Tuesday, October 2, 2018

‘Aisyah Ra Adalah Istri Nabi Shallallaahu ‘’Alaihi Wa Sallam Di Dunia Dan Di Akhirat, Yang Diberkahi Dan Al-Ifkul Akbar. Ali Ra Dan Fathimah Ra Mencintai ‘Aaisyah Ra.

Kemuliaan dan Keutamaan Aisyah

‘Aisyah, Wanita Yang Diberkahi Dan Al-Ifkul Akbar
Faathimah Mencintai ‘Aaisyah...... Anda ?
Keluarga Nabi Dalam Pandangan Al-Qur’an Dan As Sunnah.
Biografi 'Aisyah Ibunda Kaum Muslimin
Keturunan Ali bin Abi Thalib radhiAllahu 'anhu Banyak Bernama “ 'Aisyah (Radhiyallahu 'anha) “, Kenapa Sekarang Menghujatnya/Menghindari Nama Aisyah ?
Membantah Syi’ah: Masalah Celaan Mereka terhadap Aisyah
Meruntuhkan Doktrin Syiah Perihal Pengkafiran Abu Bakar dan Aisyah ra
Syaikhul Azhar Sayyid Dr. Muhammad Thanthawi (Dan Lainnya) : Penghina Istri Dan Sahabat Nabi Keluar dari Islam
Terlaknatlah Anda Wahai Para Pencela Sahabat
Lihatlah Fatimah Mencintai Aisyah, Tapi Syiah Yang Katanya Membela Fatimah kok malah mencela Aisyah?
Grand Syaikh Al-Azhar (Bidang Hadith Dan Tafsir) : Menghina Sahabat Nabi Bukan Islam. Ulama Al-Azhar Menolak Syiah. Dewan Ulama Senior Saudi (Imam Masjid Al-Haram) : Yang Menghina Istri Dan Sahabat Nabi (Ulama Madzhab Syi'ah) Kafir. Syiah Kafir Tanpa Keraguan.
Hassan Shehata Syiah (Laknatullah) Syahid (??!) Caci Aisyah
[Siapa akan menyusul "hasan syahatah"] mengapa pencaci sahabat dan istri rasul itu dibunuh !!!
Syahadat Non Islam Sekte Syi’ah (Ayat Al Quran tentang ummul mukminin Aisyah RA)
Masukan Untuk Menteri Agama (2), Hukum Mencaci Istri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Masukan Untuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin Terkait Risalah Amman
Takfiri Syiah ( ABI ) Jadi Bunglon Di Kantor Deputi VI Kemenko Polhukam, Dengan Memutar Balikan Dan Menyembunyikan Kejahatan Takfirinya Terhadap Al-Qur'an, Istri Dan Sahabat Nabi Serta Ahlus Sunnah !

‘Aisyah adalah Istri Nabi shallallaahu ‘’alaihi wa sallam di Dunia dan di Akhirat

