Tuesday, October 20, 2015

‘Aisyah, Wanita Yang Diberkahi Dan Al-Ifkul Akbar

‘Aisyah, Wanita Yang Diberkahi dan Al-Ifkul Akbar [1]
Selasa, 20 Oktober 2015 - 10:20 WIB
Oleh: Abdullah al-Mustofa
Ada hikmah di balik setiap peristiwa termasuk yang tidak mengenakkan. Berkat terjatuhnya kalung ‘Aisyah - radhiyallahu ‘anha - maka turunlah ayat tayamum
Kemuliaan bagi mereka dengan perhatian yang Allah berikan khusus terhadap ‘Aisyah
Sikap yang harus kaum mukminin ambil pada ‘Aisyah - radhiyallahu ‘anha, Allah - Subhanallahu wa ta’ala telah meridhoi, memuliakan dan mengistimewakan
Al-Ifkul Akbar
“Sungguh, kamu ini wanita yang diberkahi!, seru Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhu – kepada puterinya.
“Semoga Allah memberikan pahala kepadamu. Demi Allah, tidaklah suatu perkara turun padamu melainkan Allah menjadikan jalan keluar untukmu, dan menjadikan keberkahan bagi kaum mukminin di dalamnya,” ujar Usaid bin Hudhair kepada Aisyah – radhiyallahu ‘anha -.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, suatu malam dalam sebuah perjalanan perang, ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – yang mendapatkan undian mengikuti perjalanan suaminya tercinta, kehilangan kalungnya. Maka Rasulullah menghentikan perjalanan untuk mencarinya, lalu yang lainpun ikut berhenti.
Saat itu telah habis persediaan air, maka mereka mendatangi Abu Bakar dan dan berkata: “Cobalah kau lihat apa yang dilakukan ‘Aisyah yang menyebabkan Rasulullah dan seluruh orang mencari-cari, padahal mereka tidak memiliki air. Lalu Abu Bakar mendatangi Rasulullah yang saat itu meletakkan kepala beliau di atas pangkuan ‘Aisyah dan tidur. Ia berkata: “Engkau telah menghalangi Rasulullah dan orang-orang dari melanjutkan perjalanan, sedang mereka tidak mendapatkan dan memiliki air.”
Keesokan paginya Rasulullah – Shallallahu ‘alayhi wa sallam – bangun dan hendak berwudhu untuk melaksanakan shalat Shubuh. Beliau mencari air, namun tidak menemukannya. Maka Allah – Subhanallahu wa ta’ala – Yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-hamba-Nya menurunkan satu ayat kepada kekasih-Nya – Shallallahu ‘alayhi wa sallam – dengan memberikan rukhsa (kemudahan dan keringanan) berupa diperbolehkannya bersuci dengan cara bertayamum. Ayat yang dimaksud adalah ayat ke-43 dari surah An-Nisaa’.
Atas terjadinya peristiwa itu seorang shohabah bernama Usaid bin al-Hudhari memberikan komentar: “Itu bukanlah keberkahkan kalian yang pertama kali, wahai keluarga Abu Bakar”
Di akhir matan hadits itu ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – menutup ceritanya dengan berkata: “Lalu kami membangunkan unta yang aku tumpangi, maka kami menemukan kalung itu di bawahnya.”
Peristiwa turunnya ayat itu beserta asbabun nuzulnya adalah benar-benar peristiwa yang besar dan berdampak besar bagi kaum Muslimin.
Sebelum diturunkannya ayat tersebut, kaum Muslimin wajib bersuci dengan berwudhu, belum ada kemudahan dan keringanan berupatayamum. Rasulullah – Shallallahu ‘alayhi wa sallam – beserta kaum Muslimin sebelum itu tidaklah mendirikan shalat kecuali dengan berwudhu.
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa tayamum adalah nikmat bagi umat Islam agar bersyukur. Syariat tayamum adalah kekhususan dan keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat Islam, yang tidak diberikan kepada umat-umat lainnya.
