‘Aisyah, Wanita Yang Diberkahi Dan
Al-Ifkul Akbar
Faathimah Mencintai ‘Aaisyah...... Anda ?
Keluarga Nabi Dalam Pandangan Al-Qur’an
Dan As Sunnah.
Biografi 'Aisyah Ibunda Kaum Muslimin
Keturunan Ali bin Abi Thalib radhiAllahu
'anhu Banyak Bernama “ 'Aisyah (Radhiyallahu 'anha) “, Kenapa Sekarang
Menghujatnya/Menghindari Nama Aisyah ?
Membantah Syi’ah: Masalah Celaan Mereka
terhadap Aisyah
Meruntuhkan Doktrin Syiah Perihal
Pengkafiran Abu Bakar dan Aisyah ra
Syaikhul Azhar Sayyid Dr. Muhammad
Thanthawi (Dan Lainnya) : Penghina Istri Dan Sahabat Nabi Keluar dari Islam
Terlaknatlah Anda Wahai Para Pencela
Sahabat
Lihatlah Fatimah Mencintai Aisyah, Tapi
Syiah Yang Katanya Membela Fatimah kok malah mencela Aisyah?
Grand Syaikh Al-Azhar (Bidang Hadith Dan
Tafsir) : Menghina Sahabat Nabi Bukan Islam. Ulama Al-Azhar Menolak Syiah.
Dewan Ulama Senior Saudi (Imam Masjid Al-Haram) : Yang Menghina Istri Dan
Sahabat Nabi (Ulama Madzhab Syi'ah) Kafir. Syiah Kafir Tanpa Keraguan.
Hassan Shehata Syiah (Laknatullah) Syahid
(??!) Caci Aisyah
[Siapa akan menyusul "hasan
syahatah"] mengapa pencaci sahabat dan istri rasul itu dibunuh !!!
Syahadat Non Islam Sekte Syi’ah (Ayat Al Quran tentang ummul mukminin Aisyah RA)
Masukan Untuk Menteri Agama (2), Hukum Mencaci
Istri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Masukan Untuk Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin Terkait Risalah Amman
Takfiri Syiah ( ABI ) Jadi Bunglon Di
Kantor Deputi VI Kemenko Polhukam, Dengan Memutar Balikan Dan Menyembunyikan
Kejahatan Takfirinya Terhadap Al-Qur'an, Istri Dan Sahabat Nabi Serta Ahlus
Sunnah !
‘Aisyah adalah Istri Nabi shallallaahu
‘’alaihi wa sallam di Dunia dan di Akhirat
Telah berkata Al-Imaam At-Tirmidziy
rahimahullah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ الْمَكِّيِّ
عَنْ ابْنِ أَبِي حُسَيْنٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
جِبْرِيلَ جَاءَ بِصُورَتِهَا فِي خِرْقَةِ حَرِيرٍ خَضْرَاءَ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ زَوْجَتُكَ فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin
Humaid : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaq, dari ‘Abdullah bin ‘Amru
bin ‘Alqamah Al-Makkiy, dari Ibnu Abi Husain, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari
‘Aaisyah : “Bahwasannya Jibriil datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersama gambar Aisyah dalam secarik kain sutera hijau, lalu berkata :
‘Sesungguhnya ini adalah isterimu di dunia dan akhirat’” [Jaami’ At-Tirmidziy
no. 3880, At-Tirmidziy berkata : “Hadits ini hasan ghariib, kami tidak
mengetahuinya selain dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Alqamah”].
Hadits ini shahih.[1]
Ada penguat lain, yaitu :
أخبرنا بن خزيمة حدثنا سعيد بن يحيى الأموي حدثني
أبي حدثني أبو العنبس سعيد بن كثير عن أبيه قال حدثنا عائشة ان رسول الله صلى الله
عليه وسلم ذكر فاطمة قالت فتكلمت انا فقال أما ترضين ان تكونى زوجتى في الدنيا
والآخرة قلت بلى والله قال فأنت زوجتى في الدنيا والآخرة
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu
Khuzaimah : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Yahyaa Al-Umawiy : Telah
menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Abul-‘Anbas Sa’iid
bin Katsiir, dari ayahnya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aaisyah
: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan Faathimah.
‘Aaisyah berkata : “Maka, akupun protes kepada beliau”. Beliau kemudian
bersabda : “Apakah engkau tidak ridla menjadi istriku di dunia dan di akhirat”.
Aku berkata : “Tentu, demi Allah”. Beliau bersabda : “Engkau adalah istriku di
dunia dan di akhirat” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 7095].
Hadits ini shahih lighairihi.[2]
‘Ammaar bin Yasiir pun mengakui
bahwasannya ‘Aaisyah adalah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia
dan di akhirat, dan Al-Hasan bin ‘Aliy pun men-taqrir-nya radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا
غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ قَالَ لَمَّا
بَعَثَ عَلِيٌّ عَمَّارًا وَالْحَسَنَ إِلَى الْكُوفَةِ لِيَسْتَنْفِرَهُمْ خَطَبَ
عَمَّارٌ فَقَالَ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّهَا زَوْجَتُهُ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَلَكِنَّ اللَّهَ ابْتَلَاكُمْ لِتَتَّبِعُوهُ أَوْ إِيَّاهَا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami Ghundar : Telah menceritakan
kepada kami Syu’bah, dari Al-Hakam : Aku mendengar Abu Waail berkata : Ketika
'Aliy mengutus 'Ammaar dan Al-Hasan ke Kuufah untuk mengerahkan mereka
berjihad, 'Ammaar berkhutbah : "Sungguh aku mengetahui bahwa ia (‘Aaisyah)
adalah istri beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Akan
tetapi sekarang Allah menguji kalian apakah akan mentaati-Nya (yaitu tidak
keluar ketaatan dari ‘Aliy dan melawannya) atau mengikutinya ('Aaisyah
radliyallaahu ‘anhaa dalam melawan ‘Aliy)" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 3772. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 7100 & 7101, Ahmad 4/265,
Al-Bazzaar dalam Al-Musnad no. 1408-1409, Al-Baihaqiy 8/174, dan yang lainnya].
Lihatlah keadilan ‘Ammaar. Ia tetap
mengakui keutamaan ‘Aaisyah sebagai istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
di dunia dan di akhirat meskipun posisinya saat itu berseberangan dengannya[3].
Ia jauh dari celaan sebagaimana celaan orang-orang Syi’ah. Begitu pula Al-Hasan
bin ‘Aliy yang men-taqrir (menyetujui) apa yang dikatakan ‘Ammaar.
Mungkin orang Syi’ah akan berkelit bahwa
Al-Hasan tidak ada di hadir di tempat itu dan belum tentu ia men-taqrir apa
yang dikatakan ‘Ammaar. Sungguh kerdil logika mereka !. ‘Ammaar dan Al-Hasan
adalah dua orang yang diutus secara khusus oleh ‘Aliy bin Abi Thaalib dalam mengatasi
pasukan Jamaal. Sesampainya di Kuufah, ‘Ammaar berkhutbah di depan khalayak.
Tentu saja apa yang dikatakannya itu didengar banyak orang, baik rombongannya
maupun orang-orang Kuufah. Tidak terkecuali Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu
‘anhum. Riwayat berikut adalah pemutusnya :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا
أَبُو حَصِينٍ حَدَّثَنَا أَبُو مَرْيَمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ
الْأَسَدِيُّ قَالَ لَمَّا سَارَ طَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَعَائِشَةُ إِلَى
الْبَصْرَةِ بَعَثَ عَلِيٌّ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ وَحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ
فَقَدِمَا عَلَيْنَا الْكُوفَةَ فَصَعِدَا الْمِنْبَرَ فَكَانَ الْحَسَنُ بْنُ
عَلِيٍّ فَوْقَ الْمِنْبَرِ فِي أَعْلَاهُ وَقَامَ عَمَّارٌ أَسْفَلَ مِنْ الْحَسَنِ
فَاجْتَمَعْنَا إِلَيْهِ فَسَمِعْتُ عَمَّارًا يَقُولُ إِنَّ عَائِشَةَ قَدْ
سَارَتْ إِلَى الْبَصْرَةِ وَ وَاللَّهِ إِنَّهَا لَزَوْجَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَكِنَّ اللَّهَ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى ابْتَلَاكُمْ لِيَعْلَمَ إِيَّاهُ تُطِيعُونَ أَمْ هِيَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah
bin Muhammad : Telah menceriakan kepada kami Yahyaa bin Aadam : Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy : Telah menceritakan kepada kami
Abu Hushain : Telah menceritakan kepada kami Abu Maryam ‘Abdullah bin Ziyaad
Al-Asadiy, ia berkata : Tatkala Thalhah, Az-Zubair, dan 'Aaisyah berangkat ke
Bashrah, Aliy mengutus 'Ammaar bin Yaasir dan Hasan bin Aliy mendatangi kami di
Kuufah. Lalu keduanya naik minbar. Ketika itu Al-Hasan bin ‘Aliy di atas mimbar
di tangga paling atas, sedangkan ‘Ammaar berdiri di bawah Al-Hasan. Kami
berkumpul di sekelilingnya, dan aku mendengar 'Ammaar berkata : 'Aaisyah sedang
berangkat ke Bashrah. Demi Allah, ia adalah isteri Nabi kalian shallallaahu
‘alaihi wa sallam di dunia dan di akherat. Namun Allah tabaaraka wa ta’ala
menguji kalian agar Dia mengetahui, apakah kalian taat kepada-Nya atau kepada
Aisyah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7100].
Seandainya Al-Hasan tidak sependapat yang
dikatakan ‘Ammaar, tentu ia akan segera menyanggah. Kedudukannya tidaklah lebih
rendah daripada ‘Ammaar. Ia putra seorang khalifah. Apalagi situasi saat itu
sangat mendukung, dimana ‘Aaisyah merupakan pihak kontra yang hendak dilawan.
Seruan mereka berdua (‘Ammaar dan Al-Hasan) adalah seruan untuk membela ‘Aliy
bin Abi Thaalib melawan pasukan Jamal (yang padanya terdapat Ummul-Mukminiin
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa). Dalam kaedah pun dikatakan : ta’khiirul-bayaan
fil-waqtil-haajah, la yajuuz (mengakhirkan penjelasan pada waktu dibutuhkan
adalah tidak diperbolehkan). Apa yang menghalangi Al-Hasan bin ‘Aliy tidak
mengingkari perkataan ‘Ammaar bin Yaasir seandainya perkataannya itu salah ?
Memuji orang yang telah jelas kefasikannya atau tidak mengkafirkan orang yang
sudah jelas kekafirannya adalah perbuatan yang keliru. Takut ? Tidak pernah
sekalipun terbersit di hati hal itu terhadap Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu
‘anhumaa.
