●Pembahasan ilmiyah terkait Bid’ah sebaiknya dengan tulisan (bil kitabah), YouTube (lisan)
bukan referensi ilmiyah, alat provokasi, bisa diedit dan hilang.
●Ittiba hanya satu jalan (al An'am 153), Bid'ah
banyak jalan, sesat dan bertolak belakang dengan Ittiba serta merusak Kesinambungan
syariat Islam.
●Bid’ah, ilmu dasar (pondasi) dienul
islam, kalau gagal faham disini selanjutnya makin fatal penyimpangannya.
●Pelaku bid'ah cenderung gemar berkata kasar,
menyerang individu atau kelompok lain yang menyampaikan hujah yang haq, mereka
bukan membantahnya dengan ilmu syar'i.
●Salah satu sebab melakukan Bid'ah, khawatir Eksistensi (privilege) golongannya (chauvinisme) akan
terancam, sarana (media) popularitas menyelisihi kaidah menyembunyikan amalan, alat penguasaan masa.
●Ada hubungannya menjamurnya kebid'ahan dengan
semaraknya thoriqoh- thoriqoh (tarekat), aliran-aliran tasawwuf (sufi) pada abad 3H. jika mencintai sunnah, mereka pasti akan
mengingkari thoriqoh-thoriqoh, tasawwuf
(sufi ) atau firqoh-firqoh yang menyimpang , mereka mencukupi amalan dengan Ittba
kepada Nabi.
●Bid’ah selalu disertai dengan perpecahan,
sebagaimana sunnah yang selalu diikuti dengan persatuan.
●Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang Untuk
Menerima Kebenaran. Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai Dan
Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan. Ketika Ilmu Diangkat Dan Kebodohan
Merajalela.
●Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
●Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا
فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah atau melindungi/membantu pelaku bid’ah, maka baginya laknat Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia”. (HR Bukhary,1870 dan Muslim, 1370).
●Sungguh sangat tercela para pelaku bid’ah, karena bid’ah agama Islam ternoda kemurniannya. Seandainya tidak ada para Ulama yang mengingkari bid’ah, maka agama Islam bisa punah sebagaimana agama-agama terdahulu yang di bawa para Rasul.
●Apabila bid’ah dapat dibenarkan dalam Islam maka bukan tidak mungkin bila kemudian Islam akan menjadi agama yang sama dengan agama-agama sebelumnya, yang ahli-ahli agamanya menambahkan hal-hal baru dalam agamanya dengan hawa nafsunya sehingga pada akhirnya agama tersebut berubah sama sekali dari yang aslinya”.
●Sebagaimana di sebutkan oleh Imam Asy-Syatibi (720-790 H) rahimahullaahu ta’ala yang berkata : “Semua Bukti Dan Dalil Ini Menunjukkan Bahwa Munculnya Perpecahan Dan Permusuhan Adalah Ketika Munculnya Kebid’ahan”. (Al- I’tisham,I/157).
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah atau melindungi/membantu pelaku bid’ah, maka baginya laknat Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia”. (HR Bukhary,1870 dan Muslim, 1370).
●Sungguh sangat tercela para pelaku bid’ah, karena bid’ah agama Islam ternoda kemurniannya. Seandainya tidak ada para Ulama yang mengingkari bid’ah, maka agama Islam bisa punah sebagaimana agama-agama terdahulu yang di bawa para Rasul.
●Apabila bid’ah dapat dibenarkan dalam Islam maka bukan tidak mungkin bila kemudian Islam akan menjadi agama yang sama dengan agama-agama sebelumnya, yang ahli-ahli agamanya menambahkan hal-hal baru dalam agamanya dengan hawa nafsunya sehingga pada akhirnya agama tersebut berubah sama sekali dari yang aslinya”.
●Sebagaimana di sebutkan oleh Imam Asy-Syatibi (720-790 H) rahimahullaahu ta’ala yang berkata : “Semua Bukti Dan Dalil Ini Menunjukkan Bahwa Munculnya Perpecahan Dan Permusuhan Adalah Ketika Munculnya Kebid’ahan”. (Al- I’tisham,I/157).
●Pelaku Bid’ah cenderung berasyik masyuk dengan
Syi’ah dan ladang penyebaran (berkembangnya) Syi’ah.
Nasihat Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin
Dan Syaikh Ali Hasan Al Halabi Bagi Pelaku Bid'ah. Hakikat Bid’ah Oleh
As-Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki, Habib Umar Bin Hafidz Dan Muti Mesir
DR. Ali Jum'ah, DR. M. Quraish Shihab, Buya Yahya, Ust. Abdul Somad LC , Ust.
Adi Hidayat, Dan Habib Novel.
Memahami Kaidah-Kaidah Bid’ah Dan Beberapa
Perkara Baru. (sangat lengkap, mudah dipahami. In sya Allah)
Apakah
Anda Tidak Takut
Berbuat Bid’ah?
Berbuat Bid’ah?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat
dari bid’ah itu demi kepentingan sebuah organisasi?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat
tentang bahaya bid’ah itu demi kepentingan sebuah partai politik?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat
tentang amalan-amalan bid’ah itu demi mendapatkan secuil harta dunia?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat
tentang jeleknya bid’ah itu demi mempertahankan tradisi nenek moyang?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat
tentang kerugian pelaku bid’ah itu agar dikenal sebagai orang alim yang paling
pandai?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat
agar meninggalkan bid’ah itu demi membela tokoh Fulan dan Allan
Demi Allah, sama sekali tidak. Bahkan
nyatanya para pelaris kebid’ahan lah yang memiliki tendensi-tendensi demikian.
Dan sungguh, kita hendaknya enggan dan takut berbuat bid’ah karena takut
kepada Allah Ta’ala.
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala menyatakan bahwa ajaran Islam sudah sempurna, tidak butuh penambahan. Membuat amalan-amalan ibadah baru sama saja dengan memberikan ‘catatan kaki’ pada firman Allah Ta’ala:
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala menyatakan bahwa ajaran Islam sudah sempurna, tidak butuh penambahan. Membuat amalan-amalan ibadah baru sama saja dengan memberikan ‘catatan kaki’ pada firman Allah Ta’ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal
Allah Ta’ala melarang kita berselisih ketika Qur’an dan sunnah sudah
sangat jelas dalam menjelaskan ajaran agama ini secara sempurna, dari masalah
tauhid hingga adab buang air besar, sama sekali tidak perlu penambahan lagi.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا
وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ
عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”
(QS. Al Imran: 105)
Ash Shabuni berkata: “Maksud ayat ini
adalah, janganlah berlaku seperti orang Yahudi dan Nasrani yang mereka berpecah-belah
dalam masalah agama karena mengikuti hawa nafsu mereka padahal ayat-ayat yang
datang kepada mereka sudah sangat jelas” (Shafwatut Tafasir, 202).
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal
Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya dan
sunnah Nabi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hendaklah orang-orang yang menyelisihi
perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang
pedih” (QS. An Nuur: 63)
Ketika Imam Malik ditanya tentang orang
yang merasa bahwa ber-ihram sebelum miqat itu lebih bagus, padahal
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah mensyari’atkan bahwa
ihram dimulai dari miqat, maka Imam Malik pun berkata: “Ini menyelisihi
perintah Allah dan Rasul-Nya, dan aku khawatir orang itu akan tertimpa fitnah
di dunia dan adzab yang pedih sebagaimana dalam ayat.. (beliau menyebutkan ayat
di atas)” (Al I’tisham, 174). Menjelaskan perkataan Imam Malik ini, Asy
Syathibi berkata: “Fitnah yang dimaksud Imam Malik dalam menafsirkan ayat ini
berhubungan dengan kebiasaan dan kaidah ahlul bid’ah, yaitu karena
mengedepankan akal, mereka tidak menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah
sebagai petunjuk bagi mereka” (Al I’tisham, 174).
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mengikuti tuntunan Rasul-Nya.
Allah Ta’ala pun mengancam orang yang menyelisihi tuntunan Rasul-Nya
dengan siksaan yang keras. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
“Apa yang datang dari Rasulullah, maka
ambilah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (QS. Al Hasyr: 7)
Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam melarang berbuat bid’ah. Tidak anda takut terhadap siksaan
Allah yang keras karena melakukan yang dilarang Rasulullah?
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal
Allah mengancam neraka bagi hamba-Nya yang mengambil cara beragama bukan dari
Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisa: 115)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Maksud ayat
ini, barang siapa yang menjalani cara beragama yang bukan berasal dari
Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam maka ia telah menempatkan
dirinya di suatu irisan (syiqq), sedangkan syariat Islam di irisan yang lain.
Itu ia lakukan setelah kebenaran telah jelas baginya” (Tafsir Al Qur’an Al
Azhim, 2/412)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal
Allah mencela orang yang membuat-buat syari’at baru yang dalam agama dan
menyebut orang-orang yang mengajarkan syari’at baru, lalu ditaati, sebagai
sesembahan selain Allah. Sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik.
Allah Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ
الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ
وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak
diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)
Ibnu Katsir berkata: “Mereka (orang-orang
musyrik) tidak mengikuti apa yang telah disyariatkan Allah melalui agama Allah
yang lurus ini. Bahkan mereka mengikuti syariat dari setan-setan yang berupa
jin dan manusia. Mereka mengharamkan apa yang diharamkan oleh setan tersebut,
yaitu bahiirah, saaibah, washilah dan haam. Mereka menghalalkan
bangkai, darah dan judi, dan kesesatan serta kebatilan yang lain. Semua itu
dibuat-buat secara bodoh oleh mereka, yaitu berupa penghalalan (yg haram),
pengharaman (yang halal), ibadah-ibadah yang batil dan perkatan-perkataan yang
rusak” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 7/198)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal
Allah telah mencap sesat orang-orang yang ketika tuntunan Islam sudah ada,
mereka malah mempunyai pilihan lain. Bisa jadi pilihan lain ini datang dari
ustadz-nya, kiai-nya, syaikh-nya, dari akalnya, atau dari yang lain.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab: 36)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
berkata: “Tidak layak bagi seorang mu’min dan mu’minah, jika Allah sudah
menetapkan sesuatu dengan tegas, lalu ia memiliki pilihan yang lain. Yaitu
pilihan untuk melakukannya atau tidak, padahal ia sadar secara pasti bahwa
Rasulullah itu lebih pantas diikuti dari pada dirinya. Maka hendaknya janganlah
menjadikan hawa nafsu sebagai penghalang antara dirinya dengan Allah dan
Rasul-Nya” (Taisiir Kariimirrahman, 665)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal
Allah mengabarkan ada sebagian hamba-Nya yang berbuat kesesatan namun mereka
merasa itu amalan kebaikan. Dan demikianlah bid’ah, tidak ada satupun pelaku
bid’ah kecuali ia merasa amalan bid’ahnya itu adalah kebaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ
أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ
يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”.
