allah- akan sedikit membahas permasalahan bid’ah dengan tujuan agar kaum muslimin bisa lebih mengenalnya sehingga dapat mengetahui hakikat sebenarnya. Sekaligus pula tulisan ini akan sedikit menjawab berbagai kerancuan tentang bid’ah yang timbul beberapa saat yang lalu di website kita tercinta ini. Sengaja kami membagi tulisan ini menjadi empat bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca tulisan ini secara sempurna agar tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA
Saudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah ada.
Marilah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Ma’idah [5] : 3)
Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah– berkata tentang ayat ini, “Inilah  nikmat Allah ‘azza wa jalla yang tebesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga  mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)
SYARAT DITERIMANYA AMAL
Saudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)
Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh)
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual (mantuq), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor syari’at, maka amalan tersebut tertolak.
Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yang bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum wal Hikam,  hal. 77-78)
Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.
PENGERTIAN BID’AH
[Definisi Secara Bahasa]
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)
Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman-Nya,
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)
[Definisi Secara Istilah]
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).
Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)
Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Inilah sedikit muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan menyimak beberapa kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan ‘apakah setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat taufik Allah.

Adakah BID’AH HASANAH?

Setiap bid’ah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.

[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN: BID’AH ADA YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat,  semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:
KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu  diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen)’, ‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.

Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)

Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru.  (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?

Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.

Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BID’AH DALAM ISLAM
Hukum semua bid’ah adalah terlarang.  Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama: Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Qur’an. Contohnya adalah pada ayat,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]: 136)
Tingkatan Kedua : Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah).
Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.
Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.
Jadi setiap bid’ah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang kecil (ringan).
Namun bid’ah itu dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
Tidak dilakukan terus menerus.
Orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya.
Tidak menganggap remeh bid’ah yang dilakukan.
Apabila syarat di atas terpenuhi, maka bid’ah yang semula disangka ringan lama kelamaan akan menumpuk sedikit demi sedikit sehingga jadilah bid’ah yang besar. Sebagaimana maksiat juga demikian. (Pembahasan pada point ini disarikan dari Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)

Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.


Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah


Sebelumnya kami telah menyampaikan sanggahan mengenai bid’ah hasanah yang dasarnya adalah dari perkataan Umar bahwa sebaik-baik bid’ah yaitu shalat tarawih ini. Berikut kami sajikan beberapa alasan lain dalam membela bid’ah dan jawabannya.

[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah
Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah adalah tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau  memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.

Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat.

Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (‘adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.
Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika  perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ
“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)
Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.
[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an
Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).

Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)

Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”

Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.

Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.

Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-
[3] Yang Penting Kan Niatnya!
Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing.”
Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata,  “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Kesimpulan: Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”
[4] Ini Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat Kami…
Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia menjawab, “Ini kan sudah jadi tradisi kami…”
Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan,
إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)
Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil.
Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika  perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Dan sedikit tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah sebenarnya malah akan menyusahkan umat Islam. Misalnya saja tradisi selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syari’at sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya. Namun, karena melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah. Sebenarnya melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba. Bahkan kadang kami menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi selamatan kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut adalah ekonomi menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga, dia diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala kerabatnya meninggal, dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya tidak ada tuntunannya. Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan dan beban kehidupan.  Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kondisi bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada tuntunannya.
[5] Semua Umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini
Ada juga yang berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah sembari mengatakan, “Perayaan (atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”
Alasan ini justru adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil. Suatu hukum dalam agama ini seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Adapun adat (tradisi) di sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini telah disepakati karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas salah dan keliru. Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di setiap waktu yang melarang berbagai bentuk perkara bid’ah yang menyelisihi sunnah seperti perayaan maulid ataupun tahlilan. Lalu bagaimana mungkin kesepakatan sebagian negeri muslim dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan umat Islam), apalagi dengan amalan sebagian kelompok?
Ketahuilah saudaraku semoga Allah selalu memberi taufik padamu, mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2/89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh)
Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am [6] : 116)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti kebanyakan orang.
[6] Baca Al Qur’an kok dilarang?!
Ini juga di antara argumen dari pelaku bid’ah ketika diberitahu mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku, perbuatan seperti ini kan bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca Al Qur’an saja dilarang?!” Atau ada pula yang berkata, “Masa baca dzikir saja dilarang?!”
Untuk menyanggah perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.
Bid’ah hakikiyah adalah setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang benar menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)
Di antara contoh bid’ah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk mencari ilmu sakti), mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban (hidup membujang seperti para biarawati), dan mengharamkan yang Allah halalkan dalam rangka beribadah kepada Allah. Ini semua tidak ada contohnya dalam syari’at.
Bid’ah idhofiyah adalah setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1] dari satu sisi memiliki dalil, maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan [2] di sisi lain tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bid’ah hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)
Jadi bid’ah idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang disyari’atkan. Namun ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam aspek adalah bid’ah. Enam aspek tersebut adalah waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.
Contohnya bid’ah idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di berbagai waktu secara berjama’ah dengan satu suara. Dzikir adalah suatu yang masyru’ (disyari’atkan), namun pelaksanaannya dengan tatacara semacam ini tidak disyari’atkan dan termasuk bid’ah yang menyelisihi sunnah.
Contoh lainnya adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Begitu pula shalat rogho’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab. Kedua contoh ini termasuk bid’ah idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang disyari’atkan, namun terdapat bid’ah dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan tatacara. Tidak ada dalil dari Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga hal tadi.

Begitu juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil adalah bacaan yang disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan tahlil dengan memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun, yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya. Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian. Juga manakah dalil yang menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah dengan satu suara. Mana pula dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.

Jadi, yang kami permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’an maupun bacaan dzikir yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalah pengkhususan waktu, tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini?
Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke jalan yang lurus.

Dampak Buruk BID’AH


Sudah sepatutnya kita menjauhi berbagai macam bid’ah mengingat dampak buruk yang ditimbulkan. Berikut beberapa dampak buruk dari bid’ah.

[Pertama, amalan bid’ah tertolak]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Orang yang berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104)
[Kedua, pelaku bid’ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus menerus dalam bid’ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami su’ul khotimah]
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54)
[Ketiga, pelaku bid’ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.
Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a-
[Keempat, pelaku bid’ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid’ahnya diikuti orang lain]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)
Wahai saudaraku, perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi sekali orang yang melestarikan bid’ah dan tradisi-tradisi yang menyelisihi syari’at. Bukan hanya dosa dirinya yang akan dia tanggung, tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal bid’ah itu paling mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai ratusan bahkan ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung? Seharusnya kita melestarikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa harus melestarikan tradisi dan budaya yang menyelisihi syari’at? Jika melestarikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam -seperti mentalqinkan mayit menjelang kematiannya bukan dengan talqin setelah dimakamkan- kita akan mendapatkan ganjaran untuk diri kita dan juga dari orang lain yang mengikuti kita. Sedangkan jika kita menyebarkan dan melestarikan tradisi tahlilan, yasinan, maulidan, lalu diikuti  oleh generasi setelah kita, apa yang akan kita dapat? Malah hanya dosa dari yang mengikuti kita yang kita peroleh.
Marilah Bersatu di Atas Kebenaran
Saudaraku, kami menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung masalah ini. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan pada diri kami. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)
Inilah sedikit pembahasan mengenai bid’ah, kerancuan-kerancuan di dalamnya dan dampak buruk yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang singkat ini kita dapat semakin mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan berarti dengan mengetahuinya kita harus melakukan bid’ah tersebut. Karena sebagaimana perkataan seorang penyair,
عَرَّفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ

وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ

Aku mengenal kejelekan, bukan berarti ingin melakukannya, tetapi ingin menjauhinya

Karena barangsiapa tidak mengenal kejelekan, mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya

Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di rumah tercinta, Desa Pangukan, Sleman

Saat Allah memberi nikmat hujan di siang hari, Kamis, 9 Syawal 1429 (bertepatan dengan 9 Oktober 2008)
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
https://muslim.or.id/388-mengenal-seluk-beluk-bidah-1.html
https://muslim.or.id/389-mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html
https://muslim.or.id/390-mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
https://muslim.or.id/391-mengenal-seluk-beluk-bidah-4.html

3 (tiga) Syarat Disebut Bid’ah


Sebagian orang kadang memahami apa yang dimaksud dengan bid’ah. Mereka menganggap bahwa bid’ah adalah setiap perkara baru. Sehingga karena saking tidak suka dengan orang yang meneriakkan bid’ah, ia pun mengatakan, “Kalau memang hal itu bid’ah, kamu tidak boleh pakai HP, tidak boleh haji dengan naik pesawat, tidak boleh pakai komputer, dst karena semua itu baru dan bid’ah adalah suatu yang baru dan dibuat-buat“. Padahal sebenarnya hal-hal tadi bukanlah bid’ah yang tercela dalam Islam karena bid’ah yang tercela adalah bid’ah dalam masalah agama. Begitu juga ada yang tidak setuju dengan nasehat bid’ah, ia menyampaikan bahwa para sahabat dahulu mengumpulkan Al Qur’an dan di masa ‘Umar dihidupkan shalat tarawih secara berjama’ah. Syubhat-syubhat yang muncul ini karena tidak memahami hakekat bid’ah. Untuk lebih jelas dalam memahami bid’ah, kita seharusnya memahami tiga syarat disebut bid’ah yang disimpulkan dari dalil-dalil berikut ini.

