Di kota Teheran, Iran,
diadakan Muktamar Lembaga Taqrib yang ke-28 pada 15-17 Rabiul Awwal 1436
Hijriyah. Acara ini dihadiri perwakilan lebih dari 60 negara yang bertujuan
menyatukan Islam (Sunni) dengan agama Syiah.
Namun, pada
kenyataannya ketika mereka melaksanakan shalat berjamaah tetap saja tidak bisa
bersatu alias berpisah,sesuai dengan Imam shalat masing-masing.
Hal ini terjadi karena orang Islam yang bersedekap tidak mau berimam dengan Imam Syiah, demikan pula orang Syiah yang tidak bersedekap tidak bakalan mau berimam dengan imam orang Islam yang tidak mengimani adanya 12 imam yang ma’shum.
Ulama Sunni, Imam Asy
Syafi’i ditanya oleh Al-Buwaiti (murid Imam Syafi’i), “Bolehkah aku shalat di
belakang orang Syiah?” Imam Syafi’i berkata, “Jangan shalat di belakang orang
Syi’ah, orang Qadariyyah, dan orang Murji’ah.” Lalu Al-Buwaitiy bertanya
tentang sifat-sifat mereka, Lalu Imam Syafi’i menyifatkan, “Siapasaja yang
mengatakan Abu Bakr dan Umar bukan imam, maka dia Syi’ah.”
Demikian pula Syiah
menyatakan tidak sah shalat di belakang orang Sunni. Dalam banyak literatur
Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang Syiah yang shalat di belakang (menjadi
makmum) imam Sunni tetap dihukumi batal, kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah…
“Suatu ketika, tokoh Syiah terkemuka, Muhammad Al Uzhma Husain Fadhlullah,
dalam Al Masa’il Fiqhiyyah, ditanya: “Bolehkah kami (Syiah) shalat bermakmum
kepada imam yang berbeda mazhab dengan kami, dengan memperhatikan
perbedaa-perbedaan di sebagian hukum antar shalat kita dan shalat mereka?”
Muhammad Husain Fadhlullah menjawab: “Boleh, asalkan dengan menggunakan
taqiyyah.”
Seorang dai Syiah,
Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa “Mereka (orang-orang Syiah) seringkali
shalat bersama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan menggunakan taqiyyah dan
bergegas menyelesaikan shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka mengulangi
shalatnya ketika pulang.”
Gambar ini
mentertawakan siapapun yang mengajak menyatukan Syiah dengan Islam.
Ulama Al Azhar: Syiah dan Sunni Berbeda dalam Pokok Agama
Syiah
tidaklah sama dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dalam permasalahan pokok agama.
Hal itu disampaikan Prof. Dr. Thaha Hibisyi, Guru Besar Ilmu Akidah dan
Filsafat Universitas al Azhar dalam seminar dengan tajuk “Syiah dan
Problematika Takfir”, Rabu (26/3) di Rumah Limas, Kairo, Mesir.
Acara ini digelar
Mahasiswa Jawa Timur (Gamajatim) dan Jawa Tengah (KSW), Senat Ushuludin
Al-Azhar, PCI Muhammadiyah, serta PCINU Mesir.
Prof. Dr. Thaha
Hibisyi menjelaskan tentang mulai mencuatnya Syiah yang berawal dari
perselisihan yang terjadi antara Ali dengan Muawiyah, hingga menyebabkan
terpecahnya kelompok Ali menjadi dua bagian: Syiah dan Khawarij.
Ia menjelaskan
bahwa pada awal kemunculannya, Syiah lebih didominasi sebagai gerakan politik
dari pada agama, hingga semakin lama berkembang menjadi aliran agama untuk
melegitimasi kekuasan Ali dan keturunannya.
“Sifat ma’shum
dimunculkan oleh kaum Syiah hanya untuk melegimitasi kepemimpinan Ali
sepeninggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan cara mengkafirkan
para Sahabat yang lain, seperti Abu Bakar, Umar, dan Ustman Radhiyallahu
‘Anhum,” tulis Ruwaq Al Azhar.
“Syiah
meyakini bahwa para imam dua belas yang mereka agungkan adalah ma’shum
(terjaga dari dosa). Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa hanya
para Nabi dan Rasul yang memiliki sifat ma’shum,” jelasnya.
