Faathimah Mencintai ‘Aaisyah...... Anda ?
‘Aisyah adalah Istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wa sallam di Dunia dan di Akhirat
Penyusun : Abu Usaamah Sufyan Bin Ranan Al Bykazi
Segala Puji bagi Allah Rabb semesta Alam,
Shalawat serta salam tercurahkan pada baginda nabiyallah Muhammad
shallallahu'alaihi wa salam, dan para sahahabatnya.
Kaum muslimin seiman, Kemuliaan para
shahabat Nabi Muhammad tidaklah seorang mampu menyamakan derajat keimanan
mereka,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. At Taubah: 100)
Merkalah yang pertama kali diajarkan Nabi
kita Muhammad shalallahu'alaihi wa salam, merkalah yang lebih awal beramal dari
kita, merekalah yang beriman sebelum kita, maka tidaklah kita selayaknya
mencaci dan menghina bahkan menganggap Murtad sebagian mereka sebagaimana
yangdi yakini oleh orng-orng Syi'ah Rafidhah -semoga Allah melaknat firqoh
busuk ini-, mereka menganggap seluruh shahabt Nabi Murtad kecualai beberapa
orang saja, setelah Nabi Wafat.
Termasuk Ibunda kita 'Aisyah binti Abu
Bakar Ash shidiQ Radhiyallahu'anhuma, dikatakan murtad oleh Syi'ah rafidhah
laknat Allah padanya, oleh karena itu sedikit kami mengajak kaum muslimin untuk
mengenal IBUNDA KITA 'AISYAH Radhiyallahu'anha, untuk membendung dakwah syi'ah
yang sekarang berkembang di Indonesia ini, insya Allah kami berharap padaNya
agar Negeri Indonesia ini dijaga dari Makar Syi'ah.
‘Aisyah Binti Abu Bakar
(Wafat
57 H)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah yang telah banyak
dikenal. Aisyah laksana lautan luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan
wanita, dialah sosok yang banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara
istri-istri Nabi, dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang
lain. Ayahnya adalah sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah.
Berbeda dengan istri Nabi yang lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah
bersama Rasulullah.
Ketika wahyu datang kepada Rasulullah,
Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya di dunia dan akhirat,
sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril datang membawa gambarnya pada
sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata,
ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah yang menjadi sebab atas turunnya
firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah
orang-orang munafik.
Nasab dan Masa KeciI Aisyah
Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah
bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay,
yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku
Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama
yang mempercayai Rasulullah ketika terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak
mempercayainya.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu
Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab
atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan
sebagai wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku
berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam.”
Ummu Ruman memberikan dua orang anak
kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah
dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri pertama yang dia nikahi
pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais
yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang
melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat tahun sesudah Nabi diutus
menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik,
Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar. Semasa kecil
dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah usianya belum
genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah
membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.
Pernikahan yang Penuh Berkah
Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a,
datang wahyu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah.
Setelah itu Rasulullah berkata kepada
Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat
mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini
adalah istrimu.’ Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku
berkata kepadanya, ‘Jika ini benar dari Allah, niscaya akan terlaksana.”
Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika
Rasulullah setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka
dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat,
sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di
Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya
Aisyah . Karena cuaca buruk yang melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan
badannya menyusut seperti juga dialami orang-orang Muhajirin.
Menyaksikan hal itu, Rasulullah berdoa,
“Ya Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana
cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah penghuninya dan
penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan takarannya.
Lindungilah kami dan penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.” Allah
mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca berangsur membaik, sehingga hilanglah
penyakit yang melanda kaum muhajirin. Aisyah pun sembuh dan bersiap-siap menghadapi
hari pernikahan dengan Rasuhillah Shallallahu alaihi wassalam.
Dengan izin Allah menikahlah Aisyah
dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin
Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah:
“Aisyab menjawab, Mahar Rasulullah kepada
istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy
itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah
uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri
beliau.“ (HR. Muslim)
Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam.
Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan
dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu
disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di hati Rasulullah, kedudukan
Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh istri-istri beliau yang
lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta
pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah.”
Di dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan,
“Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga
Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka kamu. Kamu telab menyakiti istri
kecintaan Rasulullah’.”
