Thursday, February 14, 2019

Apakah Anda Tidak Takut Berbuat (Bahaya) Bid'ah ? Konsekuensi Ittiba', Wajib Mengingkari Bid’ah. Sebab-Sebab Gemar Melakukan Bid’ah.


Pembahasan ilmiyah terkait Bid’ah sebaiknya  dengan tulisan (bil kitabah), YouTube (lisan) bukan referensi ilmiyah, alat provokasi, bisa diedit dan hilang.
Ittiba hanya satu jalan (al An'am 153), Bid'ah banyak jalan, sesat dan bertolak belakang dengan Ittiba serta merusak Kesinambungan syariat Islam.
Bid’ah, ilmu dasar (pondasi) dienul islam, kalau gagal faham disini selanjutnya makin fatal penyimpangannya.
Pelaku bid'ah cenderung gemar berkata kasar, menyerang individu atau kelompok lain yang menyampaikan hujah yang haq, mereka bukan membantahnya dengan  ilmu syar'i.
●Salah satu sebab melakukan Bid'ah, khawatir Eksistensi (privilege) golongannya (chauvinisme) akan terancam, sarana  (media) popularitas menyelisihi kaidah menyembunyikan amalan, alat penguasaan masa.
Ada hubungannya menjamurnya kebid'ahan dengan semaraknya thoriqoh- thoriqoh (tarekat), aliran-aliran tasawwuf (sufi) pada abad 3H.  jika mencintai sunnah, mereka pasti akan mengingkari thoriqoh-thoriqoh,  tasawwuf (sufi ) atau firqoh-firqoh yang menyimpang , mereka mencukupi amalan dengan Ittba kepada Nabi.  
Bid’ah selalu disertai dengan perpecahan, sebagaimana sunnah yang selalu diikuti dengan persatuan. 
Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang Untuk Menerima Kebenaran. Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai Dan Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan. Ketika Ilmu Diangkat Dan Kebodohan Merajalela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah atau melindungi/membantu pelaku bid’ah, maka baginya laknat Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia”. (HR Bukhary,1870 dan Muslim, 1370).
Sungguh sangat tercela para pelaku bid’ah, karena bid’ah agama Islam ternoda kemurniannya. Seandainya tidak ada para Ulama yang mengingkari bid’ah, maka agama Islam bisa punah sebagaimana agama-agama terdahulu yang di bawa para Rasul.
Apabila bid’ah dapat dibenarkan dalam Islam maka bukan tidak mungkin bila kemudian Islam akan menjadi agama yang sama dengan agama-agama sebelumnya, yang ahli-ahli agamanya menambahkan hal-hal baru dalam agamanya dengan hawa nafsunya sehingga pada akhirnya agama tersebut berubah sama sekali dari yang aslinya”.
Sebagaimana di sebutkan oleh Imam Asy-Syatibi (720-790 H) rahimahullaahu ta’ala yang berkata : “Semua Bukti Dan Dalil Ini Menunjukkan Bahwa Munculnya Perpecahan Dan Permusuhan Adalah Ketika Munculnya Kebid’ahan”. (Al- I’tisham,I/157).
Pelaku Bid’ah cenderung berasyik masyuk dengan Syi’ah dan ladang penyebaran (berkembangnya) Syi’ah.
Nasihat Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin Dan Syaikh Ali Hasan Al Halabi Bagi Pelaku Bid'ah. Hakikat Bid’ah Oleh As-Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki, Habib Umar Bin Hafidz Dan Muti Mesir DR. Ali Jum'ah, DR. M. Quraish Shihab, Buya Yahya, Ust. Abdul Somad LC , Ust. Adi Hidayat, Dan Habib Novel.
Memahami Kaidah-Kaidah Bid’ah Dan Beberapa Perkara Baru. (sangat lengkap, mudah dipahami. In sya Allah)

Apakah Anda Tidak Takut 
Berbuat Bid’ah?

Apakah anda mengira, memperingatkan ummat dari bid’ah itu demi kepentingan sebuah organisasi?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang bahaya bid’ah itu demi kepentingan sebuah partai politik?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang amalan-amalan bid’ah itu demi mendapatkan secuil harta dunia?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang jeleknya bid’ah itu demi mempertahankan tradisi nenek moyang?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang kerugian pelaku bid’ah itu agar dikenal sebagai orang alim yang paling pandai?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat agar meninggalkan bid’ah itu demi membela tokoh Fulan dan Allan
Demi Allah, sama sekali tidak. Bahkan nyatanya para pelaris kebid’ahan lah yang memiliki tendensi-tendensi demikian. Dan sungguh, kita hendaknya enggan dan takut berbuat bid’ah karena takut kepada Allah Ta’ala.
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala menyatakan bahwa ajaran Islam sudah sempurna, tidak butuh penambahan. Membuat amalan-amalan ibadah baru sama saja dengan memberikan ‘catatan kaki’ pada firman Allah Ta’ala:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala melarang kita berselisih ketika Qur’an dan sunnah sudah sangat jelas dalam menjelaskan ajaran agama ini secara sempurna, dari masalah tauhid hingga adab buang air besar, sama sekali tidak perlu penambahan lagi. Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS. Al Imran: 105)
Ash Shabuni berkata: “Maksud ayat ini adalah, janganlah berlaku seperti orang Yahudi dan Nasrani yang mereka berpecah-belah dalam masalah agama karena mengikuti hawa nafsu mereka padahal ayat-ayat yang datang kepada mereka sudah sangat jelas” (Shafwatut Tafasir, 202).
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya dan sunnah Nabi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur: 63)
Ketika Imam Malik ditanya tentang orang yang merasa bahwa ber-ihram sebelum miqat itu lebih bagus, padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah mensyari’atkan bahwa ihram dimulai dari miqat, maka Imam Malik pun berkata: “Ini menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, dan aku khawatir orang itu akan tertimpa fitnah di dunia dan adzab yang pedih sebagaimana dalam ayat.. (beliau menyebutkan ayat di atas)” (Al I’tisham, 174). Menjelaskan perkataan Imam Malik ini, Asy Syathibi berkata: “Fitnah yang dimaksud Imam Malik dalam menafsirkan ayat ini berhubungan dengan kebiasaan dan kaidah ahlul bid’ah, yaitu karena mengedepankan akal, mereka tidak menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah sebagai petunjuk bagi mereka” (Al I’tisham, 174).
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mengikuti tuntunan Rasul-Nya. Allah Ta’ala pun mengancam orang yang menyelisihi tuntunan Rasul-Nya dengan siksaan yang keras. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang datang dari Rasulullah, maka ambilah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (QS. Al Hasyr: 7)
Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang berbuat bid’ah. Tidak anda takut terhadap siksaan Allah yang keras karena melakukan yang dilarang Rasulullah?
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah mengancam neraka bagi hamba-Nya yang mengambil cara beragama bukan dari Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisa: 115)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Maksud ayat ini, barang siapa yang menjalani cara beragama yang bukan berasal dari Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam maka ia telah menempatkan dirinya di suatu irisan (syiqq), sedangkan syariat Islam di irisan yang lain. Itu ia lakukan setelah kebenaran telah jelas baginya” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 2/412)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah mencela orang yang membuat-buat syari’at baru yang dalam agama dan menyebut orang-orang yang mengajarkan syari’at baru, lalu ditaati, sebagai sesembahan selain Allah. Sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)
Ibnu Katsir berkata: “Mereka (orang-orang musyrik) tidak mengikuti apa yang telah disyariatkan Allah melalui agama Allah yang lurus ini. Bahkan mereka mengikuti syariat dari setan-setan yang berupa jin dan manusia. Mereka mengharamkan apa yang diharamkan oleh setan tersebut, yaitu bahiirah, saaibah, washilah dan haam. Mereka menghalalkan bangkai, darah dan judi, dan kesesatan serta kebatilan yang lain. Semua itu dibuat-buat secara bodoh oleh mereka, yaitu berupa penghalalan (yg haram), pengharaman (yang halal), ibadah-ibadah yang batil dan perkatan-perkataan yang rusak” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 7/198)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah telah mencap sesat orang-orang yang ketika tuntunan Islam sudah ada, mereka malah mempunyai pilihan lain. Bisa jadi pilihan lain ini datang dari ustadz-nya, kiai-nya, syaikh-nya, dari akalnya, atau dari yang lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab: 36)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata: “Tidak layak bagi seorang mu’min dan mu’minah, jika Allah sudah menetapkan sesuatu dengan tegas, lalu ia memiliki pilihan yang lain. Yaitu pilihan untuk melakukannya atau tidak, padahal ia sadar secara pasti bahwa Rasulullah itu lebih pantas diikuti dari pada dirinya. Maka hendaknya janganlah menjadikan hawa nafsu sebagai penghalang antara dirinya dengan Allah dan Rasul-Nya” (Taisiir Kariimirrahman, 665)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah mengabarkan ada sebagian hamba-Nya yang berbuat kesesatan namun mereka merasa itu amalan kebaikan. Dan demikianlah bid’ah, tidak ada satupun pelaku bid’ah kecuali ia merasa amalan bid’ahnya itu adalah kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi: 103-104)
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)
Sahabat Nabi, Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu berkata:
كُلَّ بٍدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَة
“Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik” (Shahih, sebagaimana penilaian Al Albani dalam takhrij kitab Ishlaahul Masajid hal 13 milik Syaikh Jamaluddin Al Qashimi)
Tidakkah anda takut amalan-amalan yang anda anggap baik, padahal tidak ada tuntunannya dalam agama, kemudian anda mengamalkannya sampai berpeluh-peluh, ternyata hanya sia-sia belaka di hadapan Allah ? Oleh karena itu saudaraku, takutlah kepada Allah dan jauhi perbuatan bid’ah.
Penulis: Yulian Purnama

Barangsiapa Mengenal As-Sunnah, Niscaya Dia 
Akan Mengenal Bid'ah

Asy-Syaikh al-Albany -rahimahullah- berkata:

اعرف السنة تعرف البدعة، أما إذا عرفت البدعة فلا يمكنك أن تعرف السنة.