Jika orang Syi’ah mengeluarkan senjata
pamungkasnya, yaitu : taqiyyah, I have no comment bout this…
Dan perlu diketahui oleh rekan-rekan
sekalian, ‘Ammaar bin Yaasir bahkan mencela orang yang mencela ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhumaa. Perhatikan riwayat berikut :
حدثنا يحيى بن آدم قثنا إسرائيل عن أبي إسحاق عن
عريب بن حميد قال رأى عمار يوم الجمل جماعة فقال ما هذا فقالوا رجل يسب عائشة ويقع
فيها قال فمشى إليه عمار فقال اسكت مقبوحا منبوحا اتقع في حبيبة رسول الله إنها
لزوجته في الجنة
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Aadam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq,
dari ‘Uraib bin Humaid, ia berkata : ‘Ammaar pada peperangan Jamal pernah
melihat sekumpulan orang. Lalu ia berkata : “Apakah ini ?”. Mereka berkata :
“Seorang laki-laki yang mencaci dan mencela ‘Aaisyah”. ‘Ammaar pun berjalan
menuju orang tersebut dan berkata : “Diamlah engkau dari perkataan yang jelek
itu. Apakah engkau mencela seorang yang menjadi kesayangan/kekasih Rasulullah
shalallaahu ‘alaihi wa sallam ?. Sesungguhnya ia adalah istri beliau di surga”
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 1647].
Riwayat ini shahih li-ghairihi.[4]
Giliran Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa memberi kesaksian :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا
مَعْمَرٌ عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ ذَكْوَانَ مَوْلَى
عَائِشَةَ أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ لِابْنِ عَبَّاسٍ عَلَى عَائِشَةَ وَهِيَ تَمُوتُ
وَعِنْدَهَا ابْنُ أَخِيهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَ هَذَا
ابْنُ عَبَّاسٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْكِ وَهُوَ مِنْ خَيْرِ بَنِيكِ فَقَالَتْ
دَعْنِي مِنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَمِنْ تَزْكِيَتِهِ فَقَالَ لَهَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ فَقِيهٌ فِي دِينِ
اللَّهِ فَأْذَنِي لَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْكِ وَلْيُوَدِّعْكِ قَالَتْ فَأْذَنْ
لَهُ إِنْ شِئْتَ قَالَ فَأَذِنَ لَهُ فَدَخَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ سَلَّمَ
وَجَلَسَ وَقَالَ أَبْشِرِي يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَكِ
وَبَيْنَ أَنْ يَذْهَبَ عَنْكِ كُلُّ أَذًى وَنَصَبٍ أَوْ قَالَ وَصَبٍ وَتَلْقَيْ
الْأَحِبَّةَ مُحَمَّدًا وَحِزْبَهُ أَوْ قَالَ أَصْحَابَهُ إِلَّا أَنْ تُفَارِقَ
رُوحُكِ جَسَدَكِ فَقَالَتْ وَأَيْضًا فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتِ أَحَبَّ
أَزْوَاجِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِ وَلَمْ
يَكُنْ يُحِبُّ إِلَّا طَيِّبًا وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَرَاءَتَكِ
مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتٍ فَلَيْسَ فِي الْأَرْضِ مَسْجِدٌ إِلَّا وَهُوَ
يُتْلَى فِيهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَسَقَطَتْ قِلَادَتُكِ
بِالْأَبْوَاءِ فَاحْتَبَسَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
الْمَنْزِلِ وَالنَّاسُ مَعَهُ فِي ابْتِغَائِهَا أَوْ قَالَ فِي طَلَبِهَا حَتَّى
أَصْبَحَ الْقَوْمُ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا } الْآيَةَ فَكَانَ فِي ذَلِكَ رُخْصَةٌ
لِلنَّاسِ عَامَّةً فِي سَبَبِكِ فَوَاللَّهِ إِنَّكِ لَمُبَارَكَةٌ فَقَالَتْ
دَعْنِي يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مِنْ هَذَا فَوَاللَّهِ لَوَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ
نَسْيًا مَنْسِيًّا
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Khutsaim,
dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Dzakwaan maulaa ‘Aaisyah : Bahwasannya ia (Dzakwaan)
memintakan ijin Ibnu ‘Abbaas kepada ‘Aaisyah yang waktu itu sedang sakit
menjelang kematiannya dan di sisinya ada anak saudaranya, ‘Abdullah bin
‘Abdirrahman. Dzakwan berkata : "Ini Ibnu ‘Abbaas meminta ijin kepadamu
dan ia termasuk putra terbaik kaummu". ‘Aaisyah menjawab : "Bebaskan
aku dari Ibnu ‘Abbaas dan tazkiyah-nya". ‘Abdurrahmaan berkata kepada
‘Aaisyah : "Ia adalah Qaari` Kitabullah dan orang yang faqih dalam agama.
Ijinkanlah ia mengucapkan salam kepadamu dan menjengukmu". ‘Aaisyah berkata
: "Ijinkan ia jika engkau berkenan". ‘Abdurrahmaan pun mengijinkan
Ibnu ‘Abbaas masuk, maka Ibnu ‘Abbaas pun masuk, mengucapkan salam dan duduk.
Lalu Ibnu ‘Abbaas berkata : "Bergembiralah wahai Ummul-Mukminiin. Demi
Allah, tidak ada yang menghalangi antara dirimu dan perginya segala penyakit
dan bala', serta pertemuan dengan orang-orang tercinta, Muhammad dan
pengikutnya - atau dalam satu riwayat -, para sahabatnya, melainkan ruh yang
berpisah dari jasadmu". ‘Aaisyah berkata : "Tambah lagi". Ibnu
‘Abbaas lalu berkata : "Engkau adalah isteri Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang paling dicintai, sedangkan beliau tidak mencintai
melainkan yang baik. Allah menurunkan ayat yang berisi pembebasan dirimu dari
atas langit ketujuh, maka tidak satu pun masjid yang luput dari membaca ayat
tersebut di waktu pagi dan petang. Dan ketika kalungmu terjatuh di Abwaa', maka
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun tertahan bersama para sahabatnya untuk
mencari kalung tersebut hingga shubuh mendatangi mereka dalam keadaan tidak
mendapatkan air untuk berwudlu, kemudian Allah menurunkan ayat : ‘Maka
bertayammumlah dengan tanah yang suci' (QS. Al Maidah : 6), yang mana perkara
tayammum ini adalah keringanan untuk umat yang disebabkan olehmu. Maka demi
Allah, engkau adalah wanita yang penuh dengan berkah". 'Aaisyah berkata
: "Wahai Ibnu ‘Abbaas, tinggalkan
aku dari itu semua. Demi Allah, sungguh aku ingin sekali menjadi orang yang
lupa dan dilupakan" [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/349 dan dalam Al-Fadlaail
no. 1639].
Riwayat ini shahih.[5]
Oleh karenanya, Adz-Dzahabiy rahimahullah
berkata :
ولا أعلم في أمه محمد صلى الله عليه وسلم، بل ولا
في النساء مطلقا، أمرأة أعلم منها.
وذهب بعض العلماء إلى أنها زوجة نبينا صلى الله
عليه وسلم في الدنيا والآخرة، فهل فوق ذلك مفخر
“Aku tidak mengetahui seorang pun di
kalangan umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahkan di kalangan
wanita secara mutlak, ada wanita yang lebih pandai darinya. Dan sebagian ulama
berpendapat bahwa ia merupakan istri Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wa sallam di
dunia dan akhirat. Apakah ada kebanggan yang melebihi hal itu ?” [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 2/140].
Ya benar, tidak ada kebanggaan bagi
seorang wanita melebihi kebanggaan mendampingi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam di dunia dan di akhirat (jannah).
Segala karunia yang Allah ta’ala berikan
kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa ternyata tidaklah membuat senang semua
pihak. Ada saja pihak-pihak tertentu yang senantiasa sakit kepala membaca
riwayat-riwayat ini. Misalnya, Al-‘Ayyaasyiy – salah seorang mufassir Syi’ah –
menukil riwayat ‘tandingan’, demi menjatuhkan kedudukan ‘Aaisyah, dari
perkataan Ja’far Ash-Shaadiq dengan sanadnya tentang firman Allah ta’ala :
وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا
مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا
“Dan janganlah kamu seperti seorang
perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi
cerai berai kembali” (QS. An-Nahlo : 92)
ia (Ja’far Ash-Shaadiq) berkata :
التي نقضت غزلها من بعد قوة أنكاثا : عائشة، هي
نكثت إيمانها
“Seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali; adalah
‘Aaisyah, yang tercerai-berai imannya” [Tafsir Al-‘Ayyaasyiy, 2/269. Lihat pula
Al-Burhaan oleh Al-Bahraaniy 2/383 dan Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 7/454].
Al-‘Ayyaasy kembali menukil riwayat dusta
dengan sanadnya dari Ja’far Ash-Shaadiq tentang firman Allah ta’ala yang
menggambarkan neraka :
لَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ
“Jahanam itu mempunyai tujuh pintu” (QS.
Al-Hijr : 44)
Ia (Ja’far Ash-Shaadiq) berkata :
يؤتى بجهنم لها سبعة أبواب..... والباب السادس
لعسكر.....
“Jahannam didatangkan sedangkan ia
mempunyai tujuh buah pintu…… dan pintu keenam adalah untuk ‘pasukan’
(‘askar)….” [Tafsir Al-‘Ayaasyiy 2/243. Lihat juga : Al-Burhaan oleh
Al-Bahraaniy 2/345 dan Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 4/378 & 8/220].
‘Pasukan’ (‘askar) dalam perkataan di
atas merupakan kinaayah dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhu sebagaimana dikatakan
oleh Al-Majlisiy. Maksudnya, ‘Aaisyah adalah orang yang menaiki onta saat
peperangan Jamal, sehingga disebut sebagai ‘askar [Bihaarul-Anwaar, 4/378 &
8/220].
Tentu saja ini dusta atas nama Allah
ta’ala.
Entek amek kurang golek, tidak cukup
berdusta atas nama Allah, mereka perlu membuat kedustaan tambahan atas nama
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam[6]. Katanya, dengan sanad sampai dengan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah bersabda :
لا يبغض عليا أحد من أهلي ولا من أمتي إلا خرج من
الإيمان
“Tidak ada seorang pun dari kalangan
keluargaku/istriku dan tidak pula dari umatku yang membenci ‘Aliy, kecuali ia
telah keluar dari keimanan (= kafir)” [lihat : Al-Ikhtishaash oleh Al-Mufiid,
hal. 118].
يا علي حربك حربي
“Wahai ‘Aliy, orang yang memerangimu
ekuivalen dengan memerangiku” [Ash-Shiraathul-Mustaqiim oleh Al-Bayaadliy,
3/161].
Lantas mereka (orang-orang Syi’ah)
berkata : “Orang yang memerangi Nabi itu kufur” [Ash-Shiraathul-Mustaqiim oleh
Al-Bayaadliy, 3/161]. Konsekuensinya, ‘Aaisyah pun kufur karena perselisihannya
dengan ‘Aliy.
