Abul-Hasan
Al-Asy’ariy Bertaubat ke ‘Aqidah Asy’ariyyah atau Salafiyyah ?
Al-Imam
Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab
Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah
Bermadzhab
Syafi’i, Berakidah Asy’ari ?
Kata Pak
Habib, Ahlus Sunnah itu adalah Asy ‘ariyyah?? lucu sekali ya pak habib ini..
Mereka
Yang Menolak Aqidah Asy’ariyah (Oleh Zon Jonggol, Mutiara Zuhud). Apakah Al
Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah? Silahkan Lihat Beberapa Tanggapannya.
Mereka
Membenci Kitab “Al-Ibanah” Karya Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 1 dari 2
Tulisan)
Mereka
Membenci Kitab “al-Ibanah” Karya Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 2 dari 2
Tulisan)
Mereka
Yang Menolak Aqidah Asy’ariyah (Oleh Zon Jonggol, Mutiara Zuhud). Apakah Al
Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah? Silahkan Lihat Beberapa Tanggapannya.
http://lamurkha.blogspot.com/2017/06/mereka-yang-menolak-aqidah-asyariyah.html
Muktamar
Dhirar “Chechnya” Dihadiri “Ulama-Ulama” Koplak Dari Jenis Yang Sama (Berhati
Syi’ah). Memanipulir Definisi Ahlus Sunnah Dengan Meniadakan “ Ahlul
Hadits,Atsariyyah,Salafiyyah, Pemahaman Tiga Generasi Terbaik Setelah Nabi
(Al-Haq)”. 21 Wadah Ulama Ahlussunnah Di Dunia Mengutuk Konferensi Tersebut.
Muktamar
Dhiror Shufiyyah Dan Syi’ah Di Chechnya Membuat Mereka Busung Dada, Mengenang
Makar Yahudi Pada Abad 3H Dengan Menjamurnya Sekte-Sekte Sesat Di Irak (Tanduk
Setan). Bantahan Untuk Mereka Yg Mengadakan Muktamar mengklaim Ahlussunnah.
http://lamurkha.blogspot.com/2018/09/muktamar-dhiror-shufiyyah-dan-syiah-di.html
http://lamurkha.blogspot.com/2018/09/muktamar-dhiror-shufiyyah-dan-syiah-di.html
Pengaruh
Aqidah Asy’ariyah Terhadap Umat Dan Napak Tilas Perjalanan Hidup Al-Imam Abul
Hasan Al-Asy’ari
Pengikut
Asy’ariyah ‘Meradang’ Hebat, Mereka Mendatangkan Para Qadhi Dan Ulamanya Untuk
Mendebat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahullah Yang Menulis Aqidah Firqah
Najiyah Dalam Kitab Al-Aqidah Al-Wasithiyahnya.
Siapakah
Yang Mengikuti Aqidah Imam Abu Hasan Al Asy'ari?
Taubatkah
Ibnu Taimiyah kedalam Aqidah Asy’ariyah?
Ulama
Syafi’iyah Antara Salafi Dan Asy’ari
Berdasarkan Hasil Muktamar Chechnya, Aswaja Itu
Beraqidah Asy'ariyah & Maturidiyah !!!??? (375 Comments)
https://youtu.be/lquIHGPy_gM
Bantahan Untuk Mereka Yg Mengadakan Muktamar
mengklaim Ahlussunnah - Ust Firanda Andirja (1,328 Comments)
Beda Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan
Asy'ariyyah, Maturidiyyah & Mu'tazilah
Ciri Khas Ahlus Sunnah Wal Jama’ah - Syaikh
Shalih Fauzan bin Fauzan
Hakikat Aqidah Asy'ariyyah dan Maturidiyyah (76
Comments)
Kisah Taubat Abul Hasan Al-Asy'ary: Renungan
dan Pelajaran (56 Comments)
Kajian : Sumber Aqidah Yang Benar dan Sumber
Aqidah Yang salah - Ustadz DR. Firanda Andirja, MA (51 Comments)
https://youtu.be/owl6FgNlZ_c
Kitab Al-Ibanah Bertentangan dengan Aqidah
Asy'ariyah - Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, MA
Menjawab Syubhat : Kebanyakan Umat ini Penganut
Asy'ariyah - Ust. Dzulqarnain Muhammad Sunusi
(103 Comments)
Menjawab Syubhat Tentang Pengaruh Banyaknya
Penganut Asy'ariyyah (26 Comments)
Menjawab Syubhat bahwa Kisah Abul Hasan Palsu
Menjawab Syubhat Taubatnya Ibnu Taimiyah
terhadap Paham Asy'ariyyah
Mengenal Lebih Dekat Aqidah Asy'Ariyah - Ustadz
DR. Firanda Andirja, MA (1,278 Comments)
Siapa Saja Ulama yang Memperingatkan Bahaya
Paham Asy'ariyyah?
https://youtu.be/xwBC-ZJr9Lc
https://youtu.be/PV7c0ybdCzs
Syaikh Abdul Qodir Jaelani juga diantara ulama
yang mentahdzir kesesatan Asy'ariyah
Tanggapan (terhadap ucapan Abdul Somad) Dari
Mulai Maroko Sampai Marauke Itu Asya'iroh" (518 Comments)https://youtu.be/PV7c0ybdCzs
Ustadz dzulqarnain bin muhammad sunusi - celaan
ulama kepada asyariyah
Ustadz dzulqarnain bin muhammad sunusi - Aqidah
Imam 4 madzhab sama !
Ustadz Dr Firanda Andirja : Mengenal Asya'
irah Lebih Dekat (133 Comments)
https://youtu.be/DhQldU8g9p4
Ustadz Firanda Andirja : Perkataan Terakhir
Imam Abul Hasan Al Asy'ari Dalam Kitabnya
Ustadz Firanda Andirja, MA. - Aqidah
Ahlussunnah Wal Jama'ah
https://youtu.be/DiHqgSWC1Ag
Beberapa
Artikel dibawah ini :
Apakah
Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah ? (Abu Ihsan Al Atsary)
Pertanyaan - 226290
Sesatnya
Firqah Asy’ariyyah Menurut Pandangan Ulama Besar Dari Berbagai Madzhab (Sofyan Ruray)
Penyimpangan-penyimpangan
Asy’ariyah (Abdurrahman Mubarak)
Sufi
adalah Pengikut Firqah Asy’ariyah (Abdurrahman Mubarak)
Madzhab
Syafi'i = Aqidah Asy'ari
Madzhab
Asy’ariyah, Ahlus Sunnahkah? (Ustadz Armen Halim Naro –rahimahullah)
Memahami Asal-Usul Firqoh Sesat Asy’ariyah (Beberapa Artikel menarik, tinggal klik)
Memahami Asal-Usul Firqoh Sesat Asy’ariyah (Beberapa Artikel menarik, tinggal klik)
Apakah
Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah?
Oleh Ustadz Abu Ihsan Al
Atsary
PENDAHULUAN
Ini adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum muslimin,
khususnya para penuntut ilmu. Ada sebagian orang mengira Al Asy’ariyyah
termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Seperti yang sudah dimaklumi, sebenarnya
madzhab Al Asy’ariyyah yang berkembang sekarang ini, hakikatnya adalah madzhab
Al Kullabiyyah. Abul Hasan Al Asy’ari sendiri telah bertaubat dari pemikiran
lamanya, yaitu pemikiran Mu’tazilah. Tujuh sifat yang ditetapkan dalam madzhab
Al Asy’ariyyah inipun bukan berdasarkan nash dan dalil syar’i, tetapi
berdasarkan kecocokannya dengan akal dan logika. Jadi, sangat bertentangan
dengan prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
SEJARAH SINGKAT ABUL HASAN AL ASY’ARI
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari. Lebih akrab disebut
Abul Hasan Al Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H atau 270 H. Masa kecil
dan mudanya dihabiskan di kota Bashrah. Kota yang kala itu sebagai pusat kaum
Mu’tazilah. Dan tidak dapat dielakkan, pada masa pertumbuhannya, beliau
terpengaruh dengan lingkungannya Beliau mendalami ilmu kalam dan pemikiran
Mu’tazilah dari ayah tirinya yang bernama Abu Ali Al Juba’i. Namun kemudian, beliau
bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah ini. Allah menghendaki keselamatan bagi
beliau, dan memperoleh petunjuk kepada madzhab Salaf dalam penetapan
sifat-sifat Allah, dengan tanpa ta’wil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa
tamtsil [1]
Kisah taubatnya dari pemikiran Mu’tazilah
ini sangat populer. Beliau melepas pakaiannya seraya berkata: “Aku melepaskan
keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti halnya aku melepaskan jubah ini
dari tubuhku,” kemudian beliau melepas jubah yang dikenakannya. Secara simbolis,
itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari pemikiran Mu’tazilah
dan dari kaum Mu’tazilah.
Ahli sejarah negeri Syam, Al Hafizh Abul
Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq (wafat tahun 571)
dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut:
Abu Ismail bin Abu Muhammad bin Ishaq Al
Azdi Al Qairuwani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Uzrah bercerita, Abul
Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang bermadzhab Mu’tazilah. Dan memegang
madzhab ini selama 40 tahun. Dalam pandangan mereka, beliau adalah seorang
imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari. Secara tiba-tiba,
beliau muncul di masjid Jami’ kota Bashrah. Dan setelah shalat Jum’at, beliau
naik ke atas mimbar seraya berkata,”Hadirin sekalian. Aku menghilang dari
kalian selama beberapa hari, karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama
kuatnya, namun aku tidak mampu menetapkan mana yang hak dan mana yang batil.
Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana yang hak. Kemudian aku
memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Dia memberiku petunjuk,
dan aku tuangkan ke dalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua aqidah
(keyakinan) yang dulu aku pegang, sebagaimana aku membuka bajuku ini.” Kemudian
beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada
para hadirin.
Sebagai bukti kesungguhan Abul Hasan Al
Asy’ari melepaskan diri dari pemikiran Mu’tazilah, yaitu beliau mulai bangkit
membantah pemikiran Mu’tazilah dan mendebat mereka. Bahkan beliau menulis
sampai tiga ratus buku untuk membantah Mu’tazilah. Namun dalam membantahnya,
beliau menggunakan rasio dan prinsip-prinsip logika. Beliau mengikuti
pemikiran-pemikiran Kullabiyyah.[2]
ABUL HASAN AL ASY’ARI SECARA TOTAL
MENJADI PENGIKUT MANHAJ SALAF
Kemudian Allah menyempurnakan nikmatNya untuk beliau. Setelah pindah ke Baghdad
dan bergabung bersama para tokoh murid-murid Imam Ahmad, akhirnya beliau secara
total menjadi seorang Salafi (pengikut manhaj Salaf). Pada fase yang ketiga
dalam kehidupannya ini, beliau menulis beberapa risalah berisi pernyataan
taubatnya dari seluruh pemikiran Mu’tazilah dan syubhat-syubhat Kullabiyyah.
Diantara beberapa buku yang ditulisnya,
yaitu: Al Luma’, Kasyful Asrar Wa Hatkul Asrar, Tafsir Al Mukhtazin, Al Fushul
Fi Raddi ‘Alal Mulhidiin Wa Kharijin ‘Alal Millah Ka Al Falasifah Wa Thabai’in
Wad Dahriyin Wa Ahli Tasybih, Al Maqalaat Al Islamiyyin dan Al Ibanah. Semoga
Allah merahmati beliau.
PERNYATAAN ABUL HASAN AL ASY’ARI DALAM
KITABNYA: AL IBANAH FI USHULID DIYANAH [3]
Beliau berkata dalam kitab Al Ibanah: “Pendapat yang kami nyatakan, dan agama
yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah k dan Sunnah NabiNya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atsar-atsar (riwayat-riwayat) yang diriwayatkan
dari para sahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh
dengan prinsip tersebut. Kami berpendapat dengan pendapat yang telah dinyatakan
oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mengelokkan wajah
beliau, mengangkat derajat beliau dan melimpahkan pahala bagi beliau. Dan kami
menyelisihi perkataan yang menyelisihi perkataan beliau. Karena beliau adalah
imam yang fadhil (utama), pemimpin yang kamil (sempurna). Melalui dirinya,
Allah menerangkan kebenaran dan mengangkat kesesatan, menegaskan manhaj dan
memberantas bid’ah yang dilakukan kaum mubtadi’in, dan (memberantras)
penyimpangan yang dilakukan orang-orang sesat, serta (memberantas) keraguan
yang ditebarkan orang yang ragu-ragu.” [4]
Demikian pernyataan Abul Hasan, bahwa ia
kembali ke pangkuan manhaj Salaf.
ULAMA-ULAMA SYAFI’IYYAH MENOLAK
DINISBATKAN KEPADA ASY’ARIYYAH
Kebanyakan orang mengira bahwa madzhab Al Asy’ariyyah itu identik dengan
madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Ini sebuah kekeliruan fatal.
Abul Hasan sendiri telah kembali ke
pangkuan manhaj Salaf, dan mengikuti aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Yaitu
menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diriNya, dan
yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
hadits-hadits shahih, dengan tanpa takwil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan
tanpa tamtsil. Jelas, Abul Hasan pada akhir hidupnya adalah seorang salafi,
pengikut manhaj salaf dan madzhab imam ahli hadits. Sampai-sampai ulama-ulama
Asy Syafi’iyyah menolak dinisbatkan kepada madzhab Asy’ariyyah.
