Friday, February 1, 2019

Nasihat Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-'Utsaimin Dan Syaikh Ali Hasan Al Halabi Bagi Pelaku Bid'ah. Hakikat Bid’ah Oleh As-Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki, Habib Umar Bin Hafidz, Mufti Mesir DR. Ali Jum'ah, DR. M. Quraish Shihab, Buya Yahya, Ust. Abdul Somad LC , Ust. Adi Hidayat, Habib Novel, Habib Rizieq Sihab Dan Abdullah Hadromi.


Tidak Ada Bid'ah Hasanah - Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Kaidah Penyebutan Pelaku & Penyeru Bid'ah sebagai Mubtadi' - Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
https://youtu.be/IhmYMJqBIWI


 Syaikh Ali Hasan Al Halabi - Tercelanya Bid'ah
https://youtu.be/tFdXqiCtka4


(1). As-Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki - Hakikat Bid'ah
(2). Penjelasan luarBiasa Tentang Bid'ah - Habib Umar Bin Hafidz
https://youtu.be/wA0vDg4lYhM
(lihat 797 Comments)

(3). Kenali Bid'ah – Fatwa Muti Mesir DR. Ali Jum'ah
(Sanggahan lihat Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah DR. Firanda Andirja)

(4). Bid’ah Menurut M. Quraish Shihab 
(artikel paling bawah)

(5). Definisi Bid'ah - Buya Yahya
(lihat bantahan menarik di 183 Comments) 


(6). 7 Dalil Bidah (Bid'ah Hal Baru) Ust. Abdul Somad LC
(lihat 74 Comments)


 (7). Kekesalan Ustadz Adi Hidayat dengan 'Logika' Untuk Menyimpulkan Hukum Bid'ah
(lihat 202 Comments)

(8). Apa itu Bid'ah dan Apakah Semua Bid'ah Itu Sesat ?? - Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus
(9). Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan menjelaskan bid'ah
https://youtu.be/ITSoKnRVBCI 

(10). Habib Rizieq Sihab Angkat Bicara Masalah Bid'ah
(11). Apa Itu Bid'ah?--Ustadz Abdullah Hadrami (baca 113 Comments)?????
https://youtu.be/NM5j6v8SVzw 

Sanggahan Pendapat diatas (1,2,3,4,5,6,7,8,9.10.11) lihat 
Artikel dibawah
(A). Sahabat Melakukan Bid’ah Pada Masa Rasulullah ??

(B). Memahami Kaidah-Kaidah Bid’ah Dan Beberapa Perkara Baru. (sangat lengkap, mudah dipahami. In sya Allah)

(C). Beberapa Artikel Ilmiyah, dengan Dalil Shahih 
dan Sharih.
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah- Syubhat Pertama (lihat Comments) 
Syubhat Kedua : Sabda Nabi “Seluruh Bid’ah Sesat, Adalah Lafal Umum Tapi Terkhususkan” (lihat Comments)
https://firanda.com/571-syubhat-kedua-sabda-nabi-seluruh-bid-ah-sesat-adalah-lafal-umum-tapi-terkhususkan.html
Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat Ketiga
https://firanda.com/576-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-ketiga.html
Syubhat Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat Keempat
https://firanda.com/581-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keempat.html
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat Kelima (lihat Comments)
https://firanda.com/589-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-kelima.html
Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah – Syubhat Keenam
https://firanda.com/629-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keenam.html
Semua Bid’ah Adalah Kesesatan (lihat Comments)
https://firanda.com/200-semua-bidah-adalah-kesesatan.html
Ulama Syafi’iyah Mengingkari Bid’ah (lihat Comments)
https://firanda.com/613-ulama-syafi-iyah-mengingkari-bid-ah.html
Ustadz Farhan Abu Furaihan [Membantah Syubhat - Sahabat melakukan, sedangkan Nabi tidak Melakukannya (lihat 738 Comments)
Meluruskan Syubhat Ahlul Bid'ah yang Berhujjah Pada Kisah Sahabat I Ust Sofyan Chalid Ruray
Ini Dalilnya (1): Manakah Bid’ah dan Manakah Sunnah?
Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai Rujukan
Ini Dalilnya (3): Tidak Semua yang Baru Berarti Bid’ah
Ini Dalilnya (4): Adakah Bid’ah Hasanah?
Ini Dalilnya (5): Makna Setiap Bid’ah adalah Sesat
Ini Dalilnya (6): Benarkah Pembagian Bid’ah Menjadi Lima?
Ini Dalilnya (7): Beda Bid’ah dan Mashalih Mursalah
Ini Dalilnya (8): Pembagian Bid’ah yang Tepat
Ini Dalilnya (9): Meluruskan Pemahaman Tentang Bid’ah
Ini Dalilnya (10): Terapi Intensif bagi Pelaku Bid’ah
Ini Dalilnya (11): Benarkah Rasulullah Tidak Khawatir Umatnya Berbuat Syirik?
Definisi Bid’ah ('Abdullah bin 'Abdul 'Aziz at-Tuwaijiri)

(D). Apakah Anda Tidak Takut Berbuat (Bahaya) Bid'ah ? Konsekuensi Ittiba, Wajib Mengingkari Bid’ah. Sebab-Sebab Gemar Melakukan Bid’ah.

Pelaku Bid’ah Lebih Gemar Bicara Dienul Islam Bil YouTube (Lisan). Manhaj Salaf = Manhaj Ilmu, Ilmiyah dengan dalil Shahih dan Sharih. Tidak ada yang disembunyikan.
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan. Dakwah Bil YouTube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.

Jawaban Bagi Orang Yang Menganggap Bid'ah Sebagai Perbuatan Baik Seperti Merayakan Maulid Nabi

