Jagalah
Allah, Ia Akan Menjagamu
Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam
bersabda: "Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau
hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon
pertolongan, mohonlah kepada Allah"
By Agus Pranowo
Allahu-akbar
Jagalah Allah Cara Menjaga Allah
Jagalah Allah Maka Allah Akan Menjagamu Jagalah Allah Maka Allah Menjagamu
Wasiat Nabi Kepada Ibnu Abbas
عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ
النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ،
إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ
تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ
بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ
بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ
اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ
كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))
Abdullah bin ‘Abbas
–radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu
beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah
Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta,
mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah
kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu
keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah
Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu
yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang
telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran
telah kering.”
Takhrij Hadits
Sejumlah ulama
pengumpul hadis telah mengabadikan hadis ini di dalam karya tulis mereka. Di
antaranya adalah: Imam Tirmidzi di dalam kitab beliau Sunan At Trmidzi no.
2516, Imam Ahmad bin Hambal di dalam kitab Al Musnad: 1/307, dan beberapa ulama
lainnya.
Biografi Singkat
Perawi Hadits
Untaian nasihat ini
disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat kecil
beliau, Abdullah bin Abbas. Putra pamannya inilah yang pernah beliau doakan,
“Ya Allah,pahamkan dia terhadap agama dan ajarilah ia ilmu tafsir”. Berkat
berkah doa Rasulullah ini ia menjadi seorang yang pakar dalam tafsir Alquran
dan pakar dalam ilmu agama lainnya, hingga beliau digelari “Habrul Ummah” (Ahli
Ilmu Umat ini). Pemuda yang juga bergelar al bahru (samudera ilmu) ini
dilahirkan tiga tahun menjelang peristiwa Hijrah nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dan meninggal dunia pada tahun 67 atau 68 hijriyah.1
Penjelasan Hadits
Di dalam hadis ini
Rasulllah shallallallahu ‘alaihi wasallammewasiatkan beberapa untai kalimat
kepada Ibnu ‘Abbas,
Untaian Kalimat yang
Pertama, ‘Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu’.
Melalui putra
pamannya itu, Nabi mengajarkan kita semua, bila kita menjaga Allah dengan
sebaik-baiknya, Allah pasti akan menjaga kita dengan penjagaan yang melebihi
upaya kita.
Menurut para ulama,
menjaga Allah artinya menjaga batasan-batasan-Nya, hak-hak, perintah-perintah,
serta larangan-larangan-Nya. Bentuk aplikasinya adalah dengan berkomitmen untuk
menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui batasan
yang dilarang oleh-Nya. Jika semua itu dikerjakan, maka ia termasuk orang yang
menjaga Allah sebaik-baiknya.2 Pemilik kriteria inilah yang disanjung oleh
Allah Ta’ala,
هَذَا مَا
تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ
“(Kepada mereka
dikatakan), “Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, kepada setiap hamba yang
senantiasa bertobat (kepada Allah) dan menjaga (segala
peraturan-peraturan-Nya).” (QS. Qaf: 32)
Di antara hak-hak
Allah yang paling agung yang wajib dijaga oleh seorang hamba adalah memurnikan
segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?”
Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian Rasulullah
bersabda, ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah hanya kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari: 2856 dan Muslim: 48)
Juga termasuk upaya
menjaga Allah adalah menjaga shalat agar senantiasa tepat pada waktunya.
Demikian juga
termasuk dalam upaya menjaga Allah adalah menjaga lisan dari segala bentuk
kedustaan, perkataan kotor, adu domba, menggunjing, dan menjaga kemaluan serta
menundukkan pandangan.
Rasulullah shallallahu
‘alihi wasallam bersabda;
“Jika kalian bisa
menjamin enam hal, maka aku akan jamin kalian masuk surga: [1] Jujurlah dalam
berucap; [2] tepatilah janjimu; [3] tunaikanlah amanatmu; [4] jaga kemaluanmu;
[5] tundukkan pandanganmu; [6] dan jaga perbuatanmu.” (HR. Al Hakim:8066 dan
Ibnu Hibban: 107)3
Jika seseorang telah
menjaga Allah dengan menjaga hak, perintah, dan larangan-Nya, maka
konsekuensinya Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Yaitu, “Niscaya
Allah akan menjagamu.” Orang yang bersedia untuk menjaga Allah maka Allah akan
membalasnya dengan penjagaan pula, bahkan penjagaan Allah tentu lebih baik.
Menurut Ibnu Rajab,
penjagaan Allah itu mengandung dua unsur4:
Pertama, Allah akan
menjaga hamba-Nya yang saleh dengan memenuhi kebutuhan dunianya, seperti
terjaga badan, anak, keluarga, dan hartanya. Di antara bentuk penjagaan jenis
ini, Allah menciptakan malaikat yang bertugas menjaga manusia. Allah berfirman,
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ
مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ
“Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu bergiliran menjaganya dari depan dan dari
belakang, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar Ra’du: 11)
Dan ada kalanya jika
Allah ingin menjaga hamba-Nya, maka Allah akan menjaga anak keturunannya,
meskipun ia sudah tiada. Hal ini sebagaimana telah Allah buktikan dalam kisah
dua anak yatim yang ditolong oleh Khidir. Anak tersebut ditolong lantaran orang
tuanya adalah orang yang saleh. Allah berfirman,
وَكَانَ أَبُوهُمَا
صَالِحًا
“Dan ayahnya adalah
seorang yang saleh” (QS. Al Kahfi: 82)
Berkenaan dengan ayat
ini, imam Al Baghawi menukilkan perkataan Muhammad bin Munkadir, “Sesungguhnya
berkat kesalehan seorang hamba, Allah akan menjaga anak keturunannya, sanak
famili, dan keluarganya, serta orang-orang yang ada di sekitar rumahnya.5
Kedua, Allah akan
menjaga agama dan imannya, inilah penjagaan yang paling agung dan mulia. Hamba
itu terjaga dari perkara syubhat yang menyesatkan dan dari syahwat yang
diharamkan.
