Mereka yang menolak aqidah Asy’ariyah
Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah
ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang wajib disembah
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari
Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin
adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah
diarsip pada
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin
makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir
beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20
sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya
disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya
diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah yang merupakan hasil istiqro
(telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang
bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Selain itu aqidatul Khomsin yang
menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai
batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat
Allah.
Berikut kutipan perkataan seorang ulama
panutan bagi para pengikut paham Wahabisme yakni Al Albani yang bersumber dari http://islamqa.info/id/107645
***** awal kutipan ******
Seperti Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan
lainnya yang serupa dengan beliau berdua, adalah sebuah kedzaliman jika mereka
di sebut sebagai ahli bid’ah. Saya mengetahui bahwa kedua ulama tersebut dari
‘Asy’ariyyah. Namun keduanya tidak bermaksud untuk menyelisihi al Qur’an dan
Sunnah, akan tetapi mereka ragu-ragu dan mengira bahwa aqidah ‘Asy’ariyyah
itulah yang diwariskan.
****** akhir kutipan ******
Dari link tersebut , ditengarai ada upaya
sistematik untuk menyesatkan umat Islam dengan hasutan atau ghazwul fikri
(perang pemahaman) supaya meninggalkan aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan
mengarahkan untuk mengikuti aqidah Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah
sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/04/22/dijauhkan-dari-asyariyah/
Para ulama terdahulu menyampaikan bahwa
yang dimaksud dengan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para pengikut Abu Hasan
al-Asy’ari (Asy’ariyah) dan Abu Manshur al-Maturidi (Maturidiyah) radhiyallaahu
‘anhumaa
“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah
Ahlussunnah wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari
dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada
keduanya)” (Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi
al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).
Salah satu hal yang membuat orang-orang
terjerumus mengikuti aqidah Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah adalah
syubhat, propaganda atau fitnah yang mengatakan bahwa Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari telah bertaubat dua kali alias melalui tiga fase pemikiran
Apakah benar tuduhan mereka bahwa Imam
Abu Hasan al-Asy’ari melalui tiga fase pemikiran dan fase terakhir adalah Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke
metodologi Salaf serupa yang dipahami oleh ulama Najed dari bani Tamim,
Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah ?
Contoh jawabannya dapat ditemukan pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-imam-abu-hasan-al-asyari-melalui-3-fase-pemikiran/
Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun berkata:
“Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari dan berdebat dengan
sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia
membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan mengikut pendapat Abdullah bin
Said bin Kullab, Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari
kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah”. (Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah,
Dar al-Fikr, Beirut, ed. Khalil Syahadah, hal. 853)
Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun
tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar
daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa`id bin
Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf alias
Ahlussunnah wal Jama`ah.
Salah satu contoh pemalsuan kitab Al
Ibanah adalah menghilangkan kalimat
بلا كيف ولا استقرار
( lihat gambar pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/02/contoh-perbedaan-al-ibanah.jpg
)
Contoh-contoh perbedaan kitab Al Ibanah
lainnya dapat diketahui pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/04/pemalsuan-kitab-al-ibanah-imam-abu-hasan-al-asyariy/
Paham Wahabisme adalah ajaran berdasarkan
pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhamnad bin Abdul Wahhab yang
mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang dibiayai dan
disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi
dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar
of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin
Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of
Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Berikut contoh kutipan catatan kaki
(footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255 sebagaimana termuat
dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja
Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia.
***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian
mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya.
Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak
Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****
Kutipan di atas dapat pula dilihat secara
online pada http://www.quranonline.net/ebooks-quran/ebook-quran-indonesian-translation.html
Begitupula dalam perkara aqidah contoh
kesalahpahaman ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah dalam memahami Al Qur’an
dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya
selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video
yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=XWR57GnZu3w
Pada menit 14:49 Beliau berpendapat
bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya Allah di
singgasana”.
Contoh lainnya salah satu ulama panutan
bagi para pengikut Wahabisme membuat tulisan berdasarkan pemahamannya terhadap
hadits shahih yang dibacanya dan oleh karena pemahamannya keliru sehingga
mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang
bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu berpegang pada nash
secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Silahkan periksa tulisan salah satu ulama
panutan mereka yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan
Jelas sekali bahwa apa yang mereka
sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) melainkan
aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka sendiri
terhadap dalil yang mereka baca.
Dengan mereka mengatakan bahwa pemahaman
atau aqidah yang mereka sampaikan adalah pemahaman atau aqidah para Sahabat
(Salafush Sholeh) maka termasuk fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Di sisi yang lain ada yang mengatakan
bahwa kedua tangan Allah adalah kanan dan kiri.
Berikut kutipan beberapa kesimpulan
mereka akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka
selalu dengan makna dzahir .
***** awal kutipan *****
– Allah Ta’ala terikat arah kiri dan
kanan!
– Allah Ta’ala mempunyai lima jari!
– Allah Ta’ala mempunyai mata dan
telinga!
– Allah Ta’ala memiliki kaki!
– Allah Ta’ala memiliki betis!
– Allah Ta’ala memiliki pantat!
– Allah Ta’ala mempunyai pinggang!
– Allah Ta’ala mempunyai wajah!
– Seseorang yang berada di dataran
tinggi, maka dia akan lebih dekat dengan Allah Ta’ala ketimbang mereka yang
berada di dataran rendah!
***** akhir kutipan ******
Dalil dari kesimpulan mereka di atas
dapat dibaca dalam tulisan mereka yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
Salah satu contoh dalil yang mereka
pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata,
“Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang
dapat memperkirakan ukurannya.”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi
terkait riwayat tersebut,
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl
al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas,
di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa
riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang
mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka
lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan
demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah
bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil
sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang
yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat
yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat
duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak
diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy
Nya. Tidak lebih dari itu.
Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa
Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman) akibat memahami selalu dengan
makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam)
senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah)
meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak
kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya,
lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan
Muslim, no: 2848)
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita
berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak
diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan
berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan
al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya
kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan)
oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah
pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam
sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/
Pada kenyataannya mereka mengikuti
orang-orang yang semula bermazhab Hambali yang kemudian menjadi imam atau guru
besar kaum musyabbihah karena mereka selalu berpegang pada Al Qur’an dan As
Sunnah secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin
Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau
ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan
banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad
bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la
al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab
Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa
“Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air
laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin
Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam
usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan
tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam
al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi
al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat
kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk menjelaskan
kesalahpahaman tiga ulama tersebut.
Contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara
indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله
خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan
adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh”
(muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua
tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha,
dua betis, dua kaki.
Sementara tentang kepala mereka berkata:
“Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”,
Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat
menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya
secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”.
Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan
berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat
Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam
menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang
dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk
itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan
teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh
dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau
melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini,
mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga
mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa
mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja
bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat
perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar namun terlarang
mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua
tangan dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat
mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Begitupula Rasulullah melarang kita untuk
menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/30/bertanya-tanpa-berpikir/
Rasulullah bersabda, ” Berfikirlah
tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang
Dzat Allah“.
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa
mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota
badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata :
“Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali
menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya:
“Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat
ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab
: “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka
mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-Nya
dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim
Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Mereka yang mengingkari Allah dan
hukumnya ‘aashin yakni berbuat durhaka kepada Allah akibat mereka memahami apa
yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna
dzahir.