Selain itu ada juga kisah lain yang
menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh
kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa menanti-nanti
datangnya hari giliran Rasulullah pada Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan
sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Keadaan seperti itu
menimbulkan kecemburuan di kalangan istri Rasulullah lainnya. Tentang hal itu
Aisyah pernah berkata :
“Orang-orang berbondong-bondong memberi
hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku (istri
Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata, ‘Hai Ummu
Salamah, demi Allah, orang-orang berbondong-bondong mernberikan hadiah pada
hari giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin rnemperoleh
kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu,
Rasulullah meminta kaum muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada
hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun telah menyatakan
keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah berpaling dariiku. Ketika
beliau mendatangi aku, akupun kernbali mernperingatkan hal itu, tetapi beliau
berbuat hal yang serupa. Ketika aku rnenginatkan beliau untuk yang ketiga
kalinya, beliau tetap berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda,
‘Demi Allah, wahyu tidak turun kepadaku selama aku berada di dekat kalian,
kecuali ketika aku dalam satu selimut bersama Aisyah.” (HR. Muslim)
Sekalipun perasaan cemburu istri-istri
Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan
Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata,
”Demi Allah, dia adalah manusia yang paling beliau cintai setelah ayahnya (Abu
Bakar).”
Suatu waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru
bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab,
“Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab,
“Ayahnya!” (Hadits muttafaqirn ‘alaihi)
Di antar istri-istri Rasulullah, Saudah
binti Zum’ah sangat memahami keutamaan- keutamaan Aisyah, sehingga dia
merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu hari Shafiyah bin Huyay meminta
kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dari Aisyah.
“Suatu ketika Rasulullah enggan mendekati
Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu Shafyyah berkata kepada Aisyah,
‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan
mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil
kerudung yang ditetesi za’faran dan disiram dengan air agar lebih harum.
Setelah itu dia duduk di sebelah Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya
Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab
berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan Allah kepada dia yang
dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk permasalahannya dan
Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah rela. Dia
menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan
darinya. Karena itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang
bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah. Menjelang wafat, Rasulullah meminta
izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya
hingga wafatnya. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku
karena Rasulullah wafat di pangkuanku.”
Fitnah Terhadapnya
Aisyah pernah mengalami fitnah yang
mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya, hingga turun ayat Al-Q ur’an yang
menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya bermula dari sini. Seperti biasanya,
sebelum berangkat perang, Rasulullah mengundi istrinya yang akan menyertainya
berperang. Ternyata undian jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai
beliau dalam Perang Bani al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya
perintah memakai hijab. Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan,
Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah beristirahat di
sebuah pelataran, Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam
harinya, Rasulullah mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah
pergi untuk hajatnya, dan kembali.
Ternyata, kalung di lehernya jatuh dan
hilang, sehingga dia keluar dan sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang.
Ketika pasukan siap berangkat, sekedup yang mereka angkat ternyata kosong.
Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup. Setelah kalungnya ditemukan,
Aisyah kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun
yang dia temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa
penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga mereka
pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin
Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah
menunggangi untanya dan dia menuntun di depannya. Berawal dari kejadian itulah
fitnah tersebar, yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika tuduhan itu sarnpai ke telinga
Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka. Usamah bin
Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah keluargamu … yang kau ketahui hanyalah
kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat, “Ya Rasulullah, Allah tidak pernah
mempersulit engkau. Banyak wanita selain dia.” Dari perkataan Ali, ada pihak
yang memperuncing masalah sehingga terjadilah pertentangan berkelanjutan antara
Aisyah dan Ali. Mendengar pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bentambah
sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat adanya perubahan sikap pada diri
Nabi.
Ketika Aisyah sedang duduk-duduk bersarna
orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar berita bahwa
kau telah begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah akan
menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan
penuh penyesalan, niscaya Allah akan mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi
Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau
mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya
Allahlah yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan
mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah
mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku. Aku
hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih
baik’. Dan Allah pula yang akan menolong atas apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah sangat mengharapkan Allah
menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung
turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun meninggalkan rumah
Rasulullah, wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun kepada beliau.
Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah telah
menyucikanmu dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa
berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap
seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa
di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur : 11)
Demikianlah kemulian yang disandang
Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan keagungannya di hati Rasulullah.
Perjalanan Hidup yang Mulia
Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki
kelemahan, begitu juga halnya dengan Aisyah, yang selain memiliki kehormatan
dan martabat juga memiliki kekurangan. Dalam hal ini dia pernah berkata,
“Aku tidak pernah melihat pembuat makanan
seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi makanan kepada Rasulullah. Tanpa
sadar aku pernah memecahkan tempat makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya
kepada Rasulullah apa yang dapat dijadikan sebagai tempat yang pecah itu.
Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti dengan tempat dan makanan diganti dengan
makanan.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pernah berkata :
“Halah binti Khuwailid, saudara perempuan
Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. merasa bahwa cara Halah meminta izin sama dengan cara Khadijah
meminta izin, dan beliau merasa senang atas semua itu. Lalu beliau berkata, ‘Ya
Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’ Aku berkata, ‘Apa yang engkau sebut itu
adalab seorang nenek dari nenek-nenek kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya
merah. Dia telah tua renta ditelan masa.
Semoga Allah memberi untukmu pengganti
yang lebih baik daripada dia.‘ Mendengar itu Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak
akan memberikan pengganti yang lebib baik darpada Khadijah. Dia telah beriman
kepadaku ketika orang lain mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang
lain mendustakanku. Dia telah mendermakan harta bendanya untuk perjuanganku
ketika orang lain menolak memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku
dengan putra-putri lewat Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak.” (HR.
Ahmad dan Muslim)
Terdapat beberapa pendirian yang tegas
dan pemecahan problema hukum yang penting, baik khusus yang berkaitan dengan
wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin secara
umum. Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu seorang laki-laki dapat menceraikan
istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu akan kembali menjadi istrinya jika
suaminya membujuk kembali dalam keadaan iddah, sekalipun dia telah
menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu berkata kepada istrinya, “Demi
Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau menjadi jelas, dan aku tidak akan
memberimu nafkah selamanya”.
Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan.
Dia menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu hampir berakhir, dan jika engkau
telah suci kembali, aku akan merujukmu kembali. Istrinya menemui Aisyah dan
menceritakan masalah yang dihadapinya. Aisyah terdiarn hingga Rasulullah
datang. Beliau pun diam tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut hingga
turunlah ayat :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
Setelab itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘ruf atau menceraikannya dengan
cara yang baik….” (al-Baqarah : 229)
Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap
langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Suatu ketika dia
mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian umum.
Aisyah mendatangi mereka dan berkata,
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah
selain rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan
Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah pun pernah menyaksikan adanya
perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam setelah Rasulullah
wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata, “Seandainya
Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini), niscaya beliau
akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang
memasuki tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan
bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin Aisyah . Ketika itu
Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung
tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.
Hadist yang Diriwayatkan Aisyah
Aisyah memiliki wawasan ilmu yang luas
serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik yang dikaji dari Al-Qur’an,
hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang masalah ilmu-ilmu yang dimiliki
Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari
hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap
kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.” Para
sahabat sering meminta pendapat jika menemukan masalah yang tidak dapat mereka
selesaikan sendiri. Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang
keliru diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya.
Salah satu contoh adalah perkataan yang diungkapkan oleh Abu Hurairah.
Ketika itu Abu Hurairah merujuk hadits
yang diriwayatkan oleh Fadhi ibnu Abbas bahwa barang siapa yang masih dalam keadaan
junub pada terbit fajar, maka dia dilarang berpuasa. Ketika Abu Hurairah
bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab, “Rasulullah pernah junub (pada waktu
fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau meneruskan puasanya.” Setelah
mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, “Dia lebih mengetahui tentang
keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah lebih banyak berfungsi scbagai
sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru untuk menuntut
ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa membentangkan kain
hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika
sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah adalah orang yang paling dekat
dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau, sebagairnana
perkataannya ini :
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada
Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan
diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya
langsung kepada Rasulullah jika menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang
suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung
dan Rasulullah sebagaimana ungkapannya ini :
“Aku bertanya kepada Rasulullah tentang
ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati
yang takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60). Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas
adalah para peminum khamar dan pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan, putri
ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, tetapi
takut (amal mereka tidak diterima). Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan,
tetapi mendahului (menentukan sendiri) kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan
Tirmidzi).
Aisyah berkata lagi: “Aku bertanya kepada
Rasulullah tentang firman Allah: ‘Yauma tabdalul-ardhu ghairal-ardha
was-samawati. Di manakah manusia berada, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Manusia berada di atas shirath.“ (HR. Muslim)
Aisyah termasuk wanita yang banyak
menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sehingga para ahli
hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah
Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. Aisyah memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang
langsung dia peroleh dan Rasulullah dan menghafalkannya di rumah. Karena itu,
sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi
hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk
langsung memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat
terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan
mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak
saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar,
Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat pemerintah hingga wafat.
Aisyah dikenal sebagai perawi hadits yang
mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan hukumnya tidak ditemukan dalam
Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu Salamah berkata, “Aku tidak
pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih benar
pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui bagaimana Al-Qur’an turun,
serta lebih mengenal kewajibannya selain Aisyah.”
