Monday, May 11, 2015

Mazdakisme Hakekat Ajaran Sy’iah

Mengapa Syi’ah berbeda dengan Islam, jika ditelusuri lebih dalam akar ajaran syi’ah ternyata menurut Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, Syi’ah itu menjadikan ajaran local Persia Kuno yaitu Mazdakisme sebagai ruh dari ajaran Syi’ah yang akhirnya menundukkan ajaran Islam itu sendiri.

“Sebenarnya Syi’ah itu ekstrem dalam mengakomodasi muatan lokal bangsa Persia,” kata Ustadz Hartono.
Dalam paparannya, Mazdakisme adalah ajaran Persia kuno yang dibawa oleh seorang nabi palsu Mazdak di Persia, yang hidup dimasa 40 tahunan sebelum nabi Muhammad Saw lahir. Ajaran Mazdak menurut ustadz Hartono, yang terkenal dalam ajaran yaitu kepemilikan bersama terhadap wanita dan harta.
“Wanita dan harta ibarat rumput dan air, oleh Mazdak dijadikan milik umum,” tuturnya.
Sehingga pada zaman Raja Parsi Gibas yang menjadi pengikut ajaran tersebut, menurut ustadz Hartono kehidupan di seluruh pelosok Parsi dipenuhi perzinahan dan perampokan pada saat itu. Dan baru berkurang di masyarakat Parsi, ketika putra Mahkota kerajaan Parsi Anusyrwan menantang debat nabi palsu Mazdak yang meminta ibunya, Ratu kerajaan parsi untuk dinikmati oleh Nabi Mazdak yang mengajarkan peningkatan iman melalui perzinahan.
“Mazdak kalah debat dengan Anusyrwan, sehingga ia dan pengikutnya dipenggal,” terangnya.
Ajaran ini, ternyata tidak benar-benar hilang. Syi’ah menaruh ajaran Mazdak tersebut dengan mendompleng ajaran Islam yang benar. Ajaran Mazdak berupa perzinahan yang sudah mendarah daging cukup sulit dihilangkan secara total ketika itu, maka oleh rahib-rahib syi’ah diupayakan legal di dalam Islam.
“Sehingga, ajaran Mazdak itu dipswitch (alihkan) ke Islam dengan nama nikah mut’ah,” jelas ustad Hartono.
Padahal, nikah mut’ah sudah dilarang pada perang Khaibar dalam riwayat Imam Muslim. Akan tetapi menurut Ustadz Hartono, kecintaan orang syi’ah kepada Nabi Palsu Mazdak lebih besar dari pada Nabi yang asli yaitu Nabi Muhammad Saw.
“Mereka tetap saja, lebih menuruti ajaran Mazdak,” ujarnya
Lebih dari itu, Syi’ah yang hanya mengakui keturunan Husain ra saja yang dianggap sebagai Imam mereka  ,disebabkan Husain menikahi Sah Robanu seorang Putri kerajaan Persia dan melahirkan Ali Zainal Abidin bin Husain.
“Maka, darah parsi yang ada pada diri Keturunan Ali Zainal Abidin itulah yang dikultuskan oleh Syi’ah,” ungkap Ustad Hartono.
Pengkutusan tersebut, berdampak sangat besar hingga menjelma dalam rukun Iman dan rukun islam Syi’ah yaitu konsep Imamah dan Al-wilayah.
“Jika seseorang tidak menerima konsep itu mereka dianggap kafir,” tandas ustadz Hartono.
Maka, menjadi terang bahwa syi’ah itu adalah  firqoh hadamah (kelompok sesat) sebenarnya, yang merusak dan menghancurkan Islam dengan  mengangkat muatan local ajaran parsi Mazdak lebih tinggi dari ajaran Islam, jelas ustadz Hartono.


Syi’ah No, Ahlul Bait “Yes”

