Sehingga Syaikhul Islam terpaksa harus
mendatangkan 50 kitab dari kitab imam yang empat, ahlul hadits, tasawuf, dan
ahlul kalam. Beliau berkomentar, “Aku telah beri waktu tiga tahun kepada setiap
orang yang menyelisihiku (dalam kitab ini), seandainnya mereka menemukan ada
satu huruf yang bertentangan dengan perkataan tiga generasi terbaik Islam, maka
aku siap untuk kembali.” Beliau melanjutkan, “Maka tidak ada seorang pun yang
mendapatkan ucapanku bertentangan dengan salah satu ulama Islam maupun
pendahulu mereka, padahal mereka telah mencarinya di khazanah dan perpustakaan
negeri.” (Lthat Majmu’ Fatawa 3/169, 217)
Al Aqidah Al Washithiyah: Penjelasan
Aqidah Islam
Apa karakteristik firqah najiyah yang
paling menonjol?
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
Ucapan Bathil Ust.Abdul Somad, Lc,MA
At-Tahriri Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Sangat
Tendensius. Silahkan Bantah Beberapa Artikel Dibawah Secara Tertulis Dan
Ilmiyah (No Youtube).
Oleh: Ustadz Armen Halim Naro Lc,
Sejarah masuknya dakwah Islam ke
Nusantara adalah melalui jalan perairan di tepi pesisir-pesisir pantai atau
hulu sungai, sebagai jalur utama transportasi tatkala itu.
Kemudian menyebar luas ke seluruh pelosok
dan negeri. Sehingga setiap orang yang hendak meneliti seperti apakah pemahaman
yang masuk ke negeri ini pertama kalinya, dia dapat memulai kajiannya dan mereka
yang menetap di daerah-daerah pesisir atau kepulauan dan seterusnya.
Semenjak kecil penulis —kebetulan putra
salah satu pesisir di Sumatera Barat— selalu melihat orang-orang tua di sana
mengaji sifat dua puluh sebagai pelajaran utama dalam aqidah mereka. Kemudian
kadang mereka mengatakan, “Fiqh kami fiqh Syafi’i, aqidah kami aqidah Asy’ari,
tarekat kami tarekat Naqsyabandi.”
Pemahaman ini merupakan pemahaman
kebanyakan masyarakat kita tentang agama yang mereka anut, hanya saja dengan
bertambahnya usia dan meningkatnya pelajaran, tentu Setiap kita perlu
mempertanyakan apa yang selama ini dipahami oleh orang-orang tua dan dibesarkan
dengannya generasi muda kita. Karena hal itu menyangkut kebahagiaan di dunia dan keselamatan di
akhirat. Benarkah Asy’ariyah sebagai kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Benarkah pemahaman Asy’ariyah
itu pemahaman “Firqah Najiyah” -yang disebut-sebut oleh Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam sebagai satu-satunya kelompok yang selamat-?!
Hal ini mengingatkan penulis kepada
sebuah kejadian yaitu pengikut
Asy’ariyah ‘meradang’ hebat sewaktu Syaikhul Isuam Ibnu Taimiyah rohimahullah
menulis tentang aqidah Ahlus Sunnah dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyahnya,
awal ucapan beliau, “Inilah aqidah Firqah Najiyah….” Lalu mereka adakanlah
sebuah majelis dengan mendatangkan para qadhi dan ulama Asy’ariyah untuk
mendebat beliau.
Sehingga
Syaikhul Islam terpaksa harus mendatangkan 50 kitab dari kitab imam yang empat,
ahlul hadits, tasawuf, dan ahlul kalam. Beliau berkomentar, “Aku telah beri
waktu tiga tahun kepada setiap orang yang menyelisihiku (dalam kitab ini),
seandainnya mereka menemukan ada satu huruf yang bertentangan dengan perkataan
tiga generasi terbaik Islam, maka aku siap untuk kembali.” Beliau melanjutkan,
“Maka tidak ada seorang pun yang mendapatkan ucapanku bertentangan dengan salah
satu ulama Islam maupun pendahulu mereka, padahal mereka telah mencarinya di
khazanah dan perpustakaan negeri.” (Lthat Majmu’ Fatawa 3/169, 217)
Apakah
Asy’arlyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu?