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi:
103-104)
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu
amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak”
(Muttafaq ‘alaihi)
Sahabat Nabi, Abdullah bin
Umar Radhiallahu’anhu berkata:
كُلَّ بٍدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ
حَسَنَة
“Setiap bid’ah itu sesat walaupun
orang-orang menganggapnya baik” (Shahih, sebagaimana penilaian Al Albani dalam
takhrij kitab Ishlaahul Masajid hal 13 milik Syaikh Jamaluddin Al
Qashimi)
Tidakkah anda takut amalan-amalan yang anda
anggap baik, padahal tidak ada tuntunannya dalam agama, kemudian anda
mengamalkannya sampai berpeluh-peluh, ternyata hanya sia-sia belaka di hadapan
Allah ? Oleh karena itu saudaraku, takutlah kepada Allah dan jauhi
perbuatan bid’ah.
Penulis: Yulian Purnama
Barangsiapa
Mengenal As-Sunnah, Niscaya Dia
Akan Mengenal Bid'ah
Akan Mengenal Bid'ah
Asy-Syaikh al-Albany -rahimahullah- berkata:
اعرف السنة تعرف البدعة، أما إذا عرفت البدعة فلا
يمكنك أن تعرف السنة.
"Kenalilah As-Sunnah, niscaya engkau
akan mengenali bid'ah, adapun jika engkau hanya mengenal bid'ah, maka tidak
mungkin bagimu untuk mengenal As-Sunnah."
Silsilah al-Huda wan Nur no. 715
Faktor
Penyebab Munculnya Bid’ah
Mengikuti hawa nafsu.
Yang dimaksud dengan hawa nafsu di sini adalah
keinginan hatinya. Kata hawa yang jamaknya adalah ahwa’ berarti “kecintaan
seseorang kepada sesuatu” hingga mengalahkan hatinya. Orang-orang yang membuat
bid’ah disebut ahlul ahwa’ karena mereka mengikuti hawa nafsu dengan
bersandar kepada pendapat mereka sendiri, kemudian menjadikannya sebagai dalil.
Mengikuti hawa nafsu ini bisa tampak dalam berbagai macam aspek kehidupan yang
akibatnya sangat fatal.
Di antara bentuk mengikuti hawa nafsu ini
adalah sbb:
1. Berpaling dari jalan yang lurus,
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Kemudian, Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syari’at (jalan/peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah
syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.” (Al-Jaatsiyah: 18).
2. Mengikuti sesuatu yang syubhat dan
meninggalkan sesuatu yang sudah pasti, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab
(Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah
pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun ORANG
YANG DALAM HATINYA CONDONG KEPADA KESESATAN, maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang MUTASYABIHAT untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.’ Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali-‘Imran: 7).
3. Orang yang mengikuti hawa nafsu akan
menjadi buta, tuli dan bisu sehingga tidak dapat melihat kebenaran dan tidak
mau mendengar nasihat seperti dalam firman-Nya:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu-Nya (*Allah membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah
mengetahui bahwa dia tidak bisa menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan
kepadanya melalui orang lain) dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?” (Al-Jaatsiyah: 23).
4. Orang yang mengikuti hawa nafsu itu
munafiq. Ketika di depan orang banyak menampakkan kebaikan dan keshalihan,
tetapi ketika tidak ada orang, dia melakukan dan mengatakan apa yang diinginkan
hawa nafsunya seperti dalam firman-Nya:
“Dan di antara mereka ada orang yang
mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisi-mu mereka
berkata kepada orang-orang yang telah diberi ilmu (sahabat-sahabat Nabi):
‘Apakah yang dikatakannya tadi?’ Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati
hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (Muhammad: 16).
Mengatakan sesuatu dalam
agama yang tidak diketahui secara jelas dan menerima begitu saja setiap
perkataan tanpa penyaringan.
Mengatakan sesuatu tanpa ilmu, hukumnya
haram, karena perbuatan itu termasuk mengikuti seruan setan, sebagaimana dalam
firman-Nya:
“Dan sepasang dari unta dan sepasang dari
lembu. Katakanlah, ‘Apakah yang diharamkan Allah itu dua jantan atau dua
betina, ataukah yang ada dalam kandungan kedua betina itu, ataukah kamu
menyaksikan Allah menetapkan bagimu? Maka Siapakah yang lebih zhalim daripada
orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia
tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zhalim.”(Al-An’aam: 144).
“Hai sekalian manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata
bagimu. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 168-169).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Siapa yang berfatwa tanpa ilmu, maka
dosanya dibebankan kepada orang yang berfatwa.”
(Diriwayatkan Abu Daud dalam Sunannya,
IV, 66, kitab Al-Ilm, hadits no. 3657. Diriwayatkan Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak, I, kitab Al-Ilm,126, dengan syarat Bukhari-Muslim, disepakati
Adz-Dzahabi dalam Talkhis-nya dan banyak lagi yang lainnya).
Maka orang yang tidak tahu harus
mengatakan, “Saya tidak tahu.” Atau bertanya kepada orang lain (ulama) yang
lebih tahu. Jika ada orang bodoh berlagak berilmu, lalu mengeluarkan fatwa
dalam urusan agama, maka dia akan terjerumus ke dalam bid’ah, baik disengaja
atau tidak. Seorang ahli bid’ah terjerumus ke dalam bid’ah karena merasa punya
ilmu, lalu membuat sesuatu (bid’ah).
Menyebarnya bid’ah itu menjadi sebab
dicabutnya ilmu, menyebarnya kebodohan dan meluasnya kegelapan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu
dengan cara mencabutnya langsung dari hamba-hamba-Nya, tetapi Allah mencabut
ilmu dengan cara mematikan ulama. Jika tidak ada lagi orang alim, manusia akan
menjadikan orang bodoh sebagai pemimpin. Jika ditanya, mereka akan memfatwakan
sesuatu tanpa ilmu pengetahuan hingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR.
Bukhari).
Kata bodoh di atas tidak hanya terbatas pada
orang yang tidak berilmu saja, melainkan juga mencakup orang yang berilmu
banyak tetapi melampaui batas dari apa yang diketahuinya, hingga berani
memutuskan sesuatu yang tidak diketahuinya, atau tanpa dalil yang jelas dan
metode ijtihad yang benar.
Bentuk-bentuk kebodohan itu banyak, yang
semuanya menyebabkan kepada bid’ah. Di antaranya adalah karena tidak memahami
As-Sunnah.
Tidak memahami As-Sunnah.
Pembahasan ini mencakup dua aspek, yaitu:
1. Tidak bisa membedakan antara
hadits-hadits yang dapat diterima dengan hadits-hadits yang tertolak.
Artinya, tidak memahami ilmu musthalah
hadits dan tidak bisa membedakan antara hadits-hadits yang shahih dengan
hadits-hadits yang dha’if (lemah), maudhu’ (palsu), dan sebagainya. Akibatnya,
para pembuat bid’ah bersandar kepada hadits-hadits dha’if dan maudhu’,
menjadikannya sebagai sumber syari’at dan hukum dalam perkara-perkara baru,
lalu bahkan menganggapnya sebagai sunnah. Padahal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Barangsiapa
yang sengaja mendustakan aku (maksudnya, membuat atau meriwayatkan hadits
dha’if atau palsu, yang sebenarnya bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari
Rasulullah), maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di api neraka.” (HR.
Bukhari – Muslim). Jumhur ulama sepakat menyebut orang yang melakukannya
sebagai orang fasik dan seluruh riwayatnya ditolak serta tidak diperbolehkan
berhujah dengannya. (Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim, I, 69).
2. Tidak memahami kedudukan As-Sunnah
dalam syari’at.
Di antara sikap yang berkembang akibat
tidak memahami hal ini, adalah pengingkaran terhadap sunnah yang shahih dan
jelas dengan alasan “tidak masuk akal” atau menganggap “bertentangan dengan
ayat Al-Qur’an”. Adapun di antara contoh ketidaktahuan terhadap kedudukan
As-Sunnah dalam syari’at adalah mendahulukan sesuatu selain As-Sunnah atau
mempertentangkannya dengan As-Sunnah. Misalnya, mendahulukan qiyas dan istihsan
daripada As-Sunnah, atau mendahulukan pendapat daripada nash. Apabila terjadi
perbedaan pendapat, mereka jelas-jelas menolak hukum yang telah ditetapkan
melalui As-Sunnah, padahal Al-Qur’an telah menetapkan:
“.. Dan jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An-Nisaa’: 59).
Yang dimaksud kembali kepada Allah, yaitu
mengembalikan kepada Al-Qur’an. Sedangkan kembali kepada Rasul, yaitu
mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada As-Sunnah. (Lihat Tafsir
Ibnu Jarir Ath-Thabari, IV/154 no. 9884-9989 dan Tafsir Ibnu Katsir, I/568).
Masih dalam surat yang sama dikatakan:
“Apabila dikatakan kepada mereka:
‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah turunkan dan kepada hukum Rasul’,
niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan
sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (An-Nisaa’: 61)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda:
“Saya benar-benar tidak mengetahui
mengapa ada salah seorang di antara kalian yang datang perintah dariku, yang
aku perintahkan kepadanya, atau yang aku larang mengerjakannya, dia tetap
bersandar di atas kursinya (malas untuk pergi menuntut/menambah ilmu) seraya
berkata, ‘Kami hanya mengamalkan apa yang kami dapatkan di dalam Kitab Allah,
sedangkan yang tidak kami dapatkan di dalamnya tidak kami amalkan’.”
(Diriwayatkan Abu Daud dalam Sunan-nya, V, 351. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya,
IV, 144, dan berkata Hadits Hasan. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, I, 108, dan
berkata ini adalah hadits shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim. Disepakati
oleh Adz-Dzahabi dalam Talkhis-nya).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Menempuh cara pengambilan
hukum yang tidak sesuai dengan cara yang diakui oleh syari’at (semisal dari
mimpi, dll).
Di antara sebab terjadinya bid’ah adalah
mengambil sesuatu yang tidak diakui dalam syari’at sebagai jalan untuk
menetapkan hukum. Misalnya, bersandar pada mimpi bertemu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu mengambil hukum darinya, menyebarkannya di antara
manusia, atau melaksanakannya tanpa melihat selaras atau tidaknya dengan
syari’at. Ini adalah tindakan yang salah karena selain mimpi para nabi, maka
tidak dianggap sebagai syari’at, kecuali bila mimpi itu sejalan dengan
syari’at. Jika dilihat bahwa mimpi itu sejalan dengan hukum syari’at, maka
boleh dilaksanakan, jika tidak maka harus ditinggalkan.
Jika ada yang berkata bahwa mimpi adalah
bagian dari kenabian, maka tidak boleh disepelekan; dan bisa jadi yang
mengabarkan dalam mimpi itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
beliau telah bersabda, “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka dia telah
melihatku karena setan tidak bisa menyerupaiku.” (HR. Bukhari – Muslim). Oleh
karena itu, pemberitahuannya melalui mimpi sama dengan pemberitahuannya dalam
keadaan terjaga.
Maka jawaban atas pernyataan tersebut
adalah, jika mimpi termasuk bagian dari kenabian, berarti wahyu yang telah
sampai kepada kita itu belum sempurna. Padahal, dengan wafatnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka wahyu telah terputus, sebab tidak ada lagi
nabi sesudahnya.
Selain itu, mimpi banyak macamnya, ada
mimpi yang berasal dari setan, ada yang berasal dari bisikan jiwa, dan ada mimpi
yang terjadi karena perasaan kalut. Maka kapankah mimpi itu bisa dianggap benar
sehingga kita bisa menetapkan hukum dengannya dan kapan dianggap tidak benar
sehingga harus ditinggalkan?
