Tuesday, October 27, 2015

Mengapa Husein Tidak Berbaiat kepada Yazid?

Mengapa Husein Tidak Berbaiat kepada Yazid?
Makan Husein bin Ali ra di Karbala, menurut keyakinan Syiah Imamiyah [ft wiki]
Perbuatan menyimpang para Hari Asyuro, baik dari kalangan yang berlebihan maupun yang meremehkan tidak lepas dari keyakinan yang keliru terhadap perang yang menyebabkan kematian Husein, cucu Rasulullah saw. Untuk itu, kiblat.net akan menyajikan beberapa tulisan berkaitan dengan hari Asyura dan tragedi Karbala. Kita awali dengan sebab-sebab Husein tidak berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah.
Sejarah mencatat bahwa Husein enggan berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah. Inilah sikap yang berakhir kepada pertempuran di Karbala yang tidak seimbang. Abdullah bin Zubair dan Ibnu Umar juga bersikap sama, meskipun para sahabat senior memilih berbaiat dan mengakui kepimpinan Yazid.
Banyak pelajaran dari sikap sahabat senior dan kalangan muda ini dalam mengambil sikap ketika melihat sesuatu yang melanggar syariat. Mari kita cermati sebab-sebab Husein enggan berbaiat, lalu kita pahami juga kisah ini secara menyeluruh yang berakhir pada tragedi Karbala.
Sebabnya utama penolakan itu ialah semangat yang besar untuk menjaga prinsip musyawarah dan agar umat ini dipimpin oleh orang yang terbaik. Keengganan yang kuat dari Husein dan Abdullah bin Zubair telah diungkapkan dengan bentuk nyata pada masa selanjutnya.
Husein ra seperti disebutkan dalam sejarah, pada awalnya tidak sudi berdamai dengan Muawiyah. Ia kemudian menerima itu karena mengikuti saudaranya, Hasan bin Ali. Pada masa inilah, Husein bin Ali senantiasa menjalin hubungannya dengan penduduk Kufah. Mereka menjanjikan kepadanya untuk melakukan pemberontakan, tetapi setelah kematian Muawiyah. Buktinya adalah setelah Muawiyah meninggal, maka para pemimpin Kufah segera menulis surat kepada Husein. Mereka meminta kepadanya untuk pergi ke Kufah secepatnya.[1]  Walaupun akhirnya mereka berkhianat dan meninggalkan Husein.
Sikap Husein untuk menentang pemerintahan Bani Umayyah melewati dua tahap:

Tahap pertama: tidak melakukan baiat kepada Yazid dan pergi ke Mekkah. Pada tahap ini, Husein menentukan sikap politiknya terhadap pemerintahan Yazid berdasarkan pandangannya terhadap legalitas pemerintahan Bani Umayyah. Dia berpendapat tidak boleh melakukan baiat kepada Yazid. Hal itu karena dua sebab. Pertama, dilihat dari aspek kelayakan, Yazid tidak layak menjadi khalifah bagi kaum muslimin karena tidak memiliki syarat-syarat keadilan.[2]  Kedua, secara politik, tidak adanya prinsip musyawarah dan kepentingan kekuasaan Bani Umayyah yang bertentangan dengan metode Islam.
Husein ra tentu saja masih ingat sabda Rasulullah saw:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa yang mati, sedangkan ia tidak memiliki baiat di pundaknya, maka ia mati dalam keadaan jahiliah.”[3]

Tetapi, pemahaman hadits itu berlaku terhadap orang yang layak untuk menduduki jabatan khalifah dan memang berhak, yang diangkat berdasarkan musyawarah kaum muslimin.[4]