"Kenalilah As-Sunnah, niscaya engkau akan mengenali bid'ah, adapun jika engkau hanya mengenal bid'ah, maka tidak mungkin bagimu untuk mengenal As-Sunnah."
Silsilah al-Huda wan Nur no. 715

Faktor Penyebab Munculnya Bid’ah

Mengikuti hawa nafsu.
Yang dimaksud dengan hawa nafsu di sini adalah keinginan hatinya. Kata hawa yang jamaknya adalah ahwa’ berarti “kecintaan seseorang kepada sesuatu” hingga mengalahkan hatinya. Orang-orang yang membuat bid’ah disebut ahlul ahwa’ karena mereka mengikuti hawa nafsu dengan bersandar kepada pendapat mereka sendiri, kemudian menjadikannya sebagai dalil. Mengikuti hawa nafsu ini bisa tampak dalam berbagai macam aspek kehidupan yang akibatnya sangat fatal.
Di antara bentuk mengikuti hawa nafsu ini adalah sbb:
1. Berpaling dari jalan yang lurus, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Kemudian, Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (jalan/peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jaatsiyah: 18).
2. Mengikuti sesuatu yang syubhat dan meninggalkan sesuatu yang sudah pasti, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun ORANG YANG DALAM HATINYA CONDONG KEPADA KESESATAN, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang MUTASYABIHAT untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali-‘Imran: 7).
3. Orang yang mengikuti hawa nafsu akan menjadi buta, tuli dan bisu sehingga tidak dapat melihat kebenaran dan tidak mau mendengar nasihat seperti dalam firman-Nya:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (*Allah membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa dia tidak bisa menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya melalui orang lain) dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jaatsiyah: 23).
4. Orang yang mengikuti hawa nafsu itu munafiq. Ketika di depan orang banyak menampakkan kebaikan dan keshalihan, tetapi ketika tidak ada orang, dia melakukan dan mengatakan apa yang diinginkan hawa nafsunya seperti dalam firman-Nya:
“Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisi-mu mereka berkata kepada orang-orang yang telah diberi ilmu (sahabat-sahabat Nabi): ‘Apakah yang dikatakannya tadi?’ Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (Muhammad: 16).

Mengatakan sesuatu dalam agama yang tidak diketahui secara jelas dan menerima begitu saja setiap perkataan tanpa penyaringan.

Mengatakan sesuatu tanpa ilmu, hukumnya haram, karena perbuatan itu termasuk mengikuti seruan setan, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah, ‘Apakah yang diharamkan Allah itu dua jantan atau dua betina, ataukah yang ada dalam kandungan kedua betina itu, ataukah kamu menyaksikan Allah menetapkan bagimu? Maka Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”(Al-An’aam: 144).
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 168-169).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang berfatwa tanpa ilmu, maka dosanya dibebankan kepada orang yang berfatwa.”
(Diriwayatkan Abu Daud dalam Sunannya, IV, 66, kitab Al-Ilm, hadits no. 3657. Diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, I, kitab Al-Ilm,126, dengan syarat Bukhari-Muslim, disepakati Adz-Dzahabi dalam Talkhis-nya dan banyak lagi yang lainnya).
Maka orang yang tidak tahu harus mengatakan, “Saya tidak tahu.” Atau bertanya kepada orang lain (ulama) yang lebih tahu. Jika ada orang bodoh berlagak berilmu, lalu mengeluarkan fatwa dalam urusan agama, maka dia akan terjerumus ke dalam bid’ah, baik disengaja atau tidak. Seorang ahli bid’ah terjerumus ke dalam bid’ah karena merasa punya ilmu, lalu membuat sesuatu (bid’ah).
Menyebarnya bid’ah itu menjadi sebab dicabutnya ilmu, menyebarnya kebodohan dan meluasnya kegelapan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya langsung dari hamba-hamba-Nya, tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mematikan ulama. Jika tidak ada lagi orang alim, manusia akan menjadikan orang bodoh sebagai pemimpin. Jika ditanya, mereka akan memfatwakan sesuatu tanpa ilmu pengetahuan hingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari).
Kata bodoh di atas tidak hanya terbatas pada orang yang tidak berilmu saja, melainkan juga mencakup orang yang berilmu banyak tetapi melampaui batas dari apa yang diketahuinya, hingga berani memutuskan sesuatu yang tidak diketahuinya, atau tanpa dalil yang jelas dan metode ijtihad yang benar.
Bentuk-bentuk kebodohan itu banyak, yang semuanya menyebabkan kepada bid’ah. Di antaranya adalah karena tidak memahami As-Sunnah.

Tidak memahami As-Sunnah.

Pembahasan ini mencakup dua aspek, yaitu:
1. Tidak bisa membedakan antara hadits-hadits yang dapat diterima dengan hadits-hadits yang tertolak.
Artinya, tidak memahami ilmu musthalah hadits dan tidak bisa membedakan antara hadits-hadits yang shahih dengan hadits-hadits yang dha’if (lemah), maudhu’ (palsu), dan sebagainya. Akibatnya, para pembuat bid’ah bersandar kepada hadits-hadits dha’if dan maudhu’, menjadikannya sebagai sumber syari’at dan hukum dalam perkara-perkara baru, lalu bahkan menganggapnya sebagai sunnah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
 “Barangsiapa yang sengaja mendustakan aku (maksudnya, membuat atau meriwayatkan hadits dha’if atau palsu, yang sebenarnya bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari Rasulullah), maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di api neraka.” (HR. Bukhari – Muslim). Jumhur ulama sepakat menyebut orang yang melakukannya sebagai orang fasik dan seluruh riwayatnya ditolak serta tidak diperbolehkan berhujah dengannya. (Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim, I, 69).
2. Tidak memahami kedudukan As-Sunnah dalam syari’at.
Di antara sikap yang berkembang akibat tidak memahami hal ini, adalah pengingkaran terhadap sunnah yang shahih dan jelas dengan alasan “tidak masuk akal” atau menganggap “bertentangan dengan ayat Al-Qur’an”. Adapun di antara contoh ketidaktahuan terhadap kedudukan As-Sunnah dalam syari’at adalah mendahulukan sesuatu selain As-Sunnah atau mempertentangkannya dengan As-Sunnah. Misalnya, mendahulukan qiyas dan istihsan daripada As-Sunnah, atau mendahulukan pendapat daripada nash. Apabila terjadi perbedaan pendapat, mereka jelas-jelas menolak hukum yang telah ditetapkan melalui As-Sunnah, padahal Al-Qur’an telah menetapkan:
“.. Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An-Nisaa’: 59).
Yang dimaksud kembali kepada Allah, yaitu mengembalikan kepada Al-Qur’an. Sedangkan kembali kepada Rasul, yaitu mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada As-Sunnah. (Lihat Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari, IV/154 no. 9884-9989 dan Tafsir Ibnu Katsir, I/568).
Masih dalam surat yang sama dikatakan:
“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah turunkan dan kepada hukum Rasul’, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (An-Nisaa’: 61)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Saya benar-benar tidak mengetahui mengapa ada salah seorang di antara kalian yang datang perintah dariku, yang aku perintahkan kepadanya, atau yang aku larang mengerjakannya, dia tetap bersandar di atas kursinya (malas untuk pergi menuntut/menambah ilmu) seraya berkata, ‘Kami hanya mengamalkan apa yang kami dapatkan di dalam Kitab Allah, sedangkan yang tidak kami dapatkan di dalamnya tidak kami amalkan’.” (Diriwayatkan Abu Daud dalam Sunan-nya, V, 351. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, IV, 144, dan berkata Hadits Hasan. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, I, 108, dan berkata ini adalah hadits shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim. Disepakati oleh Adz-Dzahabi dalam Talkhis-nya).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