***
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa adalah
istri/wanita yang paling dicintai oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ قَالَ خَالِدٌ الْحَذَّاءُ حَدَّثَنَا عَنْ
أَبِي عُثْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ
السُّلَاسِلِ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ
عَائِشَةُ فَقُلْتُ مِنْ الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ
ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَعَدَّ رِجَالًا
Telah menceritakan kepada kami Ma’laa bin
Asad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar, ia berkata
: Telah berkata Khaalid Al-Hadzdzaa’ dari Abu ‘Utsmaan, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutusnya beserta rombongan pasukan
Dzatus-Sulaasil. Lalu aku ('Amru) bertanya kepada beliau : "Siapakah
manusia yang paling engkau cintai?”. Beliau menjawab : "'Aisyah". Aku
kembali bertanya : "Kalau dari kalangan laki-laki?". Beliau menjawab
: "Bapaknya (yaitu Abu Bakr)". Aku kembali bertanya : "Kemudian
siapa lagi?". Beliau menjawab : "'Umar bin Al-Khaththab".
Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa orang laki-laki" [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 3662].
Oleh karenanya, beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam sering memanggilkan dengan kata-kata indah bagi ‘Aisyah yang
menunjukkan kedekatan dan kasih-sayang. Di antaranya beliau kadang memanggilnya
dengan ‘Aaisy’ :
حدثنا أبو اليمان: أخبرنا شعيب، عن الزُهري قال:
حدثني أبو سلمة بن عبد الرحمن، أن عائشة رضي الله عنها زوج النبي صلى الله عليه
وسلم قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (يا عائش هذا جبريل يقرئك السلام).
قلت: وعليه السلام ورحمة الله، قالت: وهو يرى ما لا نرى.
Telah menceritakan kepada kami
Abul-Yamaan : telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abirrahmaan :
Bahwasannya ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Yaa ‘Aaisy, ini Jibril mengucapkan salam kepadamu”. Aku (‘Aaisyah) berkata :
“Wa’alaihis-salaam warahmatullaah”. ‘Aaisyah berkata : “Jibril itu melihat
sesuatu yang tidak kita lihat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6201].
Beliau pun memanggil ‘Aaisyah dengan
Humairaa’ (yang kemerah-merahan).
أنا يونس بن عبد الأعلى قال أنا بن وهب قال
أخبرني بكر بن مضر عن بن الهاد عن محمد بن إبراهيم عن أبي سلمة بن عبد الرحمن عن
عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : دخل الحبشة المسجد يلعبون فقال لي يا
حميراء أتحبين أن تنظري إليهم فقلت نعم فقام بالباب وجئته فوضعت ذقني على عاتقه
فأسندت وجهي إلى خده قالت ومن قولهم يومئذ أبا القاسم طيبا فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم حسبك فقلت يا رسول الله لا تعجل فقام لي ثم قال حسبك فقلت لا تعجل
يا رسول الله قالت ومالي حب النظر إليهم ولكني أحببت أن يبلغ النساء مقامه لي
ومكاني منه
Telah memberitakan kepada kami Yuunus bin
‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah memberitaan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata
: Telah mengkhabarkan kepadaku Bakr bin Mudlar, dari Ibnul-Haad, dari Muhammad
bin Ibraahiim, dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, dari ‘Aaisyah istri Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : Orang-orang Habasyah masuk ke
masjid dan bermain-main. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku
: “Wahai Humairaa’, apakah engkau suka melihat mereka ?”. Aku berkata : “Ya”.
Lalu beliau berdiri di samping pintu, lalu aku menghampiri beliau dan aku
letakan daguku di atas pundak beliau. Lalu akupun menyandarkan wajahku di pipi
beliau”. ‘Aaisyah melanjutkan : “Dan yang termasuk perkataan orang-orang
Habasyah tersebut adalah : ‘Wahai Abul-Qaasim yang baik’. Kemudian Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Cukupkah engkau (melihatnya)”. Aku
berkata : “Wahai Rasulullah, janganlah terburu-buru”. Maka beliau pun kembali
berdiri. Setelah itu beliau kembali berkata : “Cukupkah engkau (melihatnya)?”.
Aku berkata : “Jangan terburu-buru, wahai Rasulullah”. Sebenarnya aku tidak
begitu tertarik melihat mereka, akan tetapi aku senang memperlihatkan kepada
para wanita lainnya tentang kedudukan beliau bagiku, dan juga kedudukanku di
hati beliau” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa, 8/181 no. 8902 dan
Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 1/268 no. 292].
Hadits ini shahih.[7]
Itu semua merupakan wujud kecintaan
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.
Kebalikannya, dari kelompok Syi’ah, mari
kita simak penuturan Ya’quub bin Sarraaj :
قَالَ لِيَ اذْهَبْ فَغَيِّرِ اسْمَ ابْنَتِكَ
الَّتِي سَمَّيْتَهَا أَمْسِ فَإِنَّهُ اسْمٌ يُبْغِضُهُ اللَّهُ وَ كَانَ
وُلِدَتْ لِيَ ابْنَةٌ سَمَّيْتُهَا بِالْحُمَيْرَاءِ
“Maka Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam)
berkata kepadaku : ‘Pergilah dan ganti nama anak perempuanmu yang telah engkau
beri nama kemarin, karena ia adalah nama yang membuat Allah murka’. (Ya’qub bin
Sarraaj berkata : ) Kemarin aku dikaruniai anak perempuan yang aku namakan
Al-Humairaa” [Al-Kaafiy, 1/310].
Bagaimana Allah ta’ala bisa murka dengan
sesuatu yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam cinta kepadanya. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ridla dengan nama Humairaa’.
Telah banyak riwayat yang menyatakan bahwa beliau mengganti nama-nama buruk
sebagian shahabat menjadi nama-nama yang baik sesuai syari’at. Dan Humairaa’
adalah salah satu nama/sebutan yang dipilihkan beliau untuk istrinya. Allah
tidak murka dengan nama Humairaa’. Justru, Allah ta’ala murka dengan ulah
orang-orang Syi’ah yang telah memanipulasi riwayat dengan mengatasnamakan Allah
dan Ahlul-Bait.
****
Allah ta’ala telah menyebut istri-istri
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa salah
satu di antaranya - dengan sebutan Ummahatul-Mukminiin (ibunya orang-orang yang
beriman) sebagaimana tersebut dalam firman-Nya :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ
أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu
mereka” [QS. Al-Ahzaab : 6].
Namun tahukah Pembaca Budiman apa yang
diucapkan oleh lidah-lidah karatan ulama Syi’ah dalam perkara ini ? Mereka
katakan bahwa Ahlus-Sunnah lah yang membuat-buat istilah itu. Telah berkata
Ibnul-Muthahhar Al-Hulliy, salah seorang pentolan ulama mereka :
وسموها أمّ المؤمنين، ولم يسموا غيرها بذلك الاسم
“Dan mereka (Ahlus-Sunnah telah menamakan
‘Aaisyah dengan Ummul-Mukminiin, dan mereka tidak menamakan selain dirinya
dengan nama itu” [Minhaajul-Karaamah – bersama Minhaajus-Sunnah 2/198].
Bahkan, mereka menyebut Ummul-Mukminiin
‘Aaisyah radliyalaahu ‘anha sebagai Ummusy-Syuruur (أم
الشرور) – ‘biang kejelekan’ sebagaimana diucapkan oleh Al-Bayaadliy
dalam kitabnya Ash-Shiraathul-Mustaqiim 3/161.
Semoga Allah ta’ala membalas kekejiannya
dengan setimpal.
Itulah Ummul-Mukminiin ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhaa, ketinggian derajat dan kedudukannya di mata Islam. Istri
yang paling dicintai beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di
akhirat. Sekaligus sedikit informasi tentang mauqif Syi’ah kepadanya. Tidak
memudlaratkan kebencian orang-orang yang membenci dari kalangan Syi’ah
Raafidlah. Tidaklah salah jika kita mengambil kesimpulan bahwa Islam di satu
sisi dan Syi’ah di sisi lain.
Semoga Allah ta’ala memberikan manfaat
dari tulisan kecil ini.
[abu al-jauzaa’-ciomas permai, ciapus,
ciomas, bogor].
[1]
Keterangan perawi :
a.
‘Abdun bin Humaid bin Nashr Al-Kussiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh
(w. 249 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 634 no.
4294].
b.
‘Abdurrazzaaq, ia adalah Ibnu Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy,
Abu Bakr Ash-Shan’aaniy (wafat : 211 H); seorang tsiqah, haafidh, penulis
terkenal, namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di
akhir umurnya [idem, hal. 607 no. 4092]. ‘Abdun bin Humaid di sini mendengar
riwayat ‘Abdurrazzaaq sebelum ikhtilath-nya [Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy
hal. 92-93 no. 29 beserta komentar muhaqqiq-nya]. Muslim berhujjah dengan
riwayat ‘Abdun bin Humaid dari ‘Abdurrazzaaq, sebagaimana dikatakan oleh
Al-‘Iraaqiy [Al-Ightibaath biman Rumiya minar-Ruwaat bil-Ikhtilaath, hal. 219].
c.
‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Alqamah Al-Kinaaniy Al-Makkiy; seorang yang
tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 530 no. 3526].
d.
Ibnu Abi Husain adalah ‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain Al-Qurasyiy
An-Naufaliy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 719 no. 4939].
e.
Ibnu Abi Mulaikah, ia adalah ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Abi Mulaikah;
seorang yang tsiqah lagi faqiih (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 719 no. 4939].
Sanad hadits ini shahih.
‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain mempunyai
mutaba’ah dari ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim; sebagaimana diriwayatkan
oleh Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 1237, dan darinya Ibnu Hibbaan
meriwayatkan dalam Shahih-nya no. 7094.
‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim
Al-Qaariy, Abu ‘Utsmaan Al-Makkiy; seorang yang shaduuq (w. 132 H). Dipakai
Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 526 no. 3489].
At-Tirmidziy berkata :
وَقَدْ رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ
هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ بِهَذَا
الْإِسْنَادِ مُرْسَلًا وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ عَائِشَةَ وَقَدْ رَوَى أَبُو
أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِنْ هَذَا
“Hadits ini telah diriwayatkan oleh
‘Abdurrahmaan bin Mahdiy dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Alqamah dengan sanad ini
secara mursal, tanpa menyebut padanya ‘Aaisyah. Dan Abu Usaamah juga telah
meriwayatkan dari Hisyaam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aaisyah, dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai sesuatu dari hadits ini” [Al-Jaami’,
6/181].
Diriwayatkannya hadits ini dari jalur
Ibnu Mahdiy secara mursal tidaklah membuat hadits ini cacat, sebab sanad bersambung
lebih kuat daripada yang mursal. Bahkan, sanad mursal ini menjadi penguat dari
sanad hadits maushul ini.
[2]
Keterangan perawi :
a.
Ibnu Khuzaimah, seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Lihat
biografinya dalam artikel : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/biografi-ibnu-khuzaimah.html.
b.
Sa’iid bin Yahyaa bin Sa’iid bin Abaan Al-Umawiy; seorang yang tsiqah,
namun kadang melakukan kekeliruan (w. 249 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 390 no. 2428]. Kekeliruan yang disifatkan padanya
tidak memudlaratkan riwayatnya, karena hanya sedikit.
c.