Pertanyaan
Mohon diperhatikan masalahi ini. Terjadi perdebatan antara mereka yang mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi merupakan bid'ah dengan mereka yang mengatakan bahwa perkara tersebut adalah bid'ah. Mereka yang mengatakan bahwa merayakan maulid nabi adalah bid'ah, beralasan bahwa hal tersebut tidak terlaksana pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dilakukan pada masa shahabat atau salah seorang tabi'in. Sedangkan kelompok lain menjawab dengan berkata, 'Siapa bilang bahwa semua yang kita lakukan sekarang harus terdapat pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau pada masa shahabat dan tabi'in. Misalnya, sekarang kita mengenal apa yang dikenal 'Ilmu Ar-Rijal' dan ' Al-Jarh wa Ta'dil (ilmu untuk mengenal kapasitas seorang perawi dalam ilmu hadits) dan lainnya. Tidak ada seorang pun yang mengingkari hal tersebut. Oleh karena itu, prinsip dalam pengingkaran masalah ini adalah apabila perkara bid'ah tersebut telah bertentangan dengan pokok (agama). Adapun merayakan maulid, pokok agama mana yang telah dilanggar? Dan masih banyak lagi perbedaan pandangan seputar masalah ini. Merekapun beralasan bahwa Ibnu Katsir rahimahullah menyetujui pelaksanaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apa hukum yang lebih kuat dalam masalah ini berdasarkan dalil?
Teks Jawaban
Alhamdulillah
Pertama,
Hendaknya diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat tentang tanggal persisnya kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan beberapa pendapat. Ibnu Abdul Bar rahimahullah berpendapat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dilahirkan pada tanggal 2 bulan Rabi'ul Awal. Ibnu Hazm rahimahullah menguatkan pendapat bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 8 Rabiul Awal. Ada pula yang berpendapat tanggal 10 Rabiul Awal, sebagaimana dikatakan oleh Abu Ja'far Al-Baqir. Ada pula yang berpendapat tanggal 12 Rabiul Awal, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ishaq. Adapula yang berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada bulan Ramadan sebagaimana dikutip oleh Ibnu Abdul Bar dari Zubair bin Bakar.
Lihat As-Sirah An-Nabawiah, Ibnu Katsir, hal. 199-200.
Pendapat-pendapat ini cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa orang-orang yang mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada masa lalu tidak memastikan hari tertentu sebagai hari kelahirannya, apalagi untuk merayakannya. Telah berlalu sekian abad kaum muslimin tidak melakukan perayaan hari kelahiran beliau, hingga akhirnya kaum Fathimiah mengada-adakannya.
Syekh Ali Mahfuz rahimahullah berkata,
"(Perayaan maulid) pertama kali diadakan di Kairo, yaitu pada masa dinasti Fathimiah, abad ke 4. Ketika itu mereka mengada-adakan empat perayaan kelahiran (maulid); Maulid Nabi, Maulid Imam Ali radhiallahu anhu, Maulid Fatimah Az-Zahra' radhiallahu anha, Maulid Hasan dan Husain radhiallahu anhuma dan maulid Khalifah saat itu. Perayaan tersebut terus dilaksanakan hingga dihilangkan oleh Al-Afdhal, pemimpin tentara. Kemudian diadakan kembali pada masa khalifah Al-Amir bi Ahkamillah, pada tahun 524 H setelah nyaris dilupakan orang. Sedangkan yang pertama kali mengadakan maulid di wilaya Arbil adalah Raja Muzaffar Abu Sa'id pada abad ketujuh dan terus diadakan hingga hari ini. Bahkan orang-orang mengembangkannya dan melakukan bid'ah sesuka hati mereka dengan bisikan setan manusia dan jin."
Al-Ibda' Fi Madhari Al-Ibtida', hal. 251
Adapun pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang merayakan maulid nabi, ''Siapa bilang bahwa semua yang kita lakukan sekarang harus terdapat pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau pada masa shahabat dan tabi'in' Hal itu menunjukkan bahwa mereka belum paham makna bid'ah yang telah diperingatkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak hadits.
Dalam masalah ibadah, tidak dibenarkan seseorang bertaqarrub (beribadah) kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada kita. Kesimpulan inilah yang dapat kita ambil dari larangan beliau tentang bid'ah. Maka bid'ah adalah beribadah kepada Allah Ta'ala dengan sesuatu yang tidak dia ajarkan. Karena itu, ulama kalangan mazhab Hanafi radhiallahu anhu berkata,
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْهَا أَصْحَابُ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فَلاَ تَعَبَّدُوهَا
'Semua ibadah yang tidak dilakukan para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, hendaklah jangan kalian beribadah dengannya.'
Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Imam Malik rahimahullah,
فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيناً ، لاَ يَكُونُ الْيَوْمَ دِيناً
'Apa yang pada hari itu bukan bagian dari agama, maka pada hari inipun bukan bagian dari agama.'
Maksudnya adalah sesuatu yang tidak dianggap agama pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak dijadikan sebagai ibadah kepada Allah, maka hal tersebut tidak dianggap agama setelah itu.
Adapun contoh yang disebutkan penanya, yaitu ilmu jarh wa ta'dil, yang dinyatakan sebagai bid'ah yang tidak tercela. Kesimpulan ini dipakai oleh mereka yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk). Lalu mereka tambahkan pembagian bid'ah dalam hukum taklifi yang lima (wajib, sunah, mubah, haram, makruh). Pembagian ini dinyatakan oleh Al-Izz bin Abdussalam rahimahullah, kemudian diikuti muridnya, Al-Qarafi.
Asy-Syatibi telah membantah Al-Qarafi atas persetujuannya terhadap pembagian tersebut, dia berkata,
'Pembagian ini merupakan perkara baru, tidak ada landasannya dari dalil syar'i, bahkan pembagian itu sendiri bertolak belakang. Karena hakikat bid'ah adalah sesuatu yang tidak dilandasi dalil syar'i, baik dari teks syar'i, maupun dari prinsip-prinsip. Sebab, jika ada dalil dari syariat yang menunjukkan wajib, sunah atau mubah, maka hal tersebut tidak dapat disebut bid'ah, dan amalnya dapat digolongkan sebagai amal yang diperintahkan secara umum atau dipilih. Maka menjadikan satu masalah sebagai bid'ah sementara dalil-dalil yang ada menunjukkan wajib, atau sunnah atau mubah, merupakan kesimpulan yang bertolak belakang.
Adapun perkara makruh dan haram dapat diterima sebagai bid'ah dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain. Karena, seandainya ada dalil yang melarang suatu perkara, atau memakruhkannya, maka hal tersebut tidak tepat dikatakan bid'ah, tapi lebih tepat disebut maksiat, seperti pembunuhan atau pencurian, minum khamar dan semacamnya. Maka tidak ada bid'ah yang dapat digambarkan dalam pembagian tersebut selain pembagian haram dan makruh sebagaimana telah disebutkan dalam babnya.
Apa yang dinyatakan Al-Qarafi tentang disepakatinya penolakan terhadap bid'ah adalah benar. Akan tetapi pembagian yang dia lakukan tidak benar. Uniknya, pengakuan adanya kesepakatan terebut dibenturkan dengan sesuatu yang berlawanan, padahal dia tahu perkara-perkara yang dapat merusak ijmak. Sepertinya dia mengikuti gurunya dalam masalah pembagian ini, yaitu Ibnu Abdussalam, tanpa memperhatikan lagi.
Kemudian dia, Asy-Syatibi, menyebutkan dipahaminya kekeliruan Al-Izz bin Abdusssalam rahimahullah dalam masalah pembagian ini, dan bahwa dia menyebutkannya sebagai Al-Mashalih Al-Mursalah sebagai bid'ah. Lalu dia berkata, 'Adapun Al-Qarafi, tidak dapat diterima kekeliruannya yang mengutip pembagian bid'ah tersebut tidak sesuai yang dimaksud oleh gurunya, juga tidak sesuai dengan yang dimaksud orang lain. Karena dia telah berbeda pendapat dengan semua pihak dalam pembagian ini. Maka itu artinya bahwa pandangannya bertentangan dengan ijmak."
Al-I'tisham, hal. 152-153. Kami nasehatkan untuk merujuk kepada kitab tersebut. Sebagian beliau telah membantah dengan sangat baik dan sangat bermanfaat.
Al-Izz bin Abdussalam telah memberikan contoh bid'ah yang wajib dalam pembagiannya. Dia berkata,
Contoh pertama, "Bid'ah yang wajib memiliki beberapa contoh, di antaranya, 'Menyibukkan diri dengan ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) untuk memahami Kalamullah (Al-Quran) dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ini adalah kewajiban, karena memelihara syariah adalah kewajiban, dan hal tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan mengetahuinya. Sebuah kewajiban yang tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan suatu perkara, maka perkara itu menjadi wajib.'
Contoh kedua, 'Menjaga kosa kata yang sulit dalam Al-Quran dan Sunnah.'
Contoh ketiga, 'Membukukan Ushul Fiqih.
Contoh keempat, 'Membincangkan Al-Jarh Wat-Ta'dil (ilmu untuk membedakan mana perawi yang dapat diterima dan mana yang tidak) untuk membedakan hadits shahih dan hadits lemah.
Kaidah dalam syariat telah menunjukkan bahwa memelihara syariat merupakan fardhu kifayah apabila telah melampaui batasan fardhu ain. Memelihara syariah tidak dapat terlaksana kecuali dengan apa yang telah kami sebutkan."
Qawa'idul Ahlam Fi Mashalih Al-Anam, 2/173.
Asy-Syatibih juga telah membantah perkataannya dengan berkata, 'Adapun apa yang dikatakan oleh Izzuddin, maka telah dibicarakan sebelumnya. Contoh-contoh tentang perkara wajib yang dikemukakan, berdasarkan bahwa sebuah kewajiban tidak dapat diwujudkan kecuali dengan perkara tersebut, seperti yang dia katakan, tidak disyaratkan terlaksana di kalangan salaf, juga tidak disyaratkan memiliki landasan khusus dalam syariat, karen hal itu termasuk dalam bab 'Al-Mashalih Al-Mursalah', bukan bid'ah."
Al-I'tisham, hal. 157-158.
Kesimpulan dari bantahannya adalah bahwa ilmu-ilmu ini tidak pantas jika dikatagorikan sebagai bid'ah syar'iah yang tercela. Karena kebenarannya dikuatkan oleh nash-nash yang umum dan kaidah syariah yang umum yang memerintahkan untuk memelihara agama dan sunah serta perintah untuk menyampaikan ilmu syariah dan nash-nash syar'I (Al-Quran dan Sunnah) kepada manusia dengan cara yang benar.
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
"Bi'dah menurut defenisi syariat adalah tercela, berbeda menurut definisi bahasa. Karena semua perkara yang diada-adakan tanpa contoh sebelumnya (menurut bahasa) adalah bid'ah, apakah yang terpuji atau tercela."
Fathul Bari, 13/253.
Dia juga berkata,
"Bid'ah adalah segala sesuatu yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Maka dari segi bahasa bid'ah dapat mencakup perkara yang terpuji dan tercela. Sedangkan menurut pemahaman syariah bid'ah khusus memiliki sifat tercela. Jadi kalau disebutkan dalam katagori terpuji, maka maksudnya adalah pemahaman bid'ah dari segi bahasa."
Fathul Bari, 13/340
Syekh Abdurrahman Al-Barrak ketika memberi penjelasan tentang hadits no. 7277 dalam bab Al-I'tisham bil Kitab was-Sunnah, pasal 2 dalam kitab Shahih Bukhari, beliau berkata,
"Pembagian ini benar jika bid'ah dipahami secara bahasa. Adapun bid'ah menurut syariat, semuanya adalah sesat. Sebagaimana hadits Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam 'Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat." Dengan kaidah yang umum ini, maka tidak dibenarkan jika dikatakan, di antara bid'ah ada yang sifatnya wajib, sunah, mubah. Tapi yang namanya bid'ah dalam agama, apakah masuk dalam perkara haram atau makruh. Di antara perkara bid'ah yang dimakruhkan dan ada pula bahwa ini adalah perkara yang mubah, adalah mengkhususkan waktu Shubuh dan Ashar untuk saling berjabat tangan setelah shalat.."
Yang layak dipahami dan diperhatikan adalah hendaknya diperhatikan tersedianya semua sebab dan tidak adanya penghalang dalam suatu perbuatan pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta para shahabatnya. Maka perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta kecintaan para shahabat terhadapnya merupakan dua sebab yang terdapat pada masa shahabat yang mulia untuk menjadikan hari maulid sebagai perayaan yang mereka rayakan. Tidak sesuatu yang mencegah mereka untuk melakukna hal itu. Maka ketika hal tersebut tidak dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, juga para shahabatnya tidak ada satupun yang melakukannya, maka dapat disimpulkan bahwa perkara tersebut tidak disyariatkan. Sebab seandainya hal itu disyariatkan, niscaya mereka akan lebih dahulu dari kita untuk melakukannya."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata,
"Demikian pula apa yang diada-adakan sebagian orang. Apakah hendak menyerupai kaum Nashrani dalam merayakan hari lahirnya Isa alaihissalam, atau karena kecintaannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta penghormatannya kepadanya, maka boleh jadi Allah akan memberi mereka pahala atas kecintaan dan kesungguhannya, bukan atas perbuatan bid'ahnya, yaitu dengan cara menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai perayaan dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Sesungguhnya hal ini tidak terdapat di kalangan salaf, padahal sebabnya ada, dan penghalangnya tidak ada. Jika perkara itu murni sebuah kebaikan, atau lebih besar kemungkinan benarnya, niscaya kalangan salaf lebih layak melakukannya ketimbang kita. Karena mereka adalah orang-orang yang lebih mencintai dan memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam daripada kita, dan mereka adalah orang yang sangat gemar pada amal kebaikan. Sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengormatan kepadanya terwujud dengan mengikuti jejaknya, taat kepadanya, mengikuti petunjuknya, menghidupkan sunahnya lahir batin seta menyebarkan ajarannya dan berjihad untuk itu, baik dengan hati, tangah dan lisan. Ini merupakan petunjuk generasi awal dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik."
Iqtidha Ash-Shiratal Mustaqim, hal. 294-295.  
Ini adalah ucapan yang tepat, menjelaskan bahwa cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terwujud dalam bentuk mencintai sunahnya, mengajarkannya dan menyebarkannya di antara manusia serta membelanya. Inilah jalan yang ditempuh para shahabat radhiallahu anhum.
Adapun orang-orang yang datang belakangan, mereka menipu diri mereka sendiri, dan mereka ditipu oleh setan dengan perayaan-perayaan tersebut dengan pandangan bahwa semua itu sebagai ekspresi kecintaan mereka terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sementara mereka jauh dari tindakan untuk menghidupkan sunah, mengikutinya, mendakwahkannya, mengajarkannya dan membelanya.
Ketika.
Adapun bantahan orang tersebut yang berdalil dengan ucapan Ibnu Katsir rahimahullah, bahwa dia membolehkan pelaksanaan maulid Nabi, hendaknya dia menyebutkan kepada kami dimana dia dapatkan ucapan Ibnu Katsir seperti itu. Karena kami tidak mendapatkan ucapan Ibnu Katsir rahimahullah seperti itu. Kami yakin Ibnu Katsir jauh dari tindakan membela dan mengajarkan bid'ah seperti itu.
Wallahua'lam.
(4). Bid’ah Menurut M. Quraish Shihab 