“Asy’ariyah” yang juga dikenal dengan
“Asya’irah” adalah penisbatan sebuah pemahaman dalam aqidah kepada Imam Abul
Hasan al-Asy’ari(1), hanya mereka berpegang pada pemahaman Abul Hasan pada fase
kedua kehidupannya, yang dikenal pada saat itu beliau menganut pemahaman
Kullabiyah. Alangkah baiknya bagi mereka menapak jejak Abul Hasan yang terakhir
dalam hidupnya! Yaitu beliau kembali kepada ajaran salaf. Karena sebagaimana
yang telah diketahui bahwa kehidupan beliau melalui tiga fase:
a. Fase dengan membawa pemahaman
Mu’tazilah, karena kebetulan gurunya dalam pemahaman ini adalah bapak tirinya
yang bernama Abu Ali al Jubba’i, hal ini berlangsung hingga beliau berusia 40
tahun. (Tabyin Kadzibil Muftari, hal. 40)
b. Fase dengan membawa pemahaman Kullabiyah
diambil dari nama pendirinya, Abdullah bin Sa’id bin Kullab al Qaththan (240
H). Pemahaman inilah yang menjadi tonggak ajaran dan pokok pemahaman mereka
dalam madzhab, pemahaman ini dituangkan oleh beliau dalam kitab al-Luma’ fir
Radd ‘ala Ahliz Zaighi wal Bida’.
c. Fase dengan membawa pemahaman salaf
(Ahlus Sunnah wal Jama’ah), pemahaman yang mana beliau wafat dengannya, beliau
tuangkan dalam karangan beliau yaitu al-Ibanah, Risalah ila Ahli Tsaghar dan
Maqalat Islamiyyin.
Sedangkan istilah “Ahlus Sunnah wal Jama’ah”
mempunyai dua kata, “Sunnah” dan “Jama’ah”. Sunnah secara bahasa adalah jalan
atau gaya hidup, sebagian mengaitkannya dengan kebaikan (2). Dan secara istilah
adalah jalan hidup Rasulullah , yang diterangkan dalam Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya serta jalan para sahabat yang telah mereka sepakati.
Jama’ah artinya secara bahasa
mengumpulkan atau perkumpulan. Sedangkan secara istilah, tidak lepas dan enam
makna:
(1) awadul a’zham/kelompok mayoritas (3),
(2) kumpulan ulama mujtahid,
(3) para sahabat secara khusus,
(4) umat Islam jika sepakat dalam sebuah
perkara,
(5) umat Islam jika bersatu dalam sebuah
kepemipinan,
(6) kelompok yang benar. (Lihat Manhaj
Ahlis Sunnah wal Jama’ah wa Manhajul Asya’irah, DR. Khalid bin Abdul Lathif
Muhammad Nur, 1/22)
Dan keseluruhan makna tersebut, tidak ada
pertentangan bahkan saling menguatkan, karena jama’ah yang dimaksud ialah para
sahabat, karena merekalah kelompok yang berada di atas kebenaran, kelompok yang
terbanyak.
Maka
Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara singkat adalah mereka yang berpegang teguh
dengan Sunnah Rasulullah dan mengikuti jama’ah sahabat Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Asy’ariyah sepakat dalam definisi Ahlus
Sunnah di atas, dalam kitab mereka Jauharah at Tauhid dikatakan: “ Wa kullul
khoiri Ittibaa’u man salafa wa kullu syarrin fiy ibtidaa’in man kholafa
“Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf (yang terdahulu) Dan semua keburukan
pada bid’ah orang khalaf (yang datang kemudian).
Akan
tetapi, benarkah dakwaan Asy’ariyah bahwa pemahaman mereka adalah pemahaman
para sahabat dan aqidah mereka adalah aqidah imam yang empat?
Di atas perapian, akan kita lihat siapa
yang emas dan siapa yang loyang, di pintalan akan ketahuan mana yang sutera dan
mana yang benang?!
Secara
garis besar, penulis menemukan empat belas pokok pemahaman Asy’ariyah yang
bertentangan dengan pemahaman Ahlus Sunnah. Di antaranya:
(1) mashdar talaqqi, (2) sifat wujud
Alloh , (3) tauhid, (4) iman, (5) al-Qur’an, (6) qadar, (7) sebab dan musabab,
(8) kenabian, (9) tahsin dan taqbih, (10) takwil, (11) hikmah/illah, (12)
sam’iyat/ nash, (13) takfir, (14) asma dan sifat.