Berikut ini, mari kita simak penuturan
Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Id Al Hilali dalam kitabnya yang sangat bagus,
dalam edisi Indonesia berjudul Jama’ah-jama’ah Islam Ditimbang Menurut Al
Qur’an dan As Sunnah (halaman 329-330). Dalam bukunya tersebut, beliau membantah
Hizbut Tahrir yang mencampur-adukkan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan
istilah Al Asy’ariyyah, sekaligus menyatakan bila Al Asy’ariyyah bukan termasuk
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, atau bukan termasuk pengikut manhaj Salaf. Beliau
berkata:
Jika dikatakan: Yang dimaksud Ahlus
Sunnah di sini adalah madzhab Asy’ariyah.
Kami jawab: Tidak boleh menamakan Asy’ariyah dengan sebutan Ahlus Sunnah.
Berdasarkan persaksian ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (pengikut Salafush
Shalih), mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah
1. Imam Ahmad, Ali bin Al Madini dan
lainnya menyatakan, barangsiapa menyelami ilmu kalam, (maka ia) tidak termasuk
Ahlus Sunnah, meskipun perkataannya bersesuaian dengan As Sunnah, hingga ia
meninggalkan jidal (perdebatan) dan menerima nash-nash syar’iyyah [5]. Tidak
syak lagi, sumber pengambilan dalil yang sangat utama dalam madzhab Asy’ariyah
adalah akal. Tokoh-tokoh Asya’riyah telah menegaskan hal itu. Mereka
mendahulukan dalil aqli (logika) daripada dalil naqli (wahyu), apabila terjadi
pertentangan antara keduanya. Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah
mereka melalui bukunya yang berjudul Dar’u Ta’arudh Aql Wan Naql, beliau
membukanya dengan menyebutkan kaidah umum yang mereka pakai bilamana terjadi
pertentangan antara dalil-dalil.[6]
2. Ibnu Abdil Bar, dalam mensyarah
(menjelaskan) perkataan Imam Malik, dia menukil perkataan ahli fiqh madzhab
Maliki bernama Ibnu Khuwaiz Mandad: “Tidak diterima persaksian Ahli Ahwa’ (Ahli
Bid’ah).” Ia menjelaskan: “Yang dimaksud Ahli Ahwa’ oleh Imam Malik dan seluruh
rekan-rekan kami, adalah Ahli Kalam. Siapa saja yang termasuk Ahli Kalam, maka
ia tergolong ahli ahwa’ wal bida’; baik ia seorang pengikut madzhab Asy’ariyyah
atau yang lainnya. Persaksiannya dalam Islam tidak diterima selama-lamanya,
wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid’ahnya. Jika ia masih
mempertahankannya, maka harus diminta bertaubat.” [7]
3. Abul Abbas Suraij yang dijuluki Asy
Syafi’i kedua berkata,”Kami tidak mengikuti takwil Mu’tazilah, Asy’ariyah,
Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan Mukayyifah [8]. Namun
kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil, dan kami mengimaninya tanpa
tamtsil.” [9]
4. Abul Hasan Al Karji, salah seorang
tokoh ulama Asy Syafi’iyyah berkata: “Para imam dan alim ulama Syafi’iyyah,
dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Mereka justeru
berlepas diri dari madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan Al Asy’ari. Menurut
yang aku dengar dari beberapa syaikh dan imam, bahkan mereka melarang
teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari menghadiri
majelis-majelisnya. Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap syaikh [10] terhadap
Ahli Kalam, sampai-sampai memisahkan fiqh Asy Syafi’i dari prinsip-prinsip Al
Asy’ari, dan diberi komentar oleh Abu Bakar Ar Radziqani. Dan buku itu ada padaku.
Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq Asy Syirazi dalam dua kitabnya, yakni
Al Luma’ dan At Tabshirah. Sampai-sampai kalaulah sekiranya perkataan Al
Asy’ari bersesuaian dengan perkataan rekan-rekan kami (ulama madzhab Asy
Syafi’i), beliau membedakannya. Beliau berkata: “Ini adalah pendapat sebagian
rekan kami. Dan pendapat ini juga dipilih oleh Al Asy’ariyah.” Beliau tidak
memasukkan mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy Syafi’i. Mereka menolak
disamakan dengan Al Asy’ariyah. Dan dalam masalah fiqh, mereka menolak
dinisbatkan kepada madzhab Al Asy’ariyah; terlebih lagi dalam masalah
ushuluddin.” [11]
Pendapat yang benar adalah, Al Asy’ariyah
termasuk Ahli Kiblat (kaum muslimin), tetapi mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah. Ketika para tokoh dan pembesar Al Asy’ariyyah jatuh dalam
kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al Asy’ariyah. Diantaranya adalah Al
Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya. Jika mereka benar-benar berada di
atas As Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka keluar? Dan
kenapa mereka keluar? Hendaklah orang yang bijak memahaminya, karena ini adalah
kesimpulan akhir.
Dalam daurah Syar’iyyah Fi Masail
Aqa’idiyyah Wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh Salim
ditanya: Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah? Beliau
menjawab dengan tegas: “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.”
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647,
08157579296]
Footnote
Footnote
[1]. Ta’thil (menolak atau meniadakan sifat Allah, takyif
(membayangkan atau menanyakan hakikat dan bentuk sifat Allah), tamtsil
(menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), ta’wil (maksudnya tahrif yaitu
menyimpangkan makna dari zhahirnya tanpa dalil)
[2]. Al Kullabiyah, adalah penisbatan kepada Abu Muhammad Abdullah
bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al Bashri, wafat pada tahun 240 H.
[3]. Buku ini telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
diterbitkan oleh Pustaka At Tibyan. Dalam buku aslinya disertakan taqdim (kata
pengantar dari para ulama terkini, seperti Syaikh Hammad bin Muhammad Al
Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dan Syaikh Ismail Al Anshari).
Buku ini sangat penting dibaca oleh kaum muslimin, khususnya di Indonesia dan Malaysia
yang mayoritas penduduknya menisbatkan diri kepada Al Asy’ariyyah.
[4]. Al Ibanah, halaman 17.
[5]. Silakan lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,
karangan Al Laalikaai (I/157-165).
[6]. Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci, silakan lihat kitab
Asasut Taqdis, karangan Ar Razi, hlm. 168-173 dan Asy Syamil, karangan Al
Juwaiini, hlm. 561 dan Al Mawaqif, karangan Al Iji, hlm. 39-40.
[7]. Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (II/96).
[8]. Ini semua adalah nama-nama aliran
[9]. Ijtima’ Juyusy Islamiyah, hlm. 62.
[10].
Yakni Syaikh Abu Hamid Al Isfaraini.
[11]. At Tis’iniyyah, hlm. 238-239.
Pertanyaan - 226290
Siapakah mereka yang disebut
Asy’ariyyah?, dan apakah mereka termasuk ahlus sunnah, dan apakah benar bahwa
banyak di antara para ulama yang mengikuti metodologi asy’ariyyah, seperti imam
Nawawi?
Teks Jawaban
Alhamdulillah
Pertama:
Asy’ariyyah adalah kelompok yang
menisbahkan diri mereka kepada imam Abu Hasan Al Asy’ari –rahimahullah-, Abu
Hasan al Asy’ari ini telah melewati beberapa fase (dalam kehidupannya). Pada
tahap pertama beliau sebagai mu’tazilah sekitar selama 40 tahun, kemudian
beliau kembali dan mengikuti pendapat Abdullah bin Sa’id bin Kullab dan
terpengaruh olehnya, inilah fase kedua beliau. Imam Ahmad bin Hambal
–rahimahullah- termasuk orang yang paling keras (menentang) Abdullah bin Sa’id
bin Kullab dan kepada pengikutnya seperti Harits dan yang lainnya, sebagaimana
yang dikabarkan oleh Ibnu Khuzaimah akan hal itu”. (Siyar A’lam Nubala’:
14/380, Ibnu Taimiyah dalam Dar’ut Ta’arudh: 2/6)
Para ulama telah berbeda pendapat tentang
kembalinya imam Asy’ari ini dari pendapat Ibnul Kullab pada fase ketiga dan
sesuai dengan ahlus sunnah wal jama’ah secara keseluruhan atau tetap berada
pada pendapat Ibnul Kullab ?
Sebagian orang berpendapat
bahwa beliaunya telah kembali kepada konsep ahlus sunnah wal jama’ah, yang
menyatakan demikian seperti Al Hafidz Ibnu Katsir, dan dari ulama kontemporer
adalah Syeikh Hafidz Al Hukmi.
Mereka berdalil dengan pernyataan beliau
dalam kitabnya Al Ibanah –yang merupakan kitab terakhir yang beliau tulis-
bahwa beliau berkata:
“Ucapan yang menjadi pendapat kami dan
agama yang menjadi agama kami adalah berpegang teguh dengan kitab Allah –Tuhan
Yang Maha Perkasa lagi Agung- dan dengan sunnah Nabi kita Muhammad –shallallahu
‘alaihi wa sallam- dan yang telah diriwayatkan dari para tokoh, para sahabat,
para tabi’in dan para imam hadits, kami berpegang teguh pada semua itu. Dan
dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Hambal –semoga Allah
mencerahkan wajah beliau-, mengangkat derajatnya, dan melipat gandakan
pahalanya. Dan ketika para penentangnya menyelisihi pendapat beliau; karena
beliau adalah seorang imam yang utama, pimpinan yang sempurna, yang Allah
jelaskan kebenaran kepadanya, mencegah kesesatan melalui dirinya, menjelaskan
manhaj kepadanya, menekan para ahli bid’ah, mereka yang tergelicir, mereka yang
ragu-ragu melalui dirinya. Semoga rahmat Allah tercurah kepadanya seorang imam
yang terdepan, agung dan diagungkan, besar dan memahamkan”. (Al Ibanah: 20)
Hal ini merupakan bentuk keterusterangan
dari beliau akan kembalinya beliau ke madzhab salaf yang diwakili oleh Imam
Ahmad, bahwa beliau berpendapat dengan pendapat beliau, menyelisihi apa yang
beliau selisihi, imam Ahmad secara personal sangat keras menentang Kullabiyah;
oleh karenanya beliau menjauhi Harits al Muhasibi karena dia adalah seorang
Kullabi.
Pendapat kedua:
Bahwa Imam Asy’ari belum kembali dari
madzhab Kullabiyah secara keseluruhan, akan tetapi beliau mendekati ahlus
sunnah wal jama’ah pada banyak permasalahan.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim dan yang lainnya. Meskipun imam Asy’ari dalam buku Al
Ibanahnya telah banyak mendekati madzhab ahlus sunnah wal jama’ah, hanya saja
masih ada sisa-sisa pendapat Kullabiyah beliau.
Ibnu Taimiyah berkata:
“Imam Asy’ari meskipun termasuk murid
Mu’tazilah kemudian beliau bertaubat, beliau juga murid dari Al Juba’i, dan
beliau cenderung pada madzhabnya Ibnu Kullab, beliau juga mengambil ilmu dari
Zakaria as Saaji, ahli hadits di Bashrah, kemudian pada saat beliau mendatangi
Bagdad, beliau juga berguru banyak hal kepada Hambaliyahnya Bagdad, inilah fase
terakhir perjalanan beliau, sebagaimana yang telah beliau sampaikan sendiri dan
para pengikutnya pada buku-buku mereka”. (Majmu’ Fatawa: 3/228)
Baca juga: “Mauqif Ibnu Taimiyah minal
Asya’irah karya Syeikh Abdurrahman Mahmud: 1/390”.
Mayoritas Asya’irah pada generasi
belakangan ini, mereka tidak berkomitmen kepada madzhab Abu Hasan Al Asy’ari,
akan tetapi banyak di antara mereka banyak yang mencampur aduk dengan madzhab
Jahmiyyah dan Mu’tazilah, bahkan madzhab para ahli filsafat juga. Mereka
menyimpang dari Imam Asy’ari dalam banyak hal, mereka menafikan sifat istiwa’
bagi Allah, sifat tinggi, turun, tangan, mata, kaki dan kalam. Pada semua sifat
itu mereka menyelisi pendapat imam Asy’ari sendiri.
Kedua:
Kalimat ahlus sunnah diperuntukkan
sebagai sisi lain dari bid’ah, hal itu dimaksudkan: Murni ahlus sunnah; tidak
termasuk di dalamnya kecuali orang yang berkomitmen kepada akidah yang benar
dari generasi salaf dan ahli hadits. Dari sudut pandang ini Asy’ariyyah tidak
masuk pada julukan tersebut, termasuk selain mereka yang mencampur kaidah ushul
kalamnya dengan kaidah ushul bid’ah; dikarenakan mereka menyelisihi ahlus
sunnah dalam banyak kaidah ushul dan permasalahan.
Asy’ariyyah belakangan ini mereka adalah
Jabariyah dalam masalah takdir, Murji’ah dalam masalah keimanan, Mu’atthilah
(meniadakan) sifat-sifat Allah, tidak menetapkannya kecuali hanya tujuh sifat;
karena akal telah menunjukkan hal itu sebagaimana yang telah mereka klaimkan,
menafikan istiwa’ (Allah) di atas ‘Arsy dan kemaha Tingginya Allah di atas
makhluk-Nya, dan mereka mengatakan: “Dia (Allah) tidak berada di dalam alam
semesta dan juga tidak di luarnya, tidak juga di atasnya, tidak juga di
bawahnya dan lain sebagainya dari beberapa penyimpangan, maka bagaimana mungkin
kami menamakannya sebagai “ahlus sunnah” ?!
Ibnu Taimiyah berkata:
“Kalimat ahlus sunnah dimaksudkan kepada
orang yang menetapkan sahnya kekhalifahan tiga orang khalifah, maka semuanya
masuk dalam kategori tersebut kecuali Rafidhah”.
