Sejak dahulu para
pengikut syi’ah memperjuangkan agar ajaran yang mereka anut diakui sebagai
salah satu mazhab dalam Islam. Mereka ingin agar cap sesat terhadap mereka
hilang dengan legalitas mazhab tersebut.
Di beberapa Negara
Islam ajaran syi’ah adalah ajaran terlarang dan divonis sesat seperti di negara
Arab Saudi, Brunai dan Malaysia. Di Indonesia meski belum di atur dalam
peraturan pemerintah, namun MUI telah memfatwakan bahwa syi’ah adalah ajaran
sesat dan menyesatkan. Meski demikian para pengikut sy’iah dengan berbagai cara
gencar mewacanakan bahwa syi’ah adalah salah satu mazhab dalam Islam.
Kita kerap mendengar mereka berkoar-koar dalam
tulisan, dalam diskusi-diskusi, bahwa mereka adalah mazhab akhlak dan cinta.
Namun dalam kenyataannya ajaran syi’ah adalah ajaran yang penuh dengan
kebencian. Mereka selalu berdalih mengaku cinta ahlul bait (keluarga
Rasulullah), tapi mereka tidak bisa menyembunyikan kebencian mereka pada
sahabat Rasulullah bahkan pada istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mereka anggap kafir. Misalnya tuduhan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
sebagai pelacur. Na’udzubillah.
Akhlak apa yang penuh dengan laknat ini? Cinta apa yang
membenci orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya?
Kembali pada persoalan wacana legalitas syi’ah sebagai
mazhab. Muncul pertanyaan di sini. Apa tolak ukur sehingga sebuah ajaran itu
dianggap sebagai salah satu madzhab dalam Islam? Apakah semudah itu? Bagaimana
jika ahmadiyah ataupun NII yang marak diberitakan baru-baru ini juga minta
dianggap sebagai salah satu mazhab?
Mazhab dan Perbedaanya di dalamnya
Kata mazhab berasal dari kata zahaba yang artinya pergi;
oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Pengertian mazhab
menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa dan
pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun
lainnya.
Di antara tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi
adalah muncul beberapa mazhab raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya.
Keempat ulama mazhab itu adalah Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad.
Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat
mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad
ini.
Jika kita meneliti karya-karya ataupun fatwa-fatwa para
imam madzhab yang dibukukan maka kita akan mendapatkan bahwa perbedaan mereka
adalah pada persoalan fikih. Dengan kata lain mereka berbeda pendapat pada
masalah cabang dalam agama ini, dimana seseorang yang mumpuni memang bisa
melakukan ijtihad, tentu saja dengan tetap berpegang pada al-Qur’an dan Hadits
yang sahih. Contohnya saja permasalahan yang mana lebih afdhal, shalat sunnah
setelah shalat Jum’at dikerjakan di masjid atau di rumah? Berapa jumlah
rakaatnya, apakah dua atau empat? Masing-masing madzhab bisa saja berbeda
pendapat dalam masalah ini.
Singkatnya perbedaan pendapat dalam madzhab ini adalah
sesuatu yang bisa ditolerir.
Adapun dalam masalah akidah maka mereka semua sama. Aqidah
imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad adalah yang dituturkan oleh
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat
dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin.
Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an
itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran
dalam hati dan lisan.
Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok
Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan
aliran-aliran kalam.
Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama Salaf, di mana
antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat, Al-Qur’an adalah kalam
Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan
lisan.
Para Imam madzhab ini meyakini bahwa Muhammad Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi dan Rasul, tidak seperti
keyakinan Ahmadiyah yang menyatakan bahwa si Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi
setelah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam.
Para Imam madzhab ini meyakini bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengetahui segala yang ghaib, mengetahui yang segala yang akan terjadi,
dan mengetahui dan telah menetapkan segala sebab akibatnya, tidak sebagaimana
Syi’ah yang menisbatkan sifat bada’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam
kitab pegangan syi’ah rafidhah, Ushulul-kaafi Fi’I kitaabit-tauhid hal : 1/331,
tertulis “Abu Abdillah berkata seseorang belum dianggap beribadah kepada Allah
sedikitpun, sehingga ia mengakui adanya sifat bada’ pada Allah”.
Bada’ adalah baru diketahui setelah peristiwa itu terjadi.
Dengan kata lain sesuatu yang belum terjadi adalah masih samar. Ini adalah
sifat yang merendahkan keilahiyan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal dalam
surah An-Naml : 65, Allah menegaskan bahwa tidak ada seorang pun di bumi dan di
langit yang mengetahui segala perkara yang ghaib kecuali Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Lucunya, Syi’ah Rafidhah justru meyakini bahwa para imam
mereka mengetahui segala ilmu pengetahuan tak ada sedikitpun yang samar
baginya.