Dalam menafsirkan makna hadits “siapa
yang melihatku dalam mimpi, berarti dia telah melihatku”, Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata:
“Makna hadits ini adalah bahwa mimpinya
itu benar dan bukan termasuk mimpi biasa atau mimpi karena setan. Akan tetapi,
tidak boleh menetapkan hukum syari’at dengannya; karena keadaan tidur tidak
sama dengan keadaan terjaga. Apa yang didengar oleh orang yang tidur tidak sama
dengan apa yang didengar oleh orang bangun. Jumhur ahli hadits berpendapat
bahwa di antara orang yang diterima riwayat dan kesaksiannya adalah orang yang
berada dalam keadaan bangun, tidak lalai, tidak lemah hapalannya, tidak banyak
salah, dan tidak pelupa. Orang tidur tidak memiliki sifat-sifat ini, maka tidak
diterima periwayatannya dikarenakan hilang kesadarannya di waktu tidur.
Adapun jika seseorang bermimpi melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyuruhnya untuk melakukan sesuatu yang
disunnahkan atau mencegah apa yang dilarang, atau menasihatinya agar berbuat
sesuatu kemaslahatan, maka tidak diragukan lagi bahwa sunnah untuk
melakukannya; karena hal itu bukan karena hukum yang ditetapkan berdasarkan
mimpi, tetapi karena dalam syari’at memang telah ada ketetapannya. Wallahu
A’lam.” (Syarh An-Nawawi’ala Shahih Muslim, I, 115)
Yang perlu diperhatikan adalah tindakan
yang telah dilakukan oleh sebagian orang yang bermimpi melihat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang memerintahkan atau melarangnya melakukan sesuatu, lalu
ketika dia bangun, dia langsung menerapkan apa yang diperintahkan atau dilarang
dalam mimpinya itu, tanpa melihat lebih jauh dalam Kitabullah, sunah Rasul-Nya,
ataupun kaidah para Salaf.
Meskipun mimpi bertemu dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam benar (Dengan syarat, telah mengetahui sebelumnya
tentang ciri-ciri fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara terperinci,
sebab syaitan tidak dapat menyamar seperti wujud Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang aslinya. Namun syaitan bisa menyamar menjadi seseorang dalam mimpi,
lalu ia berdusta bahwa ia adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini yang
harus betul-betul dipahami) dan tidak diragukan, akan tetapi Allah tidak
membebani hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dilihatnya dalam mimpi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dimaafkan dosa dari tiga
hal…” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya, VI, 100 hadits no. 4398, dari
Aisyah; Abu Daud dalam sunannya,IV, 558, hadits no. 4398, dari Aisyah dan
At-Tirmidzi dalam sunannya, II, 438, hadits no. 1446, dari Ali, dan ia berkata
hadits ini hasan gharib). Salah satunya adalah dari orang yang tertidur hingga
ia terbangun (sadar) karena ketika tidur dia bukan termasuk orang yang diberi
tanggung jawab, maka tidak ada sesuatu yang harus dikerjakannya dari mimpinya.
Ini dari satu sisi.
Adapun dari sisi kedua, ilmu dan riwayat
tidak diambil, kecuali dalam keadaan bangun, sadar dan berakal. Sebaliknya,
orang tidur tidak diambil riwayatnya..
Dari sisi ketiga, berpegang kepada mimpi
saja jelas bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang dengan keduanya kalian tidak akan
tersesat jika kalian berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.”
(Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, I, 93; Ibnu Abdul Barr dalam
Bayan Al-Ilm wa Fadhlihi, II, 24; dalam kedua riwayat itu tidak disebutkan
kalimat “tsaqilain”; Malik dalam Al-Muwaththo, II, 899. Syaikh Al-Albani
rahimahullah berkata bahwa ini adalah hadits shahih, lihat Al-Jami’
Ash-Shaghir, III, 39, hadits no. 2934 dan Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah, IV,
355-361, hadits no. 1761).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menetapkan bahwa untuk bisa selamat dari kesesatan adalah hanya dengan
berpegang teguh pada keduanya, bukan dengan yang lain. Sehubungan dengan itu,
barangsiapa yang bersandar kepada mimpinya, berarti telah menambah sumber yang
ketiga.
Diceritakan bahwa Syuraik bin Abdullah
Al-Qadhi [1] menghadap Al-Mahdi [2]. Ketika melihatnya, Al-Mahdi berkata
kepadanya, “Ambilkan pedang dan tikar.” Syuraik berkata, “Mengapa ya Amirul Mukminin?”
Al-Mahdi menjawab, “Saya bermimpi seakan-akan kamu berada di tikarku dan kamu
menentangku. Setelah itu, aku ceritakan mimpiku itu kepada orang yang ahli
menafsirkannya, lalu dia berkata,’Dia menampakkan ketaatan kepadamu dan
menyembunyikkan kemaksiatan’.” Syuraik berkata, “Demi Allah, mimpimu tidak
seperti mimpi Ibrahim Alaihissalam, dan penafsir mimpimu tidak seperti Yusuf
Alaihissalam. Apakah karena mimpi yang bohong itu kamu akan memotong leher
orang-orang Mukmin?” Al-Mahdi merasa malu dan berkata, “Keluar
dariku.”(Al-I’tisham, I, 261-262)
[1] Seorang yang ahli dalam pengetahuan
umum, perkataannya dianggap sebagai kebaikan bagi orang lain, diangkat oleh
Khalifah Al-Manshur Al-Abbasi menjadi qadhi di Kufah tahun 153 H, kemudian
diturunkan dan dinaikan lagi oleh Al-Mahdi, diturunkan lagi oleh Musa al-Hadi.
Lahir di Bukhara tahun 95 H dan wafat tahun 177 H. Lihat biografi lengkapnya di
Al-Bidayah wa An-Nihayah, X, 195 dan Tadkirah al-Huffadz, I, 232.
[2] Nama lengkapnya Muhammad bin
Abdullah, Amirul Mukminin Al-Mahdi bin Al-Manshur, khalifah ketiga bani
Al-Abbas, lahir tahun 127 H. Dia termasuk orang baik, tampan, cinta kepada
rakyat dank eras terhadap orang zindiq. Lihat biografinya di Al-Bidayah wa
An-Nihayah, X, 174-179).
Demikianlah beberapa di antara sekian
banyak faktor-faktor penyebab munculnya bid’ah. Semoga dengan sedikit
penjelasan yang telah penulis sampaikan, ada yang bermanfaat untuk kaum
muslimin.
(Dikutip dari Al-Bida’ Al-Hauliyah,
Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijiry. Bisa juga dilihat dalam edisi
Indonesia: Menyoal Rutinitas Perayaan Bid’ah Sepanjang Tahun, Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, Jakarta)
Via Fb Abu Muhammad Herman
Sebab-Sebab
Menyebarnya Bid’ah
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah adalah jalan yang lurus untuk terhindar dari jalan-jalan menyimpang yang berupa bid’ah dan penyimpangan dalam agama. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya” (QS. Al An’am: 153)
Karena jatuhnya seseorang ke dalam bid’ah
dan penyimpangan sejatinya karena ia enggan berpegang pada Al Qur’an dan As
Sunnah. Inilah sebab pokok dari kebid’ahan. Namun jika kita perinci lagi, ada
beberapa sebab yang menjadi faktor utama tersebarnya bid’ah di tengah kaum
Muslimin:
1. Jahil (tidak paham) terhadap
hukum-hukum agama
Semakin jauh dari masa hidupnya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ilmu semakin sedikit dan kejahilan
semakin tersebar. Hal ini telah dikabarkan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
من يعشْ منكم يرَ اختلافًا كثيرًا
“Barangsiapa yang hidup sepeninggalku
akan melihat perselisihan yang banyak” (HR. At Tirmidzi 2676, ia berkata:
“hasan shahih”)
juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam:
إن اللهَ لا يقبضُ العلمَ انتزاعًا ينتزِعُهُ من
العبادِ، ولكن يقبضُ العلمَ بقبضِ العلماءِ، حتى إذا لم يُبْقِ عالمًا، اتخذَ
الناسُ رُؤوسًا جُهَّالًا، فسُئِلوا، فأفْتَوا بغيرِ علمٍ، فضلوا وأضلوا
“sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu
dengan seketika dari para hamba. Namun Allah mencabutnya dengan wafatnya para
ulama. Hingga tidak tersisa satu orang alim pun, manusia lalu mengangkat orang
jahil sebagai pemimpin. Ia ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Ia sesat dan
menyesatkan” (HR. Al Bukhari 100, Muslim 2673).
Karena tidak ada yang bisa
meluruskan perbuatan bid’ah kecuali para ulama, yaitu orang-orang
yang mengilmui hukum-hukum agama dengan pemahaman yang shahih. Ketika para
ulama sedikit jumlahnya atau tidak ada sama sekali maka perbuatan bid’ah
merajalela dan menyebar.
2. Mengikuti hawa nafsu
Orang yang enggan untuk mengikuti
tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah, maka sebenarnya ia mengikuti hawa nafsunya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ
أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ
بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ
“Maka jika mereka tidak menjawab
seruanmu, maka ketahuilah bahwa mereka itu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
barangsiapa yang lebih sesat dari orang yang mengikuti hawa nafsu meeka tanpa
petunjuk dari Allah” (QS. Al Qashash: 50)
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ
عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)” (QS. Al Jatsiyah: 23).
Dan kebid’ahan merupakan bentuk mengikuti
hawa nafsu.
3. Fanatik buta kepada suatu pemikiran atau
kepada tokoh
Sikap fanatik buta terhadap suatu pemikiran,
seperti kepada madzhab, kepada prinsip organisasi, kepada tradisi, juga fanatik
kepada tokoh tertentu seperti kepada ulama tertentu, kepada tokoh jihad
tertentu, kepada nenek moyang, atau kepada orang yang dianggap mulia, ini dapat
menghalangi seseorang untuk mengikuti dalil dan mengetahui kebenaran. Hal ini
disinggung dalam Al Qur’an:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ
كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?”” (QS. Al Baqarah:
170).
Fanatik buta ini sebagaimana yang terjadi
sekarang ini pada orang-orang sufi dan quburiyun (pengagung kuburan),
ketika mereka disampaikan dalil-dalil yang shahih dan diajak kepada kebenaran,
mereka berhujjah dan berargumen dengan perkataan-perkataan tokoh-tokoh mereka,
syaikh-syaikh mereka, atau nenek moyang mereka.