Dalam sebuah diskusi, ketika perbedaan dalam hal Aqidah sangat jelas, salah seorang mengatakan “sudah, al-ikhtilafu rahmah, al-ikhtilafu rahmah, yang penting kita utamakan persatuan!”
Ya, betapa menyedihkannya sebagian kawan Sunni di Indonesia ini, yang entah dengan dasar apa menyambut seruan Syi’ah untuk bersatu, demi persatuan? Ada apakah dengan sebagian Sunni di Indonesia? Apakah mereka sudah mulai putus asa dari rahmat Allah? Dan tergiur dengan “revolusi Islam” yang sukses di Iran? Entahlah!
Betapa kagetnya saya pernah  membaca berita di Eramuslim.com, tentang terbentuknya Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia (Muhsin). Namun, Alhamdulillah, Majelis Ulama Indonesia tidak hadir dan menyatakan Syi’ah di luar Islam. Alhamdulillah.
Sungguh, tidak ada satu orang pun yang menginginkan sebuah perpecahan, namun sebagai kaum yang beriman tentulah kita harus percaya dengan firman-Nya dan sabda rasul-Nya yang sahih.
Adanya perpecahan dalam tubuh umat Islam (dan juga umat-umat yang lainnya) telah dinashkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah (banyak hadits yang menyatakan bahwa umat Islam akan berpecah menjadi 73 golongan).
Allah berfirman :
وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” [QS. Yunus : 19].
Ini merupakan iradah kauniyyah dari Allah ta’ala. Namun Allah tidak menghendaki adanya perselisihan itu. Allah mencintai agar hamba-hamba-Nya selalu bersatu. Dan inilah yang disebut iradah syar’iyyah dari Allah ta’ala. Allah berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [QS. Ali ‘Imran : 103].
Tali agama Allah, diperjelas lagi oleh nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, agar kita termasuk ke dalam golongan yang selamat, siapakah golongan selamat itu? Nabi bersabda:
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Ia adalah golongan yang mengikuti jejakku dan jejak para shahabatku
Dari Al-‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما بعد صلاة الغداة موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب فقال رجل إن هذه موعظة مودع فماذا تعهد إلينا يا رسول الله قال أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختلافا كثيرا وإياكم ومحدثات الأمور فإنها ضلالة فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi nasihat kepada kami pada suatu hari setelah shalat Shubuh dengan satu nasihat yang jelas hingga membuat air mata kami bercucuran dan hati kami bergetar. Seorang laki-laki berkata : ‘Sesungguhnya nasihat ini seperti nasihat orang yang hendak berpisah. Lalu apa yang hendak engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah ?’. Beliau bersabda : ‘Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Orang yang hidup di antara kalian (sepeninggalku nanti) akan menjumpai banyak perselisihan. Waspadailah hal-hal yang baru, karena semua itu adalah kesesatan. Barangsiapa yang menjumpainya, maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaa’ Ar-Raasyidiin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham”.
Maka, jelaslah bagi kita agar bersatu dan memang Allah menyuruh kita bersatu dengan landasan kesamaan Aqidah yang sesuai Al-Qur’an dan As Sunnah yang sahih! Kalau dengan yang berlainan Aqidah, maka tidak ada kata persatuan dan toleransi terhadap Aqidah sesat yang mengaku-ngaku bagian dari Islam!
Akankah berhasil dan mencapai kejayaan sebagaimana pada masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah jikalau Ahlus Sunnah bersekutu dengan Syi’ah atau dengan golongan sesat lainnya yang sudah jelas kesesatannya?
Akankah bertambah mutu jika kita bersekutu dengan sesuatu yang sesat? Sungguh itu justru upaya menghancurkan diri sendiri!
Dengan ini, saya mengajak kepada rekan-rekan Ahlus Sunnah di tanah air, agar MENOLAK Syi’ah, dengan jalan yang paling mudah ialah mengingkarinya di dalam hati! Lantas, apapun yang diupayakan oleh “Muhsin” walapun ada embel-embel Sunni, maka itu sama sekali tidak merepresentasikan Ahlus Sunnah! Malah, semua yang hadir dalam pendirian “Muhsin” dan mengaku sebagai Sunni, perlulah dipertanyakan ke-sunni-annya!
Sebagaimana judul tulisan saya ini, Syi’ah No, Ahlul Bait “Yes”. Barangkali ada yang bertanya, mengapa kata yes-nya ditandai dengan kutip?
Sungguh, Ahlus Sunnah menghormati, memuliakan, dan mencintai Ahlul Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan perlulah kiranya dipahami Ahlul-Bait adalah orang-orang yang diharamkan menerima shadaqah/zakat, yang terdiri dari : istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya serta seluruh muslim dan muslimah keturunan Bani Haasyim (termasuk di dalamnya keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas).