Yahyaa bin Sa’iid bin Abaan bin Sa’iid bin Al-‘Aash Al-Umawiy, Abu Ayyuub
Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq yughrib (w. 194 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1055 no. 7604]. Namun perkataan yang lebih
benar tentang dirinya, ia seorang yang tsiqah, sebagaimana dikatakan
Adz-Dzahabiy [Al-Kaasyif, 2/366 no. 6172]. Telah di-tsiqah-kan oleh sejumlah
ulama seperti : Ibnu Ma’iin, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Ammaar,
Ad-Daaruquthniy, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, dan Ibnu Sa’id.
d.
Sa’iid bin Katsiir bin ‘Ubaid Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abul-‘Anbas Al-Malaaiy
Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 386 no. 2394].
e.
Katsiir bin ‘Ubaid Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu Sa’iid Al-Kuufiy; seorang
yang shaduuq hasanul-hadiits [Tahriirut-Taqriib, 3/194 no. 5619].
Sanad hadits ini hasan, dan ia menjadi
shahih (lighairihi) dengan penguat hadits sebelumnya.
[3]
Silakan baca artikel kami di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/11/apakah-aisyah-berniat-memerangi-ali.html.
[4]
Keterangan perawi :
a.
Yahyaa bin Aadam bin Sulaimaan Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu Zakariyyaa
Al-Kuufiy; seorang tsiqah, haafidh, lagi mempunyai keutamaan (w. 203 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal.
1047-1048 no. 7546].
b.
Israaiil, ia adalah Ibnu Yuunus bin Abi Ishaaq As-Sabii’iy Al-Hamdaaniy;
seorang yang tsiqah (w. 160 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [idem, hal. 134 no. 405].
c.
Abu Ishaaq, ia adalah As-Sabii’iy, ‘Amru bin ‘Abdillah bin ‘Ubaid
Al-Hamdaaniy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, banyak haditsnya, ‘aabid, namun
bercampur hapalannya di akhir umurnya (w. 129 dalam usia 96 tahun). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 739 no. 5100]. Israail
mendengar hadits dari Abu Ishaaq di akhir umurnya [Al-Ightibaath, hal.
278-279].
d.
‘Ariib bin Humaid, Abu ‘Ammaar Al-Hamdaaniy Ad-Duhniy Al-Kuufiy; seorang
yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 675 no. 4605].
Riwayat di atas juga dibawakan oleh
Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 3/186 dan Ibnu Sa’d 8/65 dari jalan Israaiil bin
Yuunus.
Israaiil dalam periwayatan dari Abu
Ishaaq mempunyai mutaba’ah dari :
a.
Al-Jarraah bin Maliih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dalam
Al-Fadlaail no. 1631 : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ayahnya,
dari Abu Ishaaq.
Keterangan perawi :
Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih
Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aabid
(127/128/129-196/197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 1037 no. 7464].
Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu
Wakii’ Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, sering keliru (w. 175/176 H). Dipakai Muslim dalam
Shahih-nya [idem, hal. 196 no. 916].
b.
Yuunus bin Abi Ishaaq, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam
Al-Hilyah 2/44 : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan
: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Iisaa Muusaa bin ‘Aliy Al-Khataliy :
Telah menceritakan kepada kami Jaabir bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Al-Hasan Al-Faqiih, dari Yuunus bin Abi Ishaaq : Telah
menceritakan kepada kami Abu Ishaaq.
Muhammad bin Al-Hasan adalah seorang
perawi yang sangat lemah [lihat Mishbaahul-Ariib, 3/106 no. 23151].
c.
‘Amru bin Qais dan Sufyaan Ats-Tsauriy, sebagaimana diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraaniy 23/40 no. 102 dan Al-Haakim no. 5684 : Telah menceritakan
kepada kami Asy-Syaikh Abu Bakr bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Abaan Al-Waasithiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Syihaab Al-Hanaath :
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Qais dan Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Abu
Ishaaq.
Abu Bakr bin Ishaaq adalah Al-Haafidh
Ibnu Khuzaimah. Ia, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan Sufyaan Ats-Tsauriy
adalah orang-orang tsiqaat yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Muhammad bin Abaan bin ‘Imraan
As-Sulamiy, Abul-Hasan Al-Waasithiy; seorang yang shaduuq (w. 238 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 819 no. 5724].
Abu Syihaab Al-Hanaath, ia adalah ‘Abdu
Rabbih bin Naafi’ Al-Kinaaniy Al-Hanaath; seorang yang shaduuq mendekati tsiqah
(w. 171/172). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[Tahrriut-Taqriib, 2/304 no. 3790].
d.
Zuhair bin Mu’aawiyyah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d
sebagaimana dalam Musnad-nya no. 2629, dan dari jalannya Ath-Thabaraaniy 23/40
no. 103.
Zuhair bin Mu’aawiyyah seorang yang
tsiqah lagi tsabat [Taqriibut-Tahdziib, hal. 342 no. 2062].
Riwayat tersebut juga dibawakan oleh :
a.
At-Tirmidziy no. 3888 dari Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan
bin Mahdiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan.
Semua perawi yang disebutkan adalah
tsiqaat.
b.
Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 22/184 dengan sanadnya sampai
Abul-Qaasim Al-Baghawiy : Telah menceritakan kepada kami Basyaar bin Muusaa :
Telah menceritakan kepada kami Syariik.
Basyaar bin Muusa dan Syariik adalah dua
orang perawi lemah.
Keduanya (Sufyaan dan Syariik) dari Abu
Ishaaq, dari ‘Amru bin Ghaalib, dari ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu.
‘Amru bin Ghaalib adalah seorang yang
tsiqah, telah di-tsiqah-kan oleh An-Nasaa’iy, At-Tirmidziy, dan Ibnu Hibbaan [Tahdziibut-Tahdziib,
8/88].
Semua riwayat di atas sanadnya berporos
pada Abu Ishaaq yang meriwayatkan dari ‘Ariib bin Humaid dan ‘Amru bin Ghaalib
dengan ‘an’anah. Ia (Abu Ishaaq) sendiri seorang mudallis. Ibnu Hajar
meletakkannya pada martabat ketiga [lihat : Thabaqaatul-Mudallisiin no. 91].
Akan tetapi ini perlu di-tahqiq. Yang benar, ia seorang yang sedikit
tadlis-nya. Riwayatnya tetap dihukumi bersambung selama tidak ada bukti bahwa
ia memang melakukan tadlis terhadap riwayat tersebut. Ada bahasan menarik
tentang tadlis Abu Ishaaq As-Sabi’iy ini, silakan baca : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=104306.
Adapun periwayatan para perawi setelah
ikhtilath-nya, maka itu ndak ngaruh karena keberadaan beberapa mutaba’aat yang
disebutkan di atas.
Kesimpulannya, riwayat ini shahih,
sebagaimana dikatakan oleh At-Tirmidziy. Wallaahu a’lam.
Catatan : Asy-Syaikh Al-Albaaniy
rahimahullah men-dla’if-kan riwayat ini, sebagaimana tertuang dalam Dla’iif
Sunan At-Tirmidziy hal. 445.
[5]
Keterangan perawi :
a.
‘Abdurrazzaaq bin Hammaam, telah lalu keterangan tentangnya.
b.
Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah
lagi tsabat (w. 154 dalam usia 58 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
c.
Ibnu Khutsaim, ia adalah ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim. Telah lalu
keterangan tentangnya.
d.
Ibnu Abi Mulaikah, telah lalu keterangan tentangnya.
e.
Dzakwaan, Abu ‘Amru Al-Madaniy,
maula ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy
dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 313 no. 1851].
Sanad hadits ini shahih.
‘Abdurrazzaaq mempunyai mutaba’ah dari
Sufyaan bin ‘Uyainah sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/220 tanpa
menyebutkan Dzakwaan.
Diriwayatkan pula Al-Haakim 4/8-9 dari
‘Aliy bin Hamsyaadz Al’Adl : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muusaa :
Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy : Telah menceritakan kepada kami
Sufyaan (bin ‘Uyainah), dari ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim, dari Ibnu Abi
Mulaikah, tanpa menyebutkan Dzakwaan. Selain tidak menyebutkan Dzakwaan,
riwayat Al-Haakim ini juga tidak menyebutkan Ma’mar bin Raasyid antara Sufyaan
dan Ibnu Khutsaim.
Ma’mar dalam periwayatan dari Ibnu
Khutsaim mempunyai mutaba’aat dari :
a.
Zaaidah bin Qudaamah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/277 dan
Ath-Thabaraaniy 10/390-391 no. 10783 dari jalan Mu’aawiyyah bin ‘Amru, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Zaaidah : Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdullah bin Khutsaim.
Mu’aawiyyah bin ‘Amru bin Al-Muhallab
adalah tsiqah [idem, hal. 956 no. 6816]. Adapun Zaaidah bin Qudaamah, ia
seorang yang tsiqah lagi tsabat [idem, hal. 333 no. 1993].
b.
Zuhair bin Mu’aawiyyah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam
Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah hal. 47-48 no. 84 : Telah menceritakan kepada kami
An-Nufailiy : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Mu’aawiyyah : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim.
An-Nufailiy, ia adalah ‘Abdullah bin
Muhammad bin ‘Aliy bin Nufail Al-Qadlaa’iy, Abu Ja’far An-Nufailiy; seorang
yang tsiqah lagi haafidh [idem, hal. 543 no. 3619].
c.
Bisyr bin Al-Mufadldlal; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no.
2648 : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar : Telah
menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kam
‘Abdullah bin ‘Utsmaan (bin Khutsaim).
‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Maisarah
Al-Qawaaririy adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat [idem, hal. 643 no. 4354].
Bisyr bin Al-Mufadldlal bin Laahiq Ar-Raqqaasiy adalah seorang yang tsiqah,
tsabat, lagi ‘aabid [idem, hal. 171 no. 710].
d.
Yahyaa bin Sulaim; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 7108
dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/45 dari jalan Al-Hasan bin Sufyaan : Telah
menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Janaad Al-Halabiy : Telah menceritakan
kepada kami Yahyaa bin Sulaim, dari ‘Abdulah bin ‘Utsmaan bin Khutsaim; dengan
tanpa menyebutkan Dzakwaan.
Al-Hasan bin Sufyan bin ‘Aamir bin
‘Abdil-‘Aziz An-Nasawiy, seorang yang tsiqah [Mishbaahul-Ariib, 1/336 no.
6988]. Al-Haitsaam bin Jannaad, disebutkan Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat
9/237. Yahyaa bin Sulaim Al-Qurasyiy Ath-Thaaifiy, seorang yang shaduuq, namun
jelek hapalannya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1057 no. 7613].
Ibnu Khutsaim dalam periwayatan dari Ibnu
Abi Mulaikah juga mempunyai mutaba’aah dari ‘Umar bin Sa’iid bin Abi Husain;
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4753; tanpa menyebutkan Dzakwaan.
Atsar ini juga diriwayatkan secara
ringkas oleh Ahmad dalam Al-Fadlaail no. 1636 dari jalan Wakii’, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Abi Ibraahiim, dari ‘Abdullah bin
‘Ubaid : “Ibnu ‘Abbaas meminta ijin kepada ‘Aaisyah (untuk menemuinya/menjenguknya)
saat ia sakit yang membawa kepada kematiannya…..dst”.