4. Meniru-niru ciri khas orang kafir
(tasyabbuh)
Sikap meniru-niru ciri khas orang kafir,
baik dari kalangan ahlul jahiliyah, ahlul kitab atau pun para penyembah
berhala juga merupakan penyebab timbulnya banyak kebid’ahan. Bahkan
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengisyaratkan hal ini memiliki
peran yang besar dalam terjadinya kebid’ahan:
خرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ
إلى حُنينٍ ونحن حُدثاءُ عهدٍ بكفرٍ وللمشركين سدرةٌ يعكفون عندَها وينُوطون بها
أسلحتَهم يُقالُ لها ذاتُ أنواطٍ فمررنا بسدرةٍ فقلنا : يا رسولَ اللهِ اجعلْ لنا
ذاتَ أنواطٍ كما لهم ذاتُ أنواطٍ فقال صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ: اللهُ أكبرُ
إنها السننُ قلتم والذي نفسِي بيدِه كما قالت بنو إسرائيلَ لموسَى: اجعلْ لنا
إلهًا كما لهم آلهةٌ؛ لتركَبُنَّ سنَنَ مَن كان قبلَكم
“kami keluar bersama Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam menuju Hunain. ketika itu kami baru lepas dari
kemusyrikan (baru masuk Islam). Dan orang-orang musyrik itu memiliki pohon yang
dijadikan tempat i’tikaf dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon
tersebut dinamai Dzatu Anwath. Kami pun lalu melewati sebuah pohon. Maka kami
berkata: ‘Wahai Rasulullah, jadikan bagi kami Dzatu Anwath sebagaimana orang
musyrik juga punya Dzatu Anwath’. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: ‘Allahu Akbar! Itu adalah bagian dari kebiasaan (jahiliyah). Kalian
telah mengatakan seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Nabi Musa: jadikan
bagi kami sesembahan sebagaimana mereka juga punya sesembahan’. Sungguh kalian
kelak akan mengikuti kebiasaan orang-orang terdahulu” (HR. At Tirmidzi no.2180,
ia berkata: “hasan shahih”)
Dalam hadits ini dinyatakan bahwa sikap
meniru-niru kebiasaan orang kafir dan musyrik membuat sebagian Bani Israil dan
para sahabat Nabi meminta sebuah permintaan yang buruk, yaitu meminta dibuatkan
sesuatu yang bisa untuk diibadahi dan ngalap berkah di sana.
Dan inilah yang terjadi di zaman ini, yaitu
kebanyakan kaum Muslimin meniru-niru kebiasaan orang kafir kemudian diadopsi
dalam kemasan Islam sehingga jadilah amalan-amalan yang bid’ah dan bahkan
sebagiannya menjerumuskan dalam kesyirikan.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan
hidayah kepada kita dan kaum Muslimin secara umum agar senantiasa berjalan di
jalan-Nya yang lurus dan terhindar dari jalan-jalan yang menyimpang.
[Disarikan
dari kitab Al Irsyad ila Shahihil I’tiqad, karya Syaikh Shalih bin Fauzan
Al Fauzan, hal.381-383, cetakan Darus Shahabah]
Penulis: Yulian Purnama
Faktor
Penyebab Munculnya Bid’ah
Kenapa bid’ah bisa muncul dan eksis
ditengah-tengah umat ?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya
bid’ah ditengah-tengah umat. Di antaranya :
1. Anggapan baik (ihtisan).
Faktor anggapan baik ini merupakan penyebab
yang paling banyak dijadikan alasan mengapa mereka (ahli bid’ah) melakukan
amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya.
Kita perhatikan jawaban sekelompok orang yang
membuat halaqoh dzikir yang tidak sesuai tuntutan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, kemudian ditegur oleh Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
Dan mereka menjawab dengan alasan :
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا
أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu
Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”.
Perhatikan ucapan mereka !, alasan mereka
membuat perkara baru dalam urusan agama (bid’ah) alasannya adalah anggapan
”baik” (ihtisan).
Ibnu Mas’ud menjawab perkata’an mereka :
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi).
Padahal menganggap baik bid’ah, sama
artinya telah menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghianati
risalah. Sebagaimana yang dikatakan Imam Malik rahimahullah.
Imam Malik berkata :
من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن
محمدا ﷺ خان الرسالة
“Siapa yang membuat bid’ah dalam agama,
dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik, berarti dia telah menuduh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengkhianati risalah”. (Al I’tishom
1/64-65).
Ahli bid’ah tidak faham, bahwa syarat
diterimanya ibadah selain baik juga harus sesuai tuntunan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam (Ash-Shawab).
2. Berdalil dengan hadits dhaif bahkan
palsu
Tidak sedikit amalan-amalan bid’ah
dibangun diatas hadits-hadits dhaif bahkan palsu.
Berikut ini diantaranya :
– Mengusap tengkuk ketika wudhu
Diantara hadits dhaif yang sering digunakan
مَسَحُ الرَّقَبَةِ أَمَانٌ مِنَ الْغُلِّ
“Mengusap leher adalah pengaman dari
dengki, iri hati, benci”.
Juga hadits yang berbunyi,
مَنْ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عُنُقَهُ لَمْ يُغَلَّ
بِالْأَغْلاَلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang berwudhu dan mengusap lehernya,
ia tidak akan dibelenggu dengan (rantai) belenggu hari kiamat”.
Berkata Imam An-Nawawy : “Tidak ada sama
sekali (hadits) yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalamnya
(yakni dalam masalah mengusap leher/tengkuk)”.
Berkata Ibnul Qayyim : “Tidak ada satu
hadits pun yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang
mengusap leher”. (Zadul Ma’ad 1/195).
Baca Al-Majmu’ 1/488 dan Nailul Authar
1/206-207.
– Berdoa setiap mencuci anggota wudhu
Ada sebagian umat Islam yang membaca do’a
setiap kali membasuh anggota wudhu.
Ketika kumur-kumur membaca do’a,
اللَّهُمَّ اسْقِنِيْ مِنْ حَوْضِ نَبِيَّكَ
كَأْسًا لاَ أَظْمَأُ بَعْدَهُ أَبَدُا
“Ya Allah berilah saya minum dari telaga
Nabi-Mu satu gelas yang saya tidak akan haus selama-lamanya.”
Membasuh wajah membaca do’a,
اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ يَوْمَ تَسْوَدُّ
الْوُجُوْهُ
“Ya Allah, putihkanlah wajahku pada hari
wajah-wajah menjadi hitam.”
Mencuci tangan membaca do’a,
اللَّهُمَّ أَعْطِنِيْ كِتَابِيْ بِيَمِيْنِيْ
وَلاَ تُعْطِنِيْ بِشِمَالِيْ
“Ya Allah, berikanlah kitabku di tangan
kananku dan janganlah engkau berikan di tangan kiriku.”
Begitu pula ketika membasuh kepala,
telinga dan kaki ada do’a-do’a nya yang di baca.
Do’a-do’a tersebut tidak ada tuntunannya
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Imam Besar ulama Syafi’iyah, Imam
An-Nawawy menegaskan, bahwa do’a ini tidak ada asalnya dan tidak pernah
disebutkan oleh orang-orang terdahulu di kalangan Syafi’iyah.
Imam An-Nawawi berkata :
ثم، مع هذا، لا شك أنه يتم تضمين الصلاة في الوضوء
بدعة المضللة التي ينبغي التخلي عنها
”Maka, dengan ini, tidak diragukan bahwa
do’a ini termasuk bid’ah sesat dalam wudhu yang harus ditinggalkan”. (Lihat
Al-Majmu’ 1: 487-489).
3. Salah kaprah memahami nash / ayat
Faktor lainnya adalah salah memahami nash.
Banyak hadits-hadits sohih, namun mengamalkan hadits sohih tersebut dengan
membuat cara-cara atau model-model baru dalam ibadah yang tidak dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga Shalafus Shaalih. Hal ini pun
sebab terbanyak lahirnya bid’ah.
Sebagai contoh diantaranya, tentang
keutama’an malam nishfu sya’ban. Keutama’an malam nishfu sya’ban banyak
diriwayatkan oleh para Sahabat. Sebagaimana diriwayatkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من
شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah Ta’ala menampakkan kepada
hamba-Nya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya,
kecuali orang yang musyrik atau pendengki.”
(Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi
dan satu sama lain saling menguatkan. yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah
Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat kitab As
Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab Shahih Al
Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al Islami).
Hadits ini menunjukkan keutama’an malam
nishfu sya’ban (malam ke 15 di bulan Sya’ban), yakni sa’at itu Allah mengampuni
semua makhluk kecuali yang menyekutukanNya dan para pendengki.
Tentunya sa’at itu waktu yang sangat baik
untuk banyak beristighfar dan ibadah lainnya. Tetapi hadits ini sama sekali
tidak menerangkan cara-cara tertentu dalam bentuk ibadah.
Tidak disebutkan di hadits tersebut
perintah membaca yasin sebanyak tiga kali dengan tujuan tertentu, atau shalat tertentu
dengan fadhilah tertentu, lalu sambil membawa air, juga tidak ada perintahnya
semua amalan itu dilakukan ba’da maghrib sebagaimana yang dilakukan sebagian
umat Islam sa’at ini.
Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah”
juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk
menghidupkan malam nisfu sya’ban. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk
itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu
‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.
Apabila sengaja berkumpul saja di malam
nishfu sya’ban para Ulama memakruhkannya. Bagaimana pula apabila di malam
nishfu sya’ban sengaja membuat perkara-perkara baru dalam agama (bid’ah) ?
Keutama’an malam nishfu sya’ban memang
shahih, tetapi amalan-amalan khusus malam nishfu sya’ban tidak ada tuntunannya.
Jadi apabila ada sebagian orang yang melakukan amalan-amalan tertentu dengan
cara-cara tertentu di malam nisfu sya’ban ini adalah bid’ah.
4. Mengikuti hawa nafsu
Penyebab lainnya yang menjadikan bid’ah
muncul dan semarak ditengah-tengah umat adalah di dorong hawa nafsu.
Mereka beranggapan, Islam akan lebih baik
bisa diterima umat, apabila ada inovasi dan kreasi-kreasi tertentu yang membuat
umat bergairah dalam beragama.
Ketika dikatakan bahwa hal itu tidak
dibenarkan oleh syari’at, tidak ada dasarnya, mereka menolak dengan keras.
Mereka lebih mengikuti perasa’an dan logikanya, dibanding dalil dari Al-Quran
dan As-Sunnah.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
ثلاث مهلكات ، فقال : ثلاث مهلكات : شح مطاع و
هوى متبع و إعجاب المرء بنفسه
“Ada tiga hal yang membinasakan. Lalu
Beliau bersabda: “Tiga hal yang membinasakan adalah syahwat yang dita’ati, hawa
nafsu yang dituruti, dan seorang yang kagum dengan dirinya sendiri . .”. (Lihat
As Silsilah Ash Shahihah No. 1802).
Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzi
‘Ilmin ‘Alim
برك الله فيكم
Agus Santosa Somantri
Jika sahabat nabi boleh buat bid’ah,
mengapa kami tidak?
Jika diteliti hadis-hadis
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan atsar para sahabat radhiallahu
’anhum, akan ditemui sejumlah hadis atau riwayat yang menjelaskan bahawa ada di
kalangan para sahabat Nabi yang melakukan ibadah tertentu di mana ianya
bukanlah suatu yang berasal daripada sunnah baginda shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Walau bagaimanapun baginda shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak melarang ibadah-ibadah tersebut, bahkan mengiktirafnya
sebagai satu amalan yang terpuji dan dianjurkan di sisi ajaran Islam.