Sucinya debu bagi umat Islam juga merupakan salah satu keistimewaan bagi umat Islam, sehingga debu bisa digunakan untuk bersuci bagi umat Islam.
Rasulullah – Shallallahu ‘alayhi wa sallam – bersabda yang artinya:
“Kita dilebihkan dari umat-umat lain pada tiga hal: shaf-shaf kita dijadikan seperti shaf-shaf para Malaikat, seluruh tanah permukaan bumi dijadikan untuk kita sebagai masjid, serta debunya dijadikan suci untuk kita apabila kita tidak menemukan air.” (Shahih Muslim)
Ada hikmah di balik setiap peristiwa termasuk yang tidak mengenakkan. Berkat terjatuhnya kalung ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – maka turunlah ayat tayamum tersebut. Atau dengan kata lain, Allah – Subhanallahu wa ta’ala – hendak menurunkan ayat tayamum itu menaqdirkan terjadinya sebuah episode berupa terjatuhnya kalung ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Ringkasnya, berkat ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – lah Allah – Subhanallahu wa ta’ala – menurunkan ayat itu.
Dalam tafsir Ishaq Al-Busthi disebutkan bahwa Rasulullah – Shallallahu ‘alayhi wa sallam – berkata kepada ‘Aisyah : “Betapa besarnya barokah kalungmu. “
Tak heran, Usaid bin Hudhair juga mengatakan: “Itu bukanlah awal keberkahan kalian yang pertama kali, wahai keluarga Abu Bakar!”
Imam Ibnu Hajr menjelaskan perkataan salah satu tokoh Anshor itu dengan mengatakan bahwa itu bukanlah awal barokah kalian wahai keluarga Abu Bakar, akan tetapi telah didahului dengan barokah-barokah selainnya. Yang dimaksud dengan keluarga Abu Bakar adalah diri Abu Bakar sendiri, keluarganya dan yang mengikutinya. Hal itu merupakan bukti yang menunjukkan keutamaan ‘Aisyah dan ayahnya, serta berulangnya barokah dari mereka berdua.
Dalam hadits lain yang senada yang diriwayatkan Ath-Thabrani disebutkan, Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhu – memberi label kepada puterinya sebagai wanita yang diberkahi dengan mengatakan: “Innaki lamubarokah” (Sungguh, kamu benar-benar diberkahi) sebanyak tiga kali.
Di dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Bukhari, Usaid bin Hudhair mengatakan kepada ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha -:
“Semoga Allah membalasmu dengan segala kebaikan. Sungguh demi Allah, tidaklah terjadi suatu peristiwa menimpa anda yang anda tidak sukai kecuali Allah menjadikannya untuk anda dan Kaum Muslimin sebagai kebaikan.”
Sedangkan di hadits lain yang diriwayatkan Muslim disebutkan dia mengatakan:
“Semoga Allah memberikan pahala kepadamu. Demi Allah, tidaklah suatu perkara turun padamu melainkan Allah menjadikan jalan keluar untukmu, dan menjadikan keberkahan bagi kaum mukminin di dalamnya.”
Ath-Thobari dalam kitab tafsirnya mengutip sebuah hadits dengan jalur riwayat lain. Di dalamnya disebutkan bahwa setelah turunnya ayat tayammum orang-orang menyebut ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – sebagai wanita yang paling besar barokahnya dengan mengatakan:
“Kami tidak menemukan wanita yang paling besar barokahnya selain dia.”
Benar adanya ucapan-ucapan itu, ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – yang merupakan anggota keluarga Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhu – benar-benar memiliki dan membawa keberkahan dan kebaikan bagi umat Islam. Umat Islam sejak peristiwa itu hingga di zaman paling akhir kelak ikut merasakan keberkahan dari ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – sehingga merasakan rohmah Allah – Subhanallahu wa ta’ala –. Kaum Muslimin sepanjang masa tidak perlu merasakan kesulitan dan keberatan harus berwudhu ketika tidak memungkinkan menggunakan air seperti ketika tidak terdapat air.