Haaruun bin Abi Ibraahiim Al-Barbariy,
seorang yang tsiqah [Al-Jarh wat-Ta’diil, 9/96-97 no. 399]. ‘Abdullah bin
‘Ubaid bin ‘Umair bin Qataadah Al-Laitsiy, seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 524-525 no. 3478].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy
secara ringkas no. 3771 dari jalan Muhammad bin Basyaar, dan no. 4754 dari
jalan Muhammad bin Al-Mutsannaa; keduanya berkata : Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Abdil-Majiid : Telah menceritakan kepada kami Ibnu
‘Aun, dari Al-Qaasim : “Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas meminta ijin kepada
‘Aaisyah…..dst.”.
[6]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat shahih lagi
mutawatir bersabda :
من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من النار
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan
sengaja, maka persiapkan tempat duduknya (kelak) di neraka”.
[7]
Keterangan perawi :
a.
Yuunus bin ‘Abdil-A’laa bin Maisarah bin Hafsh bin Hayyaan Ash-Shadafiy,
Abu Muusaa Al-Mishriy; seorang yang tsiqah (170-264 H). Dipakai Muslim dalam
Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1098 no. 7964].
b.
‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad
Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid (125-197 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 556 no. 3718].
c.
Bakr bin Mudlar bin Muhammad bin Hakiim bin Salmaan, Abu Muhammad/Abu
‘Abdil-Malik Al-Mishriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (102-173/174 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 176 no. 759].
d.
Ibnul-Haad, ia adalah Yaziid bin ‘Abdillah bin Usaamah bin Al-Haad
Al-Laitsiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, banyak haditsnya (w.
139 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1077 no.
7788].
e.
Muhammad bin Ibraahiim bin Al-Haarits bin Khaalid Al-Qurasyiy At-Taimiy;
seorang yang tsiqah (lahu afraad) (w. 120 dalam usia 74 tahun). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 819 no. 5727].
f.
Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah banyak haditsnya (w. 94 H dalam usia 72 tahun). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1155 no. 8203].
Para perawinya tsiqaat, sanadnya bersambung,
dan tidak ada ‘illat sedikitpun.
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar
dalam Al-Fath 2/444 dan Al-‘Iraaqiy dalam Takhriij Al-Ihyaa’ 1/393.
Kemuliaan
Di Balik Biografi Siti 'Aisyah. Ra.
Siti Aisyah atau dikenal juga dengan
Aisyah binti Abu Bakar adalah putri Abu Bakar Ashidiq yang juga merupakan istri
Nabi Muhammad yang paling muda. Aisyah merupakan sosok wanita yang sangat
cerdas dan kaya dengan lautan ilmu. Ia merupakan wanita yang istimewa karena
kemahirannya dalam menyampaikan ilmu kepada para sahabat yang lain dan
merupakan istri Nabi yang menghafal banyak hadits. Aisyah masuk Islam ketika
masih kecil sesudah 18 orang yang lain. Ia merupakan istri Nabi yang sangat
dikasihinya. Ia dinikahi pada tahun 2 H saat usianya masih 9 tahun.
Kelahiran
Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah
bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay,
yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy
at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama yang
mempercayai Rasulullah ketika terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak
mempercayainya.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu
Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab
atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan
sebagai wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku
berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam.”
Ummu Ruman memberikan dua orang anak
kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah
dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri pertama yang dia nikahi
pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais
yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang
melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat tahun sesudah Nabi diutus
menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik,
Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar. Semasa kecil
dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah usianya belum
genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah
membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.
Pernikahan yang Penuh Berkah
Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a,
datang wahyu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah .
Setelah itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga
malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada
selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’ Ketika aku membuka
tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya, ‘Jika ini benar
dari Allah, niscaya akan terlaksana.” Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan
istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri
mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan
yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau
ditinggalkan di Mekah.
Setelah beliau menetap di Madinah, beliau
mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya Aisyah . Karena
cuaca buruk yang melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan badannya menyusut
seperti juga dialami orang-orang Muhajirin. Menyaksikan hal itu, Rasulullah
berdoa, “Ya Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang mencintai Madinah
sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah
penghuninya dan penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan
takarannya. Lindungilah kami dan penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke
Juhfah.” Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca berangsur membaik,
sehingga hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin. Aisyah pun sembuh dan
bersiap-siap menghadapi hari pernikahan dengan Rasuhillah Shallallahu alaihi
wassalam.
Dengan izin Allah menikahlah Aisyah
dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin
Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah:
“Aisyab menjawab, Mahar Rasulullah kepada
istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy
itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah
uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap
istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)
Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam
Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan
dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu
disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di hati Rasulullah, kedudukan
Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh istri-istri beliau yang
lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta
pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah .”
Di dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan,
“Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga
Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka kamu. Kamu telab menyakiti istri
kecintaan Rasulullah’.”
Selain itu ada juga kisah lain yang
menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh
kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa
menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada Aisyah sebagai hari untuk
menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Keadaan seperti
itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri Rasulullah lainnya. Tentang hal
itu Aisyah pernah berkata:
“Orang-orang berbondong-bondong memberi
hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku (istri
Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata, ‘Hai Ummu
Salamah, demi Allah, orang-orang berbondong-bondong mernberikan hadiah pada
hari giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin rnemperoleh
kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu,
Rasulullah meminta kaum muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada
hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun telah menyatakan
keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah berpaling dariiku. Ketika
beliau mendatangi aku, akupun kernbali mernperingatkan hal itu, tetapi beliau
berbuat hal yang serupa. Ketika aku rnenginatkan beliau untuk yang ketiga kalinya,
beliau tetap berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda, ‘Demi Allah,
wahyu tidak turun kepadaku selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika
aku dalam satu selimut bersama Aisyah.” (HR. Muslim).
Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah
terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah yang
sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, ”Demi
Allah, dia adalah manusia yang paling beliau cintai setelah ayahnya (Abu
Bakar).”
Suatu waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru
bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab,
“Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab,
“Ayahnya!” (Hadits muttafaqirn ‘alaihi)
Di antar istri-istri Rasulullah, Saudah
binti Zum’ah sangat memahami keutamaan- keutamaan Aisyah, sehingga dia
merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu hari Shafiyah bin Huyay meminta
kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dari Aisyah.
“Suatu ketika Rasulullah enggan mendekati
Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu Shafyyah berkata kepada Aisyah,
‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan
mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil
kerudung yang ditetesi za’faran dan disiram dengan air agar lebih harum.
Setelah itu dia duduk di sebelah Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya
Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab berkata,
‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan Allah kepada dia yang dikehendaki-Nya.’
Aisyah kemudian menceritakan duduk permasalahannya dan Rasulullah pun rela
kepada Shafyyah.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah rela. Dia
menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan
darinya. Karena itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang
bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah. Menjelang wafat, Rasulullah meminta
izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya
hingga wafatnya. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku
karena Rasulullah wafat di pangkuanku.”
Fitnah Terhadapnya
Aisyah pernah mengalami fitnah yang
mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya, hingga turun ayat Al-Q ur’an yang
menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya bermula dari sini. Seperti biasanya,
sebelum berangkat perang, Rasulullah mengundi istrinya yang akan menyertainya
berperang. Ternyata undian jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai
beliau dalam Perang Bani al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya
perintah memakai hijab. Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik
kemenangan, Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah
beristirahat di sebuah pelataran, Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya.
Pada malam harinya, Rasulullah mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika
itu Aisyah pergi untuk hajatnya, dan kembali. Ternyata, kalung di lehernya
jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dan sekedup dan mencari-cari kalungnya
yang hilang. Ketika pasukan siap berangkat, sekedup yang mereka angkat ternyata
kosong. Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup. Setelah kalungnya
ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada
seorang pun yang dia temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira
bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga
mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah
Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah tidur. Dia pun
mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di depannya. Berawal
dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin
Salul.
Ketika tuduhan itu sarnpai ke telinga
Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka. Usamah bin
Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah keluargamu … yang kau ketahui hanyalah
kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat, “Ya Rasulullah, Allah tidak pernah
mempersulit engkau. Banyak wanita selain dia.” Dari perkataan Ali, ada pihak
yang memperuncing masalah sehingga terjadilah pertentangan berkelanjutan antara
Aisyah dan Ali. Mendengar pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bentambah
sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat adanya perubahan sikap pada diri
Nabi.
Ketika Aisyah sedang duduk-duduk bersarna
orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar berita bahwa
kau telah begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah akan
menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan
penuh penyesalan, niscaya Allah akan mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi
Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau
mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya
Allahlah yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan
mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah mengetahui
bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat
mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan
Allah pula yang akan menolong atas apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah sangat mengharapkan Allah
menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung
turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun meninggalkan rumah
Rasulullah, wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun kepada beliau.
Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah telah
menyucikanmu dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa
berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap
seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa
di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur:11)
Demikianlah kemulian yang disandang
Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan keagungannya di hati Rasulullah.
Perjalanan Hidup yang Mulia
Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki
kelemahan, begitu juga halnya dengan Aisyah, yang selain memiliki kehormatan
dan martabat juga memiliki kekurangan. Dalam hal ini dia pernah berkata,
“Aku tidak pernah melihat pembuat makanan
seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi makanan kepada Rasulullah. Tanpa
sadar aku pernah memecahkan tempat makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya
kepada Rasulullah apa yang dapat dijadikan sebagai tempat yang pecah itu.
Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti dengan tempat dan makanan diganti dengan
makanan.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pernah berkata:
“Halah binti Khuwailid, saudara perempuan
Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. merasa bahwa cara Halah meminta izin sama dengan cara Khadijah
meminta izin, dan beliau merasa senang atas semua itu. Lalu beliau berkata, ‘Ya
Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’ Aku berkata, ‘Apa yang engkau sebut itu
adalab seorang nenek dari nenek-nenek kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya
merah. Dia telah tua renta ditelan masa. Semoga Allah memberi untukmu pengganti
yang lebih baik daripada dia.‘ Mendengar itu Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak
akan memberikan pengganti yang lebib baik darpada Khadijah. Dia telah beriman
kepadaku ketika orang lain mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang
lain mendustakanku. Dia telah mendermakan harta bendanya untuk perjuanganku
ketika orang lain menolak memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku
dengan putra-putri lewat Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak.” (HR.
Ahmad dan Muslim)
Terdapat beberapa pendirian yang tegas
dan pemecahan problema hukum yang penting, baik khusus yang berkaitan dengan
wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin secara
umum. Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu seorang laki-laki dapat menceraikan
istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu akan kembali menjadi istrinya jika
suaminya membujuk kembali dalam keadaan iddah, sekalipun dia telah
menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu berkata kepada istrinya, “Demi
Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau menjadi jelas, dan aku tidak akan
memberimu nafkah selamanya”. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan. Dia
menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu hampir berakhir, dan jika engkau telah
suci kembali, aku akan merujukmu kembali. Istrinya menemui Aisyah dan
menceritakan masalah yang dihadapinya. Aisyah terdiarn hingga Rasulullah
datang. Beliau pun diam tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut hingga
turunlah ayat:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
Setelab itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘ruf atau menceraikannya dengan
cara yang baik….” (al-Baqarah: 229)
Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap
langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Suatu ketika dia
mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian umum.