Berdasarkan kepada hadis atau riwayat-riwayat tersebut, sebahagian pihak
berhujah bahawa diperbolehkan bagi sesiapa jua untuk mewujudkan amalan baru di
dalam Islam. Ini meskipun amalan-amalan tersebut bukanlah suatu yang berasal
dariapda sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Antara amalan-amalan para sahabat yang
dimaksudkan adalah seperti berikut:
Pertama: Azan.
Pada dasarnya azan yang biasa kita
dengari setiap kali masuknya waktu solat-solat fardu bukanlah berasal daripada
amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi ia sebenarnya
merupakan mimpi salah seorang sahabat baginda yang bernama Abdullah bin Zaid
bin ‘Abd Rabbih radhiallahu ’anhu.
Setelah mendapat mimpi tersebut, sahabat
tadi mencadangkan kepada baginda shallallahu ‘alaihi wasallam agar menjadikan
azan sebagai salah satu kaedah bagi menunjukkan masuknya waktu bagi umat Islam
mengerjakan solat-solat fardu yang diperintahkan ke atas mereka.
Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam –
dengan bimbingan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala- telah menerima baik
cadangan tersebut. Dengan penerimaan ini, maka menjadilah azan salah satu
syi’ar di dalam ajaran Islam sehingga ke saat ini. Kisah ini diriwayatkan oleh
Abu Daud di dalam kitabnya Sunan Abu Daud, hadis no. 420, bersumberkan daripada
Abu ‘Umair bin Anas radhiallahu’anhu.
Kedua: Solat sunat wudhuk.
Disebutkan di dalam sebuah hadis bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bertanya kepada Bilal radhiallahu ’anhu tentang amalan yang dia
lakukan sehingga dengan amalan itu baginda mendengar bunyi terompahnya di dalam
Syurga, maka Bilal radhiallahu ‘anhu menjawab dengan katanya:[1]
مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي
لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ
بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ أَنْ أُصَلِّيَ.
Aku tidak melakukan sesuatu amalan yang
paling aku harapkan, hanya sahaja setiap kali aku bersuci (berwuduk), sama ada
pada waktu malam atau siang hari, aku sering mengerjakan solat setelah
berwuduk.
Sebagaimana yang dimaklumi solat sunat
selepas wuduk, atau lebih tepat dikenali sebagai solat sunat wuduk, bukanlah
berasal daripada amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebaliknya ia
berasal daripada amalan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas iaitu
Bilal bin Rabbah radhiallahu ‘anhu. Meskipun demikian Allah dan Rasul-Nya tidak
mengingkari amalan tersebut.
Ketiga: Bacaan bangkit
daripada rukuk.
Pernah suatu ketika apabila baginda
bangkit daripada rukuk dalam satu solat bersama para sahabat, baginda terdengar
salah seorang daripada mereka membaca: Rabbana lakal hamdu hamdan katsiran
thoyyiban mubarokan fihi.
Sebaik sahaja selesai solat, baginda
bertanya siapakah di kalangan mereka yang membaca doa berkenaan dan sahabat
yang membaca tadi membuat pengakuan. Lalu baginda pun mengkhabarkan kepadanya
bahawa dengan doa berikut, baginda melihat seramai tiga puluh orang malaikat
saling berebutan untuk mencatatnya. Sila rujuk Shahih al-Bukhari, no. 799 bagi
melihat riwayat yang dimaksudkan.
Sebagaimana hadis sebelum ini, hadis ini
juga menjadi bukti kukuh bahawa terdapat di kalangan para sahabat yang
mengamalkan sesuatu ‘perkara baru’ dalam urusan ibadah apa yang tidak diajar
dan disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana pun
baginda tidak mengingkarinya.
Keempat: Solat Tarawih
secara berjemaah.
Selain daripada tiga riwayat sebelum ini,
para pelaku bid’ah juga menjadikan kisah berikut sebagai dalil diperbolehkan
mewujudkan perkara baru di dalam urusan ibadah. Perhatikan riwayat berikut:[2]
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ
أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ
يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ
الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ
وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ
قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ.
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahawa
dia berkata: “Aku keluar bersama ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu pada
malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang solat berkelompok-kelompok
secara terpisah-pisah. Ada yang solat sendiri dan ada seorang yang solat
diikuti oleh makmum yang jumlahnya kurang daripada sepuluh orang. Maka ‘Umar
berkata: “Aku fikir seandainya mereka semuanya solat berjama’ah dengan dipimpin
seorang imam itu lebih baik”. Kemudian ‘Umar memantapkan keinginannya itu lalu
mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab.
Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata
orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar
berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” [3]
Demikian beberapa hadis atau riwayat yang
masyhur dijadikan sebagai dalil oleh para pelaku bid’ah bagi menjustifikasikan
perbuatan mereka mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) di dalam urusan
agama. Walau bagaimanapun hujah ini dilihat sangat lemah dan ia dapat dijawab
semudah berikut:
Bantahan Pertama:
Para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, khususnya para Khulafa’ al-Rasyidin, adalah termasuk
dalam keumuman hadis baginda yang memerintahkan agar kita umat Islam sentiasa
berpegang teguh kepada sunnah-sunnah mereka selain daripada sunnah baginda
shallallahu ’alaihi wasallam. Berikut hadis yang dimaksudkan:[4]
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي
فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.
Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepasku
akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada
sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidin al-Mahdiyyin (mendapat petunjuk).
Berpeganglah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham.
Justeru apa yang dilakukan oleh para
sahabat dalam riwayat-riwayat yang disebutkan sebelum ini tidak boleh dianggap
sebagai bid’ah akan tetapi ia merupakan sunnah di sisi syarak. Lebih-lebih lagi
ia mendapat perkenan dan pengiktirafan secara langsung daripada baginda
shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa sebarang tegahan atau pun larangan.[5]
Seandainya amalan-amalan tersebut adalah
suatu yang bercanggah dengan ajaran Islam, tentulah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam akan segera menegurnya sebagaimana yang dilakukan oleh baginda
dalam beberapa riwayat yang akan dikemukakan sebentar lagi.
Adapun selain mereka, khususnya generasi
yang hidup selepas kewafatan baginda shallallahu ‘alaihi wasallam, tidaklah
termasuk di dalam perbincangan hadis ini. Justeru, apa jua amalan yang wujud
selepas kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun ia
kelihatan baik dan tidak terdapat sebarang dalil khusus yang menjelaskan larangannya,
ia tetap tidak boleh dianggap sebagai sunnah, tetapi adalah bid’ah yang tercela
di sisi agama.
Bantahan Kedua:
Perlu diketahui bahawa tidak semua amalan
‘baru’ dalam urusan ibadah yang diada-adakan oleh para sahabat radhiallahu
‘anhum mendapat pujian dan pengiktirafan daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Terdapat sebahagian daripada
amalan-amalan tersebut yang mendapat teguran dan bantahan yang tegas daripada
baginda shallalahu a’alaihi wasallam. Perhatikan riwayat-riwayat berikut:
Hadis #1:
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahawa tiga
orang sahabat telah datang ke rumah para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bagi bertanyakan tentang ibadah baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah mendapat penjelasan daripada para
isteri baginda shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai sifat ibadahnya,
ketiga-tiga sahabat tadi terfikir bahawa adalah perlu untuk mereka
melipat-gandakan ibadah mereka mengatasi ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Ini kerana – menurut andaian mereka –
jika baginda sebagai insan yang maksum lagi diampuni segala dosa-dosanya yang
telah lalu dan yang akan datang beribadah dengan kadar dan kualiti sebagaimana
yang dijelaskan oleh para isterinya, maka sudah tentulah mereka sebagai manusia
yang tidak maksum perlu melaksanakan ibadah yang jauh lebih banyak daripada
baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bagi tujuan tersebut, ketiga-tiga sahabat
tersebut memasang azam masing-masing di mana salah seorang daripada mereka bercadang
untuk melakukan puasa sepanjang tahun, manakala dua orang yang lain pula
berazam untuk mengerjakan solat sepanjang malam dan hidup membujang seumur
hidup.
Walau bagaimanapun keazaman mereka ini
telah mendapat bantahan yang tegas daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sebagaimana sabdanya:[6]
أَمَا وَاللهِ
إِنيِّ لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ
وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي
فَلَيْسَ مِنِّي.
Ketahuilah! Demi Allah, sesungguhnya aku
adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah di antara kamu
tetapi (kadangkala) aku (juga) berpuasa dan (kadangkala) tidak, aku bersolat
(malam) tetapi aku juga tidur dan aku juga berkahwin dengan wanita-wanita. Sesiapa
yang berpaling daripada sunnahku maka dia bukan dari (umat) aku!
Hadis #2:
Di bawah ini pula akan dinukilkan sebuah
riwayat berkenaan larangan baginda ke atas beberapa orang sahabat yang
memanggilnya dengan gelaran Sayyidina:
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ: قَالَ أَبِي انْطَلَقْتُ
فِي وَفْدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقُلْنَا: أَنْتَ سَيِّدُنَا! فَقَالَ: السَّيِّدُ اللَّهُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى! قُلْنَا: وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا
طَوْلاً. فَقَالَ: قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ
يَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ.
Dari Mutarrrif bin Abdullah radhiallahu
‘anhu berkata bahawa ayahnya pernah bersama satu rombongan daripada Bani Amir
pergi untuk berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mereka
tiba, mereka berkata kepada Rasulullah: ‘Anta Sayyidina’ (Engkau Tuan
kami). (Mendengarkan yang demikian). Rasulullah menjawab: ‘Tuan kamu ialah
Allah Tabaraka wa Ta’ala!” Mereka (Bani Amir) berkata lagi: ‘Engkau adalah yang
paling mulia kemuliaannya, dan yang paling besar kemuliaannya’. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Berkatalah kamu dengan perkataan itu,
akan tetapi janganlah sampai syaitan menjadikan kamu sebagai wakilnya!.’
Hadis #3:
Al-Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu menceritakan bahawa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:[7]
إِذَا أَخَذْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ
لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ
ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ
إِلَّا إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي
أَرْسَلْتَ وَاجْعَلْهُنَّ مِنْ آخِرِ كَلَامِكَ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ
مُتَّ وَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ قَالَ فَرَدَّدْتُهُنَّ لِأَسْتَذْكِرَهُنَّ
فَقُلْتُ آمَنْتُ بِرَسُولِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِنَبِيِّكَ
الَّذِي أَرْسَلْتَ.
Apabila kamu hendak tidur, maka
berwudhulah sebagaimana kamu berwudhu untuk shalat. Setelah itu berbaringlah
dengan miring ke kanan, lalu berdoalah: “Ya Allah ya Tuhanku, aku pasrahkan
wajahku kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu dan aku serahkan punggungku
kepada-Mu dengan berharap-harap cemas kerana tidak ada tempat berlindung dan
tempat yang aman dari adzab-Mu kecuali dengan berlindung kepada-Mu. Aku beriman
kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang
telah Engkau utus.”
Jadikan bacaan tersebut sebagai penutup
ucapanmu menjelang tidur. Apabila kamu meninggal dunia pada malam itu, maka
kamu meninggal dalam kesucian diri (fitrah).” al-Barra’ berkata: “Saya
mengulang-ulangi bacaan tersebut agar (ia dapat saya) hafal dan (ketika) saya
ucapkan: Saya beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus.’ Lalu Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ucapkanlah: Saya beriman kepada
Nabi-Mu yang telah Engkau utus.”