Menempuh cara pengambilan hukum yang tidak sesuai dengan cara yang diakui oleh syari’at (semisal dari mimpi, dll).
Di antara sebab terjadinya bid’ah adalah mengambil sesuatu yang tidak diakui dalam syari’at sebagai jalan untuk menetapkan hukum. Misalnya, bersandar pada mimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengambil hukum darinya, menyebarkannya di antara manusia, atau melaksanakannya tanpa melihat selaras atau tidaknya dengan syari’at. Ini adalah tindakan yang salah karena selain mimpi para nabi, maka tidak dianggap sebagai syari’at, kecuali bila mimpi itu sejalan dengan syari’at. Jika dilihat bahwa mimpi itu sejalan dengan hukum syari’at, maka boleh dilaksanakan, jika tidak maka harus ditinggalkan.
Jika ada yang berkata bahwa mimpi adalah bagian dari kenabian, maka tidak boleh disepelekan; dan bisa jadi yang mengabarkan dalam mimpi itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau telah bersabda, “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku karena setan tidak bisa menyerupaiku.” (HR. Bukhari – Muslim). Oleh karena itu, pemberitahuannya melalui mimpi sama dengan pemberitahuannya dalam keadaan terjaga.
Maka jawaban atas pernyataan tersebut adalah, jika mimpi termasuk bagian dari kenabian, berarti wahyu yang telah sampai kepada kita itu belum sempurna. Padahal, dengan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka wahyu telah terputus, sebab tidak ada lagi nabi sesudahnya.
Selain itu, mimpi banyak macamnya, ada mimpi yang berasal dari setan, ada yang berasal dari bisikan jiwa, dan ada mimpi yang terjadi karena perasaan kalut. Maka kapankah mimpi itu bisa dianggap benar sehingga kita bisa menetapkan hukum dengannya dan kapan dianggap tidak benar sehingga harus ditinggalkan?
Dalam menafsirkan makna hadits “siapa yang melihatku dalam mimpi, berarti dia telah melihatku”, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Makna hadits ini adalah bahwa mimpinya itu benar dan bukan termasuk mimpi biasa atau mimpi karena setan. Akan tetapi, tidak boleh menetapkan hukum syari’at dengannya; karena keadaan tidur tidak sama dengan keadaan terjaga. Apa yang didengar oleh orang yang tidur tidak sama dengan apa yang didengar oleh orang bangun. Jumhur ahli hadits berpendapat bahwa di antara orang yang diterima riwayat dan kesaksiannya adalah orang yang berada dalam keadaan bangun, tidak lalai, tidak lemah hapalannya, tidak banyak salah, dan tidak pelupa. Orang tidur tidak memiliki sifat-sifat ini, maka tidak diterima periwayatannya dikarenakan hilang kesadarannya di waktu tidur.
Adapun jika seseorang bermimpi melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyuruhnya untuk melakukan sesuatu yang disunnahkan atau mencegah apa yang dilarang, atau menasihatinya agar berbuat sesuatu kemaslahatan, maka tidak diragukan lagi bahwa sunnah untuk melakukannya; karena hal itu bukan karena hukum yang ditetapkan berdasarkan mimpi, tetapi karena dalam syari’at memang telah ada ketetapannya. Wallahu A’lam.” (Syarh An-Nawawi’ala Shahih Muslim, I, 115)
Yang perlu diperhatikan adalah tindakan yang telah dilakukan oleh sebagian orang yang bermimpi melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan atau melarangnya melakukan sesuatu, lalu ketika dia bangun, dia langsung menerapkan apa yang diperintahkan atau dilarang dalam mimpinya itu, tanpa melihat lebih jauh dalam Kitabullah, sunah Rasul-Nya, ataupun kaidah para Salaf.
Meskipun mimpi bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar (Dengan syarat, telah mengetahui sebelumnya tentang ciri-ciri fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara terperinci, sebab syaitan tidak dapat menyamar seperti wujud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aslinya. Namun syaitan bisa menyamar menjadi seseorang dalam mimpi, lalu ia berdusta bahwa ia adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini yang harus betul-betul dipahami) dan tidak diragukan, akan tetapi Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dilihatnya dalam mimpi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dimaafkan dosa dari tiga hal…” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya, VI, 100 hadits no. 4398, dari Aisyah; Abu Daud dalam sunannya,IV, 558, hadits no. 4398, dari Aisyah dan At-Tirmidzi dalam sunannya, II, 438, hadits no. 1446, dari Ali, dan ia berkata hadits ini hasan gharib). Salah satunya adalah dari orang yang tertidur hingga ia terbangun (sadar) karena ketika tidur dia bukan termasuk orang yang diberi tanggung jawab, maka tidak ada sesuatu yang harus dikerjakannya dari mimpinya. Ini dari satu sisi.
Adapun dari sisi kedua, ilmu dan riwayat tidak diambil, kecuali dalam keadaan bangun, sadar dan berakal. Sebaliknya, orang tidur tidak diambil riwayatnya..
Dari sisi ketiga, berpegang kepada mimpi saja jelas bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang dengan keduanya kalian tidak akan tersesat jika kalian berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, I, 93; Ibnu Abdul Barr dalam Bayan Al-Ilm wa Fadhlihi, II, 24; dalam kedua riwayat itu tidak disebutkan kalimat “tsaqilain”; Malik dalam Al-Muwaththo, II, 899. Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata bahwa ini adalah hadits shahih, lihat Al-Jami’ Ash-Shaghir, III, 39, hadits no. 2934 dan Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah, IV, 355-361, hadits no. 1761).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa untuk bisa selamat dari kesesatan adalah hanya dengan berpegang teguh pada keduanya, bukan dengan yang lain. Sehubungan dengan itu, barangsiapa yang bersandar kepada mimpinya, berarti telah menambah sumber yang ketiga.
Diceritakan bahwa Syuraik bin Abdullah Al-Qadhi [1] menghadap Al-Mahdi [2]. Ketika melihatnya, Al-Mahdi berkata kepadanya, “Ambilkan pedang dan tikar.” Syuraik berkata, “Mengapa ya Amirul Mukminin?” Al-Mahdi menjawab, “Saya bermimpi seakan-akan kamu berada di tikarku dan kamu menentangku. Setelah itu, aku ceritakan mimpiku itu kepada orang yang ahli menafsirkannya, lalu dia berkata,’Dia menampakkan ketaatan kepadamu dan menyembunyikkan kemaksiatan’.” Syuraik berkata, “Demi Allah, mimpimu tidak seperti mimpi Ibrahim Alaihissalam, dan penafsir mimpimu tidak seperti Yusuf Alaihissalam. Apakah karena mimpi yang bohong itu kamu akan memotong leher orang-orang Mukmin?” Al-Mahdi merasa malu dan berkata, “Keluar dariku.”(Al-I’tisham, I, 261-262)
[1] Seorang yang ahli dalam pengetahuan umum, perkataannya dianggap sebagai kebaikan bagi orang lain, diangkat oleh Khalifah Al-Manshur Al-Abbasi menjadi qadhi di Kufah tahun 153 H, kemudian diturunkan dan dinaikan lagi oleh Al-Mahdi, diturunkan lagi oleh Musa al-Hadi. Lahir di Bukhara tahun 95 H dan wafat tahun 177 H. Lihat biografi lengkapnya di Al-Bidayah wa An-Nihayah, X, 195 dan Tadkirah al-Huffadz, I, 232.
[2] Nama lengkapnya Muhammad bin Abdullah, Amirul Mukminin Al-Mahdi bin Al-Manshur, khalifah ketiga bani Al-Abbas, lahir tahun 127 H. Dia termasuk orang baik, tampan, cinta kepada rakyat dank eras terhadap orang zindiq. Lihat biografinya di Al-Bidayah wa An-Nihayah, X, 174-179).
Demikianlah beberapa di antara sekian banyak faktor-faktor penyebab munculnya bid’ah. Semoga dengan sedikit penjelasan yang telah penulis sampaikan, ada yang bermanfaat untuk kaum muslimin.
(Dikutip dari Al-Bida’ Al-Hauliyah, Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijiry. Bisa juga dilihat dalam edisi Indonesia: Menyoal Rutinitas Perayaan Bid’ah Sepanjang Tahun, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta)
Via Fb Abu Muhammad Herman

Sebab-Sebab Menyebarnya Bid’ah

Tidak diragukan lagi bahwa berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah adalah jalan yang lurus untuk terhindar dari jalan-jalan menyimpang yang berupa bid’ah dan penyimpangan dalam agama. Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al An’am: 153)
Karena jatuhnya seseorang ke dalam bid’ah dan penyimpangan sejatinya karena ia enggan berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah. Inilah sebab pokok dari kebid’ahan. Namun jika kita perinci lagi, ada beberapa sebab yang menjadi faktor utama tersebarnya bid’ah di tengah kaum Muslimin:
1. Jahil (tidak paham) terhadap hukum-hukum agama
Semakin jauh dari masa hidupnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ilmu semakin sedikit dan kejahilan semakin tersebar. Hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
من يعشْ منكم يرَ اختلافًا كثيرًا
“Barangsiapa yang hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak” (HR. At Tirmidzi 2676, ia berkata: “hasan shahih”)
juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إن اللهَ لا يقبضُ العلمَ انتزاعًا ينتزِعُهُ من العبادِ، ولكن يقبضُ العلمَ بقبضِ العلماءِ، حتى إذا لم يُبْقِ عالمًا، اتخذَ الناسُ رُؤوسًا جُهَّالًا، فسُئِلوا، فأفْتَوا بغيرِ علمٍ، فضلوا وأضلوا
“sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan seketika dari para hamba. Namun Allah mencabutnya dengan wafatnya para ulama. Hingga tidak tersisa satu orang alim pun, manusia lalu mengangkat orang jahil sebagai pemimpin. Ia ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Ia sesat dan menyesatkan” (HR. Al Bukhari 100, Muslim 2673).
Karena tidak ada yang bisa meluruskan perbuatan bid’ah kecuali para ulama, yaitu orang-orang yang mengilmui hukum-hukum agama dengan pemahaman yang shahih. Ketika para ulama sedikit jumlahnya atau tidak ada sama sekali maka perbuatan bid’ah merajalela dan menyebar.
2. Mengikuti hawa nafsu
Orang yang enggan untuk mengikuti tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah, maka sebenarnya ia mengikuti hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ
“Maka jika mereka tidak menjawab seruanmu, maka ketahuilah bahwa mereka itu mengikuti hawa nafsu mereka. dan barangsiapa yang lebih sesat dari orang yang mengikuti hawa nafsu meeka tanpa petunjuk dari Allah” (QS. Al Qashash: 50)
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)” (QS. Al Jatsiyah: 23).
Dan kebid’ahan merupakan bentuk mengikuti hawa nafsu.
3. Fanatik buta kepada suatu pemikiran atau kepada tokoh
Sikap fanatik buta terhadap suatu pemikiran, seperti kepada madzhab, kepada prinsip organisasi, kepada tradisi, juga fanatik kepada tokoh tertentu seperti kepada ulama tertentu, kepada tokoh jihad tertentu, kepada nenek moyang, atau kepada orang yang dianggap mulia, ini dapat menghalangi seseorang untuk mengikuti dalil dan mengetahui kebenaran. Hal ini disinggung dalam Al Qur’an:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?”” (QS. Al Baqarah: 170).
Fanatik buta ini sebagaimana yang terjadi sekarang ini pada orang-orang sufi dan quburiyun (pengagung kuburan), ketika mereka disampaikan dalil-dalil yang shahih dan diajak kepada kebenaran, mereka berhujjah dan berargumen dengan perkataan-perkataan tokoh-tokoh mereka, syaikh-syaikh mereka, atau nenek moyang mereka.
4. Meniru-niru ciri khas orang kafir (tasyabbuh)
Sikap meniru-niru ciri khas orang kafir, baik dari kalangan ahlul jahiliyah, ahlul kitab atau pun para penyembah berhala juga merupakan penyebab timbulnya banyak kebid’ahan. Bahkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengisyaratkan hal ini memiliki peran yang besar dalam terjadinya kebid’ahan:
خرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إلى حُنينٍ ونحن حُدثاءُ عهدٍ بكفرٍ وللمشركين سدرةٌ يعكفون عندَها وينُوطون بها أسلحتَهم يُقالُ لها ذاتُ أنواطٍ فمررنا بسدرةٍ فقلنا : يا رسولَ اللهِ اجعلْ لنا ذاتَ أنواطٍ كما لهم ذاتُ أنواطٍ فقال صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ: اللهُ أكبرُ إنها السننُ قلتم والذي نفسِي بيدِه كما قالت بنو إسرائيلَ لموسَى: اجعلْ لنا إلهًا كما لهم آلهةٌ؛ لتركَبُنَّ سنَنَ مَن كان قبلَكم
“kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menuju Hunain. ketika itu kami baru lepas dari kemusyrikan (baru masuk Islam). Dan orang-orang musyrik itu memiliki pohon yang dijadikan tempat i’tikaf dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon tersebut dinamai Dzatu Anwath. Kami pun lalu melewati sebuah pohon. Maka kami berkata: ‘Wahai Rasulullah, jadikan bagi kami Dzatu Anwath sebagaimana orang musyrik juga punya Dzatu Anwath’. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Allahu Akbar! Itu adalah bagian dari kebiasaan (jahiliyah). Kalian telah mengatakan seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Nabi Musa: jadikan bagi kami sesembahan sebagaimana mereka juga punya sesembahan’. Sungguh kalian kelak akan mengikuti kebiasaan orang-orang terdahulu” (HR. At Tirmidzi no.2180, ia berkata: “hasan shahih”)
Dalam hadits ini dinyatakan bahwa sikap meniru-niru kebiasaan orang kafir dan musyrik membuat sebagian Bani Israil dan para sahabat Nabi meminta sebuah permintaan yang buruk, yaitu meminta dibuatkan sesuatu yang bisa untuk diibadahi dan ngalap berkah di sana.
Dan inilah yang terjadi di zaman ini, yaitu kebanyakan kaum Muslimin meniru-niru kebiasaan orang kafir kemudian diadopsi dalam kemasan Islam sehingga jadilah amalan-amalan yang bid’ah dan bahkan sebagiannya menjerumuskan dalam kesyirikan.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayah kepada kita dan kaum Muslimin secara umum agar senantiasa berjalan di jalan-Nya yang lurus dan terhindar dari jalan-jalan yang menyimpang.
[Disarikan dari kitab Al Irsyad ila Shahihil I’tiqad, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hal.381-383, cetakan Darus Shahabah]
Penulis: Yulian Purnama