Hal ini sebagaimana
telah Allah buktikan pada nabi Yusuf ketika ia digoda oleh seorang perempuan
jelita berdarah biru. Wanita tersebut mengajak Yusuf untuk melakukan perbuatan
keji di sebuah ruangan yang sangat sepi. Meskipun Yusuf juga berhasrat
kepadanya, akan tetapi Allah menjaganya sehingga ia selamat dari perbuatan keji
tersebut. Allah berfirman,
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ
عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah kami
palingkan Yusuf dari keburukan dan kekejian. Sungguh dia terasuk dari hamba
kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24)
Itulah rahasia yang
tersirat di dalam firman Allah,
وَاعْلَمُواأَنَّاللَّهَيَحُولُبَيْنَالْمَرْءِوَقَلْبِهِ
“Ketahuilah
sesungguhnya Allah membatasi antara seorang hamba dan hatinya.”
(QS. Al Anfal: 24)
Imam Ath Thabari
menjelaskan makna ayat ini dengan menukil perkataan Imam Adh Dhahak, “Maksudnya
Allah memberi pembatas antara orang kafir dengan ketaatan, dan memberi pembatas
antara orang mukmin dengan kemaksiatan.”
Itulah balasan dari
Allah kepada hamba-Nya yang sudi menjaga Allah Ta’ala. Adapun orang yang tidak
mau menjaga Allah, maka Allahpun juga enggan menjaganya.
Untaian Kalimat
Kedua, “Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu“
Maksudnya jika engkau
menjaga Allah maka Dia senantiasa di depanmu untuk membimbingmu menuju
jalan-jalan kebaikan, serta mencegahmu dari segala keburukan.6
Untaian kalimat kedua
ini menjadi penguat dari untaian kalimat yang pertama.
Dari penjelasan di
atas, maka bisa diambil faedah bahwa orang yang menjaga Allah maka ia akan
mendapatkan dua manfaat sekaligus:
Mendapatkan penjagaan
dari Allah
Allah akan sentiasa
membimbing di depannya
Ini membuktikan
betapa luar biasa balasan dan apresiasi Allah kepada hamba-Nya. Kita sadari,
betapa pun upaya kita menjaga Allah, tetap saja kita tidak akan pernah bisa
melakukan yang terbaik sesuai dengan perintah-Nya. Tapi, Allah selalu membalas
dengan balasan terbaik yang sejatinya itu jauh tak sebanding dengan usaha kita
yang serba terbatas.
Sungguh tidak pantas
jika kita berupaya menjaga Allah dengan segenap ibadah akan tetapi ibadah
tersebut kita nodai dengan riya dan kesyirikan.
Untaian Kalimat
Ketiga, “Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah.”
Artinya, jika engkau
hendak menginginkan sesuatu, maka mintalah kepada Allah, jangan meminta kepada
makhluk, sebab Allah adalah Maha Pencipta. Dia-lah yang mampu mengabulkan
segala permintaan hamba-Nya, sedangkan makhluk serba diliputi keterbatasan,
seringkali tidak mampu atau tidak mau.
Di samping itu,
meminta dan berdoa kepada Allah adalah ibadah yang Allah perintahkan kepada
hamba-Nya. Bahkan di situlah seorang hamba menampakkan kerendahannya, mengemis,
meminta kepada Allah Yang Maha Agung. Olehkarena itu Allah memerintahkan,
وَاسْأَلُوا اللَّهَ
مِنْ فَضْلِهِ
“Mohonlah kepada
Allah sebagian karunia-Nya.” (QS. An Nisa: 32)
Lebih dari itu,
bahkan Allah murka kepada orang yang tidak mau meminta kepada-Nya. Allah
berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي
سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu
berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagimu. Sesungguhnya
orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk ke neraka Jahanam.”
(QS.Al Mu’minun: 60)
Benarlah seorang
pujangga Arab mengatakan,
لاَتَسـْــألَــنَّبُنــيِّآدمَحَــاجَــةوَسَــــلِالذِيأَبْوَابُــــهُلَايُحـْجَــب
اللـهُ يَغـْضَـبُ
إنْ تَرَكْـتَ سُــؤَالَهوبني آدم حيــنَ يُـسْـــأَلُ يَغْضـَــبُ
Nak, jangan pernah
kau meminta kepada hamba
Mintalah kepada
pemilik pintu yang sentiasa terbuka
Sungguh Allah murka
jika kau tak meminta kepada-Nya
Sedangkan anak adam
akan murka jika kau meminta kepadanya
Untaian Kalimat
Keempat, “Jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.”
Pantas lah jika kita
diperintahkan untuk meminta pertolongan kepada Allah, sebab Dia-lah yang
memiliki kerajaan langit dan bumi. Itulah sebabnya kita diwajibkan untuk berdoa
dalam setiap shalat kita,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al Fatihah: 4)
Untaian Kalimat
Kelima, “Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu
keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah
Allah tetapkan untukmu”
Rasulullah mengawali
untaian ini dengan perkataan, “Ketahuilah”. Ini menunjukkan untaian kalimat ini
merupakan kalimat yang penting untuk diketahui.7
Makna hadis ini,
seandainya seluruh manusia atau bahkan seluruh makhluk bersatu untuk memberikan
keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu dapatkan, kecuali jika Allah
telah menakdirkannya di lauh mahfudz.
Dengan untaian
nasihat ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita
bagaimana seharusnya kita beriman kepada takdir. Pada hakikatnya seluruh
manusia tidak bisa memberikan manfaat kepada sesamanya, kecuali dengan takdir
Allah. Jika demikian sudah seharusnya seluruh permintaan kita ditujukan kepada
Allah semata, bukan kepada sesama manusia. Sebab pada hakikatnya yang bisa
memberikan manfaat hanyalah Allah semata.8
Untaian Kalimat
Keenam, “Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang
membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah
Allah tetapkan untuk dirimu.”
Ini juga menunjukan
bahwa seluruh mara bahaya pada hakikatnya datang dari Allah, terjadi dengan
takdir dan kehendak-Nya. Jika demikian halnya maka sudah semestinya kita
memohon perlindungan hanya kepada Allah, bukan kepada makhluk. Sebab pada
hakikatnya hanya Dia yang mampu mencegah dan mendatangkan mara bahaya.