Dalam hadis di atas Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada salah seorang sahabatnya,
al-Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu tentang doa yang perlu dia lafazkan
ketika hendak tidur. Ketika menghafal doa tersebut di hadapan Nabi, al-Barra’
didapati telah mengubah salah satu lafaz daripada doa yang baginda ajarkan
kepadanya. Lafaz tersebut ialah ‘Nabi-Mu’ yang diubah oleh al-Barra’
kepada lafaz ‘Rasul-Mu’. Walaupun pengubahan lafaz ini kelihatan baik, namun
baginda tetap melarangnya berbuat demikian dan memerintahkan agar dia
mengekalkan sahaja lafaz asal sebagaimana yang diajarkan oleh baginda kepadanya.
Hadis #4:
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:[8]
بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوا أَبُو
إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا
يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
Semasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menyampaikan khutbah, baginda melihat seorang lelaki berdiri di bawah cahaya
matahari lalu baginda bertanya tentangnya. Para sahabat berkata: Dia ialah Abu
Israil. Dia bernazar untuk berdiri dan tidak duduk, tidak berteduh, tidak
bercakap dan akan berpuasa. Baginda berkata: “Beritahu kepadanya agar
(hendaklah dia) bercakap, berteduh, duduk dan biarkan dia terus
berpuasa.”
Hadis #5:
Bersumberkan daripada Abul Malih radhiallahu ‘anhu bahawa seorang lelaki telah
berkata:[9]
كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ فَقُلْتُ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَقَالَ لَا
تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى
يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ بِقُوَّتِي وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ
فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ
Aku membonceng di belakang Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketika haiwan tunggangan baginda lambat saat
berjalan aku berkata: “Celakalah Syaitan ini.”Baginda lalu bersabda: Janganah
engkau berkata: “Celakalah Syaitan ini” kerana jika engkau berkata seperti itu
ia (Syaitan) akan semakin besar hingga seperti rumah dan berkata: “Demi
kekuatanku.” Tetapi hendaklah engkau katakan ‘Bismillah” (dengan menyebut nama
Allah). Jika engkau ucapkan itu maka syaitan akan semakin kecil hingga
(menjadi) seperti lalat.
Memadai dikemukakan beberapa hadis
di atas bagi menunjukkan bahawa terdapat sebahagian amalan para sahabat yang
tidak mendapat perkenan baginda untuk diangkat menjadi ibadah yang diiktiraf di
dalam ajaran Islam.
Hakikat bahawa pada sebahagian amalan sahabat ada yang diterima oleh Rasulullah
manakala sebahagian yang lain mendapat tegahan dan larangan daripada baginda
menunjukkan kepada kita bahawa penentuan sama ada diterima atau ditolaknya
sesuatu ibadah itu adalah tertakluk sepenuhnya kepada ketentuan yang datang
daripada Allah melalui lisan Rasul-Nya.
Pasti saja, penentuan ini pula tidak
mungkin boleh berlaku melainkan jika baginda shallallahu ‘alaihi wasallam hadir
dan menyaksikan sesuatu amalan yang disandarkan ke atas ajaran agama
sebagaimana baginda menyaksikan dan menentukan kedudukan amalan para
sahabatnya. Memandangkan Rasulullah sudah wafat dan tidak berkesempatan lagi
untuk menyaksikan sekaligus menentukan kedudukan bid’ah yang diciptakan oleh
sebahagian pihak di zaman ini, maka apakah lagi faedah untuk kita
mengada-adakan bid’ah di dalam urusan agama?
Penjelasan tambahan.
Apa yang menarik untuk diperhatikan adalah, usaha mengingkari amalan-amalan
bid’ah yang bercanggah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak hanya khusus dilakukan oleh baginda ketika masih hayatnya tetapi juga
oleh para sahabat baginda setelah kewafatannya.
Semua ini menjadi bukti betapa kukuhnya
kefahaman para sahabat terhadap pengertian bid’ah yang dicela di sisi agama,
sehingga dengan kefahaman itu mereka mengambil peranan baginda untuk
mengingkari apa jua amalan baru yang bermunculan selepas kewafatannya.
Perhatikan riwayat-riwayat berikut:
Riwayat #1: [10]
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ
ابْنِ عُمَرَ فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلاَ مُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
قَالَ ابْنُ عُمَرَ وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلاَ مُ عَلَى
رَسُولِ اللَّهِ وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا أَنْ نَقُولَ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ.
Daripada Nafi’ beliau meriwayatkan bahawa
pada suatu ketika seorang lelaki telah bersin di sisi Ibnu ‘Umar radhiallahu
‘anhu lalu lelaki tersebut berkata: “Alhamdulillah wassalam ‘ala
Rasulillah.” (Mendengarkan yang demikian) berkatalah Ibnu ‘Umar: “(Adakah) saya
mengucapkan “Alhamdulillah wassalam ‘ala Rasulillah?.” Bukanlah ucapan
seperti ini (yang diajar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kepada kami tetapi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan
kepada kami ucapan ini: “Alhamdulillah ‘ala kulli haal.”
Riwayat #2:
عن سعيد المسيب: أنه رأى رجلا يصلى بعد طلوع
الفجر أكثر من ركعتين، يكثر فيها الر كوع والسجود، فنهاه، فقال: يا ابا محمد!
يعذبني اﷲ على الصاة؟ قال: لا! ولكن يعذبك غلى خلاف السنة.
Daripada Said Ibnu al-Musayyib radhiallahu
‘anhu bahawasanya dia telah melihat seorang lelaki solat setelah terbit fajar
lebih daripada dua rakaat. Lelaki itu memperbanyakkan rukuk dan sujud dalam
solatnya itu. Lalu beliau pun melarang lelaki itu berbuat sedemikian. Maka
lelaki itupun berkata kepadanya: “Wahai Abu Muhammad! Adakah Allah mengazabku
di atas solat yang aku kerjakan ini?.” Beliau menjawab: “Tidak, akan tetapi
Allah mengazabmu kerana perlakuanmu ini menyelisih sunnah (cara Nabi
shalallahu‘alaihi wasallam).”
Riwayat #3:
Daripada ‘Amr bin Salamah radhiallahu ’anhu, dia berkata:
كنا نجلس على باب عبد الله بن مسعود قبل صلاة
الغداة. فإذا خرج مشينا معه إلى المسجد. فجاءنا أبو موس الأشعري فقال: أخرج إليكم
أبو عبد الرحمن. بعد قلنا: لا. فجلس معنا حتى خرج. فلما خرج قمنا إليه جميعا فقال
له أبو موس: ياأبا عبد الرحمن إني رأيت في المسجد آنفا أمرا أنكرته ولم أر والحمد
لله إلا خيراز قال: فماهو. إن عشت فستراه قال رأيت في المسجد قوما حلقا جلوسا
ينتظرون الصلاة في كل حلقة رجل وفي أيديهم حصى فيقول كبروا مائة فيكبرون مائة
فيقول هللوا مائة فيهللون مائة ويقول سبحون مائة فيسبحون مائة. قال: فماذا قلت
لهم؟ قال: ما قلت لهم شيئا انتظار رأيك وانتظار أمرك. قال: أفلا أمرتهم أن يعدوا
سيئاتهم وضمنت لهم أن لا يضيع من حسناتهم؟ ثم مضى ومضينا معه حتى أتى حلقة من تلك
الحلق فوقف عليهم فقال: ما هذا الذي أراكم تصنعون؟ قالوا: ياأبا عبد الرحمن حصى
نعد به التكبير والتهليل والتسبيح. قال: فعدوا سيئاتكم فأنا ضامن أن لا يضيع من
حسناتكم شيء ويحكم يا أمة محمد ما أسرع هلكتكم هؤلاء صحابة نبيكم صلى الله عليه
وسلم متوافرون وهذه ثيابه لم تبل وآنيته لم تكسر والذي نفسي بيده إنكم لعلى ملة هي
أهدى من ملة محمد أو مفتتحو باب ضلالة. قالوا: والله يا يا أبا عبد الرحمن ماأردنا
إلا الخير. قال: وكم من مريد للخير لن يصيبه.
Suatu ketika kami duduk di pintu
‘Abdullah bin Mas’ud sebelum solat Subuh. Apabila dia keluar, kami akan
berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang kepada kami Abu Musa
al-Asy’ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abdul Rahman (‘Abdullah bin Mas’ud)
telah keluar kepada kamu.” Kami jawab: “Tidak.” Maka dia duduk bersama kami
sehingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar.
Apabila dia keluar, kami semua
bangun kepadanya. Lalu Abu Musa al-Asy’ari berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abdul
Rahman[11], aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak
bersetuju, tetapi aku tidak lihat – Alhamdulillah – melainkan ia baik[12].”
Dia (‘Abdullah bin Mas’ud) bertanya: “Apakah ia?.” Kata Abu Musa: “Jika umur
kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu puak, mereka duduk di
dalam lingkungan (bulatan/halaqah) menunggu waktu solat. Bagi setiap lingkungan
ada seorang lelaki (yang bertindak sebagai ketua dalam lingkungan mereka),
sementara di tangan mereka yang lain ada anak-anak batu.
Apabila lelaki (ketua dalam lingkungan)
itu berkata: “Takbir (Allahu Akbar) 100 kali”, maka mereka (yang lain) pun
bertakbir 100 kali. Apabila dia berkata “Tahlil (La ilaha ilallah) 100 kali”,
maka mereka pun bertahlil 100 kali. Apabila dia berkata: “Tasbih
(Subhanallah) 100 kali”, maka mereka pun bertasbih 100 kali.”
Tanya ‘Abdullah bin Mas’ud: “Apa yang
telah engkau katakan kepada mereka?.” Jawabnya (Abu Musa): “Aku tidak kata
kepada mereka apa-apa kerana menanti pandangan dan perintahmu.” Kata ‘Abdullah
bin Mas’ud: “Mengapa engkau tidak menyuruh mereka mengira dosa mereka dan
engkau jaminkan bahawa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun?.”
Lalu dia (‘Abdullah bin Mas’ud) berjalan
dan kami pun berjalan bersamanya. Sehinggalah dia (’Abdullah bin Mas’ud) tiba
kepada salah satu daripada lingkungan berkenaan. Dia (‘Abdullah bin Mas’ud)
berdiri lantas berkata: “Apa yang aku lihat kamu sedang lakukan ini?”
Jawab mereka (yang sedang berzikir dalam halaqah): “Wahai Abu ‘Abdul Rahman[13]! Anak-anak batu yang dengannya kami menghitung Takbir, Tahlil dan Tasbih.”
Jawab mereka (yang sedang berzikir dalam halaqah): “Wahai Abu ‘Abdul Rahman[13]! Anak-anak batu yang dengannya kami menghitung Takbir, Tahlil dan Tasbih.”
Jawabnya (‘Abdullah bin Mas’ud):
“Hitunglah dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit
pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para
sahabat Nabi masih ramai lagi, baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan
dan minuman baginda pun belum lagi pecah. Demi jiwaku yang berada di
tangan-Nya, apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk dari
agama (yang dibawa oleh) Muhammad atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu
kesesatan?.”