Aisyah mendatangi mereka dan berkata,
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah
selain rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan
Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah pun pernah menyaksikan adanya
perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam setelah Rasulullah
wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata, “Seandainya
Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini), niscaya beliau
akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang
memasuki tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan
bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin Aisyah . Ketika itu
Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung
tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.
Hadist yang Diriwayatkan Aisyah
Aisyah memiliki wawasan ilmu yang luas
serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik yang dikaji dari Al-Qur’an,
hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang masalah ilmu-ilmu yang dimiliki
Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari
hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap
kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.” Para
sahabat sering meminta pendapat jika menemukan masalah yang tidak dapat mereka
selesaikan sendiri. Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang keliru
diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Salah
satu contoh adalah perkataan yang diungkapkan oleh Abu Hurairah. Ketika itu Abu
Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhi ibnu Abbas bahwa barang
siapa yang masih dalam keadaan junub pada terbit fajar, maka dia dilarang
berpuasa. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab,
“Rasulullah pernah junub (pada waktu fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau
meneruskan puasanya.” Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, “Dia
lebih mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah lebih banyak
berfungsi scbagai sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru
untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa
membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah
hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah adalah orang yang paling dekat
dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau,
sebagairnana perkataannya ini:
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada
Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan
diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pun memiliki kesempatan untuk
bertanya langsung kepada Rasulullah jika menemukan sesuatu yang belum dia
pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia memperoleh
ilmu langsung dan Rasulullah sebagaimana ungkapannya ini:
“Aku bertanya kepada Rasulullah tentang
ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati
yang takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60). Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas
adalah para peminum khamar dan pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan, putri
ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, tetapi
takut (amal mereka tidak diterima). Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan,
tetapi mendahului (menentukan sendiri) kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan
Tirmidzi).
Aisyah berkata lagi: “Aku bertanya kepada
Rasulullah tentang firman Allah: ‘Yauma tabdalul-ardhu ghairal-ardha
was-samawati. Di manakah manusia berada, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Manusia berada di atas shirath.“ (HR. Muslim)
Aisyah termasuk wanita yang banyak
menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sehingga para ahli
hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah
Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. Aisyah memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang
langsung dia peroleh dan Rasulullah dan menghafalkannya di rumah. Karena itu,
sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi
hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk
langsung memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat
terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan
mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak
saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar,
Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat pemerintah hingga wafat.
Aisyah dikenal sebagai perawi hadits yang
mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan hukumnya tidak ditemukan dalam
Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu Salamah berkata, “Aku tidak
pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih benar
pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui bagaimana Al-Qur’an turun,
serta lebih mengenal kewajibannya selain Aisyah.”
Suatu ketika Saad bin Hisyam menemui
Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang bagaimana pendapatmu jika aku
tetap membujang selarnanya.” Aisyah menjawab, “Janganlah kau lakukan hal itu,
karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda tentang
firman Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul sebelummu, dan Kami telah ciptakan
bagi mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh karena itu, janganlah kamu
membujang.” Urwah bin Zubeir, salah seorang murid Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan
penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata, “Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh
aku mengagumimu. Menurutku engkau adalah manusia yang paling banyak mengetahui
sesuatu.” Aisyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu berpendapat seperti itu?” Dia
menjawab, “Engkau adalah istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan putri Abu
Bakar. Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan syair orang-orang Arab.” Dia
berkata lagi, “Apa yang menyebabkan engkau dan ayahmu menjadi orang yang paling
pandai dariipada seluruh orang Quraisy? Aku sangat mengagumi kepandaianmu
tentang ilmu medis. Dari manakah engkau mendapatkan ilmu itu?” Aisyah menjawab,
“Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sering
sakit, sehingga dokter-dokter Arab dan bukan Arab datang mengobati beliau. Dari
merekalah aku belajar.”
Tentang penguasaan bahasa dan sastranya,
kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang pun
yang lebih fasih dariipada Aisyah selain Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais
berkata, “Aku telah mendengar khutbah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga saat ini aku belum pernah mendengar satu
perkataan pun dari makhluk Tuhan yang lebih berisi dan baik daripada perkataan
Aisyah.” Salah satu contoh kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada
kuburan ayahnya, Abu Bakar:
“Allah telah mengilaukan wajahmu, dan
bersyukur atas kebaikan yang telah engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia
karena engkau berpaling darinya. Akan tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena
engkau selalu menghadap untuknya. Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah
wafat dan musibah terbesar adalah kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan
kesabaran dan menggantikan yang baik selainmu. Aku merasakan janji Allah yang
telah ditetapkan bagirnu dan ikhlas atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya
gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah
kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan rahmat Allah.”
Dari Aisyah pun sering keluar kata-kata
hikmah yang terkenal, seperti:
“Bagi Allah mutiara takwa. Takkan ada
kesembuhan bagi orang yang di dalarn hatinya terbersit kemarahan. Pernikahan
adalah perbudakan, maka seseorang hendaklah melihat kepada siapa dia
mengabdikan putri kemuliaannya.”
Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di
Kamarnya
Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah selama
sakit di kamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia dapat
merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah ini dia melukiskan detik-detik
terakhir beliau menjelang wafat:
“Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku,
Rasulullab wafat di rurnahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah telah
menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang wafat. Abdurrahman menemuiku, di
tangannya tergenggam siwak, sementara aku menyandarkan beliau. Aku melihat
beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera memahami bahwa beliau menyukai
siwak. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku haluskan siwak untukmu?’
beliau memberi isyarat dengan kepala, sepertinya mengisyaratkan ‘ya’. Kemudian
beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak, sernentara di tangan beliau
ada bejana berisi air. Beliau mernasukkan kedua belab tangan dan mengusapkannya
ke wajah seraya berkata, ‘Laa ilaaha illahu… setiap kematian mengalami sekarat
(beliau mengangkat tangannya)… pada Allah Yang Maha Tinggi. ‘Beliau menggenggam
tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawab.“ (HR. Muttafaq Alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau meninggal. Sementara itu,
dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia
memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau
lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia
di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang
yang paling mulia di antara ketiga bulanmu.” Ternyata Abu Bakar dan Umar
dikubur di rumah Aisyah.
Setelah Rasulullah Wafat
Setelah Rasulullah wafat, Aisyah
senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya
dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir Allah, dan selalu
berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah. Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang
dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.” (QS. Al-Ahzab:33)
Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi
orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau untuk berziarah ke
makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika istri-istri Nabi hendak mengutus
Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar untuk menanyakan harta warisan Nabi yang
merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, “Bukankah Rasulullah telah
berkata, ‘Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami
tinggalkan itu adalah sedekah.”
Semasa kekhalifahan Abu Bakar, kadar
keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan kaum muslimin, karena dengan
jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga karena kaum muslimin sedang
disibukkan oleh perang Riddah (perang melawan kaum murtad). Setelah dua tahun
tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal dunia.
Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya agar menguburkannya di
sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya, dan ketika Abu Bakar
rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi, kepalanya diletakkan
pada sisi pundak Nabi.
Ilmu Aisyah mulai tampak pada masa
kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar senantiasa merujuk pendapat
Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan- permasalahan yang berkenaan
dengan kaum muslimin. Di dalam Thabaqat, dari Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad
berkata, “Para istri Nabi banyak rnenghafal hadits Nabi, namun hafalan Aisyah
dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi. Aisyah adalah penasihat
kekhalifahan Umar dan Utsman hingga dia meninggal. Pada waktu itu, Umar sangat
memperhatikan keadaan istri-istri Nabi. Tentang hal itu Aisyah berkata, ‘Umar
bin Khaththab selalu memperhatikan keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung
kaki. Dia memiliki tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan
kemudian dikirimkan kepada istri-istrii Nabi Shallallahu alaihi wassalam.’
Begitu juga dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat menghormati Utsman karena
kedudukannya sangat terhormat di hati Rasulullah. Utsman bin Affan memiliki
kedermawanan dan rasa malu yang besar, sehingga Aisyah pernah berkata, ‘Nabi
Shallallahu alaihi wassalam. sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika Nabi
bertemu dengannya, beliau akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya.’
Ketika Aisyah menanyakan hal itu, beliau menjawab, ‘Aku merasa malu kepada
seseorang yang kepadanya malaikat sangat malu.”
Di dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan
bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman agar jangan turun dari kekhalifahan
jika belum terlaksana dengan sempurna. Beliau bersabda, “Wahai Utsman,
sesungguhnya pada suatu hari nanti Allah akan mengangkatmu dalam urusan ini.
Jika orang-orang munafik menginginkan agar engkau meninggalkan baju kebesaran
yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah engkau melepaskannya.” Beliau mengulang
perkataan tersebut tiga kali. Ketika Utsman meninggal di tangan pemberontak,
Aisyahlah yang pertama menuntut balas atas kematiannya.
Berkaitan dengan masalah permusuhan
Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri yang menetralkan isu
tersebut. Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat, dan
tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman Rasulullah
sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu tidak akan
melupakan kegigihan Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi orang pertama
yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali dan Aisyah tentu
saja tidak beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas ilmu dan sifat
amanah Ali. Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah tentang mengusap
khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka Aisyah menjawab, “Datanglah
kepada Ali, karena dia selalu bepergian (safar) bersama Rasulullah.”
Setelah Ali wafat, Aisyah senantiasa
berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits dan tafsir ayat Al-Qur’an.
Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak terjang Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang
banyak bertentangan dengan syariat Islam walaupun Mu’awiyah senantiasa berusaha
menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat, Mu’awiyah mengutus seseorang
untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya, “Tuliskan untukku, dan jangan
terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam sejahtera buatmu. Aku mendengar
Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Barang siapa yang mencari
keridhaan Allah sementara manusia marah, niscaya Allah cukupkan baginya
pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan
kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah tersebut kepada manusia. Salam
sejahtera untukmu.”
Wafatnya Aisyah
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad,
Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan,
tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’. Kehidupan Aisyah penuh
kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah,
selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Bahkan dia sering
memberikan anjuran untuk shalat malam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin
Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan
shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika
beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk.” Aisyah
memiliki kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh
Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada
Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha,
lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata,
‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah pun senantiasa memperbanyak doa,
sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat
panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui
Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu sedang berpuasa sehingga air yang dia
bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah
menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah
bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun
sebelumnya.”
Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan
sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau
satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. pernah bersabda, “Berjaga
dirilah engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.”
Di dalam riwayat lain dikatakan, “Aku
didatangi oleh seorang ibu yang membawa dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu
dariku sedangkan aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka
selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu
membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kern udian pergi. Setelab itu
Rasulullab masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat
baik kepada mereka, maka mereka akan rnenjadi penghalang baginya dari api
neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).
Ada juga riwayat lain yang membuktikan
kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus
ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah
membagi-bagikan sernuanya. Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging
untuk kami dengan uang satu dirham.’ Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau
katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku
lakukan hal itu untukmu.”