Pertama: Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut disebutkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”[1]
Kedua: Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.”[2]
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”[3]
Ketiga: Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[4]
Keempat: Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”[5]
Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan apa yang dimaksud bid’ah yang terlarang dalam agama, yaitu:
1.Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
2.Sesuatu yang baru dalam agama.
3.Tidak disandarkan pada dalil syar’i.
Pertama: Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
Syarat pertama ini diambil dari sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ
“Siapa yang berbuat sesuatu yang baru.”
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
“Setiap yang baru adalah bid’ah.”
Sehingga masuk dalam definisi adalah segala sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya baik berkaitan dengan urusan agama maupun dunia, baik sesuatu yang terpuji (mahmudah) maupun yang tercela (madzmuma). Sehingga perkara yang sudah ada sebelumnya yang tidak dibuat-buat tidak termasuk bid’ah seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Perkara dunia juga termasuk dalam definisi pertama ini, namun akan semakin jelas jika kita menambah pada syarat kedua.
Kedua: Sesuatu yang baru dalam agama.
Karena dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,
فِى أَمْرِنَا هَذَا
“Dalam urusan agama kami.” Sehingga perkara dunia tidak termasuk dalam hal ini. Yang dimaksudkan bid’ah dalam urusan agama berarti: (1) bid’ah mendekatkan diri pada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan, (2) bid’ah telah keluar dari aturan Islam, dan (3) sesuatu dilarang karena dapat mengantarkan pada bid’ah lainnya.
Ketiga: Tidak disandarkan pada dalil syar’i yang bersifat umum maupun khusus.
Hal ini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا لَيْسَ مِنْهُ
“Tidak asalnya (dalilnya) dalam Islam.”
Ini berarti jika sesuatu memiliki landasan dalam Islam berupa dalil yang sifatnya umum seperti dalam permasalahan ‘maslahah mursalah’, contoh mengumpulkan Al Qur’an di masa sahabat, maka tidak termasuk bid’ah. Begitu pula jika ada sesuatu yang mendukung dengan dalil yang sifatnya khusus seperti menghidupkan kembali shalat tarawih secara berjama’ah di masa ‘Umar bin Khottob tidak termasuk bid’ah.
Tiga syarat di atas telah kita temukan pula dalam perkataan para ulama berikut.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,
فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
“Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan batin.”[6]
Beliau rahimahullah juga berkata,
والمراد بالبدعة : ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما كان له أصلٌ مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان بدعةً لغةً
“Yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan (dalil) dalam syari’at sebagai pendukung. Adapun jika didukung oleh dalil syar’i, maka itu bukanlah bid’ah menurut istilah syar’i, namun bid’ah secara bahasa.”[7]
Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah sesat yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum.”[8]
Ibnu Hajar juga menyatakan mengenai bid’ah,
مَنْ اِخْتَرَعَ فِي الدِّين مَا لَا يَشْهَد لَهُ أَصْل مِنْ أُصُوله فَلَا يُلْتَفَت إِلَيْهِ
“Siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu ditoleh.”[9]
Di tempat lain, Ibnu Hajar berkata,
وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا
“Sesuatu yang memiliki landasan dalil dalam syari’at, maka itu bukanlah bid’ah. Maka bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela berbeda dengan pengertian bahasa karena bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya baik terpuji maupun tercela.”[10]
Setelah memahami yang dikemukakan di atas, pengertian bid’ah secara ringkas adalah,
ما أحدث في الدين من غير دليل
“Sesuatu yang baru (dibuat-buat) dalam masalah agama tanpa adanya dalil.”[11] Inilah yang dimaksud dengan bid’ah yang tercela dan dicela oleh Islam.
Semoga dengan memahami hal ini, kita tidak rancu lagi dengan berbagai macam hal seputar bid’ah, terkhusus dalam memahami perkataan ulama mengenai bid’ah hasanah.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 19 Jumadats Tsaniyah 1433 H
[1] HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih.
[2] HR. Muslim no. 867
[3] HR. An Nasa’i no. 1578. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718
[5] HR. Muslim no. 1718.
[6] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128.
[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 127.
[8] Fathul Bari, 13: 254.
[9] Fathul Bari, 5: 302.
[10] Fathul Bari, 13: 253.
[11] Lihat Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 22. Pembahasan pada point ini juga diringkas dari Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 17-22.

Hadits-Hadits Tentang Bid’ah


Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri.

Hadits 1

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Hadits 2

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Hadits 3

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i,
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i)
Hadits 4

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
Hadits 5

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya”  (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)
Hadits 6

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050).
Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)
Hadits 7

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada Allah'”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864)
Hadits 8

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”)
Hadits 9

Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata:

يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ : كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ )
“Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)
Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan.
Hadits 10

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ
“Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)
Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan.
Hadits 11

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063)
Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“.
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah.
Wallahu’alam.
Penulis: Yulian Purnama