Faktor Penyebab Munculnya Bid’ah

Kenapa bid’ah bisa muncul dan eksis ditengah-tengah umat ?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya bid’ah ditengah-tengah umat. Di antaranya :
1. Anggapan baik (ihtisan).
Faktor anggapan baik ini merupakan penyebab yang paling banyak dijadikan alasan mengapa mereka (ahli bid’ah) melakukan amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya.
Kita perhatikan jawaban sekelompok orang yang membuat halaqoh dzikir yang tidak sesuai tuntutan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ditegur oleh Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dan mereka menjawab dengan alasan :

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”.
Perhatikan ucapan mereka !, alasan mereka membuat perkara baru dalam urusan agama (bid’ah) alasannya adalah anggapan ”baik” (ihtisan).
Ibnu Mas’ud menjawab perkata’an mereka :
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi).
Padahal menganggap baik bid’ah, sama artinya telah menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghianati risalah. Sebagaimana yang dikatakan Imam Malik rahimahullah.
Imam Malik berkata :
من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا خان الرسالة
“Siapa yang membuat bid’ah dalam agama, dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengkhianati risalah”. (Al I’tishom 1/64-65).
Ahli bid’ah tidak faham, bahwa syarat diterimanya ibadah selain baik juga harus sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (Ash-Shawab).
2. Berdalil dengan hadits dhaif bahkan palsu
Tidak sedikit amalan-amalan bid’ah dibangun diatas hadits-hadits dhaif bahkan palsu.
Berikut ini diantaranya :
– Mengusap tengkuk ketika wudhu
Diantara hadits dhaif yang sering digunakan
مَسَحُ الرَّقَبَةِ أَمَانٌ مِنَ الْغُلِّ
“Mengusap leher adalah pengaman dari dengki, iri hati, benci”.
Juga hadits yang berbunyi,
مَنْ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عُنُقَهُ لَمْ يُغَلَّ بِالْأَغْلاَلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang berwudhu dan mengusap lehernya, ia tidak akan dibelenggu dengan (rantai) belenggu hari kiamat”.
Berkata Imam An-Nawawy : “Tidak ada sama sekali (hadits) yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalamnya (yakni dalam masalah mengusap leher/tengkuk)”.
Berkata Ibnul Qayyim : “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang mengusap leher”. (Zadul Ma’ad 1/195).
Baca Al-Majmu’ 1/488 dan Nailul Authar 1/206-207.
– Berdoa setiap mencuci anggota wudhu
Ada sebagian umat Islam yang membaca do’a setiap kali membasuh anggota wudhu.
Ketika kumur-kumur membaca do’a,
اللَّهُمَّ اسْقِنِيْ مِنْ حَوْضِ نَبِيَّكَ كَأْسًا لاَ أَظْمَأُ بَعْدَهُ أَبَدُا
“Ya Allah berilah saya minum dari telaga Nabi-Mu satu gelas yang saya tidak akan haus selama-lamanya.”
Membasuh wajah membaca do’a,
اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ يَوْمَ تَسْوَدُّ الْوُجُوْهُ
“Ya Allah, putihkanlah wajahku pada hari wajah-wajah menjadi hitam.”
Mencuci tangan membaca do’a,
اللَّهُمَّ أَعْطِنِيْ كِتَابِيْ بِيَمِيْنِيْ وَلاَ تُعْطِنِيْ بِشِمَالِيْ
“Ya Allah, berikanlah kitabku di tangan kananku dan janganlah engkau berikan di tangan kiriku.”
Begitu pula ketika membasuh kepala, telinga dan kaki ada do’a-do’a nya yang di baca.
Do’a-do’a tersebut tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Imam Besar ulama Syafi’iyah, Imam An-Nawawy menegaskan, bahwa do’a ini tidak ada asalnya dan tidak pernah disebutkan oleh orang-orang terdahulu di kalangan Syafi’iyah.
Imam An-Nawawi berkata :
ثم، مع هذا، لا شك أنه يتم تضمين الصلاة في الوضوء بدعة المضللة التي ينبغي التخلي عنها
”Maka, dengan ini, tidak diragukan bahwa do’a ini termasuk bid’ah sesat dalam wudhu yang harus ditinggalkan”. (Lihat Al-Majmu’ 1: 487-489).
3. Salah kaprah memahami nash / ayat
Faktor lainnya adalah salah memahami nash. Banyak hadits-hadits sohih, namun mengamalkan hadits sohih tersebut dengan membuat cara-cara atau model-model baru dalam ibadah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga Shalafus Shaalih. Hal ini pun sebab terbanyak lahirnya bid’ah.
Sebagai contoh diantaranya, tentang keutama’an malam nishfu sya’ban. Keutama’an malam nishfu sya’ban banyak diriwayatkan oleh para Sahabat. Sebagaimana diriwayatkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah Ta’ala menampakkan kepada hamba-Nya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.”
(Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi dan satu sama lain saling menguatkan. yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat kitab As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al Islami).
Hadits ini menunjukkan keutama’an malam nishfu sya’ban (malam ke 15 di bulan Sya’ban), yakni sa’at itu Allah mengampuni semua makhluk kecuali yang menyekutukanNya dan para pendengki.
Tentunya sa’at itu waktu yang sangat baik untuk banyak beristighfar dan ibadah lainnya. Tetapi hadits ini sama sekali tidak menerangkan cara-cara tertentu dalam bentuk ibadah.
Tidak disebutkan di hadits tersebut perintah membaca yasin sebanyak tiga kali dengan tujuan tertentu, atau shalat tertentu dengan fadhilah tertentu, lalu sambil membawa air, juga tidak ada perintahnya semua amalan itu dilakukan ba’da maghrib sebagaimana yang dilakukan sebagian umat Islam sa’at ini.
Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.
Apabila sengaja berkumpul saja di malam nishfu sya’ban para Ulama memakruhkannya. Bagaimana pula apabila di malam nishfu sya’ban sengaja membuat perkara-perkara baru dalam agama (bid’ah) ?
Keutama’an malam nishfu sya’ban memang shahih, tetapi amalan-amalan khusus malam nishfu sya’ban tidak ada tuntunannya. Jadi apabila ada sebagian orang yang melakukan amalan-amalan tertentu dengan cara-cara tertentu di malam nisfu sya’ban ini adalah bid’ah.
4. Mengikuti hawa nafsu
Penyebab lainnya yang menjadikan bid’ah muncul dan semarak ditengah-tengah umat adalah di dorong hawa nafsu.
Mereka beranggapan, Islam akan lebih baik bisa diterima umat, apabila ada inovasi dan kreasi-kreasi tertentu yang membuat umat bergairah dalam beragama.
Ketika dikatakan bahwa hal itu tidak dibenarkan oleh syari’at, tidak ada dasarnya, mereka menolak dengan keras. Mereka lebih mengikuti perasa’an dan logikanya, dibanding dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ثلاث مهلكات ، فقال : ثلاث مهلكات : شح مطاع و هوى متبع و إعجاب المرء بنفسه
“Ada tiga hal yang membinasakan. Lalu Beliau bersabda: “Tiga hal yang membinasakan adalah syahwat yang dita’ati, hawa nafsu yang dituruti, dan seorang yang kagum dengan dirinya sendiri . .”. (Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1802).
Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Alim
برك الله فيكم
Agus Santosa Somantri


Jika sahabat nabi boleh buat bid’ah, mengapa kami tidak?
Jika diteliti hadis-hadis Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan atsar para sahabat radhiallahu ’anhum, akan ditemui sejumlah hadis atau riwayat yang menjelaskan bahawa ada di kalangan para sahabat Nabi yang melakukan ibadah tertentu di mana ianya bukanlah suatu yang berasal daripada sunnah baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.
Walau bagaimanapun baginda shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang ibadah-ibadah tersebut, bahkan  mengiktirafnya sebagai satu amalan yang terpuji dan dianjurkan di sisi ajaran Islam. Berdasarkan kepada hadis atau riwayat-riwayat tersebut, sebahagian pihak berhujah bahawa diperbolehkan bagi sesiapa jua untuk mewujudkan amalan baru di dalam Islam. Ini meskipun amalan-amalan tersebut bukanlah suatu yang berasal dariapda sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Antara amalan-amalan para sahabat yang dimaksudkan adalah seperti berikut:

Pertama: Azan. 