Untaian Kalimat
Ketujuh, “Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Yang dimaksud dengan
“pena” di sini adalah pena yang menulis seluruh takdir manusia. Sedangkan
maksud dari “lembaran-lembaran” adalah lembaran yang digunakan untuk mencatat
takdir. Ini artinya seluruh perkara dan kejadian sudah ditetapkan. Apapun yang
ditetapkan untuk kita, baik-buruknya pasti akan terjadi.9 Tidak ada gunanya
berkeluh kesah terhadap apa yang menimpa kita. Sebab itu semua datang dari
Allah Ta’ala.
Demikanlah bunga
rampai nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga
kita bisa mengambil manfaat darinya, sebagaimana Ibnu ‘Abbas telah banyak
mengambil manfaat darinya.
—
Jember, 17 desember
2013
Catatan Kaki
1 Lihat biografi
selengkapnya dalam Siyar A’lam an Nubabala; 4/169
2 Lihat Jami’ul ‘Ulum
wal Hikam, hal. 346
3 Hadis ini
dinyatakan shahih oleh Imam Hakim dalam kitab mustadrak dan dinyatakan shahih
juga oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Shahihah: 1470
4 Ibid, hal. 348-353
5 Tafsir al Baghawi:
3/55
6 Syaikh Utsaimin
dalam Syarah Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 241-242
7 Syaikh Utsaimin
dalam Syarah Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 243
8 Disarikan dari
penjelasan syaikh fauzan dalam Syarh Arbain Nawawiyah, hal. 172-173
9 Disarikan dari
penjelasan Syaikh ‘Utsaimin dalam Syarh Arba’in Nawawiyah, hal. 243
Referensi
1. Ibnu Rajab, Adur
Rahman. (1429 H). Jami’ul ‘Ulum wal Hikam. Arab Saudi: Dar Ibnul Jauzi.
2. Al ‘Utsaimin,
Muhammad. (1433 H). Syarh Al Arba’in An Nawawiyah. ‘Unaizah, KSA: Muassah
Syaikh ‘Utsaimin.
3. Fauzan, Shalih.
(2008). Syarh Al Arba’in An NAwawiyah. Riyadh, KSA: Darul ‘Ashifah.
4. Al Baghawi, Al
Husain bin Mas’ud. (1432 H). Ma’alimut Tanzil. Riyadh, KSA: Dar Ath Thayyibah.
5. Al Albani,
Nashiruddin. (1995). Silsilah Al Ahadits As Shahihah. Riyadh, KSA: Maktabah Al
Ma’arif.
—
Penulis:
Agus Pranowo
Murajaah:
Ust. Misbahuzzulam, Lc, M.H.I
Artikel
Muslim.Or.Id
JAGALAH ALLAH AZZA WA JALLA, NISCAYA ALLAH AZZA WA
JALLA MENJAGAMU
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas
عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِِ عَبَّاسٍٍٍِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ : كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمًا ، فَقَالَ «يَا غُلَامُ ! إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ : اِحْفَظِ اللهَ
يَحْفَظْكَ ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ
، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَـعِنْ بِاللهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ
لَوِاجْتَمَعَتْ عَلىَ أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ ؛ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلَّا
بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَ إِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ
بِشَيْءٍ ؛ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ ،
رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ :
حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيِحٌ. وَفِي رِوَايَةٍ غَيْرِ التِّرْمِذِيِّ : «اِحْفَظِ
اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي
الشِّدَّ ةِ. وَاعْلَمْ أَنَّ مَاأَخْطَأَكَ ؛ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ ، وَمَا
أَصَابَكَ ؛ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ
الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الكَرْبِ ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا».
Dari Abul ‘Abbas
‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma , ia mengatakan, “Pada suatu hari, aku
pernah dibonceng di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
bersabda, ‘Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat:
‘Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan
mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau memohon (meminta), mohonlah kepada
Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.
Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat
kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan
sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul
untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan
dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang
telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah
kering.’” [HR. at-Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahîh.”]
Dalam riwayat selain
at-Tirmidzi disebutkan, “Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di
hadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika
susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa
yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu
bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan
ada kemudahan.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih,
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2516), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal
Lailah (no. 425), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 316, 317, 318), Abu
Ya’la dalam Musnadnya (no. 2549), Ahmad (I/293, 303, 307), Al-Ajurri dalam
asy-Syarî’ah (II/829-830, no. 412), al-Lâlika-i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis
Sunnah wal Jama’ah (no. 1094, 1095), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (no.
11243, 11416, 11560, 12988), ‘Abd bin Humaid dalam Musnadnya (no. 635),
al-Hâkim (III/541, 542), Abu Nu’aim dalam al-Hilyatul Auliyâ’ (I/389, no.
1110), al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 192).
Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Zhilalul Jannah fî Takhrîjis Sunnah
(no. 315-318) dan Hidâyatur Ruwât (no. 5232), dishahihkan juga oleh Syaikh
Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad (no. 2669, 2763, 2804).
SYARAH HADITS
1. JAGALAH ALLAH AZZA
WA JALLA, NISCAYA DIA AZZA WA JALLA AKAN MENJAGAMU
Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jagalah Allah,”
Maksudnya jagalah
batas-batas Allah, hak-hak-Nya, serta menjaga perintah-perintah dan
larangan-larangan-Nya dengan mengerjakan kewajiban dan meninggalkan hal-hal
yang diharamkan. Demikian pula, dengan mempelajari agama-Nya sehingga dengannya
engkau dapat beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan bermuamalah dengan
manusia serta mendakwahkannya di jalan Allah.
Hal-hal terbesar yang
harus dijaga oleh seorang hamba
1. Tauhid Yang
Merupakan Hak Allah Azza Wa Jalla Yang Paling Besar
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
يَا مُعَاذُ،
أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْـعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْـعِبَادِ عَلَى
اللهِ؟ قُلْتُ: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: حَقُّ اللهِ عَلَى
الْـعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَحَقُّ
الْـعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.