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Bid’ah dari segi bahasa adalah sesuatu yang baru, belum ada yang sama sebelumnya. Tentu saja, dalam kehidupan ini banyak hal baru yang bukan saja bersifat material, melainkan juga immaterial dan bukan saja dalam adat kebiasaan, tetapi juga dalam praktik-praktik yang berkaitan dengan agama. Hal yang baru itu boleh jadi baik dan boleh jadi juga buruk. Jika demikian, pastilah ada bid’ah yang baik dan buruk. Agama ada yang berkaitan dengan ibadah murni (mahdhah) dan ada juga yang bukan ibadah murni (ghair mahdhah). Bid’ah dalam hal-hal yang bukan ibadah murni dapat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Katakanlah penggunaan telepon dan teleks untuk menggantikan pertemuan langsung dan ucapan dalam ijab dan kabul pada transaksi perdagangan bahkan pernikahan.
Di sisi lain, banyak ulama yang menganalisis sebab-sebab Rasul saw. tidak mengerjakan sesuatu. Ada yang tidak beliau kerjakan karena sejak semula itu terlarang dan ada juga yang tidak beliau kerjakan karena ketika itu belum ada alasan atau dorongan mengerjakannya. Nah, bila kemudian ada alasan yang mendorong dan dapat dibenarkan, bid’ah dalam hal ini dapat dibenarkan, seperti menulis dan membukukan al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar ra. Kita semua tahu bahwa pada masa Rasul saw., al-Qur’an belum dibukukan bukan saja karena ayat-ayat masih silih berganti turun selama hidup Rasul saw., melainkan juga karena kebutuhan untuk membukukannya belum dirasakan. Ini berbeda setelah beliau wafat. Ada lagi yang tidak dikerjakan Rasul saw. karena ketika itu ada dorongan atau sebab untuk tidak mengerjakan.
Shalat Tarawih berjamaah pada mulanya beliau lakukan di masjid dengan delapan rakaat dan banyak sahabat mengikutinya. Dari malam ke malam semakin banyak. Ketika itu, beliau khawatir jangan sampai ada yang menduga shalat itu wajib, maka beliau hentikan dan shalat di rumah sendirian. Ketika beliau wafat dan kekhawatiran telah sirna, Sayyidina ‘Umar menganjurkan shalat Tarawih dilaksanakan di masjid dan berjamaah dengan dua puluh rakaat plus witir. Sayyidina ‘Utsman ra. juga melakukan apa yang tidak dilakukan Rasul saw. Ketika kota Madinah telah melebar dan penduduknya bertambah, pada hari Jumat, beliau azan dua kali padahal pada masa Nabi saw. hanya sekali.
Demikianlah, bid’ah dalam ibadah pun tidak semuanya terlarang jika dasar pokoknya ada. Memang, pada dasarnya, dalam hal ibadah murni, segalanya tidak boleh kecuali apa yang dikerjakan Rasul saw., sedangkan dalam soal muamalat, segalanya boleh kecuali yang dilarang. Akan tetapi, ulama pun menegaskan bahwa apa yang ditinggalkan Rasul saw. hendaknya dikaji mengapa ketika Nabi saw. hidup, beliau tidak mengerjakannya. Kalau memang suatu ibadah atau pekerjaan ada alasan untuk mengerjakannya dan diketahui bahwa Rasul saw. tidak mengerjakannya, karena enggan, kemudian ada sesudah beliau yang mengada-ada, itulah bid’ah yang sesat. Itulah yang tidak diterima Allah swt. dan itu yang dimaksud dengan setiap bid’ah dhalalah (sesat) dan semua dhalalah di neraka. Dalam konteks ini, ulama berbeda pendapat tentang tahlil, maulid, dan sebagainya.
Demikian, wallahu a’lam.