Pada dasarnya azan yang biasa kita dengari setiap kali masuknya waktu solat-solat fardu bukanlah berasal daripada amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi ia sebenarnya merupakan mimpi salah seorang sahabat baginda yang bernama Abdullah bin Zaid bin ‘Abd Rabbih radhiallahu ’anhu.
Setelah mendapat mimpi tersebut, sahabat tadi mencadangkan kepada baginda shallallahu ‘alaihi wasallam agar menjadikan azan sebagai salah satu kaedah bagi menunjukkan masuknya waktu bagi umat Islam mengerjakan solat-solat fardu yang diperintahkan ke atas mereka.
Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan bimbingan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala-  telah menerima baik cadangan tersebut. Dengan penerimaan ini, maka menjadilah azan salah satu syi’ar di dalam ajaran Islam sehingga ke saat ini. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitabnya Sunan Abu Daud, hadis no. 420, bersumberkan daripada Abu ‘Umair bin Anas radhiallahu’anhu.

Kedua: Solat sunat wudhuk.  

Disebutkan di dalam sebuah hadis bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal radhiallahu ’anhu tentang amalan yang dia lakukan sehingga dengan amalan itu baginda mendengar bunyi terompahnya di dalam Syurga, maka Bilal radhiallahu ‘anhu menjawab dengan katanya:[1]
مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ أَنْ أُصَلِّيَ.

Aku tidak melakukan sesuatu amalan yang paling aku harapkan, hanya sahaja setiap kali aku bersuci (berwuduk), sama ada pada waktu malam atau siang hari, aku sering mengerjakan solat setelah berwuduk.
Sebagaimana yang dimaklumi solat sunat selepas wuduk, atau lebih tepat dikenali sebagai solat sunat wuduk, bukanlah berasal daripada amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebaliknya ia berasal daripada amalan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas iaitu Bilal bin Rabbah radhiallahu ‘anhu. Meskipun demikian Allah dan Rasul-Nya tidak mengingkari amalan tersebut.

Ketiga: Bacaan bangkit daripada rukuk.

Pernah suatu ketika apabila baginda bangkit daripada rukuk dalam satu solat bersama para sahabat, baginda terdengar salah seorang daripada mereka membaca: Rabbana lakal hamdu hamdan katsiran thoyyiban mubarokan fihi.
Sebaik sahaja selesai solat, baginda bertanya siapakah di kalangan mereka yang membaca doa berkenaan dan sahabat yang membaca tadi membuat pengakuan. Lalu baginda pun mengkhabarkan kepadanya bahawa dengan doa berikut, baginda melihat seramai tiga puluh orang malaikat saling berebutan untuk mencatatnya. Sila rujuk Shahih al-Bukhari, no. 799 bagi melihat riwayat yang dimaksudkan.
Sebagaimana hadis sebelum ini, hadis ini juga menjadi bukti kukuh bahawa terdapat di kalangan para sahabat yang mengamalkan sesuatu ‘perkara baru’ dalam urusan ibadah apa yang tidak diajar dan disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana pun baginda tidak mengingkarinya.

Keempat: Solat Tarawih secara berjemaah. 

Selain daripada tiga riwayat sebelum ini, para pelaku bid’ah juga menjadikan kisah berikut sebagai dalil diperbolehkan mewujudkan perkara baru di dalam urusan ibadah. Perhatikan riwayat berikut:[2]
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ.
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahawa dia berkata: “Aku keluar bersama ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang solat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah. Ada yang solat sendiri dan ada seorang yang solat diikuti oleh makmum yang jumlahnya kurang daripada sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku fikir seandainya mereka semuanya solat berjama’ah dengan dipimpin seorang imam itu lebih baik”. Kemudian ‘Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” [3]
Demikian beberapa hadis atau riwayat yang masyhur dijadikan sebagai dalil oleh para pelaku bid’ah bagi menjustifikasikan perbuatan mereka mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) di dalam urusan agama. Walau bagaimanapun hujah ini dilihat sangat lemah dan ia dapat dijawab semudah berikut:

Bantahan Pertama:

Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, khususnya para Khulafa’ al-Rasyidin, adalah  termasuk dalam keumuman hadis baginda yang memerintahkan agar kita umat Islam sentiasa berpegang teguh kepada sunnah-sunnah mereka selain daripada sunnah baginda shallallahu ’alaihi wasallam. Berikut hadis yang dimaksudkan:[4]

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.

Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepasku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidin al-Mahdiyyin (mendapat petunjuk). Berpeganglah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham.  
Justeru apa yang dilakukan oleh para sahabat dalam riwayat-riwayat yang disebutkan sebelum ini tidak boleh dianggap sebagai bid’ah akan tetapi ia merupakan sunnah di sisi syarak. Lebih-lebih lagi ia mendapat perkenan dan pengiktirafan secara langsung daripada baginda shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa sebarang tegahan atau pun larangan.[5]
Seandainya amalan-amalan tersebut adalah suatu yang bercanggah dengan ajaran Islam, tentulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan segera menegurnya sebagaimana yang dilakukan oleh baginda dalam beberapa riwayat yang akan dikemukakan sebentar lagi.
Adapun selain mereka, khususnya generasi yang hidup selepas kewafatan baginda shallallahu ‘alaihi wasallam, tidaklah termasuk di dalam perbincangan hadis ini. Justeru, apa jua amalan yang wujud selepas kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun ia kelihatan baik dan tidak terdapat sebarang dalil khusus yang menjelaskan larangannya, ia tetap tidak boleh dianggap sebagai sunnah, tetapi adalah bid’ah yang tercela di sisi agama.

Bantahan Kedua:

Perlu diketahui bahawa tidak semua amalan ‘baru’ dalam urusan ibadah yang diada-adakan oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum mendapat pujian dan pengiktirafan daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Terdapat sebahagian daripada amalan-amalan tersebut yang mendapat teguran dan bantahan yang tegas daripada baginda shallalahu a’alaihi wasallam. Perhatikan riwayat-riwayat berikut:
Hadis #1: 
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahawa tiga orang sahabat telah datang ke rumah para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagi bertanyakan tentang ibadah baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah mendapat penjelasan daripada para isteri baginda shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai sifat ibadahnya, ketiga-tiga sahabat tadi terfikir bahawa adalah perlu untuk mereka melipat-gandakan ibadah mereka mengatasi ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ini kerana – menurut andaian mereka – jika baginda sebagai insan yang maksum lagi diampuni segala dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang beribadah dengan kadar dan kualiti sebagaimana yang dijelaskan oleh para isterinya, maka sudah tentulah mereka sebagai manusia yang tidak maksum perlu melaksanakan ibadah yang jauh lebih banyak daripada baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bagi tujuan tersebut, ketiga-tiga sahabat tersebut memasang azam masing-masing di mana salah seorang daripada mereka bercadang untuk melakukan puasa sepanjang tahun, manakala dua orang yang lain pula berazam untuk mengerjakan solat sepanjang malam dan hidup membujang seumur hidup.
Walau bagaimanapun keazaman mereka ini telah mendapat bantahan yang tegas daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana sabdanya:[6]

أَمَا وَاللهِ إِنيِّ لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.

Ketahuilah! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah di antara kamu tetapi (kadangkala) aku (juga) berpuasa dan (kadangkala) tidak, aku bersolat (malam) tetapi aku juga tidur dan aku juga berkahwin dengan wanita-wanita. Sesiapa yang berpaling daripada sunnahku maka dia bukan dari (umat) aku!
Hadis #2: 
Di bawah ini pula akan dinukilkan sebuah riwayat berkenaan larangan baginda ke atas beberapa orang sahabat yang memanggilnya dengan gelaran Sayyidina:

عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ: قَالَ أَبِي انْطَلَقْتُ فِي وَفْدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا:  أَنْتَ سَيِّدُنَا! فَقَالَ: السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى! قُلْنَا: وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا طَوْلاً.  فَقَالَ: قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ.

Dari Mutarrrif bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata bahawa ayahnya pernah bersama satu rombongan daripada Bani Amir pergi untuk berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mereka tiba, mereka berkata kepada Rasulullah:  ‘Anta Sayyidina’ (Engkau Tuan kami). (Mendengarkan yang demikian). Rasulullah menjawab: ‘Tuan kamu ialah Allah Tabaraka wa Ta’ala!” Mereka (Bani Amir) berkata lagi: ‘Engkau adalah yang paling mulia kemuliaannya, dan yang paling besar kemuliaannya’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Berkatalah kamu dengan perkataan itu, akan tetapi janganlah sampai syaitan menjadikan kamu sebagai wakilnya!.’
Hadis #3:

Al-Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu menceritakan bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:[7]
إِذَا أَخَذْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ وَاجْعَلْهُنَّ مِنْ آخِرِ كَلَامِكَ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ مُتَّ وَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ قَالَ فَرَدَّدْتُهُنَّ لِأَسْتَذْكِرَهُنَّ فَقُلْتُ آمَنْتُ بِرَسُولِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ.