Ini adalah pendapat paling ‘adil yang mengambil semua hadits sahih yang berkaitan dengan Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Namun begitu, sebagaimana kata Asy-Syaikh DR. Shaalih Al-Fauzan berkata : “…kita diperintahkan untuk mencintai mereka (Ahlul-Bait), menghormati, dan memuliakan mereka selama mereka ber-ittiba’ kepada sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah, dan istiqamah di dalam memegang dan menjalankan syari’at agama. Adapun jika mereka menyelisihi sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak istiqamah di dalam memegang dan menjalankan syari’at agama, maka kita tidak diperbolehkan mencintai mereka, sekalipun mereka Ahlul-Bait Rasul…” [Syarh Al-‘Aqidah Al-Washithiyyah, hal. 148].
Oleh karena itu, orang-orang yang mengaku punya nasab dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam namun ternyata mereka termasuk golongan penyeru bid’ah dan penggalak kesyirikan (seperti kebanyakan habaaib di tanah air); kita tidak perlu mencintai mereka. Bahkan, mereka menjadi ‘musuh’ kita dalam agama, karena pada hakekatnya mereka merongrong dan ingin merubuhkan sendi-sendi agama dari dalam.
Syi’ah jelas pandai berkilah, dan sebagaimana kata Prof. Baharun (beliau pemerhati Syi’ah) sebagaimana dilansir dalam berita Eramuslim.com, bahwa katanya “Jalaluddin itu sedang taqiyyah…” Mereka (Syi’ah di Indonesia) pun menamai dirinya Ikatan Jemaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi).
Lihatlah, maka saya gunakan tanda kutip di kata Ahlul Bait, sebab Syi’ah pandai berkilah lagi dusta! Mengaku Mazhab Ahlulbaitlah, namun sungguh perbedaan nama tidak akan merubah hakikat kebusukan makna di dalamnya. Bukankah sepandai-pandai menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga?
Syi’ah BUKAN Islam! Bagaimana mungkin, mengaku bernabikan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam namun jauh sekali dari sunnah beliau shallallahu alaihi wa sallam? Bahkan, semoga Allah melaknat Imam Al-Khomainiy yang berkata :
لقد جاء الأنبياء جميعاً من أجل إرساء قواعد العدالة في العالم؛ لكنَّهم لم ينجحوا حتَّى النبي محمد خاتم الأنبياء، الذي جاء لإصلاح البشرية وتنفيذ العدالة وتربية البشر، لم ينجح في ذلك….
Sungguh semua Nabi telah datang untuk menancapkan keadilan di dunia, akan tetapi mereka tidak berhasil. Bahkan termasuk Nabi Muhammad, penutup para Nabi, dimana beliau datang untuk memperbaiki umat manusia, menginginkan keadilan, dan mendidik manusia – tidak berhasil dalam hal itu….” [Nahju Khomainiy, hal 46].
Ya Allaah, betapa kurang ajar! Tidak hanya mencela lagi mencerca Abu Bakr, Umar radlyallaahu anhu, Aisyah radlyallaahu anha, ataupun mengkafirkan Mu’awiyyah! Dan beberapa sahabat rasul lainnya. Tapi Nabi Muhammad pun dikorbankan demi ajaran dan untuk mensukseskan imaamah (versi Syi’ah) padahal hal tersebut memang bukan berasal dari Al-Qur’an dan penjelasan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebenarnya, tidak hanya masalah Aqidah saja yang kita beda jauh, dalam hal fikih pun kalau kita mau menelusuri jelas banyak kesesatannya dalam fikih Syi’ah. Misalnya, Syi’ah melazimkan perangai Jahiliyah seperti meratap, lantas bolehnya meludah di Masjidil Haram, memakan tanah kuburan Al Husain, bolehnya membaca Al-Qur’an di toilet, dan lainnya.
Saudaraku seaqidah, Kembalilah kepada urusan kalian yang pertama ! itulah yang ditegaskan rasulullah! Agar kita terhindar dari fitnah dan menuju kejayaan yang telah dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni Al-Qur’an dan As Sunnah! Allah ta’ala telah berfirman :
وَعَدَ اللّهُ الّذِينَ آمَنُواْ مِنْكُمْ وَعَمِلُواْ الصّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكّنَنّ لَهُمْ دِينَهُمُ الّذِي ارْتَضَىَ لَهُمْ وَلَيُبَدّلَنّهُمْ مّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [QS. An-Nuur : 55].
Dicabutnya kekuasaan kaum muslimin oleh Allah dengan keruntuhan Daulah ’Utsmaniyyah pada tahun 1924 adalah merupakan musibah yang diakibatkan oleh kesalahan kaum muslimin sendiri ketika mereka mulai jauh dari syari’at Allah. Allah berfirman :
وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30].
Bisa kita lihat di masa itu (bahkan hingga sekarang) aneka kesyirikan dan bid’ah merajalela. Budaya taqlid terhadap kuffar sudah bukan hal yang aneh jadi pemandangan.
Maka, Orientasi yang harus dilakukan oleh semua komponen dakwah Islam adalah menegakkan Dakwah Tauhid dan juga dakwah kepada (Al-Qur’an dan) As-Sunnah karena itu adalah sebab yang akan mengakibatkan keberhasilan Islam sebagaimana pernah terjadi pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Segala sesuatu hendaknya diletakkan secara proporsional, sehingga melahirkan pemahaman dan pengamalan sesuai yang diinginkan syari’at. Dan telah terang dalam syari’at kita yang lurus, Syi’ah bukan Islam.
Maka patutlah kita mengatakan tidak untuk Syi’ah!
Wa Allaahu A’lam.
Usup Supriyadi