Telah berkata Al-Imaam At-Tirmidziy rahimahullah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ الْمَكِّيِّ عَنْ ابْنِ أَبِي حُسَيْنٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ جِبْرِيلَ جَاءَ بِصُورَتِهَا فِي خِرْقَةِ حَرِيرٍ خَضْرَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ زَوْجَتُكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaq, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Alqamah Al-Makkiy, dari Ibnu Abi Husain, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari ‘Aaisyah : “Bahwasannya Jibriil datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersama gambar Aisyah dalam secarik kain sutera hijau, lalu berkata : ‘Sesungguhnya ini adalah isterimu di dunia dan akhirat’” [Jaami’ At-Tirmidziy no. 3880, At-Tirmidziy berkata : “Hadits ini hasan ghariib, kami tidak mengetahuinya selain dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Alqamah”].
Hadits ini shahih.[1]
Ada penguat lain, yaitu :
أخبرنا بن خزيمة حدثنا سعيد بن يحيى الأموي حدثني أبي حدثني أبو العنبس سعيد بن كثير عن أبيه قال حدثنا عائشة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر فاطمة قالت فتكلمت انا فقال أما ترضين ان تكونى زوجتى في الدنيا والآخرة قلت بلى والله قال فأنت زوجتى في الدنيا والآخرة
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Khuzaimah : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Yahyaa Al-Umawiy : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Abul-‘Anbas Sa’iid bin Katsiir, dari ayahnya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan Faathimah. ‘Aaisyah berkata : “Maka, akupun protes kepada beliau”. Beliau kemudian bersabda : “Apakah engkau tidak ridla menjadi istriku di dunia dan di akhirat”. Aku berkata : “Tentu, demi Allah”. Beliau bersabda : “Engkau adalah istriku di dunia dan di akhirat” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 7095].
Hadits ini shahih lighairihi.[2]
‘Ammaar bin Yasiir pun mengakui bahwasannya ‘Aaisyah adalah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat, dan Al-Hasan bin ‘Aliy pun men-taqrir-nya radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ قَالَ لَمَّا بَعَثَ عَلِيٌّ عَمَّارًا وَالْحَسَنَ إِلَى الْكُوفَةِ لِيَسْتَنْفِرَهُمْ خَطَبَ عَمَّارٌ فَقَالَ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّهَا زَوْجَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَكِنَّ اللَّهَ ابْتَلَاكُمْ لِتَتَّبِعُوهُ أَوْ إِيَّاهَا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami Ghundar : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Hakam : Aku mendengar Abu Waail berkata : Ketika 'Aliy mengutus 'Ammaar dan Al-Hasan ke Kuufah untuk mengerahkan mereka berjihad, 'Ammaar berkhutbah : "Sungguh aku mengetahui bahwa ia (‘Aaisyah) adalah istri beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Akan tetapi sekarang Allah menguji kalian apakah akan mentaati-Nya (yaitu tidak keluar ketaatan dari ‘Aliy dan melawannya) atau mengikutinya ('Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa dalam melawan ‘Aliy)" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3772. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 7100 & 7101, Ahmad 4/265, Al-Bazzaar dalam Al-Musnad no. 1408-1409, Al-Baihaqiy 8/174, dan yang lainnya].
Lihatlah keadilan ‘Ammaar. Ia tetap mengakui keutamaan ‘Aaisyah sebagai istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat meskipun posisinya saat itu berseberangan dengannya[3]. Ia jauh dari celaan sebagaimana celaan orang-orang Syi’ah. Begitu pula Al-Hasan bin ‘Aliy yang men-taqrir (menyetujui) apa yang dikatakan ‘Ammaar.
Mungkin orang Syi’ah akan berkelit bahwa Al-Hasan tidak ada di hadir di tempat itu dan belum tentu ia men-taqrir apa yang dikatakan ‘Ammaar. Sungguh kerdil logika mereka !. ‘Ammaar dan Al-Hasan adalah dua orang yang diutus secara khusus oleh ‘Aliy bin Abi Thaalib dalam mengatasi pasukan Jamaal. Sesampainya di Kuufah, ‘Ammaar berkhutbah di depan khalayak. Tentu saja apa yang dikatakannya itu didengar banyak orang, baik rombongannya maupun orang-orang Kuufah. Tidak terkecuali Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Riwayat berikut adalah pemutusnya :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا أَبُو حَصِينٍ حَدَّثَنَا أَبُو مَرْيَمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ الْأَسَدِيُّ قَالَ لَمَّا سَارَ طَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَعَائِشَةُ إِلَى الْبَصْرَةِ بَعَثَ عَلِيٌّ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ وَحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ فَقَدِمَا عَلَيْنَا الْكُوفَةَ فَصَعِدَا الْمِنْبَرَ فَكَانَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ فَوْقَ الْمِنْبَرِ فِي أَعْلَاهُ وَقَامَ عَمَّارٌ أَسْفَلَ مِنْ الْحَسَنِ فَاجْتَمَعْنَا إِلَيْهِ فَسَمِعْتُ عَمَّارًا يَقُولُ إِنَّ عَائِشَةَ قَدْ سَارَتْ إِلَى الْبَصْرَةِ وَ وَاللَّهِ إِنَّهَا لَزَوْجَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَكِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ابْتَلَاكُمْ لِيَعْلَمَ إِيَّاهُ تُطِيعُونَ أَمْ هِيَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad : Telah menceriakan kepada kami Yahyaa bin Aadam : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy : Telah menceritakan kepada kami Abu Hushain : Telah menceritakan kepada kami Abu Maryam ‘Abdullah bin Ziyaad Al-Asadiy, ia berkata : Tatkala Thalhah, Az-Zubair, dan 'Aaisyah berangkat ke Bashrah, Aliy mengutus 'Ammaar bin Yaasir dan Hasan bin Aliy mendatangi kami di Kuufah. Lalu keduanya naik minbar. Ketika itu Al-Hasan bin ‘Aliy di atas mimbar di tangga paling atas, sedangkan ‘Ammaar berdiri di bawah Al-Hasan. Kami berkumpul di sekelilingnya, dan aku mendengar 'Ammaar berkata : 'Aaisyah sedang berangkat ke Bashrah. Demi Allah, ia adalah isteri Nabi kalian shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akherat. Namun Allah tabaaraka wa ta’ala menguji kalian agar Dia mengetahui, apakah kalian taat kepada-Nya atau kepada Aisyah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7100].
Seandainya Al-Hasan tidak sependapat yang dikatakan ‘Ammaar, tentu ia akan segera menyanggah. Kedudukannya tidaklah lebih rendah daripada ‘Ammaar. Ia putra seorang khalifah. Apalagi situasi saat itu sangat mendukung, dimana ‘Aaisyah merupakan pihak kontra yang hendak dilawan. Seruan mereka berdua (‘Ammaar dan Al-Hasan) adalah seruan untuk membela ‘Aliy bin Abi Thaalib melawan pasukan Jamal (yang padanya terdapat Ummul-Mukminiin ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa). Dalam kaedah pun dikatakan : ta’khiirul-bayaan fil-waqtil-haajah, la yajuuz (mengakhirkan penjelasan pada waktu dibutuhkan adalah tidak diperbolehkan). Apa yang menghalangi Al-Hasan bin ‘Aliy tidak mengingkari perkataan ‘Ammaar bin Yaasir seandainya perkataannya itu salah ? Memuji orang yang telah jelas kefasikannya atau tidak mengkafirkan orang yang sudah jelas kekafirannya adalah perbuatan yang keliru. Takut ? Tidak pernah sekalipun terbersit di hati hal itu terhadap Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa.
Jika orang Syi’ah mengeluarkan senjata pamungkasnya, yaitu : taqiyyah, I have no comment bout this…
Dan perlu diketahui oleh rekan-rekan sekalian, ‘Ammaar bin Yaasir bahkan mencela orang yang mencela ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa. Perhatikan riwayat berikut :
حدثنا يحيى بن آدم قثنا إسرائيل عن أبي إسحاق عن عريب بن حميد قال رأى عمار يوم الجمل جماعة فقال ما هذا فقالوا رجل يسب عائشة ويقع فيها قال فمشى إليه عمار فقال اسكت مقبوحا منبوحا اتقع في حبيبة رسول الله إنها لزوجته في الجنة
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Aadam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari ‘Uraib bin Humaid, ia berkata : ‘Ammaar pada peperangan Jamal pernah melihat sekumpulan orang. Lalu ia berkata : “Apakah ini ?”. Mereka berkata : “Seorang laki-laki yang mencaci dan mencela ‘Aaisyah”. ‘Ammaar pun berjalan menuju orang tersebut dan berkata : “Diamlah engkau dari perkataan yang jelek itu. Apakah engkau mencela seorang yang menjadi kesayangan/kekasih Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam ?. Sesungguhnya ia adalah istri beliau di surga” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 1647].
Riwayat ini shahih li-ghairihi.[4]
Giliran Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa memberi kesaksian :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ ذَكْوَانَ مَوْلَى عَائِشَةَ أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ لِابْنِ عَبَّاسٍ عَلَى عَائِشَةَ وَهِيَ تَمُوتُ وَعِنْدَهَا ابْنُ أَخِيهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَ هَذَا ابْنُ عَبَّاسٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْكِ وَهُوَ مِنْ خَيْرِ بَنِيكِ فَقَالَتْ دَعْنِي مِنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَمِنْ تَزْكِيَتِهِ فَقَالَ لَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ فَقِيهٌ فِي دِينِ اللَّهِ فَأْذَنِي لَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْكِ وَلْيُوَدِّعْكِ قَالَتْ فَأْذَنْ لَهُ إِنْ شِئْتَ قَالَ فَأَذِنَ لَهُ فَدَخَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ سَلَّمَ وَجَلَسَ وَقَالَ أَبْشِرِي يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَكِ وَبَيْنَ أَنْ يَذْهَبَ عَنْكِ كُلُّ أَذًى وَنَصَبٍ أَوْ قَالَ وَصَبٍ وَتَلْقَيْ الْأَحِبَّةَ مُحَمَّدًا وَحِزْبَهُ أَوْ قَالَ أَصْحَابَهُ إِلَّا أَنْ تُفَارِقَ رُوحُكِ جَسَدَكِ فَقَالَتْ وَأَيْضًا فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتِ أَحَبَّ أَزْوَاجِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ يُحِبُّ إِلَّا طَيِّبًا وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَرَاءَتَكِ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتٍ فَلَيْسَ فِي الْأَرْضِ مَسْجِدٌ إِلَّا وَهُوَ يُتْلَى فِيهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَسَقَطَتْ قِلَادَتُكِ بِالْأَبْوَاءِ فَاحْتَبَسَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنْزِلِ وَالنَّاسُ مَعَهُ فِي ابْتِغَائِهَا أَوْ قَالَ فِي طَلَبِهَا حَتَّى أَصْبَحَ الْقَوْمُ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا } الْآيَةَ فَكَانَ فِي ذَلِكَ رُخْصَةٌ لِلنَّاسِ عَامَّةً فِي سَبَبِكِ فَوَاللَّهِ إِنَّكِ لَمُبَارَكَةٌ فَقَالَتْ دَعْنِي يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مِنْ هَذَا فَوَاللَّهِ لَوَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Khutsaim, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Dzakwaan maulaa ‘Aaisyah : Bahwasannya ia (Dzakwaan) memintakan ijin Ibnu ‘Abbaas kepada ‘Aaisyah yang waktu itu sedang sakit menjelang kematiannya dan di sisinya ada anak saudaranya, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman. Dzakwan berkata : "Ini Ibnu ‘Abbaas meminta ijin kepadamu dan ia termasuk putra terbaik kaummu". ‘Aaisyah menjawab : "Bebaskan aku dari Ibnu ‘Abbaas dan tazkiyah-nya". ‘Abdurrahmaan berkata kepada ‘Aaisyah : "Ia adalah Qaari` Kitabullah dan orang yang faqih dalam agama. Ijinkanlah ia mengucapkan salam kepadamu dan menjengukmu". ‘Aaisyah berkata : "Ijinkan ia jika engkau berkenan". ‘Abdurrahmaan pun mengijinkan Ibnu ‘Abbaas masuk, maka Ibnu ‘Abbaas pun masuk, mengucapkan salam dan duduk. Lalu Ibnu ‘Abbaas berkata : "Bergembiralah wahai Ummul-Mukminiin. Demi Allah, tidak ada yang menghalangi antara dirimu dan perginya segala penyakit dan bala', serta pertemuan dengan orang-orang tercinta, Muhammad dan pengikutnya - atau dalam satu riwayat -, para sahabatnya, melainkan ruh yang berpisah dari jasadmu". ‘Aaisyah berkata : "Tambah lagi". Ibnu ‘Abbaas lalu berkata : "Engkau adalah isteri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang paling dicintai, sedangkan beliau tidak mencintai melainkan yang baik. Allah menurunkan ayat yang berisi pembebasan dirimu dari atas langit ketujuh, maka tidak satu pun masjid yang luput dari membaca ayat tersebut di waktu pagi dan petang. Dan ketika kalungmu terjatuh di Abwaa', maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun tertahan bersama para sahabatnya untuk mencari kalung tersebut hingga shubuh mendatangi mereka dalam keadaan tidak mendapatkan air untuk berwudlu, kemudian Allah menurunkan ayat : ‘Maka bertayammumlah dengan tanah yang suci' (QS. Al Maidah : 6), yang mana perkara tayammum ini adalah keringanan untuk umat yang disebabkan olehmu. Maka demi Allah, engkau adalah wanita yang penuh dengan berkah". 'Aaisyah berkata :  "Wahai Ibnu ‘Abbaas, tinggalkan aku dari itu semua. Demi Allah, sungguh aku ingin sekali menjadi orang yang lupa dan dilupakan" [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/349 dan dalam Al-Fadlaail no. 1639].
