Yang banyak
Ditutupi dari Risalah Amman (1)
Risalah Amman dan Kampanye Politis Syiah
Rabu, 23 April 2014 - 13:52 WIB
Sepertinya Risalah Amman menjadi alat pencintraan kaum Syiah
untuk mendapatkan simpatinya bagi masyarakat Muslim Indonesia
Oleh: Kholili Hasib
AKHIR-AKHIR ini, kalangan Syiah
kembali menyebarkan dan mengangkat info ‘Amman Massage’(Risalah
Amman) melalui media sosial, blog, web dan grup-grup diskusi.
Penyebaran yang makin massif ini bertujuan
mencari dukungan kalangan Sunni awam bahwa Syiah adalah faham yang diakui
legitimasinya oleh para ulama sedunia.
Kaum Syiah sepertinya menggunakan ‘seribu
cara’ untuk mempropagandakan akidahnya ke masyarakat Sunni Indonesia. Mencari
legitimasi dari fatwa para ulama salaf jelas menuai jalan buntu.
Belakangan juga berupaya ‘mendekat’ kepada
kalangan NU, dengan mencari persamaan tradisi dan kultur secara paksa. Cara ini
juga dipastikan akan gagal karena sudah banyak bantahan-bantahan dari kalangan
habaib dan ulama NU sendiri terhadapa ajaran Syiah.
Pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari mengatakan:
“Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab
yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain
seperti madzhab Syiah Imamiyyah dan Syiah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah.
Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti.” (Muqaddimah Qanun Asasi
li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9).
Fatwa tersebut menjadi ‘palu godam’ buat
Syiah, bahwa Syiah tidak mendapatkan ‘tempat’ di Nusantara ini apalagi di tubuh
NU. Sebab, baik Imamiyah maupun Zaidiyah dinilai sebagai madzhab yang tidak
sah.
Satu cara gagal, cari cara lain. Inilah
prinsip dakwah politis Syiah. Risalah Amman menjadi alat
pencintraan kaum Syiah untuk mendapatkan simpatinya bagi masyarakat Muslim
Indonesia. Karena itulah dalam kampanye, Syiah mirip dengan kampanye-kampanye
partai politik kita. ‘Menjual’ apa saja yang menguntungkan. Ada hal-hal yang
ditutupi dan mengangkat butir-butir yang dianggap menguntungkan.
Tentang Isu Madzhab Fikih
Risalah Amman adalah deklarasi para ulama yang dihadiri sekitar 552 ulama dari
berbagai Negara di dunia. Diadakan pada tanggal 4-6 Juli 2005 di Amman, ibu
kota Jordania. Di antara poin isinya adalah, larangan mengkafirkan terhadap
madzhab-madzhab Islam dan mengupayakan persatuan Islam. Beberapa ulama besar
yang mendandatangi adalah Syeikh Yusuf Qardhawi, Syeikh Ahmad Thayyib (Mufti
al-Azhar), Syeikh Ali al-Salus, Syeikh Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain.
Butir nota kesepahaman yang menjadi alat
propaganda Syiah adalah butir pertama yang dipotong yang berbunyi:
“Siapasaja yang mengikuti dan menganut
salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali),
dua mazhab Syiah Ja’fari dan Zaydiyah, mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah
Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut/penganut
mazhab-mazhab yang disebut di atas. Darah, kehormatan dan harta benda salah
seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas tidak boleh
dihalalkan.”
Disebut dalam nota kesepahama tersebut, Syiah
madzhab Ja’fari dan Zaidiyah tidak boleh dikafirkan dan darahnya tidak boleh
dihalalkan.
Dari konteks dan substansinya, kita lebih
mudah memahami bahwa deklarasi tersebut sebetulnya ada sisi politis. Di mana
meningkatnya suhu politik negera-negara Arab, dan terjadinya peperangan serta
pertentangan hebat antar madzhab fikih merupakan konteks yang melatari
diadakannya deklarasi.
Dari teks Risalah Amman ini,
setidaknya ada tiga kesimpulan.
