By: Syiah Indonesia on 12.57
Aqidah Islam yang paling
shahih adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hal ini telah menjadi kesepakatan
ulama di Timur dan di Barat, baik masa salaf maupun masa khalaf. Sehingga siapa
saja yang memiliki aqidah yang bertentangan dengan aqidah Ahlus Sunnah wal
Jamaah adalah pemilik aqidah sesat.
Demikian pula yang dikatakan sebagai aliran Syiah Zaidiyah. Aliran ini adalah
aliran ahli bid’ah yang dalam aqidahnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran sesat
Mu’tazilah. Suatu pemikiran bid’ah yang manhaj aqidahnya didasarkan pada dalil
akal daripada menggunakan dalil nash.
Penyebab utama Syiah Zaidiyah ini terpengaruh aliran Mu’tazilah adalah
dikarenakan pemimpin aliran Zaidiyah, Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin
Ali, adalah seorang murid Washil bin Atha’, dedengkot Mu’tazilah.
Banyak pihak mengatakan bahwa Zaidiyah adalah aliran Syiah yang paling dekat
dengan Ahlus Sunnah, ini benar jika yang dimaksud adalah dalam pandangan
fiqihnya, bukan pandangan aqidahnya yang sesat.
Dikutip dari forum Rayaheen, berikut ini 8 kesesatan aqidah Syiah Zaidiyah
sebagai pegangan kaum Muslimin dalam menyikapi aliran yang hampir punah di muka
bumi dikarena pemikiran-pemikiran Rafidhahnya pasca revolusi Syiah di Iran:
1. Manusia tidak dapat melihat Allah di akhirat
Kelompok Zaidiyah tidak meyakini bahwa orang-orang yang beriman dapat melihat
Allah ta’ala di akhirat, seperti keyakinan kaum Mu’tazilah.
Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah tegas meyakini hal ini. Orang mukmin di surga
akan melihat Allah yang suci dari bentuk dan rupa serta konsekwensi keduanya,
seperti arah, tempat dan lain-lain.
Dalilnya adalah Allah Ta’ala juga berfirman,
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Muka mereka (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya mereka
melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 24-25)
2. Allah tidak menciptakan kemaksiatan
Kaum Zaidiyah berkeyakinan bahwa Allah tidak menciptakan maksiat. Mereka juga
beranggapan bahwa maksiat yang dilakukan manusia bukan bagian dari qadar Allah.
Keyakinan ini sama seperti keyakinan kelompok Mu’tazilah.
Sementara Ahlus Sunnah beri’tiqad bahwa Allah adalah pencipta bagi setiap
sesuatu. Tidak ada benda yang wujud, dan tidak ada kejadian yang terjadi
kecuali diciptakan oleh Allah ta’ala. Perbuatan maksiatpun diciptakan Allah
subhanahu wa ta’ala.
3. Pelaku dosa besar kekal di neraka
Syiah Zaidiyah menyakini bahwa orang yang terjatuh dalam perbuatan dosa besar
disebut sebagai orang yang fasiq, dan saat dia mati dalam keadaan tidak
bertaubat, maka ia disiksa di neraka selama-lamanya.
Menurut Ahlussunnah, orang yang seperti itu masih berada dalam kehendak Allah.
Jika Allah mengendaki, Allah akan mengampuninya, membebaskan semua kesalahannya
dan memasukkannya ke surge tanpa harus mendekam di neraka. Sebaliknya, jika
Allah menghendaki, ia akan disiksa di neraka, tetapi tidak kekal, selama ia
masih beriman dan bertauhid kepada Allah ta’ala.
Dalam Shahih Bukhari, dengan sanad sampai Ubadah, diriwayatkan bahwa Rasulullah
pernah bersabda, “Barangsiapa bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang
Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan
bahwa Isa (yang terjadi dengan) kalimat-Nya, yang disampaikan-Nya kepada Maryam
dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya, dan bahwa surga adalah haq (benar) dan neraka
haq, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan amalan apa pun yang
telah ia perbuat.”