Berikut kutipan tulisan syaikh Al-Akhthal
dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin”
sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan)
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun
tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut
hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang
menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti
jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah
Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
Akibat mereka memahami apa yang telah
Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir
sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya
terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam
riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah
dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah,
berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu
jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan
sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah
berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya
“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az
Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa
“Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau
terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum
yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman
Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah
mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67)
adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Memang salah satu ciri khas para pengikut
paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni
dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu
berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna
dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al
Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al
Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan
bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena
menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk
menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan
pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ibn al Jawzimenjelaskan bahwa
sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu
dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks
tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna
kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil
dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna
dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai
makhluk karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan
sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami
ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk
orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il
bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah
dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah
mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu
dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka
manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka
ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari
98)
Pemahaman Wahabisme terjerumus mengikuti
pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat, salah satunya karena Ibnu Taimiyyah
mengatakan bahwa apa yang disampaikannya adalah mazhab salaf sebagaimana
kutipan fatwanya dari http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada
salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak
ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya
bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf
itu pasti benar [Majmu Fatawa 4/149]
***** akhir kutipan *****
Istilah mazhab (manhaj) Salaf adalah
keliru karena penisbatan nama mazhab kepada nama perorangan bukan pada suatu
kelompok atau nama generasi.
Penisbatan nama mazhab adalah kepada
fuqaha (ahli fiqih) atau ahli istidlal yang telah meraih kompetensi sebagai
Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan
Al-Buthi dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami
yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press
menjelaskan bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam,
sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi,
tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“.
Hal yang perlu kita ingat bahwa nama para
Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in tercantum pada hadits, pada umumnya sebagai
perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad dan istinbat mereka.
Para perawi sekedar mengulangi kembali
apa yang diucapkan oleh Rasulullah.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah
mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia
menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya-
kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa
ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan
terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits
ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu
Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang
ada perawi yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits
yang dihafal dan disampaikannya.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah
al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab
salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum
dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih
tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena
mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan
meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah
seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui.
Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan
pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha
meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit
menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam)
Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat
kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang menyusun ilmu dan meletakkan
prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang akan diikut umat
Islam sampai akhir zaman.
Orang-orang yang membeli atau memiliki
kitab-kitab hadits kemudian mereka membacanya maka tidak dapat dikatakan bahwa
mereka telah mengikuti pemahaman Salafush Sholeh hanya dikarenakan dalam hadits
tercantum nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in karena ketika orang
membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri terhadap hadits yang
dibacanya, bukan pendapat atau permahaman Salafush Sholeh.
Mereka yang mengaku-aku mengikuti
pemahaman Salafush Sholeh berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang
mereka baca.
Apa yang mereka katakan tentang hadits
tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa
yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang
banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman Salafush
Sholeh
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya
ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka hanya dikenal sebagai ahli
membaca hadits bukan dikenal berkompetensi sebagai ahli istidlal sebagaimana
Imam Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau
salah, mereka atas namakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka
salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh dan sekaligus fitnah
terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Jadi mereka yang merasa atau mengaku
mengikuti pemahaman Salafush Sholeh dan menisbatkan sebagai Salafi, pada
kenyataannya mereka mengikuti pemahaman ulama panutan mereka seperti Al Albani
dari balik perpustakaan alias mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi)
sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani
terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko
reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan
tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian
rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada
apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat
tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu
salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12,
Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin
mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku
yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi
laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya
keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari
rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan.
***** akhir kutipan *****
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Abu
Ihsan Al-Atsary, berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam
Kenangan” pada halaman 147 tercantum bahwa ulama panutan mereka, Albani
dijuluki sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” sebagaiamana yang dapat
dibaca pada http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Begitupula ulama panutan mereka lainnya,
Muhammad bin Abdul Wahhab, pada awalnya berguru pada guru yang mumpuni namun
pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak
(shahafi) meneladani dan meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sehingga disebut
“duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah” sebagaimana contoh informasi dari kalangan
mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam
mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami
benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama
besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu
yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu
Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya
Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan
duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan
oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode
otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam
mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar
yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang
bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Dari keterangan di atas dapat kita
ketahui bahwa Albani , “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maupun Muhammad
bin Abdul Wahhab , “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” meneruskan kebid’ahan
dan meneladani Ibnu Taimiyyah. seorang ulama yang mendalami ilmu agama secara
otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang
serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh
berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Rasulullah bersabda,“Barangsiapa
menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka
sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Dalam sabda Rasulullah di atas telah
ditegaskan bahwa mereka yang berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang
yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) hanyalah mereka yang
“merasa benar”
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi
kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa
menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia
bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan
pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam
wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet,
audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita
bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan
Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu
syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya
adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa
sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60); “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru
dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir
Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pada kenyataannya aqidah pengikut
paham Wahabisme mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat
sehingga tanpa disadari mereka meneladani Ibnu Taimiyyah dan sekaligus
meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yakni mereka selalu berpegang pada nash
secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang
telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/08/19/salah-ulama-panutan/
Sebelum wafat, Ibnu Taimiyyah masih
sempat bertaubat di depan Qodhi empat mazhab yakni para fuqaha, para ulama yang
paling faqih di suatu negara dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah
berdasarkan mazhab yang empat.
Semoga Allah Ta”ala menerima taubat
beliau.
Begitupula dengan Adz Dzahabi masih
sempat bertaubat dan menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada gurunya
sendiri yakni Ibn Taimiyah yang ketika itu belum bertaubat. Hal ini sekaligus
sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri.
Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua
berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan
sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela
ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya
sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim
al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut
Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang
tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan
akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206
H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi salah satu pokok permasalahan yang
timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti pemahaman seorang ulama
sebelum bertaubat.
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum
bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al
‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para
pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu
penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman
Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh
Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan
pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah
liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman
pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis
penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain
seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan,
Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang
tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan
atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu
Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian
diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan
tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan Wahabi bersikap
Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang
cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak
sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah
bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada
sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang
dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada
akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728
H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng
Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri
Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi
Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin
Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar
Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin
As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس
بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan
Ijma’ Ulama dan Umara.”
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm
bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap “Takfiir”,
sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar A’laamin
Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari
rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak
yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah yang justru
sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang
bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua
umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.
***** akhir kutipan ******
Selain qodhi empat mazhab di atas,
berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah
(W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta
membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah
karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan
As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi)
dengan akal pikirannya sendiri dan beliau selalu berpegang pada nash secara
dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna dzahir
Mereka adalah para ulama dari empat
madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al
Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di
Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak
pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri
dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al
Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam
ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al
Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al
Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di
Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala
Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab
Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah
berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir
dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al
Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan
mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn
‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah
di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara
(berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din
as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:
– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala
Ibn Taimiyah
– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al
Anam
– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi
ath-Thalaq al Mu’allaq
– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi
Masa-il alAyman wa ath-Thalaq
– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah
ath-Thalaq.
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al
Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil
asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al
‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al
‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi
Shallallahu ‘alayhi wasallam.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al
Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi
al Hanbali (W 762 H).
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al
Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan
Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah
fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn
az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan
menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al
Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn
Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam
empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim
al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa
Rajm al Mu’tadi.
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali
al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi
Masalahath-Thalaq.
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi
Masalah az-Ziyarah.
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn
Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn
Taimiyah..
18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din
Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
19. Surat keputusan resmi yang
dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia
semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya : – Bayan
Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W
745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad
al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771
H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W
764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al
Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al Mukhtarah Fi ar-Radd
‘Ala Munkir az-Ziyarah.
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri
al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir
az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan
Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743
H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani
al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn
Taimiyah.