Di bawah ini, penulis akan sebutkan tujuh
ushul (pokok) pemahaman tersebut dengan Sedikit penjelasan singkat lantaran
keterbatasan halaman. Siapa saja yang ingin mendapatkan penjelasan lebih
mendalam, penulis persilahkan membaca kitab-kitab bantahan ulama salaf terhadap
Asy’ariyah, terutama kitab-kitab Syaikhul Islam dan murid beliau, Ibnul Qayyim
rohimahullah.
1. Mashdar Talaqqi (sumber dasar
pengambilan)(4)
Pertama: Sebagaimana yang kita ketahui
bahwa mashdar talaqqi Ahlus Sunnah adalah al-Qur’an dan Sunnah, ijma’, dan
qiyas. Berbeda dengan Asy’ariyah, sumber pengambilan mereka adalah akal.
Hal ini diperkuat oleh pendapat para
tokoh madzhab seperti al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, al Amidi, dan seluruh
ulama mereka yang mengatakan jika akal dan nash saling bertentangan, maka yang
menang adalah akal. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa mengambil zhahir
Kitab dan Sunnah termasuk dari pokok paham kekufuran. (Sebagaimana disebutkan
as-Sanusi (885 H) dalam Syarhul Kubra dan ar-Razi dalam Asasut Taqdis hal.1 72)
Kedua: Bahwa nash-nash dalam Kitab dan
Sunnah bersifat zhanniyah dalalah (tidak mutlak mengandung kebenaran) dengan
tidak memberi keyakinan, yang qath’i (mendatangkan keyakinan) adalah akal.
(Ma’alim Ushuliddin, Fakhruddin ar-Razi, hal. 24)
Ketiga: Mereka memandang bahwa hadits
tidak dapat dijadikan pegangan dalam aqidah. Jika terjadi pertentangan dengan
akal, yang mutawatir harus ditakwil, sedangkan yang ahad tidak perlu digubris.
Sampai-sampai imam mereka, ar-Razi, menyebutkan bahwa semua riwayat hadits dari
para sahabat adalah zhanniyah (adanya kemungkinan salah), tidak berbeda dalam
hal kejujuran mereka maupun dalam hafalan. Dan juga mereka mengatakan bahwa
dalam kitab Shahihain (Bukhari-MusIim) ada hadits-hadits yang dipalsukan oleh
orang orang zindiq.
Keempat: Kitab-kitab aqidah mereka
senantiasa mereka penuhi dengan perkataan para filosof, orang-orang bijak -yang
sebenamya bukan bijak- atau yang lainnya. Bersamaan dengan itu, kitab kitab
aqidah tersebut kosong dari ayat-ayat Alloh Azza wa Jalla apalagi sabda
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Kelima: Sumber pengambilan kalangan
tasawuf Asy’ariyah seperti al-Ghazali dan Hami lebih mendahulukan kasyaf
(pembukaan tabir alam khayal) dan zauq (perasaan jiwa) serta takwil nash.
Bahkan mereka menshahihkan dan melemahkan hadits menurut zauq dan kasyaf
tersebut, dan mereka menyebutnya “ilmu laduni”.
2. Wujud Alloh Azza wa Jalla
Menurut salaf, keberadaan Alloh Azza wa
Jalla merupakan hal yang fithri, dalil tentang hal itu telah terpatri pada
alam, jiwa, dan wahyu. Pada setiap sesuatu ada bukti tentang wujud Alloh Azza
wa Jalla .
Sedangkan Asy’ariyah hanya mernpunyai
satu-satunya alasan tentang wujud Alloh Azza wa Jalla ,yaitu “huduts” (baru)
dan “qidam” (terdahulu). Menurut mereka, bukti bahwa Alloh a itu wujud adalab
bahwa semua makhluk bersifat baru dan setiap yang baru mesti ada yang
terdahulu.
