Friday, June 7, 2019

Index “Asy'ariyyah Dan Maturidiyyah”


Hasil gambar untuk Asy'ariyyah Dan Maturidiyyah

Abul-Hasan Al-Asy’ariy Bertaubat ke ‘Aqidah Asy’ariyyah atau Salafiyyah ?
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah
Bermadzhab Syafi’i, Berakidah Asy’ari ?
Kata Pak Habib, Ahlus Sunnah itu adalah Asy ‘ariyyah?? lucu sekali ya pak habib ini..
Mereka Yang Menolak Aqidah Asy’ariyah (Oleh Zon Jonggol, Mutiara Zuhud). Apakah Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah? Silahkan Lihat Beberapa Tanggapannya.
Mereka Membenci Kitab “Al-Ibanah” Karya Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 1 dari 2 Tulisan)
Mereka Membenci Kitab “al-Ibanah” Karya Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 2 dari 2 Tulisan)
Mereka Yang Menolak Aqidah Asy’ariyah (Oleh Zon Jonggol, Mutiara Zuhud). Apakah Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah? Silahkan Lihat Beberapa Tanggapannya.
http://lamurkha.blogspot.com/2017/06/mereka-yang-menolak-aqidah-asyariyah.html
Muktamar Dhirar “Chechnya” Dihadiri “Ulama-Ulama” Koplak Dari Jenis Yang Sama (Berhati Syi’ah). Memanipulir Definisi Ahlus Sunnah Dengan Meniadakan “ Ahlul Hadits,Atsariyyah,Salafiyyah, Pemahaman Tiga Generasi Terbaik Setelah Nabi (Al-Haq)”. 21 Wadah Ulama Ahlussunnah Di Dunia Mengutuk Konferensi Tersebut.
Muktamar Dhiror Shufiyyah Dan Syi’ah Di Chechnya Membuat Mereka Busung Dada, Mengenang Makar Yahudi Pada Abad 3H Dengan Menjamurnya Sekte-Sekte Sesat Di Irak (Tanduk Setan). Bantahan Untuk Mereka Yg Mengadakan Muktamar mengklaim Ahlussunnah.
http://lamurkha.blogspot.com/2018/09/muktamar-dhiror-shufiyyah-dan-syiah-di.html
Pengaruh Aqidah Asy’ariyah Terhadap Umat Dan Napak Tilas Perjalanan Hidup Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari
Pengikut Asy’ariyah ‘Meradang’ Hebat, Mereka Mendatangkan Para Qadhi Dan Ulamanya Untuk Mendebat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahullah Yang Menulis Aqidah Firqah Najiyah Dalam Kitab Al-Aqidah Al-Wasithiyahnya.
Siapakah Yang Mengikuti Aqidah Imam Abu Hasan Al Asy'ari?
Taubatkah Ibnu Taimiyah kedalam Aqidah Asy’ariyah?
Ulama Syafi’iyah Antara Salafi Dan Asy’ari

Berdasarkan Hasil Muktamar Chechnya, Aswaja Itu Beraqidah Asy'ariyah & Maturidiyah !!!??? (375 Comments)
https://youtu.be/lquIHGPy_gM
Bantahan Untuk Mereka Yg Mengadakan Muktamar mengklaim Ahlussunnah - Ust Firanda Andirja (1,328 Comments)
Beda Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan Asy'ariyyah, Maturidiyyah & Mu'tazilah
Ciri Khas Ahlus Sunnah Wal Jama’ah - Syaikh Shalih Fauzan bin Fauzan
Hakikat Aqidah Asy'ariyyah dan Maturidiyyah (76 Comments)
Kisah Taubat Abul Hasan Al-Asy'ary: Renungan dan Pelajaran (56 Comments)
Kajian : Sumber Aqidah Yang Benar dan Sumber Aqidah Yang salah - Ustadz DR. Firanda Andirja, MA (51 Comments)
https://youtu.be/owl6FgNlZ_c
Kitab Al-Ibanah Bertentangan dengan Aqidah Asy'ariyah - Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, MA
Menjawab Syubhat : Kebanyakan Umat ini Penganut Asy'ariyah - Ust. Dzulqarnain Muhammad Sunusi  (103 Comments)
Menjawab Syubhat Tentang Pengaruh Banyaknya Penganut Asy'ariyyah (26 Comments)
Menjawab Syubhat bahwa Kisah Abul Hasan Palsu
Menjawab Syubhat Taubatnya Ibnu Taimiyah terhadap Paham Asy'ariyyah
Mengenal Lebih Dekat Aqidah Asy'Ariyah - Ustadz DR. Firanda Andirja, MA (1,278 Comments)
https://youtu.be/1BYNWIAnv7M
Penyimpangan Aqidah Asy'ariyah - Ustadz Firanda Andirja (271 Comments)
Siapa Saja Ulama yang Memperingatkan Bahaya Paham Asy'ariyyah?
https://youtu.be/xwBC-ZJr9Lc
Syaikh Abdul Qodir Jaelani juga diantara ulama yang mentahdzir kesesatan Asy'ariyah
Tanggapan (terhadap ucapan Abdul Somad) Dari Mulai Maroko Sampai Marauke Itu Asya'iroh" (518 Comments)
https://youtu.be/PV7c0ybdCzs
Ustadz dzulqarnain bin muhammad sunusi - celaan ulama kepada asyariyah
Ustadz dzulqarnain bin muhammad sunusi - Aqidah Imam 4 madzhab sama !
Ustadz Dr Firanda Andirja : Mengenal Asya' irah Lebih Dekat (133 Comments)
https://youtu.be/DhQldU8g9p4
Ustadz Firanda Andirja : Perkataan Terakhir Imam Abul Hasan Al Asy'ari Dalam Kitabnya
Ustadz Firanda Andirja, MA. - Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah
https://youtu.be/DiHqgSWC1Ag

Beberapa Artikel dibawah ini :
Apakah Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah ? (Abu Ihsan Al Atsary) 
Pertanyaan - 226290
Sesatnya Firqah Asy’ariyyah Menurut Pandangan Ulama Besar Dari Berbagai Madzhab  (Sofyan Ruray)
Penyimpangan-penyimpangan Asy’ariyah (Abdurrahman Mubarak)
Sufi adalah Pengikut Firqah Asy’ariyah (Abdurrahman Mubarak)
Madzhab Syafi'i = Aqidah Asy'ari
Madzhab Asy’ariyah, Ahlus Sunnahkah? (Ustadz Armen Halim Naro –rahimahullah)
Memahami Asal-Usul Firqoh Sesat Asy’ariyah (Beberapa Artikel menarik, tinggal klik)

Apakah Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah?

Oleh Ustadz Abu Ihsan Al Atsary
PENDAHULUAN
Ini adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum muslimin, khususnya para penuntut ilmu. Ada sebagian orang mengira Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Seperti yang sudah dimaklumi, sebenarnya madzhab Al Asy’ariyyah yang berkembang sekarang ini, hakikatnya adalah madzhab Al Kullabiyyah. Abul Hasan Al Asy’ari sendiri telah bertaubat dari pemikiran lamanya, yaitu pemikiran Mu’tazilah. Tujuh sifat yang ditetapkan dalam madzhab Al Asy’ariyyah inipun bukan berdasarkan nash dan dalil syar’i, tetapi berdasarkan kecocokannya dengan akal dan logika. Jadi, sangat bertentangan dengan prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

SEJARAH SINGKAT ABUL HASAN AL ASY’ARI

Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari. Lebih akrab disebut Abul Hasan Al Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H atau 270 H. Masa kecil dan mudanya dihabiskan di kota Bashrah. Kota yang kala itu sebagai pusat kaum Mu’tazilah. Dan tidak dapat dielakkan, pada masa pertumbuhannya, beliau terpengaruh dengan lingkungannya Beliau mendalami ilmu kalam dan pemikiran Mu’tazilah dari ayah tirinya yang bernama Abu Ali Al Juba’i. Namun kemudian, beliau bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah ini. Allah menghendaki keselamatan bagi beliau, dan memperoleh petunjuk kepada madzhab Salaf dalam penetapan sifat-sifat Allah, dengan tanpa ta’wil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil [1]
Kisah taubatnya dari pemikiran Mu’tazilah ini sangat populer. Beliau melepas pakaiannya seraya berkata: “Aku melepaskan keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti halnya aku melepaskan jubah ini dari tubuhku,” kemudian beliau melepas jubah yang dikenakannya. Secara simbolis, itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari pemikiran Mu’tazilah dan dari kaum Mu’tazilah.
Ahli sejarah negeri Syam, Al Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq (wafat tahun 571) dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut:
Abu Ismail bin Abu Muhammad bin Ishaq Al Azdi Al Qairuwani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Uzrah bercerita, Abul Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang bermadzhab Mu’tazilah. Dan memegang madzhab ini selama 40 tahun. Dalam pandangan mereka, beliau adalah seorang imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari. Secara tiba-tiba, beliau muncul di masjid Jami’ kota Bashrah. Dan setelah shalat Jum’at, beliau naik ke atas mimbar seraya berkata,”Hadirin sekalian. Aku menghilang dari kalian selama beberapa hari, karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama kuatnya, namun aku tidak mampu menetapkan mana yang hak dan mana yang batil. Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana yang hak. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Dia memberiku petunjuk, dan aku tuangkan ke dalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua aqidah (keyakinan) yang dulu aku pegang, sebagaimana aku membuka bajuku ini.” Kemudian beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada para hadirin.
Sebagai bukti kesungguhan Abul Hasan Al Asy’ari melepaskan diri dari pemikiran Mu’tazilah, yaitu beliau mulai bangkit membantah pemikiran Mu’tazilah dan mendebat mereka. Bahkan beliau menulis sampai tiga ratus buku untuk membantah Mu’tazilah. Namun dalam membantahnya, beliau menggunakan rasio dan prinsip-prinsip logika. Beliau mengikuti pemikiran-pemikiran Kullabiyyah.[2]

ABUL HASAN AL ASY’ARI SECARA TOTAL MENJADI PENGIKUT MANHAJ SALAF

Kemudian Allah menyempurnakan nikmatNya untuk beliau. Setelah pindah ke Baghdad dan bergabung bersama para tokoh murid-murid Imam Ahmad, akhirnya beliau secara total menjadi seorang Salafi (pengikut manhaj Salaf). Pada fase yang ketiga dalam kehidupannya ini, beliau menulis beberapa risalah berisi pernyataan taubatnya dari seluruh pemikiran Mu’tazilah dan syubhat-syubhat Kullabiyyah.
Diantara beberapa buku yang ditulisnya, yaitu: Al Luma’, Kasyful Asrar Wa Hatkul Asrar, Tafsir Al Mukhtazin, Al Fushul Fi Raddi ‘Alal Mulhidiin Wa Kharijin ‘Alal Millah Ka Al Falasifah Wa Thabai’in Wad Dahriyin Wa Ahli Tasybih, Al Maqalaat Al Islamiyyin dan Al Ibanah. Semoga Allah merahmati beliau.

PERNYATAAN ABUL HASAN AL ASY’ARI DALAM KITABNYA: AL IBANAH FI USHULID DIYANAH [3]

Beliau berkata dalam kitab Al Ibanah: “Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah k dan Sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atsar-atsar (riwayat-riwayat) yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. Kami berpendapat dengan pendapat yang telah dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau dan melimpahkan pahala bagi beliau. Dan kami menyelisihi perkataan yang menyelisihi perkataan beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil (utama), pemimpin yang kamil (sempurna). Melalui dirinya, Allah menerangkan kebenaran dan mengangkat kesesatan, menegaskan manhaj dan memberantas bid’ah yang dilakukan kaum mubtadi’in, dan (memberantras) penyimpangan yang dilakukan orang-orang sesat, serta (memberantas) keraguan yang ditebarkan orang yang ragu-ragu.” [4]
Demikian pernyataan Abul Hasan, bahwa ia kembali ke pangkuan manhaj Salaf.