Suatu ketika Saad bin Hisyam menemui
Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang bagaimana pendapatmu jika aku
tetap membujang selarnanya.” Aisyah menjawab, “Janganlah kau lakukan hal itu,
karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda tentang
firman Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul sebelummu, dan Kami telah ciptakan
bagi mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh karena itu, janganlah kamu
membujang.” Urwah bin Zubeir, salah seorang murid Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan
penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata, “Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh
aku mengagumimu. Menurutku engkau adalah manusia yang paling banyak mengetahui
sesuatu.”
Aisyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu
berpendapat seperti itu?” Dia menjawab, “Engkau adalah istri Nabi Shallallahu
alaihi wassalam dan putri Abu Bakar. Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan
syair orang-orang Arab.” Dia berkata lagi, “Apa yang menyebabkan engkau dan
ayahmu menjadi orang yang paling pandai dariipada seluruh orang Quraisy? Aku
sangat mengagumi kepandaianmu tentang ilmu medis. Dari manakah engkau
mendapatkan ilmu itu?” Aisyah menjawab, “Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. sering sakit, sehingga dokter-dokter Arab dan
bukan Arab datang mengobati beliau. Dari merekalah aku belajar.”
Tentang penguasaan bahasa dan sastranya,
kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang pun
yang lebih fasih dariipada Aisyah selain Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais
berkata, “Aku telah mendengar khutbah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga saat ini aku belum pernah mendengar satu
perkataan pun dari makhluk Tuhan yang lebih berisi dan baik daripada perkataan
Aisyah.” Salah satu contoh kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada
kuburan ayahnya, Abu Bakar :
“Allah telah mengilaukan wajahmu, dan
bersyukur atas kebaikan yang telah engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia
karena engkau berpaling darinya. Akan tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena
engkau selalu menghadap untuknya. Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah
wafat dan musibah terbesar adalah kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan
kesabaran dan menggantikan yang baik selainmu. Aku merasakan janji Allah yang
telah ditetapkan bagirnu dan ikhlas atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya
gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah
kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan rahmat Allah.”
Dari Aisyah pun sering keluar kata-kata
hikmah yang terkenal, seperti :
“Bagi Allah mutiara takwa. Takkan ada
kesembuhan bagi orang yang di dalarn hatinya terbersit kemarahan. Pernikahan
adalah perbudakan, maka seseorang hendaklah melihat kepada siapa dia
mengabdikan putri kemuliaannya.”
Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di
Kamarnya
Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah selama
sakit di kamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia dapat
merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah ini dia melukiskan detik-detik
terakhir beliau menjelang wafat :
“Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku,
Rasulullab wafat di rurnahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah telah
menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang wafat. Abdurrahman menemuiku, di
tangannya tergenggam siwak, sementara aku menyandarkan beliau. Aku melihat
beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera memahami bahwa beliau menyukai
siwak. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku haluskan siwak untukmu?’
beliau memberi isyarat dengan kepala, sepertinya mengisyaratkan ‘ya’. Kemudian
beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak, sernentara di tangan beliau
ada bejana berisi air. Beliau mernasukkan kedua belab tangan dan mengusapkannya
ke wajah seraya berkata, ‘Laa ilaaha illahu… setiap kematian mengalami sekarat
(beliau mengangkat tangannya)… pada Allah Yang Maha Tinggi. ‘Beliau menggenggam
tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawab.“ (HR. Muttafaq Alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau meninggal. Sementara itu,
dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia
memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau
lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia
di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang
yang paling mulia di antara ketiga bulanmu.” Ternyata Abu Bakar dan Umar
dikubur di rumah Aisyah.
Setelah Rasulullah Wafat
Setelah Rasulullah wafat, Aisyah
senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya
dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir Allah, dan selalu
berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah. Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang
dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.” (QS. Al-Ahzab:33)
Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi
orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau untuk berziarah ke
makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika istri-istri Nabi hendak mengutus
Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar untuk menanyakan harta warisan Nabi yang
merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, “Bukankah Rasulullah telah
berkata, ‘Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami
tinggalkan itu adalah sedekah.”
Semasa kekhalifahan Abu Bakar, kadar
keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan kaum muslimin, karena dengan
jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga karena kaum muslimin sedang
disibukkan oleh perang Riddah (perang melawan kaum murtad). Setelah dua tahun
tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal dunia.
Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya agar menguburkannya di
sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya, dan ketika Abu Bakar
rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi, kepalanya diletakkan
pada sisi pundak Nabi.