Jawab mereka: “Demi Allah wahai Abu ‘Abdul Rahman, kami hanya bertujuan baik.”
Jawabnya (‘Abdullah bin Mas’ud): “Betapa ramai yang bertujuan baik, tetapi
tidak
mendapatinya.”
Nota kaki
[1] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih
al-Bukhari, no. 1149.
[2] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih
al-Bukhari, no.1871.
[3] Mengerjakan solat terawih secara berjemaah
bukanlah perkara yang bid’ah di dalam agama. Ini kerana telah masyhur riwayat
yang menjelaskan bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah
mengerjakan solat terawih bersama-sama dengan para sahabatnya di bulan Ramadan
(Shahih Muslim, no. 761 dan Shahih Sunan al-Nasa’i, no. 1604). Justeru itu
perkataan Amirul Mukminin ‘Umar al-Khaththab radhiallahu ‘anhu dalam riwayat di
atas hendaklah difahami dalam konteks pengertian bahasa (etimologi) dan
bukannya menurut takrifan syarak (terminologi). Wallahua’lam.
[4] Hadis riwayat Abu Daud, no. 4607,
at-Tirmidzi, no. 2676 dan al-Hakim 1/95. Disahihkan oleh al-Hakim dan
disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat komentar Syeikh al-Albani dalam Irwa’
al-Ghalil, no. 2455.
[5] Inilah yang disebutkan oleh para
ulama sebagai sunnah takririyyah, iaitu apa-apa perkataan dan perbuatan para
Sahabat yang tidak dilakukan mahupun dianjurkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi
wasallam akan tetapi baginda tidak melarangnya. Diamnya baginda terhadap
perbuatan tersebut menunjukkan ia adalah suatu yang dibolehkan. Sekiranya
perbuatan tersebut salah di sisi ajaran Islam, pastilah Rasulullah akan segera
menegahnya.
[6] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih
al-Bukhari, no. 5063 dan Muslim dalam Shahih Muslim, no. 1401.
[7] Hadis riwayat Muslim dalam Shahih
Muslim, no. 4884.
[8] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih
al-Bukhari, no. 6210.
[9] Hadis riwayat Abu Daud dalam Sunan
Abu Daud, no. 4330 dan dinilai sahih oleh Syeikh al-Albani. Lihat Shahih Sunan
Abu Daud, no. 4982.
[10] Hadis riwayat at-Tirmidzi dalam
Sunan al-Tirmizi, no. 2662 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, no. 7691.
[11] Iaitu gelaran bagi ‘Abdullah bin
Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
[12] Maksud beliau, perkara tersebut
kelihatan baik walaupun dia tidak menyetujuinya.
[13] Iaitu gelaran bagi ‘Abdullah bin
Mas’ud radhiallahu ’anhu.
by Mohd Hairi Nonchi on Tuesday, May 1, 2012
Oleh: Mohd
Hairi Nonchi (Cikgu Arie)
Definisi
Bid’ah – Prinsip Dasar Islam
(Ustadz Fachrudin Nu’man, Lc.)
Ringkasan Ceramah Agama: Definisi Bid’ah
– Prinsip Dasar Islam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menunjukkan semua cara beribadah dan beragama. Generasi
terdahulu yang mereka beragama diatas pondasi agama yang kuat, mereka selamat.
Bahkan mereka dipuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku,
kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR.
Al-Bukhari & Muslim)
Pada kajian sebelumnya, telah dibahas tiga kesepakatan yang mustahil
kita tidak sepakat. Bahkan jika kita tidak menyepakati hal ini maka kita akan kafir.
Kesepakatan itu adalah:
Islam agama yang sempurna.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menyampaikan seluruh agama ini.
Kaum muslimin wajib mengikuti Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan dalam Al-Qur’an ada 33 ayat
yang memerintahkan untuk mentaati Allah dan RasulNya.
Kaidah-kaidah di atas mematahkan seluruh
pemikiran-pemikiran yang seakan-akan mengatakan agama ini masih kurang. Agama
Islam sangat sederhana dan mudah.
…يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ…
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Untuk meraih kemudahan itu kita harus
tahu ajaran yang benar-benar dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Allah berfirman:
…وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ …
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS.
Al-Hashr [59]: 7)
Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam jika disimpulkan ada tiga macam. Dan salah satunya adalah larangan
berbuat bid’ah.
LARANGAN BERBUAT BID’AH
Dalam shahih muslim, setiap kali
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak memberikan nasihat,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingatkan sahabat dengan
ucapan:
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى
مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan
adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang
diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah,
setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
Kalimat di atas adalah kalimat yang sangat melekat ditelinga sahabat karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingatkan.
Maka sudah sepatutnya sebagai kaum
muslimin, jangan sampai kita merasa asing dengan perkataan tersebut. Bahkan
sebagian dari kaum muslimin melarang untuk mengucapkan “bid’ah”. Padahal Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hendak mengucapkan
nasihat selalu mengucapkan hal tersebut.
Pun beberapa saat sebelum Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah riwayat disebutkan:
عَنِ
الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللّٰـهُ عَنْهُ قَالَ :صَلَّـىٰ بِنَا
رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ، ثُمَّ
أَقْبَلَ عَلَيْنَا ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ؛ ذَرَفَتْ مِنْهَا
الْعُيُوْنُ ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ ، قَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُوْلَ
اللّٰـهِ ! كَـأَنَّ هٰذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ ، فَـمَـاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
؟ فَقَالَ : «أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّٰـهِ ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ
عَبْدٌ حَبَشِيٌّ ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى
اخْتِلاَفًا كَثِـيْرًا ، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ
الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ ، فَإِنَّ كُلَّ
مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Diriwayatkan dari al-‘Irbadh bin
Sariyah radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, “Suatu hari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau
menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang
membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi
takut, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah! Seolah-olah ini adalah
nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada
kami?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku
wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar
dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah.
Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan
melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada
Sunnahku dan Sunnah Khulafar Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah
erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh
kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap
perkara yang baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”
Aqidah
– Pondasi Amal Kita
Dakwah Tauhid adalah dakwah seluruh
rasul. Sehingga sudah selayaknya bagi para dai untuk memulai dakwah dengannya,
mengutamakannya dan terus-menerus memperingatkannya.
Dienul Islam adalah dien yang
sempurna sejak dasar hingga puncaknya. Yaitu sejak pondasi aqidah hingga puncak
amalannya. Tidak ada pertentangan sedikitpun di dalamnya.
Syahadatullah ”Laa Ilaaha
Illallah” memerintahkan kita untuk mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang dijabarkan dalam tiga macam tauhid. Yaitu Tauhid
’Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah dan Tauhid asma’ wa Shifat.
Hal ini menjadi syarat pertama
diterimanya amal, yaitu ikhlas hanya karena Allah ta’ala. Konsekuensinya di
antaranya adalah kita wajib menjauhi syirik yang besar dan yang kecil.
Syahadaturrasul ”Muhammadur
Rasulullah” memerintahkan kita untuk menjadikan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam sebagai satu-satunya yang kita ikuti. Dijabarkan
dalam Tauhid Mutaba’atur Rasul(ittiba’/mengikuti Rasul)
Hal ini menjadi syarat kedua diterimanya
amal, yaitu mengikuti petunjuk yang telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam. Konsekuensinya kita wajib mengingkari bid’ah.
Inilah yang saya maksud dengan kesinambungan
syariat Islam sejak dari dasarnya hingga kepada puncaknya. Seluruh perkara
dalam Islam tidak akan lepas darinya.
Hal ini dapat pula dipandang sebagai
hubungan antara aqidah dengan fiqih. Dimana aqidah adalah
pondasi bagi bangunan fiqih yang ditegakkan di atasnya.
Dengan demikian makin jelaslah bagi kita,
mengapa tiap kita memiliki masalah, maka diperintahkan untuk kembali kepada
Allah dan Rasul-Nya dalam arti merujuk
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman salafush
shalih.
Salafush shalih (pendahulu yang
shalih) adalah tiga generasi pertama Islam yang merupakan generasi terbaik umat
manusia. Yaitu generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in.
Kepada merekalah kita merujuk dan lewat
dakwah mereka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebarkan Islam ke seluruh penjuru
dunia hingga saat ini.
Seluruh permasalahan ini telah saya
kumpulkan dalam e-book yang saya bagi secara gratis. Silahkan mengunduhnya
lewat link di bawah ini atau lewat halaman Gratisan.
TIDAK banyak ahlul agama kita suka atau
sanggup membicarakan bab bid’ah di ceramah terbuka, seperti di masjid
atau surau. Mereka bukan tidak suka bid’ah itu difahami secara jelas termasuk
contoh dan kesannya, tetapi tidak sanggup mengharungi dan melihat
wujudnya perbedaan pendapat yang ada. Membicarakan bid’ah secara jujur,
pastilah disebutkan contoh-contoh yang paling hampir supaya khalayak agama
dapat menerima maklumat yang tuntas dari semua sudut.
Mengapa besarkan hal furu?
Virus bid’ah bukan hal furu atau ranting agama, tapi ancaman terhapusnya
ketulenan agama Allah. Lihat apa sudah jadi ajaran Islam yang dibawa oleh
Nabi Musa dan Nabi Isa? Di tangan ahlul agama yang mendewakan akal serta nafsu,
kedua-dua ajaran nabi Allah itu ditokok tambah hingga syariat asal yang
diajarkan oleh kedua-dua nabi Allah itu jauh daripada yang tulen.
Ambil saja akidah triniti dalam Kristen,
tuhan itu tiga, tiga dalam satu. Manusia pula dikatakan menanggung dosa
Nabi Adam. Semua ini masih satu ajaran agama bertujuan menjadikan manusia
dekat kepada Allah, tetapi itu rekaan bukan akidah dan ibadah yang
diajarkan oleh nabi Isa. Dalam pemahaman umat Islam, rekaan syariat dalam
agama nabi Musa dan nabi Isa disebut bid’ah hasanah. Bid’ah hasanah
adalah rekaan tatacara beragama yang tujuannya untuk lebih khusuk beragama.
Ambillah iktibar terhadap kecurangan
membuat bid’ah hasanah dalam agama nabi Musa dan nabi Isa, untuk umat Islam
menjaga ketulenan agama yang ditunjukkan oleh nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Cuba, kuatkan minda untuk siap
sedia menerima penjelasan dan dialog berkenaan bid’ah dalam agama Allah.
Sungguh jika dikaji dalam-dalam, agama yang disebut sebagai Kristian, Yahudi, Hindu dan Buddha merupakan hasil inovasi atau bid’ah dalam
agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul zaman dahulu.
Sumber:
Ahlus
Sunnah Bergembira Dengan Kematiannya Tokoh Ahli Bid’ah Penyesat Umat
إن المسلم الحق كما يحزن لموت العلماء والدعاة إلى الله
Seorang muslim sejati itu merasa sedih
dengan wafatnya para ulama dan dai.
يفرح بهلاك أهل البدع والضلال، خاصة إن كانوا
رؤوساً ورموزاً ومنظرين،
Demikian pula, muslim sejati merasa
gembira dengan matinya ahli bid’ah dan orang sesat terutama jika dia adalah
tokoh, icon dan aktor intelektual dari sebuah kesesatan.