Tahap kedua: tindakan nyata untuk menentang pemerintahan Bani Umayyah. Hal ini diungkapkan oleh para ahli fikih dengan istilah keluar dari penguasa.
Perlu ditunjukkan di sini bahwa Husein telah tinggal beberapa bulan di Mekkah sebelum pergi ke Irak, pada Dzulhijjah tahun yang sama.[5]  Selama itu, Husein ra saling berkirim surat dengan penduduk Irak dan banyak utusan datang kepadanya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk melawan kezaliman dan kemungkaran. Ini adalah kewajiban. Kelompok pendukungnya di Irak selalu berhubungan dengannya.[6]
Husein telah berketetapan hati dan membangun sikap politiknya untuk menentang pemerintahan Bani Umayyah. Dia berpendapat bahwa Bani Umayyah tidak menaati hukum Allah di bidang pemerintahan. Mereka telah menentang metode Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin. Husein membangun pendapatnya dengan rangkaian logika syariat. Kesewenang-wenangan Bani Umayyah dan ketidakpercayaan terhadap kecakapan serta keadilan Yazid mengharuskan tidak dilakukan baiat. Di sisi lain amar makru nahi mungkar merupakan suatu kewajiban atas semua ulama umat ini, dan salah satu kemungkaran yang terbesar adalah pemerintahan Bani Umayyah. Karena Husein merasa tidak wajib berbaiat dan dia adalah salah satu ulama umat ini, maka dia merupakan tokoh yang paling berhak untuk mengubah kemungkaran ini.
Jadi, sikapnya itu bukanlah menentang pemimpin, melainkan mengubah kemungkaran dan menghancurkan kebatilan. Sikapnya merupakan usaha untuk mengembalikan pemerintahan kepada jalan Islam yang benar.[7]  Salah satu bukti semangat besar Husein ra untuk menyelaraskan fatwa dan gerakan-gerakan politiknya dalam menentang pemerintahan Bani Umayyah dengan ajaran dan kaidah Islam adalah keengganannya untuk tetap tinggal di Mekkah ketika dia sudah berkehendak kuat untuk menentang Yazid. Tujuannya adalah agar kesucian Mekkah tidak ternodai serta menjadi medan perang dan pembunuhan. Dia berkata kepada Ibnu Abbas, “Jika aku dibunuh di tempat ini, hal ini lebih aku cintai daripada aku dibunuh di Mekkah dan kota itu dihalalkan.”[8]
———————————
[1]  Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 180

[2]  Al-Fuqahâ’ wa Al-Khulafâ’, Sulthan Hutsailan, hal. 21
[3]  Muslim, hadits no : 1851
[4]  Al-Fuqahâ’ wa Al-Fuqahâ’, hal. 22
[5]  Târîkh Ath-Thabari, VI/304; Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/494
[6]  Târîkh Ath-Thabari, VI/273, 274
[7]  Al-Fuqahâ’ wa Al-Khulafâ’, hal. 23
[8]  Târîkh Ath-Thabari, dengan menukil dari Al-Khulafâ’, hal. 25

* Disadur dari Ensiklopedi Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala jariyah kepada beliau.

