Tuesday, January 13, 2015

Menimbang Ajaran Syi'ah [ bagian 1]

Pertanyaan seputar ajaran syi'ah tentang Ahli Bait

Pertanyaan Pertama:
Syi’ah meyakini bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu adalah imam yang ma’shum, lalu kami jumpai —menurut pengakuan mereka—bahwa ia menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, saudara perempuan sekandung al-Hasan dan al-Husain, dengan Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu [1]Ini berkonsekwensi salah satu dari dua hal bagi Syi’ah yang paling manis dari keduanya terasa pahit, yaitu:
Pertama, Ali radhiyallahu ‘anhu tidak ma’shum, karena menikahkan putrinya dengan orang kafir (menurut keyakinan mereka, yaitu Umar ed.). Ini bertentangan dengan dasar-dasar madzhab, bahkan ini berkonsekwensi bahwa para imam selainnya tidak ma’shum pula.
Kedua, Umar radhiyallahu ‘anhu adalah Muslim. Ali ridha menjadikannya sebagai menantu. Ini adalah dua jawaban yang harus dipilih.

Pertanyaan Kedua:
Syi’ah menyangka, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma adalah kafir. Lalu kami dapati bahwa Ali, seorang imam yang ma’shum menurut Syi’ah, telah ridha dengan kekhalifahan keduanya, membaiat masing-masing dari keduanya, dan tidak memberontak terhadap keduanya. Ini berkonsekwensi bahwa Ali tidak ma’shum, karena ia membaiat orang kafir, zhalim lagi membenci ahli bait, sebagai bentuk persetujuan kepada keduanya. ini merusak kema’shuman dan menolong orang zhalim atas kezhalimannya. Ini tidak mungkin dilakukan orang yang ma’shum sama sekali. Atau apa yang dilakukannya adalah kebenaran; karena keduanya adalah khalifah yang beriman, jujur lagi adil. Dengan demikian, kaum Syi’ah telah menyelisihi imam mereka, karena mengkafirkan, mencaci maki, melaknat, dan tidak ridha dengan kekhalifahan keduanya. Akibatnya, kita bingung dengan urusan kita: Apakah menempuh jalan yang ditempuh Abu al-Hasan (Ali), ataukah kita meniti jalan Syi’ah (pengikut)nya yang bermaksiat?!

Pertanyaan Ketiga:
Setelah wafatnya Fathimah radhiyallahu ‘anha, Ali radhiyallahu ‘anhu menikah dengan sejumlah wanita yang melahirkan sejumlah anak untuknya, di antaranya: Abbas bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ali bin Abi Thalib, Ja’far bin Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Ali bin Abi Thalib. Ibu mereka adalah Umm al-Banin binti Hizam bin Darim.[2]
Juga Ubaidullah bin Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib. Ibu keduanya adalah Laila binti Mas’ud ad-Darimiyah.’[3]
Juga Yahya bin Ali bin Abi Thalib, Muhammad al-Ashghar bin Ali bin Abi Thalib, ‘Aun bin Ali bin Abi Thalib. Ibu mereka adalah Asma’ binti Umais. [4]
Juga Ruqayah binti Ali bin Abi Thalib, Umar bin Ali bin Abi Thalib—yang meninggal dunia pada usia 35 tahun. Ibu keduanya adalah Ummu Habib binti Robi’ah. [5]
Juga Umm al-Hasan binti Ali bin Abi Thalib, Ramlah al-Kubra binti Ali bin Abi Thalib. Ibu keduanya adalah  Ummu Mas’ud binti Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. [6]
Pertanyaan: Apakah mungkin seorang ayah menamakan buah hatinya dengan musuh bebuyutannya? lalu bagaimana halnya jika sang ayah ini adalah Ali bin Abi Thalib?
Bagaimana mungkin Ali menamakan anak-anaknya dengan nama orang-orang yang kalian anggap bahwa mereka adalah musuh-musuhnya?! Apakah seorang yang berakal menamakan anak-anak yang dicintainya dengan nama musuh-musuhnya?!
Tahukah kalian bahwa Ali adalah orang Quraisy Pertama yang dipanggil dengan (kunyah) Abu Bakar, Abu Umar dan Abu Utsman?