Terkadang yang dimaksudkan adalah ahli
hadits dan ahli sunnah yang murni, maka tidak masuk dalam kategori tersebut
kecuali mereka yang menetapkan sifat-sifat Allah –Ta’ala-“. (Minhajus Sunnah:
2/221)
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
“Mu’tazilah termasuk ahlus sunnah,
Asy’ariyyah, dan semua yang tidak termasuk kafir dari para ahli bid’ah, jika
kami katakan ini sebagai sisi lain dari Rafidhah.
Akan tetapi jika kami ingin menjelaskan
ahlus sunnah, maka kami katakan bahwa ahlus sunnah yang sebenarnya adalah para
salafus shalih yang berkumpul dalam sunnah dan mengamalkannya, pada kondisi
seperti ini maka Asy’ariyyah, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan yang lainnya, mereka
bukanlah termasuk di dalamnya dari sisi makna tersebut”. (Asy Syarhul Mumti’:
11/306)
Ketiga:
Tidak sah dinisbatkan kepada Asy’ariyyah
kecuali mereka yang berkomitmen pada manhaj mereka dalam akidah, adapun mereka
yang menyetujui pada beberapa masalah saja, maka mereka tidak dinisbatkan
kepada mereka.
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata pada saat
beliau membicarakan kedua imam yang hafidz An Nawawi dan Ibnu Hajar:
“Dan apakah benar kita nisbahkan kedua
imam tersebut dan yang serupa dengan keduanya kepada Asy’ariyyah ?, dan kami
katakan: “Keduanya termasuk Asy’ariyyah ?”, jawabannya: “Tidak; karena
Asy’ariyyah mereka mempunyai madzhab tersendiri, ia mempunyai ketentuan dalam
hal Asma’ dan sifat, keimanan dan keadaan alam akhirat, alangkah baiknya apa
yang telah ditulis oleh saudara kami Safari Hawali apa yang beliau ketahui dari
madzhab mereka; karena kebanyakan masyarakat tidak memahami mereka, hanya saja
mereka menyelisihi generasi salaf pada bab Asma’ was Sifat, akan tetapi mereka
banyak perbedaan.
Jika seseorang berkata pada masalah sifat
yang sesuai dengan madzhab mereka, maka kami tidak mengatakan: “Dia adalah
seorang asy’ariyyah”, bagaimanakah pendapat anda jika seseorang dari pengikut
madzhab Hambali memilih pendapat Syafi’iyyah, maka apakah kita mengatakan dia
adalah seorang pengikut madzhab Syafi’i ?”. (Syarh ‘Arba’in Nawawiyah: 290)
Beliau juga berkata:
“Kedua orang (alim) tersebut saya tidak
mengetahui saat ini bahwa ada seseorang telah memberikan sumbangsih kepada
Islam pada masalah hadits Rasul seperti yang mereka telah lakukan. Yang
menunjukkan hal itu bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- dengan daya dan
kekuatan-Nya –saya tidak bersumpah (tidak bisa memastikan)- telah menerimanya,
buku-buku karya mereka berdua banyak diterima oleh banyak orang, bagi para
penuntut ilmu bahkan bagi kalangan awam, sekarang misalnya kitab Riyadhus
Shalihin terus dibaca pada setiap majelis, dibaca pada setiap masjid, banyak
orang yang mengambil manfaat, saya bercita-cita bahwa Allah menjadikan buku
saya seperti buku tersebut, semua orang banyak mengambil manfaat dari buku
tersebut baik di rumahnya atau di masjidnya”. (Liqa’ Bab Maftuh: 43)
Baca juga jawaban soal nomor: 107645
Wallahu A’lam.
Sesatnya
Firqah Asy’ariyyah Menurut Pandangan Ulama Besar Dari Berbagai Madzhab
By Sofyan Ruray
[Menjawab Syubhat “Asy’ariyyah Itu Tidak Sesat, Buktinya Ibnu
Hajar dan An-Nawawi Asy’ariyyah” Bagian 1]
بسم الله الرحمن الرحيم.
Sesungguhnya Nabi kita yang mulia shallallahu alaihi wa sallam
telah mengabarkan dan mempersaksikan bahwa sebaik-baik generasi adalah tiga
generasi pertama dari umat ini.
Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُم
Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku
(generasi Sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka (generasi Tabiin),
kemudian orang-orang setelah mereka (Tabiut-Tabi’in).
(HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Sekalipun
di zaman tersebut telah muncul firqah-firqah sesat seperti Khawarij,
Qadariyyah, Murjiah dan lainnya, namun tersebarnya paham-paham sesat tersebut
tidak seperti zaman setelah mereka yang semakin banyak dan bermacam-macam, yang
semuanya di bangun di atas ilmu kalam. Diantara firqah sesat yang muncul
setelah generasi terbaik adalah sekte Asy’Ariyyah yang diusung oleh Al-Imam
Abul-Hasan Al-Asy’ari rahimahullah (sebelum beliau rujuk ke aqidah Salaf) yang
wafat tahun 324 H.
Berkata Al-Imam As-Sijzi rahimahullah (wafat:444 H):
“Ketahuilah
-semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami dan kepada kalian- bahwasanya
tidak ada perselisihan diantara manusia dengan perbedaan pemahaman mereka sejak
awal zaman (islam) sampai waktu munculnya Ibnu Kullab, Al-Qalanisi,
Ash-Shalihi, Al-Asy’ari, dan kawan-kawan mereka yang menampakan bantahan
terhadap Mu’tazilah, padahal mereka bersama mereka (mu’tazilah), bahkan mereka
lebih jelek keadaan batinnya dari mu’tazilah.”
(Risalah As-Sijzi Ila Ahli
Zubaid:115-117)
Sekalipun
demikian, tetap ada sebagian kalangan yang tidak mengakui sesatnya firqah
Asy’ariyyah ini. Kata mereka: hukum sesat terhadap firqah Asy’ariyyah hanyalah
dari kaum “Wahhabiyyah”. Asy’ariyyah itu adalah Ahlussunnah, kenyataannya
banyak dari para ulama itu beraqidah Asy’ariyyah, diantaranya adalah dua imam
besar Al-Hafidz An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahumallah, dan tidak
ada yang menyesatkannya kecuali Wahhabiyyah.
Untuk menjawab syubhat tersebut, penulis membawakan dua muqaddimah
yang harus diketahui oleh setiap muslim yaitu:
1-Hukum
Sesat Terhadap Firqah Asy’Ariyyah bukanlah Produk Ahlussunnah Salafiyyin yang
mereka gelari dengan Wahhabiyyah. (ini tema pembahasan dalam artikel ini)
2-Sebab Kenapa Sebagian Ulama
Terjatuh Kepada Aqidah Asy’ariyyah. (In syaa Allah akan dibahas pada artikel
selanjutnya)
Merupakan
suatu tuduhan tak berdasar mengatakan bahwa hukum sesat terhadap Asy’ariyyah
adalah berasal dari Ahlussunnah Salafiyyin “Wahhabiyyah”, tuduhan ini dibangun
di atas fanatik madzhab dan kebencian terhadap dakwah Salaf yang mulia ini.
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa yang menghukumi Asy’ariyyah itu
sesat adalah para ulama dari berbagai madzhab yang empat (Hanafiyah,
Malikiyyah, Syafiiyyah, Hanbali) dan Zhahiriyyah. Oleh karena itu, penulis akan
bawakan ucapan mereka dengan izin Allah. Dan penulis tidak akan membawakan
ucapan para ulama semisal Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Muhammad
ibn Abdil-Wahhab, dan para ulama di zaman ini yang mereka sebut dengan ulama
Wahhabi. Tapi penulis akan bawakan ucapan para ulama dari berbagai madzhab yang
hidup sezaman dengan ulama Asy’ariyyah; baik yang sezaman dengan penggagasnya
Abul-Hasan Asy’ariy atau setelahnya.
Berikut ini adalah ucapan-ucapan mereka tentang sekte Asy-ariyyah,
penulis bawakan sesuai urutan tahun wafatnya:
1-Al-Imam Abul-Abbas Ahmad ibn Umar ibn Suraij Al-Bagdadi
Asy-Syafi’i (wafat:306 H)
Beliau
berkata:
( ﻻ ﻧﻘﻮﻝ ﺑﺘﺄﻭﻳﻞ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ، ﻭاﻷﺷﻌﺮﻳﺔ، ﻭاﻟﺠﻬﻤﻴﺔ، ﻭاﻟﻤﻠﺤﺪﺓ،
ﻭاﻟﻤﺠﺴﻤﺔ، ﻭاﻟﻤﺸﺒﻬﺔ، ﻭاﻟﻜﺮاﻣﻴﺔ، ﻭاﻟﻤﻜﻴﻔﺔ، ﺑﻞ ﻧﻘﺒﻠﻬﺎ ﺑﻼ ﺗﺄﻭﻳﻞ، ﻭﻧﺆﻣﻦ ﺑﻬﺎ ﺑﻼ
ﺗﻤﺜﻴﻞ، ﻭﻧﻘﻮﻝ اﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻬﺎ ﻭاﺟﺐ، ﻭاﻟﻘﻮﻝ ﺑﻬﺎ ﺳﻨﺔ، ﻭاﺑﺘﻐﺎء ﺗﺄﻭﻳﻠﻬﺎ ﺑﺪﻋﺔ)
Kami
tidak berpendapat (dalam ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah)
dengan ta’wilnya Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Jahmiyyah, Mulhidah, Mujassimah,
Musyabbihah, Karramiyyah, dan Mukayyifah. Bahkan kami menerimanya tanpa
menta’wil, beriman kepadanya tanpa tamtsil, dan kami berpendapat: beriman
kepadanya adalah wajib dan berpendapat dengannya adalah sunnah, dan mencari
ta’wilnya adalah bid’ah.
(Ijtimã’
Al-Juyûsy Al-Islãmiyyah:119)
Beliau
bergelar Imam Asy-Syafi’i Kedua.
2.Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Shalih Al-Qahthani Al-Andulisi
Al-Maliki rahimahullah (wafat: 378 H)
Beliau berkata dalam Nuniahnya:
والآن أهجو الأشعري وحزبه … .وأذيع
ما كتموا من البهتان
Dan sekarang saya mengecam Asy’ari dan kelompoknya,
Saya akan
membeberkan apa yang mereka tutupi berupa kedustaan.
(Nuniah Al-Qahthani)
3-Al-Imam
Muhammad Ibn Ahmad ibn ishaq Mindad Al-Mishri Al-Maliki rahimahullah (wafat:
390 H)
Beliau
berkata:
ﺃﻫﻞ
اﻷﻫﻮاء ﻋﻨﺪ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻫﻢ ﺃﻫﻞ اﻟﻜﻼﻡ، ﻓﻜﻞ ﻣﺘﻜﻠﻢ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻷﻫﻮاء ﻭاﻟﺒﺪﻉ
ﺃﺷﻌﺮﻳﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺃﺷﻌﺮﻱ، ﻭﻻ ﺗﻘﺒﻞ ﻟﻪ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﻓﻲ اﻹﺳﻼﻡ، ﻭﻳﻬﺠﺮ ﻭﻳﺆﺩﺏ ﻋﻠﻰ ﺑﺪﻋﺘﻪ، ﻓﺈﻥ
ﺗﻤﺎﺩﻯ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﺳﺘﺘﻴﺐ ﻣﻨﻬﺎ
Ahlul-Ahwa
menurut Imam Malik dam semua sahabat kami (ulama Malikiyyah) adalah Ahli Kalam.
Setiap mutakallim maka dia adalah seorang ahli hawa dan bid’ah, baik itu dia
seorang asy’ari atau bukan asy’ari. Tidak diterima persaksiannya dalam Islam,
diboikot dan diberi pelajaran karena bid’ahnya, jika dia tetap pada
pendiriannya maka diminta untuk bertobat.
(Jami
Bayãnil-Ilmi wa Fadhlih:2/943)
4.Imam
Besar Madzhab Syafi’iyyah Abu Hamid Ahmad ibn Abi Thahir Al-Isfirãini
rahimahullah (wafat:406 H)
Berkata Abul-Hasan Al-Karkhi Asy-Syafii:
ﻭﻛﺎﻥ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ اﻹﺳﻔﺮاﺋﻴﻨﻲ
ﺷﺪﻳﺪ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﺎﻗﻼﻧﻲ ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﻜﻼﻡ
Asy-Syaikh Abu Hamid Al-Isfirãini adalah seorang yang sangat keras
pengingkarannya terhadap Al-Baqillani dan orang-orang ahli kalam…
Dan
(Dar’u Ta’ãrudh Al-‘Aql
wan-Naql:2/96, Al-Fatawa Al-Kubra:6/600)
5.Al-Imam
Abu Umar Muhammad ibn Al-Husain Al-Bisthãmi Asy-Syafi’i Al-Wa’izh rahimahullah
(wafat: 408 H)
Beliau
berkata:
ﻛﺎﻥ
ﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ ﺃﻭﻻ ﻳﻨﺘﺤﻞ اﻻﻋﺘﺰاﻝ، ﺛﻢ ﺭﺟﻊ ﻓﺘﻜﻠﻢ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻣﺬﻫﺒﻪ اﻟﺘﻌﻄﻴﻞ، ﺇﻻ
ﺃﻧﻪ ﺭﺟﻊ ﻣﻦ اﻟﺘﺼﺮﻳﺢ ﺇﻟﻰ اﻟﺘﻤﻮﻳﻪ
Awalnya
Abul-Hasan Al-Asy’ari menyatakan pemikiran mu’tazilah, kemudian dia rujuk lalu
membantah mereka. Sesungguhnya madzhabnya adalah ta’thil (menafikan Sifat),
akan tetapi dia hanyalah berpindah dari sikap terang-terangan ke sikap
menyamarkan.
