Agama Syi’ah Mulai Terbentuk (Terorganisir)
Pada Akhir Abad 3 H, Dengan Baru Memiliki Kitab Rujukan Tersendiri
(Aqidah-Fiqih- Cara Ibadah-Dll), Yang Dibuat 200 Tahun Setelah Ja’far Shadiq
Wafat. Sebelumnya Mereka Masih Sama Dengan Umat Islam (Ahlus Sunnah).
Adakah Fiqh Madzhab Ja'fari ? Sikap Syi'ah
Dalam Permasalan Fiqh
Apa perbedaan antara Ahlussunnah
Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ? Banyak sekali perbedaannya
Apa perbedaan antara Ahlussunnah
Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah ? Banyak sekali perbedaannya
Apakah Point ke (2) Risalah Amman "Iman
Kepada Hari Akhir " Sesuai Dengan Keyakinan Syi'ah Rafidhi ?
Apakah Point ke (2) Risalah Amman "Iman
Kepada Qadha’ dan Qadar" Sesuai Dengan Keyakinan Syi'ah Rafidhi ?
Apakah Point ke (2) Risalah Amman "Iman
Kepada para Nabi" Sesuai Dengan Keyakinan Syi'ah Rafidhi ?
Andai Risalah Amman Mensahkan Syiah pun Tidak
Dapat Membatalkan Fatwa-Fatwa Para Ulama Salafunas Shalih
AWAS!! Risalah Amman - Seruan Sesat Penyatuan
Semua Madzhab Sahihah & Sesat
Berkedok Risalah Amman Syiah Siap Membantai
Muslim Indonesia
Cara Syiah Menipu Kaum Muslimin
Cuplikan info terkait Rafidhah
Dosa Dosa Besar Para Penanda Tangan Risalah
Amman
Grand Syaikh Al-Azhar (Bidang Hadith Dan Tafsir) : Menghina Sahabat
Nabi Bukan Islam. Ulama Al-Azhar Menolak Syiah. Dewan Ulama Senior Saudi (Imam
Masjid Al-Haram) : Yang Menghina Istri Dan Sahabat Nabi (Ulama Madzhab Syi'ah)
Kafir. Syiah Kafir Tanpa Keraguan.
Hina Sahabat Nabi, Syiah Langgar Kesepakatan
Ulama Se-Dunia di Qatar
Imam Bukhari Tidak Meriwayatkan Hadits Dari
Ja'far Shadiq ?
Masukan Untuk Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin Terkait Risalah Amman
Masukan
Untuk Menteri Agama (2), Hukum Mencaci Istri Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam.
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/05/masukan-untuk-menteri-agama-2-hukum.html?m=0
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/05/masukan-untuk-menteri-agama-2-hukum.html?m=0
Mengapa Syiah Wajib Ditolak
Muktamar Persatuan Sunni-Syiah, Tapi Shalatnya
Pisah-pisah
Mengenal Ahlus Sunnah,Imam Ja'far Ash-Shadiq
Rahimahullah
Mengapa Syiah Imamiyah tak Disebut Dalam
Risalah Amman ?
Perbedaan Kita Dengan Syiah Hanya Furuiyah,
Benarkah?
Propaganda Syiah dan “Risalah Amman”
Risalah Amman dan Kampanye Politis Syiah
Risalah Amman, Risalah Orang Yang Lemah!
Risalah Amman dan Pendeta Bersurban yang
Bertaqiyah
Syiah Berlindung di Balik Risalah Amman
Sikap Para Penandatangan Risalah Amman Terhadap
Syiah
Syaikhul Azhar Sayyid Dr. Muhammad Thanthawi (Dan Lainnya) : Penghina
Istri Dan Sahabat Nabi Keluar dari Islam
Siapa yang Lebih Anda Benarkan dan Anda Percaya
??
Sikap Al-Azhar Mesir tentang ‘Taqrib’
Sunni-Syiah
Singapura Perlakukan Syi'ah dan Ahmadiyah Bukan
Bagian dari Islam (sama dengan Malaysia dan Brunei). Kapan di Indonesia ?
Syiah adalah bagian dari madzhab dalam islam?
Yang bener saja, ini lho fatwa-fatwa agama syiah, bagi yang belum pernah
membacanya.
Sesatkah Syi’ah Ja’fariyah dan Pantaskah Syi'ah
Disebut Mazhab ?
Soal Mengkafirkan Syiah
syi'ah termasuk dalam klasifikasi /golongan
Kafir Harbi
Sikap Imam-imam Ahlul Bait terhadap Penghina Sahabat Rasulullah
Syi’ah Tidak Pantas Disebut Mazhab
Syeikh Abu Zaid Al-Makky: Bahaya Syiah Bukan
Sekedar Ajarannya, Tapi Pergerakannya !!!
Syiah Sang Pendusta
Syi’ah Itu Sesat Juragan (Sebuah Masukan untuk
Bapak Profesor Umar Syihab dan Bapak Profesor Din Syamsuddin)
Siapa yang menyatakan beda antara Ahlus Sunnah
dan Syiah termasuk masalah furu' dan Tidak Semua Syi’ah Sesat, maka Dia… Syi’ah
!
Syiah dan Kitab-Kitab Perusak Kehormatan Rasulullah
Sunni-Syiah Dalam Ukhuwah?
Siapa Penggagas Agama Syiah?