Kementerian Agama Mesir
Larang Penyebaran Syiah di Seluruh Wilayah
Jumat, 28 Desember 2012 (9:16 am) / Bumi
Islam
Menteri Wakaf (Menteri Agama) Mesir DR. Thal’at Afifi, menegaskan bahwa
seluruh masjid di Mesir harus tunduk dibawah pengawasan departemennya dan tidak
diizinkan sama sekali mengajarkan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan
mazhab Ahlus Snnah wal Jamaah.
Diapun mengabarkan bahwa
departemennya secara praktis telah mengadakan beberapa pelatihan bagi para
ulama dan imam untuk menghadapi arus pemikiran Syiah yang sama sekali tidak
dibolehkan penyebarannya. Demikian dikutip Islamedia dari almoslim.net.
Terkait dengan informasi
keikutsertaan salah seorang penasehat Departeman Wakaf pada acara seremonial
yang disebut sebagai peringatan kematian Imam Husain, atau perayaan Asyura di
Iran pada bulan lalu, menteri menjelaskan bahwa keikutsertaannya merupakan
sikap pribadi dan tidak mewakili departemennya. Itupun sudah dilakukan
investigasi terhadap yang bersangkutan.
Menteri tersebut juga menjelaskan
bahwa departemennya telah menyusun panduan-panduang tertentu untuk pengangkatan
imam baru, agar tidak ada basa basi terhadap seseorang atau perantara atau jual
beli dalam proses penetapan.
Beliau juga menyambut penyebaran
dakwah secara massif dan luas yang dahulu hal ini tidak dapat disaksikan. Kini,
menurutnya, departemennya sedang menyiapkan aturan kerjasama dengan
lembaga-lembaga dakwah, di antaranya lembaga Anshar Sunah dan Jam’ah
Syar’iyah untuk menyebarkan dakwah dan wawasan agama secara moderat.
Karena lembaga-lembaga tersebut banyak memiliki masjid yang besar serta lembaga
pendidikan pengkaderan dai.
Kini juga sedang diadakan
penyeleksian untuk mengangkat 3 ribu imam. Yang sudah mendaftar mencapai 57
ribu orang. Proses pemilihan akan dilakukan berdasarkan syarat-syarat yang
telah ditetapkan. Yang paling utama adalah hafal Al-Quran dan mengerti bahasa
Arab (fushah) serta memahami permasalah kontemporer dan wawasan ilmiah.
Sebelumnya, Sekjen Dewan Tinggi
Urusan Islam Mesir, DR. Shalah Sulthan telah menyatakan penolakannya terhadap
segala bentuk pemikiran yang bersumber dari berbagai aliran Syiah. Karena
berdasarkan UU Mesir, standar dalam masalah Aqidah, Akhlak dan Syariah
harus bersumber dari mazhab Ahlussunnah wal Jamaah.
Dilarang Al Azhar, Syiah Mesir Gagal Merayakan Asyura
Seorang tokoh Syiah Mesir yang bernama Thariq Al Hasyimi menyinggung peringatan Asyura di negara ini gagal dilaksanakan sesuai rencana dengan mengatakan, “Upaya pelaksanaan peringatan Asyura yang menurut rencana akan digelar di masjid Ra’sul Husein gagal.”
FNA (26/11) melaporkan, warga Syiah Mesir di berbagai propinsi gagal melaksanakan peringatan Asyura akibat seruan Al Azhar serta Departemen Urusan Wakaf Mesir (Kementerian Agama). Warga Syiah pun melaksanakan perayaan Asyura di rumah-rumah.
Acara Asyura di Mesir yang digelar di rumah-rumah warga Syiah, menurut Al Hasyimi, berupa pembacaan narasi pembunuhan (maqtal) di Padang Karbala.
Awal Oktober lalu, Al-Azhar membentuk sebuah komite ilmiah yang terdiri dari ulama dan Khatib untuk menghadapi gelombang Syiah di Mesir. Komite ini dibentuk setelah pertemuan Al-Azhar dengan ulama dari gerakan Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan Shufi untuk bersama-sama menghadapi Syiah.