“Wahai Mu’adz,
tahukah engkau apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya, dan apa
hak hamba atas Allah?” Mu’adz pun menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih
mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para
hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah hanya kepada Allah saja dan mereka
tidak boleh berbuat syirik (menyekutukan Allah) dengan suatu apa pun juga.
Sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah adalah bahwa Allah tidak
akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya.”[1]
Setiap muslim dan
muslimah wajib memenuhi hak Allah, yaitu dengan mengikhlaskan ibadah hanya
kepada Allah Azza wa Jalla , mentauhidkan Allah dalam seluruh ben-tuk ibadah
dan ditujukan hanya kepada Allah saja dan tidak boleh berbuat syirik, tidak
boleh menyekutukan Allah dengan suatu apa pun juga.
2. Shalat Wajib Lima
Waktu.
Allah Azza wa Jalla
berfirman:
حَافِظُوا عَلَى
الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Jagalah segala
shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha; berdirilah karena Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu’ [al-Baqarah/2:238]
وَالَّذِينَ هُمْ
عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
Dan orang-orang yang
memelihara shalatnya. [al-Ma’ârij/70:34]
Menjaga shalat wajib
lima waktu, yaitu melaksanakan dan memerintahkannya kepada keluarga dan
saudara-saudara kita, dengan memperhatikan waktu, tata cara, khusyu’, dan
berjama’ahnya.
3. Menjaga Thaharah
(bersuci)
Seorang mukmin dan
mukminah harus menjaga dirinya dari hadats kecil dan hadats besar dengan
thaharah (bersuci), yaitu berwudhu dan mandi janabah serta mandi setelah bersih
dari haid dan nifas.
Bersuci termasuk
sebagian dari iman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
… اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ…
Bersuci adalah
sebagian dari iman [2]
Berwudhu adalah kunci
shalat. Seseorang tidak akan diterima shalatnya apabila dia tidak berwudhu.
Seorang hamba terkadang batal wudhunya, sedangkan dia tidak mengetahuinya
ke-cuali Allah Azza wa Jalla . Karena itu, menjaga wudhu untuk shalat
menunjukkan konsistensi iman pada hati seorang hamba.
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاعْلَمُوْا أَنَّ
خَيْـرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ، وَلَا يُـحَافِظُ عَلَى الْوُضُوْءِ إِلَّا
مُؤْمِنٌ.
“… Dan ketahuilah
bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang menjaga wudhu
melainkan orang mukmin.”[3]
4. Menjaga Sumpah
Allah Azza wa Jalla
berfirman:
وَاحْفَظُوا
أَيْمَانَكُمْ
“… Dan jagalah
sumpahmu…” [al-Mâ-idah/5:89]
Apabila seseorang
bersumpah kemudian ia tidak melaksanakan sumpah tersebut atau dilanggar, maka
ia berdosa dan wajib membayar kaffârat (tebusan). Yaitu:
1. Memberi makan 10
orang miskin, atau
2. Memberikan pakaian
kepada mereka, atau
3. Memerdekakan
budak.
Barangsiapa yang
tidak mampu melakukannya, maka ia berpuasa tiga hari.
Dan jangan
sekali-kali bersumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla . Krena
barangsiapa bersumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla , ia telah berbuat
syirik.
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ
اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa bersumpah
dengan selain Nama Allah, maka ia telah ber-buat syirik [4]
5. Menjaga Kepala Dan
Perut.
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
اِسْتَحْيُوْا مِنَ
اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ ؛
فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرِ
الْـمَوْتَ وَالْبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا ،
فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.
Hendaklah kalian malu
kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Barangsiapa yang malu kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya,
hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu
ingat kematian dan busuknya badan. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan
akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang
mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan
sebenar-benar malu.[5]
Yang ada pada kepala
adalah: (1) mata, yaitu dengan menjaganya agar tidak melihat yang haram, (2)
telinga, yaitu dengan menjaganya agar tidak mendengarkan hal-hal yang haram,
seperti musik, lagu, ghibah, dan lainnya, dan (3) lisan, yaitu dengan
menjaganya dari pembicaraan yang mengandung dosa berupa ghibah, caci maki, adu
domba, memfitnah dan semisalnya. Sedang menjaga perut ialah dengan menjaganya
agar barang-barang yang haram tidak masuk ke dalamnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ
مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Setiap badan yang
dagingnya tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih layak bagi dirinya. ”[6]
Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Niscaya Dia Akan Menjagamu”.
Maksudnya,
barangsiapa menjaga perintah-perintah Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan
kewajibannya serta menahan diri dari apa yang dilarang darinya, niscaya Allah
Azza wa Jalla akan menjaga agama, keluarga, harta, dan dirinya karena Allah
Azza wa Jalla akan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan-Nya.
Karena, amal itu tergantung dari jenis amal. Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنْ تَنْصُرُوا
اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ
Jika engkau menolong
(agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu. [Muhammad/47:7]
Penjagaan Allah Azza
wa Jalla terhadap hamba-Nya terbagi dua:
Pertama : Allah Azza
wa Jalla akan menjaga para hamba-Nya dalam urusan duniawinya. Seperti penjagaan
Allah atas badan, harta, anak, dan keluarga dari para hamba-Nya. Allah akan
menjaga anak keturunan orang-orang shalih yang menjaga batas-batas-Nya,
sebagaimana firman-Nya:
وَكَانَ أَبُوهُمَا
صَالِحًا
Dan ayah kedua (anak
ini) adalah orang shalih. [al-Kahfi/18:82]
Di dalam (ayat ini)
terdapat dalil bahwa seorang yang shalih akan senantiasa dijaga keturunannya
oleh Allah Azza wa Jalla . Begitu juga, barokah ibadahnya mencakup para anak
keturunannya di dunia dan di akhirat.[7] Apabila seorang hamba menyibukkan diri
dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , maka Allah Azza wa Jalla akan menjaganya.[8]
Kedua, dan ini yang
paling penting, yaitu penjagaan Allah Azza wa Jalla atas agamanya dan
menyelamatkannya dari kesesatan. Karena, jika seseorang diberi petunjuk, maka
Allah Azza wa Jalla akan menambahkan petunjuk kepadanya. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
وَالَّذِينَ
اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
Dan orang-orang yang
mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi
ketakwaan kepada mereka. [Muhammad/47:17]
Dari keterangan ini
diketahui bahwa orang yang tidak menjaga Allah Azza wa Jalla , maka dia tidak
berhak mendapat penjagaan-Nya. Dan di dalamnya juga terkandung motivasi untuk
selalu menjaga batas-batas Allah Azza wa Jalla .