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad,
yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H) dalam : Bayan Musykil al
Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W
852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi A’yan al Mi-ah
ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al
Isyarah Bi Thuruq Hadits az-Ziyarah
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W
826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli
Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H)
dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al
Imam Ahmad.
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika,
Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din
al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu
36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki
(W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam
Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal
denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul an-Nashir fi Raddi
Khabath ‘Ali ibn Nashir.
39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al
Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968 H), beliau mencela
Ibnu Taimiyah.
40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H)
dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
41. Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W
980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah Manaqib ash- Shalihin.
42. Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W 974
H)dalam karya-karyanya; – Al Fatawi al Haditsiyyah – Al Jawhar al Munazhzham fi
Ziyarah al Qabr alMu’azhzham – Hasyiyah al Idhah fi Manasik al Hajj
Dan lain lain
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
●●●●●●●●●●●
Beberapa artikel lamurkha (abu husein)
yang menyanggah berbagai tuduhan negatif diatas, terkait
●Konferensi "Dhirar"
Chechnya".
●Fitnah Pengkafiran.
●Tanduk setan, Najd, Muhammad bin Abdul
Wahhab, Siapakah Yang Menjadi Agen Inggris Hempher dan
lain-lain.
●Ibnu Taimiyah Rahimakumullah
●Syaikh Al-Albani.
●Sifat Allah.
●Salafi (Ahlus Sunnah “wahabi”).
●Maulid Nabi.
●Tuduhan Habib Rizieq Shihab.
●Syiah.
●Dan lain-lain.
Keluar Dari Aswaja (Oleh Zon Jonggol,
Mutiara Zuhud). Silahkan Review Dengan Artikel Dilamurkha. Apakah Merujuk Pada
Dalil Yang Shahih Dan Sharih ?
[bahasan lengkap terkait :
Bantahan Ilmiyyah (Dengan Dalil Shahih
Dan Sharih) Komprehensif Untuk Habib Rizeq Terkait Tuduhan Tajsim Dan Mujasimah
Serta Trilogi Tauhid Kepada Salafi. Silahkan Kaji Dengan Jujur (Tanpa Vested
Interested) Dan Bawa Keranah MUI. Demi Allah, Al-Haq Sangat Terang Benderang.
Ustadz Abdul Somad, Lc, MA : Hukum
Peringatan Maulid. Juga Pendapat Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) dan Ustadz Drs.
Idrus Ramli (NU Garis Lurus). Bandingkan Dengan Paparan Artikel Komprehensif
(Pro-Kontra) dilamurkha.
Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat
Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi. Sampai
Akhir Abad Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk
Pendapat Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah.
Ucapan Bathil Ust.Abdul Somad, Lc,MA
At-Tahriri Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Sangat
Tendensius. Silahkan Bantah Beberapa Artikel Dibawah Secara Tertulis Dan Ilmiyah(No
Youtube).
Kebencian Ust.Abdul Somad, Lc,MA
At-Tahriri Kepada Syaikh Al-Albani Sangat Tendensius. Silahkan Bantah Beberapa
Artikel Dibawah Secara Tertulis dan Ilmiyah(No YouTube).
●●●●●●●●●●●
●●●●●●●●●●●
10
Tanggapan
Fulan pada
12 Juni 2017 pada 4:19 pm
Keempat madzab tidak mengenal akidah
asyariah dan maturidiyah. Muhammad bin Abdul Wahab bermanhaj Salaf yg byk
menggunakan pendapat ulama salaf bukan membuat aliran sendiri. Wahabi adalah
label yg diberikan oleh yg tdk senang dakwahnya spt syiah, sufi, ahli bidah,
penjajah inggris belanda
Mutiara
zuhud pada 13 Juni 2017 pada 12:21 am
Tentulah ke empat imam mazhab belum
memperkenalkan aqidah Ays’ariyah dan Maturidiyah karena yang meletakkan
dasarnya adalah para imam yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni Imam
Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi)
Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah
ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang wajib disembah
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari
Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin
adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah
diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin
makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir
beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20
sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya
disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya
diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah yang merupakan hasil istiqro
(telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang
bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Selain itu aqidatul Khomsin yang
menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai
batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat
Allah.
Abu husein
pada 23 Juni 2017 pada 11:05 am
Jawaban mutiara Zuhud ngelantur. Ditanya
apa jawab apa.
Kaya kacau berfikirnya.afwan
Mutiarazuhud
pada 24 Juni 2017 pada 9:10 pm
Apa yang ngelantur ?
Si penanya mengatakan bahwa Keempat
madzab tidak mengenal akidah asyariah dan maturidiyah
Lalu kami sampaikan bahwa Tentulah ke
empat imam mazhab belum memperkenalkan aqidah Ays’ariyah dan Maturidiyah karena
yang meletakkan dasarnya adalah para imam yang mengikuti Imam Mazhab yang empat
yakni Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam
Hanafi)
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20
sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal
Allah.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya
disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya
diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah yang merupakan hasil istiqro
(telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang
bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Selain itu aqidatul Khomsin yang
menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai
batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat
Allah.
Sedangkan ulama panutan mereka yakni
ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab mengangakt kembali
pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat setelah dia wafat lebih dari 350
tahun.
Paham Wahabisme yakni ajaran atau
pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab yang dibiayai
dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi terjerumus mengikuti pemahaman
Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat, salah satunya karena Ibnu Taimiyyah
mengatakan bahwa apa yang disampaikannya adalah mazhab salaf sebagaimana
kutipan fatwanya dari http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada
salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak
ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya
bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf
itu pasti benar [Majmu Fatawa 4/149]
***** akhir kutipan *****
Istilah mazhab (manhaj) Salaf adalah
keliru karena penisbatan nama mazhab kepada nama perorangan bukan pada suatu
kelompok atau nama generasi.
Penisbatan nama mazhab adalah kepada
fuqaha (ahli fiqih) atau ahli istidlal yang telah meraih kompetensi sebagai
Mujtahid Mutlak atau Mufti Mustaqil
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan
Al-Buthi dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami
yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaskan
bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaimana
yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah
salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“.
Hal yang perlu kita ingat bahwa nama para
Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in tercantum pada hadits, pada umumnya sebagai
perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad dan istinbat mereka.
Para perawi sekedar mengulangi kembali
apa yang diucapkan oleh Rasulullah.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah
mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia
menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya-
kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa
ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan
terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits
ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu
Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang
ada perawi yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits
yang dihafal dan disampaikannya.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah
al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab
salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum
dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih
tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena
mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan
meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah
seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui.
Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan
pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha
meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit
menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam)
Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas dapat
kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang menyusun ilmu dan meletakkan
prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang akan diikut umat
Islam sampai akhir zaman.
Jadi mereka yang merasa atau mengaku
mengikuti pemahaman Salaf (Salafush Sholeh) namun tidak hidup pada zaman salaf,
pada kenyataannya mereka mengikuti pemahaman ulama panutan mereka seperti Al
Albani di balik perpustakaan alias mendalami ilmu agama secara otodidak
(shahafi) sebagaimana contoh informasi pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani
terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi
jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat
belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa
menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada
apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat
tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu
salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12,
Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin
mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku
yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi
laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya
keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari
rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan.