Kekhususan Dzat yang terdahulu bahwa
semua sifat-sifatnya tidak boleh sama (baik lafazh maupun makna, Pen.) dengan
sifat makhluk. Makanya Alloh – menurut mereka- bukanlah jauhar (badan halus),
tidak jisim (badan kasar), tidak mempunyai arah, dan tidak punya tempat … dan
seterusnya(5) dari istilah-istilah bid’ah yang tidak pernah Alloh sifati
diri-Nya dengan penamaan tersebut, akan tetapi pemahaman mereka hanya sebagai
bentuk taqlid terhadap guru-guru mereka dari kalangan filosof dan ahli kalam,
Untuk memastikannya, silakan lihat permulaan semua kitab aqidah mereka.
3. Tauhid
Tauhid menurut Ahlus Sunnah terbagi tiga,
yaitu: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ dan sifat. Sedangkan
menurut Asy’ariyah, tauhid adalah menafikan sekutu atau bilangan serta
menafikan bagian dan susunan.
Dari makna ini, mereka menafsirkan kata
“ilah” dengan a1-Khaliq (6) (Sang Pencipta) atau Dzat yang mampu berbuat. Dan
mereka pun mengingkari sebagian sifat seperti wajah, tangan, mata, karena
menurut rnereka hal itu menunjukkan susunan dan bagian.
Sedangkan tauhid hakiki yang menjadi
lawan syirik, maka sama sekali tidak ada dalam kitab aqidah mereka. Penulis
tidak tahu di mana mereka letakkan pembahasan tersebut, apakah di pembahasan
furu’? Jelas ini tidak akan ada, ataukah mereka meninggalkannya? ini yang bisa
dipastikan.
Menurut salaf, yang wajib diketahui
pertama kali adalah tauhid, sedangkan Asy’ariyah menyatakan bahwa kewajiban
pertama adalah nazhar, meneliti dan menganalisa dengan akal.
Mereka mengingkari ma’rifat kepada Alloh
dengan fithrah. Mereka berkata, “Barangsiapa beriman kepada Alloh melalui jalan
selain jalan analisa maka dia taqlid. telah berbuat maksiat, bahkan telah jatuh
kafir.
Point inilah yang dibantah oleh Ibnu
Hajar karena konsekuensi dari ungkapan tersebut ialah pengkafiran semua orang
awam, bahkan semua sahabat Rasulullah karena mereka semua mendapatkan iman
(bukan dengan jalan analisa, Red.) (7)
‘4. Iman
Iman menurut Ahlus Sunnah adalah
pengakuan hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan,bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Sedangkan menurut Asy’ariyah cukup
dengan pembenaran hati, tidak bertambah dan berkurang.
ini menyerupai ucapan Murji’ah Jahmiyah,
sebagaimana yang disebut pada semua pembahasan aqidah mereka)”
5. Al-Qur’ an (Kalamullah)
Madzhab Ahlus Sunnah tentang al Qur”an
menyatakan bahwa ia adalah “Kalamullah” bukan makhluk, bahwasanya al-Qur’an itu
firman Alloh Azza Wa Jalla .Dia sendiri yang berbicara terdengar oleh
malaikat-Nya, didengar oleh Jibril alaihissalam , didengar oleh Musa
alaihissalam, dan akan didengar semua makhluk nantinya pada hari kiamat.
Sedangkan madzhab Asy’ariyah merupakan
kombinasi antara pemahaman Ahlus Sunnah dengan pemahaman Mu’tazilah yang mereka
mengatakan al-Qur’an itu makhluk
Asy’ariyah membedakan antara lafazh
dengan makna. Kalam yang mereka tetapkan adalah makna dalam diri-Nya, bukan
berupa suara dan bukan pula huruf. Adapun kitab-kitab yang diturunkan termasuk
al-Qur’an bukanlah kalam-Nya, akan tetapi dia tidak lebih dan sebuah makna yang
terpahami oleh Jibril alaihissalam dan terpisah dari Dzat-Nya, jika diungkapkan
dalam bahasa Ibrani jadilah ia Taurat, jika berbahasa Suryani jadilah dia
Injil, dan jika berbahasa Arab jadilah ia al-Qur”an. Semuanya makhluk,
sedangkan penyebutannya dengan Kalamullah hanya sebatas majaz/kiasan (9)
6. Qadha dan qadar
Asy’ariyah dalam qadar berusaha
mengkombinasikan antara pemahaman Jabariyah (10) dan Qadariyah. Mereka
menemukan sebuah teori yang mereka beri nama dengan “kasab”, yang mana mereka
sendiri bingung menjelaskan teori tersebut ujung-ujung teori tersebut menuju
pemahaman Jabariyah tulen.