Pertama, deklarasi
tersebut lebih disemangati oleh saling toleransi dalam menyikapi perbedaan
fikih, bukan konsensus pengesahan Syiah Rafidhah (Syiah Istna Asyariyah)
sebagai akidah yang selamat dari persoalan.
Karena itu, isi deklarasi tersebut
menggunakan istilah ‘madzhab’. Maka kita bisa lebih mudah mengerti bahwa seseorang
tidak boleh dikafirkan hanya karena berbeda madzhab fikih.
Seseorang yang berbeda dalam soal qunut
subuh misalnya, tidak boleh saling menyesatkan apalagi mengkafirkan. Begitu
pula tidak boleh menjatuhkan vonis kafir karena seseorang tidak bersedekap dalam
shalat atau karena dia tidak mengucapkan “Amin” dalam shalat.
Persoalan-persoalan hukum seperti ini bukan domain untuk vonis takfir dan sebab
seseorang itu menjadi murtad.
Ja’fariyah kononnya merupakan fikih yang dinisbatkan kepada Imam Ja’far al-Shadiq.
Di kalangan Ahlus Sunnah Ja’far al-Shadiq adalah memang ahli fikih. Makanya,
menurut deklarasi Amman tersebut, kita tidak boleh menganggap kafir seseorang
hanya karena dia mengorientasikan pandangan fikihnya pada madzhab Ja’fari.
Kedua, pesan penting yang dimaksudkan dalam deklarasi tersebut
adalah larangan untuk mengkafirkan sesama Muslim disebabkan berbeda dalam
madzhab fikih. Bukan melegitimasi sahnya akidah Syiah Imamiyah. Persoalannya,
penganut Syiah Imamiyah sudah melewati batas, lebih dari sekedar bermadzhab
Ja’fariyah.
Meskipun, menurut pemahaman penulis, madzhab fikih Imam Ja’far
sudah punah. Jika pun ada, sudah banyak terjadi distorsi dan pemalsuan. Isnad
dan kitab-kitab aslinya susah ditemui. Sehingga, bagi penulis, memasukkan
Ja’fariyah ke dalam poin di atas kurang tepat. Namun, penulis memahami itu nota
kesepahaman tersebut bersifat politis.
Butir pertama sebetulnya mengandung dua isu besar. Yaitu isu madzhab fikih, dan isu akidah. Yang diangkat oleh Syiah di atas,
adalah isu madzhab fikih saja.*/bersambungMengapa Syiah Imamiyah tak
Disebut?
Penulis adalah Peneliti InPAS, Anggota
MIUMI Jawa Timur
Yang banyak Ditutupi dari Risalah Amman (2)
Mengapa Syiah Imamiyah tak Disebut?
Rabu, 23 April 2014 - 14:00 WIB
Jika pun deklarasi tersebut mengesahkan aliran Syiah, maka
keputusan tersebut tidak dapat membatalkan fatwa-fatwa para ulama generasi
terdahulu dari kalangan salafuna shalih yang sudah ijmak bahwa aliran Syiah itu
sesat-menyesatkan
Risalah Amman yang banyak ditutupi bunyi teksnya
Risalah Amman yang banyak ditutupi bunyi teksnya
Oleh: Kholili Hasib
DALAM teks Risalam Amman ada larangantakfir (mengkafirkan)
pada tiga kelompok kaum Muslimin, mereka itu; Asy’ariyyah, Sufi dan Salafi.
Tidak disebutkan “Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah”.
Isi poin pertama di atas sebetulnya ada kelanjutannya yang
berisi tentang isu akidah, yang biasanya tidak diungkap oleh Syiah. Kalimat
tersebut berbunyi:
“Lebih lanjut, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang
mengikuti akidah Asy’ari atau siapa saja yang mengamalkan
tasawuf. Demikian pula, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang
mengikutipemikiran Salafi yang sejati. Sejalan dengan
itu, tidak diperbolehkan mengkafirkan kelompok Muslim manapun yang percaya pada
Allah, mengagungkan dan mensucikan-Nya, meyakini Rasulullah (shallallahu
‘alaihi Wassallam ) dan rukun-rukun iman, mengakui lima rukun Islam, serta
tidak mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama
Islam.”