(Dzammul-Kalãm
wa Ahlih:4/408)
6.Al-Hafidz
Abu Hatim Ahmad ibn Al-Hasan ibn Muhammad Ar-Razi yang dikenal dengan Khamusy
(wafat: antara 430-440 H)
Berkata
Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah:
(ﺳﻤﻌﺖ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﺤﺴﻦ اﻟﺨﺎﻣﻮﺷﻲ اﻟﻔﻘﻴﻪ اﻟﺮاﺯﻱ ﻓﻲ ﺩاﺭﻩ ﺑﺎﻟﺮﻱ ﻓﻲ
ﻣﺤﻔﻞ ﻳﻠﻌﻦ اﻷﺷﻌﺮﻳﺔ، ﻭﻳﻄﺮﻱ اﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ)
Saya
mendengar Ahmad ibn Al-Hasan Al-Khamusyi Al-Faqih Ar-Razi di rumahnya di kota
Ray dalam suatu majlis dia melaknat Asy’ariyyah dan memuji Hanabilah.
(Dzammul-Kalam:4/420)
7.Al-Imam
Al-Hafidz Abu Nashr Ubaidillah ibn Sa’id As-Sijzi Al-Hanafi rahimahullah
(wafat: 444 H)
Setelah
menyebutkan tokoh-tokoh Mu’tazilah, beliau berkata:
ﺛﻢ
ﺑﻠﻲ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﺑﻌﺪ ﻫﺆﻻء -ﺃﻱ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ – ﺑﻘﻮﻡ ﻳﺪﻋﻮﻥ ﺃﻧﻬﻢ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻻﺗﺒﺎﻉ. ﻭﺿﺮﺭﻫﻢ
ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺿﺮﺭ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻭﻫﻢ ﺃﺑﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻛﻼﺏ، ﻭﺃﺑﻮ اﻟﻌﺒﺎﺱ اﻟﻘﻼﻧﺴﻲ، ﻭﺃﺑﻮ
اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ…
ﻭﻛﻠﻬﻢ ﺃﺋﻤﺔ ﺿﻼﻝ ﻳﺪﻋﻮﻥ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻰ
ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﺗﺮﻙ اﻟﺤﺪﻳﺚ
Kemudian setelah mereka (Mu’tazilah), Ahlussunnah diuji dengan
suatu kaum yang mengaku bahwa mereka adalah ahlu Ittiba’, (padahal) bahaya
mereka lebih berbahaya dari Mu’tazilah dan selainnya. Mereka itu adalah: Abu
Muhammad ibn Kilab, Abul-Abbas Al-Qalanisi, ABUL-HASAN AL-ASY’ARI… (Lalu beliau
meyebutkan tokoh-tokoh setelahnya).
(Setelah
itu beliau berkata):
MEREKA
SEMUA ITU ADALAH PARA IMAM KESESATAN YANG MENGAJAK MANUSIA AGAR MENYELISIHI
SUNNAH DAN MENINGGALKAN HADITS.
(Risalah As-Sijzi Ila Ahli
Zubaid:343-346)
8.Al-Imam
Al-Hafidz Al-Kabir Abu Muhammad Ali ibn Ahmad Ibn Said ibn Hazm Azh-Zhahiri
(wafat: 456 H)
Beliau mengomentari tentang salah satu pemikiran Asy’ariyyah yaitu
masalah Ilmu Allah adalah selain Allah tapi selalu bersamaNya:
…ﻭﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﺑﻬﺬا ﺃﺣﺪ ﻗﻂ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻹﺳﻼﻡ ﻗﺒﻞ ﻫﺬﻩ
اﻟﻔﺮﻗﺔ اﻟﻤﺤﺪﺛﺔ ﺑﻌﺪ اﻟﺜﻼﺛﻤﺎﺋﺔ ﻋﺎﻡ -ﺃﻱ اﻷﺷﺎﻋﺮﺓ-، ﻓﻬﻮ ﺧﺮﻭﺝ ﻋﻦ اﻹﺳﻼﻡ ﻭﺗﺮﻙ ﻟﻹﺟﻤﺎﻉ
اﻟﻤﺘﻴﻘﻦ
Tidak ada seorang pun dari Ahli Islam berpendapat demikian sebelum
firqah bid’ah ini setelah 300 tahun -yaitu Asy’ariyyah-, ini adalah keluar dari
islam dan meninggalkan Ijma yang pasti.
(Al-Fashl
Fil-Milal:2/105)
Beliau
adalah Imam besar madzhab Azh-Zhahiriyyah
9.Al-Imam Al-Qadhi Abul-Husain Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Husain
Al-Farra Al-Hanbali (wafat: 526 H)
Berkata
Al-Hafidz As-Silafi:
(ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻴﻦ ﻣﺘﻌﺼﺒﺎ ﻓﻲ ﻣﺬﻫﺒﻪ، ﻭﻛﺎﻥ ﻛﺜﻴﺮا ﻣﺎ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﻓﻲ
اﻷﺷﺎﻋﺮﺓ ﻭﻳﺴﻤﻌﻬﻢ، ﻻ ﺗﺄﺧﺬﻩ ﻓﻲ اﻟﻠﻪ ﻟﻮﻣﺔ ﻻﺋﻢ)
Dahulu
Abul-Husain adalah seorang yang fanatik terhadap madzhabnya, dan beliau sering
berbicara tentang Asy’ariyyah dan terang-terangan kepada mereka, beliau tidak
takut celaan pencela karena Allah.
(As-Siyar:19/602)
10.Al-Imam
Abul-Husain Yahya ibn Abil-Khair Al-Imrani Al-Yamani Asy-Syafi’i rahimahullah
(wafat: 558 H),
Beliau berkata:
وأقوال الأشعرية مثبتة على أصول
المعتزلة لأن أبا الحسن كان معتزلياً
Pemikiran-pemikiran Asy’ariyyah ditetapkan di atas pokok pemikiran
mu’tazilah, karena Abul-Hasan dahulunya adalah seorang Mu’tazili.
(Al-Intishãr
Fir-Rad Alal-Mu’tazilah:2/648)
Beliau
penulis Kitab Al-Bayan Fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i.
11.Al-Imam Abu Muhammad Abdul-Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani
Al-Hanbali rahimahullah (wafat:561 H)
Ketika
berbicara masalah Shaut dan Huruf pada sifat Kalamullah, beliau berkata:
ﻭﻗﺪ
ﻧﺺ اﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﺇﺛﺒﺎﺕ اﻟﺼﻮﺕ ﻓﻲ ﺭﻭاﻳﺔ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ اﻷﺻﺤﺎﺏ ﺭﺿﻮاﻥ
اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ ﺧﻼﻑ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﺖ اﻷﺷﻌﺮﻳﺔ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻛﻼﻡ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻌﻨﻰ ﻗﺎﺋﻢ ﺑﻨﻔﺴﻪ،
ﻭاﻟﻠﻪ ﺣﺴﻴﺐ ﻛﻞ ﻣﺒﺘﺪﻉ ﺿﺎﻝ ﻣﻀﻞ.
Al-Imam
Ahmad telah menegaskan tentang penetapan Shaut (suara) dalam riwayat sejumlah
sahabatnya (murid-muridnya) radhiyallahu anhum, berbeda dengan apa yang
diyakini oleh Asy’ariyyah bahwasanya Kalamullah adalah makna yang berdiri
sendiri. Allah yang akan menghisab setiap ahli bid’ah yang sesat lagi
menyesatkan.
(Al-Gunyah:1/131)
Beliau
dikenal di kalangan Shufiyyah: Abdul-Qadir Al-Jailani. Banyak disandarkan
kepadanya hal-hal yang dusta.
12.Al-Imam Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah Al-Maqdisi
Al-Hanbali (wafat: 620 H)
Beliau berkata:
(ﻭﻻ ﻧﻌﺮﻑ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ اﻟﺒﺪﻉ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﻳﻜﺘﻤﻮﻥ
ﻣﻘﺎﻟﺘﻬﻢ ﻭﻻ ﻳﺘﺠﺎﺳﺮﻭﻥ ﻋﻠﻰ ﺇﻇﻬﺎﺭﻫﺎ ﺇﻻ اﻟﺰﻧﺎﺩﻗﺔ ﻭاﻷﺷﻌﺮﻳﺔ)
Kami tidak ketahui di kalangan ahli Bid’ah sebuah kelompok yang
menyembunyikan pemikiran mereka dan tidak berani menampakannya selain Zanadiqah
dan Asy’ariyyah.
(Al-Munazharah
Fil-Qur’an:35)
Beliau
adalah Imam Besar Madzhab Hanabilah. Penulis kitab Al-Mughni.
Ucapan para ulama sangatlah banyak dalam masah ini. Yang penulis
bawakan di sini adalah yang terang-terangan menyebut firqah Asy’ariyyah.
Syaikhul-Islam Abu Ismail Al-Harawi membuat Bab khusus dalam kitabnya
Dzammul-Kalãm wa Ahlih: Bab Dzikri Kalam Al-Asy’ari (Bab penyebutan
pemikiran/ideologi Al-Asy’ari).
Adapun yang secara umum mencela Ahli Kalam maka sangatlah banyak,
juga celaan mereka terhadap firqah Kullabiyyah yang merupakan asal dan induk
firqah Asy’ariyyah sangatlah banyak.
Bahkan sebagian ulama ada yang sampai pada tahap mengkafirkan
firqah Asy’ariyyah
1. Abul-Abbas Ahmad ibn Muhammad An-Nuhawandi Az-Zahid Al-Arif
(wafat: 394 H), [Tarikhul-Islam:8/737]
Berkata Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah: saya mendengar
Ahmad ibn Hamzah dan Abu Ali Al-Haddad rahimahumallah mereka berkata:
(ﻭﺟﺪﻧﺎ ﺃﺑﺎ اﻟﻌﺒﺎﺱ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ اﻟﻨﻬﺎﻭﻧﺪﻱ ﻋﻠﻰ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ
اﻟﻜﻼﻡ ﻭﺗﻜﻔﻴﺮ اﻷﺷﻌﺮﻳﺔ.
ﻭﺫﻛﺮا
ﻋﻈﻢ ﺷﺄﻧﻪ ﻓﻲ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻲ اﻟﻔﻮاﺭﺱ اﻟﻘﺮﻣﺎﺳﻴﻨﻲ ﻭﻫﺠﺮاﻧﻪ ﺇﻳﺎﻩ ﻟﺤﺮﻑ ﻭاﺣﺪ)
Kami
mendapatkan Abul-Abbas Ahmad ibn Muhammad An-Nuhawandi mengingkari Ahli Kalam
dan mengkafirkan Asy’ariyyah.
(Al-Harawi
berkata): mereka berdua juga menyebutkan tentang kerasnya pengingkaran beliau
terhadap Abul-Fawaris Ar-Qurmasini dan pemboikotannya karena satu masalah.
berkata
Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah:
ﺳﻤﻌﺖ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻤﺰﺓ ﻳﻘﻮﻝ:
(ﻟﻤﺎ اﺷﺘﺪ اﻟﻬﺠﺮاﻥ ﺑﻴﻦ اﻟﻨﻬﺎﻭﻧﺪﻱ ﻭﺃﺑﻲ اﻟﻔﻮاﺭﺱ ﺳﺄﻟﻮا ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ
اﻟﻠﻪ اﻟﺪﻳﻨﻮﺭﻱ؛ ﻓﻘﺎﻝ: ﻟﻘﻴﺖ ﺃﻟﻒ ﺷﻴﺦ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻨﻬﺎﻭﻧﺪﻱ)
Saya
mendengar Ahmad ibn Hamzah berkata:
Ketika semakin
hebat saling boikot antara An-Nuhawandi dan Abul-Fawaris, maka orang-orang
bertanya kepada Abu Abdillah Ad-Dainuri, beliau menjawab:
Saya mendapati SERIBU Syaikh
mencocoki An-Nuhawandi.
(Dzammul-Kalãm:4/404)
2.Al-Imam Al-Wa’izh Abu Zakariya Yahya ibn Ammãr As-Sijistani
(wafat: 422 H), [Tarikhul-Islãm:9/384)
Berkata Syaikhul-Islam Al-Harawi rahimahullah:
(رأيت يحي بن عمار ما لا أحصي من مرة على
منبره يكفرهم -أي الأشعرية- ويلعنهم، ويشهد على أبي الحسن الأشعري بالزندقة، وكذلك
رأيت عمر بن إبراهيم ومشائخنا)
Saya telah menyaksikan berkali-kali Yahya ibn Ammar di atas
minbarnya mengkafirkan mereka -yaitu Asy’ariyyah- dan melaknat mereka, dan
bersaksi atas Abul-Hasan Al-Asy’ari adalah seorang Zindiq.
Demikian
juga saya menyaksikan Umar ibn Ibrahim dan guru-guru kami (seperti itu).
(Dzammul-Kalãm:4/411)
Umar ibn
Ibrahim yaitu Umar ibn Ibrahim ibn Ismail Abul-Fadhl Az-Zahid (wafat: 426 H),
[Tarikh Baghdad:13/146]
Penulis katakan:
Kami
tidak sepakat tentang pengkafiran tersebut. Akan tetapi, yang menjadi pelajaran
di sini adalah kerasnya pengingkaran para ulama tersebut sehingga sampai tahap
mengkafirkan firqah Asy’ariyyah.
Dengan
pemaparan dan uraian di atas, jelaslah bahwa hukum sesat terhadap firqah
Asy’ariyyah yang diklaim oleh sebagian orang sebagai Ahlussunnah (in syaa Allah
akan datang bantahan atas klaim ini dalam artikel tersendiri) adalah dari para
ulama, bukan dari Ahlussunnah yang mereka gelari Wahhabiyah.