Berkata ar-Razi menjelaskan teori
tersebut, “Sesungguhnya manusia terpaksa dalam bentuk memilih.” al-Baghdadi
memberi permisalan tentang teori tersebut umpama seorang hamba dengan Alloh
Azza wa Jalla , dua orang yang membawa batu yang besar, yang satu lemah dan
yang satu lagi kuat, sebenarnya yang kuatlah yang membawa, sedangkan si lemah
juga tidak bisa lepas dari penyebutan membawa. (Al.Inshaf hal. 45-46,
Ushuluddin hal. 133, dan lainnya)
7. Sebab dan musabab
Asy’ariyah mengingkari bahwa sesuatu
dapat mempengaruhi sesuatu, seperti api dapat membakar, pisau dapat melukai,
dan seterusnya. Bahkan mereka mengkafirkan atau membid’ahkan setiap orang yang
menyelisihi mereka dalam pemahaman mi.
Mereka mengatakan, “Barangsiapa
mengatakan bahwa api sifatnya dapat membakar atau apilah penyebab terbakar,
maka dia kafir atau musyrik karena tidak ada yang berbuat kecuali Alloh .
Menurut mereka lagi, barangsiapa meyakirii bahwa api dapat membakar karena
Alloh • memberikan kekuatan untuk membakar, maka dia mubtadi’ sesat. (Lihat
Syifaul ‘Alil, Ibnul Qayyim, 259- 261, dan juga pembahasan mereka tentang
qadar)
Setelah penjelasan singkat ini, apa yang
tersisa bagi Asy’ariyah dalam penisbatan mereka kepada madzhab Ahlus Sunnah wal
Jama’ah?! Dalam semua bab aqidah, Asy’ariyah selalu memposisikan dirinya
sebagai oposisi Ahlus Sunnah, sebagai bentuk pembelaan mereka terhadap filsafat
dan ilmu kalam.
Penulis tidak akan menyembunyikan sesuatu
dalam hal ini, bahwa memang ada persamaan Ahlus Sunnah terhadap madzhab
Asy’ariyah, yaitu pembahasan tentang para sahabat dan pembahasan imamah
(kepemimpinan), inilah satu-satunya bab yang Asy’ariyah sepakat dengan Ahlus
Sunnah.
Di saat bersamaan, ulama Ahlus Sunnah
mengakui juga bahwa madzhab Asy’ariyah kelompok yang terdekat kepada Ahlus
Sunnah dari kelompok yang binasa lainnya.
Pendapat Ulama Islam dari Kalangan
Madzhab yang Empat Tentang Asy’ariyah
1. Ulama Malikiyah
Diriwayatkan dari Ibnu Abdil Barr
al-Maliki yang bergelar “Hafizh Maghrib” (Alim dari Maghrib/ Marokko) dari
faqih Malikiyah Ibnu Khuwaiz Mindaz dengan sanadnya, bahwa beliau berkata dalam
bab Syahadat -ketika menjelaskan perkataan Imam Malik “Tidak boleh persaksian
ahlul bid’ah dan hawa”.-, “Ahlul hawa menurut Malik dan seluruh penganutnya
ialah ahlul kalam. Maka setiap ahli kalam adalab ahlul ahwa’ dan dan bid’ah,
baik dia bermadzhabkan Asy’ariyah maupun bukan, tidak diterima persaksiannya
dalam Islam selama-lamanya, diboikot dan dihukum atas perlakuan bid’ahnya, jika
masih berlanjut diminta bertaubat (kalau tidak maka dibunuh, Pen.).” (Jami’
Bayanil ilmi wa Fadhlihi, Tbnu Abdil Barr, 2/117, tahqiq Utsman Muhammad
Utsman)
2. Ulama Syafi’iyah
Berkata Imam Abul Abbas bin Juraij yang
bergelar “Syafi’i Kedua” —kebetulan beliau semasa dengan al-Asy’ari—, “Kami
tidak setuju dengan takwil Mu’tazilah,Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhidah,
Mujassimah, Musyabbihah, Karamiyah, Mukayyifah. Akan tetapi kami menerimanya
tanpa takwil dan beriman dengannya tanpa tamtsil (11)
Berkata Imam Abul Hasan al-Karji dari
ulama Syafi’iyah pada abad kelima, “Para ulama Syafi’iyah selalu tidak mau jika
mereka dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Bahkan mereka berlepas diri dari semua
pemahaman madzhab Asy’ari, melarang pengikut dan para sahabat mereka mendekat
kepada madzhab tersebut, sesuai dengan berita yang aku terima dari beberapa
ulama dan para imam.”