Oleh : Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil bin ‘Abdirrahmaan Ash-Shaabuuniyrahimahullaah
(373 – 449 H)
Ada baiknya jika saya tuliskan sedikit pemaparan biografi Al-Imam Abu ‘Utsman Ash-Shaabuuniy rahimahullah.
“Beliau adalah Abu ‘Utsmaan Ismaa’iil bin ‘Abdirrahmaan bin Ahmad bin Ismaa’iil bin ‘Aamir bin ‘Aabid Ash-Shaabuuniy An-Naisaabuuriy, Al-Haafidh, Al-Mufassir, Al-Muhadiits, Al-Faqiih, Al-Mulaqqib, Syaikhul-Islaam. Lafadh ‘Ash-Shaabuuniy’ dinisbatkan kepada pekerjaan beliau sebagai pembuat/pedagang sabun, sebagaimana disebutkan oleh As-Sam’aaniy rahimahullah dalam kitab Al-Ansaab.
Dilahirkan pada pertengahan bulan Jumadil-Akhir 373 H.
Diantara guru beliau rahimahullah yang terkenal adalah :
1. Al-Haakim An-Naisaburiy, Abu ‘Abdillah – penulis kitab Al-Mustadrak ‘alash-Shahihain.
2. Abi Thaahir Muhammad bin Al-Fadhl bin Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah.
3. Abu Muhammad Al-Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Mikhlad Asy-Syaibaniy An-Naisaburiy.
4. Abul-Hasan Ahmad bin Muhammad bin ‘Umar Az-Zaahid.
5. Dan yang lainnya.
Adapun murid-murid beliau rahimahullah yang terkenal antara lain :
1. Abul-Qaasim ‘Aliy bin Muhammad bin ‘Aliy bin Ahmad bin Abil-‘Alaa’ As-Sulamiy Al-Mushiishiy Al-Faqiih Asy-Syaafi’iy; seorang faqih lagi tsiqah.
2. Abu Shaalih Al-Muadzdzin Ahmad bin ‘Abdil-Malik bin ‘Aliy bin Ahmad An-Naisaburiy Al-Haafidh.
3. Abu Muhammad ‘Abdil-‘Aziiz bin Ahmad bin Muhammad At-Taimiy Ad-Dimasyqiy Al-Kattaaniy; seorang imam, muhaddits, lagi mutqin.
4. Dan yang lainnya.
Pujian ulama terhadap beliau rahimahullah :
1. Al-Imam Abu Bakr Al-Baihaqiy rahimahullah :
إنه إمام المسلمين حقاً وشيخ الإسلام صدقاً ، وأهل عصره كلهم مذعنون لعلو شأنه في الدين والسيادة وحسن الاعتقاد وكثرة العلم ولزوم طريقة السلف
“Beliau adalah imam kaum muslimin yang sebenar-benarnya, seorang Syaikhul-Islam sejati. Semua orang di masanya mengakui ketinggian beliau dalam agama, kemuliaannya, kebaikan ‘aqidahnya, keluasan ilmunya, dan kesungguhannya dalam hal kewajiban meniti jalan salaf”.
2. Al-Imam Ibnu Naashiruddin rahimahullah :
كان إماماً حافظاً عمدة مقدماً في الوعظ والأدب وغيرهما من العلوم وحفظة للحديث وتفسير القرآن
“Beliau adalah seorang imam, haafidh, seorang pemimpin yang didahulukan dalam nasihat, adab, dan yang lainnya pada bidang ilmu, hafalan hadits, serta tafsir Al-Qur’an”.
3. Al-Haafidh Adz-Dzahabiy rahimahullah :
الواعظ، المفسر، المصنف، أحد الأعلام، كان شيخ خرسان في زمانه.
“Ahli pemberi nasihat, mufassir, dan penulis. Beliau juga salah seorang tokoh terkemuka, sekaligus penghulu ulama Khurasan”.
Beliau wafat pada bulan Muharram tahun 449 H.
[selesai]
Adapun penjelasan mengenai ciri-ciri Ahlul-Bid’ah sebagaimana tercantum dalam kitab beliau yang berjudul : ‘Aqiidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits adalah sebagai berikut :
١٦٢ - وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة ، وأظهر آياتهم وعلاماتهم : شدة معاداتهم محملة أخبار النبي - صلى الله عليه وسلم- ، واحتقارهم لهم [واستخفافهم بهم] ، وتسميتهم إياهم حشوية ، وجهلة ، وظاهرية ، ومشبهه . اعتقادا منهم في أخبار رسول الله - صلى الله عليه وسلم- أنها بمعزل عن العلم ، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة ، ووساوس صدورهم المظلمة ، وهو أجس قلوبهم الخالية من الخير ،[وكلماتهم] وحججهم بل شبههم الداحضة الباطلة. (أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ). (وَمَن يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِن مُّكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاء).
162 – Dan ciri-ciri yang dimiliki oleh Ahli Bid’ah itu amatlah jelas dan terang. Yang paling menonjol di antaranya adalah : Besarnya antipati mereka terhadap para pembawa riwayat hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, melecehkan mereka, [merendahkan mereka], bahkan menggelari mereka sebagai hasyawiyyah (tukang hapal catatan kaki), orang-orang jahil, dhahiriyyah (tekstual), dan musyabbihah. Semua itu didasari keyakinan mereka bahwa hadits-hadits Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallamitu terpisah dari ilmu. Dan ilmu (menurut mereka) adalah apa-apa yang dijejalkan setan kepada mereka, hasil dari olah akal mereka yang rusak, waswas dari hati mereka yang gelap, imajinasi mereka yang hampa dari kebenaran, serta [berbagai kalimat] dan hujjah mereka yang lemah dan bathil. Allah telah berfirman : “Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka” (QS. Muhammad : 23). “Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (QS. Al-Hajj : 18).
١٦٣ - سمعت الحاكم أبا عبد الله الحافظ يقول : سمعت أبا على الحسين بن علي الحافظ يقول ، سمعت جعفر بن أحمد بن سنان الواسطي يقول ، سمعت أحمد بن سنان القطان يقول : (ليس في الدنيا مبتدع إلا وهو يبغض أهل الحديث ، فإذا ابتدع الرجل نزعت حلاوة الحديث من قلبه) .
163 – Aku mendengar Al-Haakim Abu ‘Abdillah Al-Haafidh berkata : Aku mendengar Abu ‘Aliy Al-Husain bin ‘Aliy Al-Haafidh berkata : Aku mendengar Ja’far bin Ahmad bin Sinaan Al-Waasithiy berkata : Aku mendengar Ahmad bin Sinaan Al-Qaththaan berkata : “Tidak ada seorang mubtadi’ di dunia ini kecuali ia membenci Ahlul-Hadits. Karena bila ada seorang yang berbuat bid’ah, maka akan dicabut manisnya ilmu hadits dalam hatinya”.
١٦٤ - وسمعت الحاكم يقول سمعت أبا الحسين محمد بن أحمد الحنظلي ببغداد يقول ، سمعت [أبا إسماعيل]محمد بن إسماعيل الترمذي يقول : كنت أنا وأحمد بن الحسن الترمذي عند إمام الدين أبي عبد الله أحمد بن حنبل ؛ فقال له أحمد بن الحسن : يا أبا عبد الله ذكروا لابن أبي قتيلة بمكة أصحاب الحديث فقال : أصحاب الحديث قوم سوء فقام أحمد بن حنبل وهو ينفض ثوبه ويقول : زنديق ! زنديق ! [زنديق] : حتى دخل البيت .
164 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy) mendengar Al-Haakim berkata : Aku mendengar Abu Al-Husain Muhammad bin Ahmad Al-Handhaliy berkata di Baghdaad : Aku mendengar [Abu Isma’il] Muhammad bin Isma’il At-Tirmidziy berkata : “Aku dan Ahmad bin Al-Hasan At-Tirmidziy pernah berada di sisi Imaamuddiin Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal. Maka Ahmad bin Al-Hasan berkata kepadanya : ‘Wahai Abu ‘Abdillah, orang-orang pernah menyebut Ahli Hadits di hadapan Ibnu Abi Qutailah. Maka ia (Ibnu Abi Qutailah) berkata : ‘Para Ahli Hadits (Ashhaabul-Hadiits) adalah satu kaun yang jelek’. Maka Ahmad bin Hanbal berdiri sambil mengibaskan pakaiannya seraya berkata : ‘Zindiq, zindiq, [zindiq] !’, hingga ia masuk rumah”.
١٦٥ - وسمعت الحاكم أبا عبد الله يقول ، سمعت أبا نصر أحمد بن سهل الفقيه ببخارى يقول ، سمعت أبا نصر بن سلام الفقيه يقول:(ليس شيء أثقل على أهل الإلحاد ، ولا أبغض إليهم من سماع الحديث وروايته بإسناده ).
165 – Aku mendengar (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy) Al-Haakim Abu ‘Abdillah berkata : Aku mendengar Abu Nashr Ahmad bin Sahl, seorang faqih negeri Bukhara, berkata :Aku mendengar Abu Nashr bin Salaam Al-Faqiih berkata : “Tidak ada satu hal yang lebih berat dan dibenci oleh Ahlul-Ilhaad (pengingkar/atheis/Ahli Bid’ah) daripada mendengarkan hadits dan meriwayatkan dengan sanadnya”.
١٦٦ - وسمعت الحاكم يقول : سمعت الشيخ أبا بكر أحمد بن إسحاق بن أيوب الفقيه – وهو يناظر رجلاً – فقال الشيخ أبو بكر : حدثنا فلان ، فقال له الرجل : دعنا من حدثنا إلى متى حدثنا ؟ فقال الشيخ له : قم يا كافر ، فلا يحل لك أن تدخل داري بعد هذا أبداً. ثم التفت إلينا وقال : ما قلت [قط] لأحد قط ما تدخل داري إلا هذا.
166 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy) mendengar Al-Haakim berkata : Aku mendengar Asy-Syaikh Abu Bakr Ahmad bin Ishaaq bin Ayyuub Al-Faqiih – saat itu ia tengah berdebat dengan seorang laki-laki - . Maka berkatalah Asy-Syaikh Abu Bakr : “Haddatsanaa Fulaan (Telah menceritakan kepada kami Fulan)”. Laki-laki tersebut berkata kepadanya : “Tinggalkan kami dari perkataan haddatsanaa. Sampai kapan kita menyebut haddatsanaa ?”. Syaikh Abu Bakr berkata : “Berdirilah wahai kafir ! Tidak halal bagimu untuk memasuki rumahku setelah ini untuk selamanya”. Kemudian ia (Asy-Syaikh Abu Bakr) menoleh kepada kami dan berkata : “Aku tidak pernah berkata pada seorang pun untuk tidak masuk ke rumahku kecuali pada orang ini”.
١٦٧ - سمعت [الأستاذ] أبا منصور محمد بن عبد الله ابن حمشاد العالم الزاهد [رحمه الله] يقول ، سمعت أبا القاسم جعفر بن أحمد المقرى الرازي يقول : قرئ على عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي وأنا أسمع : سمعت أبي يقول – عنى به الإمام في بلده أبا حاتم محمد بن إدريس الحنظلي الرازي – يقول : ( علامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر وعلامة الزنادقة : تسميتهم أهل الأثر حشوية ، يريدون بذلك إبطال الآثار . وعلامة القدرية : تسميتهم أهل السنة مجبرة . وعلامة الجهمية : تسميتهم أهل السنة مشبهة . وعلامة الرافضة : تسميتهم أهل الأثر نابتة وناصبة .
167 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy) mendengar [Al-Ustadz] Abu Manshuur Muhammad bin ‘Abdillah bin Himsyaad Al-’Aalim Az-Zaahid [rahimahullah] berkata : Aku mendengar Abul-Qaasim Ja’far bin Ahmad Al-Muqriy Ar-Raaziy berkata : Pernah dibacakan kepada ‘Abdurrahman bin Abi Haatim Ar-Raaziy, dan waktu itu aku mendengarkannya : Aku mendengar ayahku berkata – yang dimaksudkan adalah penghulu ulama di negerinya, yaitu Abu Haatim Muhammad bin Idriis Al-Handhaliy Ar-Raaziy berkata - : “Tanda-tanda Ahli Bid’ah adalah mencela Ahlul-Atsar. Tanda-tanda Zanaadiqah adalah penamaan mereka terhadap Ahlul-Atsar dengan Hasyawiyyah. Mereka memaksudkan hal itu untuk membatalkan/menolak atsar. Tanda-tanda Qadariyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Mujabbirah(=Jabriyyah, golongan yang hanya bergantung kepada taqdir). Tanda-tanda Jahmiyyah adalah penamaan mereka kepada Ahlus-Sunnah dengan Musyabbihah. Dan tanda-tanda Raafidlah adalah penamaan mereka kepada Ahlul-Atsar dengan Naabitah sertaNaashibah”.
١٦٨ - قلت : وكل ذلك عصبية ، ولا يلحق أهل السنة إلا اسم واحد ؛ وهو أهل الحديث
168 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy) berkata : “Semuanya itu dikarenakanashabiyyah (fanatisme golongan). Tidak ada sebutan yang pantas bagi Ahlus-Sunnah melainkan satu saja, yaitu : Ahlul-Hadiits”.
١٦٩ - قلت : أنا رأيت أهل البدع في هذه الأسماء التي لقبوا بها أهل السنة - [ولا يلحقهم شيء منها فضلا من الله ومنة] - ؛ سلكوا معهم مسلك المشركين [لعنهم الله] مع رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فإنهم أقتسموا القول فيه : فسماه بعضهم ساحراً وبعضهم كاهنا وبعضهم شاعراً وبعضهم مجنوناً وبعضهم مفتوناً وبعضهم مفتريا مختلقاً كذاباً ، وكان النبي - صلى الله عليه وسلم - من تلك المعائب بعيداً بريئاً ، ولم يكن إلا رسولاً مصطفى نبياً ، قال الله عز وجل : (انظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ الأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلاَ يَسْتَطِيعُونَ سَبِيلاً ).
169 – Aku (Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy) berkata : “Aku memandang para Ahli Bid’ah dalam penamaan ini yang kemudian mereka gelarkan dengannya kepada Ahlus-Sunnah – [namun dengan karunia dan keutamaan Allah, tidak sedikitpun yang pantas disandarkan kepada mereka] adalah mengikuti jalan kaum musyrikin [semoga Allah melaknat mereka] terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka membagi-bagi perkataan di dalamnya. Sebagian mereka menamakan beliau dengan tukang sihir, sebagian lagi dengan dukun, sebagian lagi dengan tukang syair, sebagian lagi dengan orang gila, sebagian lagi dengan orang yang terfitnah, sebagian lagi dengan pembual, orang yang mengada-ada, lagi pendusta. Padahal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamberlepas diri dan jauh dari segala aib tersebut. Beliau hanyalah seorang Rasul dan Nabi yang terpilih. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman : ‘Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu)’ (QS. Al-Furqaan : 9)”.
١٧٠ - وكذلك المبتدعة خذلهم الله اقتسموا القول في حملة أخباره ، ونقله أثاره ، ورواة أحاديثه المقتدين بسنته [المعروفين بأصحاب الحديث]، فسماهم بعضهم حشوية ، وبعضهم مشبهة ، وبعضهم نابتة ، وبعضهم ناصبة وبعضهم جبرية. وأصحاب الحديث عصامة من هذه المعائب بريئة ، زكية نقية ، وليسوا إلا أهل السنة المضية ، والسيرة المرضية ، والسبل السوية ، والحجج البالغة القوية ، قد وفقهم الله جل جلاله لإتباع كتابه ، ووحيه وخطابه [واتباع أقرب أوليائه] ، والاقتداء برسوله - صلى الله عليه وسلم - في أخباره ، التي أمر فيها أمته بالمعروف من القول والعمل ، وزجرهم فيها عن المنكر منها ، وأعانهم على التمسك بسيرته ، والاهتداء بملازمة سنته ، [وجعلهم من أتباع أقرب أوليائه - وأكرمهم وأعزهم عليه] وشرح صدورهم لمحبته ، ومحبة أئمة شريعته ، وعلماء أمته .
ومن أحب قوماً فهو منهم يوم القيامة يحكم [قول] رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : ( المرء مع من أحب ) ...
170 – Demikian pula dengan Mubtadi’ (Ahli Bid’ah) – semoga Allah tidak menolong mereka – membagi-bagi perkataan kepada para pembawa khabar (hadits), penukil atsar, perawi hadits yang mengikuti sunnah-sunnah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam[yang dikenal dengan nama Ashhaabul-Hadiits]. Sebagian Ahli Bid’ah menamakan mereka dengan Hasyawiyyah, sebagian lagi dengan Musyabbihah, sebagian lagi denganNaabitah, sebagian lagi dengan Naashibah, dan sebagian lagi dengan Jabriyyah. PadahalAshhaabul-Hadiits terbebas, berlepas diri, dan bersih dari segala macam aib/cela ini. Tidak ada sebutan bagi mereka kecuali pengikut sunnah yang terang, perjalanan yang diridlai, jalan kehidupan yang lurus, dan hujjah yang terang lagi kuat. Sungguh Allahjalla jalaaluhu telah menguatkan mereka untuk mengikuti (ittiba’) Kitab-Nya, wahyu-Nya, dan firman-Nya; [mengikuti jejak para wali-Nya], meneladani Rasul-Nyashallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap khabar beliau sebagaimana diketahui bahwa hal itu beliau perintahkan kepada umatnya dalam perkataan maupun perbuatan, serta mencegah mereka untuk berbuat kemunkaran. Allah juga menolong mereka untuk dapat berpegang teguh pada perjalanan hidup beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, meneladani dan konsekuen pada sunnah-sunnah beliau. [Dan Allah pun menjadikan siapa saja yang mengikuti syari’at-Nya sebagai wali-wali-Nya yang paling dekat - yang paling mulia dan terhormat]. Allah juga melapangkan dada mereka untuk mencintai beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para imam/pemimpin syari’at-Nya, dan para ulama umat. Barangsiapa yang mencintai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka di hari kiamat kelak, dengan dasar [sabda] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :‘Seseorang itu bersama orang yang ia cintai’ “.
[Selesai].
Bahan bacaan :
1. ‘Aqiidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits oleh Abu ‘Utsman Ash-Shaabuniy, hal. 116-120, tahqiq : Badr bin ‘Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415 H, Madinah].
2. Syarh ‘Aqiidatis-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits li-Abi ‘Utsman Ash-Shaabuniy oleh Dr. Khaalid bin ‘Aliy Al-Musyaiqih - www.Almoshaiqeh.com.
3. Aqidah Salaf Ashabul-Hadits, terjemah oleh : Abu Umar Basyir Al-Maidani, hal. 184-194; Pustaka At-Tibyan, Solo].
[Ditulis oleh Abu Al-Jauzaa’ Al-Jawiy – pekan pertama bulan Rajab 1430 H].