يفرح لأن بهلاكهم تُكسر أقلامُهم، وتُحسر
أفكارُهم التي يلبِّسون بها على الناس
Muslim sejati merasa gembira karena
dengan meninggalnya mereka, tulisan dan pemikiran sesat orang tersebut yang
menyesatkan banyak orang berhenti.
ولم يكن السلف يقتصرون على التحذير من أمثال هؤلاء
وهم أحياء فقط، فإذا ماتوا ترحموا عليهم وبكوا على فراقهم
Para ulama salaf tidak hanya mengingatkan
bahaya para tokoh kesesatan ketika mereka hidup lalu ketika mereka mati lantas
kita memohonkan rahmat Allah untuk mereka bahkan menangisi kepergian mereka.
بل كانوا يبيِّنون حالهم بعد موتهم، ويُظهرون
الفرح بهلاكهم، ويبشر بعضهم بعضاً بذلك
Teladan para salaf adalah mereka
menjelaskan kesesatan orang tersebut meski orang tersebut sudah mati. Salaf
menampakkan rasa gembira dengan matinya tokoh kesesatan bahkan mereka saling
menyampaikan berita gembira dengan matinya tokoh kesesatan.
ففي صحيح البخاري ومسلم يقول صلى الله عليه وسلم
عن موت أمثال هؤلاء : ((يستريح منه العباد والبلاد والشجر والدواب))
Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai kematian tokoh kesesatan :
“Kematiannya menyebabkan manusia, tanah, pohon dan hewan merasa nyaman”.
فكيف لا يفرح المسلم بموت من آذى وأفسد العباد
والبلاد
Bagaimana mungkin seorang muslim tidak
merasa gembira dengan matinya seorang yang mengganggu dan merusak pemikiran
banyak manusia dan merusak alam semesta.
لذلك لما جاء خبر موت المريسي الضال وبشر بن
الحارث في السوق قال: لولا أنه كان موضع شهرة لكان موضع شكر وسجود، والحمد لله
الذي أماته،..(تاريخ بغداد: 7/66) (لسان الميزان: 2/308)
Oleh karena itu ketika terdengar berita
mengenai matinya Bisyr al Marisi saat Bisyr bin al Harits berada di pasar
beliau berkomentar, “Seandainya berita ini bukanlah berita yang tersebar luas
tentu saja berita ini adalah berita yang perlu direspon dengan kalimat syukur
bahkan sujud syukur. Segala puji milik Allah yang telah mematikannya”. (Tarikh
Baghdad 7/66 dan Lisan al Mizan 2/308).
وقيل للإمام أحمد بن حنبل: الرجل يفرح بما ينزل
بأصحاب ابن أبي دؤاد، عليه في ذلك إثم؟ قال: ومن لا يفرح بهذا؟! (السنة للخلال:
5/121)
Ada seorang yang bertanya kepada Imam
Ahmad, “Apakah berdosa jika seorang itu merasa gembira dengan musibah yang
menimpa para pengikut Ibn Abi Duad [tokoh Mu’tazilah]?” Jawaban Imam Ahmad,
“Siapa yang tidak gembira dengan hal tersebut ?!”. (as Sunnah karya al Khallal
5/121).
وقال سلمة بن شبيب: كنت عند عبد الرزاق -يعني
الصنعاني-، فجاءنا موت عبد المجيد، فقال: (الحمد لله الذي أراح أُمة محمد من عبد
المجيد). (سير أعلام النبلاء: 9/435)
Salamah bin Syubaib mengatakan, “Suatu
hari aku berada di dekat Abdurrazzaq ash Shan’ani lalu kami mendapatkan berita
kematian Abdul Majid”. Abdurrazzaq ash Shan’ani lantas merespons, “Segala puji
milik Allah yang telah membuat nyaman umat Muhammad dari gangguan Abdul Majid”.
(Siyar A’lam an Nubala’ 9/435).
وعبد المجيد هذا هو ابن عبدالعزيز بن أبي رواد،
وكان رأساً في الإرجاء
Abdul Majid yang dimaksudkan dalam hal
ini adalah Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawad yang merupakan tokoh besar
sekte Murjiah.
ولما جاء نعي وهب القرشي – وكان ضالاً مضلاً –
لعبد الرحمن بن مهدي قال: الحمد لله الذي أراح المسلمين منه. (لسان الميزان لابن
حجر: 8/402)
Tatkala Abdurrahman bin Mahdi mendengar
berita kematian Wahb al Qurasyi, salah seorang tokoh kesesatan,beliau berkomentar,
“Segala puji milik Allah yang telah membuat nyaman kaum muslimin dari
gangguannya”. (Lisan al Mizan 8/402).
وقال الحافظ ابن كثير في (البداية والنهاية
12/338) عن أحد رؤوس أهل البدع: (أراح الله المسلمين منه في هذه السنة في ذي الحجة
منها، ودفن بداره، ثم نقل إلى مقابر قريش فلله الحمد والمنة، وحين مات فرح أهل
السنة بموته فرحاً شديداً، وأظهروا الشكر لله، فلا تجد أحداً منهم إلا يحمد الله)
Dalam kitab al Bidayah wan Nihayah 12/338
Ibnu Katsir berkata mengenai salah seorang tokoh ahli bidah, “Allah telah
membuat kaum muslimin nyaman dari gangguannya pada tahun ini tepatnya pada
bulan Dzulhijjah dan dimakamkan di dalam rumahnya lantas dipindah ke pekuburan
Quraisy. Hanya milik Allah segala puji dan anugrah. Di hari kematiannya ahlu
sunnah merasa sangat gembira. Ahli sunnah menampakkan rasa syukur mereka kepada
Allah. Tidaklah anda jumpai seorang pun ahlu sunnah pada hari tersebut
melainkan memuji Allah”.
هكذا كان موقف السلف رحمهم الله عندما يسمعون
بموت رأسٍ من رؤوس أهل البدع والضلال،
Demikianlah sikap salaf saat mendengar
kabar kematian salah seorang tokoh ahli bidah dan tokoh kesesatan.
وقد يحتج بعض الناس بما نقله الحافظ ابن القيم في
(مدارج السالكين: 2/345) عن موقف شيخه شيخ الإسلام ابن تيمية من خصومه حيث قال:
(وجئت يوماً مبشراً له بموت أكبر أعدائه وأشدهم عداوة وأذى له، فنهرني وتنكَّر لي
واسترجع، ثم قام من فوره إلى بيت أهله فعزاهم وقال: إني لكم مكانه …)
Sebagian orang tidak sepakat dengan hal
di atas lalu beralasan dengan pernyataan Ibnul Qayyim di Madarijus Salikin
2/345 menceritakan sikap gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah terhadap
musuhnya. Ibnul Qayyim mengatakan, “Suatu hari aku datang menemui Ibnu
Taimiyyah untuk menyampaikan berita kematian musuh terbesar beliau, seorang
yang paling memusuhi dan suka menyakiti beliau. Beliau membentakku dan
menyalahkan tindakanku. Beliau mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
kemudian segera berdiri menuju rumah keluarga orang tersebut lalu menyampaikan
bela sungkawa dan mengatakan, ‘Aku adalah pengganti perannya’.
ومن تأمل ذلك وجد أنه لا تعارض بين الأمرين فمن
سماحة شيخ الإسلام ابن تيمية أنه لا ينتقم لنفسه ولذلك عندما أتاه تلميذه يبشره
بموت أحد خصومه وأشدهم عداوة وأذى له= نهره وأنكر عليه، فالتلميذ إنما أبدى لشيخه
فرحه بموت خصمٍ من خصومه لا فرحه بموته لكونه أحد رؤوس البدع والضلال.
Siapa saja yang merenungkan dua sikap
ahli sunnah di atas pasti akan berkesimpulan bahwa tidak ada pertentangan di
antara keduanya. Di antara sikap besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah
tidak ingin balas dendam. Oleh karena itu ketika murid beliau menyampaikan
kabar gembira akan matinya salah seorang musuh beliau, seorang yang sangat
keras permusuhan dan gangguannya terhadap beliau, beliau membentaknya dan menyalahkan
tindakannya. Si murid hanya menampakkan di depan gurunya rasa gembira karena
matinya salah satu musuh beliau, bukan gembira karena meninggalnya salah
seorang tokoh ahli bidah dan tokoh kesesatan.
Sumber:
Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla
Hadist: Jika Engkau Tak Malu, Perbuatlah
Sesukamu
Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang Untuk
Menerima Kebenaran. Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai Dan
Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan.
Ketika Ilmu Diangkat Dan Kebodohan Merajalela
Sikap Imam As-Syafi’i Menghadapi Orang Bodoh
Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya Orang
Yang Mengikutinya.Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah
Jangan Terkesima Dengan Banyaknya Pengikut
(Bukan Barometer Kebenaran). Ketenaran Dan Popularitas Adalah Ujian, Hindari
Jika Mampu.
Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
“Al Akhfiya” (Orang-Orang Yang Tidak Suka
Popularitas) Adalah Keanehan ! Banyak Digemari Monasiyun, Retorikayun,
Spandukiyun, Youtubiyun !
Pelaku Bid’ah Lebih Gemar Bicara Dienul Islam
Bil YouTube (Lisan). Manhaj Salaf = Manhaj Ilmu, Ilmiyah dengan dalil Shahih
dan Sharih. Tidak ada yang disembunyikan.
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan.
Dakwah Bil YouTube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia
Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
Ini Dalilnya (10): Terapi Intensif bagi Pelaku
Bid’ah
Pujian Luar Biasa Dari Nabi Kepada Akhlak
(Keimanan) Penduduk Yaman, Namun Pada Abad 3H Dirusak Dengan Berkuasanya Syiah
Ismailiyah (Qaramithah) Dari Kufah Dan Basrah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam :
Penduduk Yaman Umatnya Yang “Paling Pertama” Merasakan Segarnya Air Telaga
Beliau. Siapakah Mereka ? Penduduk Asli Yaman Dan Bukan Aqidah Tanduk Setan,
Syiah Rafidhah, Mu'tazillah, Khawaarij, Thoriqoh-Thoriqoh Ahlul-Bid'ah
Shufiyyah Dan Perusak Aqidah Lainnya Yang Menjamur Di Abad 3 H.
Subhanallah, Terbukti Dua Karakteristik Ucapan
Rasulullah SAW : Keimanan Ada Pada Penduduk Al Haramain, Yaman Dan Syam Serta
Kelak Sumber Malapetaka (Tanduk Setan) Ada Di 'Iraaq (Najd, Kufah, Basrah Dan
Timur Lainnya). Terbukti Benar : Sekte Sesat-Kejam Syiah Ismailiyah,
Qaramithah, Itsna Asyariyah, Al-Jarudiyah, An-Nushairiyah, Mu'tazillah,
Khawaarij, Thoriqoh-thoriqoh Ahlul-Bid'ah Shufiyyah Dan Kerusakan Aqidah
Lainnya Lahir Dari Sini (Timur) !
http://lamurkha.blogspot.com/2018/02/subhanallah-terbukti-dua-karakteristik.html
http://lamurkha.blogspot.com/2018/02/subhanallah-terbukti-dua-karakteristik.html