***** akhir kutipan *****
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Abu
Ihsan Al-Atsary, berjudul “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany Dalam
Kenangan” pada halaman 147 tercantum bahwa ulama panutan mereka, Albani
dijuluki sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” sebagaiamana yang dapat
dibaca pada http://drive.google.com/file/d/0Bz1Iv5iVVJceODQzZTQ1ZWQtYzRhMC00MDMyLWIxODctNGZjMjU1MDAxNWY5/view?ddrp=1&hl=en
Begitupula ulama panutan mereka lainnya,
Muhammad bin Abdul Wahhab, pada awalnya berguru pada guru yang mumpuni namun
pada akhirnya beliau lebih banyak mendalami ilmu agama secara otodidak
(shahafi) meneladani dan meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sehingga disebut
“duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah” sebagaimana contoh informasi dari kalangan
mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam
mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami
benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama
besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu
yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu
Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya
Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan
duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan
oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode
otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam
mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar
yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang
bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Dari keterangan di atas dapat kita
ketahui bahwa Albani , “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maupun Muhammad
bin Abdul Wahhab , “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” meneruskan kebid’ahan
dan meneladani Ibnu Taimiyyah. seorang ulama yang mendalami ilmu agama secara
otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang
serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh
berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Jadi pada kenyataannya aqidah pengikut
paham Wahabisme mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat
sehingga tanpa disadari mereka meneladani Ibnu Taimiyyah dan sekaligus
meneruskan kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yakni mereka selalu berpegang pada nash
secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang
telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/08/19/salah-ulama-panutan/
Sebelum wafat, Ibnu Taimiyyah masih
sempat bertaubat di depan Qodhi empat mazhab yakni para fuqaha, para ulama yang
paling faqih di suatu negara dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah
berdasarkan mazhab yang empat.
Semoga Allah Ta”ala menerima taubat
beliau.
Begitupula dengan Adz Dzahabi masih
sempat bertaubat dan menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada gurunya
sendiri yakni Ibn Taimiyah yang ketika itu belum bertaubat. Hal ini sekaligus
sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri.
Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua
berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan
sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela
ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya
sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim
al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut
Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang
tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan
akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206
H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi salah satu pokok permasalahan yang
timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti pemahaman seorang ulama
sebelum bertaubat.
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum
bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al
‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para
pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu
penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman
Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh
Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan
pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah
liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman
pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis
penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain
seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan,
Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang
tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan
atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu
Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian
diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan
tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan Wahabi bersikap
Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang
cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak
sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah
bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada
sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang
dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada
akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728
H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng
Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri
Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi
Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin
Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar
Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin
As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس
بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan
Ijma’ Ulama dan Umara.”
Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm
bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap “Takfiir”,
sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab “Siyar A’laamin
Nubalaa” juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy’ari
rhm.
Namun, sayangnya Wahabi saat ini banyak
yang tetap berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah yang justru
sebenarnya sudah diinsyafinya. Bahkan banyak kalangan Wahabi saat ini yang
bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua
umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka.
***** akhir kutipan ******
Tanggapan (2) terhadap tulisan Habib Muhammad Rizieq Shihab : syiah-vs-wahabi
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah karena beliau mengutip pendapat ulama terdahulu maupun memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dan beliau selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman beliau selalu dengan makna dzahir
Mereka adalah para ulama dari empat
madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al
Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di
Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak
pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri
dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al
Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam
ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al
Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al
Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di
Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala
Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab
Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah
berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir
dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al
Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan
mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn
‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah
di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara
(berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din
as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:
– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala
Ibn Taimiyah
– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al
Anam
– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi
ath-Thalaq al Mu’allaq
– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi
Masa-il alAyman wa ath-Thalaq
– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah
ath-Thalaq.
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al
Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil
asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al
‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al
‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi
Shallallahu ‘alayhi wasallam.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al
Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi
al Hanbali (W 762 H).
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al
Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan
Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah
fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn
az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan
menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al
Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn
Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam
empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim
al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa
Rajm al Mu’tadi.
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali
al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi
Masalahath-Thalaq.
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi
Masalah az-Ziyarah.
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn
Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn
Taimiyah..
18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din
Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
19. Surat keputusan resmi yang
dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia
semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya : – Bayan
Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W
745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad
al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771
H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W
764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al
Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al Mukhtarah Fi ar-Radd
‘Ala Munkir az-Ziyarah.
26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri
al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir
az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan
Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.
27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743
H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq
28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani
al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn
Taimiyah.
29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad,
yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H) dalam : Bayan Musykil al
Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.
30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W
852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi A’yan al Mi-ah
ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al
Isyarah Bi Thuruq Hadits az-Ziyarah
31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W
826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-ilah al Makkiyyah.
32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli
Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah
33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H)
dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al
Imam Ahmad.
34. Pimpinan para ulama seluruh Afrika,
Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).
35. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad-Din
al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W867 H) dalam risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu
36. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki
(W899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.
37. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam
Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.
38. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal
denganIbnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul an-Nashir fi Raddi
Khabath ‘Ali ibn Nashir.
39. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al
Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968 H), beliau mencela
Ibnu Taimiyah.
40. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H)
dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.
41. Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W
980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin WaKhulashah Manaqib ash- Shalihin.
42. Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W 974
H)dalam karya-karyanya; – Al Fatawi al Haditsiyyah – Al Jawhar al Munazhzham fi
Ziyarah al Qabr alMu’azhzham – Hasyiyah al Idhah fi Manasik al Hajj
Dan lain lain
Abu
husein pada 25 Juni 2017 pada 8:24 pm
Jawabannya masih ngelantur… ngga jelas.
Ustadz jelaskan dan paparkan saja paragraf dibawah ini…ngga usah mabok
wahabi…..kejauhan.. pusing bacanya.afwan.barokallah fiik
Lalu kami sampaikan bahwa Tentulah ke
empat imam mazhab belum memperkenalkan aqidah Ays’ariyah dan Maturidiyah karena
yang meletakkan dasarnya adalah para imam yang mengikuti Imam Mazhab yang empat
yakni Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam
Hanafi)
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20
sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal
Allah. Bahas ini saja yang detail, mana dalilnya ? Apakah Imam 4 Mazhab
mengajari ini ?
20 sifat wajib bagi Allah yang merupakan
hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh ( ??????) yang mengikuti Imam
mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah ???? Mana
sumbernya ?
Supaya kita memahami.
mutiarazuhud
pada 25 Juni 2017 pada 11:31 pm
Ini contoh penjelasannya dari ulama cucu
Imam Nawawi al Bantani https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Abu
Husein pada 26 Juni 2017 pada 7:49 pm
Penyimpangan Asy’ariyyah Maturidiyyah:
Dalam masalah asma wa sifat
Asy’ariyah memiliki kebid’ahan dengan
menetapkan sifat ma’ani tujuh sifat saja. Dasar mereka dalam menetapkannya
adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak bermakna seperti makna
yang ditetapkan Ahlus Sunnah.
Kemudian ditambah oleh seorang tokoh
mereka yakni as-Sanusi menjadi dua puluh. Mereka mengingkari sifat-sifat
lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak menetapkan
satu pun sifat fi’liyah bagi Allah l (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha,
marah, dan lainnya).
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan
semua nama Allah l dan sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah tanpa tahrif, takwil (penyelewengan), dan tamtsil (penyerupaan
dengan makhluk).
Kedua mazhab ini memiliki sekian
penyimpangan dalam bab akidah dan iman terkhusus dalam Bab Keimanan kepada
nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla.
Hanya menetapkan beberapa nama dan sifat
bagi Allah ‘azza wa jalla adapun sifat yang lain ditakwil dan dita’thil atau
dinafikan (ditiadakan).
Asy’ariyyah hanya menetapkan 7 sifat bagi
Allah ‘azza wa jalla sementara al-Maturidiyyah menetapkan 20 sifat, adapun
selain sifat 7 atau sifat 20 ditakwil maknanya.