Semua Bid’ah Adalah Kesesatan

“Semua bid’ah adalah kesesatan”, demikianlah kaidah yang merupakan wahyu dari Allah yang telah dilafalkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Sebagaimana telah diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ « صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ». وَيَقُولُ « بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ ». وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ »

Dari Jabir bin Abdillah berkata : Jika Rasulullah berkhutbah maka merahlah kedua mata beliau dan suara beliau tinggi serta keras kemarahan (emosi) beliau, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan perang seraya berkata “Waspadalah terhadap musuh yang akan menyerang kalian di pagi hari, waspadalah kalian terhadap musuh yang akan menyerang kalian di sore hari !!”. Beliau berkata, “Aku telah diutus dan antara aku dan hari kiamat seperti dua jari jemari ini –Nabi menggandengkan antara dua jari beliau yaitu jari telunjuk dan jari tengah-, dan beliau berkata : “Kemudian daripada itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dan semua bid’ah adalah kesesatan” (HR Muslim no 2042)
Dalam riwayat An-Nasaai ada tambahan

وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

“Dan semua perkara yang baru adalah bid’ah dan seluruh bid’ah adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka” (HR An-Nasaai no 1578)
Kaidah ini juga merupakan penggalan dari wasiat Nabi yang telah mengalirkan air mata para sahabat radhiallahu ‘anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat ‘Irbaadh bin Sariyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

«فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ»

“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaaur rosyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan“ (HR Abu Dawud no 4069)
Selain dua hadits di atas ada hadits lain yang juga mendukung bahwa semua bid’ah adalah kesesatan, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ثُمَّ فَتْرَةً، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدْ اهْتَدَى

“Sesungguhnya bagi setiap amalan ada semangat dan ada futur (tidak semangat), maka barangsiapa yang futurnya ke bid’ah maka dia telah sesat, dan barangsiapa yang futurnya ke sunnah maka dia telah mendapatkan petunjuk” (HR Ahmad 38/457 no 23474 dengan sanad yang shahih)
Dalam hadits ini jelas Nabi menjadikan sunnah sebagai lawan bid’ah dan mengandengkan bid’ah dengan kesesatan.
Demikian juga sebuah atsar dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu dimana beliau pernah berkata:

فَيُوشِكُ قَائِلٌ أَنْ يَقُولَ مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُونِى وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْآنَ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِىَّ حَتَّى أَبْتَدِعَ لَهُمْ غَيْرَهُ فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌ

“Hampir saja ada seseorang yang berkata : Kenapa orang-orang tidak mengikuti aku, padahal aku telah membaca Al-Qur’an, mereka tidaklah mengikutiku hingga aku membuat bid’ah  untuk mereka. Maka waspadalah kalian terhadap bid’ah karena setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Riwayat Abu Dawud no 4613, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 10/210 no 21444, Abdurrozaq dalam mushonnafnya 11/363 no 20750 dengan sanad yang shahih)
Dalam atsar ini Mu’adz bin Jabal mensifati bid’ah dengan dolalah (kesesatan).
Hadits dan atasar ini semakin menguatkan kaidah umum yang telah dilafalkan oleh Nabi “Semua bid’ah adalah kesesatan“.
Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata,

فقوله – صلى الله عليه وسلم – : «كلُّ بدعة ضلالة» من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدِّين … فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة

“Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua bid’ah adalah kesesatan” termasuk dari jawaami’ul kalim (kalimat yang singkat namun mengandung makna yang luas-pen), tidak ada satupun yang keluar darinya (yaitu dari keumumannya-pen), dan ia merupakan pokok yang agung dari ushuul Ad-Diin… maka setiap orang yang mengadakan perkara yang baru dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada pokok agama yang dijadikan sandaran maka ia adalah sesat, dan agama berlepas darinya. Dan sama saja apakah dalam permasalahan keyakinan atau amal ibadah baik yang dzohir maupun yang batin” (Jaami’ul uluum wal hikam hal 252)
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,

أَنَّ الْبِدْعَةَ الشَّرْعِيَّةَ لاَ تَكُوْنُ إِلاَّ ضَلاَلَةً بِخِلاَفِ اللُّغَوِيَّةِ

“Bahwasanya bid’ah syar’iyah pasti sesat berbeda dengan bid’ah secara bahasa” (Al-Fataawa Al-Hadiitsiyah hal 206)
Banyak hal yang menunjukan keumuman kaidah Nabi ini “Semua bid’ah adalah sesat”, diantaranya :
Pertama : Semua dalil yang menunjukan tercelanya bid’ah datang dalam bentuk mutlak dengan tanpa pengecualian sama sekali. Tidak ada satu dalilpun dalam syari’at yang menyatakan : “Semua bid’ah adalah sesat kecuali ini dan itu”. Jika ternyata tidak ada dalil sama sekali yang mengecualikan maka kita harus kembali kepada keumuman “Semua bid’ah adalah sesat” tanpa ada pengecualian.
Kedua : Kaidah umum yang disebutkan oleh Nabi ini –yaitu “Semua bid’ah adalah sesat”- selalu diucapkan dan disampaikan oleh Nabi tatkala khutbah sebagaimana dijelaskan oleh sahabat Jarir bin Abdillah di atas. Hal ini menunjukan Nabi sering menyampaikan kaidah ini kepada para sahabat, akan tetapi tidak ada satu dalilpun yang mengecualikan keumuman kaidah Nabi ini. Dan dalam suatu kaidah jika ada suatu kaidah yang kulliah (umum) atau suatu dalil syar’i (yang lafalnya menunjukan keumuman) jika terulang-ulang di tempat yang banyak tanpa sama sekali ada pentaqyidan atau pengkhususan maka hal ini menunjukan akan berlakunya keumuman dalil tersebut. Dan dalil-dalil yang berkaitan tentang pencelaan bid’ah keadaannya seperti ini dimana datang dalam jumlah yang banyak di tempat yang berbeda-beda, pada waktu yang berbeda-beda, namun tidak ada satu dalilpun yang menunjukan adanya pengkhususan atan pentaqyidan
Ketiga :  Kalau ada dalil yang menunjukan adanya pengecualian bid’ah yang baik maka dalil tersebut harus dari Al-Qur’an atau dari hadits Nabi, atau ijmak para ulama. Adapun perkataan sebagian ulama maka itu bukanlah dalil yang mengkhususkan dan mengecualikan keumuman kaidah Nabi “Semua bid’ah adalah sesat”. Jika para ulama tidak memandang ijmaknya para ahli Madinah di zaman Imam Malik sebagai hujjah, dan hujjah adalah sunnah Nabi, apalagi hanya pendapat sebagian dan segelintir ulama. Apalagi ternyata ada ulama lain yang menyelisihi mereka.
Keempat : Kalau ada dalil yang mengkhususkan keumuman kaidah Nabi ini sehingga ada satu atau dua bid’ah yang dikecualikan maka keumuman kaidah ini tetap berlaku pada seluruh bid’ah yang lain, kecuali pada dua bid’ah yang telah terkecualikan tadi. Akan tetapi kenyataannya tidak ada dalil sama sekali yang mengecualikan
Kelima : Ijma’ para sahabat dan para tabi’in akan pencelaan bid’ah secara umum tanpa ada pengkhususan, hal ini diketahui dengan menelusuri atsar-atsar mereka (diantaranya silahkan lihat atsar-atsar para sahabat dalam kitab Al-Baa’its ‘alaa inkaaril bida’ wal hawaadits karya Abu Syaamah As-Syafi’i). Tidaklah kita dapati perkataan mereka atau sikap mereka terhadap bid’ah kecuali dalam rangka mencela. Adapun perkataan Umar ((sebaik-baik bid’ah adalah ini)) tidak menunjukan penyelisihannya terhadap para sahabat yang lain, karena Umar tidak bermaksud dengan perkataannya tersebut kecuali bid’ah menurut bahasa karena sholat tarawih merupakan sunnah Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam.
Keenam : sesuatu bid’ah dinilai baik merupakan hal yang relatif. Bukankah setiap bid’ah dinilai baik oleh peakunya, namun dinilai buruk oleh orang lain??. Oleh karena perkaranya relatif maka tidak bisa dijadikan patokan dalam membentuk suatu ibadah baru.
Sebagai contoh bid’ah maulid Nabi, sebagaian orang merasa hal itu merupakan sesuatu yang baik karena bisa menumbuhkan dan memupuk kecintaan kepada Nabi. Akan tetapi sebagian orang menganggap perayaan maulid Nabi merupakan perkara yang buruk karena mengandung beberapa mafsadah diantaranya :
–         Tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih diperselisihkan, akan tetapi hampir merupakan kesepakatan para ulama bahwasanya Nabi meninggal pada tanggal 12 Rabi’ul awwal. Oleh karenanya pada hekekatnya perayaan dan bersenang-senang pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal merupakan perayaan dan bersenang-senang dengan kematian Nabi
–         Acara perayaan kelahiran Nabi pada hakekatnya tasyabbuh (meniru-niru) perayaan hari kelahiran Nabi Isa yang dilakukan oleh kaum Nashrani. Padahal Nabi bersabda مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut”
–         Kelaziman dari diperbolehkannya merayakan hari kelahiran Nabi adalah diperbolehkan pula merayakan hari kelahiran Nabi-Nabi yang lain, diantaranya merayakan hari kelahiran Nabi Isa. Jika perkaranya demikian maka sangat dianjurkan bahkan disunnahkan bagi kaum muslimin untuk turut merayakan hari natal bersama kaum Nashrani
–         Bukankah dalam perayaan maulid Nabi terkadang terdapat kemungkaran, seperti ikhtilat antara para wanita dan lelaki?, bahkan di sebagian Negara dilaksanakan acara joget dengan menggunakan music?, bahkan juga dalam sebagaian acara maulid ada nilai khurofatnya dimana sebagian orang meyakini bahwa Nabi ikut hadir dalam acara tersebut, sehingga ada acara berdiri menyambut kedatangan Nabi. Bahkan dalam sebagian acara maulid dilantunkan syai’ir-sya’ir pujian kepada Nabi yang terkadang berlebih-lebihan dan mengandung unsur kesyirikan
–         Acara perayaan maulid Nabi ini dijadikan sarana oleh para pelaku maksiat untuk menunjukan kecintaan mereka kepada Nabi. Sehingga tidak jarang acara perayaan maulid Nabi didukung oleh para artis –yang suka membuka aurot mereka-, dan juga dihadiri oleh para pelaku maksiat. Karena mereka menemukan sarana untuk menunjukan rasa cinta mereka kepada Nabi yang sesuai dengan selera mereka. Akhirnya sunnah-sunnah Nabi yang asli yang prakteknya merupakan bukti kecintaan yang hakiki kepada Nabipun ditinggalkan oleh mereka. Jika diadakan perayaan maulid Nabi di malam hari maka pada pagi harinya tatkala sholat subuh maka mesjidpun sepi. Hal ini mirip dengan perayaan isroo mi’rooj yang dilakukan dalam rangka mengingat kembali hikmah dari isroo mi’rooj Nabi adalah untuk menerima perintah sholat lima waktu. Akan tetapi kenyataannya betapa banyak orang yang melaksanakan perayaan isroo’ mi’rooj yang tidak mengagungkan sholat lima waktu, bahkan tidak sholat sama sekali. Demikian juga perayaan nuzuulul qur’an adalah untuk memperingati hari turunnya Al-Qur’aan akan tetapi kenyataannya betapa banyak orang yang semangat melakukan acara nuzulul qur’an ternyata tidak perhatian dengan Al-Qur’an, tidak berusaha menghapal Al-Qur’an, bahkan yang dihapalkan adalah lagu-lagu dan musik-musik yang merupakan seruling syaitan
–         Kelaziman dari dibolehkannya perayaan maulid Nabi maka berarti dibolehkan juga perayaan-perayaan yang lain seperti perayaan isroo’ mi’rooj, perayaan nuzuulul qur’aan dan yang lainnya. Dan hal ini tentu akan membuka peluang untuk merayakan acara-acara yang lain, seperti perayaan hari perang badr, acara memperingati hari perang Uhud, perang Khondaq, acara memperingati Hijrohnya Nabi, acara memperingati hari Fathu Mekah, acara memperingati hari dibangunnya mesjid Quba, dan acara-acara peringatan yang lainnya. Hal ini tentu akan sangat menyibukan kaum muslimin.
Dari sini sangatlah jelas bahwasanya baiknya suatu bid’ah merupakan hal yang sangat relatif.
Ketujuh : Jika ada yang berkata, “Saya ingin melakukan sesuatu manuver baru yang akan mendatangkan banyak kebaikan dan akan menghilangkan perselisihan diantara kaum muslimin dan mengkokohkan barisan mereka. Karena kenyataannya sekarang kaum muslimin bercerai berai. Manuver baru tersebut adalah : Tidaklah kita beribadah dan berkeyakinan kecuali dengan ibadah dan keyakinan yang diyakini oleh para salafus sholeh. Jika seluruh sekte dalam Islam mengikuti manuver ini maka tentunya akan mempersatukan umat Islam”.
Tanpa diragukan lagi bahwa manuver ini bukanlah bid’ah, bahkan banyak dalil dari syari’at yang mendukung akan hal ini. Akan tetapi taruhlah hal ini merupakan bid’ah, toh ternyata terlalu banyak sekte Islam yang tidak setuju dengan manuver ini, padahal hal ini merupakan hal yang sangat baik. Bahkan hampir seluruh sekte memerangi manuver ini, karena kelaziman dari manuver ini maka seluruh cara ibadah dan keyakinan yang dimiliki sekte-sekte tersebut yang tidak terdapat di zaman salaf maka harus ditinggalkan.
Kedelapan : Bukankah sunnah-sunnah dan ibadah-ibadah yang jelas-jelas datang dari Nabi sangatlah banyak?? Dan bukankah salah seorang dari kita tidak akan mampu untuk melaksanakan seluruh ibadah-ibadah tersebut?. Sebagai contoh, cobalah salah seorang dari kita membaca kitab Riyaadus Sholihiin, lalu berusaha menerapkan ibadah dan adab-adab yang telah dijelaskan dalam kitab tersebut yang notabene benar-benar datang dan dicontohkan oleh Nabi. Tentunya dia tidak akan mampu untuk melakukannya. Jika perkaranya demikian, lantas mengapa kita harus bersusah payah untuk memunculkan model-model ibadah yang baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya??!!
(Lihat kitab Al-Baa’its ‘alaa inkaaril bida’ wal hawaadits, karya Abu Syaamah As-Syafi’i, Haqiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa hal 1/282-285, Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyyah 10/370-371, dan Iqtidho shirootil Mustaqiim karya Ibnu Taimiyyah 1/270, Luma’ fi Ar-Rod ‘alaa muhassinil bida’)
Madinah, 21 Dzul Hijjah 1431 / 27 November 2010
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja


Ada dua pendapat ’ekstrim’ terkait dengan bahasan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak bisa disebut bid’ah. Ini tergantung niat atau bentuknya. Jika niat atau bentuknyanya (mereka anggap) baik, maka jadilah ia bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Bisa dikatakan, tidak ada kamus bid’ah dalam bahasa syari’at mereka. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan penggemar bid’ah. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka itu disebut bid’ah secara mutlak.[1]
Dua pendapat ini keliru. Ada satu kaidah yang sangat penting (dalam mengenal bid’ah) yang perlu kita perhatikan sebagai berikut :
إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة
”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.
Ada dua kata kunci di sini, yaitu :
1.          Keberadaan faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.
2.          Ketiadaan faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.
Contoh (1) : Pengumpulan Al-Qur’an di jaman Abu Bakar. Hal ini tidak pernah dilakukan pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun apakah hal ini bisa disebut sebagai bid’ah ? Jawabnya : Tidak. Mengapa ? Karena faktor atau sebab yang mendorong dilakukan pengumpulan di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam itu belum ada. Pada waktu itu, Al-Qur’an dijaga dalam dada para shahabat melalui hafalan mereka. Ini sekaligus sebagai faktor penghalang dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengumpulan Al-Qur’an di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum dirasa perlu sehingga hal itu belum/tidak dilaksanakan di jaman beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Namun setelah tragedi perang Yamamah ketika Khalifah Abu Bakr radliyallaahu ’anhu menumpas orang-orang murtad dan gerombolan pengikut nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab, banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur (sebanyak 70 orang). Dari sinilah kemudian muncul faktor pendorong atau sebab dilakukannya pembukuan Al-Qur’an – sekaligus menggugurkan faktor penghalang yang dulu di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Ini tercermin pada perkataan ’Umar bin Khaththab kepada Abu Bakr radliyallaahu ’anhuma :
”Dalam peperangan Yamamah para shahabat yang hafal Al-Qur’an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para shahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat yang perlu dikumpulkan”.
Apa yang dikatakan oleh ’Umar merupakan sebab yang sangat kuat dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an demi kemaslahatan kaum muslimin.
Hal yang sama juga seperti kasus pembubuhan titik dan harakat pada huruf hijaiyyah.[3] Setelah banyak terjadi kesalahan dalam bacaan dan banyaknya perselisihan karenanya, maka dipandang perlu untuk membubuhkan tanda-tanda dalam Al-Qur’an sebagaimana dirintis oleh Abul-Aswad Ad-Dualiy, yang kemudian dilanjutkan (disempurnakan) oleh Naashir bin ’Ashim dan Yahya bin Ya’mar pada jaman kekhalifahan ’Abdul-Malik bin Marwan; dan kemudian disempurnakan lagi oleh Al-Khalil. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan dalam bacaan Al-Qur’an.
Contoh (2) : Maulid Nabi. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (atau jaman shahabat setelah Nabi wafat) ?”. Jawabannya : Tidak. Apakah ini disebut bid’ah ? Jawabannya adalah : Ya. Mengapa ? Karena faktor pendorong dan sebab untuk dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Juga, faktor penghalangnya pun tidak ada. Namun realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya ? Artinya, maulid Nabi bukan merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at secara asal. Jika ada yang mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan (faktor pendorong) untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai wujud rasa syukur kami kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”. Jika memang itu faktor pendorong Anda, maka kami jawab : ”Bukankah faktor pendorong yang sama sangat mungkin ada pada jaman Nabishallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya serta tidak ada halangan bagi mereka untuk melakukannya ? Namun ternyata mereka tidak melakukannya !!. Jadi, itu merupakan amalan bid’ah. Bukan teranggap sebagai kemaslahatan dalam syari’at.
Ibnu Taimiyyah berkata :
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير أحرص .  وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم  بإحسان
”Sesungguhnya ini (maulid) tidak pernah dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor penghalangnya tidak ada. Seandainya ini baik atau agak kuat, tentu salaf lebih berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam lebih dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan. Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada kesetiaan mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta berjihad demi semua itu dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan”.[4]
Atau jika kita ingin contoh yang lebih jelas dari nomor 2, maka kita ambil contoh ’ekstrim’ : adzan dan iqamah yang dilakukan di shalat ’Ied. Saya yakin kita semua akan mengatakan bahwa itu bid’ah.[5] Apa indikasinya ? Faktor pendorong untuk dilakukan adzan dan iqamah pada shalat ’Ied di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada, yaitu untuk memberitahukan kaum muslimin agar berkumpul dan menghadairi shalat berjama’ah di lapangan (mushalla); sementara itu faktor penghalangnya tidak ada sama sekali. Tapi pada kenyataannya, beliau tetap tidak melakukannya.[6] Maka sesuai dengan pernyataan di awal, adzan dan iqamah pada shalat ’Ied itu hukumnya bid’ah.
Contoh (3) : Shalat tarawih berjama’ah di masjid. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ?”. Kita jawab : ”Ya, akan tetapi hanya dilakukan beberapa malam saja, dan kemudian beliau tinggalkan”. Apakah shalat tarawih yang dihidupkan ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu dan kemudian kita ikuti sampai sekarang bisa dikatakan bid’ah ? Jawabannya : Tidak. Mengapa ? Karena ada faktor penghalang yang kuat dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam untuk meninggalkannya pada waktu itu sebagaimana tergambar dalam perkataan beliau ketika memberikan penjelasan kepada shahabat mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid :
فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
”Sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”.
Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dan syari’at telah mantap[7], maka hilanglah kekhawatiran ini, sekaligus hilang pula faktor penghalangnya. Dan hal ini sesuai dengan keumuman anjuran beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah :
إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah) sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk”.
****
Itu saja secara global uraian ringkas mengenai salah satu kaidah mengenal bid’ah. Masih ada beberapa penjelasan lanjutan terkait dengan pembahasan ini, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizaaniy dalam kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’. Tentu saja, penentuan bid’ah atau tidaknya satu amalan bukan hanya berdasarkan kaidah di atas saja. Masih banyak kaidah-kaidah lain yang berkaitan yang perlu diketahui oleh kaum muslimin semua. Saya persilakan bagi rekan-rekan asatidzah dan thullabul-’ilmi yang lebih berkompeten untuk membahasnya secara mendalam............
Wallaahu ta’ala a’lam bish-shawwab.
[Abul-Jauzaa’ – Shaffar, 1430 di Ciomas Permai].


[1]     Sebagian ikhwah memahami pengertian bid’ah seperti ini, yaitu segala sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka dinamakan bid’ah.
[2]     Kaidah turunan yang lebih luas dari yang di atas adalah :
كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه منتفيًا
”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada yang tidak dilakukan oleh ­as-salafush-shaalihdari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya (tidak meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau tidak pernah menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka; maka jenis ibadah tersebut adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan ibadah tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.
[3]     Huruf hijaiyyah di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memakai tanda, titik, dan harakat.
[4]     Iqtidlaa’ Shirathil-Musthaqiim, 2/615.
[5]     Kecuali yang sudah ‘kebangetan’ doyan bid’ah.
[6]     Sebagaimana yang telah shahih dalam riwayat :
عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة
Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah shalat hari raya bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekali atau dua kali tanpa adzan dan iqamat” [HR. Muslim no. 887].
[7]     Tidak ada kewajiban tambahan yang setelah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat, karena Islam telah sempurna dengan turunnya QS. Al-Maaidah ayat 3.

لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
"Lau Kaana Khairan Lasabaquuna Ilaihi“
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah para sahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Mazhab yang Empat, Para Ulama Hadits Seperti Imam Bukhari- Muslim, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun Mengadakan Perayaan “Ibadah baru” Nabi....

(Tiga Abad Pertama Hijriyah dan Paling Utama)

Diantara dalilnya:
1.Allah taala berfirman:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al Maidah: 3 ).

Ayat di atas menjelaskan bahwa agama islam telah sempurna tidak boleh ditambah dan dikurangi, maka orang yang mengadakan “Ibadah baru”yang dibuat setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam wafat berarti menetang ayat ini dan menganggap agama belum sempurna masih perlu ditambah.

Ibadah Baru = “Setiap ibadah yang tidak di syari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta tidak sesuai dengan Syariat Islam”

2.Sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam :

“Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan”. (HR. Abu Daud dan Tarmizi).

3.Sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam:

“Barang siapa yang meniru tradisi suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut”. (HR. Abu Daud).

4.Orang yang mengadakan “Ibadah baru”yang tidak pernah diajarkan Nabi sesungguhnya dia telah menuduh Nabi telah berkhianat dan tidak menyampaikan seluruh risalah yang diembannya.

Imam Malik berkata,” orang yang membuat suatu bidah dan dia menganggapnya adalah suatu perbuatan baik, pada hakikatnya dia telah menuduh Nabi berkhianat tidak menyampaikan risalah.

firman Allah:

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Q.S. Al An’aam: 116 ).

Dikutip dari: Al Ihtifal bil “Ibadah baru”i An Nabawi Abra At Tarikh karya  Nashir Muhammad Al Hanin.

 Jawaban Atas Sebuah Alasan : “Kenapa Sahabat Nabi Tak mengerjakan “Ibadah baru ?”

1. Tentu sama sekali bukan tipe para sahabat jika merasa puas dengan amalan shalih yang sudah mereka kerjakan, tanpa mengerjakan amalan shalih yang lain.Itu pun (sekali lagi) jika seandainya “Ibadah baru”memang benar-benar merupakan amalan shalih.Justru sebaliknya, para sahabat adalah sosok-sosok manusia yang paling semangat dan tidak merasa puas dengan suatu amalan shalih, hingga mereka menginginkan amalan shalih yang lain demi meraih pahala sebanyak-banyaknya.Beberapa riwayat yang shahih menunjukkan sebagian sahabat meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menunjukkan amalan shalih kepada mereka, atau Nabi menawarkan amalan shalih dan para sahabat sangat antusias menyambut tawaran tersebut.Lebih dari itu, pengetahuan mereka tentang agama tidak sekedar sebagai wawasan atau wacana, akan tetapi benar-benar mereka wujudkan dalam bentuk amal nyata.Kesimpulannya : Kalau seandainya “Ibadah baru”memang benar-benar merupakan amalan shalih yang menunjukkan kecintaan kepada Nabi, niscaya akan diselenggarakan oleh para sahabat Nabi sebagai tambahan amal shalih mereka, yang mereka tidak pernah merasa puas dengan amal shalih yang sudah mereka kerjakan, hingga mereka ingin mengerjakan amal shalih berikutnya demi meraih pahala sebanyak-banyaknya.

2.Perkataan : “Sahabat-sahabat itu merupakan saksi hidup perjalanan Rasulullah”, dapat kami pahami bahwa para sahabat tidak mengadakan “Ibadah baru”karena mereka telah hidup bersama Nabi, melihat langsung amaliah Nabi.Maka tidak perlu bagi mereka untuk mengadakan suatu acara dalam rangka “Ibadah baru”.Jika memang demikian maksud perkataan di atas, maka dapat kita tanggapi :

a). Kalau memang para sahabat tidak mengadakan “Ibadah baru”karena mereka merupakan saksi hidup perjalanan Nabi, lantas mengapa para sahabat tidak  menganjurkan generasi manusia setelah mereka yang tidak pernah menjumpai Nabi agar mengadakan “Ibadah baru”?! Apa yang menghalangi mereka untuk tidak menganjurkan hal itu, sementara para sahabat adalah generasi yang paling tahu dan semangat tentang kebaikan akherat bagi umat ini ?!

b). Dipahami dari perkataan pada poin ke-2 di atas, bahwa selain para sahabat yang memang bukan saksi hidup perjalanan Nabi perlu untuk mengadakan “Ibadah baru”.Lalu mengapa para Tabi’in (murid sahabat), Atba’u at-Tabi’in (murid para Tabi’in), para imam mazhab 4 yang tersohor (al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Ahmad bin Hanbal yang bukan saksi hidup perjalanan Rasul ternyata tidak ada yang menyelenggarakan atau menganjurkan “Ibadah baru”?! Bahkan semasa para imam mazhab yang 4 ini hidup, mereka tidak pernah mengenal istilah “Ibadah baru”.”Ibadah baru”barulah diadakan pada abad ke-3 lebih atau 4 H oleh para khalifah (penguasa) yang berpemahaman Syi’ah. Sedangkan al-Imam Ahmad bin Hanbal yang merupakan imam mazhab 4 yang terakhir meninggal dunia, beliau wafat pada kisaran tahun 241 H (abad ke-2 H lebih).

3. Perkataan (sebagai contoh) : “Kalau tidak diadakan acara seperti ini (ibadah baru), kapan kita mulai mencintai Nabi”, menunjukkan bahwa perkataan ini tidak memiliki kadar ilmiah apalagi berbobot. Mengapa demikian ? Ya, seakan-akan perkataan ini menunjukkan bahwa “Ibadah baru”merupakan satu-satunya wujud kita mencintai Nabi dan peringatan itu merupakan awal kita mencintai Nabi.Tentu saja yang demikian sangat tidak tepat. Melaksanakan seluruh perintah Nabi dan menjauhi seluruh larangan Nabi yang sedemikian banyak bentuknya (dengan kata lain, menjalankan Islam secara kaffah) merupakan wujud kecintaan seseorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam.Masih terlalu banyak ajaran Nabi yang belum kita pelajari dan kita amalkan.Lantas mengapa sedemikian gigihnya diantara kita melestarikan sebuah acara yang dianggap ibadah, yang ternyata tidak ada contohnya dari Nabi, para sahabat, Tabi’in, Atba’u at-Tabi’in dan para imam mazhab yang 4 ?!

Maka kita katakan:
“Andai perkara ini baik, niscaya mereka semua akan mendahului kita untuk melakukannya!”

Kita juga berkata sebagaimana al-Imam Malik rahimahullaah berkata:
“Apa yang di jaman Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan sahabatnya bukan bagian dari agama, maka pada HARI INI PUN TAK AKAN PERNAH MENJADI AGAMA!”

Telah dimaklumi secara pasti bahwa tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam berpindah menuju negeri akhirat kecuali telah Allah sempurnakan agama ini untuk beliau dan telah Allah sempurnakan nikmat-Nya atas beliau!

Dan sungguh beliau telah memperingatkan di dalam sunnah beliau dari perkara muhdats (yang diada-adakan) dalam agama ini dan (memperingatkan pula) dari beramal dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh beliau dan para sahabatnya radliyallaahu ‘anhum.

Catatan penerjemah:
Catatan kaki:
1. Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu dijuluki Ash-Shiddiq (seorang yang sangat jujur) karena beliau membenarkan kisah Isra’ dan Mi’raj Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Ketika Musyrikin Quraisy mendatanginya dan meminta pendapatnya atas kisah Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam bahwa Nabi di Isra’kan oleh Allah ke Palestina dalam semalam, padahal jarak normal dari Makkah harusnya sebulan, maka beliau tetap  membenarkannya. Oleh karena itu beliau dijuluki ash-Shiddiq (Siyar A’lamin Nubala’-Sirah Nabawi-hal 202)

2. Q.S. At-Taubah:40

3. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran berada di lisan ‘Umar dan hatinya. Dialah al-Faaruq (sang Pemisah). Allah memisahkan dengannya antara al-haq dan al-bathil.” (H.R. Ibnu Sa’d dalam at-Thabaqat. Akan tetapi hadits tersebut dilemahkan al-Albani rahimahullaah dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah no 3062). Tetapi ada atsar shahih tentang julukan tersebut dari ucapan Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma(Zhilalul Jannah 1153)

4. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Sungguh pada ummat-ummat terdahulu terdapat muhaddatsun (orang-orang yang mendapat ilham). Jika ada diantara ummatku seorang (yang seperti itu), maka dia adalah ‘Umar.” (Muttafaqun ‘alayhi dari Abu Hurairah)

5. Awalnya ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu menikahi Ruqayyah radliyallaahu ‘anha, putri Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Ketika Ruqayyah wafat, Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam lalu menikahkannya dengan putri beliau yang lainnya, Ummu Kultsum radliyallaahu ‘anha.

6. Hijrah pertama ke negeri Habasyah. Adapun hijrah kedua ke Madinah.

7. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda tentang ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu:
“Apakah aku tidak akan malu pada seorang lelaki yang para malaikat saja malu padanya?”(H.R. Ahmad dan Muslim dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha)

8. Beliau adalah putra Abu Thalib, saudara kandung ayah Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam.

9. Istri beliau adalah Fathimah bintun Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Beliau menyatakan tentang Fathimah:
“Wahai Fathimah, apakah engkau tidak rela bila engkau menjadi pemimpin para wanita penghuni Jannah atau pemimpin wanita kaum mukminin?” (Muttafaqun ‘alayhi dari ‘Aisyah).

10. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda tentang al-Hasan dan alHusain radliyallaahu ‘anhuma:
“Al-Hasan dan al-Husain adalah dua orang pemimpin para pemuda penduduk Jannah.” Diriwayatkan dari banyak sahabat. Silahkan lihat as-Silsilah ash-Shahihah no 796

11. Salah satu penguasa yang paling menonjol dari Bani Umayyah karena keshalihan dan keadilannya. Tentunya setelah Mu’awiyah radliyallaahu ‘anhu. Keadilan dan kezuhudan beliau telah masyhur diketahui oleh kaum muslimin.