Tafsir Husein Tabatabai [Syi’ah]
Taqrib Sunni – Syiah Gagasan Usang Yang Diulang. Pengakuan Syeikh
Al-Qaradhawi: ‘Iran Menipu Saya’
Ustadz Farid Okbah: Semua Syiah di Indonesia
Rafidhah dan Menyesatkan
Ucapan Dungu (Ahmaq) dan Bodoh (Jaahil) tokoh
umat Islam dan tokoh masyarakat yang empati dan simpati dengan syiah.
Wow! Imam Bukhari Menyamakan Syiah dengan Yahudi
Waspada! Jangan Tertipu Oleh Propaganda Persaudaraan Ahlussunnah Dengan
Syiah Rafidhah Iran: Rekam Jejak Berdarah Dari Sebuah Negeri Sumber Fitnah
An-Nawashib
(Para Pembangkang) Menurut Syiah Adalah Sunni Ahlussunnah Waljamaah
Apakah
Syi’ah Itu Kafir
Apakah Syiah
Dikategorikan Sebagai Orang Kafir
Apa Kata
Ulama Tentang SYIAH? Meraka Mengatakan, SYIAH BUKAN ISLAM..
Bagi
Syiah; Abu Hanifah Adalah Nashibi, Kafir Dan Halal Darahnya. Kriteria Nashibi
(Nawashib) Dan Sikap Syiah Terhadapnya.
Bukti-bukti
Syiah Mengkafirkan dan Menghalalkan Darah Umat Islam
Cuplikan
Aqidah Busuk Syiah : Pantas Syiah Menghina Para Sahabat, Allah Saja Dihina
Definisi
Rafidhah dan Pencetusnya
Dendam Syi’ah
kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa
Fatwa
Ulama Dan Habaib Hadhramaut : Syiah kekafiran diatas kekafiran !
Habib Zein Alkaf
: Syi’ah Bukan Saudara, Tapi Musuhnya Ahlu Sunnah. Terkuak, Syaikh Al-Azhar Ke
Indonesia Bersama Mufti Syi’ah Lebanon. MUI Sesalkan Pernyataan Muhammad Ath
Thayyib Dan Tetap Akan Mengeluarkan Fatwa Tentang Kesesatan Syi'ah
Imam
Syafi’i Menggugat Syi’ah Rofidhoh
Inilah
Paham Takfir Syiah
Jika Merujuk
Pada Fatwa Super Grand Syaikh Al-Imam Malik Rahimahumallah Dan Al-Imam
Al-Bukhari Rahimahumallah, Maka Prof.DR. (Aqidah Dan Filsafat) Ahmad Thayyib
Kafir ?( berikut artikel terkait syiah lainnya )
Jika
Engkau Berkata Syiah Tidak Sesat, Maka…
Jangankan
Taqrib, Tasamuh Saja Mustahil ! Konflik Sunni-Syi’ah Sangat Mudah Diselesaikan
Jika Syi’ah Siap Melakukannya Dengan Syarat-Syarat.... (Untuk Profesor Su’per
Sunni Liberal/Syi’ah Lokal Yang Masih Gemar Seminar Taqrib)
Kedustaan Syi'ah
Atas Kota Suci Makkah Dan Madinah
Kaum Rafidhah
Dan Penistaan Terhadap Haramain
Kekejaman Kaum
Syiah Terhadap Ahlu Sunnah
Kejahatan Syiah
di Tanah Haram Dalam Kurun Sejarah
Kalau Syiah
Sesat, Mengapa Boleh Masuk Tanah Suci?
Kehadiran Grand
Syeikh Al Azhar At Thayyeb Di Indonesia Memperkuat Propaganda Sesat Syiah.
Empat Imam Mazhab Dan beberapa Ulama Islam Terkemuka Menyatakan Syiah Bukan
Islam. Syi’ah Saudara Muslim ? Jangankan Taqrib, Tasamuh Saja Mustahil ! Apakah
Dia Pernah Baca Kitab-Kitab Rujukan Syiah ? Ulama Saudi (Juga Penguasanya,
Membela Umat Islam, Tidak Berlumuran Darah) Gemanya Lebih Didengar Di Seluruh
Dunia Islam.
kafir
syiah lebih berbahaya dari yahudi dan nasrani
Mana
yang Lebih Berbahaya, Syi’ah atau Khawarij?
Memahami
Kelainan Syiah, Sebuah Nota Kesepahaman
Menimbang Syi’ah
Ajaran Syi’ah, Rukun Iman: Hari Akhir
Mukmin itu Pasti
Sunni, Tapi Muslim Bisa Saja Syi’i
Nashibi Adalah
Ahlus Sunnah Di Mata Syi'ah !
Neraka
lebih Marah Kepada Ahlus Sunnah Daripada Kaum Nashrani [Kata Syi'ah]
Pengkhianatan
Syiah: Murtad Menjadi Kristen Lebih Menyenangkan daripada Terus Menjadi Sunni
Perkataan
Ajaib Rasulullah Tentang Syi’ah Yang Terbukti Hari Ini
[Peristiwa
Lama Melawan Lupa] Prof. Dr. Quraish shihab, Umar Shihab, Azyumardi Azra, Amien
Rais, dan Din Syamsuddin menyatakan mazhab syi’ah tidak sesat
Potret
Kejahatan Syi’ah dalam Sejarah
Pemimpin
Tertinggi Iran Ali Khamenei Percaya Sholat Sunni Ditolak Allah
Prof Dr
KH Ali Mustofa Ya’qub : Target Syiah di Tahun 2030, NU Bakal Hancur
Pemerintah
Malaysia Melarang Syiah, Indonesia Kapan?