Pertanyaan Ke Empat
Penulis kitab Nahj al-Balaghah—suatu kitab pegangan di kalangan Syi’ah—meriwayatkan, Ali radhiyallahu ’anhu menolak menjadi khalifah dan mengatakan, “Tinggalkanlah aku, dan carilah orang selainku.”[7] Ini menunjukkan kebatilan madzhab Syi’ah. Sebab bagaimana mungkin ia menolak menjadi khalifah, padahal pengangkatannya sebagai imam dan khalifah adalah perintah fardhu dari Allah-menurut kalian- yang harus dituntut dari Abu Bakar seperti yang kalian duga?!

Pertanyaan Ke Lima
5.    Syi’ah menyangka bahwa Fathimah radhiyallahu ‘anha, darah daging Nabi terpilih, telah dihinakan pada zaman Abu Bakar, dipatahkan tulang rusuknya, rumahnya hendak dibakar, dan janinnya yang mereka namakan al-Muhsin digugurkan!
Di manakah Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu dari semua ini? Mengapa ia tidak menuntut hak istrinya, padahal dia seorang pemberani lagi kuat?!
Pertanyaan Ke Enam
Kami jumpai banyak para pemuka sahabat berbesan dengan ahli bait Nabi dan menikah dengan mereka, demikian pula sebaliknya. Tak terkecuali Abu Bakar dan Umar, sebagaimana telah disepakati di kalangan ahli sejarah, baik Sunnah maupun Syi’ah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri:

Menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar.

Menikah dengan Hafshah binti Umar.
Menikahkan kedua putrinya (Ruqayyah, kemudian Ummu Kultsum) dengan khalifah ketiga yang dermawan dan pemalu, Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu. Karena itu, dia diberi gelar dengan Dzun Nur’ain.
Putra Utsman, Abban bin Utsman menikah dengan Ummu Kultsum binti Abdillah bin Ja’far bin Abi Thalib.
Marwan bin Abban bin Utsman menikah dengan Ummu al-Qasim binti al-Hawn bin al-Hawn bin Ali bin Abi Thalib.
Kemudian Zaid bin Amr bin Utsman menikah dengan Sakinah binti al-Husain.
Abdullah bin Amr bin Utsman menikah dengan Fathimah binti al-Husain bin Ali.
Kami cukup menyebut tiga khalifah dari kalangan sahabat, bukan para sahabat mulia lainnya yang juga menjalin ikatan pernikahan dengan ahli bait; untuk menjelaskan bahwa mereka mencintai ahli bait. Karena itu, terjadi hubungan pernikahan ini.[8]
Demikian pula kami mendapati bahwa ahli bait menamakan anak-anak mereka dengan nama para sahabat Nabi, sebagaimana disepakati di kalangan ahli sejarah dan ahli hadits, baik Sunnah maupun Syi’ah.
Ali radhiyallahu ‘anhu sendiri, seperti disebutkan dalam sumber-sumber Syi’ah, menamakan salah seorang anaknya dari istrinya, Laila binti Mas’ud al-Hanzhaliyah, dengan nama Abu Bakar. Ali adalah orang yang pertama menamai anaknya dengan Abu Bakar di kalangan Bani Hasyim. [9]
Al-Hasan bin Ali juga menamakan anaknya: Abu Bakar, Abdurrahman, Thalhah dan Ubaidillah.”[10]
Demikian pula al-Hasan bin al-Hasan bin Ali. [11]
Musa al-Kazhim menamakan putrinya dengan Aisyah.[12]
Di kalangan ahli bait terdapat orang yang berkunyah dengan Abu Bakar, dan bukan dengan namanya, seperti Zain al-Abidin bin Ali, [13] dan Ali bin Musa (ar-Ridha).[14]
Adapun orang yang menamakan anaknya dengan Umar, di antaranya adalah Ali. la menamakan anaknya dengan Umar al-Akbar, dan ibunya adalah Ummu Habib binti Rabi’ah. la terbunuh di Thaff bersama saudaranya, al-Husain. Anaknya yang lain diberi nama Umar al-Ashghar, dan ibunya adalah ash Sahhba’ at-Taghlabiyyah. Umar yang terakhir ini di umur panjang setelah kematian saudara-saudaranya  sehingga is mewarisi mereka. [15]

Al-Hasan bin Ali menamakan kedua anaknya Dengan Abu Bakar dan Umar.”[16]

Juga Ali bin al-Husain bin Ali.[17]