Bid'ah menjadi tema perbincangan yang amat menarik akhir-akhir ini. Tak jarang diskusi dan "ijtihad" tentang masalah yang satu itu menjadikan satu kelompok menghujat dan mengkafirkan yang lain. Melihat kelompok lain tak lebih dari sekadar mengada-ada dalam Islam dan menilai mereka tak menolak bahwa Islam sudah sempurna. Atau bahkan dianggap menuduh Nabi Muhammad Saw menyembunyikan risalah.

Apa yang dikatakan oleh salah satu ulama ahli tafsir Indonesia tentang masalah bid'ah ini? Berikut ini pendapat beliau yang kami kutip dari buku "1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui".

Kesempurnaan yang dimaksud dalam surat Al-Maidah [5]: , adalah kesempurnaan prinsip-prinsipnya. Adapun perinciannya, maka ia dapat dijabarkan dari prinsip-prinsip tesebut. Salah satu prinsip ajaran Al-Quran adalah kewajiban mengikuti penjelasan Rasulu (Muhammad saw). (Lihat QS. an-Nisa' [4]:5) baik penjelasan itu dalam bentuk ucapan dan perbuatan, maupun pembenaran. Al-Quran juga memberikan analogi (qiyas). Dari prinsip inilah tertampung banyak sekali hal-hal baru yang bermunculan setiap saat dalam kehidupan manusia.

Tanpa qiyas, maka tidak mungkin persoalan baru itu dapat ditetapkan hukumnya atau diketahui bagaimana pandangan agama terhadapnya. Padahal, semua Muslim berpendapat bahwa ajaran Islam memberikan tuntunan dan selalu sesuai untuk setiap waktu dan tempat.

Sesuatu yang baru, yang diada-adakan, dan belum ada contoh sebelumnya itulah yang dianamai "bid'ah". Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Al-Quran untuk menyatakan, Saya bukan bid'ah dari rasul-rasul (QS. al-Ahqaf [46]: 9) dalam arti bahwa beliau tidak mengada-ada dengan menyatakan dirinya sebagai rasul dan beliau bukan orang pertama yang menjadi rasul; banyak rasul sebelum beliau. Tentu saja ada hal-hal baru dalam kehidupan manusia yang terus berkembang ini. Semua itu adalah bid'ah, walapun harus diingat  bahwa hal-hal yang baru dan dan yang belum pernah ada pada masa Rasul itu, ada yang baik dan ada yang buruk.

Dari sini, bid'ah perlu dibagi menjadi bid'ah hasanah (yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (yang buruk). Bahkan sementara ulama membaginya kepada bid'ah wajibah; yaitu sesuatu yang baru tetapi sesuai dengan kewajiban yang ditetapkan agama serta termasuk dalam kaidah-kaidahnya. Al-Quran tidak dibukukan pada zaman Nabi saw, namun para sahabat menyepakati pembukuannya karena pembukuan itu adalah cara pemeliharaannya, dan, tanpa itu, al-Quran dapat hilang.

Ada lagi bid'ah mandubah (yang dianjurkan), seperti shalat Tarawih berjamaah. Tarawih berjamaah tidak diamalkan oleh Rasul saw., namun karena shalat berjamaah sesuai dengan kaidah-kaidah sunnah, maka ia menjadi bid'ah yang dianjurkan. Demikian seterusnya. Jadi, ada bid'ah yang makruh dan ada pula yang haram. Yang makruh dan haram adalah mengada-ada atas nama agama, berupa ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menyatakan: "Semua bid'ah sesat, dan setiap yang sesat maka di nerakalah (tempat yang wajar bagi pelakunya).", tentu saja yang dimaksud bukan semua bid'ah.

Atas dasar itu pula para ulama merumusan: "Dalam hal ibdah mahdhah (murni ritual), segala sesuatu tidak boleh kecuali apa yang dicontohkan atau diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Sedangkan dalam soal muamalah (selain ibadah murni ritual), segala sesuatunya boleh selama tidak ada larangan."

Dari kaidah inilah kita dapat berkata bahwa perayaan maulid Nabi Muhammad saw. dapat dibenarkan karena ia bukanlah suatu ibadah ritual, melainkan merupakan salah satu cara untuk mengenang Rasulullah saw dan mempelajari ajaran Islam--hal mana sesuai dengan kaida-kaidah keagamaan.

Bahkan, Nabi sendiri, dengan cara beliau, merayakan hari lahirnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau ditanya tentang mengapa beliau berpuasa pada hari Senin (dan Kamis). Beliau menjawab, "Itulah hari ketika aku dilahirkan."
http://kaderulamakemenag.blogspot.com/2012/12/pandangan-prof-quraish-shihab-tentang.html?m=1  