Apabila kamu hendak tidur, maka berwudhulah sebagaimana kamu berwudhu untuk shalat. Setelah itu berbaringlah dengan miring ke kanan, lalu berdoalah: “Ya Allah ya Tuhanku, aku pasrahkan wajahku kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu dan aku serahkan punggungku kepada-Mu dengan berharap-harap cemas kerana tidak ada tempat berlindung dan tempat yang aman dari adzab-Mu kecuali dengan berlindung kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.”
Jadikan bacaan tersebut sebagai penutup ucapanmu menjelang tidur. Apabila kamu meninggal dunia pada malam itu, maka kamu meninggal dalam kesucian diri (fitrah).” al-Barra’ berkata: “Saya mengulang-ulangi bacaan tersebut agar (ia dapat saya) hafal dan (ketika) saya ucapkan: Saya beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus.’ Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ucapkanlah: Saya beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.” 
Dalam hadis di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada salah seorang sahabatnya, al-Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu tentang doa yang perlu dia lafazkan ketika hendak tidur. Ketika menghafal doa tersebut di hadapan Nabi, al-Barra’ didapati telah mengubah salah satu lafaz daripada doa yang baginda ajarkan kepadanya. Lafaz tersebut ialah ‘Nabi-Mu’ yang diubah oleh al-Barra’ kepada lafaz ‘Rasul-Mu’. Walaupun pengubahan lafaz ini kelihatan baik, namun baginda tetap melarangnya berbuat demikian dan memerintahkan agar dia mengekalkan sahaja lafaz asal sebagaimana yang diajarkan oleh baginda kepadanya.
Hadis #4:
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:[8]

بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوا أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ

Semasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan khutbah, baginda melihat seorang lelaki berdiri di bawah cahaya matahari lalu baginda bertanya tentangnya. Para sahabat berkata: Dia ialah Abu Israil. Dia bernazar untuk berdiri dan tidak duduk, tidak berteduh, tidak bercakap dan akan berpuasa.  Baginda berkata: “Beritahu kepadanya agar (hendaklah dia) bercakap, berteduh, duduk dan biarkan dia terus berpuasa.” 
Hadis #5:

Bersumberkan daripada Abul Malih radhiallahu ‘anhu bahawa seorang lelaki telah berkata:[9] 

كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ فَقُلْتُ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَقَالَ لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ بِقُوَّتِي وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ
Aku membonceng di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketika haiwan tunggangan baginda lambat saat berjalan aku berkata: “Celakalah Syaitan ini.”Baginda lalu bersabda: Janganah engkau berkata: “Celakalah Syaitan ini” kerana jika engkau berkata seperti itu ia (Syaitan) akan semakin besar hingga seperti rumah dan berkata: “Demi kekuatanku.” Tetapi hendaklah engkau katakan ‘Bismillah” (dengan menyebut nama Allah). Jika engkau ucapkan itu maka syaitan akan semakin kecil hingga (menjadi) seperti lalat.
Memadai dikemukakan beberapa hadis di atas bagi menunjukkan bahawa terdapat sebahagian amalan para sahabat yang tidak mendapat perkenan baginda untuk diangkat menjadi ibadah yang diiktiraf di dalam ajaran Islam.

Hakikat bahawa pada sebahagian amalan sahabat ada yang diterima oleh Rasulullah manakala sebahagian yang lain mendapat tegahan dan larangan daripada baginda menunjukkan kepada kita bahawa penentuan sama ada diterima atau ditolaknya sesuatu ibadah itu adalah tertakluk sepenuhnya kepada ketentuan yang datang daripada Allah melalui lisan Rasul-Nya.

Pasti saja, penentuan ini pula tidak mungkin boleh berlaku melainkan jika baginda shallallahu ‘alaihi wasallam hadir dan menyaksikan sesuatu amalan yang disandarkan ke atas ajaran agama sebagaimana baginda menyaksikan dan menentukan kedudukan amalan para sahabatnya. Memandangkan Rasulullah sudah wafat dan tidak berkesempatan lagi untuk menyaksikan sekaligus menentukan kedudukan bid’ah yang diciptakan oleh sebahagian pihak di zaman ini, maka apakah lagi faedah untuk kita mengada-adakan bid’ah di dalam urusan agama?
Penjelasan tambahan.

Apa yang menarik untuk diperhatikan adalah, usaha mengingkari amalan-amalan bid’ah yang bercanggah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya khusus dilakukan oleh baginda ketika masih hayatnya tetapi juga oleh para sahabat baginda setelah kewafatannya.

Semua ini menjadi bukti betapa kukuhnya kefahaman para sahabat terhadap pengertian bid’ah yang dicela di sisi agama, sehingga dengan kefahaman itu mereka mengambil peranan baginda untuk mengingkari apa jua amalan baru yang bermunculan selepas kewafatannya. Perhatikan riwayat-riwayat berikut:
Riwayat #1: [10]  

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلاَ مُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلاَ مُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا أَنْ نَقُولَ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ.

Daripada Nafi’ beliau meriwayatkan bahawa pada suatu ketika seorang lelaki telah bersin di sisi Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu lalu lelaki tersebut berkata:  “Alhamdulillah wassalam ‘ala Rasulillah.” (Mendengarkan yang demikian) berkatalah Ibnu ‘Umar: “(Adakah) saya mengucapkan “Alhamdulillah wassalam ‘ala Rasulillah?.”  Bukanlah ucapan seperti ini (yang diajar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  kepada kami tetapi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kami ucapan ini: “Alhamdulillah ‘ala kulli haal.”

Riwayat #2: 
عن سعيد المسيب: أنه رأى رجلا يصلى بعد طلوع الفجر أكثر من ركعتين، يكثر فيها الر كوع والسجود، فنهاه، فقال: يا ابا محمد! يعذبني اﷲ على الصاة؟ قال: لا! ولكن يعذبك غلى خلاف السنة.

Daripada Said Ibnu al-Musayyib radhiallahu ‘anhu bahawasanya dia telah melihat seorang lelaki solat setelah terbit fajar lebih daripada dua rakaat. Lelaki itu memperbanyakkan rukuk dan sujud dalam solatnya itu. Lalu beliau pun melarang lelaki itu berbuat sedemikian. Maka lelaki itupun berkata kepadanya: “Wahai Abu Muhammad! Adakah Allah mengazabku di atas solat yang aku kerjakan ini?.” Beliau menjawab: “Tidak, akan tetapi Allah mengazabmu kerana perlakuanmu ini menyelisih sunnah (cara Nabi shalallahu‘alaihi wasallam).”
Riwayat #3:

Daripada ‘Amr bin Salamah radhiallahu ’anhu, dia berkata:
كنا نجلس على باب عبد الله بن مسعود قبل صلاة الغداة. فإذا خرج مشينا معه إلى المسجد. فجاءنا أبو موس الأشعري فقال: أخرج إليكم أبو عبد الرحمن. بعد قلنا: لا. فجلس معنا حتى خرج. فلما خرج قمنا إليه جميعا فقال له أبو موس: ياأبا عبد الرحمن إني رأيت في المسجد آنفا أمرا أنكرته ولم أر والحمد لله إلا خيراز قال: فماهو. إن عشت فستراه قال رأيت في المسجد قوما حلقا جلوسا ينتظرون الصلاة في كل حلقة رجل وفي أيديهم حصى فيقول كبروا مائة فيكبرون مائة فيقول هللوا مائة فيهللون مائة ويقول سبحون مائة فيسبحون مائة. قال: فماذا قلت لهم؟ قال: ما قلت لهم شيئا انتظار رأيك وانتظار أمرك. قال: أفلا أمرتهم أن يعدوا سيئاتهم وضمنت لهم أن لا يضيع من حسناتهم؟ ثم مضى ومضينا معه حتى أتى حلقة من تلك الحلق فوقف عليهم فقال: ما هذا الذي أراكم تصنعون؟ قالوا: ياأبا عبد الرحمن حصى نعد به التكبير والتهليل والتسبيح. قال: فعدوا سيئاتكم فأنا ضامن أن لا يضيع من حسناتكم شيء ويحكم يا أمة محمد ما أسرع هلكتكم هؤلاء صحابة نبيكم صلى الله عليه وسلم متوافرون وهذه ثيابه لم تبل وآنيته لم تكسر والذي نفسي بيده إنكم لعلى ملة هي أهدى من ملة محمد أو مفتتحو باب ضلالة. قالوا: والله يا يا أبا عبد الرحمن ماأردنا إلا الخير. قال: وكم من مريد للخير لن يصيبه.

Suatu ketika kami duduk di pintu ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum solat Subuh. Apabila dia keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang kepada kami Abu Musa al-Asy’ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abdul Rahman (‘Abdullah bin Mas’ud) telah keluar kepada kamu.” Kami jawab: “Tidak.” Maka dia duduk bersama kami sehingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar. 
 Apabila dia keluar, kami semua bangun kepadanya. Lalu Abu Musa al-Asy’ari berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abdul Rahman[11], aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak bersetuju, tetapi aku tidak lihat – Alhamdulillah – melainkan ia baik[12].”

Dia (‘Abdullah bin Mas’ud) bertanya: “Apakah ia?.” Kata Abu Musa: “Jika umur kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu puak, mereka duduk di dalam lingkungan (bulatan/halaqah) menunggu waktu solat. Bagi setiap lingkungan ada seorang lelaki (yang bertindak sebagai ketua dalam lingkungan mereka), sementara di tangan mereka yang lain ada anak-anak batu. 

Apabila lelaki (ketua dalam lingkungan) itu berkata: “Takbir (Allahu Akbar) 100 kali”, maka mereka (yang lain) pun bertakbir 100 kali. Apabila dia berkata “Tahlil (La ilaha ilallah) 100 kali”, maka mereka pun bertahlil 100 kali. Apabila dia berkata: “Tasbih (Subhanallah) 100 kali”, maka mereka pun bertasbih 100 kali.”
Tanya ‘Abdullah bin Mas’ud: “Apa yang telah engkau katakan kepada mereka?.” Jawabnya (Abu Musa): “Aku tidak kata kepada mereka apa-apa kerana menanti pandangan dan perintahmu.” Kata ‘Abdullah bin Mas’ud: “Mengapa engkau tidak menyuruh mereka mengira dosa mereka dan engkau jaminkan bahawa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun?.”
Lalu dia (‘Abdullah bin Mas’ud) berjalan dan kami pun berjalan bersamanya. Sehinggalah dia (’Abdullah bin Mas’ud) tiba kepada salah satu daripada lingkungan berkenaan. Dia (‘Abdullah bin Mas’ud) berdiri lantas berkata: “Apa yang aku lihat kamu sedang lakukan ini?”
Jawab mereka (yang sedang berzikir dalam halaqah): “Wahai Abu ‘Abdul Rahman[13]! Anak-anak batu yang dengannya kami menghitung Takbir, Tahlil dan Tasbih.” 
Jawabnya (‘Abdullah bin Mas’ud): “Hitunglah dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para sahabat Nabi masih ramai lagi, baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan dan minuman baginda pun belum lagi pecah. Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk dari agama (yang dibawa oleh) Muhammad atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?.”

Jawab mereka: “Demi Allah wahai Abu ‘Abdul Rahman, kami hanya bertujuan baik.” Jawabnya (‘Abdullah bin Mas’ud): “Betapa ramai yang bertujuan baik, tetapi tidak mendapatinya.”                