2. KEBERSAMAAN DAN
PERTOLONGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA
Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jagalah Allah, niscaya engkau akan
mendapati-Nya di hadapanmu.”
Maksudnya,
barangsiapa menjaga batas-batas Allah Azza wa Jalla dalam diri dan keluarganya
serta tetap istiqamah dalam mengikuti al-Qur-ân dan Sunnah, maka Allah Azza wa
Jalla akan bersamanya dalam setiap keadaan. Allah Azza wa Jalla akan selalu
memperhatikannya, menjaganya, memberikan taufik kepadanya, meluruskannya, dan
senantiasa melindungi, dan menolongnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللهَ مَعَ
الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَالَّذِيْنَ هُمْ مُحْسِنُوْنَ.
Sesungguhnya Allah
bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan.
[an-Nahl/16:128]
Qatadah rahimahullah
berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , maka Allah
Azza wa Jalla akan bersamanya. Dan barangsiapa yang Allah Azza wa Jalla
bersamanya, maka dia masuk dalam golongan yang tidak dapat dikalahkan, dia
bersama penjaga yang tidak tidur, dan dia bersama pemberi petunjuk yang tidak
menyesatkan.”[9]
3. KENALILAH ALLAH
SUBHANAHU WA TA’ALA DI SAAT SENANG, NISCAYA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
MENGENALMU DI SAAT SUSAH
Ini adalah hikmah
nabawiyah yang selayaknya dijaga dan disebarkan yaitu melakukan ajakan untuk
mengenal Allah Azza wa Jalla di saat senang, sehat, kaya, aman, dan kuat.
Mengenal Allah Azza wa Jalla dapat dilakukan dengan cara menjaga berbagai
kewajiban, menjauhi berbagai larangan, dan menambah usaha mendekatkan diri
kepada-Nya dengan memperbanyak amalan sunnah. Maka, barangsiapa mengenal Allah
Azza wa Jalla dalam keadaan seperti ini, Allah Azza wa Jalla akan mengenalnya
pada saat keadaannya susah, sempit, fakir, sakit.
Sungguh, kekasih kita
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengenal Rabb-nya di saat
senang, maka Allah Azza wa Jalla mengenal beliau pada saat berada di gua, pada
saat Perang Badar, dan Perang Ahzâb, lalu Allah Azza wa Jalla menolongnya,
meneguhkannya, mengalahkan musuh-musuhnya. Demikian pula, Nabi Yunus q mengenal
Rabb-nya pada saat senang, maka Allah Azza wa Jalla mengenalnya pada saat
berada di dalam perut ikan lalu menyelamatkannya, meneguhkan hatinya, dan
menolongnya.[10] Maka, barangsiapa yang bermuamalah dengan Allah Azza wa Jalla
dengan takwa dan menaati-Nya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla akan
memberikan kasih sayang kepadanya dan menolongnya di saat dia mengalami
kesulitan.[11]
4. SABDA RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM: “JIKA ENGKAU MEMINTA, MAKA MINTALAH KEPADA
ALLAH.”
Maksud dari meminta
di hadits ini adalah doa, sedang doa adalah ibadah. Rasululllah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلدُّعَاءُ هُوَ
الْعِبَادَةُ
Doa adalah ibadah.
Kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla :
وَقَالَ رَبُّكُمُ
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Rabb kalian
berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan doa
kalian.’”[Ghâfir/40:60] [12]
Wajib bagi setiap
muslim agar meminta kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak boleh meminta kepada
selain Allah Azza wa Jalla dalam perkara-perkara yang tidak mungkin terwujudkan
kecuali oleh Allah Azza wa Jalla semata. Barangsiapa jatuh ke dalamnya, berarti
ia telah jatuh dalam kesyirikan. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَمَنْ أَضَلُّ
مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
Dan siapakah yang
lebih sesat daripada orang-orang yang berdo’a (menyembah) kepada selain Allah,
(sembahan) yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari Kiamat…
[al-Ahqâf/46:5]
Adapun tentang
meminta-minta kepada manusia dalam urusan dunia yang mampu diwujudkan, maka
terdapat dalil-dalil yang banyak yang melarang dan mengecamnya. Diantaranya,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يَزَالُ
الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِـيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِـيْ
وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَـحْمٍ.
“Seseorang senantiasa
meminta-minta kepada orang lain, hingga ia datang pada hari Kiamat dalam
keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.”[13]
Hadits ini dan yang
sepertinya menunjukkan haramnya minta-minta kepada orang lain, dan tidak boleh
dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
5. SABDA RASULULLAH
SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM: “JIKA ENGKAU MEMINTA PERTOLONGAN, MINTALAH
PERTOLONGAN KEPADA ALLAH.”
Maksudnya, jika
engkau meminta suatu kebutuhan maka janganlah meminta kecuali kepada Allah Azza
wa Jalla , jangan sekali-kali meminta kepada makhluk. Seandainya engkau meminta
kepada makhluk sesuatu yang ia mampu memberikannya, maka ketahuilah bahwa itu
termasuk perantara saja, sedang yang berkuasa mewujudkan sebab itu adalah Allah
Azza wa Jalla . Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, Dia akan menghalanginya
memberikan apa yang engkau minta. Maka bersandarlah hanya kepada Allah Azza wa
Jalla . [14]
Seorang hamba
meskipun telah diberikan kedudukan, kekuatan, dan kekuasaan, dia tetap saja tak
mampu dan lemah untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya dari dirinya
sendiri. Oleh karena itu, ia wajib meminta tolong kepada Allah Azza wa Jalla
semata untuk kebaikan agama dan dunianya. Barangsiapa yang ditolong Allah Azza
wa Jalla , dialah orang yang ditolong dan diberi taufik, dan barangsiapa yang
dihinakan-Nya dan dibiarkan sendirian, maka dialah orang yang rugi dan
bangkrut.