Lihatlah! betapa Allah – Subhanallahu wa ta’ala – telah menjadikan di dalam sebagian barokah Ummul Mukminin ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – terdapat rohmah bagi kita umat Islam sejak zaman itu hingga Yaumul Qiyamah. Dengan demikian berarti Allah – Subhanallahu wa ta’ala –telah memberikan nikmat dan anugerah yang luar biasa kepada kita berupa kemudahan dan keringanan itu.
Lihatlah! Allah – Subhanallahu wa ta’ala – telah menghubungkan dengan erat antara penyebutan ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – dengan ibadah yang luar biasa tersebut. Selama ibadah tayammum disebut-sebut dan dibahas di dalam berbagai cabang ilmu agama, media dan kesempatan, maka disebutlah pula Ummul Mukminin – radhiyallahu ‘anha – beserta barokahnya.
Lihatlah! Allah – Subhanallahu wa ta’ala – telah menyebutkan diri dan kisah ‘Aisyah di dalam Al-Qur’an, yang mana kita membaca, mendengarkan, mentadabburi dan mempelajarinya merupakan ibadah yang mendatangkan pahala dan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Peristiwa sebab turunnya ayat itu adalah salah satu bukti ridho dan cinta Allah – Subhanallahu wa ta’ala – kepada ibunda kita kaum Mukminin, ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Allah – Subhanallahu wa ta’ala – memilih beliau dan peristiwa yang beliau alami tersebut sebagai asbab turunnya ayat itu, yang berarti juga menjadi asbab turun dan berlakunya Rohman Rohim Allah – Subhanallahu wa ta’ala – berupa rukhsoh tidak wajibnya berwudhu bagi kaum Muslimin di saat-saat yang tidak memungkinkan.
Bukti Lain Cinta dan Ridho Allah Kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha
Peristiwa terjatuhnya kalung tersebut di atas adalah untuk kedua kalinya. Yang pertama kalinya terjadi pada perjalanan pulang dari perang Banu Mustalaq yang terjadi pada tahun ke-5 Hijriyah, di mana peristiwa terjatuhnya kalungnya yang pertama itu – sesuai dengan Hadits tentang Al-Ifk yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim – membuatnya tertinggal oleh rombongan dan selanjutnya menimbulkan terjadinyaحادثة الإفك Haaditsah Al-Ifk (peristiwa kedustaan) di mana tersebar حديث الإفك Hadiits Al-Ifk (berita dusta).
Berkat peristiwa Al-Ifk itu, Allah – Subhnallahu wa ta’ala – menunjukkan satu bukti lain cinta dan ridho-Nya kepada beliau dengan diturunkannya ayat khusus. Ayat tersebut adalah ayat ke 11 dari surah An-Nuur (ayat khusus itu diiringi sembilan ayat berikutnya yang juga berkaitan dengan ‘Aisyah). Ayat – pembersihan diri ibunda kaum Mukminin yang kita cintai dari tuduhan berbuat keji – tersebut berisi pembebasannya demi menjaga kehormatan Rasul-Nya.
Berkat ayat itu hilanglah kesusahan Kekasih-Nya – Shallallahu ‘alayhi wa sallam – , serta keceriaan dan senyum kembali menghiasi wajah beliau – Shallallahu ‘alayhi wa sallam -. Lebih dari itu, berkat ayat itu mencair dan hangat kembali hubungan kedua hamba-Nya yang dicintai-Nya itu, serta berpadulah kembali cinta, kasih dan sayang mereka berdua setelah sekitar sebulan pisah ranjang.
Obat dari langit itu adalah wujud perhatian khusus Allah – Subhanallahu wa ta’ala – kepada ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Penggalan kalimat dari ayat itu yang berbunyi:
لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.”