Nota kaki
[1] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, no. 1149.
[2] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, no.1871.
[3] Mengerjakan solat terawih secara berjemaah bukanlah perkara yang bid’ah di dalam agama. Ini kerana telah masyhur riwayat yang menjelaskan bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengerjakan solat terawih bersama-sama dengan para sahabatnya di bulan Ramadan (Shahih Muslim, no. 761 dan Shahih Sunan al-Nasa’i, no. 1604). Justeru itu perkataan Amirul Mukminin ‘Umar al-Khaththab radhiallahu ‘anhu dalam riwayat di atas hendaklah difahami dalam konteks pengertian bahasa (etimologi) dan bukannya  menurut takrifan syarak (terminologi). Wallahua’lam.
[4] Hadis riwayat Abu Daud, no. 4607, at-Tirmidzi, no. 2676 dan al-Hakim 1/95. Disahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat komentar Syeikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 2455.
[5] Inilah yang disebutkan oleh para ulama sebagai sunnah takririyyah, iaitu apa-apa perkataan dan perbuatan para Sahabat yang tidak dilakukan mahupun dianjurkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam akan tetapi baginda tidak melarangnya. Diamnya baginda terhadap perbuatan tersebut menunjukkan ia adalah suatu yang dibolehkan. Sekiranya perbuatan tersebut salah di sisi ajaran Islam, pastilah Rasulullah akan segera menegahnya.
[6] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, no. 5063 dan Muslim dalam Shahih Muslim, no. 1401.
[7] Hadis riwayat Muslim dalam Shahih Muslim, no. 4884.
[8] Hadis riwayat al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, no. 6210.
[9] Hadis riwayat Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, no. 4330 dan dinilai sahih oleh Syeikh al-Albani. Lihat Shahih Sunan Abu Daud, no. 4982.
[10] Hadis riwayat at-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmizi, no. 2662 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, no. 7691.
[11] Iaitu gelaran bagi ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
[12] Maksud beliau, perkara tersebut kelihatan baik walaupun dia tidak menyetujuinya.
[13] Iaitu gelaran bagi ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ’anhu.
by Mohd Hairi Nonchi on Tuesday, May 1, 2012
Oleh: Mohd Hairi Nonchi (Cikgu Arie)

Definisi Bid’ah – Prinsip Dasar Islam 
(Ustadz Fachrudin Nu’man, Lc.)

Ringkasan Ceramah Agama: Definisi Bid’ah – Prinsip Dasar Islam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan semua cara beribadah dan beragama. Generasi terdahulu yang mereka beragama diatas pondasi agama yang kuat, mereka selamat. Bahkan mereka dipuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Pada kajian sebelumnya, telah dibahas tiga kesepakatan yang mustahil kita tidak sepakat. Bahkan jika kita tidak menyepakati hal ini maka kita akan kafir. Kesepakatan itu adalah:
Islam agama yang sempurna.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan seluruh agama ini.
Kaum muslimin wajib mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan dalam Al-Qur’an ada 33 ayat yang memerintahkan untuk mentaati Allah dan RasulNya.

Kaidah-kaidah di atas mematahkan seluruh pemikiran-pemikiran yang seakan-akan mengatakan agama ini masih kurang. Agama Islam sangat sederhana dan mudah.

…يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ…

“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Untuk meraih kemudahan itu kita harus tahu ajaran yang benar-benar dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:

…وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ …

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hashr [59]: 7)
Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika disimpulkan ada tiga macam. Dan salah satunya adalah larangan berbuat bid’ah.

LARANGAN BERBUAT BID’AH

Dalam shahih muslim, setiap kali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak memberikan nasihat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingatkan sahabat dengan ucapan:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)

Kalimat di atas adalah kalimat yang sangat melekat ditelinga sahabat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingatkan.
Maka sudah sepatutnya sebagai kaum muslimin, jangan sampai kita merasa asing dengan perkataan tersebut. Bahkan sebagian dari kaum muslimin melarang untuk mengucapkan “bid’ah”. Padahal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hendak mengucapkan nasihat selalu mengucapkan hal tersebut.
Pun beberapa saat sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah riwayat disebutkan:

عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللّٰـهُ عَنْهُ قَالَ :صَلَّـىٰ بِنَا رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ؛ ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ ، قَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! كَـأَنَّ هٰذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ ، فَـمَـاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا ؟ فَقَالَ : «أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّٰـهِ ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِـيْرًا ، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Diriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah! Seolah-olah ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafar Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”
Aqidah – Pondasi Amal Kita

Dakwah Tauhid adalah dakwah seluruh rasul. Sehingga sudah selayaknya bagi para dai untuk memulai dakwah dengannya, mengutamakannya dan terus-menerus memperingatkannya.
Dienul Islam adalah dien yang sempurna sejak dasar hingga puncaknya. Yaitu sejak pondasi aqidah hingga puncak amalannya. Tidak ada pertentangan sedikitpun di dalamnya.
Syahadatullah ”Laa Ilaaha Illallah” memerintahkan kita untuk mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dijabarkan dalam tiga macam tauhid. Yaitu Tauhid ’Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah dan Tauhid asma’ wa Shifat.
Hal ini menjadi syarat pertama diterimanya amal, yaitu ikhlas hanya karena Allah ta’ala. Konsekuensinya di antaranya adalah kita wajib menjauhi syirik yang besar dan yang kecil.
Syahadaturrasul ”Muhammadur Rasulullah” memerintahkan kita untuk menjadikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai satu-satunya yang kita ikuti. Dijabarkan dalam Tauhid Mutaba’atur Rasul(ittiba’/mengikuti Rasul)
Hal ini menjadi syarat kedua diterimanya amal, yaitu mengikuti petunjuk yang telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Konsekuensinya kita wajib mengingkari bid’ah.
Inilah yang saya maksud dengan kesinambungan syariat Islam sejak dari dasarnya hingga kepada puncaknya. Seluruh perkara dalam Islam tidak akan lepas darinya.
Hal ini dapat pula dipandang sebagai hubungan antara aqidah dengan fiqih. Dimana aqidah adalah pondasi bagi bangunan fiqih yang ditegakkan di atasnya.
Dengan demikian makin jelaslah bagi kita, mengapa tiap kita memiliki masalah, maka diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dalam arti merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman salafush shalih.
Salafush shalih (pendahulu yang shalih) adalah tiga generasi pertama Islam yang merupakan generasi terbaik umat manusia. Yaitu generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Kepada merekalah kita merujuk dan lewat dakwah mereka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia hingga saat ini.
Seluruh permasalahan ini telah saya kumpulkan dalam e-book yang saya bagi secara gratis. Silahkan mengunduhnya lewat link di bawah ini atau lewat halaman Gratisan.


TIDAK banyak ahlul agama kita suka atau sanggup membicarakan bab bid’ah di ceramah terbuka,  seperti di masjid atau surau. Mereka bukan tidak suka bid’ah itu difahami secara jelas termasuk contoh dan kesannya,  tetapi tidak sanggup mengharungi dan melihat wujudnya perbedaan pendapat yang ada. Membicarakan bid’ah secara jujur, pastilah disebutkan contoh-contoh yang paling hampir supaya khalayak agama dapat menerima maklumat yang tuntas dari semua sudut.
Mengapa besarkan hal furu?

Virus bid’ah bukan hal furu atau ranting agama,  tapi ancaman terhapusnya ketulenan agama Allah.  Lihat apa sudah jadi ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa? Di tangan ahlul agama yang mendewakan akal serta nafsu,  kedua-dua ajaran nabi Allah itu ditokok tambah hingga syariat asal yang diajarkan oleh kedua-dua nabi Allah itu jauh daripada yang tulen.

Ambil saja akidah triniti dalam Kristen, tuhan itu tiga,  tiga dalam satu. Manusia pula dikatakan menanggung dosa Nabi Adam.  Semua ini masih satu ajaran agama bertujuan menjadikan manusia dekat kepada Allah,  tetapi itu rekaan bukan akidah dan ibadah yang diajarkan oleh nabi Isa. Dalam pemahaman umat Islam,  rekaan syariat dalam agama nabi Musa dan nabi Isa disebut bid’ah hasanah.  Bid’ah hasanah adalah rekaan tatacara beragama yang tujuannya untuk lebih khusuk beragama.
Ambillah iktibar terhadap kecurangan membuat bid’ah hasanah dalam agama nabi Musa dan nabi Isa, untuk umat Islam menjaga ketulenan agama yang ditunjukkan oleh nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Cuba,  kuatkan minda untuk siap sedia menerima penjelasan dan dialog berkenaan bid’ah dalam agama Allah. Sungguh jika dikaji dalam-dalam,  agama yang disebut sebagai Kristian, Yahudi,  Hindu dan Buddha merupakan hasil inovasi atau bid’ah dalam agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul zaman dahulu.
Sumber:

Ahlus Sunnah Bergembira Dengan Kematiannya Tokoh Ahli Bid’ah Penyesat Umat

إن المسلم الحق كما يحزن لموت العلماء والدعاة إلى الله
Seorang muslim sejati itu merasa sedih dengan wafatnya para ulama dan dai.

يفرح بهلاك أهل البدع والضلال، خاصة إن كانوا رؤوساً ورموزاً ومنظرين،

Demikian pula, muslim sejati merasa gembira dengan matinya ahli bid’ah dan orang sesat terutama jika dia adalah tokoh, icon dan aktor intelektual dari sebuah kesesatan.

يفرح لأن بهلاكهم تُكسر أقلامُهم، وتُحسر أفكارُهم التي يلبِّسون بها على الناس

Muslim sejati merasa gembira karena dengan meninggalnya mereka, tulisan dan pemikiran sesat orang tersebut yang menyesatkan banyak orang berhenti.

ولم يكن السلف يقتصرون على التحذير من أمثال هؤلاء وهم أحياء فقط، فإذا ماتوا ترحموا عليهم وبكوا على فراقهم

Para ulama salaf tidak hanya mengingatkan bahaya para tokoh kesesatan ketika mereka hidup lalu ketika mereka mati lantas kita memohonkan rahmat Allah untuk mereka bahkan menangisi kepergian mereka.