Riwayat ini shahih.[5]
Oleh karenanya, Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
ولا أعلم في أمه محمد صلى الله عليه وسلم، بل ولا في النساء مطلقا، أمرأة أعلم منها.
وذهب بعض العلماء إلى أنها زوجة نبينا صلى الله عليه وسلم في الدنيا والآخرة، فهل فوق ذلك مفخر
“Aku tidak mengetahui seorang pun di kalangan umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahkan di kalangan wanita secara mutlak, ada wanita yang lebih pandai darinya. Dan sebagian ulama berpendapat bahwa ia merupakan istri Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Apakah ada kebanggan yang melebihi hal itu ?” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 2/140].
Ya benar, tidak ada kebanggaan bagi seorang wanita melebihi kebanggaan mendampingi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat (jannah).
Segala karunia yang Allah ta’ala berikan kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa ternyata tidaklah membuat senang semua pihak. Ada saja pihak-pihak tertentu yang senantiasa sakit kepala membaca riwayat-riwayat ini. Misalnya, Al-‘Ayyaasyiy – salah seorang mufassir Syi’ah – menukil riwayat ‘tandingan’, demi menjatuhkan kedudukan ‘Aaisyah, dari perkataan Ja’far Ash-Shaadiq dengan sanadnya tentang firman Allah ta’ala :
وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali” (QS. An-Nahlo : 92)
ia (Ja’far Ash-Shaadiq) berkata :
التي نقضت غزلها من بعد قوة أنكاثا : عائشة، هي نكثت  إيمانها
“Seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali; adalah ‘Aaisyah, yang tercerai-berai imannya” [Tafsir Al-‘Ayyaasyiy, 2/269. Lihat pula Al-Burhaan oleh Al-Bahraaniy 2/383 dan Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 7/454].
Al-‘Ayyaasy kembali menukil riwayat dusta dengan sanadnya dari Ja’far Ash-Shaadiq tentang firman Allah ta’ala yang menggambarkan neraka :
لَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ
“Jahanam itu mempunyai tujuh pintu” (QS. Al-Hijr : 44)
Ia (Ja’far Ash-Shaadiq) berkata :
يؤتى بجهنم لها سبعة أبواب..... والباب السادس لعسكر.....
“Jahannam didatangkan sedangkan ia mempunyai tujuh buah pintu…… dan pintu keenam adalah untuk ‘pasukan’ (‘askar)….” [Tafsir Al-‘Ayaasyiy 2/243. Lihat juga : Al-Burhaan oleh Al-Bahraaniy 2/345 dan Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 4/378 & 8/220].
‘Pasukan’ (‘askar) dalam perkataan di atas merupakan kinaayah dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhu sebagaimana dikatakan oleh Al-Majlisiy. Maksudnya, ‘Aaisyah adalah orang yang menaiki onta saat peperangan Jamal, sehingga disebut sebagai ‘askar [Bihaarul-Anwaar, 4/378 & 8/220].
Tentu saja ini dusta atas nama Allah ta’ala.
Entek amek kurang golek, tidak cukup berdusta atas nama Allah, mereka perlu membuat kedustaan tambahan atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam[6]. Katanya, dengan sanad sampai dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah bersabda :
لا يبغض عليا أحد من أهلي ولا من أمتي إلا خرج من الإيمان
“Tidak ada seorang pun dari kalangan keluargaku/istriku dan tidak pula dari umatku yang membenci ‘Aliy, kecuali ia telah keluar dari keimanan (= kafir)” [lihat : Al-Ikhtishaash oleh Al-Mufiid, hal. 118].
يا علي حربك حربي
“Wahai ‘Aliy, orang yang memerangimu ekuivalen dengan memerangiku” [Ash-Shiraathul-Mustaqiim oleh Al-Bayaadliy, 3/161].
Lantas mereka (orang-orang Syi’ah) berkata : “Orang yang memerangi Nabi itu kufur” [Ash-Shiraathul-Mustaqiim oleh Al-Bayaadliy, 3/161]. Konsekuensinya, ‘Aaisyah pun kufur karena perselisihannya dengan ‘Aliy.
***
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa adalah istri/wanita yang paling dicintai oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ قَالَ خَالِدٌ الْحَذَّاءُ حَدَّثَنَا عَنْ أَبِي عُثْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السُّلَاسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ فَقُلْتُ مِنْ الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَعَدَّ رِجَالًا
Telah menceritakan kepada kami Ma’laa bin Asad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar, ia berkata : Telah berkata Khaalid Al-Hadzdzaa’ dari Abu ‘Utsmaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutusnya beserta rombongan pasukan Dzatus-Sulaasil. Lalu aku ('Amru) bertanya kepada beliau : "Siapakah manusia yang paling engkau cintai?”. Beliau menjawab : "'Aisyah". Aku kembali bertanya : "Kalau dari kalangan laki-laki?". Beliau menjawab : "Bapaknya (yaitu Abu Bakr)". Aku kembali bertanya : "Kemudian siapa lagi?". Beliau menjawab : "'Umar bin Al-Khaththab". Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa orang laki-laki" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3662].
Oleh karenanya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering memanggilkan dengan kata-kata indah bagi ‘Aisyah yang menunjukkan kedekatan dan kasih-sayang. Di antaranya beliau kadang memanggilnya dengan ‘Aaisy’ :
حدثنا أبو اليمان: أخبرنا شعيب، عن الزُهري قال: حدثني أبو سلمة بن عبد الرحمن، أن عائشة رضي الله عنها زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (يا عائش هذا جبريل يقرئك السلام). قلت: وعليه السلام ورحمة الله، قالت: وهو يرى ما لا نرى.
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abirrahmaan : Bahwasannya ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Yaa ‘Aaisy, ini Jibril mengucapkan salam kepadamu”. Aku (‘Aaisyah) berkata : “Wa’alaihis-salaam warahmatullaah”. ‘Aaisyah berkata : “Jibril itu melihat sesuatu yang tidak kita lihat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6201].
Beliau pun memanggil ‘Aaisyah dengan Humairaa’ (yang kemerah-merahan).
أنا يونس بن عبد الأعلى قال أنا بن وهب قال أخبرني بكر بن مضر عن بن الهاد عن محمد بن إبراهيم عن أبي سلمة بن عبد الرحمن عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : دخل الحبشة المسجد يلعبون فقال لي يا حميراء أتحبين أن تنظري إليهم فقلت نعم فقام بالباب وجئته فوضعت ذقني على عاتقه فأسندت وجهي إلى خده قالت ومن قولهم يومئذ أبا القاسم طيبا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم حسبك فقلت يا رسول الله لا تعجل فقام لي ثم قال حسبك فقلت لا تعجل يا رسول الله قالت ومالي حب النظر إليهم ولكني أحببت أن يبلغ النساء مقامه لي ومكاني منه
Telah memberitakan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah memberitaan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Bakr bin Mudlar, dari Ibnul-Haad, dari Muhammad bin Ibraahiim, dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, dari ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : Orang-orang Habasyah masuk ke masjid dan bermain-main. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : “Wahai Humairaa’, apakah engkau suka melihat mereka ?”. Aku berkata : “Ya”. Lalu beliau berdiri di samping pintu, lalu aku menghampiri beliau dan aku letakan daguku di atas pundak beliau. Lalu akupun menyandarkan wajahku di pipi beliau”. ‘Aaisyah melanjutkan : “Dan yang termasuk perkataan orang-orang Habasyah tersebut adalah : ‘Wahai Abul-Qaasim yang baik’. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Cukupkah engkau (melihatnya)”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, janganlah terburu-buru”. Maka beliau pun kembali berdiri. Setelah itu beliau kembali berkata : “Cukupkah engkau (melihatnya)?”. Aku berkata : “Jangan terburu-buru, wahai Rasulullah”. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik melihat mereka, akan tetapi aku senang memperlihatkan kepada para wanita lainnya tentang kedudukan beliau bagiku, dan juga kedudukanku di hati beliau” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa, 8/181 no. 8902 dan Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 1/268 no. 292].
Hadits ini shahih.[7]
Itu semua merupakan wujud kecintaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.
Kebalikannya, dari kelompok Syi’ah, mari kita simak penuturan Ya’quub bin Sarraaj :
قَالَ لِيَ اذْهَبْ فَغَيِّرِ اسْمَ ابْنَتِكَ الَّتِي سَمَّيْتَهَا أَمْسِ فَإِنَّهُ اسْمٌ يُبْغِضُهُ اللَّهُ وَ كَانَ وُلِدَتْ لِيَ ابْنَةٌ سَمَّيْتُهَا بِالْحُمَيْرَاءِ
“Maka Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) berkata kepadaku : ‘Pergilah dan ganti nama anak perempuanmu yang telah engkau beri nama kemarin, karena ia adalah nama yang membuat Allah murka’. (Ya’qub bin Sarraaj berkata : ) Kemarin aku dikaruniai anak perempuan yang aku namakan Al-Humairaa” [Al-Kaafiy, 1/310].
Bagaimana Allah ta’ala bisa murka dengan sesuatu yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam cinta kepadanya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ridla dengan nama Humairaa’. Telah banyak riwayat yang menyatakan bahwa beliau mengganti nama-nama buruk sebagian shahabat menjadi nama-nama yang baik sesuai syari’at. Dan Humairaa’ adalah salah satu nama/sebutan yang dipilihkan beliau untuk istrinya. Allah tidak murka dengan nama Humairaa’. Justru, Allah ta’ala murka dengan ulah orang-orang Syi’ah yang telah memanipulasi riwayat dengan mengatasnamakan Allah dan Ahlul-Bait.
****
Allah ta’ala telah menyebut istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa salah satu di antaranya - dengan sebutan Ummahatul-Mukminiin (ibunya orang-orang yang beriman) sebagaimana tersebut dalam firman-Nya :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka” [QS. Al-Ahzaab : 6].
Namun tahukah Pembaca Budiman apa yang diucapkan oleh lidah-lidah karatan ulama Syi’ah dalam perkara ini ? Mereka katakan bahwa Ahlus-Sunnah lah yang membuat-buat istilah itu. Telah berkata Ibnul-Muthahhar Al-Hulliy, salah seorang pentolan ulama mereka :
وسموها أمّ المؤمنين، ولم يسموا غيرها بذلك الاسم
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah telah menamakan ‘Aaisyah dengan Ummul-Mukminiin, dan mereka tidak menamakan selain dirinya dengan nama itu” [Minhaajul-Karaamah – bersama Minhaajus-Sunnah 2/198].
Bahkan, mereka menyebut Ummul-Mukminiin ‘Aaisyah radliyalaahu ‘anha sebagai Ummusy-Syuruur (أم الشرور) – ‘biang kejelekan’ sebagaimana diucapkan oleh Al-Bayaadliy dalam kitabnya Ash-Shiraathul-Mustaqiim 3/161.
Semoga Allah ta’ala membalas kekejiannya dengan setimpal.
Itulah Ummul-Mukminiin ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ketinggian derajat dan kedudukannya di mata Islam. Istri yang paling dicintai beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat. Sekaligus sedikit informasi tentang mauqif Syi’ah kepadanya. Tidak memudlaratkan kebencian orang-orang yang membenci dari kalangan Syi’ah Raafidlah. Tidaklah salah jika kita mengambil kesimpulan bahwa Islam di satu sisi dan Syi’ah di sisi lain.
Semoga Allah ta’ala memberikan manfaat dari tulisan kecil ini.
[abu al-jauzaa’-ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].