Membuktikan hal itu Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa berita bohong itu baik bagimu, wahai keluarga Abu Bakar, baik di dunia maupun akhirat. Lisan kebenaran di dunia dan kenaikan derajad di akhirat, serta menampakkan kemuliaan bagi mereka dengan perhatian yang Allah berikan khusus terhadap ‘Aisyah, sehingga Allah menurunkan ayat pembebasan dirinya dalam al-Qur’an al-‘Adzim. Oleh karena itu, ketika ‘Abdullah bin ‘Abbas datang menemuinya saat ‘Aisyah menghadapi sakaratul maut berkata kepadanya: “Sambutlah kabar gembira, sesungguhnya engkau adalah istri Rasulullah – Shallallahu ‘alayhi wa sallam -. Beliau sangat mencintaimu, beliau tidak menikahi gadis selain dirimu dan telah turun pembebasan dirimu langsung dari langit.” * 
Kaum Muslimin dan Mukminin mencintai, mengistimewakan, mendoakan (dengan ucapanradhiyallahu ‘anha yang berarti semoga Allah meridhoinya), menghormati dan memuliakan ibunda mereka, ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Mereka memperlakukan beliau dengan sangat baik salah satu sebabnya adalah karena mereka yakin akan dan telah merasakan keberkahan beliau.
Berbeda dengan mereka ada sebuah kaum yang bukan sekadar menuduh dan memfitnah ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – , tapi juga mencela, melaknat dan mencacimakinya.
Berikut sebagian bukti tindakan dan ucapan negatif yang ditujukan kepada beliau – radhiyallahu ‘anha – berdasarkan kitab-kitab mereka:
Aisyah – radhiyallahu ‘anha – adalah seorang perempuan yang (maaf) lemah iman dan lemah akal (Kitab ‘Bihar al Anwar’ karangan Muhammad bin Bagir Al Majlisi).
‘Aisyah dan Hafshah – radhiyallahu ‘anhuma – adalah (maaf) perempuan kafir seperti istri Nabi Nuh as dan istri Nabi Luth as (Kitab ‘Hadits al Ifk’ karangan Pendeta Syi’ah yang menulis banyak kitab pelecehan Rasulullah – Shallallahu ‘alayhi wa sallam – bernama Abu Ja’far Al Kulaini).
Tidak sempurna iman seseorang sebelum ia membenci para sahabat nabi, terutama Abu Bakar, Umar, Utsman, Mu’awiyah, ‘Aisyah, Hafsah, Hindun, dan Ummul Hakam – radhiyallahu ‘anhum -, serta orang-orang yang mengikuti mereka. (Kitab ‘Haqqul Yaqin’ karangan seorang tokoh Syiah Muhammad Bagir Al Majlisi)
Kalimat-kalimat laknat atas Abu Bakar dan Umar, ‘Aisyah dan Hafshah – radhiyallahu ‘anhum – (Kitab ‘Miftahul Jinan’, buku panduan wirid umat Syi’ah).
Rasulullah meninggal dunia karena (maaf) telah diracun oleh ‘Aisyah dan Hafshah – radhiyallahu ‘anhuma – (Tafsir al ‘Ayasyi karangan tokoh Syiah bernama Muhammad Al ‘Ayasyi)
‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha – setelah menjadi janda (maaf) berselingkuh dengan seorang sahabat bernama Thalhah – radhiyallahu ‘anhu – dalam perjalanan ke Basrah menjelang terjadinya Perang Jamal (Tafsir al Quumi karangan Ali bin Ibrahim al Quumi).
Para wanita dari kalangan ahlul bait (keluarga Rasulullah – ShalAllaahu ‘alayhi wa sallam -) setara derajatnya dengan wanita Majusi dan (maaf) wanita pelacur (‘Tahdzibul Ahkam’ karangan seorang tokoh Syi’ah bernama Ja’far Ash Shadiq)
Pandangan negatif yang dimiliki dan ucapan negatif yang dilontarkan kaum tersebut merupakan peristiwa dan berita “Al-Ifkul Akbar”, lebih besar daripada peristiwa dan berita Al-Ifk yang terjadi pada masa hidup Rasulullah – Shallallahu ‘alayhi wa sallam -. Lebih besar karena tuduhan dan fitnahnya lebih banyak ragamnya dan ditujukan kepada banyak shohabah Rasulullah, disebarluaskan secara masif melalui berbagai media seperti kitab, buku, bahkan di zaman modern ini dengan video dan internet. Selain itu juga dilakukan secara masif dan oleh para pengikutnya secara turun temurun di seluruh dunia yang jumlahnya tidak sedikit.