4. Al Quran adalah makhluk
Firqah Zaidiyah dalam maslah kalamullah berpendangan sama dengan kaum
mu’tazilah. Mereka mengatakan bahwa kalam adalah makhluk, bukan bagian dari
sifat-sifat Allah.
Sedangkan Ahlus Sunnah berpendapat bahwa kalam adalah sifat Allah seperti
sifat-sifat Allah yang lain. Kalam adalah sifat dzat yang suci dan qadim (tidak
ada permulaannya).
Dalilnya, Allah berfirman,
ومن أصْدَق من الله حديثا
“Siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah.” (An-Nisaa’ :
87)
5. Tidak ada syafa’at Rasulllah
Zaidiyah mengingkari adanya syafaah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bagi umat beliau yang menjadi ahli maksiat. Kelompok ini berpendapat bahwa
syafaat Rasulullah hanya khusus bagi mukminin sebagai tambahan nikmat saja.
Oleh sebab itu, menurut mereka para pelaku maksiat dan ahli dosa besar tidak
akan diberi syafaat. Mereka akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir dan
kaum munafiqin.
Imam Ahlus Sunnah, Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ahli agama dan Ahlus
Sunnah mengimani syafaat Rasulullah n bagi pelaku dosa dari kalangan
orang-orang yang bertauhid dan pelaku dosa besar (lainnya), sebagaimana telah
diberitakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.”
6. Amal adalah syarat keshahihan iman
Zaidiyah berpendapat bahwa amal adalah syarat bagi keshahihan iman. Barang
siapa mengikrarkan dua syahadat, tetapi tidak mau melakukan amal shaleh, atau
menerjang maksiat meski seperti melakukan ifthar di siang ramadlan atau
mengkonsumsi khamr, maka ia tidak dianggap sebagai orang yang beriman. Jika ia
mati dalam keadaan tidak bertaubat, maka ia kekal di neraka. Ini adalah seperti
pendapat Murji’ah.
Ahlus Sunnah berpendapat bahwa iman itu adalah perkataan, perbuatan, dan
keyakinan. Amal termasuk bagian dari iman, dan ia (amal) adalah iman itu
sendiri. Amal bukan sebagai syarat dari syarat-syarat keshahihan iman atau
syarat kesempurnaan iman atau perkataan lainnya yang banyak menyebar dewasa
ini. Iman itu adalah perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amal
dengan anggota badan. Bisa bertambah (dengan ketaatan) dan berkurang dengan
kemaksiatan.
7. Imamah lebih berhak diambil dari keturunan Ali bin Abi Thalib
Dalam masalah Imamah, kaum Zaidiyah beri’tikad bahwa orang yang lebih berhak
setelah kepemimpinan Rasulullah adalah Ali. Beliau dianggap sebagai pemegang
wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Setelah Ali, imamah dilanjutkan
oleh putra-putra Fatimah, seperti Al-Hasan dan Al-Husein, sesuai dengan pedoman
mereka dalam hal ini.
Dengan dasar ini, kelompok Zaidiyah menganggap apa yang dilakukan oleh para
sahabat ketika mengangkat Abu Bakar As-Shidiq dan khalifah sesudahnya adalah
sebuah kesalahan. Namun demikian, kelompok Zaidiyah tidak sampai mengkafirkan
para sahabat akibat “kesalahan” ini. Dalam masalah ini Zaidiyah terbagi dalam
dua kelompok. Kelompok pertama ridha dengan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar,
sementara kelompok yang lain memilih diam tanpa ada pernyataan ridho dan tanpa
ada penghujatan.
Sementara Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa imamah tidak berdasarkan
warisan akan tetapi syura dan kesepakatan ahlul hali wal aqdi.
8. Wajibnya memberontak pada pemerintah Muslim yang zhalim
Syiah Zaidiyah memperbolehkan dan membernarkan pemberontakan kepada
pemerintahan Muslim yang zalim. Bahkan wajib.
Sementara Ahlus Sunnah mengharamkan pemberontakan atau keluar dari taat
pemerintah Muslim yang sah, meskipun bersikap fasik dan bertindak zalim. Namun
tetap membolehkan menggantinya jika memungkinkan. (firmadani.com)