Ahlul-Bait Menyepakati Keputusan Abu Bakr Ash-Shiddiiq radliyallaahu ‘anhu dalam Masalah Tanah Fadak

Sebelum membaca artikel ini, silakan membaca terlebih dahulu artikel : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/06/rasulullah-shallallaahu-alaihi-wa.html. Setelah selesai, silakan membaca artikel suplemen berikut ini :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمَّادٍ، قَالَ: نَا عَمِّي، قَالَ: نَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: نَا ابْنُ دَاوُدَ، عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ، قَالَ: قَالَ زَيْدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ، " أَمَّا أَنَا فَلَوْ كُنْتُ مَكَانَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَحَكَمْتُ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي فَدَكٍ "

Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Hammaad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami pamanku, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Nashr bin ‘Aliy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Daawud, dari Fudlail bin Marzuuq, ia berkata : Telah berkata Zaid bin ‘Aliy bin Husain : “Adapun aku, seandainya aku berposisi seperti Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, niscaya aku benar-benar akan memutuskan perkara seperti yang diputuskan Abu Bakrradliyallaahu ‘anhu dalam masalah Fadak” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalamFadlaailush-Shahaabah no. 52].
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 6/302 & dalam Al-I’tiqaad 1/279 & dalam Dalaailun-Nubuwwah 7/281, Hammaad bin Ishaaq dalam Tirkatun-Nabiy 1/86 no. 60; semuanya dari jalan Ismaa’iil bin Ishaaq (paman Ibraahiim bin Hammaad), dari Nashr, dan selanjutnya seperti atsar di atas.
Keterangan perawi :
1.    Ibraahiim bin Hammaad bin Ishaaq bin Ismaa’iil Al-Qaadliy, adalah seorang yangtsiqah. Lahir tahun 240 H, wafat tahun 323 H [Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniyhal. 34 no. 46 dan Taraajim Rijaal Ad-Daaruquthniy hal. 65 no. 116].
2.    Ismaa’iil bin Ishaaq Al-Qaadliy, seorang yang tsiqah lagi tsabat. Ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan, Abu Haatim, Ad-Daaruquthniy, Al-Qaadliy ‘Iyaadl, Ibnu Farhuun, dan Al-Khathiib [Mishbaahul-Ariib 1/208 no. 3996].
3.    Nashr bin ‘Aliy bin Nashr bin ‘Aliy Al-Jahdlamiy; seorang yang tsiqah lagi tsabt. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, serta Ibnu Maajah. Thabaqah 10, wafat tahun 250 H [At-Taqriib, hal. 1000 no. 7170].
4.    Ibnu Daawud adalah ‘Abdullah bin Daawud bin ‘Aamir Al-Hamdaaniy Asy-Sya’biy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. Thabaqah 9 dari kalanganshighaaru atbaa’ut-taabi’iin, lahir tahun 126 H, dan wafat tahun 213 H [idem, hal. 503 no. 3317].
5.    Fudlail bin Marzuuq Al-Aghar Ar-Raqqaasyiy. Dipakai Al-Bukhaariy dalam Juz’u Raf’il-Yadain, Muslim dalam Shahih-nya, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. Thabaqah 7 dari kalangan kibaaru atbaa’ut-taabi’iin, wafat tahun 160 H. Ia seorang yang diperselisihkan.
Ibnu ‘Adiy berkata : “Aku harap, tidak mengapa dengannya”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq shaalihul-hadiits, namun banyak ragu. Ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya”.
Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Yukhthi’ (sering keliru)”. Peristilah yukhthi’ dalam Ats-Tsiqaat oleh Ibnu Hibbaan adalah hasanul-hadiits, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy. Namun, Ibnu Hibbaan juga menyebutkannya dalam Al-Majruuhiin dimana ia menyatakan bahwa Fudlail ini meriwayatkan dari ‘Athiyyah hadits-hadits munkar. Jika riwayatnya berkesesuaian dengan riwayat perawi tsiqaat, dijadikan hujjah; dan jika ia bersendirian dalam periwayatan, maka tidak boleh berhujjah dengannya/dijauhi (diringkas).
Ibnu Syaahiin tawaquf. Abu Daawud berkata : “Tsiqah”. Abu ‘Abdullah Al-Haakim berkata : “Merupakan aib bagi Muslim ia meriwayatkan haditsnya dalam Shahih-nya”. Ahmad bin Abi Khaitsamah An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah”. Namun di kali lain ia berkata : “Dla’iif”. Ahmad berkata : “Aku tidak mengetahui tentangnya kecuali kebaikan”. Di tempat lain ia berkata : “Tsiqah”. Al-Haitsam bin Jamiil berkata : “Ia adalah salah seorang aimmatul-huda, zuhud, lagi mempunyai keutamaan”. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif”. Al-‘Ijliy berkata : “Jaaizul-hadiits, shaduuq, tsiqah,padanya terdapat tasyayyu’”. Al-Bukhaariy berkata : “Muqaaribul-hadiits”. Ats-Tsauriy berkata : “Tsiqah”. Ibnu ‘Uyainah berkata : “Tsiqah”. Humaid Ar-Ruaasiy berkata : “Shaduuq”. Ibnu Khiraasy berkata : “Tsiqah”. Ad-Daarimiy berkata : “Dla’iif”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah” – dan ini riwayat yang mu’tamad darinya. Al-Fasawiy berkata : “Tsiqah”.
[Tahdziibul-Kamaal 22/ no. 4769, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 2/367 no. 3532, Ad-Durrun-Naqiy hal. 245 no. 891].
Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun sering ragu (yahimu)”. Al-Albaaniy mempunyai beberapa komentar tentangnya. Di satu tempat ia mendla’ifkannya karena faktor hapalannya, namun di tempat lain menghasankannya [Mu’jamu Asaamiyyir-Ruwaat, 3/412-415]. Basyar ‘awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Shaduuq” [Tahriirut-Taqriib, 3/163-164 no. 5437] – dan penghukumannya ini tidak dikomentari oleh Dr. Maahir Al-Fakhl dalam Kasyful-Iihaam. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Diperbincangkan dalam hapalannya” [Natsnun-Nabaal, hal. 1095 no. 2696].
Kesimpulannya : Ia seorang yang shaduuq, dan haditsnya hasan.
Riwayatnya secara khusus dari ‘Athiyyah diingkari oleh sebagian huffaadh, namun di sini ia tidak meriwayatkan dari ‘Athiyyah.
6.    Zaid bin ‘Aliy bin Al-Husain bin Abi Thaalib, maka ia salah seorang ulama dari kalangan Ahlul-Bait yang diakui oleh Syi’ah.[1] Lahir tahun 80 H dan wafat tahun 122 H.
Kesimpulan finalnya : Riwayat ini hasan.
So, mengapa Syi’ah repot-repot mempermasalahkan tanah Fadak dengan mencela Abu Bakr Ash-Shiddiiq radliyallaahu ‘anhu, sementara Zaid bin ‘Aliy rahimahullahmenyepakatinya ?. Kalau mau, celalah pembela Abu Bakr sebelum mencela yang dibela……
Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 1432 H - artikel ini bersambung ke sini].


[1]     Lihat keterangannya di :

Comment-comment :
Anonim mengatakan...
"So, mengapa Syi’ah repot-repot mempermasalahkan tanah Fadak dengan mencela Abu Bakr Ash-Shiddiiq radliyallaahu ‘anhu, sementara Zaid bin ‘Aliy rahimahullah menyepakatinya ?"
Hehehe ustadz kayak ga tau syi'ah aja, harusnya ustadz tanyanya begini : "Mengapa kalian menyelisihi imam yg kalian anggap ma'shum sementara kalian mengklaim pencinta ahlul bait?"
Syukron ustadz.