Juga Ali Zain al-Abidin.
Juga Musa al-Kazhim.
Juga al-Husain bin Zaid bin Ali.
Juga lshaq bin al-Hasan bin Ali bin al-Husain.
Demikian pula al-Hasan bin Ali bin al-Hasan bin al-Husain bin al-Hasan
Selain mereka masih banyak. Tapi kami mencukupkan sampai disini dari para pendahulu ahli bait, karena khawatir berpanjang kalam. [18]
Adapun ahli bait yang menamakan putrinya dengan Aisyah, diantaranya adalah Musa al-Kazhim[19] dan Ali al-Hadi. [20]
Kami cukupkan dengan Abu Bakar dan Umar serta Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha.
Bersambung insyaallah…
Foot Note:
[1] Pernikahan ini disebutkan oleh para ulama Syi’ah, di antaranya: al-Kulaini dalam Furu’ al-Kafi (6/115); ath-Thusi dalam Tandzib al-Ahkam, Bab ‘Adad an-Nisa’(8/148) dan (2/380), dan dalam kitabnya, al-Istibshar (3/356); al-Mazandarani dalam Manaqib Aal Abi Thalib (3/162); al-Amili dalam Masalik al-Afham (1/ kitab an-Nikah) dan Murtadha ‘Alam al-Huda dalam asy-Syafi, hat. 116; Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah (3/ 124); al-Ardabili dalam Hadiqah asy-Syi’ah, hal. 277; asy-Syusytari dalam Majalis al-Mu’minin, hal. 76, 82; dan al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar hal. 621. sebagai tambahan, lihat risalah Zawaj Umar Ibn al-Khatthab min Umm Kultsum binti Ali Ibn Abi Thalib – Haqiqah la Iftira’, karya Abu Mu’adz al-Ismai’li.
[2] Kasyf al-Ghummahfi Ma’rifah al-A’immah, Ali al-Arbili (2/66)
[3] Kasyf al-Ghummahfi Ma’rifah al-A’immah, Ali al-Arbili (2/66)
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Najh al-Balaghah, hal. 136. Lihat pula hal. 366-367, dan hal. 322
[8] Barangsiapa ingin memperluas mengenai jalinan pernikahan para sahabat dengan ahli bait, silakan merujuk kitab ad-Darr al-Mantsur min Turats AN al-Bait, karya al-Faqih al-Imami ‘Ala’uddin al-Mudarris. Baku ini berisi tambahan atas keterangan yang telah kami sebutkan.
[9] Al-Irsyad, al-Mufid, hal. 354; Muqatil ath-Thalibiyyin, Abu al-Faraj al-Ashbahani asy-Syi’i, hal. 91; dan Tarikh al-Ya’qubi asy-Syi’i (2/213)
[10] At-Tanbih wa al-Isyraf, al-Mas’udi asy-Syi’i, hal. 263
[11] Muqatil ath-Thalibiyyin, Abu al-Faraj al-Ashbahani asy-Syi’i hal. 188, cet. Dar al-Ma’rifah
[12]  Kasyf al-Ghummah, al-Arbili (3/26)
[13]  Kasyf al-Ghummah, al-Arbili (2/317)
[14] Muqatil ath-Thalibiyyin, Abu al-Faraj al-Ashbahani asy-Syi’i hal. 561-562, cet. Dar al-Ma’rifah.
[15] Al-Irsyad, al-Mufid, hal. 354; Mu’jam Rijal al-Hadits, al-Khau’i (13/51); Muqatil ath-Thalibiyyin, Abu al-Faraj al-Ashbahani, hal. 84, cet. Beirut; Umdah ath-Thalib, hal. 361, cet. an-Najf; dan Jala’ al-’Uyun, al-Majlisi, hal. 570
[16] AI-Irsyad, al-Mufid, hal. 194; Muntaha al-Amal, (1/hal. 240); Umdah ath-Thalib, hal. 81; Jala’ al-’Uyun, al-Majlisi, hal. 582; Mu’jam Rijal al-Hadits, al-Khau’i (13/29, no. 8716); Kasyf al-Ghummah (2/294)
[17] AI-Irsyad, al-Mufid (2/155); dan Kasyf al-Ghummah (2/294)
[18] Uraian mengenai hal itu terdapat dalam Muqatil ath-Thalibiyyin dan sumber-sumber al-Imamiyah lainnya. Lihat, sebagai contoh, I, ‘Ala’uddin al-Mudarris, hal.65-69
[19] Al-Irsyad, hal.302; al-Fushul al-Muhimmah, hal.242; dan Kasyf al-Ghummah, (3/26)
[20] Al-Irsyad, al-Mufid, (2/312)
Sumber: Disalin ulang dari buku “Menimbang Ajaran Syiah – 188 Pertanyaan Kritis”, Sulaiman bin Shalih al-Kharasyi, Penerbit Tazkia, Hal.6-14