Kemudian belian mencontohkan seperti
syaikh Syafi’iyah pada masanya, Imam Abu Hamid al-Isfirayini-yang bergelar
dengan “Syafi’i Ketiga”—, seraya berkata, “Sudah dimaklumi bersama tegasnya
Syaikh (al-Isfirayini) terhadap ,ahli kalam, sehingga beliau memilah antara
ushul fiqh Syafi’i dengan ushul Asy’ari. Sikap yang sama diperlihatkan pula
oleh Abu Ishaq asy-Syirazi dalam kedua kitab beliau, al-Luma’ dan at-Tabshirah.
Sampai-sampai jika ada persamaan antara perkataan Asy’ari dengan perkataan
ulama Syafi’iyah, beliau tetap bedakan dan berkata, ‘Perkataan ini adalah
pendapat para sahabat kami dan dengannya berpendapatlah Asy’ariyah.’ Beliau
tidak pernah menggolongkan Asy’ariyah ke dalam pengikut Syafi’i. Hal itu
dikarenakan benci kepada ushul fiqh mereka. Bagaimana pula sikap mereka
terhadap ajaran mereka?” (Tis’iniya, Ibnu Taimiyah, 238-239)
3. Ulama Hanafiyah
Sebagaimana diketahui bahwa penulis kitab
Thahawiyah, Imam Thahawi dan pensyarahnya yaitu Ibnu Abil ‘Tzz al-Hanafi,
keduanya penganut madzhab Hanafi. Apalagi Imam Thahawi semasa pula dengan
al-Asy’ari. Beliau menulis kitab tersebut untuk menerangkan aqidah Imam Abu
Hanifah. Mereka menukilkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau tegas-tegas
menyatakan bahwa seseorang yang berkata Alloh Azza wa Jalla tidak di atas ‘arsy
atau mengambil sikap diam ten- tang itu maka dia kafir. Lantaran itulah Abu
Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, telah mengkafirkan Bisyr al-Mirrisy -tokoh
ajaran Mu’tazilah-. Sebagaimana diketahui pula, Asy’ariyah mengingkari bahwa
Alloh Azza wa Jalla di atas ‘arsy dan bahwasanya pokok pemahaman Asy’ariyah
diambil dari Bisyr al-Mirnisy.
4. Ulama Hanabilah
Tidak ada yang tidak mengetahui sikap
ulama Hanabilah terhadap madzhab Asy’ariyah semenjak Imam Ahmad membid’ahkan
Ibnu Kullab sebagai pendiri yang sebenarnya madzhab Asy’ariyah. Semenjak itu
pula, antara Hanabilah dengan madzhab Asy’ariyah selalu dalam peperangan yang
berkepanjangan.
Demikianlah nukilan singkat pendapat
ulama empat madzhab terhadap Asy’ariyah. Terlebih lagi, jika diperdengarkan
nukilan dari ulama jarh wa ta’dil dari kalangan ulama hadits tentang madzhab
Asy’ariyah, tentu akan lebih keras dan tegas lagi. Sebagaimana diketahui,
madzhab Asy’ariyah secara umum menolak hadits ahad, dan hadits-hadits di
Shahihain —kata mereka— sebagiannya dipalsukan oleh orang-orang zindiq dan
seterusnya dari bencana pemahaman rusak mereka.
Kenyataan yang Tidak Bisa Dipungkiri
Di sini tersebutlah sebuah kenyataan,
sehingga yang memungkirinya sama artinya dia memungkiri adanya matahari di
siang bolong. Yaitu pengakuan kembali, kebingungan, dan taubat ulama-ulama
besar Asy’ariyah dari pemahaman dan aqidah yang selama ini mereka bela. Di
antara mereka:
Abul Hasan al-Asy’ari sebagai pendiri
madzhab, al-Juwaini, al-Ghazali, asy-Syihristani, dan Fakhrur Razi. Jika mereka
memang berada di atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka dari apakah mereka
bertaubat?! Dan dari aqidah manakah mereka kembali?!