بل كانوا يبيِّنون حالهم بعد موتهم، ويُظهرون الفرح بهلاكهم، ويبشر بعضهم بعضاً بذلك

Teladan para salaf adalah mereka menjelaskan kesesatan orang tersebut meski orang tersebut sudah mati. Salaf menampakkan rasa gembira dengan matinya tokoh kesesatan bahkan mereka saling menyampaikan berita gembira dengan matinya tokoh kesesatan.

ففي صحيح البخاري ومسلم يقول صلى الله عليه وسلم عن موت أمثال هؤلاء : ((يستريح منه العباد والبلاد والشجر والدواب))

Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai kematian tokoh kesesatan : “Kematiannya menyebabkan manusia, tanah, pohon dan hewan merasa nyaman”.

فكيف لا يفرح المسلم بموت من آذى وأفسد العباد والبلاد

Bagaimana mungkin seorang muslim tidak merasa gembira dengan matinya seorang yang mengganggu dan merusak pemikiran banyak manusia dan merusak alam semesta.

لذلك لما جاء خبر موت المريسي الضال وبشر بن الحارث في السوق قال: لولا أنه كان موضع شهرة لكان موضع شكر وسجود، والحمد لله الذي أماته،..(تاريخ بغداد: 7/66) (لسان الميزان: 2/308)

Oleh karena itu ketika terdengar berita mengenai matinya Bisyr al Marisi saat Bisyr bin al Harits berada di pasar beliau berkomentar, “Seandainya berita ini bukanlah berita yang tersebar luas tentu saja berita ini adalah berita yang perlu direspon dengan kalimat syukur bahkan sujud syukur. Segala puji milik Allah yang telah mematikannya”. (Tarikh Baghdad 7/66 dan Lisan al Mizan 2/308).

وقيل للإمام أحمد بن حنبل: الرجل يفرح بما ينزل بأصحاب ابن أبي دؤاد، عليه في ذلك إثم؟ قال: ومن لا يفرح بهذا؟! (السنة للخلال: 5/121)

Ada seorang yang bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah berdosa jika seorang itu merasa gembira dengan musibah yang menimpa para pengikut Ibn Abi Duad [tokoh Mu’tazilah]?” Jawaban Imam Ahmad, “Siapa yang tidak gembira dengan hal tersebut ?!”. (as Sunnah karya al Khallal 5/121).

وقال سلمة بن شبيب: كنت عند عبد الرزاق -يعني الصنعاني-، فجاءنا موت عبد المجيد، فقال: (الحمد لله الذي أراح أُمة محمد من عبد المجيد). (سير أعلام النبلاء: 9/435)

Salamah bin Syubaib mengatakan, “Suatu hari aku berada di dekat Abdurrazzaq ash Shan’ani lalu kami mendapatkan berita kematian Abdul Majid”. Abdurrazzaq ash Shan’ani lantas merespons, “Segala puji milik Allah yang telah membuat nyaman umat Muhammad dari gangguan Abdul Majid”. (Siyar A’lam an Nubala’ 9/435).

وعبد المجيد هذا هو ابن عبدالعزيز بن أبي رواد، وكان رأساً في الإرجاء

Abdul Majid yang dimaksudkan dalam hal ini adalah Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawad yang merupakan tokoh besar sekte Murjiah.

ولما جاء نعي وهب القرشي – وكان ضالاً مضلاً – لعبد الرحمن بن مهدي قال: الحمد لله الذي أراح المسلمين منه. (لسان الميزان لابن حجر: 8/402)

Tatkala Abdurrahman bin Mahdi mendengar berita kematian Wahb al Qurasyi, salah seorang tokoh kesesatan,beliau berkomentar, “Segala puji milik Allah yang telah membuat nyaman kaum muslimin dari gangguannya”. (Lisan al Mizan 8/402).

وقال الحافظ ابن كثير في (البداية والنهاية 12/338) عن أحد رؤوس أهل البدع: (أراح الله المسلمين منه في هذه السنة في ذي الحجة منها، ودفن بداره، ثم نقل إلى مقابر قريش فلله الحمد والمنة، وحين مات فرح أهل السنة بموته فرحاً شديداً، وأظهروا الشكر لله، فلا تجد أحداً منهم إلا يحمد الله)

Dalam kitab al Bidayah wan Nihayah 12/338 Ibnu Katsir berkata mengenai salah seorang tokoh ahli bidah, “Allah telah membuat kaum muslimin nyaman dari gangguannya pada tahun ini tepatnya pada bulan Dzulhijjah dan dimakamkan di dalam rumahnya lantas dipindah ke pekuburan Quraisy. Hanya milik Allah segala puji dan anugrah. Di hari kematiannya ahlu sunnah merasa sangat gembira. Ahli sunnah menampakkan rasa syukur mereka kepada Allah. Tidaklah anda jumpai seorang pun ahlu sunnah pada hari tersebut melainkan memuji Allah”.

هكذا كان موقف السلف رحمهم الله عندما يسمعون بموت رأسٍ من رؤوس أهل البدع والضلال،

Demikianlah sikap salaf saat mendengar kabar kematian salah seorang tokoh ahli bidah dan tokoh kesesatan.

وقد يحتج بعض الناس بما نقله الحافظ ابن القيم في (مدارج السالكين: 2/345) عن موقف شيخه شيخ الإسلام ابن تيمية من خصومه حيث قال: (وجئت يوماً مبشراً له بموت أكبر أعدائه وأشدهم عداوة وأذى له، فنهرني وتنكَّر لي واسترجع، ثم قام من فوره إلى بيت أهله فعزاهم وقال: إني لكم مكانه …)

Sebagian orang tidak sepakat dengan hal di atas lalu beralasan dengan pernyataan Ibnul Qayyim di Madarijus Salikin 2/345 menceritakan sikap gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah terhadap musuhnya. Ibnul Qayyim mengatakan, “Suatu hari aku datang menemui Ibnu Taimiyyah untuk menyampaikan berita kematian musuh terbesar beliau, seorang yang paling memusuhi dan suka menyakiti beliau. Beliau membentakku dan menyalahkan tindakanku. Beliau mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un kemudian segera berdiri menuju rumah keluarga orang tersebut lalu menyampaikan bela sungkawa dan mengatakan, ‘Aku adalah pengganti perannya’.

ومن تأمل ذلك وجد أنه لا تعارض بين الأمرين فمن سماحة شيخ الإسلام ابن تيمية أنه لا ينتقم لنفسه ولذلك عندما أتاه تلميذه يبشره بموت أحد خصومه وأشدهم عداوة وأذى له= نهره وأنكر عليه، فالتلميذ إنما أبدى لشيخه فرحه بموت خصمٍ من خصومه لا فرحه بموته لكونه أحد رؤوس البدع والضلال.

Siapa saja yang merenungkan dua sikap ahli sunnah di atas pasti akan berkesimpulan bahwa tidak ada pertentangan di antara keduanya. Di antara sikap besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah tidak ingin balas dendam. Oleh karena itu ketika murid beliau menyampaikan kabar gembira akan matinya salah seorang musuh beliau, seorang yang sangat keras permusuhan dan gangguannya terhadap beliau, beliau membentaknya dan menyalahkan tindakannya. Si murid hanya menampakkan di depan gurunya rasa gembira karena matinya salah satu musuh beliau, bukan gembira karena meninggalnya salah seorang tokoh ahli bidah dan tokoh kesesatan.

Sumber:





Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla
Hadist: Jika Engkau Tak Malu, Perbuatlah Sesukamu
Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang Untuk Menerima Kebenaran. Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai Dan Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan.
Ketika Ilmu Diangkat Dan Kebodohan Merajalela
Sikap Imam As-Syafi’i Menghadapi Orang Bodoh
Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya Orang Yang Mengikutinya.Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah
Jangan Terkesima Dengan Banyaknya Pengikut (Bukan Barometer Kebenaran). Ketenaran Dan Popularitas Adalah Ujian, Hindari Jika Mampu.
Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
“Al Akhfiya” (Orang-Orang Yang Tidak Suka Popularitas) Adalah Keanehan ! Banyak Digemari Monasiyun, Retorikayun, Spandukiyun, Youtubiyun !
Pelaku Bid’ah Lebih Gemar Bicara Dienul Islam Bil YouTube (Lisan). Manhaj Salaf = Manhaj Ilmu, Ilmiyah dengan dalil Shahih dan Sharih. Tidak ada yang disembunyikan.
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan. Dakwah Bil YouTube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
Ini Dalilnya (10): Terapi Intensif bagi Pelaku Bid’ah
Pujian Luar Biasa Dari Nabi Kepada Akhlak (Keimanan) Penduduk Yaman, Namun Pada Abad 3H Dirusak Dengan Berkuasanya Syiah Ismailiyah (Qaramithah) Dari Kufah Dan Basrah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam : Penduduk Yaman Umatnya Yang “Paling Pertama” Merasakan Segarnya Air Telaga Beliau. Siapakah Mereka ? Penduduk Asli Yaman Dan Bukan Aqidah Tanduk Setan, Syiah Rafidhah, Mu'tazillah, Khawaarij, Thoriqoh-Thoriqoh Ahlul-Bid'ah Shufiyyah Dan Perusak Aqidah Lainnya Yang Menjamur Di Abad 3 H.
Subhanallah, Terbukti Dua Karakteristik Ucapan Rasulullah SAW : Keimanan Ada Pada Penduduk Al Haramain, Yaman Dan Syam Serta Kelak Sumber Malapetaka (Tanduk Setan) Ada Di 'Iraaq (Najd, Kufah, Basrah Dan Timur Lainnya). Terbukti Benar : Sekte Sesat-Kejam Syiah Ismailiyah, Qaramithah, Itsna Asyariyah, Al-Jarudiyah, An-Nushairiyah, Mu'tazillah, Khawaarij, Thoriqoh-thoriqoh Ahlul-Bid'ah Shufiyyah Dan Kerusakan Aqidah Lainnya Lahir Dari Sini (Timur) !
http://lamurkha.blogspot.com/2018/02/subhanallah-terbukti-dua-karakteristik.html