Awal yang Meyakinkan Husein untuk Pergi ke Kufah

Awal yang Meyakinkan Husein untuk Pergi ke Kufah
Masjid Agung di Kufah 1915 [wiki]
Para sahabat senior dan ulama Tabiin telah menasihati Husein agar membatalkan niatnya pergi ke Kufah. Namun semua itu tidak mempengaruhi niatnya. Jaminan dukungan penduduk Kufah menjadi faktor utamanya, terutama setelah Husein mengirim utusan langsung untuk memastikan.
Setelah kedatangan surat dukungan terus berlanjut dari para pemimpin Kufah kepada Husein, timbul keinginannya untuk mengetahui fakta sejatinya. Untuk itu, dia mengutus putra pamannya, Muslim bin Uqail bin Abi Thalib untuk mengetahui kebenarannya, kemudian melaporkannya melalui surat. Jika yang mereka katakan adalah benar, dia datang kepada mereka.
Muslim bin Uqail pergi untuk menjalankan tugas itu dengan ditemani oleh Abdurrahman bin Abdullah Al-Arhabi, Qais bin Mashar Ash-Shaidawi, dan Imarah bin Ubaid As-Saluli. Ketika Muslim sudah sampai di Madinah dia mengambil dua petunjuk jalan. Di jalan ke Kufah, mereka tidak tahu arah di suatu tempat dan salah satu dari dua petunjuk jalan itu meninggal dunia karena kehausan. Muslim menulis surat kepada Husein untuk membebaskannya dari tugas itu. Hal itu karena ia merasakan adanya berbagai kesulitan yang menunggunya di Kufah. Tetapi, Husein menolak permintaannya dan memerintahkan kepadanya untuk melanjutkan perjalanan ke Kufah.
Ketika Muslim bin Uqail sampai di Kufah, pada awal kedatangannya dia singgah di rumah Mukhtar bin Abi Ubaid.[1]  Ketika Ubaidillah bin Ziyad memegang kepemimpinan di Kufah dan memulai tekanan yang keras kepada rakyat, Muslim berpindah ke rumah Hani’ bin Urwah. Hal itu karena dia takut urusannya terbongkar, selain menakutkan kedudukan dan kepentingan Hani’ sebagai salah satu pembesar Kufah. Ketika keraguan mulai muncul, Ibnu Ziyad berdiskusi dengan Hani’ bin Urwah. Muslim bin Uqail khawatir terhadap keselamatan dirinya sendiri. Akhirnya dia berpindah secepatnya ke tempat Muslim bin Ausajah Al-Asadi, salah seorang dai dari kaum Syiah.[2]  Ketika penduduk Kufah mengetahui kedatangan Muslim bin Uqail, mereka datang kepadanya. Dia dibaiat oleh 12 ribu orang.[3]  Baiat itu berhasil dilaksanakan secara diam-diam dan dengan harapan yang besar.
Ketika Muslim bin Uqail melihat penduduk Kufah sangat menginginkan kedatangan Husein, dia pun menulis surat kepada Husein, “Pemimpin ini tidak berdusta kepada keluarganya. Semua penduduk Kufah mendukungmu. Karena itu, datanglah ke sini ketika suratku ini sudah engkau terima.”[4]
Dengan surat itu, yakinlah Husein terhadap kejujuran niat penduduk Kufah dan bahwa mereka tidak memiliki pemimpin sebagaimana yang telah mereka sebutkan sebelumnya.[5]  Karena itu, dia harus memenuhi janji kepada mereka, sebab sebelumnya ia telah menulis surat kepada penduduk Kufah, “Aku telah mengirimkan kepada kalian saudara, putra paman, sekaligus orang kepercayaanku di antara anggota keluargaku. Aku memerintahkan kepadanya untuk memberitahukan keadaan dan pendapat kalian kepadaku. Jika dia sudah memberitahukan kepadaku bahwa kalian semua telah sepakat, demikian juga pendapat orang-orang yang memiliki keutamaan di antara kalian sesuai dengan tujuan kedatangan para utusan kalian dan saya telah membacanya di surat kalian, aku akan datang kepada kalian, insyâ Allâh.”[6]
Ketika surat dari Muslim bin Uqail sudah sampai kepada Husein, ia pun bersiap-siap untuk ke Kufah bersama keluarga dan orang-orang khususnya. Poin yang perlu kita garisbawahi di sini ialah dukungan 15 ribu orang Kufah yang kemudian melempem. Siapa dan ada apa dengan mereka?  [7]

—————————

[1]  Târîkh Ath-Thabari, VI/276

[2]  Târîkh Ath-Thabari, VI/384
[3]  Tahdzîb Al-Kamâl, II/301; Mawâqif Al-Muâradlah, hal. 232
[4]  Ansâb Al-Asyrâf, III/167
[5]  Târîkh Ath-Thabri, VI/672
[6]  Ibid, VI/274
[7]  Ibid, VI/305

* Disadur dari Ensiklopedi Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala jariyah kepada beliau.