(3). Penjelasan Prof. Dr. Syeikh Ali Jum’ah tentang Bid’ah

Untuk bisa memahami maksud dari “bid’ah” maka kita harus memahaminya secara bahasa dan istilah syara’. Dan kita mulai dari makna secara bahasa terlebih dahulu.
Bid’ah secara bahasa ada sesuatu yang baru dan apa yang diada-adakan di dalam agama setelah penyempurnaannya. Menurut Ibnu al-Sukait: Bid’ah ada sesuatu yang baru dan kebanyakan apa yang digunakan oleh ahli bid’ah secara umum ada di dalam sesuatu yang tercela. Berkata Abu ‘Adnan: seorang ahli bid’ah adalah seseorang yang mendatangkan sesuatu yang tidak ada yang menyerupainya sebelumnya. Dan (dicontohkan dalam kalimat) “Si fulan melakukan bid’ah di dalam masalah ini.” Maksudnya adalah tidak ada yang mendahului melakukan itu sebelumnya.
Allah berfirman di dalam surat Al-Hadid ayat 27.
ورهبانية ابتدعوها….
“Dan kerahiban yang mereka ada-adakan.”
Bid’ah secara syara’:
Ada dua jalan yang ditempuh para ulama dalam mendefinisakan bid’ah secara syara’:
Pertama: Jalan yang ditempuh oleh Al-‘Izz bin Abdussalam; sesuatu yang Nabi SAW tidak pernah melakukannya maka itu adalah bid’ah, dan bid’ah sendiri terbagi menurut hukum-hukum fikih. Al-‘Izz bin Addussalam berkata: “Perbuatan yang tidak ada di masa Rasulullah SAW itu terbagi ke dalam beberapa hukum: :Bid’ah Wajib, Bid’ah Haram, Bid’ah Sunat, Bid’ah Makruh, dan Bid’ah Mubah. Dan jalan mengetahui hal tersebut adalah dengan cara memasukkan perbuatan bid’ah tersebut ke dalam kaidah-kaidah syariat: Kalau dia masuk ke dalam kaidah wajib maka dia menjadi bid’ah wajib, apabila dia masuk ke dalam kaidah haram maka dia menjadi bid’ah haram, apabila dia masuk ke dalam kaidah sunat maka dia menjadi bid’ah sunat, apabila dia masuk ke dalam kaidah makruh maka dia menjadi bid’ah makruh, apabila dia masuk ke dalam kaidah mubah maka dia menjadi bid’ah mubah.
Imam Nawawi mendukung pernyataan ini dengan berkomentar: “Setiap yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW adalah bid’ah, akan tetapi daripadanya ada yang baik dan ada yang sebaliknya.”
Jalan Kedua: Sebagian ulama ada yang memahami bid’ah secara syara’ lebih khusus daripada secara bahasa. Maka mereka menamakan bid’ah hanya untuk perbuatan yang tercela dan haram saja. Dan tidak menamai bid’ah yang masuk ke dalam kategori wajib, sunat, mubah, atapun makruh sebagai bid’ah sebagaimana yang dilakukan oleh Al-‘Izz bin Abdussalam. Kelompok ini membatasi pemahaman bid’ah hanya pada perbuatan haram. Dan di antara yang berpendapat seperti itu adalah Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah. Dan dia menjelaskan pendefinisian ini dalam perkataannya: “Dan yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa saja yang tidak ada asal-usulnya/dasarnya di dalam syariat yang menjadi dalil atas perbuatan itu. Ada pun apa saja yang memiliki asal/dasar di dalam syariat yang menjadi dalil atas perbuatan itu maka itu bukan bid’ah, walau pun itu bid’ah secara bahasa.”
Pada hakikatnya kedua pandangan ini bersepakat bahwa bid’ah yang tercela secara syara’ yang pelakunya mendapatkan dosa adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya di dalam syariat yang bisa menjadi dalil atas bid’ah tersebut. Dan inilah yang dimaksud dari sabda Rasulullah SAW. “Setiap bid’ah itu sesat.”
Dan ini adalah pemahaman yang jelas dan terang dari para imam ahli fikih dan ulama yang menjadi panutan umat. Dan di antara yang mengikuti pemahaman ini adalah Imam Syafi’i rahimahullah ta’alaa yang mana meriwayatkan dari Imam Baihaqi bahwa dia berkata: “Hal-hal yang baru dari berbagai hal itu ada dua macam: Pertama; hal-hal baru yang menyelisihi Al-Qur’an, Sunnah, atsar sahabat, dan ijma’ ulama maka ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Hal-hal baru yang berupa kebaikan yang tidak menyelisihi satu pun sumber-sumber agama maka ini adalah hal baru yang tidak tercela.”
Hujatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah berkata: “Tidak semua bid’ah itu terlarang, akan tetapi yang terlarang itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah tsabitah, dan menyingkirkan perintah-perintah syariat.” (Ihya Ulumuddin)
Imam al-Nawawi rahimahullah menukil dari Sultan Para Ulama Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam tentang masalah ini, dia berkata: “Berkata Syeikh Imam yang terkumpul di dalam dirinya berbagai kemuliaan dan cakap dalam berbagai ilmu beserta seluk beluknya, Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdussalam radhiyallahu ‘anhu di dalam akhir kitabnya tentang kaidah bid’ah itu terbagi ke dalam wajib, haram, sunat, makruh, dan mubah. Dan dia berkomentar di tempat lain di dalam kitabnya perihal bersalaman setelah selesai shalat. Maka kami sisipkan fatwa perihal bersalaman setelah selesai shalat. “Ketahuilah bahwa salaman ini disunatkan di setiap perjumpaan, adapun orang-orang menambahi bersalam setelah dua shalat yaitu Subuh dan ‘Ashar, maka tidak ada dasar di dalam syariat akan hal ini. Akan tetapi tidak mengapa karena sesungguhnya asal hukum bersalaman adalah sunat. Ada pun mereka yang menjaga tetap melakukan di sebagian keadaan dan meninggalkan di sebagian besar atau kebanyakan hal lain tidaklah menjadikan salaman itu keluar dari hukum asal bersalaman yang datang di dalam syariat.
Berkata Ibnu Al-Atsi: Bid’ah itu ada dua, bid’ah hidayah (yang berdasarkan petunjuk) dan bid’ah dhalalah (yang sesat). Maka apa saja yang menyelisihi apa yang diperintahkan Allah dan Rasulullah SAW maka dia cenderung kepada ketercelaan dan keingkaran. Dan sesuatu yang berada di bawah naungan dalil-dalil umum yang sunat dan yang dianjurkan maka dia cenderung kepada keterpujian. Dan sesuatu yang tidak ada contohnya (dari Rasulullah SAW) baik berupa kedermawanan, kemurahan hati, dan berbagai perbuatan baik lainnya maka itu adalah perbuatan yang terpuji.
Dan tidak boleh perbuatan baru itu menyelisihi apa yang datang di dalam syariat, karena Rasulullah SAW menjajikan pahala (jika sesuai syariat). Maka Nabi SAW bersabda dalam salah satu hadits shahih:
من سن سنة حسنة كان له أجرها و أجر من عمل بها
“Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan yang baik maka dia akan mendapatkan pahala atas perbuatan baiknya itu dan pahala orang-orang yang ikut melakukan perbuatan baik itu.”
Dan Rasulullah SAW bersabda sebagai kebalikan dari hadits di atas:
من سن سنة سيئة كان عليه وزرها و وزر من عمل بها
“Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan buruk maka dia akan mendapatkan dosa atas perbuatan buruknya itu dan dosa orang-orang yang mengikuti perbuatan buruk itu.”
Hal ini jika perbuatan itu menyelisihi apa yang diperintahkan Allah Ta’alaa dan Rasul-Nya SAW.
Dan di antara jenis yang ini (bagian yang tidak menyelisihi syariat) adalah perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu “Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah”, ketika Umar bin Khattab melihat adalah perbuatan baik yang masuk ke dalam kecenderungan terpuji maka dia menamainya dengan bid’ah dan dia memujinya, karena Nabi SAW tidak memberikan contohnya kepada mereka. Pada waktu itu di bulan Ramadhan Nabi melakukan shalat tarawih beberapa malam di masjid kemudian dia meninggalkannya dan tidak meneruskannya dan tidak pula mengumpulkan orang untuk shalat berjama’ah dengannya. Dan shalat tarawih berjama’ah ini juga tidak dikerjakan di masa Abu Bakar. Kemudian di masa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu orang-orang dikumpulkan oleh Umar dan Umar mensunnahkan untuk mereka dan Umar menamainya dengan bid’ah namun secara hakikatnya dia sejalan dengan sunnah dengan berdasar kepada hadits Nabi SAW:
عليكم بسنتي و سنة خلفاء الراشدين من بعدي
“Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa’ur rasyidin setelahku”
Dan atas dasar hadits:
اقتدوا بالذين من بعدي: أبي بكر و عمر
“Ikutilah orang-orang setelahku (utamanya) Abu Bakar dan Umar.”
Dan dengan penafsiran ini maka mencakupi makna hadits lain yang berbunyi:
كل محدثة بدعة
“Setiap yang baru itu bid’ah.”
Maksudnya adalah setiap apa-apa yang menyelisihi pokok-pokok syariat dan tidak sesuai dengan sunnah.
Lantas bagaimana para ulama menyepakati pemahaman “bid’ah” ini?
Jumhur Imam dari para ulama yang jadi panutan menyepakati tentang bid’ah bahwasannya bid’ah itu terbagi menjadi beberapa bagian sebagaimana muncul hal itu di dalam perkataan Imam Syafi’i rahimahullah dan ulama yang mengikutinya Imam Al-‘Izz bin Abdussalam, Imam al-Nawawi, Abu Syamah. Dan para pengikut Malikiyah seperti Al-Qurofi dan Al-Zarqani. Dan para pengikut Hanafiyah semisal Ibnu ‘Abidin. Dan pengikut Hanabilah Ibnu Al-Jauzi, dan pengikut aliran zahiriyah seperti Ibnu Hazm. Dan definisi yang diberikan oleh Al-‘Izz bin Abdussalam mewakili semua pandangan tentang bid’ah ini:
“Bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW dan dia terbagi menjadi bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah sunnah, bid’ah makruh, dan bid’ah mubah.”
Dan para ulama memberikan contoh dari setiap pembagian di atas.
Contoh bid’ah wajib adalah menyibukkan diri dalam belajar ilmu nahwu dan sharaf, karena dengan mempelajari ilmu nahwu dan sharaf kita bisa mempelajari Kalam Allah dan Hadits Rasulullah SAW. Maka dari itu belajar nahwu dan sharaf adalah bid’ah yang wajib.
Contoh bid’ah yang haram adalah adanya madzhab Qadariyah, madzhab Jabariyah, madzhab Murji’ah, dan madzhab Khawarij.
Contoh bid’ah yang sunnah adalah shalat Tarawih berjama’ah di masjid, membangun sekolahan, membangun saluran air, dan lain-lain yang bermanfaat bagi orang banyak.
Contoh bid’ah yang makruh adalah membuatkan perhiasan mewah di masjid dan menata ulang susunan mushaf.
Contoh bid’ah yang mubah adalah bersalaman setelah selesai shalat, mengembangkan kelezatan makanan dan minuman, dan mengembangkan model pakaian.
Para ulama membagi bid’ah menjadi 5 dengan argumentasi dari nash-nash yang ada, di antaranya:
1. Perkataan Umar bin Khattab di dalam masalah shalat Tarawih berjama’ah di masjid di bulan Ramadhan, dengan kata-katanya: “Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah.”
Telah diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qari bahwa dia berkata: “Aku keluar bersama Umar bin Al-Khattab pada suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, pada saat itu orang-orang terbagi-bagi ke dalam beberapa kelompok dan mengerjakan shalat sendiri-sendiri. Dan seseorang shalat dengan kelompoknya sendiri. Maka Umar berkata: “Membayangkan kalau seandainya aku mengumpulkan mereka semua di belakang satu imam tentu itu adalah hal bagus. Kemudian Umar berazam untuk mewujudkan bayangannya. Maka akhirnya Umar mengumpulkan dengan menunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imam kemudian aku keluar bersama Umar di malam yang lain dan orang-orang shalat Tarawih berjama’ah di belakang satu qori’/imam. Maka Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah. Dan yang tidur (untuk bangun di tengah malam dan shalat Tarawih) itu lebih afdhol dari yang shalat berjama’ah.” Maksudnya adalah di akhir malam dan sebagian orang shalat tarawih di awal malam.
2. Abdullah bin Umar bin Al-Khattab juga menamakan shalat Dhuha’ secara berjama’ah di masjid sebagai bid’ah. Dan itu termasuk di dalam perkara-perkara yang bagus. Diriwayatkan oleh Imam Mujahid, dia berkata: “Aku dan Urwah bin Al-Zubair masuk ke dalam masjid. Ketika itu Ibnu Umar sedang duduk dekat kamarnya ‘Aisyah ra. Sementara orang-orang shalat dhuha’ berjama’ah di masjid. Maka kami menanyakan tentang shalat dhuha’ yang dilakukan mereka. Abdullah bin Umar pun berkata: “Itu bid’ah.”
3. Banyak hadits-hadits yang meriwayatkan tentang pembagian bid’ah menjadi bid’ah khasanah dan sayyiah (baik dan buruk), di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan secara marfu’ (Sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.):
من سن سنة حسنة كان له أجرها و أجر من عمل بها إلى يوم القيامة، من سن سنة سيئة كان عليه وزرها و وزر من عمل بها إلى يوم القيامة
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang baik (apapun itu baik yang dicontohkan Nabi atau tidak) maka dia akan mendapatkan pahala dari amal baiknya itu dan orang yang ikut mengerjakan amal baik itu. Dan barangsiapa yang melakukan amal yang buruk maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya itu dan dari orang yang ikut mengerjakan amal buruk itu. (HR. Muslim)
Dari apa yang sudah dijelaskan, maka jelas lah bahwa di sana ada pandangan umum dari hal ini yaitu: Pendapat yang disampaikan Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah dan ulama lain yang sependapat dengannya itu menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang pelakunya diberi pahala atas pekerjaan itu tidaklah dinamai bid’ah secara syara’, walaupun secara bahasa itu dinamai bid’ah. Dan Ibnu Rajab bermaksud untuk tidak menamai perbuatan itu sebagai bid’ah yang tercela secara syara’.
Wallahu a’lam.
Sanggahan :
Lihat Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid’ah Hasanah- Firanda.com

