Syiah dan Rukun
Iman: Qadha’ dan Qadar
Keyakinan Syiah tentang 5
rukun iman telah selesai dibahas pada beberapa dua edisi sebelumnya. Pada edisi
ini hendak ditampilkan keyakinan Syiah tentang rukun iman terakhir (Qadha’ dan
Qadar). Tentang Qadha’ dan Qadar, Syiah—seperti pada rukun Iman yang
lain—juga punya pandangan yang jauh berbeda dengan umat Islam.
Jika kita kembali menelaah
literatur-literatur salaf yang mengupas tentang aliran-aliran teologi
dalam Islam berikut pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa jajaran ulama
Syiah periode awal sepakat menetapkan eksistensi Qadar. Pendapat bahwa
perbuatan makhluk tidak terkait dengan takdir Allah SWT. Muncul pada saat
pemikiran teologis Syiah mulai bergesekan dengan pemikiran Mu’tazilah, tepatnya
pada abad keempat hijriah.
Agaknya, periode itulah yang
dijadikan patokan oleh para ahli untuk menentukan awal pengingkaran Syiah
terhadap Qadar.[1]
Buku-buku teologi Islam mencatat, bahwa maraknya pengingkaran Qadar Allah
SWT. Di kalangan Syiah ini diperkirakan terjadi sejak munculnya Muhammad bin
an-Nu’man al-Mufid bersama para pengikutnya.
Pandangan Syiah
terhadap Qadha’ dan Qadar ini antara lain diuraikan oleh
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam Maqalat al-Islamiyin,[2] beliau
menegaskan bahwa dalam menyikapi Af’al al-Ibad (pekerjaan-pekerjaan
hamba), pandangan Syiah Rafidhah terbagi menjadi tiga kategori:
Meyakini bahwa semua
perbuatan makhluk diciptakan oleh Allah SWT.
Tidak mempercayai bahwa
perbuatan makhluk adalah ciptaan Allah SWT.
Bersikap netral. Kelompok ini
mengatakan tidak ada pemaksaan pada setiap perbuatan makhluk—pendapat ini sama
dengan pendapat sekte Jahmiyah. Namun seorang hamba juga tidak boleh menyerah
pada nasib—yang ini lebih dekat pada pendapat sekte Mu’tazilah (Qadariyah).
Tentu saja klasifikasi
terhadap kerangka pemikiran Syiah yang dibuat oleh al-Asy’ari ini berlandasan
pada data-data otentik dari Syi’ah, berikut data empiris berdasarkan penelitian
dan pengalaman beliau. Hal itu terbukti, bahwa ketika menjelaskan akidahnya
mengenai qadar, Ibnu Babawaih al-Qummi agaknya menunjuk pada salah satu
klasifikasi yang dibuat al-Asy’ari tadi. Dengan tanpa ketegasan teoritis, Ibnu
Babawaih dalam Aqaid ash-Shaduq menyatakan sebagai berikut:
إِعْتِقَادُنَا فِي أَفْعَالِ العِبَادِ أَنَّهَا مَخْلُوْقَةٌ خَلْقَ تَقْدِيْرٍ لَا خَلْقَ تَكْوِيْنٍ, وَ مَعْنَى ذَلِكَ أَنَّهُ لَمْ يَزَلِ اللهُ عَالِماً بِمَقَادِرِهَا.
“Keyakinan kami mengenai
perbuatan makhluk ialah: bahwa perbuatan itu diciptakan dengan penciptaan
takdir, bukan penciptaan pembentukan. Artinya adalah bahwa Allah SWT.
Senantiasa mengetahui takdirnya makhluq.”[3]
Namun, ketidak-lugasan
penyampaian Ibnu Babawaih tersebut memberikan indikasi bahwa Allah SWT. hanya
mengetahui segala perbuatan makhluk saja, tidak memberi arti Allah SWT. bisa
berkehendak apa saja pada setiap makhluknya, sesuai dengan arti qadar yang
sesungguhnya.
Kemudian, ulama Syiah yang
lain memberikan penjelasan akan keyakinan Syiah Itsna Asyariyah yang
sesungguhnya terhadap qadar Allah SWT., seperti yang dikemukakan
al-Mufid dalam penegasannya berikut:
الصَحِيْحُ عَنْ آلِ مُحَمَّدٍ صلّى الله عليه و سلّم أَنَّ أَفْعَالَ العِبَادِ غَيْرُ مَخْلُوْقَةٍ لله,َ وَ الَّذِيْ ذَكَرَهُ أَبُوْ جَعْفَرٍ قَدْ جَاءَ بِهِ حَدِيْثٌ غَيْرُ مَعْمُوْلٍ بِهِ, وَ لَا مَرْضِيِّ الْإِسْنَادِ, وَ الأَخْبَارُ الصَّحِيْحَةُ بِخِلَافِهِ.