Poin ini bertujuan selain menyatukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
juga bermakna siapa-siapa yang mengakui rukun Islam, rukun iman, mensucikan
Allah dan Rasul-Nya dari sifat-sifat yang tidak pantas masuk golongan Muslim,
haram dikafirkan.
Kita ketahui, terdapat kelompok-kelompok yang menyesatkan
pengikut madzhab Asy’ariyah dan pengamal ilmu tasawuf. Madzhab Asy’ari telah
dianut oleh kaum Muslimin dan ulama-ulama besarnya selama berabad-abad.
Imam-imam besar ilmu hadis menganut madzhab Asy’ariyah.
Menurut deklarasi itu, kita harus paham, bahwa madzhab akidah
Asy’ari dan ulama-ulama sufi itu bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan
pelopor bendera Ahlus Sunnah adalah madzhab Asy’ariyah ini. Karena itu tidak
boleh disesatkan apalagi dikafirkan.
Dalam teks kalimat di atas, tidak ditemukan akidah Syiah
Imamiyah. Tidak ada sama sekali tidak kalimat “Tidak diperbolehkan mengkafirkan
siapa saja yang menganut akidah Syiah Imamiyah”.
Syiah Imamiyah tidak dimasukkan ke dalam nota kesepahaman di
atas karena memang Syiah memiliki rukun iman yang berbeda dengan kaum Muslimin
Ahlus Sunnah.
Seperti diketahui, sikap dan pandangan Syiah “Syiah
Imamiyah Itsna Asyariyah” di luar kelompoknya dan seluruh kaum Muslimin
yang tidak mengenal atau mengikuti imam zamannya (yang dimaksud adalah 12 imam
Syiah) maka matinya dalam keadaan jahiliyah atau mati di luar Islam. (baca: “40
Masalah Syiah, Buku Pedoman Dakwah IJABI” karya Emilia Renita Az, hal
98)
Rukun Iman versi Syiah adalah : al-Tauhid, al-‘Adl (percaya
pada keadilan ilahi), Nubuwwah, Imamah, Al-Ma’ad (percaya pada
hari akhir). Padahal, dalam deklarasi tersebut, yang dilarang untuk dikafirkan
adalah siapa saja yang meyakini rukun iman dan Islam. Bagaimana dengan Syiah
yang berbeda rukun imannya?
Karena itu, beberapa ulama yang menandatangani deklarasi
tersebut tetap bersifat tegas terhadap Syiah. Seperti Syeikh al-Qardhawi, dan
Syeikh Ahmad Thayyib.
Lihatlah fatwa Syeikh Yusuf al-Qardhawi. Beliau mengatakan,
“Sesungguhnya perbedaan yang mendasar di antara kedua madzab ini (Sunni dan
Syiah) adalah perbedaan di dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok
agama) dan bukan di dalam masalah furu’. Oleh karena itu, sebutan untuk
perbedaan ini adalah perbedaan di antara dua golongan, yaitu Ahlus Sunnah di
satu sisi dan Syiah di sisi yang lainnya. Perbedaan ini bukan di antara dua
madzab fikih.”(Fatawa Mu’ashirah jilid IV).
Dalam fatwanya tersebut Syeikh al-Qardhawi menerangkan
kesesatan-kesesatan Syiah. Beliau menjelaskan, memang benar, tidak mungkin kita
akan bersatu. Ketika saya mengatakan, ”Abu Bakar semoga Allah Swt meridhainya.
Umar semoga Allah Subhanahu Wata’ala meridhainya.” Sedangkan
engkau (Syiah) berkata, ”Abu Bakar semoga Allah Swt melaknatnya. Umar semoga
Allah Subhanahu Wata’ala melaknatnya.” Ingat, alangkah
besarnya jurang perbedaan antara kalimat ‘semoga Allah Swt meridhainya’ dengan
kalimat ‘semoga Allah Subhanahu Wata’ala melaknatnya’.