Sikap Yang Harus Kaum Mukminin Ambil Kepada ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha –
Allah – Subhanallahu wa ta’ala – telah meridhoi, memuliakan, mengistimewakan, memberkahi dan membela ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha -, membersihkan dirinya dari tuduhan keji sehingga berakhirlah peristiwa Al-Ifk dan terjaga kehormatan Rasul-Nya, namun kaum tersebut tega dengan sengaja menciptakan Al-Ifk jilid baru, bahkan jauh lebih besar.
Sungguh celaka mereka yang tergolong Ahlu atau Ashhabu (orang-orang yang terlibat di dalam) Al-Ifkul Akbar ini, jika mereka tidak mendapatkan hukuman di dunia karena ulah mereka, maka sesungguhnya mereka pasti akan merasakan hukuman yang sangat pedih di akhirat kelak.
Lain halnya dengan mereka yang beriman. Mereka selama-selamanya tidak akan menuduh, mencela, memfitnah, mencacimaki dan melaknat ibunda mereka, ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha -, karena mereka meyakini kebenaran dan mengamalkan Al-Qur’an, khususnya dalam hal ini ayat ke 17 dari surah An-Nuur.
يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”
Demikian pula mereka tidak akan melakukan hal yang serupa kepada para shohabah dan istri Rasulullah – Shallallahu ‘alayhi wa sallam – lainnya, serta kepada orang-orang beriman lainnya.
Mereka paham bahwa mendzolimi dan menyakiti saudaranya seiman sejatinya sama saja dengan mendzolimi dan menyakiti diri sendiri. Mereka yakin kebenaran dan mengamalkan sabda Nabi – Shallallahu ‘alayhi wa sallam – bahwa kaum Muslimin dan Mukminin dalam saling mencintai, menyayangi dan mengasihi ibarat satu badan, jika salah satu anggota badan merasakan sakit maka seluruh anggota badan pasti akan ikut merasakan sakit, sulit tidur dan demam. (HR. Bukhori, Muslim dan Ahmad)
Maka, kita yang mengaku sebagai orang beriman janganlah ikut-ikutan membenarkan sebuah aliran yang mempunyai ajaran dimana para pengikutnya diajari dan diajak untuk berbuat dan berkata keji kepada para shohabah dan istri Rasulullah yang mulia serta diridhoi, dimuliakan dan dicintai Allah. Serta janganlah ikut-ikutan mendukung “dakwah” dan “syi’ar” aliran tersebut, terutama di bulan Muharrom ini kaum yang bersangkutan ini merayakan satu hari besar mereka.
Bagi mereka yang telah terlanjur selama ini ikut-ikutan membenarkan dan mendukung – baik dengan sadar dan sengaja maupun tidak – , terutama bagi sebagian tokoh Muslim karena mereka adalah panutan umat, segeralah beristighfar dan bertaubatlah mumpung masih diberi kesempatan hidup oleh Allah Subhanallahu wa ta’ala!
Semoga dengan tidak ikut-ikutan mendukung dan membenarkannya kita tidak ikut menanggung dosa, apatah lagi akan merasakan pedih dan besarnya adzab di akhirat seperti yang akan dirasakan Abdulah bin Ubay bin Salul (lihat QS. 24:11 beserta tafsirnya), tokoh munafiq yang paling besar kontribusinya dalam peristiwa Al-Ifk, si tukang membuat dan menyebarkan tuduhan dan fitnah yang sangat keji kepada ‘Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Na’udzubillah min dzalik. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jatim
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar