Saturday, February 23, 2019

Bualan Syi’ah Terkait Klaim Risalah Amman, Pengakuan Al-Azhar, Fiqh Ja’fari Dan Bagian Dari Islam.


Agama Syi’ah Mulai Terbentuk (Terorganisir) Pada Akhir Abad 3 H, Dengan Baru Memiliki Kitab Rujukan Tersendiri (Aqidah-Fiqih- Cara Ibadah-Dll), Yang Dibuat 200 Tahun Setelah Ja’far Shadiq Wafat. Sebelumnya Mereka Masih Sama Dengan Umat Islam (Ahlus Sunnah).
Adakah Fiqh Madzhab Ja'fari ? Sikap Syi'ah Dalam Permasalan Fiqh
Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ? Banyak sekali perbedaannya
Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ? Banyak sekali perbedaannya
Apakah Point ke (2) Risalah Amman "Iman Kepada Hari Akhir " Sesuai Dengan Keyakinan Syi'ah Rafidhi ?
Apakah Point ke (2) Risalah Amman "Iman Kepada Qadha’ dan Qadar" Sesuai Dengan Keyakinan Syi'ah Rafidhi ?
Apakah Point ke (2) Risalah Amman "Iman Kepada para Nabi" Sesuai Dengan Keyakinan Syi'ah Rafidhi ?
Andai Risalah Amman Mensahkan Syiah pun Tidak Dapat Membatalkan Fatwa-Fatwa Para Ulama Salafunas Shalih
AWAS!! Risalah Amman - Seruan Sesat Penyatuan Semua Madzhab Sahihah & Sesat
Berkedok Risalah Amman Syiah Siap Membantai Muslim Indonesia
Cara Syiah Menipu Kaum Muslimin
Cuplikan info terkait Rafidhah
Dosa Dosa Besar Para Penanda Tangan Risalah Amman 
Grand Syaikh Al-Azhar (Bidang Hadith Dan Tafsir) : Menghina Sahabat Nabi Bukan Islam. Ulama Al-Azhar Menolak Syiah. Dewan Ulama Senior Saudi (Imam Masjid Al-Haram) : Yang Menghina Istri Dan Sahabat Nabi (Ulama Madzhab Syi'ah) Kafir. Syiah Kafir Tanpa Keraguan.
Hina Sahabat Nabi, Syiah Langgar Kesepakatan Ulama Se-Dunia di Qatar
Imam Bukhari Tidak Meriwayatkan Hadits Dari Ja'far Shadiq ?
Masukan Untuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin Terkait Risalah Amman
Masukan Untuk Menteri Agama (2), Hukum Mencaci Istri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/05/masukan-untuk-menteri-agama-2-hukum.html?m=0
Mengapa Syiah Wajib Ditolak
Muktamar Persatuan Sunni-Syiah, Tapi Shalatnya Pisah-pisah
Mengenal Ahlus Sunnah,Imam Ja'far Ash-Shadiq Rahimahullah
Mengapa Syiah Imamiyah tak Disebut Dalam Risalah Amman ?
Perbedaan Kita Dengan Syiah Hanya Furuiyah, Benarkah?
Propaganda Syiah dan “Risalah Amman”
Risalah Amman dan Kampanye Politis Syiah
Risalah Amman, Risalah Orang Yang Lemah!
Risalah Amman dan Pendeta Bersurban yang Bertaqiyah
Syiah Berlindung di Balik Risalah Amman
Sikap Para Penandatangan Risalah Amman Terhadap Syiah
Syaikhul Azhar Sayyid Dr. Muhammad Thanthawi (Dan Lainnya) : Penghina Istri Dan Sahabat Nabi Keluar dari Islam
Siapa yang Lebih Anda Benarkan dan Anda Percaya ??
Sikap Al-Azhar Mesir tentang ‘Taqrib’ Sunni-Syiah
Singapura Perlakukan Syi'ah dan Ahmadiyah Bukan Bagian dari Islam (sama dengan Malaysia dan Brunei). Kapan di Indonesia ?
Syiah adalah bagian dari madzhab dalam islam? Yang bener saja, ini lho fatwa-fatwa agama syiah, bagi yang belum pernah membacanya.
Sesatkah Syi’ah Ja’fariyah dan Pantaskah Syi'ah Disebut Mazhab ?
Soal Mengkafirkan Syiah
syi'ah termasuk dalam klasifikasi /golongan Kafir Harbi
Sikap Imam-imam Ahlul Bait terhadap Penghina Sahabat Rasulullah
Syi’ah Tidak Pantas Disebut Mazhab
Syeikh Abu Zaid Al-Makky: Bahaya Syiah Bukan Sekedar Ajarannya, Tapi Pergerakannya !!!
Syiah Sang Pendusta
Syi’ah Itu Sesat Juragan (Sebuah Masukan untuk Bapak Profesor Umar Syihab dan Bapak Profesor Din Syamsuddin)
Siapa yang menyatakan beda antara Ahlus Sunnah dan Syiah termasuk masalah furu' dan Tidak Semua Syi’ah Sesat, maka Dia… Syi’ah !
Syiah dan Kitab-Kitab Perusak Kehormatan Rasulullah
Sunni-Syiah Dalam Ukhuwah?
Siapa Penggagas Agama Syiah?
Tafsir Husein Tabatabai [Syi’ah]
Taqrib Sunni – Syiah Gagasan Usang Yang Diulang. Pengakuan Syeikh Al-Qaradhawi: ‘Iran Menipu Saya’
Ustadz Farid Okbah: Semua Syiah di Indonesia Rafidhah dan Menyesatkan
Ucapan Dungu (Ahmaq) dan Bodoh (Jaahil) tokoh umat Islam dan tokoh masyarakat yang empati dan simpati dengan syiah.
Wow! Imam Bukhari Menyamakan Syiah dengan Yahudi
Waspada! Jangan Tertipu Oleh Propaganda Persaudaraan Ahlussunnah Dengan Syiah Rafidhah Iran: Rekam Jejak Berdarah Dari Sebuah Negeri Sumber Fitnah


An-Nawashib (Para Pembangkang) Menurut Syiah Adalah Sunni Ahlussunnah Waljamaah
Apakah Syi’ah Itu Kafir
Apakah Syiah Dikategorikan Sebagai Orang Kafir
Apa Kata Ulama Tentang SYIAH? Meraka Mengatakan, SYIAH BUKAN ISLAM..
Bagi Syiah; Abu Hanifah Adalah Nashibi, Kafir Dan Halal Darahnya. Kriteria Nashibi (Nawashib) Dan Sikap Syiah Terhadapnya.
Bukti-bukti Syiah Mengkafirkan dan Menghalalkan Darah Umat Islam
Cuplikan Aqidah Busuk Syiah : Pantas Syiah Menghina Para Sahabat, Allah Saja Dihina
Definisi Rafidhah dan Pencetusnya
Dendam Syi’ah kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa
Fatwa Ulama Dan Habaib Hadhramaut : Syiah kekafiran diatas kekafiran !
Habib Zein Alkaf : Syi’ah Bukan Saudara, Tapi Musuhnya Ahlu Sunnah. Terkuak, Syaikh Al-Azhar Ke Indonesia Bersama Mufti Syi’ah Lebanon. MUI Sesalkan Pernyataan Muhammad Ath Thayyib Dan Tetap Akan Mengeluarkan Fatwa Tentang Kesesatan Syi'ah
Imam Syafi’i Menggugat Syi’ah Rofidhoh
Inilah Paham Takfir Syiah
Jika Merujuk Pada Fatwa Super Grand Syaikh Al-Imam Malik Rahimahumallah Dan Al-Imam Al-Bukhari Rahimahumallah, Maka Prof.DR. (Aqidah Dan Filsafat) Ahmad Thayyib Kafir ?( berikut artikel terkait syiah lainnya )
Jika Engkau Berkata Syiah Tidak Sesat, Maka…
Jangankan Taqrib, Tasamuh Saja Mustahil ! Konflik Sunni-Syi’ah Sangat Mudah Diselesaikan Jika Syi’ah Siap Melakukannya Dengan Syarat-Syarat.... (Untuk Profesor Su’per Sunni Liberal/Syi’ah Lokal Yang Masih Gemar Seminar Taqrib)
Kedustaan Syi'ah Atas Kota Suci Makkah Dan Madinah
Kaum Rafidhah Dan Penistaan Terhadap Haramain
Kekejaman Kaum Syiah Terhadap Ahlu Sunnah
Kejahatan Syiah di Tanah Haram Dalam Kurun Sejarah
Kalau Syiah Sesat, Mengapa Boleh Masuk Tanah Suci?
Kehadiran Grand Syeikh Al Azhar At Thayyeb Di Indonesia Memperkuat Propaganda Sesat Syiah. Empat Imam Mazhab Dan beberapa Ulama Islam Terkemuka Menyatakan Syiah Bukan Islam. Syi’ah Saudara Muslim ? Jangankan Taqrib, Tasamuh Saja Mustahil ! Apakah Dia Pernah Baca Kitab-Kitab Rujukan Syiah ? Ulama Saudi (Juga Penguasanya, Membela Umat Islam, Tidak Berlumuran Darah) Gemanya Lebih Didengar Di Seluruh Dunia Islam.
kafir syiah lebih berbahaya dari yahudi dan nasrani
Mana yang Lebih Berbahaya, Syi’ah atau Khawarij?
Memahami Kelainan Syiah, Sebuah Nota Kesepahaman
Menimbang Syi’ah Ajaran Syi’ah, Rukun Iman: Hari Akhir
Mukmin itu Pasti Sunni, Tapi Muslim Bisa Saja Syi’i
Nashibi Adalah Ahlus Sunnah Di Mata Syi'ah !
Neraka lebih Marah Kepada Ahlus Sunnah Daripada Kaum Nashrani [Kata Syi'ah]
Pengkhianatan Syiah: Murtad Menjadi Kristen Lebih Menyenangkan daripada Terus Menjadi Sunni
Perkataan Ajaib Rasulullah Tentang Syi’ah Yang Terbukti Hari Ini
[Peristiwa Lama Melawan Lupa] Prof. Dr. Quraish shihab, Umar Shihab, Azyumardi Azra, Amien Rais, dan Din Syamsuddin menyatakan mazhab syi’ah tidak sesat
Potret Kejahatan Syi’ah dalam Sejarah
Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei Percaya Sholat Sunni Ditolak Allah
Prof Dr KH Ali Mustofa Ya’qub : Target Syiah di Tahun 2030, NU Bakal Hancur
Pemerintah Malaysia Melarang Syiah, Indonesia Kapan?
Pernyataan ( kamuflase ) Penasehat Tertinggi Republik Iran
Farid Achmad Okbah: Syiah lebih jahat dari Israel
Yunahar Ilyas: Jangan Menganggap Enteng Masalah Syiah, Kalau Tidak Mau Menyesal


Sikap Resmi Al-Azhar 
Terhadap Syiah

Oleh: Yusuf Burhanudin, Lc., M.Pd.I
Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar (GSA), Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib ke Tanah Air beberapa waktu lalu, menyisakan kontroversi dan kegaduhan. Pasalnya, dalam kunjungan dengan tokoh-tokoh ulama di MUI pusat (23/02/2016), GSA menyatakan Sunni dan Syiah bersaudara. Keduanya mesti bersatu karena sama-sama orang Islam. Kehadiran tokoh-tokoh seperti Quraish Shihab (Penganjur Taqrîb Sunni-Syiah) dan Sayyed Ali Amin (Marja’ Syiah asal Libanon), seolah ingin menguatkan pesan “persaudaraan” tersebut.
Kontan saja, pernyataan tersebut menuai reaksi keras dan cibiran berbagai pihak. Beberapa tokoh dan alim ulama di Tanah Air sangat menyesalkan penyataan tersebut muncul justru di tengah-tengah gencarnya upaya umat Islam menghalau propaganda syiahisasi beberapa tahun terakhir. Di lain pihak, kaum Syiah dan para penganjur kebebasan beragama seolah mendapat angin segar dan amunisi untuk mempertahankan ajaran Syiah dan aliran menyimpang lainnya di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia, di balik slogan indah menjaga kerukunan dan keharmonisan beragama.
Menyadari pernyataan tersebut cukup menghebohkan jejaring media massa dan sosial, GSA buru-buru mengklarifikasi. Menurutnya, kunjungan ke Indonesia ternyata disalahpahami seakan punya agenda mendukung kelompok tertentu. Kunjungan ini justru untuk mengkampanyekan persatuan umat Islam. Meskipun, di sana ada kelompok yang suka menista sahabat, Ummul Mukminin Aisyah ra., ini jelas ditolak, berbahaya, sesat, dan merupakan fitnah bagi umat Islam. GSA menyeru umat Islam menghalau gerakan tersebut, dan menolak tegas upaya penyebaran Syiah di bumi Ahlus Sunnah, karena Syiah hanya diterima di negara Syiah. Beliau menentang usaha-usaha mempengaruhi generasi muda dengan iming-iming uang untuk bergabung dengan ajaran ini, karena akan mengakibatkan pergolakan. Beliau juga menolak campur tangan Syiah ke dalam negara untuk penyebaran ajaran mereka. Sebagaimana sikap Al-Azhar yang moderat (wasathiyyah), klarifikasi GSA cukup begitu gamblang; mengkampanyekan persatuan umat Islam dan saling menghargai antarmadzhab fikih yang berbeda, namun pada saat yang sama menolak sikap berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw), ekstrimisme, dan caci maki terhadap sahabat (http://www.azhar.eg/en/details/from-jakarta-the-grand-imam-warns-indonesian-from-the-danger-of-spreading-of-shiism-in-their-country).
Jika dicermati, pernyataan GSA di atas cenderung memakai perspektif standar ganda. Satu sisi menilai Sunni-Syiah bersaudara, namun di sisi lain menimbang akidah Syiah seperti mencaci sahabat, mencela Ummul Mukminin Aisyah ra., sebagai dosa dan kemaksiatan. Yang satu fatwa politis, lainnya fatwa yuridis. Sunni-Syiah bersaudara, ditengarai fatwa politis dalam rangka menggaungkan “pesan perdamaian” GSA dalam kunjungan bersejarah (ziyârah târîkhiyyah) ini. Tujuannya, agar Sunni dan Syiah mau hidup berdampingan tanpa konflik berkepanjangan. Namun secara yuridis, GSA juga menilai penistaan kepada para sahabat (tanpa menyebut Syiah) sebagai kesesatan nyata (tanpa menyebut bentuk kekufuran). 
Tak heran, sejumlah kalangan menilai pandangan GSA soal Syiah dinilai inkonsisten. Lihat misalnya komentar Imad Al-Daib, salah seorang pemikir Syiah, seperti dilansir Kalamalyom (24/02/2016). Menurut Al-Daib, dukungan dan penentangan GSA terhadap Syiah bergantung situasi politik negeri bersangkutan. Jika jauh dari Mesir, ia mendukung Syiah. Namun saat di negeri sendiri, GSA justru menentang dan menggempur Syiah habis-habisan. Dr. Ahmad Rasim Al-Nafis, pemuka Syiah Mesir menambahkan, dirinya pernah mengajukan permohonan kepada Al-Azhar untuk mau mengakui madzhab Syiah di Mesir. Permintaan itu ditolak mentah-mentah dengan dalih adanya perbedaan prinsip antara Sunni dan Syiah dalam Ahwâl Syakhshiyyah dan Waris.
Bagaimana sebenarnya sikap GSA dan institusi Al-Azhar terhadap Syiah dan penyebarannya di negeri Muslim? Seberapa penting Al-Azhar memandang upaya-upaya persaudaraan Sunni dan Syiah (Taqrîb) dilakukan di dunia Islam? Dalam berbagai kesempatan, GSA sebenarnya sangat lantang menyuarakan penolakannya terhadap penyebaran ajaran Syiah di negeri-negeri Ahlus Sunnah. Hal ini, akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas negara, memecah belah umat, dan membuka peluang kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan antarmadzhab di negara-negara Islam. Sehingga upaya Taqrîb pun akhirnya kehilangan kepercayaan dan kredibilitasnya (Al-Ahram, 09/11/2012).
Sebetulnya ada atau tidak ada kunjungan GSA ke Tanah Air, sejak dulu sikap Al-Azhar secara institusi terhadap Syiah dan penyebarannya di negara-negara Ahlus Sunnah, sudah begitu gamblang: sesat dan menyesatkan. Dalam Fatâwâ Kibar ‘Ulamâ` Al-Azhar Al-Syarif fî Al-Syî’ah, Syaikh Al-Khusyu’i Muhammad Al-Khusyu’i menegaskan, Syiah dengan segala bentuk keyakinannya yang meliputi wasiat imamah, tahrîf Al-Quran, murtadnya para sahabat, makshumnya para imam, mengkafirkan kelompok lain, jelas bertentangan dengan keyakinan umat Islam yang berpegang teguh kepada Al-Quran, Sunnah, dan teladan para sahabat. Bahkan, para ulama kibar Al-Azhar menyeru umat Islam agar bersatu menghalau berbagai upaya syiahisasi di negara-negara Sunni maupun proyek Taqrîb Sunni-Syiah yang acapkali dijadikan pintu masuk penyebaran Syiah di negeri-negeri Muslim (2011: h. 101-111).
Fatwa yang dikeluarkan pada masa Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Al-Haq Ali Jad Al-Haq (1982-1996) tersebut, diamini sejumlah ulama terkemuka Al-Azhar dengan membeberkan kesesatan ajaran Syiah. Mereka adalah Syaikh Athiyyah Shaqar (Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar), Syaikh Abdul Mun’im Al-Nimr (Menteri Agama Mesir), Syaikh Hasanin Muhammad Makhluf (Mufti Mesir), Syaikh Abdul Majid Salim (Mantan Syaikh Al-Azhar), Syaikh Muhammad 'Arafah (Guru Besar Syariah dan Kibar Ulama Mesir, yang sempat menjadi anggota Taqrîb Sunni-Syiah namun kemudian meninggalkannya setelah menilai adanya agenda terselubung Syiah di balik misi tersebut), Syaikh Al-Khusyu'i Muhammad Al-Khusyu'i (Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin), Syaikh Umar Ibn Abdul Aziz Quraisyi (Guru Besar Akidah), Syaikh Muhammad Yusri Ibrahim (Wakil Rektor American Open University), dan Syaikh Muhammad Sayyed Tanthawi (Grand Syaikh Al-Azhar dan Mufti Mesir, yang tegas menentang syiahisasi dan menolak pengakuan ajaran Syiah sebagai madzhab resmi di Mesir).
Demikian pula sikap para ulama Al-Azhar saat ini tetap tidak berubah dalam menimbang ajaran Syiah. Misalnya, dalam fatwa seputar Syiah Imamiyyah, Lembaga Riset dan Penelitian Al-Azhar (Majma’ Buhûts Islâmiyyah) dalam fatwa bernomor 7590 menegaskan, “Syiah Imamiyyah adalah mereka yang meyakini adanya nash wasiat imamah, kemakshuman para imam, menista sebagian besar para sahabat khususnya Abu bakar dan Umar, dan taqiyyah, itu semua dusta dan bohong. Mereka menyucikan kota Karbala dan Najaf dengan berbagai ritual dan mengambil sepotong tanah dari kota suci itu untuk dijadikan tempat sujud dalam shalat. Ahlus sunnah jelas menentang akidah mereka. Karena itu, tidak boleh bagi seorang Muslim merubah keyakinannya dengan keyakinan aliran-aliran bid’ah dan menyimpang seperti Syiah imamiyyah dan lainnya.” (http://magmaa.azhar.eg/en-us/لجنة-الفتوى).
Satu-satunya fatwa ulama Al-Azhar yang sering dicatut penganjur Taqrîb Sunni-Syiah adalah fatwa Syaikh Mahmud Syaltut. Fatwa “misterius” ini, ditolak mentah-mentah Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi. Fatwa tersebut, tidak pernah ditemukan dalam rekomendasi maupun dokumentasi fatwa-fatwa Al-Azhar hingga hari ini. Orang-orang Syiah pernah menyodorkan dokumen fatwa tersebut, namun sayangnya tidak ada tertulis nomor fatwa dan stempel resmi dari Al-Azhar alias fatwa bodong (www.alwafd.org). Kebohongan demi kebohongan Syiah terkuak satu persatu. Fatwa bodong hingga pemelintiran pemberitaan kunjungan GSA ke Tanah Air kemarin. Mereka membuat makar, namun Allah sebaik-sebaik Pembalas makar.
Jika ditarik benang merah, pernyataan GSA memiliki empat pesan penting. Pertama, menyerukan persatuan umat Islam antarmadzhab yang berbeda dan dimulai dengan ukhuwwah para ulama. Karena ukhuwwah Islamiyyah mustahil terwujud tanpa adanya persatuan terlebih dahulu di kalangan ulamanya. Kedua, mengkampanyekan wajah Islam moderat yang selama ini diusung Al-Azhar, saling menghargai dan menghormati sesama Muslim (al-ta’âyusy al-silmî al-musytarak) tanpa harus saling mengkafirkan satu sama lain, berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw), ekstrimis, dan sektarian. Ketiga, ajaran Syiah dengan sejumlah keyakinannya seperti wasiat imamah, menista para sahabat, dan tahrîf Al-Quran, adalah sesat dan menyesatkan. Keempat, menolak segala bentuk propaganda dan kampanye syiahisasi di negeri-negeri Muslim karena akan mengakibatkan konflik internal berkepanjangan di dalam tubuh umat Islam. Kelima, menolak upaya taqrîb atau persaudaraan Sunni-Syiah karena rentan dimanfaatkan penyebaran Syiah di negeri-negeri mayoritas Sunni.


Menteri Wakaf (Menteri Agama) Mesir DR. Thal’at Afifi, menegaskan bahwa seluruh masjid di Mesir harus tunduk dibawah pengawasan departemennya dan tidak diizinkan sama sekali mengajarkan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan mazhab Ahlus Snnah wal Jamaah.

Diapun mengabarkan bahwa departemennya secara praktis telah mengadakan beberapa pelatihan bagi para ulama dan imam untuk menghadapi arus pemikiran Syiah yang sama sekali tidak dibolehkan penyebarannya. Demikian dikutip Islamedia dari almoslim.net.

Terkait dengan informasi keikutsertaan salah seorang penasehat Departeman Wakaf pada acara seremonial yang disebut sebagai peringatan kematian Imam Husain, atau perayaan Asyura di Iran pada bulan lalu, menteri menjelaskan bahwa keikutsertaannya merupakan sikap pribadi dan tidak mewakili departemennya. Itupun sudah dilakukan investigasi terhadap yang bersangkutan.
Menteri tersebut juga menjelaskan bahwa departemennya telah menyusun panduan-panduang tertentu untuk pengangkatan imam baru, agar tidak ada basa basi terhadap seseorang atau perantara atau jual beli dalam proses penetapan.

Beliau juga menyambut penyebaran dakwah secara massif dan luas yang dahulu hal ini tidak dapat disaksikan. Kini, menurutnya, departemennya sedang menyiapkan aturan kerjasama dengan lembaga-lembaga dakwah, di antaranya lembaga Anshar Sunah dan Jam’ah Syar’iyah  untuk menyebarkan dakwah dan wawasan agama secara moderat. Karena lembaga-lembaga tersebut banyak memiliki masjid yang besar serta lembaga pendidikan pengkaderan dai.

Kini juga sedang diadakan penyeleksian untuk mengangkat 3 ribu imam. Yang sudah mendaftar mencapai 57 ribu orang. Proses pemilihan akan dilakukan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Yang paling utama adalah hafal Al-Quran dan mengerti bahasa Arab (fushah) serta memahami permasalah kontemporer dan wawasan ilmiah.

Sebelumnya, Sekjen Dewan Tinggi Urusan Islam Mesir, DR. Shalah Sulthan telah menyatakan penolakannya terhadap segala bentuk pemikiran yang bersumber dari berbagai aliran Syiah. Karena berdasarkan UU Mesir, standar  dalam masalah Aqidah, Akhlak dan Syariah harus bersumber dari mazhab Ahlussunnah wal Jamaah.

Sikap Al-Azhar Mesir tentang 'Taqrib'(persatuan) Sunni-Syiah

Baru-baru ini seiring pemberitaan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke-12 yang dilaksanakan di Kairo ibukota Mesir dan turut dihadiri Presiden SBY, hasil pertemuan Grand Syeikh Al-Azhar Mesir dengan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, menjadi pusat perhatian umat Islam tak hanya di Mesir tetapi juga di dunia Islam. Apalagi ditengah situasi yang menghangat soal relasi Sunni – Syiah pasca Arab-Spring (revolusi dunia Arab), dan imbasnya sampai ke Indonesia dengan kasus penodaan agama oleh Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Sampang.
Dalam sebuah pernyataan resmi ketika menerima kunjungan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, di Masyikhatul Azhar pada hari Rabu 6 Februari 2013, Grand Syeikh Al-Azhar Cairo, Prof. Dr. Ahmad Al-Tayyib mengatakan, “Meski para ulama besar Al-Azhar terdahulu pernah terlibat di dalam berbagai konferensi persatuan Islam antara Sunni dan Syiah guna melenyapkan fitnah yang memecah belah umat Islam, penting saya garis bawahi bahwa seluruh konferensi itu nyatanya hanya ingin memenangkan kepentingan kalangan Syiah (Imamiyah) dan mengorbankan kepentingan, akidah dan simbol-simbol Ahlus Sunnah, sehingga upaya taqrib itu kehilangan kepercayaan dan kredibilitasnya seperti yang kami harapkan. Kami juga sangat menyesalkan celaan dan pelecehan terhadap para sahabat dan istri Nabi SAW yang terus menerus kami dengar dari kalangan Syiah, yang tentu saja hal itu sangat kami tolak. Perkara serius lainnya yang kami tolak adalah upaya penyusupan penyebaran Syiah di tengah masyarakat Muslim di Negara-negara Sunni.”
Selain itu Syeikh Al-Thayyib menyinggung kondisi memilukan Ahlus Sunnah di Iran yang menurut beliau, “Banyak dari mereka yang mengadukan kepada kami kondisi dan hak-hak mereka. Saya memandang, tidak boleh hak-hak warga Negara didiskriminasi dan dikerdilkan seperti yang disepakati oleh system politik modern dan diatur syariat Islam.”

(Sumber: http://onazhar.com/page2home2.php?page=3&page1=4&page2=2810)

Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, menyatakan seperti dilansir Koran Ahram (09/11/2012) bahwa Al-Azhar menolak keras penyebaran ajaran Syiah di negeri-negeri Ahlus Sunnah, karena hal itu akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas negara, memecah belah umat dan membuka peluang kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan mazhab di Negara-negara Islam.
Selain penolakan terhadap ekspor mazhab Syiah (Syiahisasi) ke negara-negara Sunni, kaum Rafidhah berlindung di balik konsensus Deklarasi Amman untuk legitimasi penyebaran Syiah. Risalah Amman yang selama ini selalu menjadi landasan bagi Syiah menebarkan pengaruhnya bukanlah kesepakatan pembenaran atas penyimpangan akidah.
“Risalah Amman bukanlah cek kosong, Risalah Amman bukan pula kesepakatan pembenaran atas keyakinan menyimpang Rafidhah, yaitu doktrin caci-maki kepada para pembesar Sahabat dan isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam, apalagi pembenar doktrin tahrif,” kata seorang pakar Syiah Prof. Mohammad Baharun, yang juga mengetuai Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI. Solusi damai antara Syiah dan Sunni justru dengan membuat jarak yang jelas dan tidak mengelabui umat. “Karena perbedaannya bukan di ranah mazhab fiqih saja, melainkan keyakinan akidah,” ujarnya. [baca: Pakar Syiah Indonesia Dukung Langkah Syeikh Al Azhar]
Risalah Amman 2005 juga tidak mengikat seluruh ulama yang hadir. Faktanya adalah Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut tercantum namanya sebagai penandatangan Risalah Amman, telah merilis tiga fatwa tentang Syiah Imamiyah di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang terbit pada tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Syiah Imamiyah dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan akidah antara Ahlus Sunnah dan Syiah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang pendekatan (taqrib) Sunni-Syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007.
Tampak dari fatwa Syeikh Al-Qaradhawi (2009) bahwa kaum Syiah masih dikategorikan Muslim (seperti tertulis dalam Risalah Amman), tapi itu tidak berarti golongan Muslim tersebut bersih dan terbebas dari kesesatan terutama dalah hal-hal pokok akidah sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Qaradhawi.
Di dalam fatwanya al-Qardhawi, yang juga anggota dewan tinggi ulama senior (‘Hai’ah Kibar Ulama’) Al-Azhar menegaskan sikapnya terhadap gagasan ‘Taqrib’,
“Sesungguhnya sejak saya ikut serta di dalam Muktamar Pendekatan Madzhab (Taqrib), saya telah menemukan beberapa poin penting yang membuat pendekatan ini tidak akan terjadi jika poin-poin ini diabaikan atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah saya jelaskan dengan sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran 10 tahun yang silam. Di sini saya hanya mengacu kepada 3 perkara:
Pertama, kesepakatan untuk tidak mencerca para sahabat. Karena kita tidak bisa dipertemukan atau didekatkan jika masih seperti itu. Karena saya mengatakan: Semoga Allah meridhai mereka (para sahabat), sedangkan engkau (Syi’ah) berkata: Semoga Allah melaknat mereka. Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki perbedaan yang sangat besar. 

Kedua, dilarang menyebarkan sebuah madzhab di sebuah daerah yang dikuasi oleh madzhab tertentu. Atau seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dengan istilah pengsyi’ahan (ekspor madzhab Syi’ah ke negara lain).  Ketiga, memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika monoritas tersebut adalah madzhab yang sah.