12. Beliau adalah penguasa yang shalih dari Bani ‘Abbasiyyah. Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah mengatakan bahwa beliau seorang yang shalih, bersungguh-sungguh dan baik dalam mengurusi rakyatnya. Beliau membagi tahun-tahunnya menjadi dua bagian: setahun untuk berhaji dan setahun berikutnya untuk berjihad.

13. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda tentang “al-Quruun al-Mufadhdhalah”(kurun masa terbaik):
“Sebaik-baik manusia adalah jamanku(yakni masa para sahabat-pent) kemudian yang setelah mereka (masa para murid-murid sahabat. Mereka disebut tabi’in-pent) kemudian yang setelah mereka (murid-murid dari tabi’in. Mereka disebut atba’ut tabi’in-pent).”(Muttafaqun ‘alayhi dari Ibnu Mas’ud)

14. Allah berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu. Dan telah Aku sempurnakan atasmu  nikmat-Ku dan Aku telah rela Islam sebagai agama bagimu.”(Q.S. al-Maidah:3)

15. Banyak sekali hadits Nabi yang melarang dari perkara muhdats (ibadah baru dalam agama) yang tidak dicontohkan oleh beliau shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabat. Diantaranya sabda beliau shallallaahu ‘alayhi wa sallam:
“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara muhdats karena setiap yang muhdats itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”(H.R. ath-Thabarani dalam Musnadusy Syamiyyin dan Mu’jamul Kabir dari sahabat ‘Irbadh bin Sariyah radliyallaahu ‘anhu. Dishahihkan oleh al-Albani rahimahullaah dalam ash-Shahihah 2735)

Alih Bahasa: Abu Abdillah عفا الله عنه ولوالديه وللمؤمنين
Muraja’ah: al-Ustadz Kharisman حفظه الله
Sumber: telegram al-Islam al-Haq

(4).“Ibadah baru”Dalam Pandangan Beberapa Ulama Syafi’iyah, Siapakah Yang Pertama Kali Merayakannya?

 (5)Perayaan “Ibadah baru” Menurut Ulama Madzhab

 [2] Keterangan as-Syathibi (w. 790 H)

فمعلوم أن إقامة المولد على الوصف المعهود بين الناس بدعة محدثة وكل بدعة ضلالة

Semua paham bahwa mengadakan “Ibadah baru” seperti yang ada di masyarakat di masa ini adalah bid’ah, sesuatu yang baru dalam agama. Dan semua bid’ah adalah sesat. (Fatawa as-Syatiby, hlm. 203).

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

 (6).Teka-Teki “Ibadah baru” Nabi,.. siapa bisa jawab pertanyaanya?

TEKA TEKI “IBADAH BARU” Bermain teka teki…untuk mengasah akal.

Aqiqah bayi yang baru lahir disyariatkan karena ada dalil. Makanya aqiqah memiliki adab2nya, seperti harinya, jenis hewan yang disembelih, jumlah sembelihan, yang bertanggung jawab atas aqiqah, syarat aqiqah, dsb. –
Memakai sandal memiliki banyak adab atau tata cara dalam syariat, karena ada dalil, seperti memulai memakai dengan kaki kanan, melepaskan dengan kaki kiri lebih dulu, tidak boleh memakai sandal sebelah, boleh mengusap sandal ketika berwudhu, doa memakai sandal, dsb. –
Meludah juga memiliki banyak adab2 yang diajarkan syariat, karena ada dalil yang mengajarkan. – Memakai pakaian juga sudah diajarkan adab2nya dalam islam. Banyak dalil tentang ini. –
Cebok / istinja, buang air juga sudah diajarkan adab2nya dalam islam. Banyak dalil tentang ini. – Khitan juga memiliki banyak adab yang ada dalil2nya. Dan islam tidak lupa telah mengajarkan tentang ini. –
Bekam juga memiliki banyak adab dan tata caranya, banyak dalil yang telah memberitahu tentang ini. – Ada juga adab2 pada hari raya idul fithri dan idul adha. Semua itu ada dalilnya. –
Bersetubuh dengan istri juga memiliki banyak adab dan tata caranya. Dalil tidak lupa mengajarkannya semua. –
Segala sesuatu yang ada dalilnya dan telah diajarkan islam memiliki adab2nya, seperti adab poligami, menyisir, mencium, memasak, mandi, potong kuku, mencukur bulu kemaluan, shalat gerhana, shalat khauf, puasa tasu’a dan asyura, i’tikaf, walimah, makan, minum, tidur, mimpi, menyembelih, bersiwak, mentahniq bayi, dll.
Hal ini adalah termasuk bentuk kesempurnaan agama islam.
Kemudian, bagaimana halnya dengan perayaan “Ibadah baru” Nabi?
Al Masail:
1. Apakah “Ibadah baru”memiliki dalil yang jelas dan shahih?
2. Jika memiliki dalil, maka apa saja adab-adab atau tata cara “Ibadah baru” Nabi yang sudah diajarkan Islam sesuai dengan dalilnya?
3. Jika tidak ada dalilnya, lantas kenapa dikerjakan, diperingati dan dirayakan?
4. Jika tidak ada dalilnya, apakah mungkin Rasulullah shalallahu alaihis sallam kelupaan menyampaikan kepada umatnya?
5. Atau apakah mungkin Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyembunyikannya agar tidak diketahui umatnya?
6. Apakah mungkin masalah tentang “Ibadah baru” Nabi hanya diketahui oleh orang-orang setelah abad ke 4 hijriyah, sedangkan orang-orang yang sebelumnya seperti para shahabat Nabi, Tabi’in, Tabiut Tabi’in, dan juga Imam yang empat tidak mengetahui tentang perayaan “Ibadah baru” Nabi?
7. Atau apakah mungkin orang2 setelah abad ke 4 hijriyah lebih pintar atau alim karena mereka mengetahui dan merayakan “Ibadah baru” daripada para shahabat Nabi dan para ulama sebelum abad ke 4 hijriyah?
8. Apakah “Ibadah baru”termasuk perkara yang besar atau perkara yang kecil?
9. Jika “Ibadah baru” Nabi termasuk perkara besar, lantas mana perintah atau dalilnya yang shahih dan diakui oleh para ulama ahlu hadits?
10. Jika “Ibadah baru” Nabi adalah perkara besar, lantas kenapa tidak ada seorangpun dari shahabat Nabi yang merayakannya? Padahal mereka jauh lebih mencintai Rasulullah.
11. Jika “Ibadah baru” Nabi adalah perkara kecil, lantas kenapa manusia begitu antusias dan semangat untuk merayakannya? Sedangkan perkara2 besar yang lain dan wajib hukumnya mereka tinggalkan dan kesampingkan.
12. Apakah mungkin jika perkara2 yang kecil telah diajarkan oleh islam, sedangkan perkara2 yang besar tidak diajarkan islam? Jelas tidak mungkin. Justru perkara2 yang besar lebih diajarkan dalam islam.
13. Pantaskah Rasulullah mengajarkan tata cara memakai sendal, meludah, cebok, dsb sedangkan perayaan “Ibadah baru”nya sendiri serta adab dan tata caranya tidak beliau ajarkan kepada sahabat2nya dan umatnya yang dicintainya?
14. Pernahkah kita membaca riwayat bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau sahabat2 Nabi lainnya mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepada Nabinya?
Atau mereka kumpul2 dan berpesta pada hari ‘Birthday’ Nabinya?
Atau mereka melakukan ritual ibadah khusus pada hari Ulang Tahun Nabinya?
Atau mereka saling memberikan kado atau hadiah untuk Nabinya spesial pada hari ulang tahunnya?
15. Apakah ada pembahasan atau bab tentang “Ibadah baru” Nabi pada kitab2 ulama salaf terdahulu, seperti di kitab Al Umm Imam Syafi’i, Musnad Imam Ahmad, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Ibnu Hajar, Syarah Shahih Muslim an Nawawi, atau pada kitabut tis’ah?
Dan pembahasan Fiqih “Ibadah baru” pada kitab Fiqih Bulughul Maram dan Subulus Salam, Al Mughni, Al Muhadzdzab?
atau pembahasan Fadhilah “Ibadah baru” pada kitab Riyadhush Shalihin, Targhib wa Tarhib, Adabul Mufrad, dll?
Kesimpulan:
Berhubung dalil tentang keutamaan perayaan “Ibadah baru” masih dalam pencarian dan penakwilan, maka diputuskan bahwa “Ibadah baru” Nabi tidak ada pada zaman Rasulullah dan zaman shahabat. Adapun segala sesuatu (dalam masalah ibadah) yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan para shahabat2nya maka itu bukan berasal dari Islam. Wallahu a’lam.
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid

(7).Alasan Sebagian Orang dalam Membela “Ibadah baru”