Memaknai Lafadz Kullu 
Sesuka Hati

Demi membela keyakinan adanya bid’ah hasanah, sepertinya ahli bid’ah tidak merasa takut, walaupun harus menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak sesuai dengan makna yang sesungguhnya.
Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an bukan dengan metode yang benar yang di syaratkan oleh para Ulama, diantaranya yaitu merujuk kepada penafsiran para Ulama ahli tafsir.
Tapi mereka memaknai ayat-ayat Al-Qur’an mengikuti hawa nafsu.
Sungguh celaka menafsirkan Al-Qur’an dengan hawa nafsu. Padahal Rasulullah sudah memberikan ancaman yang sangat keras.
Sebagaimana sabdanya :
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار
“Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka”. [HR. Tirmidzi No.2874].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa mengatakan tentang al-Qur’an dengan akalnya, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka”. [HR. Tirmidzi No.2875].
Lafadz kullu (كل) dalam hadts :
كل بدعة ضلالة
“Semua bid’ah sesat”
Mereka menolak lafadz “kullu” (كل) dalam hadits tersebut diartikan “SEMUA”.
Mereka maknai lafadz “kullu” (كل) dalam hadits tersebut dengan arti “SEBAGIAN”.
Kemudian mereka menunjukkan lafadz “kullu” (كل) yang terdapat di dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Kemudian mereka membuat penafsiran sendiri terhadap ayat-ayat tersebut dengan model penafsiran yang tidak kita temukan dalam kitab-kitab tafsir para Ulama.
Berikut ini beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang terkait dengan lafadz “kullu” (كل) yang mereka maknai sesuka hati.
1. Allah Ta’ala berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍ
”Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. (Q.S Al-Anbiyya ayat 30).
Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala menerangkan, bahwa air sebagai sumber kehidupan bagi semua makhluk yang hidup di muka bumi.
Artinya : Semua makhluk yang hidup di muka bumi bisa tumbuh dan bertahan hidup karena adanya air.
Itulah penafsiran yang benar.
Adapun ahli bid’ah, mereka menafsirkannya sebagai berikut :
Lafadz KULLA (كل) pada ayat ke 30 Surat Al-Anbiyya tersebut, maknanya “SEBAGIAN”. Sehingga ayat itu berarti : Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluk hidup. Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi : “Khalaqtanii min naarin”. Artinya : “Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api”.
Tanggapan :
Allah Ta’ala berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
”Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. (Q.S Al-Anbiyya: 30).
Ayat ke 30 Surat Al-Anbiya di atas menerangkan bahwa AIR MERUPAKAN SUMBER KEHIDUPAN BAGI SEMUA MAKHLUK YANG HIDUP DI MUKA BUMI.
AYAT TERSEBUT BUKAN SEDANG MENERANGKAN MENGENAI PENCIPTA’AN MANUSIA ATAU APAPUN.
Perhatikan penafsiran ayat tersebut dalam kitab tafsir jalalain,
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan : “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. Maksudnya air lah yang menjadi penyebab bagi seluruh kehidupan baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Namun mengapalah orang-orang kafir tiada juga beriman terhadap ke esa’an Allah ?”. [Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 2008, hlm. 126-127].
Untuk mendapatkan penafsiran yang benar ayat ke 30 dari surat Al-Anbiyya tersebut, maka diantaranya harus melihat kepada ayat sebelumnya masih dalam ayat yang sama.
Perhatikanlah ayat sebelumnya !
Allah Ta’ala berfirman :
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا
”Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya”
Dengan melihat ayat sebelumnya, maka jelaslah bahwa ayat ke 30 surat Al-Anbiyaa tersebut sedang menerangkan tentang langit dan bumi yang dahulunya bersatu. Dan menerangkan bahwa air sebagai sumber kehidupan bagi makhluk yang ada di bumi.
Maka jelaslah makna air dalam ayat ke 30 dalam Surat Al-Anbiyaa tersebut adalah air yang sesungguhnya, bukan jenis air apapun.
Dan lafadz (كُلَّ) pada ayat tersebut, artinya SETIAP / SEMUA. Karena memang semua makhluk yang hidup di muka bumi kehidupannya bergantung kepada air.
Tidak ada satu pun makhkuk hidup di muka bumi yang tidak membutuhkan air.
Jadi sangat keliru apabila lafadz kullu (كل) pada ayat tersebut diartikan SEBAGIAN.
2. Ayat lainnya yang di salah tafsirkan ialah,
Allah Ta’ala berfirman :
ﺗُﺪَﻣِّﺮُ ﻛُﻞَّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺑِﺄَﻣْﺮِ ﺭَﺑِّﻬَﺎ ﻓَﺄَﺻْﺒَﺤُﻮﺍ ﻟَﺎ ﻳُﺮَﻯ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺴَﺎﻛِﻨُﻬُﻢْ ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﻧَﺠْﺰِﻱ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻤُﺠْﺮِﻣِﻴﻦَ
“Angin yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa”. (QS al-Ahqaf: 25).
Ahli bid’ah berkata :
Kata kullu (كل) belum tentu berarti “SEMUA”. sebagai contoh kata kullu dalam ayat ke 25 surat Al-Ahkaf. Angin topan pada ayat diatas tidak menghancurkan Nabi Hud dan orang-orang beriman. juga tidak menghancurkan langit dan bumi.
Tanggapan :
Kalimah “kullu” (كل) yang terdapat pada ayat ke 25 surat Al-Ahkaf tersebut, harus dimaknai “SEMUA”. Tidak bisa di maknai “SEBAGIAN”
Karena memang realitanya Allah Ta’ala menghancurkan “SEMUA” yang Allah perintahkan untuk di hancurkan, yaitu orang-orang yang durhaka dari kaum ‘Ad.
Perhatikan di penghujung ayat tersebut,
ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﻧَﺠْﺰِﻱ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻤُﺠْﺮِﻣِﻴﻦَ
“Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa”.
Di penghujung ayat tersebut menerangkan tentang pembalasan Allah Ta’ala kepada kaum yang berdosa, yaitu kaum ‘Ad. Juga penghujung ayat tersebut sebagai penjelas bahwa yang Allah Ta’ala perintahkan untuk di hancurkan hanyalah orang-orang yang berdosa.
Adapun Nabi Hud ‘alaihis salam beserta orang-orang beriman, tentu saja tidak termasuk kepada orang-orang berdosa. Dan tidak Allah perintahkan untuk di hancurkan.
Jadi memang benar apabila lafadz kullu (كل) pada ayat tersebut dimaknai “SEMUA” karena kenyata’annya memang Allah Ta’ala menghancurkan semua kaum ‘Ad yang berdosa.
Adapun pengecualiannya,
ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺴَﺎﻛِﻨُﻬُﻢْ
“Kecuali tempat tinggal mereka (negri tempat mereka berada)”.
Yang tidak Allah Ta’ala hancurkan. Tidak bisa merubah makna kata kullu (كل) pada ayat tersebut. menjadi “SEBAGIAN”. Karena tempat tinggal mereka, sebagaimana halnya Nabi Hud ‘alaihis salam dan orang-orang beriman, bukan yang Allah Ta’ala perintahkan untuk di hancurkan.
Yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk dihancurkan. Yaitu kaum ‘Ad yang berdosa, Adapun Nabi Hud dan orang-orang beriman, begitu pula langit dan bumi tidak hancur, karena memang tidak Allah Ta’ala perintahkan untuk dihancurkan.
Perhatikan penjelasan Ibnu Jarir dalam tafsirnya :
اِنَّمَا عَنَى بِقَوْلِهِ : { تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِاَمْرِ رَبِّهَا } مِمَّا اُرْسِلَتْ بِهَلاَكِهِ لاَنَّهَا لَمْ تُدَمِّْ هُوْدًا وَمَنْ كَانَ آمَنَ بِهِ
“Sesungguhnya yang di maksudkan Allah Subhanahu wa ta’alla dengan firmanNya : Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya. Adalah bahwa angin menghancurkan segala sesuatu YANG DIKEHENDAKI oleh Allah Ta’alla untuk di hancurkan. Sebab angin tidak menghancurkan Nabi Hud alaihis salam dan orang-orang yang beriman kepadanya”. (Lihat: تفسير الطبرى (13/ 26-27)).
Penjelasan Ibnu Jarir dalam tafsirnya tersebut menerangkan, bahwa yang dimaksud angin yang menghancurkan segala sesuatu, maksudnya ialah YANG DI KEKENDAKI oleh Allah Ta’ala untuk di hancurkan. Dalam hal ini adalah kaum ‘Ad yang berdosa.
Penafsiran yang sama kita dapatkan dari Imam Al-Qurtubi rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas sebagai berikut :
اَيُّ كَلُّ شَيْءٍ مَرَّتْ عَلَيْهِ مِنْ رَجَالِ عَادٍ وَاَمْوَالِه
“Maksudnya, yang di hancurkan hanyalah segala sesuatu yang dilewati angin dari kaum ‘Ad dan harta mereka”. (الجامع لاحكام القرآن (16/206). Al-Qurtubi).
Dari keterangan para Ulama ahli tafsir diatas, maka jelaslah makna kata kullu (كل) yang benar pada ayat ke 25 surat Al-Ahkaf tersebut adalah “SEMUA” bukan “SEBAGIAN”.
3. Ayat lainnya yang di salah artikan,
Allah Ta’ala berfirman :
وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ
“Ratu Balqis itu telah diberikan semua (segala sesuatu)”. (Q.S An-Naml: 23).
Ahli bid’ah berkata :
Kata kullu (كل) tidak berarti semua, bisa kita perhatikan pada ayat di atas. Bagaimana bisa kata kullu (كل) diartikan semua, bukankah ratu Balqis tidak memiliki kebesaran sebagaimana kebesaran yang dimiliki Nabi Sulaiman ‘alaihis salam ?
Bantahan :
Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai ungkapan-ungkapan yang disajikan dengan gaya bahasa kinayah (kiasan).
Kata-kata kinayah bisa di fahami hanya oleh orang-orang yang mempelajari ilmu balaghah (sastra Arab).
Dalam ilmu balaghah kata “kullu” pada ayat tersebut termasuk kepada kalimat kinayah (kiasan). yang berarti menerangkan sesuatu dengan perkata’an lain.
Makna kata “kullu” (كل) yang artinya “SEGALANYA” dari ayat tersebut mengandung arti, “RATU BALQIS MEMILIKI KERAJA’AN YANG BESAR”.
Sebagaimana disebutkan pada kalimat selanjutnya, masih dalam ayat yang sama.
وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“Serta mempunyai singgasana yang besar.(QS. An-Naml: 23).
Ratu Balqis itu telah diberikan SEMUA (segala sesuatu), kalau kita fahami dengan ilmu balaghah (sastra Arab) tentu kita bisa faham, bahwa tentu saja ratu Balqis bukan berarti memiliki segalanya yang ada di dunia ini. Termasuk yang dimiliki keraja’an Nabi Sulaiman.
Arti SEMUA (segalanya) yang di miliki ratu Balqis mengandung pengertian : “RATU BALQIS MEMILIKI KERAJA’AN YANG BESAR”.
Jadi kata “kullu” (كل) pada ayat ke 23 dalam Surat An-Naml tersebut artinya memang “SEMUA” sebagai kinayah (kiasan) dari “KERAJA’AN YANG BESAR”.
Sebagai perumpama’an : Apabila ada orang kaya, dia disebut memiliki segalanya. Kita tentu faham, arti SEGALANYA yang dimaksud adalah : ORANG TERSEBUT SANGAT KAYA. Sehingga dikatakan, MEMILIKI SEGALANYA.
Kesimpulannya : Yang di sebut ratu Balqis memiliki segalanya, makna sesungguhnya ratu Balqis memang memiliki SEGALANYA dalam artian ratu Balqis memiliki KERAJA’AN YANG BESAR.
Jadi memaknai kata “kullu” (كل) pada ayat tersebut dengan artian “SEGALANYA” adalah pengertian yang benar.
MEMAKNAI KATA KULLU DENGAN BENAR
Kata KULLU (كُلُّ) bisa bermakna SEBAGIAN juga bisa bermakna SETIAP / SEMUA.
Untuk bisa mengetahui kata KULLU (كُلُّ) apakah bermakna SEBAGIAN atau SEMUA, maka kita harus memperhatikan berbagai qarinah (petunjuk) yang ada, baik dari konteks kalimat itu sendiri, maupun dari dalil-dalil lain yang shahih, atau dengan realita yang ada, sehingga kita tidak salah memaknainya.
Adapun kata KULLU (كُلُّ) pada hadìst,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Maka kata KULLU pada hadìst terebut bermakna SETIAP atau SEMUA.
Jadi arti yang benar dari hadits tersebut adalah :
”SETIAP atau SEMUA bid’ah adalah sesat”
Memaknai kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas dengan arti SETIAP atau SEMUA, bukan berdasarkan hawa nafsu. Tapi berdasarkan beberapa qarinah yang menunjukkan kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas memang menunjukkan arti SETIAP atau SEMUA.
Berikut beberapa qarinah yang menunjukkan kata kullu (كُلُّ) pada hadits diatas yang menunjukkan makna SETIAP atau SEMUA.
• Qarinah dari perkata’an para Salafus Shaalih
– Ibnu Umar berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
”Seluruh bid’ah itu sesat sekalipun manusia memandangnya baik”. (Al Lalika’i 11/50).
– Imam Malik berkata :
من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا خان الرسالة
“Siapa yang membuat bid’ah dalam agama, dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik (hasanah), berarti dia telah menuduh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengkhianati risalah”. (Al I’tishom 1/64-65).
Dari perkata’an lbmu Umar dan Imam Malik diatas, kita mendapatkan keterangan bahwa semua bid’ah sesat. Tidak ada pengecualian.
Jadi kata kullu (كُلُّ) dalam hadits كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ mengandung arti SETIAP atau SEMUA.
• Qarinah dari sikap para Sahabat
Kata kullu dalam hadits كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ bermakna SETIAP atau SEMUA juga bisa kita perhatikan dari sikap para Sahabat yang mengingkari praktek-praktek bid’ah yang di lakukan sebagian orang sa’at itu.
Perhatikan beberapa riwayat berikut ini :
(1) Sa’id bin Musayyib (tabi’in), Ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua raka’at, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata : “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab shalat ? Beliau menjawab : “Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, II/466).
(2) Shahabat yang mulia Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, menceritakan, Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bersin kemudian dia berkata, “Alhamdulillah wassalaamu ‘alaa Rasuulillaah” (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasulullah). Maka Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata : Aku juga mengatakan, “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah” (maksudnya juga bershalawat). Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami untuk mengucapkan (ketika bersin) : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal.” (Diriwayatkan olehAt-Tirmidzi, no. 2738).
(3) Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad !, Begitu cepat kebinasa’an kalian !, Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad ? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah) ?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَه
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid).
Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa para Sahabat mengingkari praktek-praktek baru dalam urusan ibadah yang tidak ada tuntunannya (bid’ah).
Kalaulah bid’ah dalam urusan ibadah itu ada yang baik, tentu para Sahabat yang disebutkan dalam riwayat-riwayat diatas tidak akan menegur orang yang melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah tersebut.
Maka jelas kata kullu (كُلُّ) pada hadìst كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ terebut bermakna SETIAP atau SEMUA.
Menurut kaidah atau ketetapan ilmu usul jika sesuatu kalimah diulang berkali-kali di beberapa tempat sebagaimana diulang-ulangnya kalimah kullu (كُلُّ) dalam menetapkan bahawa “setiap (كل) bid’ah itu sesat”, maka apabila ia terdapat dalam dalil-dalil (al-Quran, al-Hadist dan atsar yang sahih) maka ia menjadi dalil syarii kulli (دليل شرعي كلي) yaitu : “Pasti setiap (كل) bid’ah itu sesat.”
• MENURUT SEORANG ULAMA PAKAR BAHASA ARAB
Menurut Imam Asy-Syatibhi seorang Ulama Shalaf dan pakar gramatika bahasa Arab (nahu-sharf).
Imam As-Sytibhi (wafat 790 H / 1388 M), adalah seorang Ulama ahlu sunnah, yang keilmuannya diakui oleh seluruh umat Islam di dunia.
Imam Asy Sytibhi juga dikenal sebagai seorang pakar atau ahlinya dalam gramatika bahasa arab (nahwu). Beliau menulis kitab-kitab tentang ilmu nahwu dan sharf, ini sebagai bukti bahwa Imam Asy Sytibhi ahlinya dalam ilmu tata bahasa arab nahwu dan sharf.
Kitab-kitab nahwu sharf yang beliau tulis adalah :
– Al-Maqashid al-Syafiyah fi Syarhi Khulashoh al-Kafiyah, kitab bahasa tentang Ilmu nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyah Ibnu Malik.
– Unwan al-Ittifaq fi ‘ilm al-isytiqaq, kitab bahasa tentang Ilmu sharf dan Fiqh Lughah.
– Ushul al-Nahw, kitab bahasa yang membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu sharf dan Ilmu nahwu.
Kitab karya Imam Asy Syatibhi terkenal lainnya adalah :
– Al-I’tisham, kitab manhaj yang menerangkan tentang bid’ah dan seluk beluknya.
Tentang lafadz ”KULLU” pada hadits ”Kullu bid’ati dholaalah” Imam Asy Syatibhi rahimahullaah berkata :
“PARA ULAMA MEMAKNAI HADITS DI ATAS SESUAI DENGAN KEUMUMANNYA, TIDAK BOLEH DIBUAT PENGECUALIAN SAMA SEKALI. OLEH KARENA ITU, TIDAK ADA DALAM HADITS TERSEBUT YANG MENUNJUKKAN ADA BID’AH YANG BAIK (HASANAH)”.
(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah).
Para pembela bid’ah hasanah yang memaknai lafadz ”Kullu” dengan membuat pengecualian ”ada bid’ah yang baik (hasanah)”, apakah lebih pintar dan lebih faham ilmu tata bahasa Arab nahwu sharf dibanding Imam Asy Syatibhi ?
Yang kredibilitasnya sebagai Ulama dikenal luas oleh umat Islam dan juga sebagai pakar / ahlinya tata bahasa Arab, nahwu sharf.
Perkata’an Imam Asy Syatibhi tentu patut diperhatikan.
با رك الله فيكم
Дδµ$ $@ŋţ$ą $๏๓ąŋţяί