Perubahan Politik Selama Perjalanan Husein ke Kufah

Perubahan Politik Selama Perjalanan Husein ke Kufah
Husein melanjutkan perjalanannya ke Kufah. Dia tidak mengetahui perubahan yang terjadi di Kufah setelah dia keluar dari Mekkah. Ketika dia sampai di perbatasan Bathn Ar-Rummah, dia mengirimkan Qais bin Mashar Ash-Shaidawi ke Kufah. Dia menuliskan surat kepada mereka untuk memberitahukan kedatangannya.[1]
Tetapi, Hushain bin Tamim menangkap utusan Husein itu, ketika dia sampai di Kadesia.[2]  Kemudian dia mengirimkannya kepada Ibnu Ziyad dan Ibnu Ziyad membunuhnya secara langsung.[3]  Kemudian Husein mengirimkan seorang utusan kepada Muslim. Lagi-lagi, utusan ini juga ditangkap oleh Hushain bin Tamim. Dan dia dikirimkan kepada Ibnu Ziyad dan dia pun membunuhnya.[4]
Tindakan-tindakan kejam Ibnu Ziyad itu berpengaruh besar terhadap para pengikut Husein. Mereka berpendapat bahwa siapa saja yang memiliki hubungan dengan Husein, akibatnya adalah dibunuh dengan sadis. Orang yang berpikir untuk memberikan bantuan kepada Husein pun membayangkan keadaan yang memilukan seperti itu.[5]
Husein merasakan bahwa segala sesuatu berjalan dengan tidak semestinya di Kufah. Khususnya ketika ada orang-orang badui yang memberitahukan kepadanya bahwa tidak ada sama sekali orang (baca: utusan) yang keluar atau masuk ke Kufah.[6]
Peringatan agar ia waspada terus-menerus berdatangan dari para suku Arab yang dia lalui. Mereka menjelaskan kepadanya bahaya yang akan dia hadapi. Tetapi, Husein tetap yakin dengan keinginannya berdasarkan banyaknya nama orang yang memberikan baiat kepadanya.[7]  Ketika Husein tiba di Zibalah,[8]  atau Syaraf,[9]  menurut pendapat lain, datanglah kepadanya berita pembunuhan Muslim bin Uqail, Hani’ bin Urwah, serta Abdullah bin Baqthar, di samping semangat penduduk Kufah yang sudah lemah dalam mendukungnya.[10]
Berita itu mengagetkan dan mengecewakan Husein ra. Mereka adalah manusia yang paling dekat dengannya, namun sudah dibunuh. Pendukungnya di Kufah pun sudah lemah semangatnya.[11]
Husein Memberikan Pilihan kepada Para Pendukungnya

Ketika Husein mendengar putra pamannya, Muslim bin Uqail, dibunuh dan semangat pendukungnya pun melemah, Husein memberitahukan hal itu kepada orang-orang yang bersamanya. Dia berkata, “Barang siapa yang ingin pergi, silakan pergi.” Maka banyak orang yang berpencar ke sebelah kanan dan kiri.[12]

Beberapa orang yang tetap bersamanya berkata, “Kami bersumpah kepadamu dengan nama Allah, untuk tidak pergi kecuali jika kamu kembali. Di Kufah kamu tidak memiliki seorang pendukung pun, bahkan kami takut mereka akan melawanmu.” Bani Uqail berkata, “Demi Allah, kami tidak akan pergi, sampai kami dapat membalaskan kematian keluarga kami atau merasakan seperti apa yang dirasakan oleh Muslim.”[13]
————————
[1]  Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/512

[2]  Târîkh Ath-Thabari, dengan menukil dari Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 266
[3]  Ath-Thabaqât, V/376; Ansâb Al-Asyrâf, III/167
[4]  Ansâb Al-Asyrâf, III/168; Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 266
[5]  Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 266
[6]  Ansâb Al-Asyrâf, III/168; Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 266
[7]  Ath-Thabaat, V/371
[8]  Zibalah sebuah tempat yang dikenal di jalan menuju Ke Makkah dari Kufah
[9]  Syaraf terletak diantara Waqishah dan Qar’â’ sekita 8 mil dari Ahsâ’.
[10]  Târîkh Ath-Thabari, VI/267
[11]  Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 267
[12]  Târîkh Ath-Thabari, VI/323
[13]  Ibid, VI/322

* Disadur dari Ensiklopedi Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala jariyah kepada beliau.