Seperti sifat istiwa, rahmah, marah, ridho
dan lainnya dari sifat-sifat yang telah Allah ‘azza wa jalla tetapkan bagi
diri-Nya dan telah ditetapkan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk
Allah ‘azza wa jalla.
Dan sebagian sifat-sifat Allah ‘azza wa
jalla yang dinafikan (ditiadakan) seperti sifat Dzatiyah Khobariyyah yaitu
sifat dzat Allah ‘azza wa jalla yang ditetapkan berdasarkan khabar dari Allah
‘azza wa jalla dan rasul-Nya shalallahu alaihi wa sallam.
Contohnya:
Penetapan sifat Wajah, Tangan, Tumit,
Mata dan yang lainnya bagi Allah ‘azza wa jalla.
Hal ini jelas bertentangan dengan akidah
Ahlussunnah wal jama’ah yang diyakini para Sahabat, Tabi’in dan Atba’ut
Tabi’in. Dan para imam empat mazhab setelah mereka.
Yaitu menetapkan semua sifat yang Allah ‘azza
wa jalla tetapkan bagi diri-Nya dalam alquran. Dan ditetapkan rasulullah bagi
Allah ‘azza wa jalla dalam haditsnya, tanpa melakukan tahrif (penyelewengan
makna), ta’thil (meniadakan), tamsil (menyamakan) dan takyif (menentukan bentuk
sifat Allah).
Berkata imam Syafi’i rahimahullah:
آمنت بالله وبما جاء عن الله على مراد الله وآمنت
برسول الله وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله
“Aku beriman kepada Allah dan yang datang
dari Allah sesuai keinginan Allah dan aku beriman kepada rasulullah dan yang datang
dari rasulullah sesuai keinginan rasulullah”
(ar-Risalah al-Madinah hal.121).
Lengkapnya Silahkan anda baca disini :
mutiarazuhud
pada 27 Juni 2017 pada 1:23 pm
Astaghfirullah mas Abu Husein, bagi kami
umat Islam boleh mentakwilkan dengan ilmu balaghah seperti makna majaz karena
Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Memang salah satu ciri khas para pengikut
paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni
dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu
berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna
dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al
Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al
Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan
bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya
dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat
dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam
al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi
al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa
sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu
dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks
tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil
dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna
dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai
makhluk karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan
sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami
ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk
orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il
bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah
dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah
mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu
dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka
manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka
ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari
98)
abu
husein pada 29 Juni 2017 pada 3:49 am
Abu Hasan Al-Asy’ari pada awal
kehidupannya menganut faham Mu’tazilah kemudian berlepas diri. Setelah itu
menganut faham Kullabiyah.
Masa inilah beliau menetapkan sebagian
sifat (yang tujuh dan menta’wil sifat yang lain).
Akhirnya beliau Ruju’ (kembali) kepada
faham salaf, membelanya dan berpendapat sesuai pendapat salaf beliau mengambil
dari pada ahlu hadits pendapat ahlussunnah wal jama’ah, lalu mengarang kitab Al
Ibanah dan meyakini apa yang ditulisnya.
Inilah yang dikehendaki oleh Allah. Kitab
Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para
ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang
menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.
(lihat bahasan ini dari hal 1 – 55)
PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR
SIFAT– SIFAT ALLAH
Berikut ini akan dikemukakan perkataan
imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An
Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al
Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah hal 17–19, beliau
berkata;
“Apabila seseorang bertanya: “kamu
mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qodariyyah, Jahmiyyah, Harruriyyah, Rofidhoh
dan Murji’ah, maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyakinanmu yang
mengaku beribadah kepada Allah dengannya!
Jawablah:
“Pendapat dan keyakinan kami yang kami
pegangi adalah perpegang teguh dengan kitab rabb kita azza wajalla, sunnah Nabi
kita dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, Tabi’in dan para ahlul
hadits. Kami berpegang teguh dengannya.
Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan
oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya,
meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang
menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang
mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan
kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas
bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang,
dan kegamangan orang yang ragu–ragu. Semoga Allah merohmatinya’.
Ringkas perkataan kami adalah kami
beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa
yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para
ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun,
sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi
kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan
anak dan istri, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya
dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya.
Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan
membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti
firman-nya. الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ
اسْتَوَاى (Thoha ayat 5) Allah mempunyai dua tangan,
tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: خَلَقْتُ
بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya: بَلْ
يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ (QS. Al Maidah: 64) Allah
mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14), siapa
yang menyangka bahwa nama–nama Allah bukanlah Allah maka dia telah sesat, Allah
mempunyai ilmu, firmanya (QS. An Nisa 166) firmannya:وَمَاتَحْمِلُ
مِنْ أُنْثَى وَلاَتَضْعُ إِلاَّ بِعِلْمِهِ tidak ada seorang
perempuan –perempuan mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan
sepengetahuan-Nya. (QS. Al Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan
melihat, kita tidak menafikanya seperti dilakukan oleh Mu’tazilah, Jahmiyah dan
Khowarij, kita juga menetapkan bahwa Allah mempunyai Quwwah (kekuatan), seperti
firman-Nya :أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ
الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدّ مِنْهُمْ قُوَّةً (QS. Fushilat: 15), kita
katakan bahwa kalam Allah bukan makhluk, Allah tidak menciptakan sesuatupun
kecuali akan mengatakan jadilah! Seperti firmannya إِنَّمَا
قَوْلُنَا لِشَىءٍ إِذَاأَرِدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ (QS. An Nahl: 40)
Tidak ada satu kebaikan atau kejelekan pun di bumi ini kecuali telah
dikehendaki oleh Allah, sebab sesuatu itu terjadi karena kehendak-Nya azza
wajalla seseorang tidak mampu berbuat suatu perbuatanpun sebelum Allah
menentukannya dan dia pasti butuh kepada Allah, tidak ada seorangpun yang mampu
keluar dari ilmu Allah azza wa jalla sesungguhnya tidak ada pencipta kecuali
Allah, amal perbuatan hamba itu diciptakan dan ditentukan oleh Allah, seperti
firmannya: وَ اللهُ خَلَقَكُمْ
وَمَاتَُعْمَلُوْنَ (Qs.Ash Shofat: 96)
seorang hamba tidak mampu menciptakan sesuatupun, bahwa mereka diciptakan,
seperti firman-Nya: هَلْ مِنْ
خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ (QS. Fathir: 3) لاَيَخْلُقُوْنَ
شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُوْنَ (QS An Nahl: 20) أَفَمَنْ
يَخْلُقُ كَمَنْ لاَيَخْلُقُ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ (Qs. An Nahl; 17) أَمْ
خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَىءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ (QS At Thur: 35)
dan masih banyak lagi ayat yang lain dalam kitab Allah.”
Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah
hikayat Sekumpulan perkatan ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297 beliau
berkata seperti yang tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada akhir Bab
beliau berkata:
“Inilah sekumpulan perkataan yang
diperintahkan, dilaksanakan oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami
berkata dan berpendapat sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka.
Tidak ada yang memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang
mencukupi kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta
pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!”
Dari dua kitab tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa beliau menetapkan:
Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang
termaktuf dalam kitab-nya dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai
kegungan Allah ta’ala, seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai
dua tangan, dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan
bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu,
pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah berbicara dan
al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit dunia.
Allah akan dilihat pada hari kiamat
dengan jelas tanpa pengahalng.
Allah akan datang (sifat mamji’) pada
hari kiamat sedangkan malaikat berbaris )
Tidak hanya itu dalam kitab lainnya
Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau menetapkan adanya ijma’ (kesepakatan) salaf
dalam masalah aqidah khususnya asma dan sifat yaitu;
Salaf bersepakat menetapkan sifat
mendengar, melihat, dua tangan, sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah
adalah kanan.
Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul
(Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan
Allah pada hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada di
atas arsy.
Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan
melihat Allah pada hari kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225)
Kemudian beliau menyebutkan beberap ijma’
lainnya, lalu menutup dengan ijma’ yang menyeluruh sebagai kaidah terpenting
bagi salaf, katanya:
“para salaf telah bersepakat untuk
menetapkan sifat–sifat bagi Allah sebagaimana Allah telah mensifati diri-Nya
dengan sifat tersebut dan pensifatan oleh Nabi-Nya tanpa pemalingan dan tanpa
ditakyif, iman kepada sifat–sifat tersebut adalah wajib, demikian pula tidak
bolehnya takhif juga wajib” (hal 224)
Semakin jelas kiranya bahwa akidah imam
Abu Hasan Al-Asy’ari dalam masalah asma’ dan sifat berdasarkan:
Kitab Allah ta’ala yaitu al Qur’an dimana
Allah menetapkan di dalamnya sifat–sifat bagi diri-nya
Hadits – hadits Rasululah yang shohih
yang menetapkan sifat
Perkatan salaf dan para imam hadits.
Karena aqidah mereka adalah aqidah yang selamat dan motode mereka adalah lurus,
yang menetapkan sifat-sifat yang baik bagi Allah, tanpa ditakyif, tanpa tamsil,
tanpa tahrif, tanpa ta’thil, panutan dalam masalah ini adalah imam Ahmad bin
Hambal
Berbeda dengan apa yng diyakini oleh
sementara orang yang mengaku mengikuti beliau, dikenal dengan nama Asya’iroh,
ternyata yang mereka klaim itu tidak benar sama sekali, sehingga terlihat nyata
perbedaan antara imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Asy’iroh, dimana beliau
menetapkan semua sifat bagi Allah yang tertera dalam al Qur’an sedangkan
Asya’iroh hanya menetapkan dua puluh sifat saja, uraian ini sebenarnya sudah
cukup membuktikan kesalahan mereka dan sebagai bantahan kepada mereka, karena
beliau telah ruju’ (berlepas diri) dari faham Mu’tazilah dan faham Kullabiyah.
Membuktikan bahwa faham tadi itu salah dan sesat, selain itu mereka telah
berbuat lancang dzolim kepada imam Abu Hasan Al-Asy’ari, jika mereka mengaku
ittiba’ kepada beliau seharusnya juga bertaubat dari keyakinan mereka dan ruju’
kepada faham salaf, ahlussunnah wal jama’ah yang hakiki, Allahu a’lam.
(Penyusun: Abu Syamiel A)
Sumber : http://abangdani.wordpress.com/2012/03/31/mengenal-al-imam-abul-hasan-al-asyariy-dan-asyariyyah/
abu
husein pada 29 Juni 2017 pada 4:01 am
Satu dari sekian aliran kalamiyah yang
masih eksis saat ini ialah Maturidiyah. Sebuah golongan yang berafiliasi pada
firqah kalamiyyah.
Nama kelompok ini dinisbatkan kepada nama
pendirinya, yaitu Abu Manshur Al Maturidi. Nama lengkapnya Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud Al Maturidi As Samarqandi. Maturid adalah daerah dekat
dengan Samarqand. Tidak diketahui dengan pasti tahun kelahirannya, juga
guru-guru yang sempat ia singgahi majlisnya.
ADA TIGA TAHAPAN YANG DILALUI FIRQAH INI
Tahapan pertama, tahapan pendirian
(ta`sis) dengan tokohnya Abu Manshur al Maturidi. Dia sempat menulis beberapa
kitab. Yang paling terkenal ialah Kitabut Tauhid.
Dalam kitab ini, ia menetapkan aqidah
tauhid melalui teori-teori ilmu kalam (baca: filsafat). Yang ia maksud dengan
tauhid adalah tauhid rububiyyah, tauhid khaliqiyyah, dan sedikit tentang asma
wa shifat. Hanya saja, manhaj yang ia pegangi adalah manhaj Jahmiyyah.
Sehingga, ada sekian banyak sifat yang ia mentahkan dengan dalih ingin
menghindarkan diri dari tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhlukNya.
Tahapan Kedua, tahapan pembentukan
(takwin). Yaitu ditandai dengan tersebarnya paham ini di Samarqand melalui
tulisan-tulisan yang disisipkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Hanafi.
Sehingga aqidah Maturidiyah ini menjadi diterima dan dominan di tengah masyarakat.
Tokohnya yang terkenal pada saat itu ialah Abul Qasim al Hakim.
Tahapan berikutnya merupakan perpanjangan
dari fase sebelumnya, dengan tokohnya yaitu Abul Yusr Muhammad bin Muhammad bin
al Husain bin ‘Abdil Karim (421-493 H). Dia mendapatkan tempaan ilmu filsafat
dari sang ayah yang merupakan murid Abu Manshur al Maturidi. Disamping itu, ia
banyak menelaah buku-buku karya al Kindi, al Juba-i, an Nazhzham dan lainnya.
Buku-buku karya tokoh-tokoh ini sarat dengan ajaran filsafat.
Tahapan berikutnya, yaitu fase penulisan
dan pembukuan aqidah Maturidiyyah (500-700 H). Tahapan ini banyak dipenuhi
dengan penulisan karya tulis yang berisi berbagai dalil untuk memberikan
justifikasi atas aqidah Maturidiyyah. Panutan dalam marhalah ini adalah
Najmuddin an Nasafi. Seratus kitab telah ia tulis. Ia adalah penulis kitab
Aqidah an Nasfiyyah, sebuah kitab ringkasan yang merangkum aqidah Maturidiyah.
Tokoh Maturidiyah yang terkenal pada abad
ini ialah Muhammad bin Zahid al Kautsari al Maturidi. Ia sangat mendiskreditkan
para imam kaum muslimin dan mencerca mereka yang tidak sehaluan dengan aqidah
Maturidiyah. Kitab-kitab tauhid, seperti al Ibanah, asy Syariah, al ‘Uluw, Asma
wa Shifat karya al Baihaqi, dan kitab-kitab aqidah karya ulama Ahli Sunnah
dianggap sebagai kitab-kitab watsaniyyah (paganisme), tajsim dan tasybih.
Padahal, tak syak lagi, aliran Maturidiyah justru dipenuhi dengan bid’ah yang
mewarnai ajarannya. Misalnya, mereka mengagungkan kuburan dan penghuninya
dengan dalih bertawasul.
SEBAGIAN PEMIKIRAN DAN AQIDAH MATURIDIYAH
Ditinjau dari aspek masdar talaqqi
(sumber pengambilan ilmu), Maturidiyah membagi ushuluddin menjadi dua.
Pertama. Ilahiyyat (‘aqliyyat), yaitu
perkara-perkara yang mampu ditetapkan oleh daya nalar dengan sendirinya.
Sementara dalil naqli hanya berperan sebagai kekuatan sekunder. Dimensi ini
mencakup dimensi tauhid dan sifat-sifat Allah. Kedua. Syar’iyyat (sam’iyyat),
yaitu perkara-perkara yang akal tidak mempunyai akses untuk menentukannya,
misalnya siksa kubur, peristiwa-peristiwa di akherat kelak.
Dengan ini, perbedaan Maturidiyah dengan
manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah sangat signifikan. Al Quran, As Sunnah dan Ijma’
para sahabat merupakan sumber hukum bagi Ahli Sunnah.
Sebagai aliran yang kental nuansa
filsafatnya, mereka mengatakan bahwa bahasa Arab, al Qur`an dan hadits
mengandung kata-kata yang berbentuk majaz (kiasan). Berdasarkan pandangan
seperti ini, kemudian mereka mentakwil nash-nash tentang sifat Allah, dengan
argumentasi ingin menghindarkan diri dari tajsim (pembendaan) terhadap Allah.
Maturidiyah hanya menetapkan delapan
sifat saja bagi Allah Ta’ala, dengan versi yang berbeda-beda, yaitu : al hayah
(hidup), qudrah (kekuasaan), al ilmu, iradah (kehendak), as sam’u (mendengar),
al basharu (melihat), al kalam (berbicara) dan at takwin (pembentukan).
Menurut mereka, seluruh sifat yang
muta’adiyyah (tindakan-tindakan) kembali kepada sifat at takwin. Sedangkan
sifat-sifat khabariyah (berita tentang dzat Allah), tidak termasuk yang bisa
dijangkau oleh akal, sehingga perlu ditiadakan.
Iman hanya sekedar pembenaran hati saja.
Iman tidak dapat naik ataupun turun. Dalam hal ini, Abu Manshur al Maturidi
menghimpun lebih dari satu bid’ah. Dia menjadi seorang Murji’ah dalam masalah
iman, dan sebagai seorang mu’aththil dalam bab sifat-sifat Allah. Dia juga
terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Kullab, meskipun ia sendiri belum pernah
berjumpa dengan Ibnu Kullab.
Sebagai penutup, kami nukil pernyataan
Ibnu Abil ‘Izz dalam kitab Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, yang berbunyi: “Setiap
orang yang berbicara dengan logika, perasaan dan akal pikirannya -padahal ia
berhadapan dengan nash- atau ia mempertentangkan nash dengan logika, (maka)
sejatinya ia menyerupai iblis, yang enggan berserah diri kepada Rabbnya.
Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala
tentangnya:
قَالَ مَامَنَعَكَ أَلاَّتَسْجُدَ إِذْأَمَرْتُكَ
قَالَ أَنَاخَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“Allah berfirman: “Apakah yang
menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab
iblis: “Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedangkan
dia, Engkau ciptakan dari tanah”. [al A’raf : 12]
Diringkas dari :
– Al Mausu’ah al Muyassarah fil Adyani
wal Madzahibi wal Ahzabi al Mu’ashirah, Darun Nadwah Al ‘Alamiyyah, Cet. III,
Th. 1418 H.
– Ta`ammulat wa Nazharati fi Ba’dhi al
Madzahibi wal Firaqi al Mu’ashirah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumayyis,
Maktabah Ash Shahabah, Imarat Sharjah, Cet. I, Th. 1998M/1419H.
Oleh : Ustadz Muhammad
Ashim Musthofa
mutiarazuhud
pada 30 Juni 2017 pada 2:28 am
Astaghfirullah, mas Abu Husein sudah
disampaikan dalam tulisan di atas bahwa salah satu hal yang membuat orang-orang
terjerumus mengikuti aqidah Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah adalah
syubhat, propaganda atau fitnah yang mengatakan bahwa Imam Abu al-Hassan
al-Asy`ari telah bertaubat dua kali alias melalui tiga fase pemikiran
Apakah benar tuduhan mereka bahwa Imam
Abu Hasan al-Asy’ari melalui tiga fase pemikiran dan fase terakhir adalah Imam
Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke
metodologi Salaf serupa yang dipahami oleh ulama Najed dari bani Tamim,
Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah ?
Contoh jawabannya dapat ditemukan
pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-imam-abu-hasan-al-asyari-melalui-3-fase-pemikiran/
Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun berkata:
“Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari dan berdebat dengan
sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia
membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan mengikut pendapat Abdullah bin
Said bin Kullab, Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari
kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah”. (Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah,
Dar al-Fikr, Beirut, ed. Khalil Syahadah, hal. 853)
Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun
tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar
daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa`id bin
Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf alias
Ahlussunnah wal Jama`ah.
Salah satu contoh pemalsuan kitab Al
Ibanah adalah menghilangkan kalimat
بلا كيف ولا استقرار
( lihat gambar pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/02/contoh-perbedaan-al-ibanah.jpg )
Contoh-contoh perbedaan kitab Al Ibanah
lainnya dapat diketahui pada http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/04/pemalsuan-kitab-al-ibanah-imam-abu-hasan-al-asyariy/
Paham Wahabisme adalah ajaran berdasarkan
pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhamnad bin Abdul Wahhab yang
mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang dibiayai dan
disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi
dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar
of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin
Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of
Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Berikut contoh kutipan catatan kaki
(footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255 sebagaimana termuat
dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja
Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia.
***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****
Kutipan di atas dapat pula dilihat secara
online pada http://www.quranonline.net/ebooks-quran/ebook-quran-indonesian-translation.html
Begitupula dalam perkara aqidah contoh
kesalahpahaman ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah dalam memahami Al Qur’an
dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya
selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video
yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=XWR57GnZu3w
Pada menit 14:49 Beliau berpendapat
bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya Allah di
singgasana”.
Contoh lainnya salah satu ulama panutan
bagi para pengikut Wahabisme membuat tulisan berdasarkan pemahamannya terhadap
hadits shahih yang dibacanya dan oleh karena pemahamannya keliru sehingga
mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.
Mereka bertuhan kepada sesuatu yang
bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu berpegang pada nash
secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Silahkan periksa tulisan salah satu ulama
panutan mereka yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan
Jelas sekali bahwa apa yang mereka
sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) melainkan
aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka sendiri
terhadap dalil yang mereka baca.
Dengan mereka mengatakan bahwa pemahaman
atau aqidah yang mereka sampaikan adalah pemahaman atau aqidah para Sahabat
(Salafush Sholeh) maka termasuk fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Di sisi yang lain ada yang mengatakan
bahwa kedua tangan Allah adalah kanan dan kiri.
Berikut kutipan beberapa kesimpulan
mereka akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka
selalu dengan makna dzahir .
***** awal kutipan *****
– Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan!
– Allah Ta’ala mempunyai lima jari!
– Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga!
– Allah Ta’ala memiliki kaki!
– Allah Ta’ala memiliki betis!
– Allah Ta’ala memiliki pantat!
– Allah Ta’ala mempunyai pinggang!
– Allah Ta’ala mempunyai wajah!
– Seseorang yang berada di dataran tinggi, maka dia akan lebih dekat dengan Allah Ta’ala ketimbang mereka yang berada di dataran rendah!
***** akhir kutipan ******
– Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan!
– Allah Ta’ala mempunyai lima jari!
– Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga!
– Allah Ta’ala memiliki kaki!
– Allah Ta’ala memiliki betis!
– Allah Ta’ala memiliki pantat!
– Allah Ta’ala mempunyai pinggang!
– Allah Ta’ala mempunyai wajah!
– Seseorang yang berada di dataran tinggi, maka dia akan lebih dekat dengan Allah Ta’ala ketimbang mereka yang berada di dataran rendah!
***** akhir kutipan ******
Dalil dari kesimpulan mereka di atas
dapat dibaca dalam tulisan mereka yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
Salah satu contoh dalil yang mereka
pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata,
“Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang
dapat memperkirakan ukurannya.”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi
terkait riwayat tersebut,
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah
bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil
sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang
yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat
yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat
duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak
diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy
Nya. Tidak lebih dari itu.
Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa
Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman) akibat memahami selalu dengan
makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam)
senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah)
meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak
kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya,
lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan
Muslim, no: 2848)
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita
berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak
diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan
berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan
al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya
kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan)
oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah
pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam
sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/
Pada kenyataannya mereka mengikuti
orang-orang yang semula bermazhab Hambali yang kemudian menjadi imam atau guru
besar kaum musyabbihah karena mereka selalu berpegang pada Al Qur’an dan As
Sunnah secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin
Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau
ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan
banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad
bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la
al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab
Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa
“Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air
laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin
Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam
usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan
tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam
al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi
al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat
kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk menjelaskan
kesalahpahaman tiga ulama tersebut.
Contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Sementara tentang kepala mereka berkata:
“Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”,
Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat
menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya
secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”.
Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan
berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat
Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam
menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang
dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk
itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan
teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh
dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau
melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini,
mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga
mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
****** akhir kutipan *****
Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa
mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja
bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat
perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar namun terlarang
mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua
tangan dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat
mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Begitupula Rasulullah melarang kita untuk
menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah disampaikan
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/30/bertanya-tanpa-berpikir/
Rasulullah bersabda, ” Berfikirlah
tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang
Dzat Allah“.
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa
mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota
badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata :
“Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali
menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya:
“Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat
ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab
: “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka
mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-Nya
dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim
Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Mereka yang mengingkari Allah dan
hukumnya ‘aashin yakni berbuat durhaka kepada Allah akibat mereka memahami apa
yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna
dzahir.
Berikut kutipan tulisan syaikh Al-Akhthal
dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin”
sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang
menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti
jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah
Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Akibat mereka memahami apa yang telah
Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir
sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya terjerumus
bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam
riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah
dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah,
berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu
jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan
sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah
berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya
“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az
Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa
“Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau
terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum
yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman
Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah
mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67)
adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Memang salah satu ciri khas para pengikut
paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni
dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu
berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna
dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al
Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al
Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan
bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena
menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk
menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan
pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
Ibn al Jawzimenjelaskan bahwa
sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu
dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks
tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna
kiasan).
Jadi tuntutan atau kebutuhan takwil
dengan ilmu balaghah atau memalingkan makna sebuah lafazh ayat dari makna
dzahir ke makna yang lain yang lebih sesuai seperti makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) timbul dalam rangka tanzih yakni mensucikan Allah dari menyerupai
makhluk karena jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan
sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Oleh karenanya mereka yang memahami
ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk
orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu
sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il
bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah
dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah
mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu
dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka
manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka
ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari
98)
●●●●●●●●●●●
Artikel lain terkait Al Asy’ariyyah
Apakah Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu
Sunnah?
https://almanhaj.or.id/3011-apakah-al-asyariyyah-termasuk-ahlu-sunnah.html
https://almanhaj.or.id/3011-apakah-al-asyariyyah-termasuk-ahlu-sunnah.html
Aqidah Asy’ariyah
Aqidah Imam Empat
https://almanhaj.or.id/3104-aqidah-imam-empat.html
https://almanhaj.or.id/3104-aqidah-imam-empat.html
Abul-Hasan Al-Asy’ariy Bertaubat ke
‘Aqidah Asy’ariyyah atau Salafiyyah ?
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy,
Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an
Ushuulid-Diyaanah
'Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah dalam Sifat Allah
ta'ala
Bermadzhab
Syafi’i, Berakidah Asy’ari
Ciri-ciri Aqidah dan Karakteristik Pengikut
Ahlussunnah Wal Jama’ah
Hanya
Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla
Hakikat
Yang Terlupakan Dari Imam Asy-Syafi'i Dan Kesamaan Aqidah Imam Empat
Imam Syafi’i : Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi dan
Biografi Singkat Imam Ahmad bin Hanbal
Kata Pak Habib, Ahlus Sunnah itu adalah
Asy ‘ariyyah?? lucu sekali ya pak habib ini..
Kejinya Syi’ah ( Majusi), Menuduh Asya’irah
('Asyariyah) Kafir, Musyrik, Majusinya Umat Ini, Lebih Hina Dan Rendah Dalam
Memaknai Sifat Dan Asma Allah SWT.
Kesesatan dan penyimpangan asy’ariyah
Kesesatan Abul Hasan Al asy`ari - imam
tauhid ahli bid`ah
Madzhab asy’ariyah ahlu sunnahkah?
Menyingkap kerancuan paham nu asy’ariyah
pengingkar sifat allah (1)
Menyingkap kerancuan paham nu asy’ariyah
pengingkar sifat allah (2)
Menyingkap kerancuan paham nu asy’ariyah
pengingkar sifat allah (3)
Menyingkap kerancuan paham nu asy’ariyah
pengingkar sifat allah (4)
Mengenal Madzab Asy’ari dan Akidah Ahlus
Sunnah
Mereka Membenci Kitab “Al-Ibanah” Karya
Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 1 dari 2 Tulisan)
Mereka Membenci Kitab “al-Ibanah” Karya
Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 2 dari 2 Tulisan)
(Bagian
1) Mengimani Sifat-sifat Allah : Bingung Tentang (Keberadaan) Rabbnya ?
(Bagian 2) Mengimani Sifat-sifat Allah :
Isu tentang tajsim dan mujasimah
(Bagian 3) Mengimani Sifat-sifat Allah :
Isu Tentang Tasybih dan Musyabihah
(Bagian 4) Mengimani Sifat-sifat Allah :
'Aqidah Ulama Besar Ahlus Sunnah, 'Aqidah Jahmiyah dan 'Aqidah
"oknum" Aswaja
(Bagian
5) Mengimani Sifat-sifat Allah : " Keberadaan Allah" Menurut Ustadz
KH Muhammad Idrus Ramli (Intelektual Aswaja)
(Bagian
6) Mengimani Sifat-sifat Allah : " Mengimani bahwa kalamullah itu berhuruf
dan bersuara " "
Menangkis Fitnah K.H Sirajuddin Abbas
al-Jahmiyyah
Ke Atas Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah
Rahimahullah
Sebagai Pencetus Akidah Al-Mujassimah dan
Al-Musyabbihah.
Membongkar Kebohongan Terhadap Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah [Studi Kritis Buku ‘…Itiqad Ahlu Sunnah Wal-Jamaah” Oleh KH
Sirajuddin Abbas]
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/03/membongkar-kebohongan-terhadap-syaikhul.htmlPaham Asy’ariyyah adalah Cucu Paham Jahmiyyah ?
Pemikiran kalam Abu Hasan Al-Asy’ari
Pembagian Tauhid Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah
Sebagian ‘Aqidah Para Imam Ahli Hadits
Sejarah dan Pemikiran Golongan Asy'Ariyah
(Ahlu sunnah wal jamaah)
http://www.kompasiana.com/muksalmina.mta/sejarah-dan-pemikiran-golongan-asy-ariyah-ahlu-sunnah-wal-jamaah_551b62b9a333118d20b65e60
http://www.kompasiana.com/muksalmina.mta/sejarah-dan-pemikiran-golongan-asy-ariyah-ahlu-sunnah-wal-jamaah_551b62b9a333118d20b65e60
Siapakah Yang Mengikuti Aqidah Imam Abu
Hasan Al Asy'ari?
Tauhid Dibagi
menjadi 3 (tiga) Bagian, Mana dalilnya? Bid'ahkah ? Sesatkah ? ( Bagian 1 )
Tauhid
Dibagi menjadi 3 (tiga) Bagian, Mana dalilnya? Bid'ahkah ? Sesatkah ? ( Bagian
2 )
Tauhid Itu
Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga? [Dalil-dalil & Alasan
Pembagian Tauhid, Asal-Usul Pembagian Tauhid, Akibat Tidak Mau Membagi Tauhid
Menjadi 3]
Ulama Syafi’iyah Antara Salafi Dan
Asy’ari
●●●●●●●●●●●