Pertanya’an Paling Mematikan Buat Para Pembela Bid’ah 

Kalau soal ngotot-ngototan para pembela bid’ah jagonya. Tidak ada dalil, mimpi dan cerita dusta pun di keluarkan.
Baiklah, Tidak usah banyak kalam, coba kita tanya mereka dengan pertanya’an di bawah ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“. . SEMUA bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim, 867).
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Dan SEMUA kesesatan tempatnya di neraka”. (HR. An Nasa’i, 1578).
Kata “KULLU” pada hadits tersebut, bermakna SETIAP atau SEMUA.
Ahli bid’ah menolak dengan keras memaknai kata “KULLU” dengan SETIAP atau SEMUA.
Menurut mereka, kata “KULLU” di situ bermakna SEBAGIAN.
Yah sudah, yang waras ngalah.
Kita coba artikan kata “KULLU” dengan makna, sebagaimana mereka inginkan, yaitu bermakna SEBAGIAN.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda ;
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“. . SEBAGIAN bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim, 867).
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Dan SEBAGIAN kesesatan tempatnya di neraka”. (HR. An Nasa).
SEBAGIAN kesesatan tempatnya dineraka ?
Kalau SEBAGIAN kesesatan tempatnya di neraka, berarti SEBAGIAN kesesatan lagi tempatnya di surga.
Bukankah di akhirat itu hanya ada dua tempat, kalau tidak masuk surga, ya masuk neraka.
Sekarang para pembela bid’ah harus bisa menjawab dengan benar ! ! !
“Sebagian” Kesesatan Apa Yang Masuk Surga ? ? ?
Wasallam . . .
Mangga di jawab wilujeng puyeng