Pernyataan
( kamuflase ) Penasehat Tertinggi Republik Iran
Farid Achmad Okbah: Syiah lebih jahat dari Israel
Yunahar
Ilyas: Jangan Menganggap Enteng Masalah Syiah, Kalau Tidak Mau Menyesal
Sikap Resmi Al-Azhar
Terhadap Syiah
Oleh: Yusuf Burhanudin, Lc., M.Pd.I
Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar (GSA),
Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib ke Tanah Air beberapa waktu lalu, menyisakan
kontroversi dan kegaduhan. Pasalnya, dalam kunjungan dengan tokoh-tokoh ulama
di MUI pusat (23/02/2016), GSA menyatakan Sunni dan Syiah bersaudara. Keduanya
mesti bersatu karena sama-sama orang Islam. Kehadiran tokoh-tokoh seperti
Quraish Shihab (Penganjur Taqrîb Sunni-Syiah) dan Sayyed Ali Amin (Marja’ Syiah
asal Libanon), seolah ingin menguatkan pesan “persaudaraan” tersebut.
Kontan saja, pernyataan tersebut menuai
reaksi keras dan cibiran berbagai pihak. Beberapa tokoh dan alim ulama di Tanah
Air sangat menyesalkan penyataan tersebut muncul justru di tengah-tengah
gencarnya upaya umat Islam menghalau propaganda syiahisasi beberapa tahun
terakhir. Di lain pihak, kaum Syiah dan para penganjur kebebasan beragama
seolah mendapat angin segar dan amunisi untuk mempertahankan ajaran Syiah dan
aliran menyimpang lainnya di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia, di
balik slogan indah menjaga kerukunan dan keharmonisan beragama.
Menyadari pernyataan tersebut cukup
menghebohkan jejaring media massa dan sosial, GSA buru-buru mengklarifikasi.
Menurutnya, kunjungan ke Indonesia ternyata disalahpahami seakan punya agenda
mendukung kelompok tertentu. Kunjungan ini justru untuk mengkampanyekan persatuan
umat Islam. Meskipun, di sana ada kelompok yang suka menista sahabat, Ummul
Mukminin Aisyah ra., ini jelas ditolak, berbahaya, sesat, dan merupakan
fitnah bagi umat Islam. GSA menyeru umat Islam menghalau gerakan tersebut, dan
menolak tegas upaya penyebaran Syiah di bumi Ahlus Sunnah, karena Syiah hanya
diterima di negara Syiah. Beliau menentang usaha-usaha mempengaruhi generasi
muda dengan iming-iming uang untuk bergabung dengan ajaran ini, karena akan
mengakibatkan pergolakan. Beliau juga menolak campur tangan Syiah ke dalam
negara untuk penyebaran ajaran mereka. Sebagaimana sikap Al-Azhar yang moderat
(wasathiyyah), klarifikasi GSA cukup begitu gamblang; mengkampanyekan persatuan
umat Islam dan saling menghargai antarmadzhab fikih yang berbeda, namun pada
saat yang sama menolak sikap berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw),
ekstrimisme, dan caci maki terhadap sahabat (http://www.azhar.eg/en/details/from-jakarta-the-grand-imam-warns-indonesian-from-the-danger-of-spreading-of-shiism-in-their-country).
Jika dicermati, pernyataan GSA di atas
cenderung memakai perspektif standar ganda. Satu sisi menilai Sunni-Syiah
bersaudara, namun di sisi lain menimbang akidah Syiah seperti mencaci sahabat,
mencela Ummul Mukminin Aisyah ra., sebagai dosa dan kemaksiatan. Yang
satu fatwa politis, lainnya fatwa yuridis. Sunni-Syiah bersaudara, ditengarai
fatwa politis dalam rangka menggaungkan “pesan perdamaian” GSA dalam kunjungan
bersejarah (ziyârah târîkhiyyah) ini. Tujuannya, agar Sunni dan Syiah mau hidup
berdampingan tanpa konflik berkepanjangan. Namun secara yuridis, GSA juga
menilai penistaan kepada para sahabat (tanpa menyebut Syiah) sebagai kesesatan
nyata (tanpa menyebut bentuk kekufuran).
Tak heran, sejumlah kalangan menilai
pandangan GSA soal Syiah dinilai inkonsisten. Lihat misalnya komentar Imad
Al-Daib, salah seorang pemikir Syiah, seperti dilansir Kalamalyom (24/02/2016).
Menurut Al-Daib, dukungan dan penentangan GSA terhadap Syiah bergantung situasi
politik negeri bersangkutan. Jika jauh dari Mesir, ia mendukung Syiah. Namun
saat di negeri sendiri, GSA justru menentang dan menggempur Syiah
habis-habisan. Dr. Ahmad Rasim Al-Nafis, pemuka Syiah Mesir menambahkan,
dirinya pernah mengajukan permohonan kepada Al-Azhar untuk mau mengakui madzhab
Syiah di Mesir. Permintaan itu ditolak mentah-mentah dengan dalih adanya
perbedaan prinsip antara Sunni dan Syiah dalam Ahwâl Syakhshiyyah dan
Waris.