Inilah sikap saya. Saya tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau menjadi orang-orang yang berhamburan kepada usaha taqrib(pendekatan Sunni – Syi’ah) tanpa syarat dan ketentuan. Karena saya melihat bahwa muktamar ini hanya seremonial saja. Akan tetapi tidak memecahkan akar permasalahannya dan tidak ada ujung pangkalnya. Muktamar tersebut hanya sebatas basa basi dan tidak menghasilkan apa-apa setelahnya. Saya putuskan bahwa saya harus menjelaskan sesuatu yang ada di dalam diri saya kepada seluruh kaum Muslimin. Saya tidak akan menyembunyikan sesuatu yang dianggap penting di dalam (menjaga) muamalah. Hal ini lah yang dituntut oleh sifat amanah dan tanggung jawab dan perjanjian yang telah diambil oleh Allah terhadap para ulama, “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” (QS Ali Imran [03]: 187).”
Syeikh Qaradhawi menceritakan pengalaman bahwa taqrib di dunia Islam hanya menguntungkan pihak Syiah, yang mendukung pernyataan Grand Syeikh Al-Azhar saat ini Prof. Ahmad Al-Thayyib;
“Pada tahun 60-an yang lampau, Syeikh Mahmud Syaltut sebagai Grand Syeikh Al-Azhar telah mengeluarkan sebuah fatwa yang membolehkan beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari. Dengan alasan di dalam pembahasan fikihnya lebih mendekati kepada Madzhab Ahlu Sunnah, kecuali ada perbedaan sedikit saja yang tidak menjadi alasan untuk melarang beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari secara keseluruhan, seperti dalam hal shalat, puasa, zakat, haji dan muamalah. Akan tetapi fatwa ini tidak pernah dibukukan dalam Himpunan Fatwa Syaltut. Fatwa Syaikh Syaltut ini sebagaimana yang disebutkan tidak merambah ke permasalahan akidah dan ushuluddin (pokok-pokok agama Islam) yang di dalamnya mengandung perbedaan yang sangat jelas antara Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Contohnya dalam hal imamah, 12 imam Syi’ah, kemaksuman imam, pengetahuan mereka terhadap hal gaib dan kedudukan mereka yang tidak ada yang bisa mencapainya walaupun oleh malaikat yang sangat dekat (dengan Allah SWT) dan tidak juga oleh nabi yang diutus. Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah penting yang termasuk masalah ushuluddin. Tidak sah iman dan Islam seseorang kecuali dengan mengimani masalah ini. Orang yang menolaknya dianggap kafir, akan kekal di neraka. Juga contoh lainnya yaitu akidah orang-orang Syi’ah terhadap para sahabat dan hal-hal lainnya yang mereka anggap sebagai pokok-pokok agama mereka.
Di samping itu, kami belum pernah menemukan ada orang Syi’ah yang membalas kebaikan dengan kebaikan atau ada yang menjawab salam dengan jawaban yang lebih baik atau dengan salam serupa. Sebab tidak ada dari para ulama senior Syi’ah yang selevel dengan Syaikh Syaltut di kalangan Ahlu Sunnah, baik yang berada di Qum maupun di Najaf yang mengeluarkan fatwa bagi para pengikutnya bahwa boleh beribadah dengan menggunakan madzhab Ahlu Sunnah, meskipun mereka itu (Ahlus Sunnah) tidak perlu hal ini.”
Syeikh Qardhawi dalam fatwanya juga meluruskan makna ‘Taqrib’ agar tidak menjadi bias dan kamuflase terhadap upaya penyebaran ajaran Syiah;
“Seluruh peserta muktamar taqrib madzhab dan putusannya mengatakan bahwa pendekatan itu (terjadi) antar madzhab di dalam Islam. Menurut saya bahwa maksud dari ungkapan ini tidak pas. Karena kalimat madzhab telah menjadi istilah yang mapan bagi madzhab fikih Sunni yang empat yang sudah dikenal, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah. Kemudian ditambah dengan madzhab Zhahiriyah juga Zaidiyyah, Ja’fariyyah dan Ibadhiyyah. Adapun perbedaan di antara madzhab-madzhab ini hanya berkisar di dalam masalah furu’ dan amaliah yang tidak sampai menyentuh permasalahan akidah, pokok-pokok keimanan dan ushuluddin (pokok-pokok agama). Maka perbedaan dalam masalah furu, fikih atau ibadah adalah bukan faktor yang berpengaruh di dalam hubungan antara Sunni dan Syi’ah. Sangat penting digarisbawahi bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah adalah perbedaan di dalam masalah akidah seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya di dalam masalah pendekatan madzhab. Perbedaan dalam akidah  inilah yang telah menjadi penyebab tumbuhnya berbagai macam golongan, seperti Mu’tazilah, Jabariyyah, Murji’ah, Syi’ah, Khawarij, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Salafiyyah dan lain-lainnya. Oleh karena itu, jika memungkinkan, aktifitas ‘Taqrib’ lebih tepat disebut sebagai pendekatan antar golongan/firqah (akidah) dan bukan pendekatan antar madzhab (fikih). Karena fikih tidak memerlukan pendekatan. Pun jika kita permudah istilah dengan menyatakan madzhab-madzhab, maka yang kita maksudkan disini adalah madzhab-madzhab akidah dan bukan mazhab-mazhab fikih.”
Lebih jauh al-Qardhawi dalam fatwanya itu, mengungkapkan perbedaan mendasar dalam hal pokok antara Sunni dan Syiah yang tak bisa disatukan.
“Contoh perbedaan di dalam masalah akidah, yaitu khususnya di dalam masalah imamah. Karena mereka (orang-orang Syi’ah) berkeyakinan bahwa imamah adalah pokok akidah mereka dan termasuk ke dalam rukun akidah mereka. Sedangkan kita (Ahlu Sunnah) menganggapnya hanya sebagai furu’(cabang) saja dan bukan ushul; atau termasuk amaliyah dan bukan sebagai akidah. Akan tetapi imamah di dalam ajaran Syi’ah merupakan pokok ajaran mereka. Karena pokok ajaran mereka bersandar kepada: Al-Washiyah (wasiat politik kepada Ali), Al-Imamah (kepemimpinan Ali dan keturunannya), Al-Ghaibah (masa menghilangnya imam ke-12) dan Ar-Roj’ah (kembalinya Al-Mahdi ke dunia sebelum kiamat untuk menumpas musuh-musuh imam Ahlul Bait). Ajaran Syi’ah menyebutkan masalah imamah dengan sangat tegas. Mereka mengatakan barangsiapa yang tidak beriman kepada imamah ini, maka tidak dianggap sebagai orang yang beriman. Mereka juga mengatakan bahwa imamah ini berasal dari Rasulullah SAW, yang dimulai dari Ali RA kemudian dikuti oleh sebelas imam setelah Ali RA. Di dalam kitab Ushul Al-Kafi dari Abi Ja’far (Al-Baqir) bahwasanya dia telah berkata, “Islam itu dibangun di atas 5 dasar: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (kekuasaan). Tidak ada rukun yang lebih ditekankan kecuali rukun al-wilayah ini. Akan tetapi manusia hanya mengambil empat perkara dan mereka meninggalkan rukun ini, yaitu al-wilayah.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Dari Zurarah dari Abu Ja’far dia berkata, “Islam itu dibangun di atas lima perkara: Shalat, zakat, haji, puasa dan al-wilayah.” Zurarah berkata: Aku bertanya kepadanya: “Manakah di antara semua itu yang paling utama?” Abu Ja’far menjawab, “Al-wilayah lebih utama, karena al-wilayah adalah kunci dari semua rukun itu.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18). Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Ash-Shadiq (AS) bahwasanya beliau bersabda, “Dasar Islam itu ada tiga: Shalat, zakat dan al-wilayah. Tidak sah salah satu dari ketiga rukun ini kecuali dengan menyertakan dua rukun lainnya.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Di dalam masalah al-wilayah tidak ada rukhshah (keringanan). Dari Abu Abdullah dia berkata,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan lima perkara kepada umat Nabi Muhammad SAW: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (pemerintahan) kami. Allah telah memberikan keringanan di dalam rukun yang empat. Akan tetapi Allah tidak memberikan keringanan kepada seorang muslim pun di dalam hal meninggalkan wilayah (pemerintahan) kami. Tidak, demi Allah. Sesungguhnya tidak ada keringanan di dalam masalah al-wilayah.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Islam dibangun atas: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan, melaksanakan ibadah haji ke baitullah dan wilayah (pemerintahan) Ali bin Abi Thalib.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 21).
Bahkan pada kenyataannya mereka (orang-orang Syi’ah) tidak hanya berpegang kepada masalah al-wilayah (pemerintahan Ali) saja. Justru mereka melampauinya sampai ke taraf uluhiyah (ketuhanan). Akhirnya mereka menganggap Ahlu Sunnah bukanlah orang-orang yang beriman kepada Tuhan yang diimani oleh Syi’ah. Inilah salah satu titik perbedaan yang paling mendasar. Ni’matullah Al-Jazairi (wafat 1212 H) misalkan di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyyah menulis tentang Ahlu Sunnah wal Jama’ah, “Sesungguhnya kami tidak bisa bertemu dengan mereka (Ahlu Sunnah) di dalam satu tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal ini dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata, “Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya. Akan tetapi kami tidak mengatakan dengan tuhan ini dan tidak juga dengan nabi itu. Akan tetapi kami mengatakan, “Sesungguhnya tuhan yang khalifahnya (yang benar: Khalifah nabinya) adalah Abu Bakar adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi kami.” (Al-Anwar An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan Yayasan Al-A’lami Beirut Libanon).”
Demikian uraian yang dapat penulis ketengahkan kepada pembaca sekalian mengenai sikap institusi ilmiah terbesar Sunni yaitu Al-Azhar Al-Syarif melalui berbagai pernyataan dan pemikiran fatwa para tokoh kuncinya yaitu Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib dan Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi.
Pandangan kedua tokoh Muslim terkemuka itu sangat patut dipertimbangkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Daerah, tokoh-tokoh cendekiawan serta Ormas-ormas Islam di Indonesia, bahkan oleh jajaran Pemerintah Republik Indonesia untuk menyikapi perkembangan Syiah dan infiltrasinya melalui jalur pendidikan dan beasiswa serta penerbitan yang menyerang ajaran Sunni di Indonesia, agar kehidupan keagamaan berlangsung harmonis demi kokohnya NKRI yang islami dan didukung seluruh elemen umat Islam.*
Komisi Pengkajian MUI dan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
Dipublikasi resmi di hidayatullah.com, 11 Februari 2013