ULAMA-ULAMA SYAFI’IYYAH MENOLAK DINISBATKAN KEPADA ASY’ARIYYAH

Kebanyakan orang mengira bahwa madzhab Al Asy’ariyyah itu identik dengan madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Ini sebuah kekeliruan fatal.
Abul Hasan sendiri telah kembali ke pangkuan manhaj Salaf, dan mengikuti aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Yaitu menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diriNya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits shahih, dengan tanpa takwil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Jelas, Abul Hasan pada akhir hidupnya adalah seorang salafi, pengikut manhaj salaf dan madzhab imam ahli hadits. Sampai-sampai ulama-ulama Asy Syafi’iyyah menolak dinisbatkan kepada madzhab Asy’ariyyah.
Berikut ini, mari kita simak penuturan Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Id Al Hilali dalam kitabnya yang sangat bagus, dalam edisi Indonesia berjudul Jama’ah-jama’ah Islam Ditimbang Menurut Al Qur’an dan As Sunnah (halaman 329-330). Dalam bukunya tersebut, beliau membantah Hizbut Tahrir yang mencampur-adukkan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan istilah Al Asy’ariyyah, sekaligus menyatakan bila Al Asy’ariyyah bukan termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, atau bukan termasuk pengikut manhaj Salaf. Beliau berkata:
Jika dikatakan: Yang dimaksud Ahlus Sunnah di sini adalah madzhab Asy’ariyah.
Kami jawab: Tidak boleh menamakan Asy’ariyah dengan sebutan Ahlus Sunnah. Berdasarkan persaksian ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (pengikut Salafush Shalih), mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah
1. Imam Ahmad, Ali bin Al Madini dan lainnya menyatakan, barangsiapa menyelami ilmu kalam, (maka ia) tidak termasuk Ahlus Sunnah, meskipun perkataannya bersesuaian dengan As Sunnah, hingga ia meninggalkan jidal (perdebatan) dan menerima nash-nash syar’iyyah [5]. Tidak syak lagi, sumber pengambilan dalil yang sangat utama dalam madzhab Asy’ariyah adalah akal. Tokoh-tokoh Asya’riyah telah menegaskan hal itu. Mereka mendahulukan dalil aqli (logika) daripada dalil naqli (wahyu), apabila terjadi pertentangan antara keduanya. Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah mereka melalui bukunya yang berjudul Dar’u Ta’arudh Aql Wan Naql, beliau membukanya dengan menyebutkan kaidah umum yang mereka pakai bilamana terjadi pertentangan antara dalil-dalil.[6]
2. Ibnu Abdil Bar, dalam mensyarah (menjelaskan) perkataan Imam Malik, dia menukil perkataan ahli fiqh madzhab Maliki bernama Ibnu Khuwaiz Mandad: “Tidak diterima persaksian Ahli Ahwa’ (Ahli Bid’ah).” Ia menjelaskan: “Yang dimaksud Ahli Ahwa’ oleh Imam Malik dan seluruh rekan-rekan kami, adalah Ahli Kalam. Siapa saja yang termasuk Ahli Kalam, maka ia tergolong ahli ahwa’ wal bida’; baik ia seorang pengikut madzhab Asy’ariyyah atau yang lainnya. Persaksiannya dalam Islam tidak diterima selama-lamanya, wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid’ahnya. Jika ia masih mempertahankannya, maka harus diminta bertaubat.” [7]
3. Abul Abbas Suraij yang dijuluki Asy Syafi’i kedua berkata,”Kami tidak mengikuti takwil Mu’tazilah, Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan Mukayyifah [8]. Namun kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil, dan kami mengimaninya tanpa tamtsil.” [9]
4. Abul Hasan Al Karji, salah seorang tokoh ulama Asy Syafi’iyyah berkata: “Para imam dan alim ulama Syafi’iyyah, dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Mereka justeru berlepas diri dari madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan Al Asy’ari. Menurut yang aku dengar dari beberapa syaikh dan imam, bahkan mereka melarang teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari menghadiri majelis-majelisnya. Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap syaikh [10] terhadap Ahli Kalam, sampai-sampai memisahkan fiqh Asy Syafi’i dari prinsip-prinsip Al Asy’ari, dan diberi komentar oleh Abu Bakar Ar Radziqani. Dan buku itu ada padaku. Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq Asy Syirazi dalam dua kitabnya, yakni Al Luma’ dan At Tabshirah. Sampai-sampai kalaulah sekiranya perkataan Al Asy’ari bersesuaian dengan perkataan rekan-rekan kami (ulama madzhab Asy Syafi’i), beliau membedakannya. Beliau berkata: “Ini adalah pendapat sebagian rekan kami. Dan pendapat ini juga dipilih oleh Al Asy’ariyah.” Beliau tidak memasukkan mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy Syafi’i. Mereka menolak disamakan dengan Al Asy’ariyah. Dan dalam masalah fiqh, mereka menolak dinisbatkan kepada madzhab Al Asy’ariyah; terlebih lagi dalam masalah ushuluddin.” [11]
Pendapat yang benar adalah, Al Asy’ariyah termasuk Ahli Kiblat (kaum muslimin), tetapi mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ketika para tokoh dan pembesar Al Asy’ariyyah jatuh dalam kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al Asy’ariyah. Diantaranya adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya. Jika mereka benar-benar berada di atas As Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka keluar? Dan kenapa mereka keluar? Hendaklah orang yang bijak memahaminya, karena ini adalah kesimpulan akhir.
Dalam daurah Syar’iyyah Fi Masail Aqa’idiyyah Wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh Salim ditanya: Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah? Beliau menjawab dengan tegas: “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.”
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Footnote
[1]. Ta’thil (menolak atau meniadakan sifat Allah, takyif (membayangkan atau menanyakan hakikat dan bentuk sifat Allah), tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), ta’wil (maksudnya tahrif yaitu menyimpangkan makna dari zhahirnya tanpa dalil)
[2]. Al Kullabiyah, adalah penisbatan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al Bashri, wafat pada tahun 240 H.
[3]. Buku ini telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka At Tibyan. Dalam buku aslinya disertakan taqdim (kata pengantar dari para ulama terkini, seperti Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dan Syaikh Ismail Al Anshari). Buku ini sangat penting dibaca oleh kaum muslimin, khususnya di Indonesia dan Malaysia yang mayoritas penduduknya menisbatkan diri kepada Al Asy’ariyyah.
[4]. Al Ibanah, halaman 17.
[5]. Silakan lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, karangan Al Laalikaai (I/157-165).
[6]. Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci, silakan lihat kitab Asasut Taqdis, karangan Ar Razi, hlm. 168-173 dan Asy Syamil, karangan Al Juwaiini, hlm. 561 dan Al Mawaqif, karangan Al Iji, hlm. 39-40.
[7]. Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (II/96).
[8]. Ini semua adalah nama-nama aliran
[9]. Ijtima’ Juyusy Islamiyah, hlm. 62.
[10]. Yakni Syaikh Abu Hamid Al Isfaraini.
[11]. At Tis’iniyyah, hlm. 238-239.

Pertanyaan - 226290
Siapakah mereka yang disebut Asy’ariyyah?, dan apakah mereka termasuk ahlus sunnah, dan apakah benar bahwa banyak di antara para ulama yang mengikuti metodologi asy’ariyyah, seperti imam Nawawi?
Teks Jawaban
Alhamdulillah
Pertama:
Asy’ariyyah adalah kelompok yang menisbahkan diri mereka kepada imam Abu Hasan Al Asy’ari –rahimahullah-, Abu Hasan al Asy’ari ini telah melewati beberapa fase (dalam kehidupannya). Pada tahap pertama beliau sebagai mu’tazilah sekitar selama 40 tahun, kemudian beliau kembali dan mengikuti pendapat Abdullah bin Sa’id bin Kullab dan terpengaruh olehnya, inilah fase kedua beliau. Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- termasuk orang yang paling keras (menentang) Abdullah bin Sa’id bin Kullab dan kepada pengikutnya seperti Harits dan yang lainnya, sebagaimana yang dikabarkan oleh Ibnu Khuzaimah akan hal itu”. (Siyar A’lam Nubala’: 14/380, Ibnu Taimiyah dalam Dar’ut Ta’arudh: 2/6)
Para ulama telah berbeda pendapat tentang kembalinya imam Asy’ari ini dari pendapat Ibnul Kullab pada fase ketiga dan sesuai dengan ahlus sunnah wal jama’ah secara keseluruhan atau tetap berada pada pendapat Ibnul Kullab ?
Sebagian orang berpendapat bahwa beliaunya telah kembali kepada konsep ahlus sunnah wal jama’ah, yang menyatakan demikian seperti Al Hafidz Ibnu Katsir, dan dari ulama kontemporer adalah Syeikh Hafidz Al Hukmi.
Mereka berdalil dengan pernyataan beliau dalam kitabnya Al Ibanah –yang merupakan kitab terakhir yang beliau tulis- bahwa beliau berkata:
“Ucapan yang menjadi pendapat kami dan agama yang menjadi agama kami adalah berpegang teguh dengan kitab Allah –Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Agung- dan dengan sunnah Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan yang telah diriwayatkan dari para tokoh, para sahabat, para tabi’in dan para imam hadits, kami berpegang teguh pada semua itu. Dan dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Hambal –semoga Allah mencerahkan wajah beliau-, mengangkat derajatnya, dan melipat gandakan pahalanya. Dan ketika para penentangnya menyelisihi pendapat beliau; karena beliau adalah seorang imam yang utama, pimpinan yang sempurna, yang Allah jelaskan kebenaran kepadanya, mencegah kesesatan melalui dirinya, menjelaskan manhaj kepadanya, menekan para ahli bid’ah, mereka yang tergelicir, mereka yang ragu-ragu melalui dirinya. Semoga rahmat Allah tercurah kepadanya seorang imam yang terdepan, agung dan diagungkan, besar dan memahamkan”. (Al Ibanah: 20)
Hal ini merupakan bentuk keterusterangan dari beliau akan kembalinya beliau ke madzhab salaf yang diwakili oleh Imam Ahmad, bahwa beliau berpendapat dengan pendapat beliau, menyelisihi apa yang beliau selisihi, imam Ahmad secara personal sangat keras menentang Kullabiyah; oleh karenanya beliau menjauhi Harits al Muhasibi karena dia adalah seorang Kullabi.
Pendapat kedua:
Bahwa Imam Asy’ari belum kembali dari madzhab Kullabiyah secara keseluruhan, akan tetapi beliau mendekati ahlus sunnah wal jama’ah pada banyak permasalahan.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan yang lainnya. Meskipun imam Asy’ari dalam buku Al Ibanahnya telah banyak mendekati madzhab ahlus sunnah wal jama’ah, hanya saja masih ada sisa-sisa pendapat Kullabiyah beliau.
Ibnu Taimiyah berkata:
“Imam Asy’ari meskipun termasuk murid Mu’tazilah kemudian beliau bertaubat, beliau juga murid dari Al Juba’i, dan beliau cenderung pada madzhabnya Ibnu Kullab, beliau juga mengambil ilmu dari Zakaria as Saaji, ahli hadits di Bashrah, kemudian pada saat beliau mendatangi Bagdad, beliau juga berguru banyak hal kepada Hambaliyahnya Bagdad, inilah fase terakhir perjalanan beliau, sebagaimana yang telah beliau sampaikan sendiri dan para pengikutnya pada buku-buku mereka”. (Majmu’ Fatawa: 3/228)
Baca juga: “Mauqif Ibnu Taimiyah minal Asya’irah karya Syeikh Abdurrahman Mahmud: 1/390”.
Mayoritas Asya’irah pada generasi belakangan ini, mereka tidak berkomitmen kepada madzhab Abu Hasan Al Asy’ari, akan tetapi banyak di antara mereka banyak yang mencampur aduk dengan madzhab Jahmiyyah dan Mu’tazilah, bahkan madzhab para ahli filsafat juga. Mereka menyimpang dari Imam Asy’ari dalam banyak hal, mereka menafikan sifat istiwa’ bagi Allah, sifat tinggi, turun, tangan, mata, kaki dan kalam. Pada semua sifat itu mereka menyelisi pendapat imam Asy’ari sendiri.
Kedua:
Kalimat ahlus sunnah diperuntukkan sebagai sisi lain dari bid’ah, hal itu dimaksudkan: Murni ahlus sunnah; tidak termasuk di dalamnya kecuali orang yang berkomitmen kepada akidah yang benar dari generasi salaf dan ahli hadits. Dari sudut pandang ini Asy’ariyyah tidak masuk pada julukan tersebut, termasuk selain mereka yang mencampur kaidah ushul kalamnya dengan kaidah ushul bid’ah; dikarenakan mereka menyelisihi ahlus sunnah dalam banyak kaidah ushul dan permasalahan.
Asy’ariyyah belakangan ini mereka adalah Jabariyah dalam masalah takdir, Murji’ah dalam masalah keimanan, Mu’atthilah (meniadakan) sifat-sifat Allah, tidak menetapkannya kecuali hanya tujuh sifat; karena akal telah menunjukkan hal itu sebagaimana yang telah mereka klaimkan, menafikan istiwa’ (Allah) di atas ‘Arsy dan kemaha Tingginya Allah di atas makhluk-Nya, dan mereka mengatakan: “Dia (Allah) tidak berada di dalam alam semesta dan juga tidak di luarnya, tidak juga di atasnya, tidak juga di bawahnya dan lain sebagainya dari beberapa penyimpangan, maka bagaimana mungkin kami menamakannya sebagai “ahlus sunnah” ?!
Ibnu Taimiyah berkata:
“Kalimat ahlus sunnah dimaksudkan kepada orang yang menetapkan sahnya kekhalifahan tiga orang khalifah, maka semuanya masuk dalam kategori tersebut kecuali Rafidhah”.
Terkadang yang dimaksudkan adalah ahli hadits dan ahli sunnah yang murni, maka tidak masuk dalam kategori tersebut kecuali mereka yang menetapkan sifat-sifat Allah –Ta’ala-“. (Minhajus Sunnah: 2/221)
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
“Mu’tazilah termasuk ahlus sunnah, Asy’ariyyah, dan semua yang tidak termasuk kafir dari para ahli bid’ah, jika kami katakan ini sebagai sisi lain dari Rafidhah.
Akan tetapi jika kami ingin menjelaskan ahlus sunnah, maka kami katakan bahwa ahlus sunnah yang sebenarnya adalah para salafus shalih yang berkumpul dalam sunnah dan mengamalkannya, pada kondisi seperti ini maka Asy’ariyyah, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan yang lainnya, mereka bukanlah termasuk di dalamnya dari sisi makna tersebut”. (Asy Syarhul Mumti’: 11/306)
Ketiga:
Tidak sah dinisbatkan kepada Asy’ariyyah kecuali mereka yang berkomitmen pada manhaj mereka dalam akidah, adapun mereka yang menyetujui pada beberapa masalah saja, maka mereka tidak dinisbatkan kepada mereka.
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata pada saat beliau membicarakan kedua imam yang hafidz An Nawawi dan Ibnu Hajar:
“Dan apakah benar kita nisbahkan kedua imam tersebut dan yang serupa dengan keduanya kepada Asy’ariyyah ?, dan kami katakan: “Keduanya termasuk Asy’ariyyah ?”, jawabannya: “Tidak; karena Asy’ariyyah mereka mempunyai madzhab tersendiri, ia mempunyai ketentuan dalam hal Asma’ dan sifat, keimanan dan keadaan alam akhirat, alangkah baiknya apa yang telah ditulis oleh saudara kami Safari Hawali apa yang beliau ketahui dari madzhab mereka; karena kebanyakan masyarakat tidak memahami mereka, hanya saja mereka menyelisihi generasi salaf pada bab Asma’ was Sifat, akan tetapi mereka banyak perbedaan.
Jika seseorang berkata pada masalah sifat yang sesuai dengan madzhab mereka, maka kami tidak mengatakan: “Dia adalah seorang asy’ariyyah”, bagaimanakah pendapat anda jika seseorang dari pengikut madzhab Hambali memilih pendapat Syafi’iyyah, maka apakah kita mengatakan dia adalah seorang pengikut madzhab Syafi’i ?”. (Syarh ‘Arba’in Nawawiyah: 290)
Beliau juga berkata:
“Kedua orang (alim) tersebut saya tidak mengetahui saat ini bahwa ada seseorang telah memberikan sumbangsih kepada Islam pada masalah hadits Rasul seperti yang mereka telah lakukan. Yang menunjukkan hal itu bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- dengan daya dan kekuatan-Nya –saya tidak bersumpah (tidak bisa memastikan)- telah menerimanya, buku-buku karya mereka berdua banyak diterima oleh banyak orang, bagi para penuntut ilmu bahkan bagi kalangan awam, sekarang misalnya kitab Riyadhus Shalihin terus dibaca pada setiap majelis, dibaca pada setiap masjid, banyak orang yang mengambil manfaat, saya bercita-cita bahwa Allah menjadikan buku saya seperti buku tersebut, semua orang banyak mengambil manfaat dari buku tersebut baik di rumahnya atau di masjidnya”. (Liqa’ Bab Maftuh: 43)
Baca juga jawaban soal nomor: 107645
Wallahu A’lam.