Anonim mengatakan...
lalu juga ada lagi pertanyaan dari teman saya yang mana saya belum bisa memberikan jawaban. jadi saya mau menanyakan kepada ustadz yang mana lebih paham masalah agama daripada saya. pertanyaan dari teman saya itu antara lain adalah sebagai berikut :
1. Rasulullah menganjurkan untuk menyegerakan pemakaman jenazah tetapi kenapa pemakaman Rasulullah terlambat?
2. Apa yang terjadi antara Sayyidah Fatimah Azzahra dgn para sahabat, kenapa ketika wafat Sayyidah Fatimah berpesan untuk merahasiakan pemakamannya?
3. Menurut pandangan penganut WAHABI penjelasan dari QS An Nisa ayat 24 itu tentang apa? kok bisanya kalian menganggap mut'ah itu haram sedangkan dalam mazhab kalian ada nikah misyar yg mirip dgn nikah mut'ah tetapi tak ada dalilnya?
4. kenapa bisa ada 4 mazhab besar dalam sunni.. Hanbali, Syafi'i, Maliki & Hanafi... yang dalam hal fiqh byk sekali perbedaannya..
kenapa tidak kita ikut guru2 diantara 4 mazhab tsb..
sbgmana kita tahu.. Hanbali itu murid syafi'i, syafi'i murid maliki... maliki & hanafi murid dari Imam Jakfar As Shidiq..
itulah beberapa pertanyaan dari teman saya.semoga ustadz bisa menjelaskan dan memberikan jawaban dengan akurat. barokallohu fiik.jazakallohu khoiron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
1 dan 2.... sebenarnya kerangka pertanyaan Syi'ah itu berpijak akan adanya ketidaksetaraan antara 'Aliy dan Faathimah dengan para shahabat. Oleh karena itu, dua pertanyaan hanya dimuarakan untuk menyalahkan para shahabat dengan membenarkan 'Aliy, atau yang semisalnya.
Sebenarnya mudah saja dijawab dengan jawaban klise, untuk no. 1 : "Yang paling bertanggung jawab atas pemakaman seseorang adalah kerabatnya atau ahli warisnya. Dan kerabat terdekat beliau - sebagai Ahlul-Bait - adalah 'Aliy bin Abi Thaalib. Maka seharusnya dialah yang paling bertanggung jawab untuk menguburkan, baik dengan atau tanpa shahabat yang lain. Ia adalah pahlawan Khaibar yang gagah berani".
Begitu juga dengan nomor 2 : "Seharusnya pertanyaan itu harus ditujukan kepada 'Aliy sebagai suaminya mengapa Faathimah berpesan seperti itu, sebab dialah yang menguburkan di malam hari".
Adapun nomor 3 membutuhkan jawaban yang panjang, dan sepertinya banyak jawaban diberikan di media internet untuk itu.
Nomor 4 : Memangnya Ja'far Ash-Shaadiq adalah guru empat madzahab ya ? Teman antum itu salah analisa. Ja'far Ash-Shaadiq itu wafat tahun 148 H. Lha ini Imam Asy-Syaafi'iy dan Imam Ahmad belum lahir. Kalau memang begitu logikanya, kenapa tidak mengambil pendapat fiqh guru Ja'far Ash-Shaadiq saja semisal Az-Zuhriy, Naafi' maula Ibni 'Umar, 'Urwah bin Az-Zubair dan yang lainnya yang merupakan tokoh-tokoh Ahlus-Sunnah ?.
Perlu diketahui bahwa 4 madzhab itu bukan batasan dan bukan berarti fiqh Islam sumbernya dari 4 ulama itu tanpa ada sumber dari ulama sebelumnya.

Farid mengatakan...
Anonim mengatakan...
salam ya ustadz
soalan saya kenapa khalifah umar abdul aziz mengembalikan tanah fadak kepada imam muhammad al baqir semasa pemerintahannya?
bukankah tanah fadak itu sudah dianggap sedekah?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Coba Anda baca artikel lain di blog ini yang sudah saya isyaratkan di awal artikel :

Anda dapat lihat bahwa 'Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu 'anhu pun memberikan bagian tanah Bani Nadiir kepada 'Aliy dan 'Abbaas, dengan syarat keduanya memberlakukannya sebagaimana perlakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan masa-masa pengurusan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa terhadap tanah shadaqah tersebut. Dan keduanya telah menerima syarat tersebut.
Pemberian itu sama sekali bukan sebagai pengakuan bahwa harta itu adalah warisan, dan membatalkan keputusan Abu Bakr radliyallaahu 'anhu. Tapi diberikan sebagai hak seorang imam untuk memberikan sebagian harta/aset negara untuk dikelola sebagian kaum muslimin lain dengan pertimbangan kemaslahatan. Baca juga artikel terkait :

roxex mengatakan...
hehehe .... apakah Rasullullah Sawa tidak mewarisi ?? sementara beliau Sawa memerintahkan seseorang untuk berwasiat ?? Nabi Daud as mewarisi Nabi Sulaiman as, Nabi Ya'qub as mewarisi Nabi Yusuf as ....
Apa haknya abu bakar, mengeluarkan hadist hasil rekaan dia sendiri ?? bahwa Para Nabi tidak mewarisi yang ditinggalkan adalah untuk sedaqah !!!
abu bakar mengeluarkan hadist palsu dihadapan Sy. Fathimah Az-Zahra as dengan tanpa malu .... dan kalian nawashib membela abu bakar ?? dapat dilihat kalian membenci keluarga Rasul Sawa dan membela kaum yang zhalim ....