Bagaimana sebenarnya sikap GSA dan
institusi Al-Azhar terhadap Syiah dan penyebarannya di negeri Muslim? Seberapa
penting Al-Azhar memandang upaya-upaya persaudaraan Sunni dan Syiah (Taqrîb)
dilakukan di dunia Islam? Dalam berbagai kesempatan, GSA sebenarnya sangat
lantang menyuarakan penolakannya terhadap penyebaran ajaran Syiah di
negeri-negeri Ahlus Sunnah. Hal ini, akan merongrong persatuan dunia Islam,
mengancam stabilitas negara, memecah belah umat, dan membuka peluang kepada
zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan antarmadzhab di negara-negara
Islam. Sehingga upaya Taqrîb pun akhirnya kehilangan kepercayaan dan
kredibilitasnya (Al-Ahram, 09/11/2012).
Sebetulnya ada atau tidak ada kunjungan
GSA ke Tanah Air, sejak dulu sikap Al-Azhar secara institusi terhadap Syiah dan
penyebarannya di negara-negara Ahlus Sunnah, sudah begitu gamblang: sesat dan
menyesatkan. Dalam Fatâwâ Kibar ‘Ulamâ` Al-Azhar Al-Syarif fî
Al-Syî’ah, Syaikh Al-Khusyu’i Muhammad Al-Khusyu’i menegaskan, Syiah dengan
segala bentuk keyakinannya yang meliputi wasiat imamah, tahrîf Al-Quran,
murtadnya para sahabat, makshumnya para imam, mengkafirkan kelompok lain, jelas
bertentangan dengan keyakinan umat Islam yang berpegang teguh kepada Al-Quran,
Sunnah, dan teladan para sahabat. Bahkan, para ulama kibar Al-Azhar menyeru
umat Islam agar bersatu menghalau berbagai upaya syiahisasi di negara-negara
Sunni maupun proyek Taqrîb Sunni-Syiah yang acapkali dijadikan pintu
masuk penyebaran Syiah di negeri-negeri Muslim (2011: h. 101-111).
Fatwa yang dikeluarkan pada masa Grand
Syaikh Al-Azhar Jadul Al-Haq Ali Jad Al-Haq (1982-1996) tersebut, diamini
sejumlah ulama terkemuka Al-Azhar dengan membeberkan kesesatan ajaran Syiah.
Mereka adalah Syaikh Athiyyah Shaqar (Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar), Syaikh
Abdul Mun’im Al-Nimr (Menteri Agama Mesir), Syaikh Hasanin Muhammad Makhluf
(Mufti Mesir), Syaikh Abdul Majid Salim (Mantan Syaikh Al-Azhar), Syaikh
Muhammad 'Arafah (Guru Besar Syariah dan Kibar Ulama Mesir, yang sempat menjadi
anggota Taqrîb Sunni-Syiah namun kemudian meninggalkannya setelah
menilai adanya agenda terselubung Syiah di balik misi tersebut), Syaikh
Al-Khusyu'i Muhammad Al-Khusyu'i (Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin), Syaikh Umar
Ibn Abdul Aziz Quraisyi (Guru Besar Akidah), Syaikh Muhammad Yusri Ibrahim
(Wakil Rektor American Open University), dan Syaikh Muhammad Sayyed
Tanthawi (Grand Syaikh Al-Azhar dan Mufti Mesir, yang tegas menentang
syiahisasi dan menolak pengakuan ajaran Syiah sebagai madzhab resmi di Mesir).
Demikian pula sikap para ulama Al-Azhar
saat ini tetap tidak berubah dalam menimbang ajaran Syiah. Misalnya, dalam
fatwa seputar Syiah Imamiyyah, Lembaga Riset dan Penelitian Al-Azhar (Majma’ Buhûts
Islâmiyyah) dalam fatwa bernomor 7590 menegaskan, “Syiah Imamiyyah adalah
mereka yang meyakini adanya nash wasiat imamah, kemakshuman para imam, menista
sebagian besar para sahabat khususnya Abu bakar dan Umar, dan taqiyyah,
itu semua dusta dan bohong. Mereka menyucikan kota Karbala dan Najaf dengan
berbagai ritual dan mengambil sepotong tanah dari kota suci itu untuk dijadikan
tempat sujud dalam shalat. Ahlus sunnah jelas menentang akidah mereka. Karena
itu, tidak boleh bagi seorang Muslim merubah keyakinannya dengan keyakinan
aliran-aliran bid’ah dan menyimpang seperti Syiah imamiyyah dan lainnya.” (http://magmaa.azhar.eg/en-us/لجنة-الفتوى).
Satu-satunya fatwa ulama Al-Azhar yang
sering dicatut penganjur Taqrîb Sunni-Syiah adalah fatwa Syaikh
Mahmud Syaltut. Fatwa “misterius” ini, ditolak mentah-mentah Syaikh Yusuf
Al-Qaradhawi. Fatwa tersebut, tidak pernah ditemukan dalam rekomendasi maupun dokumentasi
fatwa-fatwa Al-Azhar hingga hari ini. Orang-orang Syiah pernah menyodorkan
dokumen fatwa tersebut, namun sayangnya tidak ada tertulis nomor fatwa dan
stempel resmi dari Al-Azhar alias fatwa bodong (www.alwafd.org). Kebohongan
demi kebohongan Syiah terkuak satu persatu. Fatwa bodong hingga pemelintiran
pemberitaan kunjungan GSA ke Tanah Air kemarin. Mereka membuat makar, namun
Allah sebaik-sebaik Pembalas makar.
Jika ditarik benang merah, pernyataan GSA
memiliki empat pesan penting. Pertama, menyerukan persatuan umat Islam
antarmadzhab yang berbeda dan dimulai dengan ukhuwwah para ulama.
Karena ukhuwwah Islamiyyah mustahil terwujud tanpa adanya persatuan
terlebih dahulu di kalangan ulamanya. Kedua, mengkampanyekan wajah Islam
moderat yang selama ini diusung Al-Azhar, saling menghargai dan menghormati
sesama Muslim (al-ta’âyusy al-silmî al-musytarak) tanpa harus saling
mengkafirkan satu sama lain, berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw),
ekstrimis, dan sektarian. Ketiga, ajaran Syiah dengan sejumlah
keyakinannya seperti wasiat imamah, menista para sahabat, dan tahrîf Al-Quran,
adalah sesat dan menyesatkan. Keempat, menolak segala bentuk propaganda
dan kampanye syiahisasi di negeri-negeri Muslim karena akan mengakibatkan konflik
internal berkepanjangan di dalam tubuh umat Islam. Kelima, menolak
upaya taqrîb atau persaudaraan Sunni-Syiah karena rentan dimanfaatkan
penyebaran Syiah di negeri-negeri mayoritas Sunni.
Menteri Wakaf (Menteri Agama) Mesir DR.
Thal’at Afifi, menegaskan bahwa seluruh masjid di Mesir harus tunduk dibawah
pengawasan departemennya dan tidak diizinkan sama sekali mengajarkan
prinsip-prinsip yang bertentangan dengan mazhab Ahlus Snnah wal Jamaah.
Diapun mengabarkan bahwa departemennya
secara praktis telah mengadakan beberapa pelatihan bagi para ulama dan imam
untuk menghadapi arus pemikiran Syiah yang sama sekali tidak dibolehkan
penyebarannya. Demikian dikutip Islamedia dari almoslim.net.
Terkait dengan informasi keikutsertaan
salah seorang penasehat Departeman Wakaf pada acara seremonial yang disebut
sebagai peringatan kematian Imam Husain, atau perayaan Asyura di Iran pada
bulan lalu, menteri menjelaskan bahwa keikutsertaannya merupakan sikap pribadi
dan tidak mewakili departemennya. Itupun sudah dilakukan investigasi terhadap
yang bersangkutan.
Menteri tersebut juga menjelaskan bahwa
departemennya telah menyusun panduan-panduang tertentu untuk pengangkatan imam
baru, agar tidak ada basa basi terhadap seseorang atau perantara atau jual beli
dalam proses penetapan.
Beliau juga menyambut penyebaran dakwah
secara massif dan luas yang dahulu hal ini tidak dapat disaksikan. Kini,
menurutnya, departemennya sedang menyiapkan aturan kerjasama dengan
lembaga-lembaga dakwah, di antaranya lembaga Anshar Sunah dan Jam’ah Syar’iyah
untuk menyebarkan dakwah dan wawasan agama secara moderat. Karena
lembaga-lembaga tersebut banyak memiliki masjid yang besar serta lembaga
pendidikan pengkaderan dai.
Kini juga sedang diadakan penyeleksian
untuk mengangkat 3 ribu imam. Yang sudah mendaftar mencapai 57 ribu orang.
Proses pemilihan akan dilakukan berdasarkan syarat-syarat yang telah
ditetapkan. Yang paling utama adalah hafal Al-Quran dan mengerti bahasa Arab
(fushah) serta memahami permasalah kontemporer dan wawasan ilmiah.
Sebelumnya, Sekjen Dewan Tinggi Urusan
Islam Mesir, DR. Shalah Sulthan telah menyatakan penolakannya terhadap segala
bentuk pemikiran yang bersumber dari berbagai aliran Syiah. Karena berdasarkan
UU Mesir, standar dalam masalah Aqidah, Akhlak dan Syariah harus bersumber
dari mazhab Ahlussunnah wal Jamaah.
Sumber: http://news.fimadani.com/read/2012/12/28/kementerian-agama-mesir-larang-penyebaran-syiah-di-seluruh-wilayah/
Sikap Al-Azhar Mesir tentang
'Taqrib'(persatuan) Sunni-Syiah
Baru-baru ini seiring pemberitaan
kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam (OKI)
ke-12 yang dilaksanakan di Kairo ibukota Mesir dan turut dihadiri Presiden SBY,
hasil pertemuan Grand Syeikh Al-Azhar Mesir dengan Presiden Iran, Mahmud
Ahmadinejad, menjadi pusat perhatian umat Islam tak hanya di Mesir tetapi juga
di dunia Islam. Apalagi ditengah situasi yang menghangat soal relasi Sunni –
Syiah pasca Arab-Spring (revolusi dunia Arab), dan imbasnya sampai ke
Indonesia dengan kasus penodaan agama oleh Tajul Muluk, pemimpin Syiah di
Sampang.
Dalam sebuah pernyataan resmi ketika
menerima kunjungan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, di Masyikhatul
Azhar pada hari Rabu 6 Februari 2013, Grand Syeikh Al-Azhar Cairo, Prof.
Dr. Ahmad Al-Tayyib mengatakan, “Meski para ulama besar Al-Azhar terdahulu
pernah terlibat di dalam berbagai konferensi persatuan Islam antara Sunni dan
Syiah guna melenyapkan fitnah yang memecah belah umat Islam, penting saya garis
bawahi bahwa seluruh konferensi itu nyatanya hanya ingin memenangkan
kepentingan kalangan Syiah (Imamiyah) dan mengorbankan kepentingan, akidah dan
simbol-simbol Ahlus Sunnah, sehingga upaya taqrib itu kehilangan
kepercayaan dan kredibilitasnya seperti yang kami harapkan. Kami juga sangat
menyesalkan celaan dan pelecehan terhadap para sahabat dan istri Nabi SAW yang
terus menerus kami dengar dari kalangan Syiah, yang tentu saja hal itu sangat
kami tolak. Perkara serius lainnya yang kami tolak adalah upaya penyusupan
penyebaran Syiah di tengah masyarakat Muslim di Negara-negara Sunni.”
Selain itu Syeikh Al-Thayyib menyinggung
kondisi memilukan Ahlus Sunnah di Iran yang menurut beliau, “Banyak dari mereka
yang mengadukan kepada kami kondisi dan hak-hak mereka. Saya memandang, tidak
boleh hak-hak warga Negara didiskriminasi dan dikerdilkan seperti yang
disepakati oleh system politik modern dan diatur syariat Islam.”
(Sumber:
http://onazhar.com/page2home2.php?page=3&page1=4&page2=2810)
Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan
Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, menyatakan seperti dilansir
Koran Ahram (09/11/2012) bahwa Al-Azhar menolak keras penyebaran
ajaran Syiah di negeri-negeri Ahlus Sunnah, karena hal itu akan merongrong
persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas negara, memecah belah umat dan
membuka peluang kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan mazhab
di Negara-negara Islam.
Selain penolakan terhadap ekspor mazhab
Syiah (Syiahisasi) ke negara-negara Sunni, kaum Rafidhah berlindung di balik
konsensus Deklarasi Amman untuk legitimasi penyebaran Syiah. Risalah
Amman yang selama ini selalu menjadi landasan bagi Syiah menebarkan pengaruhnya
bukanlah kesepakatan pembenaran atas penyimpangan akidah.
“Risalah Amman bukanlah cek kosong,
Risalah Amman bukan pula kesepakatan pembenaran atas keyakinan menyimpang
Rafidhah, yaitu doktrin caci-maki kepada para pembesar Sahabat dan isteri Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wassalam, apalagi pembenar doktrin tahrif,” kata seorang
pakar Syiah Prof. Mohammad Baharun, yang juga mengetuai Komisi Hukum dan
Perundang-undangan MUI. Solusi damai antara Syiah dan Sunni justru dengan
membuat jarak yang jelas dan tidak mengelabui umat. “Karena perbedaannya bukan
di ranah mazhab fiqih saja, melainkan keyakinan akidah,” ujarnya. [baca: Pakar Syiah Indonesia Dukung Langkah Syeikh Al Azhar]
Risalah Amman 2005 juga tidak
mengikat seluruh ulama yang hadir. Faktanya adalah Syeikh Dr. Yusuf
Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut tercantum
namanya sebagai penandatangan Risalah Amman, telah merilis tiga fatwa
tentang Syiah Imamiyah di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4
yang terbit pada tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Syiah
Imamiyah dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan akidah antara Ahlus Sunnah
dan Syiah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang pendekatan (taqrib)
Sunni-Syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007.
Tampak dari fatwa Syeikh Al-Qaradhawi
(2009) bahwa kaum Syiah masih dikategorikan Muslim (seperti tertulis
dalam Risalah Amman), tapi itu tidak berarti golongan Muslim tersebut
bersih dan terbebas dari kesesatan terutama dalah hal-hal pokok akidah
sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Qaradhawi.
Di dalam fatwanya al-Qardhawi, yang juga
anggota dewan tinggi ulama senior (‘Hai’ah Kibar Ulama’) Al-Azhar menegaskan
sikapnya terhadap gagasan ‘Taqrib’,
“Sesungguhnya sejak saya ikut serta di dalam
Muktamar Pendekatan Madzhab (Taqrib), saya telah menemukan beberapa poin
penting yang membuat pendekatan ini tidak akan terjadi jika poin-poin ini
diabaikan atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah saya jelaskan dengan
sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran 10 tahun yang silam. Di sini
saya hanya mengacu kepada 3 perkara:
Pertama, kesepakatan untuk tidak mencerca
para sahabat. Karena kita tidak bisa dipertemukan atau didekatkan jika masih
seperti itu. Karena saya mengatakan: Semoga Allah meridhai mereka (para
sahabat), sedangkan engkau (Syi’ah) berkata: Semoga Allah melaknat mereka.
Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki perbedaan yang sangat
besar.
Kedua, dilarang menyebarkan sebuah madzhab di sebuah daerah yang dikuasi
oleh madzhab tertentu. Atau seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Mahdi
Syamsuddin dengan istilah pengsyi’ahan (ekspor madzhab Syi’ah ke negara
lain). Ketiga, memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika monoritas
tersebut adalah madzhab yang sah.
Inilah sikap saya. Saya tidak akan
menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau menjadi orang-orang yang
berhamburan kepada usaha taqrib(pendekatan Sunni – Syi’ah) tanpa syarat
dan ketentuan. Karena saya melihat bahwa muktamar ini hanya seremonial saja. Akan
tetapi tidak memecahkan akar permasalahannya dan tidak ada ujung pangkalnya.
Muktamar tersebut hanya sebatas basa basi dan tidak menghasilkan apa-apa
setelahnya. Saya putuskan bahwa saya harus menjelaskan sesuatu yang ada di
dalam diri saya kepada seluruh kaum Muslimin. Saya tidak akan menyembunyikan
sesuatu yang dianggap penting di dalam (menjaga) muamalah. Hal ini lah yang
dituntut oleh sifat amanah dan tanggung jawab dan perjanjian yang telah diambil
oleh Allah terhadap para ulama, “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi
Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” (QS Ali Imran
[03]: 187).”
Syeikh Qaradhawi menceritakan pengalaman
bahwa taqrib di dunia Islam hanya menguntungkan pihak Syiah, yang
mendukung pernyataan Grand Syeikh Al-Azhar saat ini Prof. Ahmad Al-Thayyib;
“Pada tahun 60-an yang lampau, Syeikh
Mahmud Syaltut sebagai Grand Syeikh Al-Azhar telah mengeluarkan sebuah fatwa
yang membolehkan beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari. Dengan alasan di
dalam pembahasan fikihnya lebih mendekati kepada Madzhab Ahlu Sunnah, kecuali
ada perbedaan sedikit saja yang tidak menjadi alasan untuk melarang beribadah
dengan memakai madzhab Ja’fari secara keseluruhan, seperti dalam hal shalat,
puasa, zakat, haji dan muamalah. Akan tetapi fatwa ini tidak pernah dibukukan
dalam Himpunan Fatwa Syaltut. Fatwa Syaikh Syaltut ini sebagaimana yang
disebutkan tidak merambah ke permasalahan akidah dan ushuluddin (pokok-pokok
agama Islam) yang di dalamnya mengandung perbedaan yang sangat jelas antara
Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Contohnya dalam hal imamah, 12 imam Syi’ah,
kemaksuman imam, pengetahuan mereka terhadap hal gaib dan kedudukan mereka yang
tidak ada yang bisa mencapainya walaupun oleh malaikat yang sangat dekat
(dengan Allah SWT) dan tidak juga oleh nabi yang diutus. Mereka beranggapan
bahwa masalah ini adalah masalah penting yang termasuk masalah ushuluddin.
Tidak sah iman dan Islam seseorang kecuali dengan mengimani masalah ini. Orang
yang menolaknya dianggap kafir, akan kekal di neraka. Juga contoh lainnya yaitu
akidah orang-orang Syi’ah terhadap para sahabat dan hal-hal lainnya yang mereka
anggap sebagai pokok-pokok agama mereka.
Di samping itu, kami belum pernah
menemukan ada orang Syi’ah yang membalas kebaikan dengan kebaikan atau ada yang
menjawab salam dengan jawaban yang lebih baik atau dengan salam serupa. Sebab
tidak ada dari para ulama senior Syi’ah yang selevel dengan Syaikh Syaltut di
kalangan Ahlu Sunnah, baik yang berada di Qum maupun di Najaf yang mengeluarkan
fatwa bagi para pengikutnya bahwa boleh beribadah dengan menggunakan madzhab
Ahlu Sunnah, meskipun mereka itu (Ahlus Sunnah) tidak perlu hal ini.”
Syeikh Qardhawi dalam fatwanya juga
meluruskan makna ‘Taqrib’ agar tidak menjadi bias dan kamuflase terhadap upaya
penyebaran ajaran Syiah;
“Seluruh peserta muktamar taqrib madzhab
dan putusannya mengatakan bahwa pendekatan itu (terjadi) antar madzhab di dalam
Islam. Menurut saya bahwa maksud dari ungkapan ini tidak pas. Karena kalimat
madzhab telah menjadi istilah yang mapan bagi madzhab fikih Sunni yang empat
yang sudah dikenal, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah.
Kemudian ditambah dengan madzhab Zhahiriyah juga Zaidiyyah, Ja’fariyyah dan
Ibadhiyyah. Adapun perbedaan di antara madzhab-madzhab ini hanya berkisar di
dalam masalah furu’ dan amaliah yang tidak sampai menyentuh permasalahan
akidah, pokok-pokok keimanan dan ushuluddin (pokok-pokok agama). Maka perbedaan
dalam masalah furu, fikih atau ibadah adalah bukan faktor yang berpengaruh di
dalam hubungan antara Sunni dan Syi’ah. Sangat penting digarisbawahi bahwa
perbedaan antara Sunni dan Syi’ah adalah perbedaan di dalam masalah akidah
seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya di dalam masalah pendekatan
madzhab. Perbedaan dalam akidah inilah yang telah menjadi penyebab
tumbuhnya berbagai macam golongan, seperti Mu’tazilah, Jabariyyah, Murji’ah,
Syi’ah, Khawarij, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Salafiyyah dan lain-lainnya. Oleh
karena itu, jika memungkinkan, aktifitas ‘Taqrib’ lebih tepat disebut sebagai
pendekatan antar golongan/firqah (akidah) dan bukan pendekatan antar madzhab
(fikih). Karena fikih tidak memerlukan pendekatan. Pun jika kita permudah istilah
dengan menyatakan madzhab-madzhab, maka yang kita maksudkan disini adalah
madzhab-madzhab akidah dan bukan mazhab-mazhab fikih.”
Lebih jauh al-Qardhawi dalam fatwanya
itu, mengungkapkan perbedaan mendasar dalam hal pokok antara Sunni dan Syiah
yang tak bisa disatukan.
“Contoh perbedaan di dalam masalah
akidah, yaitu khususnya di dalam masalah imamah. Karena mereka (orang-orang
Syi’ah) berkeyakinan bahwa imamah adalah pokok akidah mereka dan termasuk ke
dalam rukun akidah mereka. Sedangkan kita (Ahlu Sunnah) menganggapnya hanya
sebagai furu’(cabang) saja dan bukan ushul; atau termasuk amaliyah dan
bukan sebagai akidah. Akan tetapi imamah di dalam ajaran Syi’ah merupakan pokok
ajaran mereka. Karena pokok ajaran mereka bersandar kepada: Al-Washiyah (wasiat
politik kepada Ali), Al-Imamah (kepemimpinan Ali dan keturunannya),
Al-Ghaibah (masa menghilangnya imam ke-12) dan Ar-Roj’ah (kembalinya Al-Mahdi
ke dunia sebelum kiamat untuk menumpas musuh-musuh imam Ahlul Bait). Ajaran
Syi’ah menyebutkan masalah imamah dengan sangat tegas. Mereka mengatakan
barangsiapa yang tidak beriman kepada imamah ini, maka tidak dianggap sebagai
orang yang beriman. Mereka juga mengatakan bahwa imamah ini berasal dari
Rasulullah SAW, yang dimulai dari Ali RA kemudian dikuti oleh sebelas imam
setelah Ali RA. Di dalam kitab Ushul Al-Kafi dari Abi Ja’far (Al-Baqir)
bahwasanya dia telah berkata, “Islam itu dibangun di atas 5 dasar: Shalat,
zakat, puasa, haji dan wilayah (kekuasaan). Tidak ada rukun yang lebih
ditekankan kecuali rukun al-wilayah ini. Akan tetapi manusia hanya mengambil
empat perkara dan mereka meninggalkan rukun ini, yaitu al-wilayah.” (Ushul
Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Dari Zurarah dari Abu Ja’far dia berkata,
“Islam itu dibangun di atas lima perkara: Shalat, zakat, haji, puasa dan
al-wilayah.” Zurarah berkata: Aku bertanya kepadanya: “Manakah di antara semua
itu yang paling utama?” Abu Ja’far menjawab, “Al-wilayah lebih utama, karena
al-wilayah adalah kunci dari semua rukun itu.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal.
18). Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Ash-Shadiq (AS) bahwasanya
beliau bersabda, “Dasar Islam itu ada tiga: Shalat, zakat dan al-wilayah. Tidak
sah salah satu dari ketiga rukun ini kecuali dengan menyertakan dua rukun
lainnya.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Di dalam masalah al-wilayah tidak ada
rukhshah (keringanan). Dari Abu Abdullah dia berkata,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan lima
perkara kepada umat Nabi Muhammad SAW: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah
(pemerintahan) kami. Allah telah memberikan keringanan di dalam rukun yang
empat. Akan tetapi Allah tidak memberikan keringanan kepada seorang muslim pun
di dalam hal meninggalkan wilayah (pemerintahan) kami. Tidak, demi Allah.
Sesungguhnya tidak ada keringanan di dalam masalah al-wilayah.” Dalam sebuah
riwayat disebutkan, “Islam dibangun atas: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain
Allah dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat,
membayar zakat, puasa di bulan ramadhan, melaksanakan ibadah haji ke baitullah
dan wilayah (pemerintahan) Ali bin Abi Thalib.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal.
21).
Bahkan pada kenyataannya mereka
(orang-orang Syi’ah) tidak hanya berpegang kepada masalah al-wilayah
(pemerintahan Ali) saja. Justru mereka melampauinya sampai ke taraf uluhiyah (ketuhanan).
Akhirnya mereka menganggap Ahlu Sunnah bukanlah orang-orang yang beriman kepada
Tuhan yang diimani oleh Syi’ah. Inilah salah satu titik perbedaan yang paling
mendasar. Ni’matullah Al-Jazairi (wafat 1212 H) misalkan di dalam kitab Al-Anwar
An-Nu’maniyyah menulis tentang Ahlu Sunnah wal Jama’ah, “Sesungguhnya kami
tidak bisa bertemu dengan mereka (Ahlu Sunnah) di dalam satu tuhan dan tidak
dalam satu nabi dan satu imam. Hal ini dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah)
berkata, “Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang Muhammad sebagai nabi-Nya dan
Abu Bakar sebagai khalifahnya. Akan tetapi kami tidak mengatakan dengan tuhan
ini dan tidak juga dengan nabi itu. Akan tetapi kami mengatakan, “Sesungguhnya
tuhan yang khalifahnya (yang benar: Khalifah nabinya) adalah Abu Bakar adalah
bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi kami.” (Al-Anwar
An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan Yayasan Al-A’lami Beirut
Libanon).”
Demikian uraian yang dapat penulis
ketengahkan kepada pembaca sekalian mengenai sikap institusi ilmiah terbesar
Sunni yaitu Al-Azhar Al-Syarif melalui berbagai pernyataan dan pemikiran fatwa
para tokoh kuncinya yaitu Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib dan Prof. Dr. Yusuf
Al-Qaradhawi.
Pandangan kedua tokoh Muslim terkemuka
itu sangat patut dipertimbangkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan
Daerah, tokoh-tokoh cendekiawan serta Ormas-ormas Islam di Indonesia, bahkan
oleh jajaran Pemerintah Republik Indonesia untuk menyikapi perkembangan Syiah
dan infiltrasinya melalui jalur pendidikan dan beasiswa serta penerbitan yang
menyerang ajaran Sunni di Indonesia, agar kehidupan keagamaan berlangsung
harmonis demi kokohnya NKRI yang islami dan didukung seluruh elemen umat
Islam.*
Komisi Pengkajian MUI dan Majelis Tarjih
PP Muhammadiyah
Dipublikasi resmi di hidayatullah.com,
11 Februari 2013