Posting kali ini masih merupakan kelanjutan dari posting sebelumnya. Yang kami angkat adalah beberapa kerancuan dari orang yang membela “Ibadah baru” dan jawaban dari kerancuan tersebut. Semoga bermanfaat.
[Pertama]
“Ibadah baru” adalah Bentuk Rasa Syukur, Pengagungan dan Penghormatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Cukup kami jawab, kalau memang “Ibadah baru” adalah bentuk syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga imam mazhab yang empat tidak ada yang melakukan perayaan ini[?] Apakah keimanan mereka lebih rendah dibanding orang-orang sekarang yang merayakannya[?] Apakah orang ini menyangka lebih mendapat petunjuk daripada generasi awal tersebut[?]
Semoga kita dapat merenungkan perkataan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berikut.
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
Juga kami katakan, “Mengapa ucapan syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sekali dalam setahun, hanya pada 12 Rabi’ul Awwal? Mengagungkan, mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersyukur bukan hanya sekali setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan selalu ittiba’ pada beliau.”
[Kedua]
“Ibadah baru” Nabi adalah Bid’ah Hasanah (Bid’ah yang baik)
Perkataan ini muncul karena mereka melihat para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah atau dholalah (sesat/jelek). Jadi menurut mereka tidak semua bid’ah itu sesat.
Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diyakini oleh sahabat, setiap bid’ah adalah sesat.
Perhatikanlah sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Lihatlah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Kita akan melihat bahwa mereka mengatakan semua bid’ah itu sesat, tanpa ada pengecualian.
Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khaththab pernah menyatakan bahwa shalat tarawih yang dia hidupkan adalah “sebaik-baik bid’ah”? Dari perkataan beliau ini menurut mereka, ada bid’ah hasanah (yang baik).
Sanggahan: Ingatlah para sahabat tidak mungkin melakukan bid’ah. Yang dimaksud dengan bid’ah dalam perkataan ‘Umar adalah bid’ah secara bahasa Arab yang berarti sesuatu yang baru.
Jika ada yang masih ngotot bahwa tidak semua bid’ah sesat, ada di sana bid’ah yang baik (hasanah), maka cukup kami katakan: Kalau ‘Umar menghidupkan shalat tarawih dan beliau katakan sebagai bid’ah, hal ini ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaksanakan shalat tarawih di awal-awal Ramadhan. Namun karena takut amalan tersebut dianggap wajib, maka beliau tidak menunaikannya lagi. Jadi, intinya ‘Umar memiliki dasar dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekarang, apa “Ibadah baru” Nabi memiliki dasar dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana shalat tarawih yang dihidupkan oleh ‘Umar[?] Jawabannya tidak sama sekali. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan hari kelahirannya, begitu pula para sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab tidak ada yang merayakannya. Sehingga “Ibadah baru” tidak bisa kita sebut bid’ah hasanah. Yang lebih tepat “Ibadah baru” adalah bid’ah madzmumah (tercela) sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syuqairiy dan Al Fakihaniy yang telah kami sebutkan dalam tulisan sebelumnya.
[Ketiga]
Niatannya Supaya Lebih Mengenal Sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Mungkin ada yang berseloroh, kalau melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati agar lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya.
Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak benar! Sungguh ironis, seorang yang mengaku cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenalinya kok hanya setahun sekali?! Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau, yang ini pun sesungguhnya sudah masuk ke dalam lingkup tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Mereka (orang Nashrani) merayakan kelahiran Nabi Isa melalui natalan, sedangkan mereka merayakan kelahiran Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Sudikah kita mengenal dan mengenang Nabi, namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan?! Dan siapa bilang harus mengenal sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cuma melalui acara “Ibadah baru” yang hanya diadakan sekali setahun[?] Bukankah masih ada cara lain yang sesuai tuntutan dan tidak tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir.
[Keempat]
Nabi memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa
Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan mengenai puasa pada hari Senin, beliau pun menjawab,
« ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ ».
“Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim [Muslim: 14-Kitab Ash Shiyam, 36-Bab Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap Bulannya])
Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan “Ibadah baru” harus setiap pekan bukan setiap tahun.
Semoga Allah senantiasa memberi taufik. Insya Allah berikutnya kami akan sampaikan syubhat (kerancuan lainnya). Semoga Allah beri kemudahan.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

(8).Ini Lho Dalil Keutamaan “Ibadah baru” Nabi,. Ternyata HADITS PALSU Semua

Bagaimana Sikap Imam Syafi’i rahimahullah terhadap HADITS LEMAH ??

وَجِمَاعُ هَذَا أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ إِلَّا حَدِيثٌ ثَابِتٌ كَمَا لَا يُقْبَلُ مِنَ الشُّهُودِ إِلَّا مَنْ عُرِفَ عَدْلُهُ، فَإِذَا كَانَ الْحَدِيثُ مَجْهُولًا أَوْ مَرْغُوبًا عَمَّنْ حَمَلَهُ كَانَ كَمَا لَمْ يَأْتِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ

“Kesimpulan dari semua ini, bahwa TIDAKLAH (sebuah hadits) DITERIMA kecuali HADITS YANG VALID, sebagaimana tidaklah para saksi diterima (pesaksiannya) kecuali orang yg dikenal adilnya. Sehingga apabila hadits itu tidak diketahui atau dibenci perowinya, maka SEAKAN HADITS ITU TIDAK ADA, karena ketidak-validannya.” (Kitab Ma’rifat Sunan Wal Atsar, karya Imam Baihaqi 1/180).

Karena sikap seperti inilah Imam Syafi’i dijuluki sebagai “Naashirus sunnah” (Pembela Sunnah Nabi). Beliau tidaklah berdalil dengan hadits, kecuali bila hadits tersebut bisa dipertanggung-jawabkan kevalidannya.

Naaah, jika hadits yang lemah saja sudah beliau tolak mentah2, bagaimana lagi dengan hadits palsu, yakni riwayat2 yang terang2an berdusta atas nama Nabi shallallahu alaohi wa sallam ???

Namun sayang, banyak dari orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya, BERMUDAH-MUDAHAN dalam BERDALIL dengan HADITS LEMAH, bahkan hadits palsu (!??)

Parahnya lagi, bila kita mengatakan kepada mereka bahwa haditsnya lemah, maka langsung saja kita dicap sebagai WAHABI !! Wallaahul Musta’aan.

Tidakkah mereka merenungi perkataan IMAM SYAFI’I rahimahullaah di atas ?????

Camkan baik2 ancaman dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut ini sebelum berhujjah dan membela hadits dusta (palsu) :

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.”(HR. Bukhari, dan juga Muslim dalam Mukadimah Shahihnya, lihatal-Jam’u Baina ash-Shahihain,hal. 9)

Allaahu yahdiina wa iyyaahum.

(9).Hadits Palsu: “Barangsiapa Mengagungkan Hari Kelahiranku…”

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

(10).Kumpulan Penjelasan Mengenai Perayaan “Ibadah baru” Nabi

Berikut ini kami sajikan kumpulan penjelasan mengenai “Ibadah baru”Shallallahu’alaihi Wasallam. Semoga permasalahan yang selalu menjadi polemik setiap tahunnya ini dapat dipahami secara ilmiah dan juga menyeluruh. Bagi pihak yang kontra, harap menyimak penjelasan-penjelasan berikut dengan seksama, hati yang tenang dan pikiran yang  jernih agar tidak muncul prasangka-prasangka buruk, semisal prasangka bahwa melarang perayaan “Ibadah baru” adalah mengkafirkan dan menyesatkan setiap orang yang mengikuti perayaan tersebut.
Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua.
Kewajiban Cinta Kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam
Antara Cinta Nabi dan “Ibadah baru” Nabi
Hukum Merayakan “Ibadah baru”
“Ibadah baru” Nabi Adalah Bid’ah Hasanah?
Mengenal Seluk Beluk BID’AH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah (Internet, HP, pesawat terbang, dll apakah  bid’ah? Silakan baca artikel ini)

(11).Engkau Harus Mencintai Nabimu

Seri Pertama dari Tiga Tulisan (Antara Cinta Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan “Ibadah baru” Nabi) kunci2Alhamdulillah hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kamaa yuhibbu Robbuna wa yardho, wa asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa asy-hadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluh. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. Saudaraku yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah Ta’ala. Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi lagi sesudah beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan yang mulia dengan syafa’at al ‘uzhma pada hari kiamat kelak. Itulah di antara keistimewaan Abul Qosim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang muslim punya kewajiban mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari makhluk lainnya. Inilah landasan pokok iman. Engkau Harus Mencintai Nabimu Saudaraku, itulah yang harus dimiliki setiap muslim yaitu hendaklah Nabinya lebih dia cintai dari makhluk lainnya. Mari kita simak bersama firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).
Ibnu Katsir mengatakan,
“Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/124).
Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasul dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab –radiyallahu ’anhu-. Lalu Umar –radhiyallahu ’anhu- berkata, لأنت أحب إلي من كل شيء إلا من نفسي ”Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, لا والذي نفسي بيده حتى أكون أحب إليك من نفسك”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, فإنه الآن والله لأنت أحب إلي من نفسي”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, الآن يا عمر ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR. Bukhari) [Bukhari: 86-Kitabul Iman wan Nudzur, 2-Bab Bagaimana Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersumpah]
Al Bukhari membawakan dalam kitabnya: Bab Mencintai Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bagian dari iman. An Nawawi membawakan dalam Shahih Muslim: Bab-Wajibnya Mencintai Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lebih dari kecintaan pada keluarga, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya. Dalam bab tersebut, Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semua Cinta Butuh Bukti Cinta bukanlah hanya klaim semata. Semua cinta harus dengan bukti. Di antara bentuk cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ittiba’ (mengikuti), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Karena ingatlah, ketaatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah buah dari kecintaan. Penyair Arab mengatakan:
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ إِنَّ المُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ Sekiranya cintamu itu benar niscaya engkau akan mentaatinya Karena orang yang mencintai tentu akan mentaati orang yang dicintainya
Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan melatunkan nasyid atau pun sya’ir yang indah, namun enggan mengikuti sunnah beliau. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:
لهذا لما كَثُرَ الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31)
Seorang ulama mengatakan:
لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ وَلَكِن الشَّأْنُ أَنْ تُحَبْ Yang terpenting bukanlah engkau mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintaiNya.
Yang terpenting bukanlah engkau mencintai Nabimu. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta nabimu. Begitu pula, yang terpenting bukanlah engkau mencintai Allah. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. (Lihat Syarh ’Aqidah Ath Thohawiyah, 20/2) Allah sendiri telah menjelaskan bahwa siapa pun yang mentaati Rasul-Nya berarti dia telah mentaati-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا “Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 80)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada ajarannya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ “Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ “Tidaklah aku biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (HR. Abu Daud no. 2970. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)
Itulah saudaraku di antara bukti seseorang mencintai nabinya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yaitu dengan mentaati, mengikuti dan meneladani setiap ajarannya. Kebalikan dari Cinta Dari penjelasan di atas terlihat bahwa di antara bukti cinta adalah mentaati dan ittiba’ pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti kebalikan dari hal ini adalah enggan mentaatinya dan melakukan suatu ibadah yang tidak ada ajarannya. Karena sebagaimana telah kami jelaskan di muka bahwa setiap orang pasti akan mentaati dan mengikuti orang yang dicintai. Dari sini berarti setiap orang yang melakukan suatu ajaran yang tidak ada tuntunan dari Nabinya dan membuat-buat ajaran baru yang tidak ada asal usulnya dari beliau, walaupun dengan berniat baik dan ikhlash karena Allah Ta’ala, maka ungkapan cinta Nabi pada dirinya patut dipertanyakan. Karena ingatlah di samping niat baik, seseorang harus mendasari setiap ibadah yang dia lakukan dengan selalu mengikuti tuntunan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang engkau harus pahami saudaraku, sebagaimana engkau akan mendapati hal ini dalam perkataan Al Fudhail berikut. Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata,
“Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Perkataan Fudhail di atas memiliki dasar dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Itulah saudaraku yang dikenal dengan istilah bid’ah. Amalan apa saja yang tidak mengikuti tuntunan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tertolak, walaupun yang melakukan berniat baik atau ikhlash. Karena niat baik semata tidaklah cukup, sampai amalan seseorang dibarengi dengan megikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkataan Fudhail di atas hampir serupa dengan perkataan Ibnu Rajab Al Hambali. Beliau rahimahullah mengatakan, “Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77) Setelah kita mengetahui muqodimah di atas, sekarang kita akan menelusuri lebih jauh, apakah betul cinta Nabi harus dibuktikan dengan mengenang hari kelahiran beliau dalam “Ibadah baru” sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum muslimin? Silakan simak pembahasan dalam posting selanjutnya. -Bersambung insya Allah pada posting selanjutnya-

(12).Sejarah Kelam “Ibadah baru” Nabi


(13).Meskipun Kelam, “Ibadah baru” Nabi Tetap Ada Pembelaan

sumber :