Maka, wajib atas
setiap muslim untuk memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla untuk
menaati-Nya dan meninggalkan perbuatan maksiat kepada-Nya, mohon pertolongan
untuk sabar terhadap seluruh takdir-Nya serta keteguhan hati pada hari bertemu
dengan-Nya, yaitu pada hari dimana anak dan harta tidak bermanfaat lagi.
Allah Azza wa Jalla
berfirman:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada
Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
[al-Fâtihah/1:5]
Dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِحْرِصْ عَلَى مَا
يَنْفَعُكَ ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ ، وَلَا تَعْجَزْ…
“Bersungguh-sungguhlah
terhadap apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan jangan
lemah.”[15]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada Muadz bin Jabal
Radhyallahu anhu agar selalu berdzikir sesudah shalat wajib lima waktu, agar
membaca:
اللَّهُمَّ
أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ
Ya Allah,
tolonglahlah aku dalam berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah
dengan baik kepada-Mu[16]
Seorang hamba pasti
memerlukan bantuan Allah Azza wa Jalla, baik untuk mengerjakan perintah atau
meninggalkan larangan dan sabar dalam ujian, seperti yang dialami oleh Nabi
Ya’kub Alaihissallam yang telah beliau sampaikan kepada putranya lewat firman
Allah Azza wa Jalla :
فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ
وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
Maka kesabaran yang
baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya
terhadap apa yang kamu ceritakan. [Yûsuf/12:18]
6. IMAN KEPADA QADHA
DAN QADAR
Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Ketahuilah, bahwa seandainya
seluruh ummat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak
akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah
ditetapkan Allah untukmu.”
Maksudnya, jika
seluruh manusia yang pertama sampai yang terakhir berkumpul untuk memberikan
suatu manfaat kepadamu, mereka sekali-kali tidak akan mampu melakukannya,
kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Oleh karena itu,
apabila ada makhluk yang memberikan manfaat kepada seseorang, maka hal itu pada
hakikatnya bersumber dari Allah Azza wa Jalla karena Allahlah yang telah
menentukan manfaat itu untuknya. Hal ini menjadi pendorong bagi kita untuk
bersandar kepada Allah dan meyakini bahwa seluruh manusia tidak akan mampu
mendatangkan suatu kebaikan kepada kita atau membahayakan kita kecuali dengan
izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.[17]
Sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk
menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat
menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah
Allah tetapkan atasmu.”
Oleh karena itu, jika
engkau mendapat keburukan dari seseorang, yakinilah bahwa Allah telah
menetapkan keburukan itu atasmu, maka ridhalah terhadap qadha dan qadar Allah.
Dan tidak ada salahnya engkau berusaha menolak keburukan tersebut karena Allah
Ta’ala berfirman,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ
سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
“Dan balasan suatu
kejahatan adalah kejahatan serupa…” [asy-Syûrâ/42: 40][18]
Sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran
telah kering.”
Ini adalah kiasan
yang menunjukkan bahwa penulisan semua takdir telah selesai sejak dahulu kala.
Karena sebuah buku jika telah selesai ditulisi, pena-pena diangkat darinya, dan
telah berlalu sekian lama, maka tinta yang dipakai menulis menjadi kering, dan
buku-buku yang ditulis dengan tinta itu menjadi kering pula. Ini merupakan
kiasan terbagus dan terindah. [19]
Semua yang terjadi
dan yang akan terjadi di langit dan di bumi serta di antara keduanya, mulai
penciptaan makhluk sampai manusia masuk Surga dan Neraka, semua itu sudah
tercatat di Lauhul Mahfûzh.
Banyak sekali ayat
al-Qur’an dan hadits-hadits yang menunjukkan makna tersebut. Di antaranya,
firman Allah Ta’ala,
مَا أَصَابَ مِنْ
مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ
أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Setiap bencana yang
menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam
Kitab (Lauh Mahfûzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu
mudah bagi Allah.” [al-Hadîd/57: 22].
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا
خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، قَالَ لَهُ: اُكْتُبْ! قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟
قَالَ: اُكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ
“Sesungguhnya makhluk
yang pertama diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman
kepadanya, ‘Tulislah.’ Ia menjawab, ‘Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?’
Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadi hari
Kiamat.’”[20]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga bersabda,
كَتَبَ اللهُ
مَقَادِيْرَ الْـخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَـخْلُقَ السَّمَـاوَاتِ وَالْأَرْضِ
بِـخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.
“Allah telah menulis
takdir-takdir seluruh makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan
bumi.”[21]
Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak
akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu.”
Maksudnya, apa yang
telah terjadi padamu tidak akan tertolak darimu, dan apa yang tidak akan engkau
peroleh tidak mungkin pula engkau mendapatkannya. Mungkin juga (sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiatas-red) bermakna : apa yang telah
Allah takdirkan akan menimpamu, tidak akan meleset darimu, pasti terjadi. Dan
apa yang Allah takdirkan tidak menimpamu, maka hal itu tidak akan menimpamu
selama-lamanya. Segala urusan ada di tangan Allah. Kondisi ini mendorong
manusia agar bersandar kepada Allah secara total. [22]
Iman kepada qadha dan
qadar memiliki empat tingkatan:
1. al-‘ilmu :
maksudnya seorang mukmin yang beriman kepada qadar harus meyakini bahwa Allah
Maha Mengetahui semua yang ada di alam ini,
2. al-Kitâbah,
maksudnya seorang mukmin meyakini bahwa semua kejadian – baik yang telah,
sedang, maupun akan terjadi- telah Allah tuliskan di Lauhul Mahfuzh
3. al-Masyî-ah,
maksudnya seorang mukmin meyakini bahwa semua hal yang terjadi tidak lepas dari
kehendak Allah
4. al-Khalq,
maksudnya bahwa manusia mempunyai kehendak dan keinginan, akan tetapi semuanya
tidak lepas dari kehendak dan kekuasaan Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَمَا تَشَاءُونَ
إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb
semesta alam.” [ at-Takwîr/81: 29]
Kemudian meyakini
bahwa semua yang terjadi ini karena Allah yang menciptakannya. Allah l
berfirman,
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ
وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah
yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” [ash-Shaffât/37: 96]
Sedangkan terhadap
musibah, ada dua tingkatan bagi orang mukmin yaitu : (1) Ridha dengannya. (Ini
tingkatan yang paling tinggi). Dan (2) Sabar terhadapnya.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ
الْـمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَِحَدٍ إِلاَّ
لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ
أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.
“Sungguh menakjubkan
urusan seorang mukmin. Sungguh, semua urusannya adalah baik, dan yang demikian
itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang mukmin, yaitu jika ia
mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika
ia mendapat musibah, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya” [23]
7. KEMENANGAN ADA
BERSAMA KESABARAN
Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama
kesabaran.”
Dalam kalimat ini
terdapat anjuran agar berlaku sabar karena jika (diketahui) kemenangan bersama
kesabaran, maka seseorang pasti akan bersabar demi memperoleh kemenangan.[24]
Makna seperti ini diperkuat oleh firman Allah Azza wa Jalla ,
قَالَ الَّذِينَ
يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ
فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Orang-orang yang
yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Allah mengatakan, ‘Betapa banyak
kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.’ Dan Allah
bersama dengan orang-orang yang bersabar.” [al-Baqarah/2: 249]
Sabar ada tiga macam
:
1. Sabar dalam
melaksanakan ketaatan kepada Allah,
2. Sabar dalam
meninggalkan maksiat,
2. Sabar dalam
menerima musibah atau takdir yang buruk dari Allah Azza wa Jalla.
Demikian pula dalam
menghadapi musuh-musuh Allah, butuh kesabaran karena dalam jihad terdapat
banyak kesulitan dan hal-hal yang tidak mengenakkan. Sabar dalam menghadapi
mereka merupakan sebab dan jalan mendapat kemenangan sebagaimana dijelaskan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam jihad melawan musuh
yang nampak, yaitu orang-orang kafir, maupun dalam jihad melawan musuh yang
tidak nampak, yaitu hawa nafsu. Orang yang sabar pada kedua jihad ini, ia akan
ditolong dan akan berhasil mengalahkan musuhnya. Sedangkan yang tidak bersabar
dan berkeluh kesah, maka ia akan kalah dan menjadi tawanan musuh atau terbunuh.
Pertolongan Allah
pasti datang bila kaum mukminin menolong agama Allah dengan cara melaksanakan
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Saat melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan inilah mutlak diperlukan kesabaran. Tanpa
kesabaran, tidak mungkin bisa melakukannya.
8. KELAPANGAN ADA
BERSAMA KESEMPITAN
Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Dan kelapangan bersama kesempitan.”
Terkadang musibah,
fitnah, dan cobaan menimpa seorang muslim sehingga urusannya menjadi sulit,
dunia terasa sempit dan rasa sedih serta galau semakin bertambah. Apabila ia
mengharapkan pahala, bersabar, dan mengetahui bahwa apa yang menimpanya adalah
atas takdir Allah serta tidak putus asa dari rahmat Allah, niscaya inâyah
(pertolongan) Allah, maaf-Nya, ampunan-Nya, dan rahmat-Nya akan dia peroleh.
Itulah kelapangan. Allah Ta’ala berfirman :
أَمْ حَسِبْتُمْ
أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ
قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ
يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا
إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Ataukah kamu mengira
kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang
dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan,
penderitaan, dan guncangan (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datangnya pertolongan
Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” [al-Baqarah/2:
214]
Betapa sering Allah
Azza wa Jalla membawakan kisah-kisah tentang ujian dan cobaan yang dialami para
Nabi, kemudian Allah Azza wa Jalla menyebutkan pertolongan-Nya. Seperti kisah
Nabi Nuh Alaihissallam dan pengikutnya yang diselamatkan di atas perahu, Nabi
Ibrahim Alaihissallam diselamatkan dari api, Nabi Ismail Alaihissallam diganti
dengan domba ketika diperintahkan Allah untuk disembelih. Kisah lainnya, Nabi
Musa Alaihissallam dan pengikutnya yang diselamatkan dari Fir’aun, kisah Nabi
Yunus alaihissallam . Juga kisah Nabi Muhammmad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang ditolong ketika bersembunyi di gua, dibantu pada waktu Perang Badar,
Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Ahzâb, Perang Hunain dan lain-lain.
9. SESUNGGUHNYA
BERSAMA KESULITAN ADA KEMUDAHAN
Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”
Maksudnya, setiap
kemudahan akan datang setelah adanya kesulitan, bahkan setiap kesulitan itu
akan diiringi dua kemudahan: kemudahan sebelumnya dan kemudahan yang akan
datang. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Maka sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
[al-Insyirâh/94: 5-6] [25]
Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiatas menegaskan bahwa kesulitan tidaklah menimpa
manusia terus menerus selama ia ridha dengan ketentuan Allah, senantiasa
komitmen terhadap segala perintah dan larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya,
niscaya Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan. Allah Ta’ala
berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“…Dan barangsiapa
bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…”
[ath-Thalâq/65: 3] [26]
FAWAA-ID HADITS
1. Bolehnya
membonceng di atas kendaraan orang lain.
2. Disunnahkan
mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada ummat dengan perkataan yang ringkas.
3. Berkemauan keras
untuk membina kaum muslimin.
4. Balasan pahala itu
tergantung dari jenis amalan.
5. Wajib atas seorang
hamba menjaga batas-batas Allah, menjaga tauhid, shalat lima waktu, menjaga
matanya, auratnya dan tidak boleh melewati batas dan wajib untuk
mengagungkan-Nya.
6. Barangsiapa yang
tidak menjaga batas-batas Allah, maka Allah tidak akan menjaganya.
(al-Hasyr/59: 19).
7. Diharamkan meminta
kepada selain Allah dalam hal-hal yang makhluk tidak mampu memberikannya
seperti rizki, kesembuhan, ampunan, dan lain sebagainya
8. Seluruh makhluk
itu lemah dan butuh kepada Allah Azza wa Jalla . Karena itu, seorang hamba
wajib memohon pertolongan hanya kepada Allah Azza wa Jalla
9. Wajib beriman
kepada al-Qadha wal Qadar yang baik maupun yang buruk. Semua yang terjadi di
langit dan di bumi sudah ditaqdirkan oleh Allah, tidak ada satu pun yang
terluput
10. Wajib bagi setiap
hamba untuk mencari keridhaan Allah meski dibenci oleh manusia lainnya
11. Seorang hamba
tidak sanggup untuk mendatangkan manfaat bagi dirinya dan tidak sanggup untuk
menolak bahaya, melainkan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena itu,
ia wajib menggantungkan harapannya hanya kepada Allah.
12. Perbuatan
makar—meskipun direncanakan oleh orang banyak—tidak akan terlaksana kecuali
dengan izin Allah Azza wa Jalla (Qs at-Taubah/9: 51).
13. Catatan takdir di
Lauhul Mahfûzh adalah tetap, tidak dapat diganti dan berubah lagi.
14. Perbanyaklah ibadah,
dzikir, do’a, dan lainnya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla akan
menolongmu di saat mengalami kesulitan.
15. Setiap kesulitan
dan kesusahan yang menimpa seorang hamba, pasti sesudahnya ada kelapangan dan
kemudahan.
16. Kelapangan dan
kemudahan selalu menyertai orang yang mengalami kesulitan.
17. Bila seorang
hamba ditimpa kesulitan, maka hendaklah ia memohon kepada Allah agar
dihilangkan kesulitannya. Karena hanya Allah yang dapat memberikan manfaat dan
menolak bahaya (kesulitan). (al-An’âm/6:17, Yûnus/10: 107).
18. Allah akan
memberikan pertolongan dan kemenangan kepada para hamba-Nya yang sabar.
19. Jihad di jalan
Allah membutuhkan kesabaran dan istiqamah.
20. Dengan kesabaran
dan keyakinan, kepemimpinan dalam agama dapat diproleh. (Perkataan Syaikhul
Islâm Ibnu Taimiyyah)
Maraji :
1. Al-Qur-an dan
terjemahnya.
2. Kutubus Sab’ah.
3. as-Sunanul Kubrâ
lin Nasâ’i.
4. Shahîh Ibni Hibbân
dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahih Ibni Hibbân.
5. Sunan ad-Dârimi.
6. Mushannaf
‘Abdurrazzâq.
7. Mushannaf Ibni Abi
Syaibah.
8. Mustadrak
al-Hâkim.
9. Sunan al-Baihaqi.
10. Syarhus Sunnah,
karya Baghawi.
11. Syarh Ma’ânil
Aatsâr, karya ath-Thahâwi.
12. Al-Mu’jamul
Kabîr, karya ath-Thabrani.
13. Al-Muntaqâ, karya
Ibnul Jarud.
14. Jâmi’ul ‘Ulûm wal
Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim
Bâjis.
15. Nûrul Iqtibâs bi
Washiyyatir Rasûl libni ‘Abbâs, karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
16. Silsilah
al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
17. Shahîh
al-Jâmi’ish Shaghîr.
18. Qawâ’id wa
Fawâ’id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthân.
19. al-Wâfî fî Syarh
al-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
20. Syarhul Arba’în
an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
21. Dan kitab-kitab
lainnya.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 10-11/Tahun XIII/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR.
al-Bukhâri (no. 2856, 5967), Muslim (no. 30 (48), 30 (49)), Abu Dâwud (no.
2559), dan at-Tirmidzi (no. 2643).
[2]. Shahih: HR.
Muslim (no. 223).
[3]. Shahih: HR.
Ahmad (V/282) dari Sahabat Tsauban Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah
al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 115).
[4]. Shahih: HR.
Ahmad (II/34, 69, 86), at-Tirmidzi (no. 1535), dan al-Hâkim (IV/297).
[5]. Hasan: HR.
At-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam
Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).
[6]. Shahih: HR.
al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 5375), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’
(I/65, no. 67), dan Abu Ya’la dalam Musnadnya (no. 78, 79), dari Shahabat Abu
Bakar ash-Shiddiq. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish
Shaghîr (no. 4519).
[7]. Tafsîr Ibnu
Katsîr (III/111).
[8]. Jâmi’ul ‘Ulûm
wal Hikam (I/467).
[9]. Hilyatul Auliyâ’
(II/386, no. 2659).
[10]. Lihat Qawâ’id
wa Fawâ-id (hal. 176).
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm
wal Hikam (I/474).
[12]. Shahih: HR. Abu
Dâwud (no. 1479), at-Tirmidzi (no. 3247), Ibnu Mâjah (no. 3828).
[13]. Shahih: HR.
Al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (104)). Lafazh Muslim dari Ibnu
‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[14]. Lihat Syarh
al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 225).
[15]. Shahih: HR. Muslim
(no. 2664).
[16]. Shahih: HR.
Ahmad (5/245), Abu Dâwud (no. 1522), an-Nasâ-i (3/53), dan al-Hâkim (1/273;
3/273).
[17]. Lihat Syarah
al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 226).
[18]. Lihat Syarah
al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 226).
[19]. Lihat Jâmi’ul
‘Ulûm wal Hikam (I/482).
[20]. Shahih: HR. Abu
Dawud (no. 4700), at-Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah
(no. 102), Ahmad (V/317), dan selainnya dari Ubadah bin Shamit.
[21]. Shahih: HR.
Muslim (no. 2653), Ahmad (II/169), dan at-Tirmidzi (no. 2156) dari Shahabat
‘Amr bin al-‘Ash .
[22]. Lihat Syarah
al-Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 227).
[23]. Shahih: HR.
Muslim (no. 2999 (64)), Ahmad (VI/16), ad-Dârimi (II/318) dan Ibnu Hibbân (no.
2885, at-Ta’lîqatul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân), dari Abu Yahya Suhaib bin
Sinan . Lafazh ini milik Muslim.
[24]. Lihat Syarah
al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 227).
[25]. Lihat Syarah
al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 228).
[26]. Lihat al-Wâfî
fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 147).