“Yang benar dari keluarga
Muhammad SAW. Ialah: bahwa sesungguhnya perbuatan makhluk itu tidak diciptakan
oleh Allah SWT. Sementara apa yang disampaikan Abu Ja’far adalah hadits-hadits
yang tidak bisa dipakai. Selain sanadnya tidak baik,
hadits-hadits yang shahih juga bertentangan dengannya.”[4]
Senada dengan penegasan
diatas, adalah jawaban dari pertanyaan yang pernah diajukan kepada Abu al-Hasan
ar-Ridha AS (diklaim pihak Syiah sebagai Imam ke-8). bahwa ketika beliau
ditanyakan oleh seseorang mengenai keyakinannya tentang qadar Allah
SWT; apakah qadar itu diciptakan Allah SWT. Atau tidak? Lalu beliau
menjawab:
لَوْ كَانَ خَالِقًا لَهَا لَمَا تَبَرَّأَ مِنْهَا وَ قَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى أَنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَ رَسُوْلُهُ, وَ لَمْ يُرِدْ البَرَاءَةَ مِنْ خَلْقِ ذَوَاتِهِمْ وَ إِنَّمَا تَبَرَّأَ مِنْ شِرْكِهِمْ وَ قَبَائِحِهِمْ.
“Andaikan Allah SWT. Yang
menciptakan perbuatan makhluk, tentu Dia tidak akan melepaskan diri darinya,
sementara Dia telah berfirman: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya terbebas diri
dari orang-orang musyrik.” Allah SWT. Tidak bermaksud melepaskan diri dari
menciptakan mereka, namun melepaskan diri dari kesyirikan dan kejelekan mereka.”[5]
Lebih tegas lagi, al-Hurr
al-Amili (w. 1104 H), salah seorang ulama Syiah terkemuka, mengupas kajian
seputar qadar dalam bab spesifik dengan judul “Sesungguhnya Allah
SWT. menciptakan segala sesuatu selain perbuatan makhluk.” Dalam kitabnya al-Fushul
al-Muhimmah fi Ushul al-Aimmah, dia mengatakan bahwa Syiah Imamiyah dan
Mu’tazilah meyakini bahwa semua perbuatan makhluk timbul dari dirinya sendiri,
merekalah yang menciptakan perbuatan-perbuatan itu.[6]
Ulama Syiah yang lain,
Muhammad Shadiq ath-Thabathaba’I, juga memberikan ketegasan yang sama: “Syiah
Imamiyah dan Mu’tazilah berkeyakinan bahwa semua perbuatan dan gerak-gerik
makhluk itu terjadi dengan kekuatan dan keinginan mereka sendiri. Merekalah yang
menjadikan pekerjaan-pekerjaan itu. Sedangkan ayat-ayat yang menerangkan bahwa
Allah SWT. yang menciptakan segala sesuatu, itu adakalanya sudah di takhsis (dikhususkan
maksud dan tujuannya) dengan selain perbuatan makhluk, atau ditakwil bahwa
Allah SWT. Yang menciptakan segala sesuatu dengan tanpa perantara, atau dengan
perantara makhluk-Nya.”[7]
Dari beberapa penegasan
ulama-ulama Syiah ini, jelaslah kiranya, bagaimana sebenarnya kepercayaan
mereka berkenaan dengan qadar Allah SWT. bahwa akidah mereka dalam
hal ini sebetulnya tidak ada bedanya dengan sekte Mu’tazilah – yang menyimpang.
Namun, sebagaimana disinggung
di atas, tampaknya keyakinan qadar ala Mu’tazilah ini dianut oleh
orang-orang Syiah pasca abad ketiga hijriah, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu
Taimiyah. Sedangkan Syiah yang hidup pada abad-abad sebelumnya malah memiliki
keyakinan yang berseberangan. Hal ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang
disampaikan langsung oleh A’immah Ahlul Bait, al-Kulaini antara lain
meriwayatkan hadits sebagai berikut:
قَالَ أَبُو جَعْفَر وَأَبُو عَبْدِ اللهِ: إِنَّ اللهَ أَرَحْمُ بِخَلْقِهِ مِنْ أَنْ يُجْبِرَ خَلْقَهُ عَلَى الذُّنُوبِ ثُمَّ يُعَذِّبَهُمْ عَلَيْهَا وَاللهُ أَعزُّ مِنْ أَنْ يُرِيْدَ أَمْرًا فَلَا يَكُوْنُ، قَالَ: فَسُئِلَا عَلَيْهِمَا السَّلَامُ هَلْ بَيْنَ الْجَبْرِ وَالْقَدَرِ مَنْزِلَةٌ ثَالِثَةٌ؟ قَالَا: نَعَمْ أَوْسَعُ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْاَرْضِ.