Aisyah
Sang Perawi Hadits
Aisyah juga dikenal sebagai pembawa
bendera dalam bidang keilmuan dan pengetahuan di masanya. Seakan-akan dia lampu
terang yang menyinari para ahli ilmu dan penuntut ilmu.
Bahkan sahabat Nabi saw datang padanya
untuk menanyakan tentang ilmu yang masih sulit dimengerti dan beberapa masalah
keilmuan, dia memberikan jawaban yang memuaskan dengan tenang dan teliti. Suatu
jawaban yang tidak mudah diberikan kecuali oleh orang yang sudah mencapai tahap
keilmuan yang tinggi.
Aisyah juga terhitung salah seorang yang
keilmuannya melampaui banyak orang lainnya dalam hal Al-Qur’an, hadits, fiqh,
syair, cerita-cerita Arab, hari-hari mereka dan nasab mereka.
Menurut perhitungan, diantara orang-orang
yang menghapal hadits dari para sahabat lebih dari seratus tiga puluh orang,
lelaki dan perempuan. Dan orang yang paling banyak hapalannya diantara mereka
ada tujuh orang; Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud,
Aisyah Ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin
Umar.
Aisyah meriwayatkan beberapa hadits dari
Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Fatimah Zahra, Sa’ad bin Abi
Waqash, Hamzah bin Amr Al-Aslami, Judzamah binti Wahab, sekitar 2.210 hadits.
Oleh karena itu, Aisyah termasuk salah seorang periwayat hadits yang paling
banyak.
Peringkatnya di bawah prestasi Abu
Hurairah yang meriwayatkan 5.394 hadits, dan tepat di bawah Abdullah bin Umar
bin Khattab yang meriwayatkan 2.638 hadits. Aisyah berada di atas prestasi Ibnu
Abbas yang meriwayatkan 1.660 hadits. Setelah itu Jabir bin Abdullah Al-Anshari
yang meriwayatkan 1.540 hadits, dan dia berada di atas Abu Sa’id yang
meriwayatkan 1.170 hadits.
Dari dulu Aisyah dikenal sebagai orang
yang jujur, banyak beribadah, tahajud, dan berpuasa. Aisyah juga dikenal
sebagai orang yang pemalu. Ketika dia masuk ke dalam rumah yang di dalamnya
terdapat makam Rasulullah dan Abu Bakar dia tidak perlu memakai hijab.
Dia beralasan karena dua orang tersebut
adalah suami dan ayahnya. Namun ketika Umar bin Khattab dikubur di sebelah
keduanya, dia tidak lagi membuka hijabnya karena malu kepada Umar bin Khathab.
Aisyah wafat pada 17 Ramadhan tahun 57 H,
ada juga yang mengatakan tahun 58 H, di Madinah, dalam usia 66 tahun. Dia
menginginkan agar dikuburkan pada malam hari. Orang-orang Anshar berkumpul, dan
tiada satu malam yang pernah mereka saksikan sebelumnya dengan lautan manusia
yang mengiringi jenazah Aisyah pada malam itu.
Aisyah dikuburkan di Baqi’ dan
dishalatkan oleh Abu Hurairah yang menjadi imam. Ada lima orang yang turun ke
dalam liang kuburnya; Abdullah dan Urwah (keduanya anak Zubair), Qasim dan
Abdullah (keduanya anak Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq), dan Abdullah bin
Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kemuliaan
dan Keutamaan Aisyah RA
Beliau adalah Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah binti Abu Bakr, Shiddiqah
binti Shiddiqul Akbar, istri tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau lahir empat tahun setelah diangkatnya Muhammad menjadi seorang
Nabi. Ibu beliau bernama Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams bin
Kinanah yang meninggal dunia pada waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih hidup yaitu tepatnya pada tahun ke-6 H.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menikahi Aisyah dua tahun sebelum hijrah melalui sebuah ikatan suci
yang mengukuhkan gelar Aisyah menjadi ummul mukminin, tatkala itu Aisyah masih
berumur enam tahun. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun
rumah tangga dengannya setelah berhijrah, tepatnya pada bulan Syawwal tahun
ke-2 Hijriah dan ia sudah berumur sembilan tahun.
Aisyah menceritakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menikahiku pasca meninggalnya Khadijah sedang aku masih
berumur enam tahun, dan aku dipertemukan dengan Beliau tatkala aku berumur
sembilan tahun. Para wanita datang kepadaku padahal aku sedang asyik bermain
ayunan dan rambutku terurai panjang, lalu mereka menghiasiku dan mempertemukan
aku dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Abu Dawud: 9435).
Kemudian biduk rumah tangga itu berlangsung
dalam suka dan duka selama 8 tahun 5 bulan, hingga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam meninggal dunia pada tahun 11 H. Sedang Aisyah baru berumur
18 tahun.
Aisyah adalah seorang wanita berparas
cantik berkulit putih, sebab itulah ia sering dipanggil dengan “Humaira”.
Selain cantik, ia juga dikenal sebagai seorang wanita cerdas yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkannya untuk menjaid pendamping Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengemban amanah risalah yang akan menjadi
penyejuk mata dan pelipur lara bagi diri beliau. Suatu hari Jibril
memperlihatkan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) gambar Aisyah
pada secarik kain sutra berwarna hijau sembari mengatakan,
“Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia
dan di akhirat.” (HR. At-Tirmidzi (3880), lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi
(3041))
Selain menjadi seorang pendamping setiap
yang selalu siap memberi dorongan dan motivasi kepada suami tercinta di tengah
beratnya medan dakwah dan permusuhan dari kaumnya, Aisyah juga tampil menjadi
seorang penuntut ilmu yang senantiasa belajar dalam madrasah nubuwwah di mana
beliau menimba ilmu langsung dari sumbernya. Beliau tercatat termasuk orang
yang banyak meriwayatkan hadits dan memiliki keunggulan dalam berbagai cabang
ilmu di antaranya ilmu fikih, kesehatan, dan syair Arab. Setidaknya sebanyak
1.210 hadits yang beliau riwayatkan telah disepakati oleh Imam Bukhari dan
Muslim dan 174 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari serta 54 hadits
yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Sehingga pembesar para sahabat kibar
tatkala mereka mendapatkan permasalahan mereka datang dan merujuk kepada Ibunda
Aisyah.
Kedudukan Aisyah di Sisi Rasulullah
Suatu hari orang-orang Habasyah masuk
masjid dan menunjukkan atraksi permainan di dalam masjid, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Aisyah, “Wahai Humaira, apakah engkau
mau melihat mereka?” Aisyah menjawab, “Iya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdiri di depan pintu, lalu aku datang dan aku letakkan daguku pada
pundak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tempelkan wajahku pada
pipi beliau.” Lalu ia mengatakan, “Di antara perkataan mereka tatkala itu
adalah, ‘Abul Qasim adalah seorang yang baik’.” Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Ia menjawab:
“Jangan terburu-buru wahai Rasulullah.” Maka beliau pun tetap berdiri. Lalu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi lagi pertanyaannya, “Apakah sudah
cukup wahai Aisyah?” Namun, Aisyah tetap menjawab, “Jangan terburu-buru wahai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aisyah mengatakan, “Sebenarnya bukan
karena aku senang melihat permainan mereka, tetapi aku hanya ingin
memperlihatkan kepada para wanita bagaimana kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam terhadapku dan kedudukanku terhadapnya.” (HR. An-Nasa’i (5/307),
lihat Ash Shahihah (3277))
Canda Nabi kepada Aisyah
Aisyah bercerita, “Suatu waktu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menemuiku sedang aku tengah
bermain-main dengan gadis-gadis kecil.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepadaku, “Apa ini wahai Aisyah.” Lalu aku katakan, “Itu adalah
kuda Nabi Sulaiman yang memiliki sayap.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun tertawa. (HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat (8/68), lihat Shahih Ibnu
Hibban (13/174))
Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berlomba lari dengan Aisyah dan Aisyah menang. Aisyah bercerita,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlari dan mendahuluiku (namun aku
mengejarnya) hingga aku mendahuluinya. Tetapi, tatkala badanku gemuk, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak lomba lari lagi namun beliau mendahului,
kemudian beliau mengatakan, “Wahai Aisyah, ini adalah balasan atas kekalahanku
yang dahulu’.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 23/47), lihat Al-Misykah
(2.238))
Keutamaan-keutamaan Aisyah
Banyak sekali keutamaan yang dimiliki
oleh Ibunda Aisyah, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengatakan dalam sabdanya:
“Orang yang mulia dari kalangan laki-laki
banyak, namun yang mulia dari kalangan wanita hanyalah Maryam binti Imron dan
Asiyah istri Fir’aun, dan keutamaan Aisyah atas semua wanita sepeerti keutamaan
tsarid atas segala makanan.” (HR. Bukhari (5/2067) dan Muslim (2431))
Beberapa kemuliaan itu di antaranya:
Pertama: Beliau adalah satu-satunya istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang dinikahi tatkala gadis, berbeda dengan istri-istri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang lain karena mereka dinikahi tatkala janda.
Aisyah sendiri pernah mengatakan, “Aku
telah diberi sembilan perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun
setelah Maryam. Jibril telah menunjukkan gambarku tatkala Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam diperintah untuk menikahiku, beliau menikahiku tatkala aku
masih gadis dan tidaklah beliau menikahi seorang gadis kecuali diriku, beliau
meninggal dunia sedang kepalanya berada dalam dekapanku serta beliau dikuburkan
di rumahku, para malaikat menaungi rumahku, Al-Quran turun sedang aku dan
beliau berada dalam satu selimut, aku adalah putri kekasih dan sahabat
terdekatnya, pembelaan kesucianku turun dari atas langit, aku dilhairkan dari
dua orang tua yang baik, aku dijanjikan dengna ampunan dan rezeki yang mulia.”
(Lihat al-Hujjah Fi Bayan Mahajjah (2/398))
Kedua: Beliau adalah orang yang paling
dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan wanita.
Suatu ketika Amr bin al-Ash bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah
manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” “Dari kalangan
laki-laki?” tanya Amr. Beliau menjawab, “Bapaknya.” (HR. Bukhari (3662) dan
Muslim (2384))
Maka pantaskah kita membenci apalagi mencela
orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!!
Mencela Aisyah berarti mencela, menyakiti hati, dan mencoreng kehormatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Na’udzubillah.
Ketiga: Aisyah adalah wanita yang paling
alim daripada wanita lainnya.
Berkata az-Zuhri, “Apabila ilmu Aisyah
dikumpulkan dengna ilmu seluruh para wanita lain, maka ilmu Aisyah lebih
utama.” (Lihat Al-Mustadrak Imam Hakim (4/11))
Berkata Atha’, “Aisyah adalah wanita yang
paling faqih dan pendapat-pendapatnya adalah pendapat yang paling membawa
kemaslahatan untuk umum.” (Lihat al-Mustadrok Imam Hakim (4/11))
Berkata Ibnu Abdil Barr, “Aisyah adalah
satu-satunya wanita di zamannya yang memiliki kelebihan dalam tiga bidang ilmu:
ilmu fiqih, ilmu kesehetan, dan ilmu syair.”