Kesimpulan
Dari pembahasan singkat ini dapat kita
pahami, dakwaan Asy’ariyah bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah merupakan dakwaan
tanpa bukti. Akan tetapi bukan berarti pula mereka keluar dari Islam. Yang
pasti, mereka adalah salah satu dari sekian banyak kelompok yang disebut oleh
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak selamat dengan aqidah dan pemahaman
mereka.
Dengan demikan, semakin nyata bagi kita
semua bahwa jalan kebenaran dan keselamatan adalah jalan Rasuluilah Shallallahu
alaihi wa sallam dengan pemahaman para Salafus shalih (3 generasi terbaik
Islam yaitu pendahulu kita yang shalih dari Sahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in)
“ Wa Kullul khoiri Ittibaa’u man Salafa
Wa Kullu Syarrin fiy Ibtidaa’in man Kholafa “
Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf
(yang terdahulu) Dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf (yang datang
kemudian).
Foot Noote :
(1) Al-Milal wan Nihal (1/94)
asy-Syihristani.
(2) An-Nihayah fi Gharibil Had its
(2/409) Ibnul Atsir dan Tahzibul Lughah (12/298-299) Azhari.
(3) Makna ini diambil dari beberapa
riwayat yang tidak lepas dari kelemahan.
(4) Silahkan lihat tentang mashdar
talaqqi mereka dalam Dar’u Ta’arudh al-Aq1 wan Naql oleh lbnu Taimyah, Asasut
Taqdis (hal. 168-1 73) oleh ar-Razi, asy-Syamil (hal. 561) oleh al-Juwaini,
Syarhul Kubra (hal. 502) oleh as-Sanusi.
(5) Karena itu sifat-sifat makhluk
(hadits). Menurut salaf, sifat Alloh ialah apa yang Dia tetapkan dalam
syari’at-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa menakwil,
menyerupakan, membayangkan, dan seterusnya sebagaimana yang diterangkan dalam
kitab aqidah.
(6) Arti yang benar dalam kalimat yang
agung tersebut adalah “Tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Alloh “. Arti
ini mencakup dua tauhid, yaitu rububiyah dan uluhiyah. Sedangkan tafsiran
Asy’ariyah yang mengartikan bahwa “Tidak ada Dzat yang mencipta melainkan Alloh
Subhanahu wa Ta’ala “, hanya sebatas pengakuan terhadap tauhid rububiyah dan
belum masuk pengakuan tenhadap tauhid uluhiyah. Tafsiran Asy’ariyah telah
diakui oleh musyrik Quraisy, akan tetapi tidak membuat mereka menjadi muslim.
(7) Silahkan lihat pembahasan ini,
al-Inshaf (hal. 22) al-Baqillani, asy-Syamil (hal. 120), Fathul Bari (3/357,
361), Dar’u Ta’arudh al-’Aql wan Naql (juz 7, 8, dan 9). ‘
(8) Silahkan lihat al-Irsyad (hal. 397),
al-Inshaf (hal. 55) al-Baqillani, dan juga al -I man Ibnu Taimiyah -hampir
keseluruhan kitab tersebut bantahan terhadap mereka.
(9) Silahkan lihat pemahaman mereka
tentang al-Quran al-Inshaf (hal. 96-97), Ushuhuldin (hal. 107), S yarh
al-Bajuri (hal. 64-66).
(10) Jabariyah adalah pemahaman bahwa
manusia tidak mempunyai ikhtiar, dia bagaikan kapas yang diterbangkan angin.
KebaIikannya, pemahaman Qadariyah.
(11) lbnu Juraij wafat 306 H, lihat Siyar
A’lam an-Nubala’ (14/201). Kelihatannya, beliau telah meninggal sebelum
kembalinya Abul Hasan al-Asy’ari kepada madzhab salaf. Silahkan lihat ljtima’
Juyusy Islamiyah (hal. 62).
Sumber : Majalah Al Furqon Edsi 7 Tahun
V/ Shafar 1427 ( Feb 06 )