Abu Ja’far dan Abu Abdillah
berkata: “sesungguhnya Allah SWT. Tidak akan memaksa hamba-Nya untuk
mengerjakan perbuatan dosa lalu menghukumnya, sebab betapa besar kasih
sayang-Nya. Dan Allah SWT. Tidak mungkin menginginkan sesuatu lalu tidak
terjadi, karena Dia sangat berkuasa. Rawi berkata: Lalu keduanya ditanyakan: “apakah
antara pemaksaan dan takdir ada tempat ketiga? Beliau menjawab: “Ya, (tempat
itu) lebih luas dari ruangan yang ada di antara langit dan bumi.[8]
Kedua Imam ini menegaskan bahwa
pendapat mereka tentang qadar adalah tidak membenarkan al-Jabr dan at-Tafwidh (fatalisme).
Mereka memegangmaqam ketiga yang lebih netral, tidak mengikuti madzhab
Mu’tazilah. Lebih tegas lagi, Abu Abdillah AS (Diklaim Syiah sebagai Imam
ke-6). Mengatakan: “Kamu bertanya tentang perkataan orang-orang Qadariyah
(kelompok yang meniadakan qadar pada Allah SWT.), (apa yang mereka
katakan) bukanlah agamaku dan bukan pula agama leluhurku, tak kutemukan seorang
pun dari keluargaku berpendapat seperti itu.”[9] Abu
Abdillah AS. Melanjutkan: “Celakalah Qadariyah (free will), apakah mereka tidak
membaca firman Allah ‘Kecuali istri Luth, kami tetapkan dia temasuk orang-orang
yang dihukum.’ Celaka mereka, kalau bukan Allah yang menaqdirkannya, lalu
siapa?”
Al-Qummi meriwayatkan dalam
kitab tafsirnya: “. . .Orang-orang Qadariyah yang menafikan takdir, yang
mengira bahwa mereka bisa berbuat baik atau sebaliknya, kapan pun mereka mau,
adalah orang-orang Majusi dari umat Muhammad SAW. Padahal musuh-musuh Allah
SWT. Itu mengingkari Masyi’ahdan Takdir.”[10]
Yang perlu menjadi catatan
disini adalah, kendati Syiah generasi awal menetapkan eksistensi takdir Allah
SWT., akan tetapi pendapat yang umum dipegang oleh mayoritas umat Syiah masa
kini adalah pendapat generasi kemudian yang menafikan takdir, yang diadopsi
dari teologi Mu’tazilah. Sementara status dari teologi Mu’tazilah (Syiah) yang
menafikan takdir sama halnya dengan teologi Jabariyah yang hanya menetapkan
takdir. Kedua teologi ini hanya menggunakan sebagian dalil dan meninggalkan
dalil yang lain. Sementara yang mengambil jalan tengah adalah teologi yang
menggunakan nash-nash dan argumentasi secara sempurna, yang sesuai
dengan Kitabullah. Ayat-ayat al-Qur’an telah menegaskan bahwa makhluk memiliki
kemauan, kemampuan dan perbuatan, namun semuanya bergantung pada kehendak Allah
SWT.[11] Inilah
akidah yang dipedomani oleh umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Allah SWT.
Berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan kamu tidak mampu
(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan [76]: 30).
Paparan data dan fakta
tentang keyakinan Syiah terhadap 6 rukun iman—yang telah disampaikan pada
beberapa edisi yang lalu dan sekarang—menunjukkan betapa Syiah telah menyimpang
dari ajaran Islam, sehingga tidak mudah untuk dikatakan bahwa penganut Syiah
sebagai orang Islam.
By Apad Ruslan, diadaptasi
dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr.
Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1]Ibn
Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, juz 2 hlm. 29.
[2]Al-Asy’ari, Maqalat
al-Islamiyyin, juz 1 hlm. 114-115.
[3]Ibnu
Babawaih al-Qummi, Aqaid ash-Shaduq, hlm. 78.
[4]Al-Mufid, Syarh
Aqa’id ash-Shaduq, hlm. 12.
[5]Ibid,
hlm. 13.
[6]Al-Hurr
al-Amili, al-Fushul al-Muhimmah fi Ushul al-Aimmah, hlm. 80-81.
[7]Muhammad
Shadiq ath-Thabathaba’I, Majalis al-Muwahhidin fi Bayani Ushul ad-Din,
hlm. 21 dan al-Qazwini, Qala’id al-Kharaid, hlm. 60.
[8]Al-Kulaini, al-Kafi,
juz 1 hlm. 159.
[9]Al-Majlisi, Bihar
al-Anwar, juz 5 hlm. 56.
[10]Al-Qummi, Tafsir
Al-Qummi, juz 1 hlm. 226-227 dan al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 5 hlm. 9.
[11]Al-Qifari, Ushul
Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 774-785.
http://www.sigabah.com/menimbang-syiah-bagian-ke-11/