Ilmu Aisyah mulai tampak pada masa
kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar senantiasa merujuk pendapat
Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan- permasalahan yang berkenaan
dengan kaum muslimin. Di dalam Thabaqat, dari Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad
berkata, “Para istri Nabi banyak rnenghafal hadits Nabi, namun hafalan Aisyah
dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi. Aisyah adalah penasihat
kekhalifahan Umar dan Utsman hingga dia meninggal. Pada waktu itu, Umar sangat
memperhatikan keadaan istri-istri Nabi. Tentang hal itu Aisyah berkata, ‘Umar
bin Khaththab selalu memperhatikan keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung
kaki.
Dia memiliki tempat kurma besar yang selalu
diisi buah-buahan dan kemudian dikirimkan kepada istri-istrii Nabi Shallallahu
alaihi wassalam.’ Begitu juga dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat
menghormati Utsman karena kedudukannya sangat terhormat di hati Rasulullah.
Utsman bin Affan memiliki kedermawanan dan rasa malu yang besar, sehingga
Aisyah pernah berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi wassalam. sangat malu jika
bertemu dengan Utsman. Jika Nabi bertemu dengannya, beliau akan duduk di
sampingnya dan merapikan bajunya.’ Ketika Aisyah menanyakan hal itu, beliau
menjawab, ‘Aku merasa malu kepada seseorang yang kepadanya malaikat sangat
malu.”
Di dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan
bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman agar jangan turun dari kekhalifahan
jika belum terlaksana dengan sempurna. Beliau bersabda, “Wahai Utsman,
sesungguhnya pada suatu hari nanti Allah akan mengangkatmu dalam urusan ini.
Jika orang-orang munafik menginginkan agar engkau meninggalkan baju kebesaran
yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah engkau melepaskannya.” Beliau mengulang
perkataan tersebut tiga kali. Ketika Utsman meninggal di tangan pemberontak,
Aisyahlah yang pertama menuntut balas atas kematiannya.
Berkaitan dengan masalah permusuhan
Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri yang menetralkan isu tersebut.
Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat, dan tentunya Aisyah
tidak akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman Rasulullah sekaligus sebagai
suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu tidak akan melupakan kegigihan
Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi orang pertama yang masuk Islam
dari kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali dan Aisyah tentu saja tidak
beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas ilmu dan sifat amanah Ali.
Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah tentang mengusap khuffain
(penutup kepala) ketika berwudhu, maka Aisyah menjawab, “Datanglah kepada Ali,
karena dia selalu bepergian (safar) bersama Rasulullah.”
Setelah Ali wafat, Aisyah senantiasa
berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits dan tafsir ayat Al-Qur’an.
Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak terjang Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang
banyak bertentangan dengan syariat Islam walaupun Mu’awiyah senantiasa berusaha
menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat, Mu’awiyah mengutus seseorang
untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya, “Tuliskan untukku, dan jangan
terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam sejahtera buatmu. Aku mendengar
Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Barang siapa yang mencari
keridhaan Allah sementara manusia marah, niscaya Allah cukupkan baginya
pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan
kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah tersebut kepada manusia. Salam
sejahtera untukmu.”
Wafatnya Aisyah
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad,
Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan,
tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’. Kehidupan Aisyah penuh
kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah,
selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Bahkan dia sering
memberikan anjuran untuk shalat malam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin
Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan
shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika
beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk.”
Aisyah memiliki kebiasaan untuk
memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu
Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala
urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha, lalu aku duduk sampai dia
selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.”
Aisyah pun senantiasa memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak
berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad
berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika
itu sedang berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman
berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara
aku mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada hari Arafah
akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya.”
Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan
sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau
satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. pernah bersabda, “Berjaga
dirilah engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.”
Di dalam riwayat lain dikatakan, “Aku didatangi
oleh seorang ibu yang membawa dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu dariku
sedangkan aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka selain satu
biji kurma. Aku memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada
kedua anaknya. Dia berdiri kern udian pergi. Setelab itu Rasulullab masuk dan
bersabda, ‘Barang siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka,
maka mereka akan rnenjadi penghalang baginya dari api neraka.“ (HR. Muttafaq
Alaihi).
Ada juga riwayat lain yang membuktikan
kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus
ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah
membagi-bagikan sernuanya. Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging
untuk kami dengan uang satu dirham.’ Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau
katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku
lakukan hal itu untukmu.”
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai
Sayyidah Aisyah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya.
Amin.
Sumber :
-Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru
Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
10 Tahun Aisyah Bersama Rasul