Keempat: Para pembesar sahabat apabila
menjumpai ketidakpahaman dalam masalah agama, maka mereka datang kepada Aisyah
dan menanyakannya hingga Aisyah menyebutkan jawabannya.
Berkata Abu Musa al-Asy’ari, “Tidaklah
kami kebingungan tentang suatu hadits lalu kami bertanya kepada Aisyah, kecuali
kami mendapatkan jawaban dari sisinya.” (Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3044))
Kelima: Tatkala istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pilihan untuk tetap bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengna kehidupan apa adanya, atau diceraikan dan
akan mendapatkan dunia, maka Aisyah adalah orang pertama yang menyatakan tetap
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimanapun kondisi beliau sehingga
istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain mengikuti
pilihan-pilihannya.
Keenam: Syari’at tayammum disyari’atkan
karena sebab beliau, yaitu tatkala manusia mencarikan kalungnya yang hilang di
suatu tempat hingga datang waktu Shalat namun mereka tidak menjumpai air hingga
disyari’atkanlah tayammum.
Berkata Usaid bin Khudair, “Itu adalah
awal keberkahan bagi kalian wahai keluarga Abu Bakr.” (HR. Bukhari (334))
Ketujuh: Aisyah adalah wanita yang dibela
kesuciannya dari langit ketujuh.
Prahara tuduhan zina yang dilontarkan
orang-orang munafik untuk menjatuhkan martabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lewat istri beliau telah tumbang dengan turunnya 16 ayat secara
berurutan yang akan senantiasa dibaca hingga hari kiamat. Allah Subhanahu wa
Ta’ala mempersaksikan kesucian Aisyah dan menjanjikannya dengan ampunan dan
rezeki yang baik.
Namun, karena ketawadhu’annya (kerendahan
hatinya), Aisyah mengatakan, “Sesungguhnya perkara yang menimpaku atas diriku
itu lebih hina bila sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tetnangku
melalui wahyu yang akan senantiasa dibaca.” (HR. Bukhari (4141))
Oleh karenanya, apabila Masruq
meriwayatkan hadits dari Aisyah, beliau selalu mengatakan, “Telah bercerita
kepadaku Shiddiqoh binti Shiddiq, wanita yang suci dan disucikan.”
Kedelapan: Barang siapa yang menuduh
beliau telah berzina maka dia kafir, karena Al-Quran telah turun dan menyucikan
dirinya, berbeda dengan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
lain.
Kesembilan: Dengan sebab beliau Allah
Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan hukuman cambuk bagi orang yang menuduh
wanita muhShanat (yang menjaga diri) berzina, tanpa bukti yang dibenarkan
syari’at.
Kesepuluh: Tatkala Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sakit, Beliau memilih tinggal di rumah Aisyah dan akhirnya
Beliau pun meninggal dunia dalam dekapan Aisyah.
Berkata Abu Wafa’ Ibnu Aqil, “Lihatlah
bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih untuk tinggal di
rumah Aisyah tatkala sakit dan memilih bapaknya (Abu Bakr) untuk
menggantikannya mengimami manusia, namun mengapa keutamaan agung semacam ini
bisa terlupakan oleh hati orang-orang Rafidhah padahal hampir-hampir saja
keutamaan ini tidak luput sampaipun oleh binatang, bagaimana dengan mereka…?!!”
Aisyah meninggal dunia di Madinah malam
selasa tanggal 17 Ramadhan 57 H, pada masa pemerintahan Muawiyah, di usianya
yang ke 65 tahun, setelah berwasiat untuk dishalati oleh Abu Hurairah dan
dikuburkan di pekuburan Baqi pada malam itu juga. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala meridhai Aisyah dan menempatkan beliau pada kedudukan yang tinggi di
sisi Rabb-Nya. Aamiin.
Wallahu A’lam.
Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi 06 Tahun
kiadhan 1427 H / Oktober 2006
Mengapa Syiah Membenci Aisyah Istri Dari
Rasulullah Saw ?
Sama kita tahu bahwa syi'ah adalah salah
satu aliran yang menyimpang dalam Islam yang sebenarnya telah disampaikan oleh
Rasulullah SAW. Didalam kitab miliknya Awail al-Maqalat, menyatakan bahwa
Al-Quran yang ada pada saat ini sudah tidak orisinil, kemudian mereka juga banyak
mengkafirkan sahabat Rasulullah SAW salah satunya istri beliau yaitu Aisyah RA.
Dalam Hal ini Syi'ah sangat membenci Aisyah RA karena banyak
pernyataan-pernyataan dalam kitabnya yang mengatakan bahwa Aisyah RA kafir,
pernyataan-pernyataan jelek tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Kitab 'Bihar al Anwar' karangan Muhammad bin Bagir Al Majlisi, memfitnah
'Aisyah RA, istri Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam sebagai seorang
perempuan yang (maaf) lemah iman dan lemah akal.
Pendeta Syi'ah bernama Abu Ja'far Al Kulaini adalah 'tukang' tulis banyak
kitab pelecehan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam. Kitab 'Hadits al Ifk'
merupakan salah satu karangannya yang menghina kedua istri Nabi Muhammad
Shalallaahu 'Alaihi Wasallam, yaitu 'Aisyah RA dan Hafshah RA, sebagai (maaf)
perempuan kafir seperti istri Nabi Nuh AS dan istri Nabi Luth AS.
Muhammad Bagir Al Majlisi, seorang tokoh Syi'ah, dalam 'Haqqul Yaqin'
menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia membenci para sahabat
nabi, terutama Abu Bakar, Umar, Utsman, Mu'awiyah, 'Aisyah, Hafsah, Hindun, dan
Ummul Hakam, serta orang-orang yang mengikuti mereka.
Kitab 'Miftahul Jinan' adalah buku panduan wirid umat Syi'ah yang berisi
kalimat-kalimat laknat atas 2 ayah mertua Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi
Wasallam (Abu Bakar RA dan Umar RA), serta kalimat-kalimat laknat atas 2 istri
Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam ('Aisyah RA dan Hafshah RA).
Muhammad Al 'Ayasyi, salah satu tokoh Syi'ah tidak tanggung-tanggung dalam
memfitnah kedua istri Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam, 'Aisyah RA
dan Hafshah RA. Al 'Ayasyi menulis berita dusta bahwa Rasulullah Shalallaahu
'Alaihi Wasallam meninggal dunia karena (maaf) telah diracun oleh 'Aisyah dan
Hafshah.
Dari pernyataan Syi'ah diatas dalam kitab-kitabnya dapat kita lihat bahwa
syi'ah sangat membenci para sahabat Nabi padahal dalam Al-Quran telah
jelas-jelas bahwa sahabat Rasulullah SAW telah diangkat derajatnya oleh Allah
SWT dalam firman-Nya:
"Orang-orang pertama dan terdahulu dari kaum Muhajirin dan Anshar, (yakni
yang memasuki Islam), dan mereka yang mengikutinya dengan baik, Allah meridhai
mereka, dan mereka pun meridhainya, dan disediakan Allah buat mereka
syurga-syurga yang di bawahnya mengalir sungAl-sungai, mereka kekal di dalamnya
buat selama-lamanya, itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 100)
"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum
Anshar, yang telah mengikutinya (Nabi) dalam keadaan kesusahan, sesudah hati
segolongan mereka hampir-hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat
mereka, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengasih Maha Penyayang terhadap mereka
sekalian. Dan terhadap tiga orang yang ketinggalan (tidak ikut serta pergi
berperang), sampai apabila dirasakan bumi ini telah sempit baginya, padahal
sebelum itu dirasakannya luas, dan terasa bahwa dirinya sudah benar-benar
tertekan, sehingga mereka meyakini bahwa kini tiada tempat mengadu dari
ketetapan Allah itu melainkan dengan menyembah kepadanya saja, lalu Allah
mengabulkan taubat mereka karena mereka terus memohon taubat kepadanya,
sesungguhnya Allah itu Dia adalah Maha Penerima taubat Maha
Penyayang." (At-Taubah: 117-118)
Selain itu khusus untuk istri Rasulillah SAW Aisyah RA terdapat banyak hadist
yang sahih atas keutamman istrinya itu yaitu: Suatu ketika Amr bin al-Ash
bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Wahai
Rasulullah, siapakah manusia yang paling engkau cintai?" Beliau menjawab,
"Aisyah." "Dari kalangan laki-laki?" tanya Amr. Beliau
menjawab, "Bapaknya." (HR. Bukhari (3662) dan Muslim (2384))
Berkata Abu Musa al-Asy'ari, "Tidaklah kami kebingungan tentang suatu
hadits lalu kami bertanya kepada Aisyah, kecuali kami mendapatkan jawaban dari
sisinya."(Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3044))
Aisyah adalah seorang wanita berparas cantik berkulit putih, sebab itulah ia
sering dipanggil dengan "Humaira". Selain cantik, ia juga dikenal
sebagai seorang wanita cerdas yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
mempersiapkannya untuk menjadi pendamping Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam mengemban amanah risalah yang akan menjadi penyejuk mata dan
pelipur lara bagi diri beliau.
Suatu hari Jibril memperlihatkan (kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam) gambar Aisyah pada secarik kain sutra berwarna hijau sembari
mengatakan, "Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat." (HR.
At-Tirmidzi (3880), lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3041))
"Orang yang mulia dari kalangan laki-laki banyak, namun yang mulia dari
kalangan wanita hanyalah Maryam binti Imron dan Asiyah istri Fir'aun, dan
keutamaan Aisyah atas semua wanita sepeerti keutamaan tsarid atas segala
makanan." (HR. Bukhari (5/2067) dan Muslim (2431))
Dengan hadist-hadist tersebut sudah jelas kesesatan ajaran Syi'ah yang membenci
Aisya RA. Semoga kita diberi kemudahan mempelajari Agama Islam dan dijauhkan
dari kesesatan. Amin...
Dikutip dari
: UmmatMuslim
Syiah yang berkembang di Indonesia adalah
penghujat sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Begini Kisah Aisyah Yang 'Skak Mat' Ustad
Syiah Sampai Ngacir Pulang
Bagaimana Jika ada kelompok yang menuduh
aisyah berzina,Aisyah istri rasulullah adalah pelacur….
Kami Diperkosa dan Disiksa Hanya Karena
Nama Kami ‘Aisyah’ (Ya Allah, Binasakanlah Syiah Al-Saba Majusi Dajjal)
MUI Keluarkan 10 Tanda Aliran Sesat,
Kenapa Penghujatan Terhadap Sahabat Nabi (Abu Bakar RA Dan Umar RA) Serta Istri
Nabi (Aisyah Binti Abu Bakar RA) Tidak Dimasukan ? Segera Larang Syi’ah
Laknatullah !
Pemerintah Malaysia Melarang Syiah,
Indonesia Kapan?
Singapura Perlakukan Syi'ah dan Ahmadiyah
Bukan Bagian dari Islam ( sama dengan Malaysia dan Brunei ).Kapan di Indonesia
?
10 Tahun Aisyah Bersama Rasul
Syi’ah Mencela Ummul Mukminin, ‘Aisyah