Sesatnya Firqah Asy’ariyyah Menurut Pandangan Ulama Besar Dari Berbagai Madzhab

[Menjawab Syubhat “Asy’ariyyah Itu Tidak Sesat, Buktinya Ibnu Hajar dan An-Nawawi Asy’ariyyah” Bagian 1]
بسم الله الرحمن الرحيم.
Sesungguhnya Nabi kita yang mulia shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan dan mempersaksikan bahwa sebaik-baik generasi adalah tiga generasi pertama dari umat ini.
Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُم
Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasi Sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka (generasi Tabiin), kemudian orang-orang setelah mereka (Tabiut-Tabi’in).
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sekalipun di zaman tersebut telah muncul firqah-firqah sesat seperti Khawarij, Qadariyyah, Murjiah dan lainnya, namun tersebarnya paham-paham sesat tersebut tidak seperti zaman setelah mereka yang semakin banyak dan bermacam-macam, yang semuanya di bangun di atas ilmu kalam. Diantara firqah sesat yang muncul setelah generasi terbaik adalah sekte Asy’Ariyyah yang diusung oleh Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari rahimahullah (sebelum beliau rujuk ke aqidah Salaf) yang wafat tahun 324 H.
Berkata Al-Imam As-Sijzi rahimahullah (wafat:444 H):
“Ketahuilah -semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami dan kepada kalian- bahwasanya tidak ada perselisihan diantara manusia dengan perbedaan pemahaman mereka sejak awal zaman (islam) sampai waktu munculnya Ibnu Kullab, Al-Qalanisi, Ash-Shalihi, Al-Asy’ari, dan kawan-kawan mereka yang menampakan bantahan terhadap Mu’tazilah, padahal mereka bersama mereka (mu’tazilah), bahkan mereka lebih jelek keadaan batinnya dari mu’tazilah.”
(Risalah As-Sijzi Ila Ahli Zubaid:115-117)
Sekalipun demikian, tetap ada sebagian kalangan yang tidak mengakui sesatnya firqah Asy’ariyyah ini. Kata mereka: hukum sesat terhadap firqah Asy’ariyyah hanyalah dari kaum “Wahhabiyyah”. Asy’ariyyah itu adalah Ahlussunnah, kenyataannya banyak dari para ulama itu beraqidah Asy’ariyyah, diantaranya adalah dua imam besar Al-Hafidz An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahumallah, dan tidak ada yang menyesatkannya kecuali Wahhabiyyah.
Untuk menjawab syubhat tersebut, penulis membawakan dua muqaddimah yang harus diketahui oleh setiap muslim yaitu:
1-Hukum Sesat Terhadap Firqah Asy’Ariyyah bukanlah Produk Ahlussunnah Salafiyyin yang mereka gelari dengan Wahhabiyyah. (ini tema pembahasan dalam artikel ini)
2-Sebab Kenapa Sebagian Ulama Terjatuh Kepada Aqidah Asy’ariyyah. (In syaa Allah akan dibahas pada artikel selanjutnya)
Merupakan suatu tuduhan tak berdasar mengatakan bahwa hukum sesat terhadap Asy’ariyyah adalah berasal dari Ahlussunnah Salafiyyin “Wahhabiyyah”, tuduhan ini dibangun di atas fanatik madzhab dan kebencian terhadap dakwah Salaf yang mulia ini.
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa yang menghukumi Asy’ariyyah itu sesat adalah para ulama dari berbagai madzhab yang empat (Hanafiyah, Malikiyyah, Syafiiyyah, Hanbali) dan Zhahiriyyah. Oleh karena itu, penulis akan bawakan ucapan mereka dengan izin Allah. Dan penulis tidak akan membawakan ucapan para ulama semisal Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Muhammad ibn Abdil-Wahhab, dan para ulama di zaman ini yang mereka sebut dengan ulama Wahhabi. Tapi penulis akan bawakan ucapan para ulama dari berbagai madzhab yang hidup sezaman dengan ulama Asy’ariyyah; baik yang sezaman dengan penggagasnya Abul-Hasan Asy’ariy atau setelahnya.

Berikut ini adalah ucapan-ucapan mereka tentang sekte Asy-ariyyah, penulis bawakan sesuai urutan tahun wafatnya:
1-Al-Imam Abul-Abbas Ahmad ibn Umar ibn Suraij Al-Bagdadi Asy-Syafi’i (wafat:306 H)
Beliau berkata:
ﻻ ﻧﻘﻮﻝ ﺑﺘﺄﻭﻳﻞ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ، ﻭاﻷﺷﻌﺮﻳﺔ، ﻭاﻟﺠﻬﻤﻴﺔ، ﻭاﻟﻤﻠﺤﺪﺓ، ﻭاﻟﻤﺠﺴﻤﺔ، ﻭاﻟﻤﺸﺒﻬﺔ، ﻭاﻟﻜﺮاﻣﻴﺔ، ﻭاﻟﻤﻜﻴﻔﺔ، ﺑﻞ ﻧﻘﺒﻠﻬﺎ ﺑﻼ ﺗﺄﻭﻳﻞ، ﻭﻧﺆﻣﻦ ﺑﻬﺎ ﺑﻼ ﺗﻤﺜﻴﻞ، ﻭﻧﻘﻮﻝ اﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻬﺎ ﻭاﺟﺐ، ﻭاﻟﻘﻮﻝ ﺑﻬﺎ ﺳﻨﺔ، ﻭاﺑﺘﻐﺎء ﺗﺄﻭﻳﻠﻬﺎ ﺑﺪﻋﺔ)
Kami tidak berpendapat (dalam ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah) dengan ta’wilnya Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Jahmiyyah, Mulhidah, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyyah, dan Mukayyifah. Bahkan kami menerimanya tanpa menta’wil, beriman kepadanya tanpa tamtsil, dan kami berpendapat: beriman kepadanya adalah wajib dan berpendapat dengannya adalah sunnah, dan mencari ta’wilnya adalah bid’ah.
(Ijtimã’ Al-Juyûsy Al-Islãmiyyah:119)
Beliau bergelar Imam Asy-Syafi’i Kedua.
2.Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Shalih Al-Qahthani Al-Andulisi Al-Maliki rahimahullah (wafat: 378 H)
Beliau berkata dalam Nuniahnya:
والآن أهجو الأشعري وحزبه … .وأذيع ما كتموا من البهتان
Dan sekarang saya mengecam Asy’ari dan kelompoknya,
Saya akan membeberkan apa yang mereka tutupi berupa kedustaan.
(Nuniah Al-Qahthani)
3-Al-Imam Muhammad Ibn Ahmad ibn ishaq Mindad Al-Mishri Al-Maliki rahimahullah (wafat: 390 H)
Beliau berkata:
ﺃﻫﻞ اﻷﻫﻮاء ﻋﻨﺪ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻫﻢ ﺃﻫﻞ اﻟﻜﻼﻡ، ﻓﻜﻞ ﻣﺘﻜﻠﻢ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻷﻫﻮاء ﻭاﻟﺒﺪﻉ ﺃﺷﻌﺮﻳﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺃﺷﻌﺮﻱ، ﻭﻻ ﺗﻘﺒﻞ ﻟﻪ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﻓﻲ اﻹﺳﻼﻡ، ﻭﻳﻬﺠﺮ ﻭﻳﺆﺩﺏ ﻋﻠﻰ ﺑﺪﻋﺘﻪ، ﻓﺈﻥ ﺗﻤﺎﺩﻯ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﺳﺘﺘﻴﺐ ﻣﻨﻬﺎ
Ahlul-Ahwa menurut Imam Malik dam semua sahabat kami (ulama Malikiyyah) adalah Ahli Kalam. Setiap mutakallim maka dia adalah seorang ahli hawa dan bid’ah, baik itu dia seorang asy’ari atau bukan asy’ari. Tidak diterima persaksiannya dalam Islam, diboikot dan diberi pelajaran karena bid’ahnya, jika dia tetap pada pendiriannya maka diminta untuk bertobat.
(Jami Bayãnil-Ilmi wa Fadhlih:2/943)
4.Imam Besar Madzhab Syafi’iyyah Abu Hamid Ahmad ibn Abi Thahir Al-Isfirãini rahimahullah (wafat:406 H)
Berkata Abul-Hasan Al-Karkhi Asy-Syafii:
ﻭﻛﺎﻥ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ اﻹﺳﻔﺮاﺋﻴﻨﻲ ﺷﺪﻳﺪ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﻜﻼﻡ
Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Isfirãini adalah seorang yang sangat keras pengingkarannya terhadap Al-Baqillani dan orang-orang ahli kalam…
Dan
(Dar’u Ta’ãrudh Al-‘Aql wan-Naql:2/96, Al-Fatawa Al-Kubra:6/600)
5.Al-Imam Abu Umar Muhammad ibn Al-Husain Al-Bisthãmi Asy-Syafi’i Al-Wa’izh rahimahullah (wafat: 408 H)
Beliau berkata:
ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ ﺃﻭﻻ ﻳﻨﺘﺤﻞ اﻻﻋﺘﺰاﻝ، ﺛﻢ ﺭﺟﻊ ﻓﺘﻜﻠﻢ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻣﺬﻫﺒﻪ اﻟﺘﻌﻄﻴﻞ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﺭﺟﻊ ﻣﻦ اﻟﺘﺼﺮﻳﺢ ﺇﻟﻰ اﻟﺘﻤﻮﻳﻪ
Awalnya Abul-Hasan Al-Asy’ari menyatakan pemikiran mu’tazilah, kemudian dia rujuk lalu membantah mereka. Sesungguhnya madzhabnya adalah ta’thil (menafikan Sifat), akan tetapi dia hanyalah berpindah dari sikap terang-terangan ke sikap menyamarkan.
(Dzammul-Kalãm wa Ahlih:4/408)
6.Al-Hafidz Abu Hatim Ahmad ibn Al-Hasan ibn Muhammad Ar-Razi yang dikenal dengan Khamusy (wafat: antara 430-440 H)
Berkata Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah:
(ﺳﻤﻌﺖ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﺤﺴﻦ اﻟﺨﺎﻣﻮﺷﻲ اﻟﻔﻘﻴﻪ اﻟﺮاﺯﻱ ﻓﻲ ﺩاﺭﻩ ﺑﺎﻟﺮﻱ ﻓﻲ ﻣﺤﻔﻞ ﻳﻠﻌﻦ اﻷﺷﻌﺮﻳﺔ، ﻭﻳﻄﺮﻱ اﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ)
Saya mendengar Ahmad ibn Al-Hasan Al-Khamusyi Al-Faqih Ar-Razi di rumahnya di kota Ray dalam suatu majlis dia melaknat Asy’ariyyah dan memuji Hanabilah.
(Dzammul-Kalam:4/420)
7.Al-Imam Al-Hafidz Abu Nashr Ubaidillah ibn Sa’id As-Sijzi Al-Hanafi rahimahullah (wafat: 444 H)
Setelah menyebutkan tokoh-tokoh Mu’tazilah, beliau berkata:
ﺛﻢ ﺑﻠﻲ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﺑﻌﺪ ﻫﺆﻻء -ﺃﻱ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ – ﺑﻘﻮﻡ ﻳﺪﻋﻮﻥ ﺃﻧﻬﻢ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻻﺗﺒﺎﻉ. ﻭﺿﺮﺭﻫﻢ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺿﺮﺭ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻭﻫﻢ ﺃﺑﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻛﻼﺏ، ﻭﺃﺑﻮ اﻟﻌﺒﺎﺱ اﻟﻘﻼﻧﺴﻲ، ﻭﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ
ﻭﻛﻠﻬﻢ ﺃﺋﻤﺔ ﺿﻼﻝ ﻳﺪﻋﻮﻥ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻰ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﺗﺮﻙ اﻟﺤﺪﻳﺚ
Kemudian setelah mereka (Mu’tazilah), Ahlussunnah diuji dengan suatu kaum yang mengaku bahwa mereka adalah ahlu Ittiba’, (padahal) bahaya mereka lebih berbahaya dari Mu’tazilah dan selainnya. Mereka itu adalah: Abu Muhammad ibn Kilab, Abul-Abbas Al-Qalanisi, ABUL-HASAN AL-ASY’ARI… (Lalu beliau meyebutkan tokoh-tokoh setelahnya).
(Setelah itu beliau berkata):
MEREKA SEMUA ITU ADALAH PARA IMAM KESESATAN YANG MENGAJAK MANUSIA AGAR MENYELISIHI SUNNAH DAN MENINGGALKAN HADITS.
(Risalah As-Sijzi Ila Ahli Zubaid:343-346)
8.Al-Imam Al-Hafidz Al-Kabir Abu Muhammad Ali ibn Ahmad Ibn Said ibn Hazm Azh-Zhahiri (wafat: 456 H)
Beliau mengomentari tentang salah satu pemikiran Asy’ariyyah yaitu masalah Ilmu Allah adalah selain Allah tapi selalu bersamaNya:
ﻭﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﺑﻬﺬا ﺃﺣﺪ ﻗﻂ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻹﺳﻼﻡ ﻗﺒﻞ ﻫﺬﻩ اﻟﻔﺮﻗﺔ اﻟﻤﺤﺪﺛﺔ ﺑﻌﺪ اﻟﺜﻼﺛﻤﺎﺋﺔ ﻋﺎﻡ -ﺃﻱ اﻷﺷﺎﻋﺮﺓ-، ﻓﻬﻮ ﺧﺮﻭﺝ ﻋﻦ اﻹﺳﻼﻡ ﻭﺗﺮﻙ ﻟﻹﺟﻤﺎﻉ اﻟﻤﺘﻴﻘﻦ
Tidak ada seorang pun dari Ahli Islam berpendapat demikian sebelum firqah bid’ah ini setelah 300 tahun -yaitu Asy’ariyyah-, ini adalah keluar dari islam dan meninggalkan Ijma yang pasti.
(Al-Fashl Fil-Milal:2/105)
Beliau adalah Imam besar madzhab Azh-Zhahiriyyah
9.Al-Imam Al-Qadhi Abul-Husain Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Husain Al-Farra Al-Hanbali (wafat: 526 H)
Berkata Al-Hafidz As-Silafi:
(ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻴﻦ ﻣﺘﻌﺼﺒﺎ ﻓﻲ ﻣﺬﻫﺒﻪ، ﻭﻛﺎﻥ ﻛﺜﻴﺮا ﻣﺎ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﻓﻲ اﻷﺷﺎﻋﺮﺓ ﻭﻳﺴﻤﻌﻬﻢ، ﻻ ﺗﺄﺧﺬﻩ ﻓﻲ اﻟﻠﻪ ﻟﻮﻣﺔ ﻻﺋﻢ)
Dahulu Abul-Husain adalah seorang yang fanatik terhadap madzhabnya, dan beliau sering berbicara tentang Asy’ariyyah dan terang-terangan kepada mereka, beliau tidak takut celaan pencela karena Allah.
(As-Siyar:19/602)
10.Al-Imam Abul-Husain Yahya ibn Abil-Khair Al-Imrani Al-Yamani Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat: 558 H),
Beliau berkata:
وأقوال الأشعرية مثبتة على أصول المعتزلة لأن أبا الحسن كان معتزلياً
Pemikiran-pemikiran Asy’ariyyah ditetapkan di atas pokok pemikiran mu’tazilah, karena Abul-Hasan dahulunya adalah seorang Mu’tazili.
(Al-Intishãr Fir-Rad Alal-Mu’tazilah:2/648)
Beliau penulis Kitab Al-Bayan Fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i.
11.Al-Imam Abu Muhammad Abdul-Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani Al-Hanbali rahimahullah (wafat:561 H)
Ketika berbicara masalah Shaut dan Huruf pada sifat Kalamullah, beliau berkata:
ﻭﻗﺪ ﻧﺺ اﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﺇﺛﺒﺎﺕ اﻟﺼﻮﺕ ﻓﻲ ﺭﻭاﻳﺔ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ اﻷﺻﺤﺎﺏ ﺭﺿﻮاﻥ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ ﺧﻼﻑ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﺖ اﻷﺷﻌﺮﻳﺔ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻛﻼﻡ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻌﻨﻰ ﻗﺎﺋﻢ ﺑﻨﻔﺴﻪ، ﻭاﻟﻠﻪ ﺣﺴﻴﺐ ﻛﻞ ﻣﺒﺘﺪﻉ ﺿﺎﻝ ﻣﻀﻞ.
Al-Imam Ahmad telah menegaskan tentang penetapan Shaut (suara) dalam riwayat sejumlah sahabatnya (murid-muridnya) radhiyallahu anhum, berbeda dengan apa yang diyakini oleh Asy’ariyyah bahwasanya Kalamullah adalah makna yang berdiri sendiri. Allah yang akan menghisab setiap ahli bid’ah yang sesat lagi menyesatkan.
(Al-Gunyah:1/131)
Beliau dikenal di kalangan Shufiyyah: Abdul-Qadir Al-Jailani. Banyak disandarkan kepadanya hal-hal yang dusta.
12.Al-Imam Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali (wafat: 620 H)
Beliau berkata:
(ﻭﻻ ﻧﻌﺮﻑ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ اﻟﺒﺪﻉ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﻳﻜﺘﻤﻮﻥ ﻣﻘﺎﻟﺘﻬﻢ ﻭﻻ ﻳﺘﺠﺎﺳﺮﻭﻥ ﻋﻠﻰ ﺇﻇﻬﺎﺭﻫﺎ ﺇﻻ اﻟﺰﻧﺎﺩﻗﺔ ﻭاﻷﺷﻌﺮﻳﺔ)
Kami tidak ketahui di kalangan ahli Bid’ah sebuah kelompok yang menyembunyikan pemikiran mereka dan tidak berani menampakannya selain Zanadiqah dan Asy’ariyyah.
(Al-Munazharah Fil-Qur’an:35)
Beliau adalah Imam Besar Madzhab Hanabilah. Penulis kitab Al-Mughni.
Ucapan para ulama sangatlah banyak dalam masah ini. Yang penulis bawakan di sini adalah yang terang-terangan menyebut firqah Asy’ariyyah. Syaikhul-Islam Abu Ismail Al-Harawi membuat Bab khusus dalam kitabnya Dzammul-Kalãm wa Ahlih: Bab Dzikri Kalam Al-Asy’ari (Bab penyebutan pemikiran/ideologi Al-Asy’ari).
Adapun yang secara umum mencela Ahli Kalam maka sangatlah banyak, juga celaan mereka terhadap firqah Kullabiyyah yang merupakan asal dan induk firqah Asy’ariyyah sangatlah banyak.
Bahkan sebagian ulama ada yang sampai pada tahap mengkafirkan firqah Asy’ariyyah
1. Abul-Abbas Ahmad ibn Muhammad An-Nuhawandi Az-Zahid Al-Arif (wafat: 394 H), [Tarikhul-Islam:8/737]
Berkata Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah: saya mendengar Ahmad ibn Hamzah dan Abu Ali Al-Haddad rahimahumallah mereka berkata:
(ﻭﺟﺪﻧﺎ ﺃﺑﺎ اﻟﻌﺒﺎﺱ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ اﻟﻨﻬﺎﻭﻧﺪﻱ ﻋﻠﻰ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ اﻟﻜﻼﻡ ﻭﺗﻜﻔﻴﺮ اﻷﺷﻌﺮﻳﺔ.
ﻭﺫﻛﺮا ﻋﻈﻢ ﺷﺄﻧﻪ ﻓﻲ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻲ اﻟﻔﻮاﺭﺱ اﻟﻘﺮﻣﺎﺳﻴﻨﻲ ﻭﻫﺠﺮاﻧﻪ ﺇﻳﺎﻩ ﻟﺤﺮﻑ ﻭاﺣﺪ)
Kami mendapatkan Abul-Abbas Ahmad ibn Muhammad An-Nuhawandi mengingkari Ahli Kalam dan mengkafirkan Asy’ariyyah.
(Al-Harawi berkata): mereka berdua juga menyebutkan tentang kerasnya pengingkaran beliau terhadap Abul-Fawaris Ar-Qurmasini dan pemboikotannya karena satu masalah.
berkata Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah:
ﺳﻤﻌﺖ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻤﺰﺓ ﻳﻘﻮﻝ:
(ﻟﻤﺎ اﺷﺘﺪ اﻟﻬﺠﺮاﻥ ﺑﻴﻦ اﻟﻨﻬﺎﻭﻧﺪﻱ ﻭﺃﺑﻲ اﻟﻔﻮاﺭﺱ ﺳﺄﻟﻮا ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ اﻟﺪﻳﻨﻮﺭﻱ؛ ﻓﻘﺎﻝ: ﻟﻘﻴﺖ ﺃﻟﻒ ﺷﻴﺦ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻨﻬﺎﻭﻧﺪﻱ)
Saya mendengar Ahmad ibn Hamzah berkata:
Ketika semakin hebat saling boikot antara An-Nuhawandi dan Abul-Fawaris, maka orang-orang bertanya kepada Abu Abdillah Ad-Dainuri, beliau menjawab:
Saya mendapati SERIBU Syaikh mencocoki An-Nuhawandi.
(Dzammul-Kalãm:4/404)
Abu Abdillah Ad-Dainuri: Asy-Syaikh Al-Imam Al-Husain ibn Muhammad ibn Al-Husain Ats-Tsaqafi (wafat: 414 H), [As-Siyar:17/383]
2.Al-Imam Al-Wa’izh Abu Zakariya Yahya ibn Ammãr As-Sijistani (wafat: 422 H), [Tarikhul-Islãm:9/384)
Berkata Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah:
(رأيت يحي بن عمار ما لا أحصي من مرة على منبره يكفرهم -أي الأشعرية- ويلعنهم، ويشهد على أبي الحسن الأشعري بالزندقة، وكذلك رأيت عمر بن إبراهيم ومشائخنا)
Saya telah menyaksikan berkali-kali Yahya ibn Ammar di atas minbarnya mengkafirkan mereka -yaitu Asy’ariyyah- dan melaknat mereka, dan bersaksi atas Abul-Hasan Al-Asy’ari adalah seorang Zindiq.
Demikian juga saya menyaksikan Umar ibn Ibrahim dan guru-guru kami (seperti itu).
(Dzammul-Kalãm:4/411)
Umar ibn Ibrahim yaitu Umar ibn Ibrahim ibn Ismail Abul-Fadhl Az-Zahid (wafat: 426 H), [Tarikh Baghdad:13/146]
Penulis katakan:
Kami tidak sepakat tentang pengkafiran tersebut. Akan tetapi, yang menjadi pelajaran di sini adalah kerasnya pengingkaran para ulama tersebut sehingga sampai tahap mengkafirkan firqah Asy’ariyyah.
Dengan pemaparan dan uraian di atas, jelaslah bahwa hukum sesat terhadap firqah Asy’ariyyah yang diklaim oleh sebagian orang sebagai Ahlussunnah (in syaa Allah akan datang bantahan atas klaim ini dalam artikel tersendiri) adalah dari para ulama, bukan dari Ahlussunnah yang mereka gelari Wahhabiyah.
Kesimpulan:
Firqah Asy’ariyyah adalah firqah sesat yang muncul setelah tiga generasi terbaik dalam islam.
Faedah:
Firqah ini di negeri kita Indonesia di anut oleh sebagian kaum yang menamakan diri mereka “ASWAJA”.
Penyimpangan-penyimpangan Asy’ariyah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)
Setelah kita menelusuri sosok Imam Abul Hasan al-Asy’ari, ternyata beliau adalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah, bahkan dengan tegas beliau menyatakan berakidah seperti akidah al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal t.
Sekarang masih ada satu pertanyaan yang perlu kita jawab, yaitu Benarkah Asy’ariyah termasuk golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Untuk menjawab masalah ini kita harus mengetahui hakikat kelompok ini dan pemikiran-pemikirannya.
Siapakah Asy’ariyah?
Kelompok Asy’ariyah adalah kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah dan menganut paham al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t.
Benarkah pengakuan mereka? Karena banyak yang mengaku dirinya sebagai Ahlus Sunnah, padahal akidahnya jauh dari akidah Ahlus Sunnah.
Allah l berfirman:
“Datangkanlah bukti kalian, jika kalian orang-orang yang benar.” (al-Baqarah: 111)
Kata pepatah Arab:
Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila
Padahal Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya
Sejarah Munculnya Paham Asy’ariyah
Telah kita ketahui bahwa bibit pemikiran Asy’ariyah muncul ketika Abul Hasan al-Asy’ari mengkritisi pemikiran Mu’tazilah ayah tirinya yakni Abu Ali al-Jubba’i, padahal itu terjadi jauh setelah masa generasi utama berakhir, bahkan setelah zaman Imam Ahlus Sunnah al-Imam Syafi’i t.
Berarti, di zaman sahabat, tabiin, tabiut tabiin, bahkan di zaman al-Imam Malik, Abu Hanifah, dan al-Imam Syafi’i, belum ada yang namanya paham Asy’ariyah. Telah kita ketahui pula bahwa Abul Hasan al-Asy’ari sendiri telah rujuk dari pendapatnya, menegaskan bahwa beliau di atas akidah al-Imam Ahmad bin Hanbal t.
Jadi siapakah panutan Asy’ariyah, jika imam yang empat saja tidak mengenal paham mereka?!
Sumber Ilmu Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu kelompok ahlul kalam, yakni mereka yang berbicara tentang Allah l dan agama-Nya tidak berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka mengutamakan ra’yu (akal) mereka dalam membahas perkara agama. Oleh karena itu, kita akan mendapatkan penyimpangan mereka dalam ber-istidlal (pengambilan dalil).
Di antara prinsip mereka yang menyimpang dalam berdalil:
1. Dalil-dalil sam’i adalah dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah mutawatir, bukan hadits-hadits ahad, karena hadits ahad bukanlah hujah dalam masalah akidah.
Ar-Razi berkata dalam Asasut Tadqis, “Adapun berpegang dengan hadits ahad dalam mengenal Allah l tidaklah diperbolehkan.”
2. Mendahulukan akal daripada dalil
Hal ini telah disebutkan oleh al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, dan lainnya
Sebagai contoh: Ar-Razi menjelaskan dalam Asasut Taqdis, “Jika nash bertentangan dengan akal maka harus mendahulukan akal.”
3. Nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dhaniyatud dalalah (kandungannya hanya bersifat kira-kira), tidak menetapkan keyakinan dan kepastian.
4. Menakwil nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tentang nama-nama dan sifat Allah l.
5. Sering menukil ucapan falasifah (orang-orang filsafat), ini kental sekali dalam kitab-kitab mereka sepeti Ihya Ulumudin.
(Lihat Ta’kid Musallamat Salafiyah, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyairah)
Penyimpangan-Penyimpangan Asy’ariyah
Allah l menjelaskan bahwa jalan kebenaran hanya satu, Allah l berfirman:
“Dan inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia.” (al-Anam: 153)
Rasulullah n menjelaskan bahwa jalan tersebut adalah jalannya dan jalan yang telah ditempuh para sahabatnya, beliau n bersabda:
“Umatku terpecah menjadi 73 golongan: 72 di neraka dan 1 yang selamat. Mereka adalah al-jama’ah.”
dalam riwayat lain:
”(mereka adalah yang berjalan) di atas jalanku dan jalan sahabatku.” merekalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Hadits.
Ketika Asy’ariyah menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah maka mereka pun terjatuh dalam penyimpangan-penyimpangan dalam prinsip agama.
Di antara penyimpangan mereka:
1. Dalam masalah tauhid
Asy’ariyah menyatakan tauhid adalah (sekadar) menafikan berbilangnya pencipta… sehingga umumnya mereka menafsirkan kalimat tauhid hanya sebatas tauhid rububiyah, yaitu tidak ada pencipta atau tidak ada yang bisa mencipta selain Allah l. Mayoritas mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah.
Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid ada tiga: tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid adalah kewajiban pertama atas seorang hamba, terkhusus tauhid uluhiyah, karena untuk itulah manusia diciptakan. Allah l berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariat: 56)
2. Dalam masalah iman
Asy’ariyah dalam masalah iman di atas mazhab Murji’ah Jahmiyah. Mereka menyatakan iman hanyalah tasdiq bilqalbi (pembenaran dengan hati).
Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis seseorang telah terjatuh dalam kekafiran dengan semata kesalahan amalan anggota badan.
Mereka pun akhirnya terjatuh dalam menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah n.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan, bisa bertambah dan berkurang. Iman bertambah dengan melaksanakan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.
3. Dalam masalah asma wa sifat
Asy’ariyah memiliki kebid’ahan dengan menetapkan sifat ma’ani tujuh sifat saja. Dasar mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak bermakna seperti makna yang ditetapkan Ahlus Sunnah.
Kemudian ditambah oleh seorang tokoh mereka yakni as-Sanusi menjadi dua puluh. Mereka mengingkari sifat-sifat lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak menetapkan satu pun sifat fi’liyah bagi Allah l (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha, marah, dan lainnya).
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan semua nama Allah l dan sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa tahrif, takwil (penyelewengan), dan tamtsil (penyerupaan dengan makhluk).
4. Dalam masalah al-Qur’an
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Dalil-dalil tentang masalah ini sangatlah banyak. Allah l berfirman:
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah (yakni al-Qur’an).” (at-Taubah: 6)
Rasulullah n bersabda:
“Adakah kaum yang mau membawa dan melindungiku, karena sesungguhnya Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalam Rabbku (al-Qur’an).”
Dalam masalah inilah para ulama Ahlus Sunnah dizalimi. Al-Imam Ahmad dan para ulama Ahlus Sunnah lainnya mendapatkan cobaan yang dahsyat.
Orang-orang Mu’tazilah berhasil menghasut penguasa ketika itu sehingga menjadikan paham Mu’tazilah sebagai akidah resmi dan memaksa semua orang untuk mempunyai keyakinan ini.
Berapa banyak para ulama Ahlus Sunnah meninggal dalam mempertahankan akidah Ahlus Sunnah dan sebagian lainnya terzalimi (di antaranya dengan dipenjara).
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa semua yang tertulis dalam mushaf, dihafal di dada adalah al-Qur’an. Ahlus Sunnah meyakini bahwa kalamullah adalah dengan huruf dan suara, dapat didengar dan dapat dimengerti.
Al-Imam Ahmad t berkata, “Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Jangan engkau lemah untuk mengatakan, ‘Bukan makhluk.’ Sesungguhnya kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dzat Allah l, dan sesuatu yang berasal dari Dzatnya itu bukanlah makhluk. Jauhilah berdebat dengan orang yang hina dalam masalah ini dan golongan lafzhiyah (ahlul bid’ah yang mengatakan, ‘Lafadzku ketika membaca al-Qur’an adalah makhluk’) dan lainnya atau dengan orang yang tawaquf (abstain) dalam masalah ini yang berkata, ‘Aku tidak tahu al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, tetapi yang jelas al-Qur’an itu adalah kalamullah’. Orang ini (yang tawaquf) adalah ahlul bid’ah sebagaimana halnya orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ketahuilah, (keyakinan Ahlus Sunnah adalah) al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.” (Lihat Ushulus Sunnah)
Mu’tazilah telah sesat dalam masalah ini dan lainnya. Kesesatan Mu’tazilah karena mereka menyatakan al-Qur’an adalah makhluk bukan kalamullah.
Adapun penyimpangan Asy’ariyah karena mereka mencocoki Ahlus Sunnah dari satu sisi dan menyepakati Mu’tazilah dari sisi lainnya.
Kaum Asy’ariyah berkata, “Al-Qur’an maknanya adalah kalamullah, adapun lafadznya adalah hikayat (ungkapan) dari kalamullah, artinya lafadz al-Qur’an, menurut mereka, adalah makhluk.”
Hal ini karena dalam pandangan Mu’tazilah, Allah l tidak berbicara, dan dalam pandangan Asy’ariyah Allah l berbicara tapi hanya dalam jiwanya, tidak terdengar.
5. Dalam masalah takdir
Mereka jabriyah dalam masalah takdir, hanya menetapkan iradah (kehendak) kauniyah dan tidak menetapkan iradah syar’iyah. Menurut mereka, seorang hamba tidak memiliki qudrah (kuasa), mereka hanya menetapkan kemampuan dan qudrah seorang hamba ketika berbuat saja, mereka menafikan adanya qudrah hamba sebelum berbuat.
Adapun Ahlus Sunnah menetapkan adanya iradah kauniyah dan syar’iyah, menetapkan masyiah dan qudrah bagi hamba.
6. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah takwil/penyelewengan
Sebagai contoh, ar-Razi dan al-Amidy menakwilkan makna istiwa menjadi: menguasai, mengalahkan, serta pasti terjadinya takdir dan hukum ilahiyah. (Asasut Taqdis dan Ghayatul Maram)
Contoh lain, menakwilkan sifat wajah. Al-Baghdadi berkata, “Yang sahih menurut kami yang dimaksud wajah adalah dzat.” (Ushuluddin)
Disebutkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa takwil yang ada di tengah-tengah manusia seperti takwil yang disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab Takwil, Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, takwil-takwil tersebut adalah takwil yang bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah. (Lihat Majmu Fatawa: 5/23)
7. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah illat (sebab/hikmah) dalam perbuatan Allah l
Mereka tidak menetapkan ‘ilat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah l.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan semua yang Allah l lakukan mengandung hikmah yang sangat tinggi.
8. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali al-Juwaini mengingkari bahwa Allah l di atas makhluk-Nya.
9. Mereka memperluas permasalahan karamah hingga menyatakan bahwa mukjizat para nabi mungkin saja terjadi atas para wali.
10. Menetapkan Allah l dilihat tanpa dari arah. Hingga akhir ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah l di akhirat)
11. Menyatakan akal tidak bisa menetapkan baik buruknya sesuatu.
12. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf sampai ragu terlebih dahulu.
(Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hlm. 35—36, dan Mauqif Ibnu Taimiyah minal Asya’irah)
http://asysyariah.com/penyimpangan-penyimpangan-asyariyah/amp/

Sufi adalah Pengikut Firqah Asy’ariyah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak)
Barangsiapa menelaah hakikat shufiyah khususnya dalam masalah akidah, niscaya akan mendapati betapa kentalnya hubungan shufiyah dengan akidah Asy’ariyah. Di antara buktinya adalah pemikiran tokoh-tokoh mereka dari zaman dahulu sampai sekarang. Sebelum kita membahas bukti hubungan mereka, mari kita sedikit mengulas siapakah Asy’ariyah?

Sekelumit tentang Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu firqah yang dinisbatkan kepada pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ari t sebelum beliau rujuk kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena beliau t mengalami tiga fase dalam kehidupannya:
1. Dibina oleh ayah tiri beliau di atas pendidikan Mu’tazilah
2. Mengkritisi pemikiran-pemikiran ayah tirinya dalam masa pemahaman yang dikenal sekarang dengan paham Asy’ariyah1
3. Rujuk kepada pemahaman ahlul hadits dan menulis buku yang berjudul Al-Ibanah, yang menunjukkan beliau di atas akidah Ahlus Sunnah.
Ibnu Katsir Asy-Syafi’i t berkata: “Para ulama menyebutkan bahwa Asy-Syaikh Abul Hasan memiliki tiga keadaan:
Pertama: Keadaan di atas manhaj Mu’tazilah yang dia telah rujuk darinya.
Kedua: Menetapkan sifat aqliyah yang tujuh: hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, serta menakwilkan sifat-sifat Allah l yang khabariyah: seperti wajah, dua tangan, kaki, betis, dan lainnya.
Ketiga: Menetapkan semua sifat Allah l tanpa takyif (membayangkan gambaran tertentu dalam pikiran) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk), mengikuti jalan salaf. Inilah jalan beliau dalam kitabnya Al-Ibanah, kitab terakhir yang beliau tulis.” (lihat muqadimah Kitab Al-Ibanah, hal. 12-13, cet. Darul Bashirah)
Dari keterangan di atas menjadi jelas bahwa pemahaman yang banyak dianut shufiyah sekarang bukanlah paham Abul Hasan Asy’ari t. Karena beliau telah bertaubat darinya dan rujuk kepada madzhab Ahlus Sunnah.

Penjelasan singkat tentang akidah Asy’ariyah sehingga tidak termasuk dari Ahlus Sunnah wal Jamaah
1. Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis kekufuran dengan sebab amalan kekafiran jasmani seseorang.
2. Mereka Jabriyah2 dalam masalah takdir.
3. Mereka tidak menetapkan ‘illat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah l.
4. Tidak menetapkan sifat fi’liyah bagi Allah l (seperti istiwa’/naik di atas Arsy, nuzul/turun ke dunia pada sepertiga malam yang akhir, dan lainnya).
5. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali Al-Juwaini mengingkari bahwa Allah l berada di atas makhluk-Nya.
6. Tidak menetapkan sifat ma’ani (seperti ilmu, hayat, dll) kecuali tujuh atau lebih. Pijakan mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak mereka tetapkan seperti Ahlus Sunnah.
7. Memaknai kalimat tauhid sebatas tauhid rububiyah saja. Mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah.
8. Akhir dari pendapat mereka tentang kalamullah: Al-Qur’an adalah makhluk, sebagaimana pendapat Mu’tazilah.
9. Memperlebar masalah karamah hingga menyatakan bahwa mukjizat para nabi mungkin terjadi pada diri para wali.
10. Menetapkan bahwa Allah l dilihat tidak dari arah tertentu. Hingga akhir ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah l di hari kiamat).
11. Menyatakan bahwa akal tidak bisa menetapkan baik-buruknya sesuatu.
12. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf sampai ragu terlebih dahulu. (Disadur dari kitab Takidat Musallamat As-Salafiyah hal. 35-36)

Ulama yang menyatakan Asy’ariyah bukan Ahlus Sunnah
1. Al-Imam Ahmad bin Hambal t
Ibnu Khuzaimah t ditanya oleh Abu Ali Ats-Tsaqafi: “Apa yang kau ingkari, wahai ustadz, dari madzhab kami supaya kami bisa rujuk darinya?”
Ibnu Khuzaimah berkata: “Karena kalian condong kepada pemahaman Kullabiyah. Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang paling keras terhadap Abdullah bin Said bin Kullab dan teman-temannya, seperti Harits serta lainnya.”
Perlu diketahui bahwa Kullabiyah adalah masyayikh (guru/pembesar) Asy’ariyah.
Ibnu Taimiyah t berkata: “Kullabiyah adalah guru-guru orang Asy’ariyah….”(Kitab Istiqamah)
2. Ibnu Qudamah t
Beliau t berkata: “Kami tidak mengetahui ada kelompok ahlul bid’ah yang menyembunyikan pemikiran-pemikirannya dan tidak berani menampakkannya, selain zanadiqah (kaum zindiq, orang-orang yang menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan, red.) dan Asy’ariyah.”
3. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin t
Beliau berkata: “Asya’irah dan Maturidiyah serta yang semisal mereka, bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
4. Syaikh Shalih Al-Fauzan pernah ditanya: “Apakah Asy’ariyah dan Maturidiyah termasuk Ahlus Sunnah?”
Beliau menjawab: “Mereka tidak teranggap sebagai Ahlus Sunnah. Tidak ada seorang pun yang memasukkan mereka ke dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka memang menamakan diri mereka termasuk Ahlus Sunnah, namun hakikatnya mereka bukanlah Ahlus Sunnah.”
(Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hal. 19-30)

Hubungan Shufiyah dengan Asy’ariyah
Di antara bukti sangat kuatnya akidah Asy’ariyah pada pengikut shufiyah adalah banyaknya tokoh shufiyah yang mendakwahkan pemahaman dan akidah Asy’ariyah.
Di masa sekarang ini, bisa disebut nama Muhammad bin Alwi Al-Maliki, penulis buku Mafahim Yajib An Tushahhah. Dia termasuk dai kuburi shufi asy’ari (yang mengajak manusia mengagungkan kuburan secara berlebihan, beraliran sufi, dan berakidah Asy’ariyah). Inilah sebagian ucapannya:
1. Masalah akidah
Dia berkata dalam kitabnya (hal. 93): “Tidak diragukan lagi bahwa ruh-ruh (orang yang telah meninggal) punya pergerakan dan kebebasan yang memungkinkan menjawab orang yang menyerunya serta memberi pertolongan orang yang meminta tolong kepadanya. Persis sama dengan orang yang hidup, bahkan melebihinya.”
Cukuplah dalam membantah kesesatan ini, firman Allah l:
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam serta menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu. Kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikanmu, dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha mengetahui.” (Fathir: 13-14)
2. Masalah manhaj
Dia berkata dalam kitabnya (hal. 120): “Asy’ariyah adalah para imam pembawa petunjuk di antara sekian ulama muslimin.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 20-21)

Di antara bukti kuat adanya pengaruh kuat Asy’ariyah terhadap shufiyah adalah guru-guru, lembaga-lembaga, dan pondok-pondok shufiyah yang mengajarkan pemahaman Asy’ariyah terkhusus dalam masalah akidah seperti:
1. Hanya menetapkan sifat 13 atau 20
2. Menafikan Allah l di atas Arsy-Nya (sehingga menyatakan Allah l ada di mana-mana).
3. Hanya memaknakan kalimat syahadat sebatas tauhid rububiyah (Allah sebagai Pencipta, Pengatur dan Pemberi Rizki alam semesta)
Di antara bukti yang lain akan kuatnya paham Asy’ariyah pada kaum shufiyah adalah bahwa organisasi dan kelompok3 yang notabene beraliran shufiyah menjadikan pemikiran Asy’ariyah sebagai pemikiran organisasinya.
1 Yang sebenarnya mengadopsi pemahaman Kullabiyah. (ed.)
2 Yang menetapkan bahwa makhluk tidak punya kehendak dalam menjalankan hidup ini. (ed.)
3 Salah satu dari kelompok shufiyah masa kini adalah Jamaah Tabligh. Asy-Syaikh Al-Albani t menyatakan: “Jamaah Tabligh adalah shufiyah masa kini. Adapun Ikhwanul Muslimin sangat nampak hubungan mereka dengan shufiyah karena pendirinya, Hasan Al-Banna, adalah seorang pengikut thariqat shufi Al-Hashafiyyah.”
Untuk merinci lebih lanjut tentang kedua kelompok ini, alhamdulillah, pembaca bisa merujuk kepada Majalah Asy Syariah edisi 07 dan edisi 20.

Madzhab Syafi'i = Aqidah Asy'ari 

Siapa yang tidak mengenal Al Imam Ibnu Khuzaimah, shahib kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, Muhammad bin Ishaq bin khuzaimah bin Al Mughirah yang berkunyah dengan Abu Bakr. Tajuddin As Subki memulai biografi beliau, kalimat pertama yang beliau lontarkan ialah "Seorang Mujtahid Muthlaq". Beliau adalah salah satu ulama besar bermadzhab Syafi'i pada thabaqat ketiga (yang wafat antara tahun 300-400 H) pengarang banyak kitab, dan sangat panjang pujian ulama terhadap beliau (Thabaqat Asy Syafi'iyyah Al Kubra hal. 84 jilid 3 terbitan DKi)
Aqidah beliau ? 

Beliau mengabarkan sendiri bagaimana aqidah beliau di kitab beliau : Kitab At Tauhid wa Istbat Shifaat Ar Rabb 'Azza wa Jalla. Di Kitab tersebut beliau menetapkan sejumlah sifat sifat yang tinggi bagi Allah, yang tidak ditetapkan oleh madzhab Asy'ariyyah. Beliau menetapkan bagi Allah sifat wajah, sifat mata, sifat kedua tangan, sifat nuzul, sifat beristiwa diatas Al 'Arsy, sifat kalam, dan juga beliau menetapkan bahwa Al Qur'an kalamullah (bukan kalam nafsi, ibaroh, atau hikayah 'anillah seperti versi Asy'ariyyah dan Kullabiyyah), sifat tertawa dll.

Al Muzanni, Abu Ibrahim Isma'il bin Yahya bin Yahya Al Muzanni, murid Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi'i di Mesir. Beliau pun tidak beraqidah dengan aqidah Asy'ariyyah, bahkan beliau berakidah sebagaimana para ulama sebelum beliau termasuk gurunya, beliau berkata tentang Allah di kitab beliau Syarhus Sunnah :

عال على عرشه

"Allah tinggi diatas 'arsy-Nya" (Syarhus Sunnah hal. 81terbitan Dar Al Minhaj)

Maka jelaslah perbedaan yang tajam antara aqidah beliau dengan aqidah Asy'ariyyah.

Al Imam Asy Syafi'i sendiri pun tidak beraqidah dengan aqidah Asy'ari. Beliau beraqidah sebagaimana para ulama sebagaimana tiga generasi awal. Dan ini juga sebagai peringatan bagi mereka yang masih terus membuat kedustaan atas nama Al Imam Muhammad bin Idris asy Syafi'i, bagaimana mungkin beliau beraqidah dengan aqidah seseorang yang baru lahir 56 tahun setelah beliau wafat ?! Asy Syafi'i wafat tahun 204 H, sedangkan Abul Hasan Al Asy'ari lahir tahun 260 H

Para ulama yang belajar langsung kepada Al Imam Syafi'i pun tidak ada yang beraqidah dengan aqidah Asy'ariyyah. Sebut saja semisal : Ahmad bin Sinan, Al Muzanni, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Khalid Al Baghdadi, Abu Ja'far Ath Thabari, Ahmad bin 'Amr bin Abdillah Al Mishri Al Faqih dll dari seluruh murid Asy Syafi'i, TIDAK ADA SATUPUN DARI MEREKA YANG BERAQIDAH ASY'ARI.

Begitu juga dengan para ulama Syafi'iyyah lainnya semisal Khathib Al Bahgdadi, Al Isma'iliy, Ibnu 'Adi dll dari kibar Syafi'iyyah yang tidak beraqidah dengan aqidah Asy'ariyyah. Bahkan Al Khatib Al Baghdadi memiliki sebuah kitab yaitu Al Kalam Fis Sifat, dimana dalam kitab ini beliau membantah kaum mu'atthilah dengan memberikan faidah aqidah yang sangat penting yang beliau tuangkan dalam kitab tersebut :

القول في الذات كالقول في الصفات والقول في بعض الصفات كالقول في البعض الاخر

Demikian pula dengan Al Imam Asy syirazi asy syafi'i, beliau bahkan membantah aqidah Asy'ariyyah di kitab beliau Al Luma' dalam bahasan : Al Kalam Fil Al Amri wa Nahyi, dimana beliau menetapkan sebagaimana penetapan para ulama ushul fiqih dari kalangan Ahlus Sunnah bahwa Al Amr memiliki shighah yang maudhu'ah dalam bahasa, sesuatu hal yang diingkari oleh Asy'ariyah karena penetapan mereka bahwa kalamullah adalah kalam nafsi. (Al Luma' fi Ushul Al Fiqhi hal. 13 terbitan DKi)

Dalam bidang hadits pun para ulama Syafi'iyyah seperti ingin membedakan antara Asya'iroh dan Syafi'iyyah sebagaimana. Al Imam Al Bilqini. Beliau berkata :

"Sebagian para hafizh muta-akkhirin mengutip pendapat semisal pendapat Ibnu Shalah dari sekelompok ulama madzhab Syafi'i seperti Abu Ishaq Asy Syirozi ....... dan mayoritas Ahli kalam dari Asy'ariyyah. (Tadribur Rawi hal. 188 jilid 2 terbitan Dar Al 'Ishmah)

Dan lain lain yang sangat kentara perbedaan antara madzhab Syafi'i dan Asy'ari. Benar saya tidak menafikan banyak ulama syafi'iyyah yang beraqidah dengan aqidah Asy'ari, akan tetapi menggeneralisirkan hal tersebut adalah sebuah kekeliruan besar.


Madzhab Asy’ariyah, Ahlus Sunnahkah?

Oleh: Ustadz Armen Halim Naro -rahimahullah-
Sejarah masuknya dakwah Islam ke Nusantara adalah melalui jalan perairan di tepi pesisir-pesisir pantai atau hulu sungai, sebagai jalur utama transportasi tatkala itu. Kemudian menyebar luas ke seluruh pelosok dan negeri. Sehingga setiap orang yang hendak meneliti seperti apakah pemahaman yang masuk ke negeri ini pertama kalinya, dia dapat memulai kajiannya dari mereka yang menetap di daerah-daerah pesisir atau kepulauan dan seterusnya.
Semenjak kecil penulis -kebetulan putra salah satu pesi­sir di Sumatera Barat- selalu melihat orang-orang tua di sana mengaji sifat dua puluhsebagai pelajaran utama dalam aqidah mereka. Kemudian kadang mereka mengatakan, “Fiqh kami fiqh Syafi’i, aqidah kami aqidah Asy’ari, tarekat kami tarekat Naqsyabandi.”
Pemahaman ini merupakan pemahaman kebanyakan masyarakat kita tentang agama yang mereka anut, hanya saja dengan bertambahnya usia dan meningkatnya pelajaran, tentu se­tiap kita perlu mempertanyakan apa yang selama ini dipahami oleh orang-orang tua dan dibesarkan dengannya generasi muda kita. Karena hal itu menyangkut kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Benarkah Asy’ariyah sebagai kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Benarkah pemahaman Asy’ariyah itu pemahaman “Firqah Najiyah” -yang disebut-sebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya kelompok yang selamat-?!
Hal ini mengingatkan penulis kepada sebuah kejadian yaitu pengikut Asy’ariyah ‘meradang’ hebat sewaktu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menulis tentang aqidah Ahlus Sunnah dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyahnya, awal ucapan beliau, “Inilah aqidah Firqah Najiyah….” Lalu mereka adakanlah sebuah majelis dengan mendatangkan para qadhi dan ulama Asy’ariyah untuk mendebat beliau. Sehingga Syaikhul Islam terpaksa harus mendatangkan 50 kitab dari kitab imam yang empat, ahlul hadits, tasawuf, dan ahlul kalam. Beliau berkomentar, “Aku telah beri waktu tiga tahun kepada setiap orang yang menyelisihiku (dalam kitab ini), seandainya mereka menemukan ada satu huruf yang bertentangan dengan perkataan tiga generasi terbaik Islam, maka aku siap untuk kembali.” Beliau melanjutkan, “Maka tidak ada seorang pun yang mendapatkan ucapanku bertentangan dengan salah satu ulama Islam maupun pendahulu mereka, padahal mereka telah mencarinya di khazanah dan perpustakaan negeri.” (Lihat Majmu’ Fatawa 3/169, 217)
 Apakah Asy’ariyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu?
“Asy’ariyah” yang juga dikenal dengan “Asya’iroh” adalah penisbatan sebuah pemahaman dalam aqidah kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari[1], hanya mereka berpegang pada pema­haman Abul Hasan pada fase kedua kehidupannya, yang dikenal pada saat itu beliau menganut pemahaman Kullabiyah. Alangkah baiknya bagi mereka menapak jejak Abul Hasan yang terakhir dalam hidupnya!! Yaitu beliau kembali kepada ajaran salaf. Karena sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan beliau melalui tiga fase:
a.  Fase dengan membawa pemahaman Mu’tazilah, karena kebetulan gurunya dalam pemahaman ini adalah bapak tirinya yang bernama  Abu  Ali  al-Jubba’i, hal ini berlangsung hingga be­liau berusia 40 tahun. (Tabyin Kadzibil Muftari, hal. 40)
b. Fase dengan membawa pemahaman Kullabiyah diambil dari nama pendirinya, Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Qaththan (240 H). Pemahaman inilah yang menjadi tonggak ajaran dan pokok pemahaman mereka dalam madzhab, pemahaman ini dituangkan oleh beliau dalam kitab al-Luma’  fir Radd ‘ala Ahliz Zaighi wal Bida’.
c.  Fase dengan membawa pemahaman salaf  (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), pemahaman yang mana beliau wafat dengannya, beliau  tuangkan  dalam karangan beliau yaitu al-Ibanah, Risalah ila Ahli Tsaghar dan Maqalat Islamiyyin
Sedangkan istilah “Ahlus Sunnah wal Jama’ ah” mempunyai dua kata, “Sunnah” dan ” Jama’ ah” . Sunnah secara bahasa adalah jalan atau gaya hidup, sebagian mengaitkannya dengan kebaikan[2], Dan secara istilah adalah jalan hi­dup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diterangkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta jalan para sahabat yang telah mereka sepakati.
Jama’ ah artinya secara baha­sa mengumpulkan atau perkumpulan. Sedangkan secara istilah, tidak lepas dari enam makna:
(1) sawadul a’ zham/ kelompok mayoritas[3],
(2) kumpulan ulama mujtahid,
(3) para sahabat secara khusus,
(4) umat Islam jika sepakat dalam sebuah perkara,
(5) umat Islam jika bersatu dalam sebuah kepemimpinan,
(6) kelompok yang benar. (Lihat Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ ah wa Manhajul Asya’irah, DR. Khalid bin Abdul Lathif Muhammad Nur, 1/22)
Dari keseluruhan makna tersebut, tidak ada pertentangan bahkan saling menguatkan, karena jama’ ah yang dimaksud ialah para sahabat, karena merekalah kelompok yang berada di atas kebenaran, kelompok yang terbanyak.
Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ ah secara singkat adalah me­reka yang berpegang teguh den­gan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti jama’ ah sahabat Rasu­lullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang mengi­kuti mereka dengan baik.
Asy’ariyah sepakat dalam definisi Ahlus Sunnah di atas, dalam kitab mereka Jauharah at-Tauhid dikatakan:
Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf (yang terdahulu)
Dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf (yang datang kemudian)
Akan tetapi, benarkah dakwaan Asy’ariyah bahwa pemahaman mereka adalah pemahaman para sahabat dan aqidah mereka adalah aqidah imam yang empat? Di atas perapian, akan kita lihat siapa yang emas dan siapa yang loyang, di pintalan akan ketahuan mana yang sutera dan mana yang benang!
Secara garis besar, penulis menemukan empat belas pokok pemahaman Asy’ariyah yang bertentangan dengan pemaha­man Ahlus Sunnah. Di antaranya:
(1) mashdar  talaqqi,
(2) sifat  wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala,

(3) tauhid,

(4) iman,

(5) al-Qurvan,

(6) qadar,

(7) sebab dan musabab,

(8) kenabian,

(9) tahsin dan taqbih,

(10) takwil,

(11) hikmah/illah,

(12) sam’iyat/nash,

(13) takfir,

(14) asma’ dan sifat.

Di bawah ini, penulis akan sebutkan tujuh ushul (pokok) pemahaman tersebut dengan sedikit penjelasan singkat lantaran keterbatasan halaman. Siapa saja yang ingin mendapatkan penje­lasan lebih mendalam, penulis persilahkan membaca kitab-kitab bantahan ulama salaf terhadap Asy’ariyah, terutama kitab-kitab Syaikhul Islam dan murid beliau, Ibnul Qayyim rahimahumallah.
1. Mashdar Talaqqi (sumber dasar pengambilan)[4]
Pertama: Sebagaimana yang kita ketahui bahwa mashdar talaqqi Ah­lus Sunnah adalah al-Qur’an dan Sunnah, ijma’, dan qiyas. Berbeda dengan Asy’ariyah, sumber pengambilan mereka adalah akal.
Hal ini diperkuat oleh pendapat para tokoh madzhab seperti al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, al-Amidi, dan seluruh ulama mereka yang mengatakan jika akal dan nash saling bertentangan, maka yang menang adalah akal. Bah­kan sebagian mereka mengatakan bahwa mengambil zhahir Kitab dan Sunnah termasuk dari pokok paham kekufuran. (Sebagaima­na disebutkan as-Sanusi (885 H) dalam Syarhul Kubra dan ar-Razi dalam Asasut Taqdis hal.172)
Kedua : Bahwa nash-nash dalam Kitab dan Sunnah bersifat zhanniyahdalalah (tidak mutlak mengandung kebenaran) dengan ti­dak memberi keyakinan, yang qath’i (mendatangkan keyakinan) adalah akal. (Ma’alim Ushuliddin, Fakhruddin ar-Razi, hal. 24)
Ketiga: Mereka memandang bahwa hadits tidak dapat dijadikan pegangan dalam aqidah. Jika terjadi pertentangan dengan akal, yang mutawatir harus ditakwil, sedangkan yang ahad tidak perlu digubris. Sampai-sampai imam mereka, ar-Razi, menyebutkan bahwa semua riwayat hadits dari para sahabat adalah zhanniyah (adanya kemungkinan salah), ti­dak berbeda dalam hal kejujuran mereka maupun dalam hafalan. Dan juga mereka mengatakan bahwa dalam kitab Shahihain (Bukhari-Muslim) ada hadits-hadits yang dipalsukan oleh orang-orang zindiq.
Keempat: Kitab-kitab aqidah me­reka senantiasa mereka penuhi dengan perkataan para filosof, orang-orang bijak -yang sebenarnya bukan bijak- atau yang lainnya. Bersamaan dengan itu, kitab-kitab aqidah tersebut kosong dari ayat-ayat Alloh apalagi sabda Ra­sulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima: Sumber pengambilan kalangan tasawuf Asy’ariyah seperti al-Ghazali dan Hami lebih mendahulukan kasyaf (pembukaan tabir alam khayal) dan zauq (perasaan jiwa) serta takwil nash. Bahkan mereka menshahihkan dan melemahkan hadits menurut zauq dan kasyaf tersebut, dan mereka menyebutnya “ilmu laduni”.
2. Wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala
Menurut salaf, keberadaan Alloh merupakan hal yang fithri, dalil tentang hal itu telah terpatri pada alam, jiwa, dan wahyu. Pada setiap sesuatu ada bukti tentang wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Sedangkan Asy’ariyah ha­nya mempunyai satu-satunya alasan tentang wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yaitu “huduts” (baru) dan “qidam” (terdahulu). Menurut mereka, bukti bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala itu wujud (ada, -adm) adalah bahwa semua makhluk bersifat baru dan setiap yang baru mesti ada yang terdahulu.
Kekhususan Dzat yang ter­dahulu bahwa semua sifat-sifat-Nya tidak boleh sama (baik lafazh maupun makna, Pen.) dengan sifat makhluk. Maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala -menurut mereka- bukanlah jauhar (badan halus), tidak jisim (badan kasar), tidak mempunyai arah, dan tidak puny a tempat … dan seterusnya[5] dari istilah-istilah bid’ah yang tidak pernah Alloh sifati diri-Nya dengan penamaan tersebut, akan tetapi pemahaman mereka hanya sebagai bentuk taqlid terhadap guru-guru mere­ka dari kalangan filosof dan ahli kalam. Untuk memastikannya, silakan lihat permulaan semua kitab aqidah mereka.
3. Tauhid
Tauhid menurut Ahlus Sunnah terbagi tiga, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ dan sifat. Sedang­kan menurut Asy’ariyah, tauhid adalah menafikan sekutu atau bilangan serta menafikan bagian dan susunan.
Dari makna ini, mereka menafsirkan kata “ilah” dengan al-Khaliq[6] (Sang Pencipta) atau Dzat yang mampu berbuat. Dan mereka pun mengingkari sebagian sifat seperti wajah, tangan, mata, (yang Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifatkan-Nya dengan hal itu semua, -adm) karena menurut mereka hal itu menunjukkan susunan dan ba­gian.
Sedangkan tauhid hakiki yang menjadi lawan syirik, maka sama sekali tidak ada dalam kitab aqidah mereka. Penulis tidak tahu di mana mereka letakkan pemba­hasan tersebut, apakah di pemba­hasan furu’? Jelas ini tidak akan ada, ataukah mereka meninggalkannya? Ini yang (belum, –adm) bisa dipastikan.
Menurut salaf, yang wajib diketahui pertama kali adalah tauhid, sedangkan Asy’ariyah menyatakan bahwa kewajiban per­tama adalah nazhar, meneliti dan menganalisa dengan akal.
Mereka mengingkari ma’rifat kepada Alloh –Subhanahu wa Ta’ala– dengan fithrah. Mereka berkata, “Barangsiapa beriman kepada Alloh melalui jalan selain jalan analisa maka dia taqlid, telah berbuat maksiat, bahkan telah jatuh kafir.”
Point inilah yang dibantah oleh Ibnu Hajar karena konsekuensi dari ungkapan tersebut ialah pengkafiran semua orang awam, bahkan semua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka semua mendapatkan iman (bukan den­gan jalan analisa, Red.).[7]
4.  Iman
Iman menurut Ahlus Sunnah adalah pengakuan hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Sedangkan menurut Asy’ariyah cukup dengan pembenaran hati, tidak bertambah dan berkurang. Ini menyerupai ucapan Murji”ah Jahmiyah, sebagaimana yang disebut pada semua pembahasan aqi­dah mereka.[8]
5.Al-Qur‘an (Kalamullah)
Madzhab Ahlus Sunnah ten­tang al-Qur‘an menyatakan bah­wa ia adalah “Kalamullah” bukan makhluk, bahwasanya al-Qur’an itu firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Dia (Allah, -adm) sendiri yang berbicara terdengar oleh malaikat-Nya, didengar oleh Jibril ‘alaihis salaam, didengar oleh Musa ‘alaihis salaam, dan akan didengar semua makh­luk nantinya pada hari kiamat. Sedangkan madzhab Asy’ariyah merupakan kombinasi antara pemahaman Ahlus Sunnah den­gan pemahaman Mu’tazilah yang mereka mengatakan al-Qur’an itu makhluk.
Asy’ariyah membedakan antara lafazh dengan makna. Kalam yang mereka tetapkan adalah makna dalam diri-Nya, bukan berupa suara dan bukan pula huruf. Adapun kitab-kitab yang diturunkan termasuk al-Qur‘an bukanlah kalam-Nya, akan tetapi dia tidak lebih dari sebuah makna yang terpahami oleh Jibril ‘alaihis salaam dan terpisah dari Dzat-Nya, jika diungkapkan dalam bahasa Ibrani jadilah ia Taurat, jika berbahasa Suryani jadilah dia Injil, dan jika berbahasa Arab jadilah ia al-Qur’an. Semuanya makhluk, sedangkan penyebutannya dengan Kalamullah hanya sebatas majaz/kiasan.[9]
6. Qadha dan qadar
Asy’ariyah dalam qadar berusaha mengkombinasikan antara pemahaman Jabariyah[10]dan Qadariyah. Mereka menemukan sebuah teori yang me­reka beri nama dengan “kasab”, yang mana mereka sendiri bingung menjelaskan teori tersebut, ujung-ujung teori tersebut menuju pemahaman Jabariyah tulen.
Berkata ar-Razi menjelas­kan teori tersebut, “Sesungguhnya manusia terpaksa dalam bentuk memilih.” al-Baghdadi memberi permisalan tentang teori tersebut umpama seorang hamba dengan Alloh ‘Azza wa Jalla, dua orang yang membawa batu yang besar, yang saru lemah dan yang satu lagi kuat, sebenarnya yang kuatlah yang membawa, sedan­gkan si lemah juga tidak bisa lepas dari penyebutan memba­wa. (al-Inshaf hal. 45-46, Ushu­luddin hal. 133, dan lainnya)
7. Sebab dan musabab
Asy’ariyah mengingkari bahwa sesuatu dapat mempengaruhi sesuatu, seperti api dapat membakar, pisau dapat melukai, dan seterusnya. Bahkan mereka mengkafirkan atau membid’ahkan setiap orang yang menyelisihi mereka dalam pemahaman ini.
Mereka mengatakan, “Barangsiapa mengatakan bahwa api sifatnya dapat membakar atau apilah penyebab terbakar, maka dia kafir atau musyrik karena tidak ada yang berbuat kecuali Alloh Subhanahu wa Ta’ala.” Menurut mer­eka lagi, barangsiapa meyakini bahwa api dapat membakar karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan untuk membakar, maka dia mubtadi’ sesat. (Lihat Syifa’ul ‘Alil, Ibnul Qayyim, 259-261, dan juga pembahasan mer­eka tentang qadar)
Setelah penjelasan singkat ini, apa yang tersisa bagi Asy’ariyah dalam penisbatan mereka kepada madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah?!Dalam semua bab aqidah, Asy’ariyah selalu merriposisikan dirinya sebagai oposisi Ahlus Sunnah, sebagai bentuk pembelaan me­reka terhadap filsafat dan ilmu kalam.
Penulis tidak akan menyembunyikan sesuatu dalam hal ini, bahwa memang ada persamaan Ahlus Sunnah terhadap madzhab Asy’ariyah, yaitu pem­bahasan tentang para sahabat dan pembahasan imamah (kepemimpinan), inilah satu-satunya bab yang Asy’ariyah sepakat dengan Ahlus Sunnah.
Di saat bersamaan, ulama Ahlus Sunnah mengakui juga bahwa madzhab Asy’ariyah kelompok yang terdekat kepada Ahlus Sunnah dari kelompok yang binasa lainnya.
Pendapat Ulama Islam dari Kalangan Madzhab yang Empat Tentang Asy’ariyah
1. Ulama Malikiyah
Diriwayatkan dari Ibnu Abdil Barr al-Maliki yang bergelar “Hafizh Maghrib” (Alim dari Maghrib/Marokko) dari faqih Malikiyah Ibnu Khuwaiz Mindazdengan sanadnya, bahwa beliau berkata dalam bab Syahadat -ketika menjelaskan perkataan Imam Malik “Tidak boleh persaksian ahlul bid’ah dan hawa“-, “Ahlul hawa menurut Malik dan seluruh penganutnya ialah ah­lul kalam. Maka setiap ahli ka­lam adalah ahlul ahwa’ dan dan bid’ah, baik dia bermadzhabkan Asy’ariyah maupun bukan, tidak diterima persaksiannya dalam Islam selama-lamanya, diboikot dan dihukum atas perlakuan bid’ahnya, jika masih berlanjut diminta bertaubat (kalau tidak maka dibunuh, Pen.).” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/117, tahqiq Utsman Muhammad Utsman)
2. Ulama Syafi’iyah
Berkata Imam Abul Abbas bin Juraij yang bergelar “Syafi’i Kedua” -kebetulan beliau semasa dengan al-Asy’ari-, “Kami tidak setuju dengan takwil Mu’tazilah, Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhidah, Mujassimah, Musyabbihah, Karamiyah, Mukayyifah. Akan tetapi kami menerimanya tanpa takwil dan beriman denganhya tanpa tamtsil”[11]
Berkata Imam Abul Hasan al-Karji dari ulama Syafi’iyah pada abad kelima, “Para ulama Syafi’iyah selalu tidak mau jika mereka dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Bahkan mereka berlepas diri dari semua pemahaman madzhab Asy’ari, melarang pengikut dan para sahabat mer­eka mendekat kepada madzhab tersebut, sesuai dengan berita yang aku terima dari beberapa ulama dan para imam.” Kemudian beliau mencontohkan seperti syaikh Syafi’iyah pada masanya, Imam Abu Hamid al-Isfirayini -yang bergelar dengan “Syafi’i Ketiga“-, seraya berkata, “Sudah dimaklumi bersama tegasnya Syaikh (al-Isfirayini) terhadap ahli kalam, sehingga beliau memilah antara ushul fiqh Syafi’i dengan ushul Asy’ari. Sikap yang sama diperlihatkan pula oleh Abu Ishaq asy-Syirazi dalam kedua kitab beliau, al-Luma’ danat-Tabshirah. Sampai-sampai jika ada persamaan antara perkataan Asy’ari dengan perkataan ulama Syafi’iyah, beliau tetap bedakan dan berkata,’Perkataan ini adalah pendapat para sahabat kami dan dengannya berpendapatlah Asy’ariyah.’ Beliau tidak pernah menggolongkan Asy’ariyah ke dalam pengikut Syafi’i. Hal itu dikarenakan benci kepada ushul fiqh mereka. Bagaimana pula si­kap mereka terhadap ajaran mer­eka?!” (Tis’iniya, Ibnu Taimiyah, 238-239)
3. Ulama Hanafiyah
Sebagaimana diketahui bahwa penulis kitab Thahawiyah, Imam Thahawi dan pensyarahnya yaitu Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi, keduanya penganut madzhab Hanafi. Apalagi Imam Thahawi semasa pula dengan al-Asy’ari. Beliau menulis kitab tersebut untuk menerangkan aqidah Imam Abu Hanifah. Mereka menukilkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau tegas-tegas menyatakan bahwa seseorang yang berkata Alloh tidak di atas ‘Arsy atau mengambil sikap diam tentang itu, maka dia kafir. Lantaran itulah Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, telah mengkafirkan Bisyr al-Mirrisy -tokoh ajaran Mu’tazilah-. Sebagaima­na diketahui pula, Asy’ariyah mengingkari bahwa Alloh ‘Azza wa Jalla di atas ‘arsy dan bahwasanya pokok pemahaman Asy’ariyah diambil dari Bisyr al-Mirrisy.
4. Ulama Hanabilah
Tidak ada yang tidak mengetahui sikap ulama Hanabilah terhadap madzhab Asy’ariyah semenjak Imam Ahmad membid’ahkan Ibnu Kullab sebagai pendiri yang sebenarnya mad­zhab Asy’ariyah. Semenjak itu pula, antara Hanabilah den­gan madzhab Asy’ariyah se­lalu dalam peperangan yang berkepanjangan.
Demikianlah nukilan singkat pendapat ulama empat mad­zhab terhadap Asy’ariyah. Terlebih lagi, jika diperdengarkan nukilan dari ulama jarh wa ta’dil dari kalangan ulama hadits tentang madzhab Asy’ariyah, tentu akan lebih keras dan tegas lagi. Sebagaimana diketahui, mad­zhab Asy’ariyah secara umum menolak hadits ahad, dan hadits-hadits di Shahihain -kata mereka- sebagiannya dipalsukan oleh orang-orang zindiq dan seterusnya dari bencana pemahaman rusak mereka.
Kenyataan yang Tidak Bisa Dipungkiri
Di sini tersebutlah sebuah kenyataan, sehingga yang memungkirinya sama artinya dia memungkiri adanya matahari di siang belong. Yaitu pengakuan kembali, kebingungan, dan taubat ulama-ulama besar Asy’ariyah dari pemahaman dan aqidah yang selama ini mereka bela. Di antara mereka: Abul Hasan al-Asy’ari sebagai pendiri madzhab, al-Juwaini, al-Ghazali, asy-Syihristani, dan Fakhrur Razi. Jika mereka memang berada di atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ ah, maka dari apakah mereka bertaubat?! Dan dari aqidah manakah mer­eka kembali?!
Kesimpulan
Dari pembahasan singkat ini dapat kita pahami, dakwaan Asy’ariyah bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah merupakan dakwaan tanpa bukti. Akan tetapi bukan berarti pula mere­ka keluar dari Islam. Yang pasti, mereka adalah salah satu dari sekian banyak kelompok yang disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak selamat dengan aqidah dan pema­haman mereka.
Dengan demikan, semakin nyata bagi kita semua bahwa jalan kebenaran dan keselamatan adalah jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  den­gan pemahaman para salafush shalih.
Seluruh kebaikan dengan mengikuti Salaf (yang terdahulu)
Dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf (yang datang kemudian).
Sumber:
Majalah AL FURQON edisi 7 tahun V/ Shafar 1427 H, hlm. 23-27
[1] Al-Milal wan Nihal (1/94) asy-Syihristani.
[2] An-Nihayah fi Gharibil Hadits (2/409) Ibnul Atsir dan Tahzibul Lughah (12/298-299) Azhari.
[3] Makna ini diambil dari beberapa riwayat yang tidak lepas dari kelemahan.
[4] Silahkan lihat tentang mashdar talaqqi  mereka dalam Dar’u Ta’arudh  al-‘Aql wan Naql oleh Ibnu Taimyah, Asasut Taqdis (hal. 168-173) oleh ar-Razi, asy-Syamil (hal. 561) oleh al-Juwaini, Syarhul Kubra (hal. 502) oleh as-Sanusi.
[5] Karena itu sifat-sifat makhluk (hadits). Menurut salaf, sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala ialah apa yang Dia tetapkan dalam syari’at-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa menakwil, menyerupakan, membayangkan, dan seterusnya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab aqidah.
[6] Arti yang benar dalam kalimat yang agung tersebut adalah “Tiada Dzat yung berhak diibadahi selain Alloh –Subhanahu wa Ta’ala- “. Arti ini mencakup dua tauhid, yaitu rububiyah dan uluhiyah. Sedangkan tafsiran Asy’ariyah yang mengartikan bahwa “Tidak ada Dzat yang mencipta melainkan Alloh –Subhanahu wa Ta’ala-“, hanya sebatas pengakuan terhadap tauhid rububiyah dan belum masuk pengakuan terhadap. tauhid uluhiyah. Tafsiran Asy’ariyah telah diakui oleh musyrik Quraisy, akan tetapi tidak membuat mereka menjadi rnuslim.
[7] Silahkan lihat pembahasan ini, al-Inshaf (hal. 22) al-Baqillani, asy-Syamil (hal. 120), Fathul Bari (3/357, 361), Dar”u Ta’arudh
al-‘Aql wan Naql (juz 7,8,dan 9).
[8] Silahkan lihat al-Irsyad (hal. 397), al-Inshaf (hal. 55) al-Baqillani, dan juga al-Iman Ibnu Taimiyah -hampir keseluruhan kitab
tersebut bantahan terhadap mereka-.
[9] Silahkan  lihat  pemahaman  mereka  tentang al-Quran; al-Inshaf  (hal. 96-97), Ushuluddin ( hal. 107), Syarh  al-Bajuri  (hal. 64-66).
[10] Jabariyah adalah pemahaman bahwa manusia tidak mempunyai ikhtiar, dia bagaikan kapas yang diterbangkan angin. Kebalikannya, pemahaman Qadariyah.
[11] Ibnu Juraij wafat 306 H, lihat Siyar A’lam an-Nubala” (14/201). Kelihatannya, beliau telah meninggal sebelum kembalinya Abul Hasan al-Asy’ari kepada madzhab salaf. Silahkan lihat Ijtima’ Juyusy Islamiyah (hal. 62).

Memahami Asal-Usul Firqoh Sesat Asy’ariyah

24.Memahami Asal-Usul Firqoh Sesat Asy’ariyah
25.HIJRAHNYA PENDIRI PAHAM.ASY’ARY – Ustadz Mizan Qudsiyah, Lc (221 Comments)