[1]      Keterangan perawi :
a.     ‘Abdun bin Humaid bin Nashr Al-Kussiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 249 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 634 no. 4294].
b.    ‘Abdurrazzaaq, ia adalah Ibnu Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy (wafat : 211 H); seorang tsiqah, haafidh, penulis terkenal, namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir umurnya [idem, hal. 607 no. 4092]. ‘Abdun bin Humaid di sini mendengar riwayat ‘Abdurrazzaaq sebelum ikhtilath-nya [Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy hal. 92-93 no. 29 beserta komentar muhaqqiq-nya]. Muslim berhujjah dengan riwayat ‘Abdun bin Humaid dari ‘Abdurrazzaaq, sebagaimana dikatakan oleh Al-‘Iraaqiy [Al-Ightibaath biman Rumiya minar-Ruwaat bil-Ikhtilaath, hal. 219].
c.     ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Alqamah Al-Kinaaniy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 530 no. 3526].
d.    Ibnu Abi Husain adalah ‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain Al-Qurasyiy An-Naufaliy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 719 no. 4939].
e.    Ibnu Abi Mulaikah, ia adalah ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Abi Mulaikah; seorang yang tsiqah lagi faqiih (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 719 no. 4939].
Sanad hadits ini shahih.
‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim; sebagaimana diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 1237, dan darinya Ibnu Hibbaan meriwayatkan dalam Shahih-nya no. 7094.
‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim Al-Qaariy, Abu ‘Utsmaan Al-Makkiy; seorang yang shaduuq (w. 132 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 526 no. 3489].
At-Tirmidziy berkata :
وَقَدْ رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مُرْسَلًا وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ عَائِشَةَ وَقَدْ رَوَى أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِنْ هَذَا
“Hadits ini telah diriwayatkan oleh ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Alqamah dengan sanad ini secara mursal, tanpa menyebut padanya ‘Aaisyah. Dan Abu Usaamah juga telah meriwayatkan dari Hisyaam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai sesuatu dari hadits ini” [Al-Jaami’, 6/181].
Diriwayatkannya hadits ini dari jalur Ibnu Mahdiy secara mursal tidaklah membuat hadits ini cacat, sebab sanad bersambung lebih kuat daripada yang mursal. Bahkan, sanad mursal ini menjadi penguat dari sanad hadits maushul ini.
[2]      Keterangan perawi :
a.     Ibnu Khuzaimah, seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Lihat biografinya dalam artikel : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/biografi-ibnu-khuzaimah.html.
b.    Sa’iid bin Yahyaa bin Sa’iid bin Abaan Al-Umawiy; seorang yang tsiqah, namun kadang melakukan kekeliruan (w. 249 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 390 no. 2428]. Kekeliruan yang disifatkan padanya tidak memudlaratkan riwayatnya, karena hanya sedikit.
c.     Yahyaa bin Sa’iid bin Abaan bin Sa’iid bin Al-‘Aash Al-Umawiy, Abu Ayyuub Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq yughrib (w. 194 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1055 no. 7604]. Namun perkataan yang lebih benar tentang dirinya, ia seorang yang tsiqah, sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabiy [Al-Kaasyif, 2/366 no. 6172]. Telah di-tsiqah-kan oleh sejumlah ulama seperti : Ibnu Ma’iin, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Ammaar, Ad-Daaruquthniy, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, dan Ibnu Sa’id.
d.    Sa’iid bin Katsiir bin ‘Ubaid Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abul-‘Anbas Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 386 no. 2394].
e.    Katsiir bin ‘Ubaid Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu Sa’iid Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq hasanul-hadiits [Tahriirut-Taqriib, 3/194 no. 5619].
Sanad hadits ini hasan, dan ia menjadi shahih (lighairihi) dengan penguat hadits sebelumnya.
[4]      Keterangan perawi :
a.     Yahyaa bin Aadam bin Sulaimaan Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu Zakariyyaa Al-Kuufiy; seorang tsiqah, haafidh, lagi mempunyai keutamaan (w. 203 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1047-1048 no. 7546].
b.    Israaiil, ia adalah Ibnu Yuunus bin Abi Ishaaq As-Sabii’iy Al-Hamdaaniy; seorang yang tsiqah (w. 160 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 134 no. 405].
c.     Abu Ishaaq, ia adalah As-Sabii’iy, ‘Amru bin ‘Abdillah bin ‘Ubaid Al-Hamdaaniy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, banyak haditsnya, ‘aabid, namun bercampur hapalannya di akhir umurnya (w. 129 dalam usia 96 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 739 no. 5100]. Israail mendengar hadits dari Abu Ishaaq di akhir umurnya [Al-Ightibaath, hal. 278-279].
d.    ‘Ariib bin Humaid, Abu ‘Ammaar Al-Hamdaaniy Ad-Duhniy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 675 no. 4605].
Riwayat di atas juga dibawakan oleh Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 3/186 dan Ibnu Sa’d 8/65 dari jalan Israaiil bin Yuunus.
Israaiil dalam periwayatan dari Abu Ishaaq mempunyai mutaba’ah dari :
a.     Al-Jarraah bin Maliih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Fadlaail no. 1631 : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ayahnya, dari Abu Ishaaq.
Keterangan perawi :
Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aabid (127/128/129-196/197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1037 no. 7464].
Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Wakii’ Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, sering keliru  (w. 175/176 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 196 no. 916].
b.    Yuunus bin Abi Ishaaq, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/44 : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Iisaa Muusaa bin ‘Aliy Al-Khataliy : Telah menceritakan kepada kami Jaabir bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan Al-Faqiih, dari Yuunus bin Abi Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaaq.
Muhammad bin Al-Hasan adalah seorang perawi yang sangat lemah [lihat Mishbaahul-Ariib, 3/106 no. 23151].
c.     ‘Amru bin Qais dan Sufyaan Ats-Tsauriy, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 23/40 no. 102 dan Al-Haakim no. 5684 : Telah menceritakan kepada kami Asy-Syaikh Abu Bakr bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abaan Al-Waasithiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Syihaab Al-Hanaath : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Qais dan Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Abu Ishaaq.
Abu Bakr bin Ishaaq adalah Al-Haafidh Ibnu Khuzaimah. Ia, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan Sufyaan Ats-Tsauriy adalah orang-orang tsiqaat yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Muhammad bin Abaan bin ‘Imraan As-Sulamiy, Abul-Hasan Al-Waasithiy; seorang yang shaduuq (w. 238 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 819 no. 5724].
Abu Syihaab Al-Hanaath, ia adalah ‘Abdu Rabbih bin Naafi’ Al-Kinaaniy Al-Hanaath; seorang yang shaduuq mendekati tsiqah (w. 171/172). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Tahrriut-Taqriib, 2/304 no. 3790].
d.    Zuhair bin Mu’aawiyyah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d sebagaimana dalam Musnad-nya no. 2629, dan dari jalannya Ath-Thabaraaniy 23/40 no. 103.
Zuhair bin Mu’aawiyyah seorang yang tsiqah lagi tsabat [Taqriibut-Tahdziib, hal. 342 no. 2062].
Riwayat tersebut juga dibawakan oleh :
a.     At-Tirmidziy no. 3888 dari Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan.
Semua perawi yang disebutkan adalah tsiqaat.
b.    Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 22/184 dengan sanadnya sampai Abul-Qaasim Al-Baghawiy : Telah menceritakan kepada kami Basyaar bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Syariik.
Basyaar bin Muusa dan Syariik adalah dua orang perawi lemah.
Keduanya (Sufyaan dan Syariik) dari Abu Ishaaq, dari ‘Amru bin Ghaalib, dari ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu.
‘Amru bin Ghaalib adalah seorang yang tsiqah, telah di-tsiqah-kan oleh An-Nasaa’iy, At-Tirmidziy, dan Ibnu Hibbaan [Tahdziibut-Tahdziib, 8/88].
Semua riwayat di atas sanadnya berporos pada Abu Ishaaq yang meriwayatkan dari ‘Ariib bin Humaid dan ‘Amru bin Ghaalib dengan ‘an’anah. Ia (Abu Ishaaq) sendiri seorang mudallis. Ibnu Hajar meletakkannya pada martabat ketiga [lihat : Thabaqaatul-Mudallisiin no. 91]. Akan tetapi ini perlu di-tahqiq. Yang benar, ia seorang yang sedikit tadlis-nya. Riwayatnya tetap dihukumi bersambung selama tidak ada bukti bahwa ia memang melakukan tadlis terhadap riwayat tersebut. Ada bahasan menarik tentang tadlis Abu Ishaaq As-Sabi’iy ini, silakan baca : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=104306.
Adapun periwayatan para perawi setelah ikhtilath-nya, maka itu ndak ngaruh karena keberadaan beberapa mutaba’aat yang disebutkan di atas.
Kesimpulannya, riwayat ini shahih, sebagaimana dikatakan oleh At-Tirmidziy. Wallaahu a’lam.
Catatan : Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah men-dla’if-kan riwayat ini, sebagaimana tertuang dalam Dla’iif Sunan At-Tirmidziy hal. 445.
[5]      Keterangan perawi :
a.     ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam, telah lalu keterangan tentangnya.
b.    Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 154 dalam usia 58 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
c.     Ibnu Khutsaim, ia adalah ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim. Telah lalu keterangan tentangnya.
d.    Ibnu Abi Mulaikah, telah lalu keterangan tentangnya.
e.    Dzakwaan, Abu ‘Amru Al-Madaniy, maula ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 313 no. 1851].
Sanad hadits ini shahih.
‘Abdurrazzaaq mempunyai mutaba’ah dari Sufyaan bin ‘Uyainah sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/220 tanpa menyebutkan Dzakwaan.
Diriwayatkan pula Al-Haakim 4/8-9 dari ‘Aliy bin Hamsyaadz Al’Adl : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan (bin ‘Uyainah), dari ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, dari Ibnu Abi Mulaikah, tanpa menyebutkan Dzakwaan. Selain tidak menyebutkan Dzakwaan, riwayat Al-Haakim ini juga tidak menyebutkan Ma’mar bin Raasyid antara Sufyaan dan Ibnu Khutsaim.
Ma’mar dalam periwayatan dari Ibnu Khutsaim mempunyai mutaba’aat dari :
a.     Zaaidah bin Qudaamah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/277 dan Ath-Thabaraaniy 10/390-391 no. 10783 dari jalan Mu’aawiyyah bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Zaaidah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Khutsaim.
Mu’aawiyyah bin ‘Amru bin Al-Muhallab adalah tsiqah [idem, hal. 956 no. 6816]. Adapun Zaaidah bin Qudaamah, ia seorang yang tsiqah lagi tsabat [idem, hal. 333 no. 1993].
b.    Zuhair bin Mu’aawiyyah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah hal. 47-48 no. 84 : Telah menceritakan kepada kami An-Nufailiy : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Mu’aawiyyah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim.
An-Nufailiy, ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aliy bin Nufail Al-Qadlaa’iy, Abu Ja’far An-Nufailiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh [idem, hal. 543 no. 3619].
c.     Bisyr bin Al-Mufadldlal; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 2648 : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kam ‘Abdullah bin ‘Utsmaan (bin Khutsaim).
‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Maisarah Al-Qawaaririy adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat [idem, hal. 643 no. 4354]. Bisyr bin Al-Mufadldlal bin Laahiq Ar-Raqqaasiy adalah seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aabid [idem, hal. 171 no. 710].
d.    Yahyaa bin Sulaim; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 7108 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/45 dari jalan Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Janaad Al-Halabiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sulaim, dari ‘Abdulah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim; dengan tanpa menyebutkan Dzakwaan.
Al-Hasan bin Sufyan bin ‘Aamir bin ‘Abdil-‘Aziz An-Nasawiy, seorang yang tsiqah [Mishbaahul-Ariib, 1/336 no. 6988]. Al-Haitsaam bin Jannaad, disebutkan Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat 9/237. Yahyaa bin Sulaim Al-Qurasyiy Ath-Thaaifiy, seorang yang shaduuq, namun jelek hapalannya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1057 no. 7613].
Ibnu Khutsaim dalam periwayatan dari Ibnu Abi Mulaikah juga mempunyai mutaba’aah dari ‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4753; tanpa menyebutkan Dzakwaan.
Atsar ini juga diriwayatkan secara ringkas oleh Ahmad dalam Al-Fadlaail no. 1636 dari jalan Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Abi Ibraahiim, dari ‘Abdullah bin ‘Ubaid : “Ibnu ‘Abbaas meminta ijin kepada ‘Aaisyah (untuk menemuinya/menjenguknya) saat ia sakit yang membawa kepada kematiannya…..dst”.
Haaruun bin Abi Ibraahiim Al-Barbariy, seorang yang tsiqah [Al-Jarh wat-Ta’diil, 9/96-97 no. 399]. ‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair bin Qataadah Al-Laitsiy, seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 524-525 no. 3478].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy secara ringkas no. 3771 dari jalan Muhammad bin Basyaar, dan no. 4754 dari jalan Muhammad bin Al-Mutsannaa; keduanya berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Abdil-Majiid : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Al-Qaasim : “Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas meminta ijin kepada ‘Aaisyah…..dst.”.
[6]      Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat shahih lagi mutawatir bersabda :
من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من النار
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka persiapkan tempat duduknya (kelak) di neraka”.
[7]      Keterangan perawi :
a.     Yuunus bin ‘Abdil-A’laa bin Maisarah bin Hafsh bin Hayyaan Ash-Shadafiy, Abu Muusaa Al-Mishriy; seorang yang tsiqah (170-264 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1098 no. 7964].
b.    ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid (125-197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 556 no. 3718].
c.     Bakr bin Mudlar bin Muhammad bin Hakiim bin Salmaan, Abu Muhammad/Abu ‘Abdil-Malik Al-Mishriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (102-173/174 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 176 no. 759].
d.    Ibnul-Haad, ia adalah Yaziid bin ‘Abdillah bin Usaamah bin Al-Haad Al-Laitsiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, banyak haditsnya (w. 139 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1077 no. 7788].
e.    Muhammad bin Ibraahiim bin Al-Haarits bin Khaalid Al-Qurasyiy At-Taimiy; seorang yang tsiqah (lahu afraad) (w. 120 dalam usia 74 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 819 no. 5727].
f.      Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah banyak haditsnya (w. 94 H dalam usia 72 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1155 no. 8203].
Para perawinya tsiqaat, sanadnya bersambung, dan tidak ada ‘illat sedikitpun.
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 2/444 dan Al-‘Iraaqiy dalam Takhriij Al-Ihyaa’ 1/393.

Kemuliaan Di Balik Biografi Siti 'Aisyah. Ra.

Siti Aisyah atau dikenal juga dengan Aisyah binti Abu Bakar adalah putri Abu Bakar Ashidiq yang juga merupakan istri Nabi Muhammad yang paling muda. Aisyah merupakan sosok wanita yang sangat cerdas dan kaya dengan lautan ilmu. Ia merupakan wanita yang istimewa karena kemahirannya dalam menyampaikan ilmu kepada para sahabat yang lain dan merupakan istri Nabi yang menghafal banyak hadits. Aisyah masuk Islam ketika masih kecil sesudah 18 orang yang lain. Ia merupakan istri Nabi yang sangat dikasihinya. Ia dinikahi pada tahun 2 H saat usianya masih 9 tahun.

Kelahiran

Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama yang mempercayai Rasulullah ketika terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak mempercayainya.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam.”

Ummu Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar. Semasa kecil dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.

Pernikahan yang Penuh Berkah

Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah . Setelah itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’ Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya, ‘Jika ini benar dari Allah, niscaya akan terlaksana.” Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Mekah.

Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya Aisyah . Karena cuaca buruk yang melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan badannya menyusut seperti juga dialami orang-orang Muhajirin. Menyaksikan hal itu, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah penghuninya dan penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dan penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.” Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca berangsur membaik, sehingga hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin. Aisyah pun sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari pernikahan dengan Rasuhillah Shallallahu alaihi wassalam.

Dengan izin Allah menikahlah Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah:
“Aisyab menjawab, Mahar Rasulullah kepada istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)

Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam

Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di hati Rasulullah, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah .”
Di dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka kamu. Kamu telab menyakiti istri kecintaan Rasulullah’.”

Selain itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Keadaan seperti itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri Rasulullah lainnya. Tentang hal itu Aisyah pernah berkata:
“Orang-orang berbondong-bondong memberi hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku (istri Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata, ‘Hai Ummu Salamah, demi Allah, orang-orang berbondong-bondong mernberikan hadiah pada hari giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin rnemperoleh kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu, Rasulullah meminta kaum muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun telah menyatakan keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah berpaling dariiku. Ketika beliau mendatangi aku, akupun kernbali mernperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat hal yang serupa. Ketika aku rnenginatkan beliau untuk yang ketiga kalinya, beliau tetap berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda, ‘Demi Allah, wahyu tidak turun kepadaku selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika aku dalam satu selimut bersama Aisyah.” (HR. Muslim).

Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, ”Demi Allah, dia adalah manusia yang paling beliau cintai setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya!” (Hadits muttafaqirn ‘alaihi)

Di antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zum’ah sangat memahami keutamaan- keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Aisyah.

“Suatu ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu Shafyyah berkata kepada Aisyah, ‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi za’faran dan disiram dengan air agar lebih harum. Setelah itu dia duduk di sebelah Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan Allah kepada dia yang dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk permasalahannya dan Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah. Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga wafatnya. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di pangkuanku.”

Fitnah Terhadapnya

Aisyah pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya, hingga turun ayat Al-Q ur’an yang menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang, Rasulullah mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata undian jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai beliau dalam Perang Bani al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab. Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah beristirahat di sebuah pelataran, Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya, dan kembali. Ternyata, kalung di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dan sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap berangkat, sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup. Setelah kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang dia temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.

Ketika tuduhan itu sarnpai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah keluargamu … yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat, “Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain dia.” Dari perkataan Ali, ada pihak yang memperuncing masalah sehingga terjadilah pertentangan berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bentambah sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat adanya perubahan sikap pada diri Nabi.

Ketika Aisyah sedang duduk-duduk bersarna orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar berita bahwa kau telah begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan penuh penyesalan, niscaya Allah akan mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya Allahlah yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong atas apa yang engkau gambarkan.”

Aisyah sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun kepada beliau. Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah telah menyucikanmu dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur:11)

Demikianlah kemulian yang disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan keagungannya di hati Rasulullah.

Perjalanan Hidup yang Mulia

Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan Aisyah, yang selain memiliki kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan. Dalam hal ini dia pernah berkata,
“Aku tidak pernah melihat pembuat makanan seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi makanan kepada Rasulullah. Tanpa sadar aku pernah memecahkan tempat makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya kepada Rasulullah apa yang dapat dijadikan sebagai tempat yang pecah itu. Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti dengan tempat dan makanan diganti dengan makanan.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pernah berkata:
“Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa cara Halah meminta izin sama dengan cara Khadijah meminta izin, dan beliau merasa senang atas semua itu. Lalu beliau berkata, ‘Ya Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’ Aku berkata, ‘Apa yang engkau sebut itu adalab seorang nenek dari nenek-nenek kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya merah. Dia telah tua renta ditelan masa. Semoga Allah memberi untukmu pengganti yang lebih baik daripada dia.‘ Mendengar itu Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak akan memberikan pengganti yang lebib baik darpada Khadijah. Dia telah beriman kepadaku ketika orang lain mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku. Dia telah mendermakan harta bendanya untuk perjuanganku ketika orang lain menolak memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku dengan putra-putri lewat Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Terdapat beberapa pendirian yang tegas dan pemecahan problema hukum yang penting, baik khusus yang berkaitan dengan wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin secara umum. Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu akan kembali menjadi istrinya jika suaminya membujuk kembali dalam keadaan iddah, sekalipun dia telah menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau menjadi jelas, dan aku tidak akan memberimu nafkah selamanya”. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan. Dia menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu hampir berakhir, dan jika engkau telah suci kembali, aku akan merujukmu kembali. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan masalah yang dihadapinya. Aisyah terdiarn hingga Rasulullah datang. Beliau pun diam tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut hingga turunlah ayat:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelab itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik….” (al-Baqarah: 229)
Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata,
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah selain rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata, “Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini), niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang memasuki tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin Aisyah . Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.

Hadist yang Diriwayatkan Aisyah

Aisyah memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik yang dikaji dari Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang masalah ilmu-ilmu yang dimiliki Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.” Para sahabat sering meminta pendapat jika menemukan masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang keliru diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah perkataan yang diungkapkan oleh Abu Hurairah. Ketika itu Abu Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhi ibnu Abbas bahwa barang siapa yang masih dalam keadaan junub pada terbit fajar, maka dia dilarang berpuasa. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab, “Rasulullah pernah junub (pada waktu fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau meneruskan puasanya.” Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, “Dia lebih mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah lebih banyak berfungsi scbagai sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau, sebagairnana perkataannya ini:
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung dan Rasulullah sebagaimana ungkapannya ini:
“Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60). Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas adalah para peminum khamar dan pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan, putri ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, tetapi takut (amal mereka tidak diterima). Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan, tetapi mendahului (menentukan sendiri) kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Aisyah berkata lagi: “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang firman Allah: ‘Yauma tabdalul-ardhu ghairal-ardha was-samawati. Di manakah manusia berada, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Manusia berada di atas shirath.“ (HR. Muslim)
Aisyah termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sehingga para ahli hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang langsung dia peroleh dan Rasulullah dan menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat pemerintah hingga wafat.

Aisyah dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu Salamah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui bagaimana Al-Qur’an turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain Aisyah.”

Suatu ketika Saad bin Hisyam menemui Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang bagaimana pendapatmu jika aku tetap membujang selarnanya.” Aisyah menjawab, “Janganlah kau lakukan hal itu, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda tentang firman Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul sebelummu, dan Kami telah ciptakan bagi mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh karena itu, janganlah kamu membujang.” Urwah bin Zubeir, salah seorang murid Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata, “Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh aku mengagumimu. Menurutku engkau adalah manusia yang paling banyak mengetahui sesuatu.” Aisyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu berpendapat seperti itu?” Dia menjawab, “Engkau adalah istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan putri Abu Bakar. Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan syair orang-orang Arab.” Dia berkata lagi, “Apa yang menyebabkan engkau dan ayahmu menjadi orang yang paling pandai dariipada seluruh orang Quraisy? Aku sangat mengagumi kepandaianmu tentang ilmu medis. Dari manakah engkau mendapatkan ilmu itu?” Aisyah menjawab, “Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sering sakit, sehingga dokter-dokter Arab dan bukan Arab datang mengobati beliau. Dari merekalah aku belajar.”

Tentang penguasaan bahasa dan sastranya, kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dariipada Aisyah selain Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku telah mendengar khutbah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga saat ini aku belum pernah mendengar satu perkataan pun dari makhluk Tuhan yang lebih berisi dan baik daripada perkataan Aisyah.” Salah satu contoh kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada kuburan ayahnya, Abu Bakar:
“Allah telah mengilaukan wajahmu, dan bersyukur atas kebaikan yang telah engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia karena engkau berpaling darinya. Akan tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena engkau selalu menghadap untuknya. Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah wafat dan musibah terbesar adalah kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan kesabaran dan menggantikan yang baik selainmu. Aku merasakan janji Allah yang telah ditetapkan bagirnu dan ikhlas atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan rahmat Allah.”
Dari Aisyah pun sering keluar kata-kata hikmah yang terkenal, seperti:
“Bagi Allah mutiara takwa. Takkan ada kesembuhan bagi orang yang di dalarn hatinya terbersit kemarahan. Pernikahan adalah perbudakan, maka seseorang hendaklah melihat kepada siapa dia mengabdikan putri kemuliaannya.”

Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di Kamarnya

Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah ini dia melukiskan detik-detik terakhir beliau menjelang wafat:
“Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku, Rasulullab wafat di rurnahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah telah menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang wafat. Abdurrahman menemuiku, di tangannya tergenggam siwak, sementara aku menyandarkan beliau. Aku melihat beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera memahami bahwa beliau menyukai siwak. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku haluskan siwak untukmu?’ beliau memberi isyarat dengan kepala, sepertinya mengisyaratkan ‘ya’. Kemudian beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak, sernentara di tangan beliau ada bejana berisi air. Beliau mernasukkan kedua belab tangan dan mengusapkannya ke wajah seraya berkata, ‘Laa ilaaha illahu… setiap kematian mengalami sekarat (beliau mengangkat tangannya)… pada Allah Yang Maha Tinggi. ‘Beliau menggenggam tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawab.“ (HR. Muttafaq Alaih)

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau meninggal. Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga bulanmu.” Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah.

Setelah Rasulullah Wafat

Setelah Rasulullah wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir Allah, dan selalu berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.” (QS. Al-Ahzab:33)

Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau untuk berziarah ke makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika istri-istri Nabi hendak mengutus Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar untuk menanyakan harta warisan Nabi yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, “Bukankah Rasulullah telah berkata, ‘Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah sedekah.”
Semasa kekhalifahan Abu Bakar, kadar keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan kaum muslimin, karena dengan jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga karena kaum muslimin sedang disibukkan oleh perang Riddah (perang melawan kaum murtad). Setelah dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal dunia. Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya agar menguburkannya di sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya, dan ketika Abu Bakar rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi, kepalanya diletakkan pada sisi pundak Nabi.

Ilmu Aisyah mulai tampak pada masa kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar senantiasa merujuk pendapat Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan- permasalahan yang berkenaan dengan kaum muslimin. Di dalam Thabaqat, dari Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, “Para istri Nabi banyak rnenghafal hadits Nabi, namun hafalan Aisyah dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi. Aisyah adalah penasihat kekhalifahan Umar dan Utsman hingga dia meninggal. Pada waktu itu, Umar sangat memperhatikan keadaan istri-istri Nabi. Tentang hal itu Aisyah berkata, ‘Umar bin Khaththab selalu memperhatikan keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia memiliki tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan kemudian dikirimkan kepada istri-istrii Nabi Shallallahu alaihi wassalam.’ Begitu juga dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat menghormati Utsman karena kedudukannya sangat terhormat di hati Rasulullah. Utsman bin Affan memiliki kedermawanan dan rasa malu yang besar, sehingga Aisyah pernah berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi wassalam. sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika Nabi bertemu dengannya, beliau akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya.’ Ketika Aisyah menanyakan hal itu, beliau menjawab, ‘Aku merasa malu kepada seseorang yang kepadanya malaikat sangat malu.”

Di dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman agar jangan turun dari kekhalifahan jika belum terlaksana dengan sempurna. Beliau bersabda, “Wahai Utsman, sesungguhnya pada suatu hari nanti Allah akan mengangkatmu dalam urusan ini. Jika orang-orang munafik menginginkan agar engkau meninggalkan baju kebesaran yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah engkau melepaskannya.” Beliau mengulang perkataan tersebut tiga kali. Ketika Utsman meninggal di tangan pemberontak, Aisyahlah yang pertama menuntut balas atas kematiannya.

Berkaitan dengan masalah permusuhan Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri yang menetralkan isu tersebut. Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat, dan tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman Rasulullah sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu tidak akan melupakan kegigihan Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali dan Aisyah tentu saja tidak beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas ilmu dan sifat amanah Ali. Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah tentang mengusap khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka Aisyah menjawab, “Datanglah kepada Ali, karena dia selalu bepergian (safar) bersama Rasulullah.”

Setelah Ali wafat, Aisyah senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits dan tafsir ayat Al-Qur’an. Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak terjang Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang banyak bertentangan dengan syariat Islam walaupun Mu’awiyah senantiasa berusaha menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat, Mu’awiyah mengutus seseorang untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya, “Tuliskan untukku, dan jangan terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam sejahtera buatmu. Aku mendengar Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Barang siapa yang mencari keridhaan Allah sementara manusia marah, niscaya Allah cukupkan baginya pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah tersebut kepada manusia. Salam sejahtera untukmu.”

Wafatnya Aisyah

Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’. Kehidupan Aisyah penuh kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Bahkan dia sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk.” Aisyah memiliki kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha, lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah pun senantiasa memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu sedang berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya.”
Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. pernah bersabda, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.”

Di dalam riwayat lain dikatakan, “Aku didatangi oleh seorang ibu yang membawa dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu dariku sedangkan aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kern udian pergi. Setelab itu Rasulullab masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan rnenjadi penghalang baginya dari api neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).

Ada juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan sernuanya. Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu dirham.’ Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu untukmu.”

Aisyah Sang Perawi Hadits

Aisyah juga dikenal sebagai pembawa bendera dalam bidang keilmuan dan pengetahuan di masanya. Seakan-akan dia lampu terang yang menyinari para ahli ilmu dan penuntut ilmu.
Bahkan sahabat Nabi saw datang padanya untuk menanyakan tentang ilmu yang masih sulit dimengerti dan beberapa masalah keilmuan, dia memberikan jawaban yang memuaskan dengan tenang dan teliti. Suatu jawaban yang tidak mudah diberikan kecuali oleh orang yang sudah mencapai tahap keilmuan yang tinggi.
Aisyah juga terhitung salah seorang yang keilmuannya melampaui banyak orang lainnya dalam hal Al-Qur’an, hadits, fiqh, syair, cerita-cerita Arab, hari-hari mereka dan nasab mereka.
Menurut perhitungan, diantara orang-orang yang menghapal hadits dari para sahabat lebih dari seratus tiga puluh orang, lelaki dan perempuan. Dan orang yang paling banyak hapalannya diantara mereka ada tujuh orang; Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Aisyah Ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Aisyah meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Fatimah Zahra, Sa’ad bin Abi Waqash, Hamzah bin Amr Al-Aslami, Judzamah binti Wahab, sekitar 2.210 hadits. Oleh karena itu, Aisyah termasuk salah seorang periwayat hadits yang paling banyak.
Peringkatnya di bawah prestasi Abu Hurairah yang meriwayatkan 5.394 hadits, dan tepat di bawah Abdullah bin Umar bin Khattab yang meriwayatkan 2.638 hadits. Aisyah berada di atas prestasi Ibnu Abbas yang meriwayatkan 1.660 hadits. Setelah itu Jabir bin Abdullah Al-Anshari yang meriwayatkan 1.540 hadits, dan dia berada di atas Abu Sa’id yang meriwayatkan 1.170 hadits.
Dari dulu Aisyah dikenal sebagai orang yang jujur, banyak beribadah, tahajud, dan berpuasa. Aisyah juga dikenal sebagai orang yang pemalu. Ketika dia masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat makam Rasulullah dan Abu Bakar dia tidak perlu memakai hijab.
Dia beralasan karena dua orang tersebut adalah suami dan ayahnya. Namun ketika Umar bin Khattab dikubur di sebelah keduanya, dia tidak lagi membuka hijabnya karena malu kepada Umar bin Khathab.
Aisyah wafat pada 17 Ramadhan tahun 57 H, ada juga yang mengatakan tahun 58 H, di Madinah, dalam usia 66 tahun. Dia menginginkan agar dikuburkan pada malam hari. Orang-orang Anshar berkumpul, dan tiada satu malam yang pernah mereka saksikan sebelumnya dengan lautan manusia yang mengiringi jenazah Aisyah pada malam itu.
Aisyah dikuburkan di Baqi’ dan dishalatkan oleh Abu Hurairah yang menjadi imam. Ada lima orang yang turun ke dalam liang kuburnya; Abdullah dan Urwah (keduanya anak Zubair), Qasim dan Abdullah (keduanya anak Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq), dan Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Kemuliaan dan Keutamaan Aisyah RA


Beliau adalah Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah binti Abu Bakr, Shiddiqah binti Shiddiqul Akbar, istri tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lahir empat tahun setelah diangkatnya Muhammad menjadi seorang Nabi. Ibu beliau bernama Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams bin Kinanah yang meninggal dunia pada waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup yaitu tepatnya pada tahun ke-6 H.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah dua tahun sebelum hijrah melalui sebuah ikatan suci yang mengukuhkan gelar Aisyah menjadi ummul mukminin, tatkala itu Aisyah masih berumur enam tahun. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun rumah tangga dengannya setelah berhijrah, tepatnya pada bulan Syawwal tahun ke-2 Hijriah dan ia sudah berumur sembilan tahun.
Aisyah menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pasca meninggalnya Khadijah sedang aku masih berumur enam tahun, dan aku dipertemukan dengan Beliau tatkala aku berumur sembilan tahun. Para wanita datang kepadaku padahal aku sedang asyik bermain ayunan dan rambutku terurai panjang, lalu mereka menghiasiku dan mempertemukan aku dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Abu Dawud: 9435).
Kemudian biduk rumah tangga itu berlangsung dalam suka dan duka selama 8 tahun 5 bulan, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia pada tahun 11 H. Sedang Aisyah baru berumur 18 tahun.
Aisyah adalah seorang wanita berparas cantik berkulit putih, sebab itulah ia sering dipanggil dengan “Humaira”. Selain cantik, ia juga dikenal sebagai seorang wanita cerdas yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkannya untuk menjaid pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengemban amanah risalah yang akan menjadi penyejuk mata dan pelipur lara bagi diri beliau. Suatu hari Jibril memperlihatkan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) gambar Aisyah pada secarik kain sutra berwarna hijau sembari mengatakan,
“Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.” (HR. At-Tirmidzi (3880), lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3041))
Selain menjadi seorang pendamping setiap yang selalu siap memberi dorongan dan motivasi kepada suami tercinta di tengah beratnya medan dakwah dan permusuhan dari kaumnya, Aisyah juga tampil menjadi seorang penuntut ilmu yang senantiasa belajar dalam madrasah nubuwwah di mana beliau menimba ilmu langsung dari sumbernya. Beliau tercatat termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadits dan memiliki keunggulan dalam berbagai cabang ilmu di antaranya ilmu fikih, kesehatan, dan syair Arab. Setidaknya sebanyak 1.210 hadits yang beliau riwayatkan telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim dan 174 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari serta 54 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Sehingga pembesar para sahabat kibar tatkala mereka mendapatkan permasalahan mereka datang dan merujuk kepada Ibunda Aisyah.
Kedudukan Aisyah di Sisi Rasulullah
Suatu hari orang-orang Habasyah masuk masjid dan menunjukkan atraksi permainan di dalam masjid, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Aisyah, “Wahai Humaira, apakah engkau mau melihat mereka?” Aisyah menjawab, “Iya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di depan pintu, lalu aku datang dan aku letakkan daguku pada pundak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tempelkan wajahku pada pipi beliau.” Lalu ia mengatakan, “Di antara perkataan mereka tatkala itu adalah, ‘Abul Qasim adalah seorang yang baik’.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Ia menjawab: “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah.” Maka beliau pun tetap berdiri. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi lagi pertanyaannya, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Namun, Aisyah tetap menjawab, “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aisyah mengatakan, “Sebenarnya bukan karena aku senang melihat permainan mereka, tetapi aku hanya ingin memperlihatkan kepada para wanita bagaimana kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapku dan kedudukanku terhadapnya.” (HR. An-Nasa’i (5/307), lihat Ash Shahihah (3277))
Canda Nabi kepada Aisyah
Aisyah bercerita, “Suatu waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menemuiku sedang aku tengah bermain-main dengan gadis-gadis kecil.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Apa ini wahai Aisyah.” Lalu aku katakan, “Itu adalah kuda Nabi Sulaiman yang memiliki sayap.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa. (HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat (8/68), lihat Shahih Ibnu Hibban (13/174))
Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlomba lari dengan Aisyah dan Aisyah menang. Aisyah bercerita, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlari dan mendahuluiku (namun aku mengejarnya) hingga aku mendahuluinya. Tetapi, tatkala badanku gemuk, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak lomba lari lagi namun beliau mendahului, kemudian beliau mengatakan, “Wahai Aisyah, ini adalah balasan atas kekalahanku yang dahulu’.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 23/47), lihat Al-Misykah (2.238))
Keutamaan-keutamaan Aisyah
Banyak sekali keutamaan yang dimiliki oleh Ibunda Aisyah, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan dalam sabdanya:
“Orang yang mulia dari kalangan laki-laki banyak, namun yang mulia dari kalangan wanita hanyalah Maryam binti Imron dan Asiyah istri Fir’aun, dan keutamaan Aisyah atas semua wanita sepeerti keutamaan tsarid atas segala makanan.” (HR. Bukhari (5/2067) dan Muslim (2431))
Beberapa kemuliaan itu di antaranya:

Pertama: Beliau adalah satu-satunya istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinikahi tatkala gadis, berbeda dengan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain karena mereka dinikahi tatkala janda.

Aisyah sendiri pernah mengatakan, “Aku telah diberi sembilan perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun setelah Maryam. Jibril telah menunjukkan gambarku tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah untuk menikahiku, beliau menikahiku tatkala aku masih gadis dan tidaklah beliau menikahi seorang gadis kecuali diriku, beliau meninggal dunia sedang kepalanya berada dalam dekapanku serta beliau dikuburkan di rumahku, para malaikat menaungi rumahku, Al-Quran turun sedang aku dan beliau berada dalam satu selimut, aku adalah putri kekasih dan sahabat terdekatnya, pembelaan kesucianku turun dari atas langit, aku dilhairkan dari dua orang tua yang baik, aku dijanjikan dengna ampunan dan rezeki yang mulia.” (Lihat al-Hujjah Fi Bayan Mahajjah (2/398))
Kedua: Beliau adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan wanita.
Suatu ketika Amr bin al-Ash bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” “Dari kalangan laki-laki?” tanya Amr. Beliau menjawab, “Bapaknya.” (HR. Bukhari (3662) dan Muslim (2384))
Maka pantaskah kita membenci apalagi mencela orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!! Mencela Aisyah berarti mencela, menyakiti hati, dan mencoreng kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Na’udzubillah.
Ketiga: Aisyah adalah wanita yang paling alim daripada wanita lainnya.
Berkata az-Zuhri, “Apabila ilmu Aisyah dikumpulkan dengna ilmu seluruh para wanita lain, maka ilmu Aisyah lebih utama.” (Lihat Al-Mustadrak Imam Hakim (4/11))
Berkata Atha’, “Aisyah adalah wanita yang paling faqih dan pendapat-pendapatnya adalah pendapat yang paling membawa kemaslahatan untuk umum.” (Lihat al-Mustadrok Imam Hakim (4/11))
Berkata Ibnu Abdil Barr, “Aisyah adalah satu-satunya wanita di zamannya yang memiliki kelebihan dalam tiga bidang ilmu: ilmu fiqih, ilmu kesehetan, dan ilmu syair.”
Keempat: Para pembesar sahabat apabila menjumpai ketidakpahaman dalam masalah agama, maka mereka datang kepada Aisyah dan menanyakannya hingga Aisyah menyebutkan jawabannya.
Berkata Abu Musa al-Asy’ari, “Tidaklah kami kebingungan tentang suatu hadits lalu kami bertanya kepada Aisyah, kecuali kami mendapatkan jawaban dari sisinya.” (Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3044))
Kelima: Tatkala istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pilihan untuk tetap bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengna kehidupan apa adanya, atau diceraikan dan akan mendapatkan dunia, maka Aisyah adalah orang pertama yang menyatakan tetap bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimanapun kondisi beliau sehingga istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain mengikuti pilihan-pilihannya.
Keenam: Syari’at tayammum disyari’atkan karena sebab beliau, yaitu tatkala manusia mencarikan kalungnya yang hilang di suatu tempat hingga datang waktu Shalat namun mereka tidak menjumpai air hingga disyari’atkanlah tayammum.
Berkata Usaid bin Khudair, “Itu adalah awal keberkahan bagi kalian wahai keluarga Abu Bakr.” (HR. Bukhari (334))
Ketujuh: Aisyah adalah wanita yang dibela kesuciannya dari langit ketujuh.
Prahara tuduhan zina yang dilontarkan orang-orang munafik untuk menjatuhkan martabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat istri beliau telah tumbang dengan turunnya 16 ayat secara berurutan yang akan senantiasa dibaca hingga hari kiamat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mempersaksikan kesucian Aisyah dan menjanjikannya dengan ampunan dan rezeki yang baik.
Namun, karena ketawadhu’annya (kerendahan hatinya), Aisyah mengatakan, “Sesungguhnya perkara yang menimpaku atas diriku itu lebih hina bila sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tetnangku melalui wahyu yang akan senantiasa dibaca.” (HR. Bukhari (4141))
Oleh karenanya, apabila Masruq meriwayatkan hadits dari Aisyah, beliau selalu mengatakan, “Telah bercerita kepadaku Shiddiqoh binti Shiddiq, wanita yang suci dan disucikan.”
Kedelapan: Barang siapa yang menuduh beliau telah berzina maka dia kafir, karena Al-Quran telah turun dan menyucikan dirinya, berbeda dengan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.
Kesembilan: Dengan sebab beliau Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan hukuman cambuk bagi orang yang menuduh wanita muhShanat (yang menjaga diri) berzina, tanpa bukti yang dibenarkan syari’at.
Kesepuluh: Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, Beliau memilih tinggal di rumah Aisyah dan akhirnya Beliau pun meninggal dunia dalam dekapan Aisyah.
Berkata Abu Wafa’ Ibnu Aqil, “Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih untuk tinggal di rumah Aisyah tatkala sakit dan memilih bapaknya (Abu Bakr) untuk menggantikannya mengimami manusia, namun mengapa keutamaan agung semacam ini bisa terlupakan oleh hati orang-orang Rafidhah padahal hampir-hampir saja keutamaan ini tidak luput sampaipun oleh binatang, bagaimana dengan mereka…?!!”
Aisyah meninggal dunia di Madinah malam selasa tanggal 17 Ramadhan 57 H, pada masa pemerintahan Muawiyah, di usianya yang ke 65 tahun, setelah berwasiat untuk dishalati oleh Abu Hurairah dan dikuburkan di pekuburan Baqi pada malam itu juga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai Aisyah dan menempatkan beliau pada kedudukan yang tinggi di sisi Rabb-Nya. Aamiin.
Wallahu A’lam.
Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi 06 Tahun kiadhan 1427 H / Oktober 2006

Mengapa Syiah Membenci Aisyah Istri Dari Rasulullah Saw ?

Sama kita tahu bahwa syi'ah adalah salah satu aliran yang menyimpang dalam Islam yang sebenarnya telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Didalam kitab miliknya Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa Al-Quran yang ada pada saat ini sudah tidak orisinil, kemudian mereka juga banyak mengkafirkan sahabat Rasulullah SAW salah satunya istri beliau yaitu Aisyah RA.

Dalam Hal ini Syi'ah sangat membenci Aisyah RA karena banyak pernyataan-pernyataan dalam kitabnya yang mengatakan bahwa Aisyah RA kafir, pernyataan-pernyataan jelek tersebut dapat dilihat sebagai berikut:


Kitab 'Bihar al Anwar' karangan Muhammad bin Bagir Al Majlisi, memfitnah 'Aisyah RA, istri Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam sebagai seorang perempuan yang (maaf) lemah iman dan lemah akal.

Pendeta Syi'ah bernama Abu Ja'far Al Kulaini adalah 'tukang' tulis banyak kitab pelecehan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam. Kitab 'Hadits al Ifk' merupakan salah satu karangannya yang menghina kedua istri Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam, yaitu 'Aisyah RA dan Hafshah RA, sebagai (maaf) perempuan kafir seperti istri Nabi Nuh AS dan istri Nabi Luth AS.

Muhammad Bagir Al Majlisi, seorang tokoh Syi'ah, dalam 'Haqqul Yaqin' menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia membenci para sahabat nabi, terutama Abu Bakar, Umar, Utsman, Mu'awiyah, 'Aisyah, Hafsah, Hindun, dan Ummul Hakam, serta orang-orang yang mengikuti mereka.

Kitab 'Miftahul Jinan' adalah buku panduan wirid umat Syi'ah yang berisi kalimat-kalimat laknat atas 2 ayah mertua Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (Abu Bakar RA dan Umar RA), serta kalimat-kalimat laknat atas 2 istri Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam ('Aisyah RA dan Hafshah RA).

Muhammad Al 'Ayasyi, salah satu tokoh Syi'ah tidak tanggung-tanggung dalam memfitnah kedua istri Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam, 'Aisyah RA dan Hafshah RA. Al 'Ayasyi menulis berita dusta bahwa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia karena (maaf) telah diracun oleh 'Aisyah dan Hafshah.

Dari pernyataan Syi'ah diatas dalam kitab-kitabnya dapat kita lihat bahwa syi'ah sangat membenci para sahabat Nabi padahal dalam Al-Quran telah jelas-jelas bahwa sahabat Rasulullah SAW telah diangkat derajatnya oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

"Orang-orang pertama dan terdahulu dari kaum Muhajirin dan Anshar, (yakni yang memasuki Islam), dan mereka yang mengikutinya dengan baik, Allah meridhai mereka, dan mereka pun meridhainya, dan disediakan Allah buat mereka syurga-syurga yang di bawahnya mengalir sungAl-sungai, mereka kekal di dalamnya buat selama-lamanya, itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 100)

"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar, yang telah mengikutinya (Nabi) dalam keadaan kesusahan, sesudah hati segolongan mereka hampir-hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengasih Maha Penyayang terhadap mereka sekalian. Dan terhadap tiga orang yang ketinggalan (tidak ikut serta pergi berperang), sampai apabila dirasakan bumi ini telah sempit baginya, padahal sebelum itu dirasakannya luas, dan terasa bahwa dirinya sudah benar-benar tertekan, sehingga mereka meyakini bahwa kini tiada tempat mengadu dari ketetapan Allah itu melainkan dengan menyembah kepadanya saja, lalu Allah mengabulkan taubat mereka karena mereka terus memohon taubat kepadanya, sesungguhnya Allah itu Dia adalah Maha Penerima taubat Maha Penyayang." (At-Taubah: 117-118) 

Selain itu khusus untuk istri Rasulillah SAW Aisyah RA terdapat banyak hadist yang sahih atas keutamman istrinya itu yaitu: Suatu ketika Amr bin al-Ash bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling engkau cintai?" Beliau menjawab, "Aisyah." "Dari kalangan laki-laki?" tanya Amr. Beliau menjawab, "Bapaknya." (HR. Bukhari (3662) dan Muslim (2384))

Berkata Abu Musa al-Asy'ari, "Tidaklah kami kebingungan tentang suatu hadits lalu kami bertanya kepada Aisyah, kecuali kami mendapatkan jawaban dari sisinya."(Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3044))

Aisyah adalah seorang wanita berparas cantik berkulit putih, sebab itulah ia sering dipanggil dengan "Humaira". Selain cantik, ia juga dikenal sebagai seorang wanita cerdas yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mempersiapkannya untuk menjadi pendamping Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mengemban amanah risalah yang akan menjadi penyejuk mata dan pelipur lara bagi diri beliau.

Suatu hari Jibril memperlihatkan (kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) gambar Aisyah pada secarik kain sutra berwarna hijau sembari mengatakan, "Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat." (HR. At-Tirmidzi (3880), lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3041))

"Orang yang mulia dari kalangan laki-laki banyak, namun yang mulia dari kalangan wanita hanyalah Maryam binti Imron dan Asiyah istri Fir'aun, dan keutamaan Aisyah atas semua wanita sepeerti keutamaan tsarid atas segala makanan." (HR. Bukhari (5/2067) dan Muslim (2431))

Dengan hadist-hadist tersebut sudah jelas kesesatan ajaran Syi'ah yang membenci Aisya RA. Semoga kita diberi kemudahan mempelajari Agama Islam dan dijauhkan dari kesesatan. Amin...  
Dikutip dari             : UmmatMuslim


Syiah yang berkembang di Indonesia adalah penghujat sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Begini Kisah Aisyah Yang 'Skak Mat' Ustad Syiah Sampai Ngacir Pulang
Bagaimana Jika ada kelompok yang menuduh aisyah berzina,Aisyah istri rasulullah adalah pelacur….
Kami Diperkosa dan Disiksa Hanya Karena Nama Kami ‘Aisyah’ (Ya Allah, Binasakanlah Syiah Al-Saba Majusi Dajjal)
MUI Keluarkan 10 Tanda Aliran Sesat, Kenapa Penghujatan Terhadap Sahabat Nabi (Abu Bakar RA Dan Umar RA) Serta Istri Nabi (Aisyah Binti Abu Bakar RA) Tidak Dimasukan ? Segera Larang Syi’ah Laknatullah !
Pemerintah Malaysia Melarang Syiah, Indonesia Kapan?
Singapura Perlakukan Syi'ah dan Ahmadiyah Bukan Bagian dari Islam ( sama dengan Malaysia dan Brunei ).Kapan di Indonesia ?
10 Tahun Aisyah Bersama Rasul
Syi’ah Mencela Ummul Mukminin, ‘Aisyah