Kesimpulan:
Firqah
Asy’ariyyah adalah firqah sesat yang muncul setelah tiga generasi terbaik dalam
islam.
Faedah:
Firqah ini di negeri kita Indonesia di anut oleh sebagian kaum
yang menamakan diri mereka “ASWAJA”.
https://sofyanruray.info/sesatnya-firqah-asyariyyah-menurut-pandangan-ulama-besar-dari-berbagai-madzhab/
Penyimpangan-penyimpangan
Asy’ariyah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman
Mubarak)
Setelah kita menelusuri sosok Imam Abul Hasan al-Asy’ari, ternyata
beliau adalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah, bahkan dengan tegas beliau
menyatakan berakidah seperti akidah al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal t.
Sekarang
masih ada satu pertanyaan yang perlu kita jawab, yaitu Benarkah Asy’ariyah
termasuk golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Untuk menjawab masalah ini kita
harus mengetahui hakikat kelompok ini dan pemikiran-pemikirannya.
Siapakah
Asy’ariyah?
Kelompok
Asy’ariyah adalah kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah dan
menganut paham al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t.
Benarkah pengakuan mereka? Karena
banyak yang mengaku dirinya sebagai Ahlus Sunnah, padahal akidahnya jauh dari
akidah Ahlus Sunnah.
Allah l berfirman:
“Datangkanlah bukti kalian, jika kalian orang-orang yang benar.”
(al-Baqarah: 111)
Kata pepatah Arab:
Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila
Padahal Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya
Telah
kita ketahui bahwa bibit pemikiran Asy’ariyah muncul ketika Abul Hasan
al-Asy’ari mengkritisi pemikiran Mu’tazilah ayah tirinya yakni Abu Ali
al-Jubba’i, padahal itu terjadi jauh setelah masa generasi utama berakhir,
bahkan setelah zaman Imam Ahlus Sunnah al-Imam Syafi’i t.
Berarti, di zaman sahabat,
tabiin, tabiut tabiin, bahkan di zaman al-Imam Malik, Abu Hanifah, dan al-Imam
Syafi’i, belum ada yang namanya paham Asy’ariyah. Telah kita ketahui pula bahwa
Abul Hasan al-Asy’ari sendiri telah rujuk dari pendapatnya, menegaskan bahwa
beliau di atas akidah al-Imam Ahmad bin Hanbal t.
Jadi siapakah panutan Asy’ariyah, jika imam yang empat saja tidak
mengenal paham mereka?!
Asy’ariyah
adalah satu kelompok ahlul kalam, yakni mereka yang berbicara tentang Allah l
dan agama-Nya tidak berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka mengutamakan
ra’yu (akal) mereka dalam membahas perkara agama. Oleh karena itu, kita akan
mendapatkan penyimpangan mereka dalam ber-istidlal (pengambilan dalil).
Di antara prinsip mereka yang
menyimpang dalam berdalil:
1. Dalil-dalil sam’i adalah dalil-dalil dari al-Qur’an dan
as-Sunnah mutawatir, bukan hadits-hadits ahad, karena hadits ahad bukanlah
hujah dalam masalah akidah.
Ar-Razi berkata dalam Asasut Tadqis, “Adapun berpegang dengan
hadits ahad dalam mengenal Allah l tidaklah diperbolehkan.”
2. Mendahulukan akal daripada dalil
Hal ini telah disebutkan oleh al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, dan
lainnya
Sebagai contoh: Ar-Razi menjelaskan dalam Asasut Taqdis, “Jika
nash bertentangan dengan akal maka harus mendahulukan akal.”
3. Nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dhaniyatud dalalah
(kandungannya hanya bersifat kira-kira), tidak menetapkan keyakinan dan
kepastian.
4. Menakwil nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tentang nama-nama
dan sifat Allah l.
5. Sering menukil ucapan falasifah (orang-orang filsafat), ini
kental sekali dalam kitab-kitab mereka sepeti Ihya Ulumudin.
(Lihat Ta’kid Musallamat Salafiyah, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal
Asyairah)
Allah l
menjelaskan bahwa jalan kebenaran hanya satu, Allah l berfirman:
“Dan inilah jalan-Ku yang lurus
maka ikutilah dia.” (al-Anam: 153)
Rasulullah n menjelaskan bahwa jalan tersebut adalah jalannya dan
jalan yang telah ditempuh para sahabatnya, beliau n bersabda:
“Umatku terpecah menjadi 73 golongan: 72 di neraka dan 1 yang
selamat. Mereka adalah al-jama’ah.”
dalam riwayat lain:
”(mereka adalah yang berjalan) di atas jalanku dan jalan
sahabatku.” merekalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Hadits.
Ketika Asy’ariyah menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah maka
mereka pun terjatuh dalam penyimpangan-penyimpangan dalam prinsip agama.
Di antara penyimpangan mereka:
1. Dalam masalah tauhid
Asy’ariyah menyatakan tauhid adalah (sekadar) menafikan
berbilangnya pencipta… sehingga umumnya mereka menafsirkan kalimat tauhid hanya
sebatas tauhid rububiyah, yaitu tidak ada pencipta atau tidak ada yang bisa
mencipta selain Allah l. Mayoritas mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah.
Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid ada tiga: tauhid
rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid adalah kewajiban pertama atas
seorang hamba, terkhusus tauhid uluhiyah, karena untuk itulah manusia
diciptakan. Allah l berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.” (adz-Dzariat: 56)
Asy’ariyah
dalam masalah iman di atas mazhab Murji’ah Jahmiyah. Mereka menyatakan iman
hanyalah tasdiq bilqalbi (pembenaran dengan hati).
Mereka menyatakan bahwa iman
hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak
memvonis seseorang telah terjatuh dalam kekafiran dengan semata kesalahan
amalan anggota badan.
Mereka pun akhirnya terjatuh dalam menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an
dan hadits-hadits Rasulullah n.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan
hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan, bisa bertambah dan
berkurang. Iman bertambah dengan melaksanakan ketaatan dan berkurang dengan
sebab perbuatan maksiat.
Asy’ariyah
memiliki kebid’ahan dengan menetapkan sifat ma’ani tujuh sifat saja. Dasar
mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun
tidak bermakna seperti makna yang ditetapkan Ahlus Sunnah.
Kemudian ditambah oleh seorang
tokoh mereka yakni as-Sanusi menjadi dua puluh. Mereka mengingkari sifat-sifat
lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak menetapkan
satu pun sifat fi’liyah bagi Allah l (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha,
marah, dan lainnya).
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan semua nama Allah l dan
sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa
tahrif, takwil (penyelewengan), dan tamtsil (penyerupaan dengan makhluk).
Ahlus
Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk.
Dalil-dalil tentang masalah ini sangatlah banyak. Allah l berfirman:
“Dan jika seorang di antara
orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar kalam Allah (yakni al-Qur’an).” (at-Taubah: 6)
Rasulullah n bersabda:
“Adakah kaum yang mau membawa dan melindungiku, karena
sesungguhnya Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalam Rabbku
(al-Qur’an).”
Dalam masalah inilah para ulama Ahlus Sunnah dizalimi. Al-Imam
Ahmad dan para ulama Ahlus Sunnah lainnya mendapatkan cobaan yang dahsyat.
Orang-orang Mu’tazilah berhasil menghasut penguasa ketika itu
sehingga menjadikan paham Mu’tazilah sebagai akidah resmi dan memaksa semua
orang untuk mempunyai keyakinan ini.
Berapa banyak para ulama Ahlus Sunnah meninggal dalam
mempertahankan akidah Ahlus Sunnah dan sebagian lainnya terzalimi (di antaranya
dengan dipenjara).
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa semua yang tertulis dalam
mushaf, dihafal di dada adalah al-Qur’an. Ahlus Sunnah meyakini bahwa
kalamullah adalah dengan huruf dan suara, dapat didengar dan dapat dimengerti.
Al-Imam Ahmad t berkata, “Al-Qur’an adalah kalamullah bukan
makhluk. Jangan engkau lemah untuk mengatakan, ‘Bukan makhluk.’ Sesungguhnya
kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dzat Allah l, dan sesuatu
yang berasal dari Dzatnya itu bukanlah makhluk. Jauhilah berdebat dengan orang
yang hina dalam masalah ini dan golongan lafzhiyah (ahlul bid’ah yang
mengatakan, ‘Lafadzku ketika membaca al-Qur’an adalah makhluk’) dan lainnya
atau dengan orang yang tawaquf (abstain) dalam masalah ini yang berkata, ‘Aku
tidak tahu al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, tetapi yang jelas
al-Qur’an itu adalah kalamullah’. Orang ini (yang tawaquf) adalah ahlul bid’ah
sebagaimana halnya orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
Ketahuilah, (keyakinan Ahlus Sunnah adalah) al-Qur’an adalah kalamullah, bukan
makhluk.” (Lihat Ushulus Sunnah)
Mu’tazilah telah sesat dalam masalah ini dan lainnya. Kesesatan
Mu’tazilah karena mereka menyatakan al-Qur’an adalah makhluk bukan kalamullah.
Adapun penyimpangan Asy’ariyah karena mereka mencocoki Ahlus
Sunnah dari satu sisi dan menyepakati Mu’tazilah dari sisi lainnya.
Kaum Asy’ariyah berkata, “Al-Qur’an maknanya adalah kalamullah,
adapun lafadznya adalah hikayat (ungkapan) dari kalamullah, artinya lafadz
al-Qur’an, menurut mereka, adalah makhluk.”
Hal ini karena dalam pandangan Mu’tazilah, Allah l tidak
berbicara, dan dalam pandangan Asy’ariyah Allah l berbicara tapi hanya dalam
jiwanya, tidak terdengar.
5. Dalam masalah takdir
Mereka jabriyah dalam masalah takdir, hanya menetapkan iradah
(kehendak) kauniyah dan tidak menetapkan iradah syar’iyah. Menurut mereka,
seorang hamba tidak memiliki qudrah (kuasa), mereka hanya menetapkan kemampuan
dan qudrah seorang hamba ketika berbuat saja, mereka menafikan adanya qudrah
hamba sebelum berbuat.
Adapun Ahlus Sunnah menetapkan adanya iradah kauniyah dan
syar’iyah, menetapkan masyiah dan qudrah bagi hamba.
Sebagai
contoh, ar-Razi dan al-Amidy menakwilkan makna istiwa menjadi: menguasai,
mengalahkan, serta pasti terjadinya takdir dan hukum ilahiyah. (Asasut Taqdis
dan Ghayatul Maram)
Contoh lain, menakwilkan sifat
wajah. Al-Baghdadi berkata, “Yang sahih menurut kami yang dimaksud wajah adalah
dzat.” (Ushuluddin)
Disebutkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa takwil yang ada di
tengah-tengah manusia seperti takwil yang disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam
kitab Takwil, Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga
ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, takwil-takwil tersebut
adalah takwil yang bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah.
(Lihat Majmu Fatawa: 5/23)
Mereka
tidak menetapkan ‘ilat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah l.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan
semua yang Allah l lakukan mengandung hikmah yang sangat tinggi.
8.
Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali al-Juwaini mengingkari bahwa
Allah l di atas makhluk-Nya.
9. Mereka memperluas permasalahan karamah hingga menyatakan bahwa
mukjizat para nabi mungkin saja terjadi atas para wali.
10. Menetapkan Allah l dilihat tanpa dari arah. Hingga akhir
ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah l di
akhirat)
11. Menyatakan akal tidak bisa menetapkan baik buruknya sesuatu.
12. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf
sampai ragu terlebih dahulu.
(Lihat
Takidat Musallamat Salafiyah hlm. 35—36, dan Mauqif Ibnu Taimiyah minal
Asya’irah)
http://asysyariah.com/penyimpangan-penyimpangan-asyariyah/amp/
http://asysyariah.com/penyimpangan-penyimpangan-asyariyah/amp/
Sufi
adalah Pengikut Firqah Asy’ariyah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu
Abdillah Abdurrahman Mubarak)
Barangsiapa menelaah hakikat shufiyah
khususnya dalam masalah akidah, niscaya akan mendapati betapa kentalnya
hubungan shufiyah dengan akidah Asy’ariyah. Di antara buktinya adalah pemikiran
tokoh-tokoh mereka dari zaman dahulu sampai sekarang. Sebelum kita membahas
bukti hubungan mereka, mari kita sedikit mengulas siapakah Asy’ariyah?
Sekelumit tentang Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu firqah yang
dinisbatkan kepada pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ari t sebelum beliau rujuk
kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena beliau t mengalami tiga
fase dalam kehidupannya:
1. Dibina oleh ayah tiri beliau di atas
pendidikan Mu’tazilah
2. Mengkritisi pemikiran-pemikiran ayah
tirinya dalam masa pemahaman yang dikenal sekarang dengan paham Asy’ariyah1
3. Rujuk kepada pemahaman ahlul hadits
dan menulis buku yang berjudul Al-Ibanah, yang menunjukkan beliau di atas
akidah Ahlus Sunnah.
Ibnu Katsir Asy-Syafi’i t berkata: “Para
ulama menyebutkan bahwa Asy-Syaikh Abul Hasan memiliki tiga keadaan:
Pertama: Keadaan di atas manhaj
Mu’tazilah yang dia telah rujuk darinya.
Kedua: Menetapkan sifat aqliyah yang
tujuh: hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, serta menakwilkan
sifat-sifat Allah l yang khabariyah: seperti wajah, dua tangan, kaki, betis,
dan lainnya.
Ketiga: Menetapkan semua sifat Allah l
tanpa takyif (membayangkan gambaran tertentu dalam pikiran) dan tanpa tasybih
(menyerupakan dengan makhluk), mengikuti jalan salaf. Inilah jalan beliau dalam
kitabnya Al-Ibanah, kitab terakhir yang beliau tulis.” (lihat muqadimah Kitab
Al-Ibanah, hal. 12-13, cet. Darul Bashirah)
Dari keterangan di atas menjadi jelas
bahwa pemahaman yang banyak dianut shufiyah sekarang bukanlah paham Abul Hasan
Asy’ari t. Karena beliau telah bertaubat darinya dan rujuk kepada madzhab Ahlus
Sunnah.
Penjelasan singkat tentang akidah
Asy’ariyah sehingga tidak termasuk dari Ahlus Sunnah wal Jamaah
1. Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah
membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis
kekufuran dengan sebab amalan kekafiran jasmani seseorang.
2. Mereka Jabriyah2 dalam masalah takdir.
3. Mereka tidak menetapkan ‘illat (sebab)
dan hikmah bagi perbuatan Allah l.
4. Tidak menetapkan sifat fi’liyah bagi
Allah l (seperti istiwa’/naik di atas Arsy, nuzul/turun ke dunia pada sepertiga
malam yang akhir, dan lainnya).
5. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa
Abul Ma’ali Al-Juwaini mengingkari bahwa Allah l berada di atas makhluk-Nya.
6. Tidak menetapkan sifat ma’ani (seperti
ilmu, hayat, dll) kecuali tujuh atau lebih. Pijakan mereka dalam menetapkannya
adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak mereka tetapkan seperti
Ahlus Sunnah.
7. Memaknai kalimat tauhid sebatas tauhid
rububiyah saja. Mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah.
8. Akhir dari pendapat mereka tentang
kalamullah: Al-Qur’an adalah makhluk, sebagaimana pendapat Mu’tazilah.
9. Memperlebar masalah karamah hingga
menyatakan bahwa mukjizat para nabi mungkin terjadi pada diri para wali.
10. Menetapkan bahwa Allah l dilihat
tidak dari arah tertentu. Hingga akhir ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa
kaum mukminin akan melihat Allah l di hari kiamat).
11. Menyatakan bahwa akal tidak bisa
menetapkan baik-buruknya sesuatu.
12. Menyatakan tidak sah keislaman
seseorang setelah mukallaf sampai ragu terlebih dahulu. (Disadur dari kitab
Takidat Musallamat As-Salafiyah hal. 35-36)
Ulama yang menyatakan Asy’ariyah bukan
Ahlus Sunnah
1. Al-Imam Ahmad bin Hambal t
Ibnu Khuzaimah t ditanya oleh Abu Ali
Ats-Tsaqafi: “Apa yang kau ingkari, wahai ustadz, dari madzhab kami supaya kami
bisa rujuk darinya?”
Ibnu Khuzaimah berkata: “Karena kalian
condong kepada pemahaman Kullabiyah. Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang
paling keras terhadap Abdullah bin Said bin Kullab dan teman-temannya, seperti
Harits serta lainnya.”
Perlu diketahui bahwa Kullabiyah adalah
masyayikh (guru/pembesar) Asy’ariyah.
Ibnu Taimiyah t berkata: “Kullabiyah
adalah guru-guru orang Asy’ariyah….”(Kitab Istiqamah)
2. Ibnu Qudamah t
Beliau t berkata: “Kami tidak mengetahui
ada kelompok ahlul bid’ah yang menyembunyikan pemikiran-pemikirannya dan tidak
berani menampakkannya, selain zanadiqah (kaum zindiq, orang-orang yang
menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan, red.) dan Asy’ariyah.”
3. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Utsaimin t
Beliau berkata: “Asya’irah dan
Maturidiyah serta yang semisal mereka, bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
4. Syaikh Shalih Al-Fauzan pernah
ditanya: “Apakah Asy’ariyah dan Maturidiyah termasuk Ahlus Sunnah?”
Beliau menjawab: “Mereka tidak teranggap
sebagai Ahlus Sunnah. Tidak ada seorang pun yang memasukkan mereka ke dalam
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka memang menamakan diri mereka termasuk Ahlus
Sunnah, namun hakikatnya mereka bukanlah Ahlus Sunnah.”
(Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hal.
19-30)
Hubungan Shufiyah dengan Asy’ariyah
Di antara bukti sangat kuatnya akidah
Asy’ariyah pada pengikut shufiyah adalah banyaknya tokoh shufiyah yang
mendakwahkan pemahaman dan akidah Asy’ariyah.
Di masa sekarang ini, bisa disebut nama
Muhammad bin Alwi Al-Maliki, penulis buku Mafahim Yajib An Tushahhah. Dia
termasuk dai kuburi shufi asy’ari (yang mengajak manusia mengagungkan kuburan
secara berlebihan, beraliran sufi, dan berakidah Asy’ariyah). Inilah sebagian
ucapannya:
1. Masalah akidah
Dia berkata dalam kitabnya (hal. 93):
“Tidak diragukan lagi bahwa ruh-ruh (orang yang telah meninggal) punya
pergerakan dan kebebasan yang memungkinkan menjawab orang yang menyerunya serta
memberi pertolongan orang yang meminta tolong kepadanya. Persis sama dengan
orang yang hidup, bahkan melebihinya.”
Cukuplah dalam membantah kesesatan ini,
firman Allah l:
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan
memasukkan siang ke dalam malam serta menundukkan matahari dan bulan,
masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian
itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru
(sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika
kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu. Kalaupun mereka
mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat
mereka akan mengingkari kesyirikanmu, dan tidak ada yang dapat memberi
keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha mengetahui.”
(Fathir: 13-14)
2. Masalah manhaj
Dia berkata dalam kitabnya (hal. 120):
“Asy’ariyah adalah para imam pembawa petunjuk di antara sekian ulama muslimin.”
(Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 20-21)
Di antara bukti kuat adanya pengaruh kuat
Asy’ariyah terhadap shufiyah adalah guru-guru, lembaga-lembaga, dan
pondok-pondok shufiyah yang mengajarkan pemahaman Asy’ariyah terkhusus dalam
masalah akidah seperti:
1. Hanya menetapkan sifat 13 atau 20
2. Menafikan Allah l di atas Arsy-Nya
(sehingga menyatakan Allah l ada di mana-mana).
3. Hanya memaknakan kalimat syahadat
sebatas tauhid rububiyah (Allah sebagai Pencipta, Pengatur dan Pemberi Rizki
alam semesta)
Di antara bukti yang lain akan kuatnya
paham Asy’ariyah pada kaum shufiyah adalah bahwa organisasi dan kelompok3 yang
notabene beraliran shufiyah menjadikan pemikiran Asy’ariyah sebagai pemikiran
organisasinya.
1 Yang sebenarnya mengadopsi pemahaman
Kullabiyah. (ed.)
2 Yang menetapkan bahwa makhluk tidak
punya kehendak dalam menjalankan hidup ini. (ed.)
3 Salah satu dari kelompok shufiyah masa
kini adalah Jamaah Tabligh. Asy-Syaikh Al-Albani t menyatakan: “Jamaah Tabligh
adalah shufiyah masa kini. Adapun Ikhwanul Muslimin sangat nampak hubungan
mereka dengan shufiyah karena pendirinya, Hasan Al-Banna, adalah seorang
pengikut thariqat shufi Al-Hashafiyyah.”
Untuk merinci lebih lanjut tentang kedua
kelompok ini, alhamdulillah, pembaca bisa merujuk kepada Majalah Asy Syariah
edisi 07 dan edisi 20.
Madzhab
Syafi'i = Aqidah Asy'ari
Siapa yang tidak mengenal Al Imam Ibnu
Khuzaimah, shahib kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, Muhammad bin Ishaq bin khuzaimah
bin Al Mughirah yang berkunyah dengan Abu Bakr. Tajuddin As Subki memulai
biografi beliau, kalimat pertama yang beliau lontarkan ialah "Seorang
Mujtahid Muthlaq". Beliau adalah salah satu ulama besar bermadzhab Syafi'i
pada thabaqat ketiga (yang wafat antara tahun 300-400 H) pengarang banyak
kitab, dan sangat panjang pujian ulama terhadap beliau (Thabaqat Asy
Syafi'iyyah Al Kubra hal. 84 jilid 3 terbitan DKi)
Aqidah beliau ?
Beliau mengabarkan sendiri bagaimana aqidah beliau di kitab beliau : Kitab At
Tauhid wa Istbat Shifaat Ar Rabb 'Azza wa Jalla. Di Kitab tersebut beliau
menetapkan sejumlah sifat sifat yang tinggi bagi Allah, yang tidak ditetapkan
oleh madzhab Asy'ariyyah. Beliau menetapkan bagi Allah sifat wajah, sifat mata,
sifat kedua tangan, sifat nuzul, sifat beristiwa diatas Al 'Arsy, sifat kalam,
dan juga beliau menetapkan bahwa Al Qur'an kalamullah (bukan kalam nafsi,
ibaroh, atau hikayah 'anillah seperti versi Asy'ariyyah dan Kullabiyyah), sifat
tertawa dll.
Al Muzanni, Abu Ibrahim Isma'il bin Yahya bin Yahya Al Muzanni, murid Al Imam
Muhammad bin Idris Asy Syafi'i di Mesir. Beliau pun tidak beraqidah dengan
aqidah Asy'ariyyah, bahkan beliau berakidah sebagaimana para ulama sebelum
beliau termasuk gurunya, beliau berkata tentang Allah di kitab beliau Syarhus
Sunnah :
عال على عرشه
"Allah tinggi diatas 'arsy-Nya" (Syarhus Sunnah hal. 81terbitan Dar
Al Minhaj)
Maka jelaslah perbedaan yang tajam antara aqidah beliau dengan aqidah
Asy'ariyyah.
Al Imam Asy Syafi'i sendiri pun tidak beraqidah dengan aqidah Asy'ari. Beliau
beraqidah sebagaimana para ulama sebagaimana tiga generasi awal. Dan ini juga
sebagai peringatan bagi mereka yang masih terus membuat kedustaan atas nama Al
Imam Muhammad bin Idris asy Syafi'i, bagaimana mungkin beliau beraqidah dengan
aqidah seseorang yang baru lahir 56 tahun setelah beliau wafat ?! Asy Syafi'i
wafat tahun 204 H, sedangkan Abul Hasan Al Asy'ari lahir tahun 260 H
Para ulama yang belajar langsung kepada Al Imam Syafi'i pun tidak ada yang
beraqidah dengan aqidah Asy'ariyyah. Sebut saja semisal : Ahmad bin Sinan, Al
Muzanni, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Khalid Al Baghdadi, Abu Ja'far Ath
Thabari, Ahmad bin 'Amr bin Abdillah Al Mishri Al Faqih dll dari seluruh murid
Asy Syafi'i, TIDAK ADA SATUPUN DARI MEREKA YANG BERAQIDAH ASY'ARI.
Begitu juga dengan para ulama Syafi'iyyah lainnya semisal Khathib Al Bahgdadi,
Al Isma'iliy, Ibnu 'Adi dll dari kibar Syafi'iyyah yang tidak beraqidah dengan aqidah
Asy'ariyyah. Bahkan Al Khatib Al Baghdadi memiliki sebuah kitab yaitu Al Kalam
Fis Sifat, dimana dalam kitab ini beliau membantah kaum mu'atthilah dengan
memberikan faidah aqidah yang sangat penting yang beliau tuangkan dalam kitab
tersebut :
القول في الذات كالقول في الصفات والقول في بعض
الصفات كالقول في البعض الاخر
Demikian pula dengan Al Imam Asy syirazi asy syafi'i, beliau bahkan membantah
aqidah Asy'ariyyah di kitab beliau Al Luma' dalam bahasan : Al Kalam Fil Al
Amri wa Nahyi, dimana beliau menetapkan sebagaimana penetapan para ulama ushul
fiqih dari kalangan Ahlus Sunnah bahwa Al Amr memiliki shighah yang maudhu'ah
dalam bahasa, sesuatu hal yang diingkari oleh Asy'ariyah karena penetapan
mereka bahwa kalamullah adalah kalam nafsi. (Al Luma' fi Ushul Al Fiqhi hal. 13
terbitan DKi)
Dalam bidang hadits pun para ulama Syafi'iyyah seperti ingin membedakan antara
Asya'iroh dan Syafi'iyyah sebagaimana. Al Imam Al Bilqini. Beliau berkata :
"Sebagian para hafizh muta-akkhirin mengutip pendapat semisal pendapat
Ibnu Shalah dari sekelompok ulama madzhab Syafi'i seperti Abu Ishaq Asy Syirozi
....... dan mayoritas Ahli kalam dari Asy'ariyyah. (Tadribur Rawi hal. 188
jilid 2 terbitan Dar Al 'Ishmah)
Dan lain lain yang sangat kentara perbedaan antara madzhab Syafi'i dan Asy'ari.
Benar saya tidak menafikan banyak ulama syafi'iyyah yang beraqidah dengan
aqidah Asy'ari, akan tetapi menggeneralisirkan hal tersebut adalah sebuah
kekeliruan besar.
Madzhab
Asy’ariyah, Ahlus Sunnahkah?
Oleh: Ustadz Armen Halim Naro -rahimahullah-
Sejarah masuknya dakwah Islam ke
Nusantara adalah melalui jalan perairan di tepi pesisir-pesisir pantai atau
hulu sungai, sebagai jalur utama transportasi tatkala itu. Kemudian menyebar
luas ke seluruh pelosok dan negeri. Sehingga setiap orang yang hendak meneliti
seperti apakah pemahaman yang masuk ke negeri ini pertama kalinya, dia dapat
memulai kajiannya dari mereka yang menetap di daerah-daerah pesisir atau
kepulauan dan seterusnya.
Semenjak kecil penulis -kebetulan putra
salah satu pesisir di Sumatera Barat- selalu melihat orang-orang tua di sana
mengaji sifat dua puluhsebagai pelajaran utama dalam aqidah mereka.
Kemudian kadang mereka mengatakan, “Fiqh kami fiqh Syafi’i, aqidah kami aqidah
Asy’ari, tarekat kami tarekat Naqsyabandi.”
Pemahaman ini merupakan pemahaman
kebanyakan masyarakat kita tentang agama yang mereka anut, hanya saja dengan
bertambahnya usia dan meningkatnya pelajaran, tentu setiap kita perlu
mempertanyakan apa yang selama ini dipahami oleh orang-orang tua dan dibesarkan
dengannya generasi muda kita. Karena hal itu menyangkut kebahagiaan di dunia
dan keselamatan di akhirat. Benarkah Asy’ariyah sebagai kelompok Ahlus Sunnah
wal Jama’ah? Benarkah pemahaman Asy’ariyah itu pemahaman “Firqah Najiyah” -yang
disebut-sebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya
kelompok yang selamat-?!
Hal ini mengingatkan penulis kepada
sebuah kejadian yaitu pengikut Asy’ariyah ‘meradang’ hebat sewaktu Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menulis tentang aqidah Ahlus Sunnah
dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyahnya, awal ucapan beliau, “Inilah aqidah
Firqah Najiyah….” Lalu mereka adakanlah sebuah majelis dengan mendatangkan para
qadhi dan ulama Asy’ariyah untuk mendebat beliau. Sehingga Syaikhul Islam
terpaksa harus mendatangkan 50 kitab dari kitab imam yang empat, ahlul hadits,
tasawuf, dan ahlul kalam. Beliau berkomentar, “Aku telah beri waktu tiga tahun
kepada setiap orang yang menyelisihiku (dalam kitab ini), seandainya mereka
menemukan ada satu huruf yang bertentangan dengan perkataan tiga generasi
terbaik Islam, maka aku siap untuk kembali.” Beliau melanjutkan, “Maka tidak
ada seorang pun yang mendapatkan ucapanku bertentangan dengan salah satu ulama
Islam maupun pendahulu mereka, padahal mereka telah mencarinya di khazanah dan
perpustakaan negeri.” (Lihat Majmu’ Fatawa 3/169, 217)
Apakah Asy’ariyah dan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah itu?
“Asy’ariyah” yang juga dikenal dengan
“Asya’iroh” adalah penisbatan sebuah pemahaman dalam aqidah kepada Imam Abul
Hasan al-Asy’ari[1], hanya mereka berpegang pada pemahaman Abul Hasan pada
fase kedua kehidupannya, yang dikenal pada saat itu beliau menganut pemahaman
Kullabiyah. Alangkah baiknya bagi mereka menapak jejak Abul Hasan yang terakhir
dalam hidupnya!! Yaitu beliau kembali kepada ajaran salaf. Karena sebagaimana
yang telah diketahui bahwa kehidupan beliau melalui tiga fase:
a. Fase dengan membawa pemahaman
Mu’tazilah, karena kebetulan gurunya dalam pemahaman ini adalah bapak tirinya
yang bernama Abu Ali al-Jubba’i, hal ini berlangsung hingga
beliau berusia 40 tahun. (Tabyin Kadzibil Muftari, hal. 40)
b. Fase dengan membawa pemahaman
Kullabiyah diambil dari nama pendirinya, Abdullah bin Sa’id bin Kullab
al-Qaththan (240 H). Pemahaman inilah yang menjadi tonggak ajaran dan pokok
pemahaman mereka dalam madzhab, pemahaman ini dituangkan oleh beliau dalam
kitab al-Luma’ fir Radd ‘ala Ahliz Zaighi wal Bida’.
c. Fase dengan membawa pemahaman
salaf (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), pemahaman yang mana beliau wafat
dengannya, beliau tuangkan dalam karangan beliau
yaitu al-Ibanah, Risalah ila Ahli Tsaghar dan Maqalat Islamiyyin
Sedangkan istilah “Ahlus Sunnah wal Jama’
ah” mempunyai dua kata, “Sunnah” dan ” Jama’ ah” . Sunnah secara bahasa
adalah jalan atau gaya hidup, sebagian mengaitkannya dengan
kebaikan[2], Dan secara istilah adalah jalan hidup
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diterangkan dalam Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya serta jalan para sahabat yang telah mereka sepakati.
Jama’ ah artinya secara bahasa
mengumpulkan atau perkumpulan. Sedangkan secara istilah, tidak lepas dari enam
makna:
(1) sawadul a’ zham/ kelompok
mayoritas[3],
(2) kumpulan ulama mujtahid,
(3) para sahabat secara khusus,
(4) umat Islam jika sepakat dalam sebuah
perkara,
(5) umat Islam jika bersatu dalam sebuah
kepemimpinan,
(6) kelompok yang benar.
(Lihat Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ ah wa Manhajul Asya’irah, DR. Khalid
bin Abdul Lathif Muhammad Nur, 1/22)
Dari keseluruhan makna tersebut, tidak
ada pertentangan bahkan saling menguatkan, karena jama’ ah yang dimaksud ialah
para sahabat, karena merekalah kelompok yang berada di atas kebenaran, kelompok
yang terbanyak.
Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ ah secara
singkat adalah mereka yang berpegang teguh dengan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti jama’ ah
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang
mengikuti mereka dengan baik.
Asy’ariyah sepakat dalam definisi Ahlus
Sunnah di atas, dalam kitab mereka Jauharah at-Tauhid dikatakan:
Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf
(yang terdahulu)
Dan semua keburukan pada bid’ah orang
khalaf (yang datang kemudian)
Akan tetapi, benarkah dakwaan Asy’ariyah
bahwa pemahaman mereka adalah pemahaman para sahabat dan aqidah mereka adalah
aqidah imam yang empat? Di atas perapian, akan kita lihat siapa yang emas
dan siapa yang loyang, di pintalan akan ketahuan mana yang sutera dan mana yang
benang!
Secara garis besar, penulis menemukan
empat belas pokok pemahaman Asy’ariyah yang bertentangan dengan pemahaman
Ahlus Sunnah. Di antaranya:
(1) mashdar talaqqi,
(2) sifat wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala,
(3) tauhid,
(4) iman,
(5) al-Qurvan,
(6) qadar,
(7) sebab dan musabab,
(8) kenabian,
(9) tahsin dan taqbih,
(10) takwil,
(11) hikmah/illah,
(12) sam’iyat/nash,
(13) takfir,
(14) asma’ dan sifat.
Di bawah ini, penulis akan sebutkan
tujuh ushul (pokok) pemahaman tersebut dengan sedikit penjelasan
singkat lantaran keterbatasan halaman. Siapa saja yang ingin mendapatkan penjelasan
lebih mendalam, penulis persilahkan membaca kitab-kitab bantahan ulama salaf
terhadap Asy’ariyah, terutama kitab-kitab Syaikhul Islam dan murid beliau,
Ibnul Qayyim rahimahumallah.
1. Mashdar Talaqqi (sumber
dasar pengambilan)[4]
Pertama: Sebagaimana yang kita
ketahui bahwa mashdar talaqqi Ahlus Sunnah adalah al-Qur’an dan Sunnah, ijma’,
dan qiyas. Berbeda dengan Asy’ariyah, sumber pengambilan mereka adalah akal.
Hal ini diperkuat oleh pendapat para
tokoh madzhab seperti al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, al-Amidi, dan
seluruh ulama mereka yang mengatakan jika akal dan nash saling
bertentangan, maka yang menang adalah akal. Bahkan sebagian mereka mengatakan
bahwa mengambil zhahir Kitab dan Sunnah termasuk dari pokok paham kekufuran.
(Sebagaimana disebutkan as-Sanusi (885 H) dalam Syarhul Kubra dan
ar-Razi dalam Asasut Taqdis hal.172)
Kedua : Bahwa nash-nash dalam Kitab
dan Sunnah bersifat zhanniyahdalalah (tidak mutlak mengandung kebenaran)
dengan tidak memberi keyakinan, yang qath’i (mendatangkan keyakinan)
adalah akal. (Ma’alim Ushuliddin, Fakhruddin ar-Razi, hal. 24)
Ketiga: Mereka memandang bahwa hadits
tidak dapat dijadikan pegangan dalam aqidah. Jika terjadi pertentangan dengan
akal, yang mutawatir harus ditakwil, sedangkan yang ahad tidak perlu digubris.
Sampai-sampai imam mereka, ar-Razi, menyebutkan bahwa semua riwayat hadits dari
para sahabat adalah zhanniyah (adanya kemungkinan salah), tidak berbeda dalam
hal kejujuran mereka maupun dalam hafalan. Dan juga mereka mengatakan bahwa
dalam kitab Shahihain (Bukhari-Muslim) ada hadits-hadits yang
dipalsukan oleh orang-orang zindiq.
Keempat: Kitab-kitab aqidah mereka
senantiasa mereka penuhi dengan perkataan para filosof, orang-orang bijak -yang
sebenarnya bukan bijak- atau yang lainnya. Bersamaan dengan itu, kitab-kitab
aqidah tersebut kosong dari ayat-ayat Alloh apalagi sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kelima: Sumber pengambilan kalangan
tasawuf Asy’ariyah seperti al-Ghazali dan Hami lebih
mendahulukan kasyaf (pembukaan tabir alam khayal)
dan zauq (perasaan jiwa) serta takwil nash. Bahkan mereka
menshahihkan dan melemahkan hadits menurut zauq dan kasyaf tersebut, dan mereka
menyebutnya “ilmu laduni”.
2. Wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala
Menurut salaf, keberadaan Alloh merupakan
hal yang fithri, dalil tentang hal itu telah terpatri pada alam, jiwa, dan
wahyu. Pada setiap sesuatu ada bukti tentang wujud Alloh Subhanahu wa
Ta’ala.
Sedangkan Asy’ariyah hanya mempunyai
satu-satunya alasan tentang wujud Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yaitu
“huduts” (baru) dan “qidam” (terdahulu). Menurut mereka, bukti bahwa
Alloh Subhanahu wa Ta’ala itu wujud (ada, -adm) adalah bahwa semua
makhluk bersifat baru dan setiap yang baru mesti ada yang terdahulu.
Kekhususan Dzat yang terdahulu bahwa
semua sifat-sifat-Nya tidak boleh sama (baik lafazh maupun makna, Pen.) dengan
sifat makhluk. Maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala -menurut mereka-
bukanlah jauhar (badan halus), tidak jisim (badan kasar),
tidak mempunyai arah, dan tidak puny a tempat … dan seterusnya[5] dari istilah-istilah bid’ah yang tidak pernah Alloh
sifati diri-Nya dengan penamaan tersebut, akan tetapi pemahaman mereka hanya
sebagai bentuk taqlid terhadap guru-guru mereka dari kalangan filosof dan
ahli kalam. Untuk memastikannya, silakan lihat permulaan semua kitab
aqidah mereka.
3. Tauhid
Tauhid menurut Ahlus Sunnah terbagi tiga,
yaitu: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ dan sifat. Sedangkan
menurut Asy’ariyah, tauhid adalah menafikan sekutu atau bilangan serta
menafikan bagian dan susunan.
Dari makna ini, mereka menafsirkan
kata “ilah” dengan al-Khaliq[6] (Sang Pencipta) atau Dzat yang mampu berbuat. Dan
mereka pun mengingkari sebagian sifat seperti wajah, tangan, mata, (yang Allah
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifatkan-Nya
dengan hal itu semua, -adm) karena menurut mereka hal itu menunjukkan susunan
dan bagian.
Sedangkan tauhid hakiki yang menjadi
lawan syirik, maka sama sekali tidak ada dalam kitab aqidah mereka. Penulis
tidak tahu di mana mereka letakkan pembahasan tersebut, apakah di pembahasan
furu’? Jelas ini tidak akan ada, ataukah mereka meninggalkannya? Ini yang
(belum, –adm) bisa dipastikan.
Menurut salaf, yang wajib diketahui
pertama kali adalah tauhid, sedangkan Asy’ariyah menyatakan bahwa kewajiban pertama
adalah nazhar, meneliti dan menganalisa dengan akal.
Mereka mengingkari ma’rifat kepada Alloh
–Subhanahu wa Ta’ala– dengan fithrah. Mereka berkata, “Barangsiapa beriman
kepada Alloh melalui jalan selain jalan analisa maka dia taqlid, telah berbuat
maksiat, bahkan telah jatuh kafir.”
Point inilah yang dibantah oleh Ibnu
Hajar karena konsekuensi dari ungkapan tersebut ialah pengkafiran semua
orang awam, bahkan semua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena mereka semua mendapatkan iman (bukan dengan jalan analisa, Red.).[7]
4. Iman
Iman menurut Ahlus Sunnah adalah
pengakuan hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Sedangkan menurut
Asy’ariyah cukup dengan pembenaran hati, tidak bertambah dan berkurang.
Ini menyerupai ucapan Murji”ah Jahmiyah, sebagaimana yang disebut pada
semua pembahasan aqidah mereka.[8]
5.Al-Qur‘an (Kalamullah)
Madzhab Ahlus Sunnah tentang al-Qur‘an
menyatakan bahwa ia adalah “Kalamullah” bukan makhluk, bahwasanya al-Qur’an
itu firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Dia (Allah, -adm) sendiri yang
berbicara terdengar oleh malaikat-Nya, didengar oleh Jibril ‘alaihis salaam,
didengar oleh Musa ‘alaihis salaam, dan akan didengar semua makhluk nantinya
pada hari kiamat. Sedangkan madzhab Asy’ariyah merupakan kombinasi antara
pemahaman Ahlus Sunnah dengan pemahaman Mu’tazilah yang mereka mengatakan
al-Qur’an itu makhluk.
Asy’ariyah membedakan antara lafazh
dengan makna. Kalam yang mereka tetapkan adalah makna dalam diri-Nya, bukan
berupa suara dan bukan pula huruf. Adapun kitab-kitab yang diturunkan termasuk
al-Qur‘an bukanlah kalam-Nya, akan tetapi dia tidak lebih dari sebuah makna
yang terpahami oleh Jibril ‘alaihis salaam dan terpisah dari Dzat-Nya,
jika diungkapkan dalam bahasa Ibrani jadilah ia Taurat, jika berbahasa Suryani
jadilah dia Injil, dan jika berbahasa Arab jadilah ia al-Qur’an. Semuanya
makhluk, sedangkan penyebutannya dengan Kalamullah hanya
sebatas majaz/kiasan.[9]
6. Qadha dan qadar
Asy’ariyah dalam qadar berusaha
mengkombinasikan antara pemahaman Jabariyah[10]dan Qadariyah. Mereka menemukan sebuah teori yang mereka
beri nama dengan “kasab”, yang mana mereka sendiri bingung menjelaskan
teori tersebut, ujung-ujung teori tersebut menuju pemahaman Jabariyah tulen.
Berkata ar-Razi menjelaskan teori
tersebut, “Sesungguhnya manusia terpaksa dalam bentuk memilih.” al-Baghdadi
memberi permisalan tentang teori tersebut umpama seorang hamba dengan Alloh
‘Azza wa Jalla, dua orang yang membawa batu yang besar, yang saru lemah dan
yang satu lagi kuat, sebenarnya yang kuatlah yang membawa, sedangkan si lemah
juga tidak bisa lepas dari penyebutan membawa. (al-Inshaf hal.
45-46, Ushuluddin hal. 133, dan lainnya)
7. Sebab dan musabab
Asy’ariyah mengingkari bahwa sesuatu dapat
mempengaruhi sesuatu, seperti api dapat membakar, pisau dapat melukai, dan
seterusnya. Bahkan mereka mengkafirkan atau membid’ahkan setiap orang yang
menyelisihi mereka dalam pemahaman ini.
Mereka mengatakan, “Barangsiapa
mengatakan bahwa api sifatnya dapat membakar atau apilah penyebab terbakar,
maka dia kafir atau musyrik karena tidak ada yang berbuat kecuali
Alloh Subhanahu wa Ta’ala.” Menurut mereka lagi, barangsiapa meyakini
bahwa api dapat membakar karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan
kekuatan untuk membakar, maka dia mubtadi’ sesat. (Lihat Syifa’ul ‘Alil,
Ibnul Qayyim, 259-261, dan juga pembahasan mereka tentang qadar)
Setelah penjelasan singkat ini, apa
yang tersisa bagi Asy’ariyah dalam penisbatan mereka kepada madzhab Ahlus
Sunnah wal Jama’ah?!Dalam semua bab aqidah, Asy’ariyah selalu merriposisikan
dirinya sebagai oposisi Ahlus Sunnah, sebagai bentuk pembelaan mereka terhadap
filsafat dan ilmu kalam.
Penulis tidak akan menyembunyikan sesuatu
dalam hal ini, bahwa memang ada persamaan Ahlus Sunnah terhadap madzhab
Asy’ariyah, yaitu pembahasan tentang para sahabat dan
pembahasan imamah (kepemimpinan), inilah satu-satunya bab yang
Asy’ariyah sepakat dengan Ahlus Sunnah.
Di saat bersamaan, ulama Ahlus Sunnah
mengakui juga bahwa madzhab Asy’ariyah kelompok yang terdekat kepada Ahlus
Sunnah dari kelompok yang binasa lainnya.
Pendapat Ulama Islam dari
Kalangan Madzhab yang Empat Tentang Asy’ariyah
1. Ulama Malikiyah
Diriwayatkan dari Ibnu Abdil Barr
al-Maliki yang bergelar “Hafizh Maghrib” (Alim dari Maghrib/Marokko) dari faqih
Malikiyah Ibnu Khuwaiz Mindazdengan sanadnya, bahwa beliau berkata dalam
bab Syahadat -ketika menjelaskan perkataan Imam Malik “Tidak boleh persaksian
ahlul bid’ah dan hawa“-, “Ahlul hawa menurut Malik dan seluruh penganutnya
ialah ahlul kalam. Maka setiap ahli kalam adalah ahlul ahwa’ dan dan bid’ah,
baik dia bermadzhabkan Asy’ariyah maupun bukan, tidak diterima persaksiannya
dalam Islam selama-lamanya, diboikot dan dihukum atas perlakuan bid’ahnya, jika
masih berlanjut diminta bertaubat (kalau tidak maka dibunuh, Pen.).” (Jami’
Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/117, tahqiq Utsman Muhammad
Utsman)
2. Ulama Syafi’iyah
Berkata Imam Abul Abbas bin
Juraij yang bergelar “Syafi’i Kedua” -kebetulan beliau semasa dengan
al-Asy’ari-, “Kami tidak setuju dengan takwil Mu’tazilah, Asy’ariyah,
Jahmiyah, Mulhidah, Mujassimah, Musyabbihah, Karamiyah, Mukayyifah. Akan tetapi
kami menerimanya tanpa takwil dan beriman denganhya tanpa tamtsil”[11]
Berkata Imam Abul
Hasan al-Karji dari ulama Syafi’iyah pada abad kelima, “Para ulama
Syafi’iyah selalu tidak mau jika mereka dinisbatkan
kepada Asy’ariyah. Bahkan mereka berlepas diri dari semua pemahaman
madzhab Asy’ari, melarang pengikut dan para sahabat mereka mendekat kepada
madzhab tersebut, sesuai dengan berita yang aku terima dari beberapa ulama dan
para imam.” Kemudian beliau mencontohkan seperti syaikh Syafi’iyah pada
masanya, Imam Abu Hamid al-Isfirayini -yang bergelar dengan “Syafi’i
Ketiga“-, seraya berkata, “Sudah dimaklumi bersama tegasnya Syaikh
(al-Isfirayini) terhadap ahli kalam, sehingga beliau memilah antara ushul fiqh
Syafi’i dengan ushul Asy’ari. Sikap yang sama diperlihatkan pula oleh Abu
Ishaq asy-Syirazi dalam kedua kitab
beliau, al-Luma’ danat-Tabshirah. Sampai-sampai jika ada persamaan
antara perkataan Asy’ari dengan perkataan ulama Syafi’iyah, beliau tetap
bedakan dan berkata,’Perkataan ini adalah pendapat para sahabat kami dan
dengannya berpendapatlah Asy’ariyah.’ Beliau tidak pernah menggolongkan
Asy’ariyah ke dalam pengikut Syafi’i. Hal itu dikarenakan benci kepada ushul
fiqh mereka. Bagaimana pula sikap mereka terhadap ajaran mereka?!” (Tis’iniya,
Ibnu Taimiyah, 238-239)
3. Ulama Hanafiyah
Sebagaimana diketahui bahwa penulis
kitab Thahawiyah, Imam Thahawi dan pensyarahnya yaitu Ibnu Abil ‘Izz
al-Hanafi, keduanya penganut madzhab Hanafi. Apalagi Imam Thahawi semasa pula
dengan al-Asy’ari. Beliau menulis kitab tersebut untuk menerangkan aqidah Imam
Abu Hanifah. Mereka menukilkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau tegas-tegas
menyatakan bahwa seseorang yang berkata Alloh tidak di atas ‘Arsy atau
mengambil sikap diam tentang itu, maka dia kafir. Lantaran itulah Abu Yusuf,
murid Imam Abu Hanifah, telah mengkafirkan Bisyr al-Mirrisy -tokoh ajaran
Mu’tazilah-. Sebagaimana diketahui pula, Asy’ariyah mengingkari bahwa Alloh
‘Azza wa Jalla di atas ‘arsy dan bahwasanya pokok pemahaman Asy’ariyah
diambil dari Bisyr al-Mirrisy.
4. Ulama Hanabilah
Tidak ada yang tidak mengetahui sikap
ulama Hanabilah terhadap madzhab Asy’ariyah semenjak Imam Ahmad membid’ahkan
Ibnu Kullab sebagai pendiri yang sebenarnya madzhab Asy’ariyah. Semenjak itu
pula, antara Hanabilah dengan madzhab Asy’ariyah selalu dalam peperangan yang
berkepanjangan.
Demikianlah nukilan singkat pendapat
ulama empat madzhab terhadap Asy’ariyah. Terlebih lagi, jika diperdengarkan
nukilan dari ulama jarh wa ta’dil dari kalangan ulama hadits tentang
madzhab Asy’ariyah, tentu akan lebih keras dan tegas lagi. Sebagaimana
diketahui, madzhab Asy’ariyah secara umum menolak hadits ahad, dan
hadits-hadits di Shahihain -kata mereka- sebagiannya dipalsukan oleh
orang-orang zindiq dan seterusnya dari bencana pemahaman rusak mereka.
Kenyataan yang Tidak Bisa Dipungkiri
Di sini tersebutlah sebuah kenyataan,
sehingga yang memungkirinya sama artinya dia memungkiri adanya matahari di
siang belong. Yaitu pengakuan kembali, kebingungan, dan taubat ulama-ulama
besar Asy’ariyah dari pemahaman dan aqidah yang selama ini mereka bela. Di
antara mereka: Abul Hasan al-Asy’ari sebagai pendiri madzhab, al-Juwaini,
al-Ghazali, asy-Syihristani, dan Fakhrur Razi. Jika mereka memang berada di
atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ ah, maka dari apakah mereka bertaubat?! Dan
dari aqidah manakah mereka kembali?!
Kesimpulan
Dari pembahasan singkat ini dapat kita
pahami, dakwaan Asy’ariyah bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah merupakan dakwaan
tanpa bukti. Akan tetapi bukan berarti pula mereka keluar dari Islam. Yang
pasti, mereka adalah salah satu dari sekian banyak kelompok yang disebut oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak selamat dengan aqidah
dan pemahaman mereka.
Dengan demikan, semakin nyata bagi kita
semua bahwa jalan kebenaran dan keselamatan adalah jalan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para
salafush shalih.
Seluruh kebaikan dengan mengikuti Salaf
(yang terdahulu)
Dan semua keburukan pada bid’ah orang
khalaf (yang datang kemudian).
Sumber:
Majalah AL FURQON edisi 7 tahun V/ Shafar
1427 H, hlm. 23-27
[1] Al-Milal wan Nihal (1/94) asy-Syihristani.
[2] An-Nihayah fi Gharibil Hadits (2/409) Ibnul Atsir dan
Tahzibul Lughah (12/298-299) Azhari.
[3] Makna ini diambil dari beberapa riwayat yang tidak
lepas dari kelemahan.
[4] Silahkan lihat tentang mashdar talaqqi mereka
dalam Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wan Naql oleh Ibnu Taimyah, Asasut Taqdis
(hal. 168-173) oleh ar-Razi, asy-Syamil (hal. 561) oleh al-Juwaini, Syarhul
Kubra (hal. 502) oleh as-Sanusi.
[5] Karena itu sifat-sifat makhluk (hadits). Menurut
salaf, sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala ialah apa yang Dia tetapkan dalam
syari’at-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa menakwil,
menyerupakan, membayangkan, dan seterusnya sebagaimana yang diterangkan dalam
kitab aqidah.
[6] Arti yang benar dalam kalimat yang agung tersebut
adalah “Tiada Dzat yung berhak diibadahi selain Alloh –Subhanahu wa Ta’ala- “.
Arti ini mencakup dua tauhid, yaitu rububiyah dan uluhiyah. Sedangkan tafsiran
Asy’ariyah yang mengartikan bahwa “Tidak ada Dzat yang mencipta melainkan Alloh
–Subhanahu wa Ta’ala-“, hanya sebatas pengakuan terhadap tauhid rububiyah dan
belum masuk pengakuan terhadap. tauhid uluhiyah. Tafsiran Asy’ariyah telah
diakui oleh musyrik Quraisy, akan tetapi tidak membuat mereka menjadi rnuslim.
[7] Silahkan lihat pembahasan ini, al-Inshaf (hal. 22)
al-Baqillani, asy-Syamil (hal. 120), Fathul Bari (3/357, 361), Dar”u Ta’arudh
al-‘Aql wan Naql (juz 7,8,dan 9).
[8] Silahkan lihat al-Irsyad (hal. 397), al-Inshaf (hal.
55) al-Baqillani, dan juga al-Iman Ibnu Taimiyah -hampir keseluruhan kitab
tersebut bantahan terhadap mereka-.
[9] Silahkan lihat pemahaman mereka
tentang al-Quran; al-Inshaf (hal. 96-97), Ushuluddin ( hal. 107),
Syarh al-Bajuri (hal. 64-66).
[10] Jabariyah adalah pemahaman bahwa manusia tidak
mempunyai ikhtiar, dia bagaikan kapas yang diterbangkan angin. Kebalikannya,
pemahaman Qadariyah.
[11] Ibnu Juraij wafat 306 H, lihat Siyar A’lam an-Nubala”
(14/201). Kelihatannya, beliau telah meninggal sebelum kembalinya Abul Hasan
al-Asy’ari kepada madzhab salaf. Silahkan lihat Ijtima’ Juyusy Islamiyah (hal.
62).
Memahami Asal-Usul Firqoh Sesat Asy’ariyah
24.Memahami Asal-Usul Firqoh Sesat
Asy’ariyah
25.HIJRAHNYA PENDIRI
PAHAM.ASY’ARY – Ustadz Mizan Qudsiyah, Lc (221 Comments)