Tentang gerakan kaum Syiah yang sering mengelabuhi kaum Muslimin
beliau berkata: “Kami melihat mereka (Syiah) bersikap masa bodoh. Mereka
menerobos masuk ke masyarakat Sunni dengan memanfaatkan kekaguman Ahlu Sunnah
atas sikap Syi’ah di bidang politik dan militer. Mereka menjadikan hal tersebut
sebagai alat propaganda”.
Syeikh Ahmad Thayyib, Mufti al-Azhar, mengatakan, “Meski para
ulama besar Al-Azhar terdahulu pernah terlibat di dalam berbagai konferensi
persatuan Islam antara Sunni dan Syiah guna melenyapkan fitnah yang memecah
belah umat Islam, penting saya garis bawahi bahwa seluruh konferensi itu
nyatanya hanya ingin memenangkan kepentingan kalangan Syiah (Imamiyah) dan
mengorbankan kepentingan, akidah dan simbol-simbol Ahlus Sunnah, sehingga upaya
taqrib itu kehilangan kepercayaan dan kredibilitasnya seperti yang kami
harapkan. Kami juga sangat menyesalkan celaan dan pelecehan terhadap para
sahabat dan istri Nabi SAW yang terus menerus kami dengar dari kalangan Syiah,
yang tentu saja hal itu sangat kami tolak. Perkara serius lainnya yang kami
tolak adalah upaya penyusupan penyebaran Syiah di tengah masyarakat Muslim di
Negara-negara Sunni.”(lihat tulisan Fahmi Salim, Sikap Al-Azhar Mesir tentang ‘Taqrib’
Sunni-Syiah di hidayatullah.com).
Terlepas dari itu, jika pun deklarasi tersebut mengesahkan
aliran Syiah, maka keputusan tersebut tidak dapat membatalkan fatwa-fatwa para
ulama generasi terdahulu dari kalangan salafuna shalih yang
sudah ijmak bahwa aliran Syiah itu sesat-menyesatkan. Mereka lah generasi yang
mendapat garansi.
Ajakan taqrib (pendekatan) Syiah ternyata hanya
strategi Syiah untuk mensyiahkan kaum Ahlus Sunnah. Syeikh Mustafa al-Siba’i
pernah dikhianati oleh orang-orang Syiah ketika beliau bersepakat untuk
mengadakan taqrib. Namun ajakan itu dikhianati dengan kelakuan
Syiah yang mencaci para Sahabat Nabi dan melakukan Syiahisasi. Ia pun sampai
pada kesimpulan bahwa ajakan Syiah sebetulnya bukan ber-ukhwah dengan Ahlus
Sunnah, namun sejatinya mengajak Sunni untuk menjadi Syiah.*
Penulis adalah Peneliti InPAS, Anggota MIUMI Jawa Timur
Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar
Risalah aman
dalam
poin pertama Risalah Amman, ada sebagian teks yang tidak disebutkan oleh
Jalaluddin Rakhmat atau mungkin sengaja dibuang, “Lebih lanjut, tidak
diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikutiakidah Asy’ari atau
siapa saja yang mengamalkantasawuf (sufisme). Demikian pula, tidak
diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti pemikiran Salafi yang
sejati. Sejalan dengan itu, tidak diperbolehkan mengkafirkan kelompok Muslim
manapun yang percaya pada Allah, mengagungkan dan mensucikan-Nya, meyakini
Rasulullah (saw) dan rukun-rukun iman, mengakui lima rukun Islam, serta tidak
mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam.”
Teks
poin pertama Risalah Amman yang sengaja dibuang ini hanya menyebutkan tiga
kelompok yang tidak boleh dikafirkan, mereka itu Asy'ari, Sufi, Salafi dan
tidak menyebut "Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah". kemudian untuk masuk
dalam golongan yang juga tidak boleh dikafirkan haruslah memenuhi tiga batasan
yang tertulis dalam Deklarasi Amman tersebut, yaitu percaya pada Allah dan
Rasulullah, meyakini rukun iman dan rukun Islam serta tidak mengingkari
ajaran-ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam. Sedangkan
Syiah melanggar tiga batasan tersebut, untuk lengkapnya silakan baca penelitian
kami tentang Risalah Amman pada artikel Syiah Berlindung Di Balik Risalah
Amman.