Akidah Sesat Syi’ah
Selain yang telah dijelaskan di atas berikut ini akan kami
paparkan beberapa akidah nyeleneh dari syi’ah rafidhah.
1. Keyakinan Rafidhah bahwa Al-Qur’an telah diubah
Rafidhah yang dikenal dewasa ini dengan Syi’ah, mengatakan
bahwa: Al-Qur’anul Karim yang ada pada kita (yang kita kenal ini) ia bukan Al-Qur’an
yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam, ia telah mengalami perubahan, penggantian, penambahan dan
pengurangan.
Mayoritas ahli hadits Syi’ah beranggapan adanya pengubahan
dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang dikatakan oleh Annury Ath- Thibrisi dalam
bukunya “Fashul khitab fii tahrifi kitab Rabbil-Arbab. Muhammad bin Ya’kub
Al-Kulaini berkata dalam bukunya “Ushulul-Kafi” pada bab yang mengumpulkan dan
membukukan Al-Qur’an hanyalah para imam yang diriwayatkan dari Jabir, ia
(Jabir) berkata saya mendengar Abu Ja’far berkata ”siapa yang mengaku telah
mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukan seluruh isinya sebagaimana yang diturunkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sesungguhnya ia seorang pendusta, tidak ada
yang mengumpulkan dan yang menghapalkannya, sebagaimana yang diturunkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala, melainkan Ali bin Abi Thalib, dan para imam
sesudahnya.”
Rafidhah meyakini bahwa al-Qur’an yang ada sekarang tidak
seperti al-Qur’an yang masih tersembunyi yang di antaranya isinya ada surat
“Al-Wilayah”. Dan di antara anggapan orang-orang syi’ah bahwa di sana ada satu
ayat yang hilang dari surat Alam Nasyrah. Ayat itu berbunyi: “waj’alnaa
‘Aliyyan Shihraka” Artinya, “dan kami jadikan Ali menantumu”.
Sungguh mereka tak merasa malu dengan anggapan seperti
ini, meskipun mereka mengetahui bahwa surat “alamnasyrah” ini termasuk surat
Makiyyah, yang mana Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu belum menjadi menantu
Rasulullah pada saat itu (di Makkah).
2. Kebencian kepada para Sahabat Nabi
Aqidah Rafidhah berpijak di atas pencacian, pencelaan dan
pengkafiran terhadap sahabat-sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Diungkapkan oleh Al-Kulaini dalam bukunya Furu’ul-Kaafi yang diriwayatkan dari
Ja’far: “Semua sahabat sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
murtad (keluar dari Islam) kecuali tiga, kemudian saya bertanya kepadanya:
siapakah ketiga sahabat ini? Ia menjawab: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar
Al-Ghifari dan Salman Al-Farisi.”
Mereka (Syi’ah) mengatakan dalam kitab: “Miftahul Jinan”
“Ya Allah, berikanlah kepada Muhammad dan keluarganya shalawat, dan laknatilah
ke dua patung Quraisy, kedua jibt dan thaghutnya dan kedua anak perempuannya
(maksudnya: Abu Bakar, Umar, Aisyah dan Hafshah).
Mereka mengadakan pesta besar-besaran dalam rangka
merayakan hari kematian Umar bin Khattab, dan memberikan penghargaan kepada
pembunuhnya, Abu Lu’lu’ah seorang yahudi dengan gelar “Pahlawan Agama”. Di atas
Kuburan Abu Lu’lu’ah yang mereka bangun dengan sangat megah, tertulis laknat
kepada Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Lihatlah, betapa besar kebencian dan kotornya sekte ini,
yang dinyatakan sudah keluar dari agama, dan betapa buruk dan kotornya
ucapan-ucapan mereka yang dialamatkan kepada manusia-manusia terbaik setelah
para nabi, yang mereka dipuji oleh Allah dan rasul-Nya, dan umat telah sepakat
akan keadilan dan keutamaannya, serta sejarah telah mencatat kebaikan-kebaikannya,
kecepatannya dalam masuk agama Islam, dan jihadnya dalam menegakkan agama
Islam.
Masih banyak penyimpangan mereka dalam masalah akidah,
tapi untuk menuliskannya semuanya perlu berhalaman-halaman bahkan
berjilid-jilid buku. Dan lembaran ini tentu saja tidak cukup untuk itu. Namun
dari penjelasan di atas maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa akidah syi’ah
rafidhah betul-betul telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Sehingga
sangat sulit untuk menghilangkan cap sesat pada sekte sempalan ini apalagi
melabelinya sebagai salah satu mazhab dalam Islam. Wallahu a’lam.
Ditulis dari berbagai sumber
Simak juga di Buletin Al-Balagh edisi 21