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ya, tidak mewarisi. Hadits bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak mewariskan tidak hanya diriwayatkan oleh Abu Bakr radliyallaahu 'anhu. Bahkan 'Aliy pun menyepakatinya.



Ahlul-Bait Tidak Mengakui Wasiat Estafet Imamah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – ‘Aliy – Al-Hasan – Al-Husain – ‘Aliy bin Al-Husain – Muhammad bin ‘Aliy

                                                      
Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :
أخبرنا شبابة بن سوار قال أخبرنا فضيل بن مرزوق قال سألت عمر بن علي وحسين بن علي عمي جعفر قلت هل فيكم أهل البيت إنسان مفترضة طاعته تعرفون له ذلك ومن لم يعرف له ذلك فمات مات ميتة جاهلية فقالا لا والله ما هذا فينا من قال هذا فينا فهو كذاب قال فقلت لعمر بن علي رحمك الله إن هذه منزلة تزعمون أنها كانت لعلي إن النبي صلى الله عليه و سلم أوصى إليه ثم كانت للحسن إن عليا أوصى إليه ثم كانت للحسين إن الحسن أوصى إليه ثم كانت لعلي بن الحسين إن الحسين أوصى إليه ثم كانت لمحمد بن علي إن عليا أوصى إليه فقال والله لمات أبي فما أوصى بحرفين قاتلهم الله والله إن هؤلاء إلا متأكلون بنا هذا خنيس الخرؤ ما خنيس الخرؤ قال قلت المعلى بن خنيس قال نعم المعلى بن خنيس والله لفكرت على فراشي طويلا أتعجب من قوم لبس الله عقولهم حين أضلهم المعلى بن خنيس

Telah menceritakan kepada kami Syabaabah bin Sawwaar, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Fudlail bin Marzuuq, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Umar bin ‘Aliy dan Husain bin ‘Aliy, paman Ja’far. Aku berkata : “Apakah ada pada kalian Ahlul-Bait, seseorang yang wajib ditaati, yang kalian akui/ketahui hal itu (kewajiban ditaati) ada padanya[1]. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui/mengakui kewajiban taat kepada orang tersebut, jika ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah ?”. Mereka berdua berkata : “Tidak, demi Allah. Hal ini tidak ada pada kami. Barangsiapa yang mengatakan hal ini ada pada kami, maka ia adalah pendusta”. Fudlail bin Marzuuq berkata : Aku bertanya kepada ‘Umar bin ‘Aliy : “Semoga Allah merahmatimu. (Dan dikatakan juga), sesungguhnya kedudukan ini (yaitu imamah), kalian katakan hal itu untuk ‘Aliy, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepadanya. Kemudian beralih ke Al-Hasan karena ‘Aliy telah berwasiat kepadanya. Kemudian beralih ke Al-Husain, karena Al-Hasan telah berwasiat kepadanya. Kemudian beralih ke ‘Aliy bin Al-Husain, karena Al-Husain telah berwasiat kepadanya. Kemudian beralih ke Muhammad bin ‘Aliy, karena ‘Aliy (bin Al-Husain) telah berwasiat kepadanya”. Maka ia (‘Umar bin ‘Aliy) berkata : “Demi Allah, sungguh ayahku meninggal tanpa berwasiat apapun. Semoga Allah memerangi mereka. Demi Allah, sesungguhnya mereka (yang mengatakan hal itu) hanyalah menjadi beban/menyusahkan kami saja. Ini adalah perbuatan Khunais Al-Kharu’. Tahukah engkau Khunais Al-Kharru’ ?”. Fudlail berkata : Aku menjawab : “Al-‘Mu’allaa bin Khunais”. Ia (‘Umar bin ‘Aliy) berkata : “Benar, Al-Mu’allaa bin Khunais. Demi Allah, sungguh aku telah menghabiskan waktu lama di atas tempat tidurku memikirkan satu kaum yang Allah kacaukan akal-akal mereka, yaitu ketika Al-Mu’allaa bin Khunais menyesatkan mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 5/158].
Sanad hadits ini hasan.
Syabaabah bin Sawwaar adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Adapun Fudlail bin Marzuuq, maka ia adalah orang yang shaduuq, hasan haditsnya.[2]
‘Umar bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib adalah salah seorang ulama dari kalangan Ahlul-Bait. Seorang yang shaduuq lagi mempunyai keutamaan.
Al-Husain bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib adalah salah seorang ulama dari kalangan Ahlul-Bait. Juga seorang yang shaduuq.
Keduanya adalah dua orang anak dari imam keempat Syi’ah, ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib rahimahumullah.
Diriwayatkan juga oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juz-nya no. 41 dan dari jalannya Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 41/392-393. Ibnu Hajar membawakan riwayat Muhammad ‘Aashim dalam Al-Lisaan (8/111 no. 7843).
Diriwayatkan juga oleh Ad-Daaruquthniy dalam Al-Fadlaail no. 65 dari sanad lain dari Fudlail bin Marzuuq, namun sangat lemah (karena As-Sarriy bin ‘Aashim, muttaham bil-kidzb).
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam As-Safaruts-Tsaaniy no. 3190 dan Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2695; dari jalan Mush’ab, dari ‘Umar bin ‘Aliy bin Al-Husain. Sanad ini munqathi’ (terputus), karena Mush’ab tidak pernah bertemu ‘Umar.
Ibnu Hajar rahimahullah menuliskan identitas Al-Mu’allaa bin Khunais ini dalam Lisaanul-Miizaan(8/111 no. 7843) sebagai salah seorang gembong Raafidlah.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – ngagelik, sele-man, yogyakarta, 1432 H].


   [1]Ja’far bin Muhammad rahimahullah, salah seorang yang dianggap imam oleh Syi’ah, pun mengingkari hal itu ada pada dirinya :
إنكم إن شاء الله من صالحي أهل مصركم، فأبلغوهم عني: من زعم أني إمام معصوم مفترض الطاعة، فأنا منه برئ، ومن زعم أني أبرأ من أبي بكر وعمر، فأنا منه برئ
“Sesungguhnya kalian termasuk di antara orang shalih di antara penduduk negeri kalian, Mesir. Maka sampaikanlah kepada mereka perkataanku : ‘Barangsiapa yang mengatakan bahwa aku seorang imam ma’shuum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri terhadap mereka. Dan barangsiapa yang berkata bahwa aku berlepas diri terhadap Abu Bakr dan ‘Umar, maka aku berlepas diri terhadapnya (orang yang mengatakan itu)” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Al-Fadlaail no. 71 dan dari jalannya Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar,dengan sanadnya, 6/259. Sanad riwayat ini lemah, karena Makhlad bin Abi Quraisy Ath-Thahhaan, majhuul].
Berlepas dirinya Ja’far dan Ahlul-Bait yang lainnya dapat dibaca dalam artikel : 
  [2]Baca keterangan Fudlail bin Marzuuq ini dalam artikel: 
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/05/ahlul-bait-menyepakati-keputusan-abu.html.


Raja Salman Bin Abdul Aziz Dan Komitmennya Terhadap Syariat Islam

Pemimpin yang shaleh adalah idaman bagi orang-orang yang beriman. Ketika seorang pemimpin memiliki kecakapan dalam tata negara, ditambah memiliki keshalehan, maka itu adalah karunia yang sangat besar yang Allah berikan bagi penduduk suatu negeri. Dan karunia itu kian bertambah, apabila sang pemimpin adalah orang yang memiliki perhatian terhadap agama, penegakan syariat, dan dakwah tauhid.
Kerajaan Arab Saudi adalah sedikit dari negeri yang diberikan Allah karunia besar tersebut. Raja-raja mereka begitu memiliki perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum muslimin. Mereka membangun percetakan Alquran kemudian menyebarkannya ke berbagai negeri kaum muslimin, membantu pembangunan fasilitas pribadatan dan fasilitas publik, dll. Tidak heran, rakyatnya pun meneladani prilaku pemimpin mereka. Karenanya, sering kita dengar orang-orang di negeri kita mengajukan permintaan bantuan dana ke orang-orang Arab Saudi untuk kepentingan dakwah, karena mereka dikenal loyal dalam hal ini.
Setelah sebelumnya membahas tentang keahlian Raja Salman bin Abdul Aziz dalam dunia kepemimpinan dan diplomasi, berikut ini adalah sedikit kisah sisi relijius raja Arab Saudi yang baru tersebut.
Raja Salman dan Kecintaannya Kepada Alquran
Sebagaimana tradisi kerajaan-kerajaan Islam sedari dulu, anak-anak raja dan para pangeran disekolahkan di sekolah khusus kerajaan, demikian juga dengan Raja Salman bin Abdul Aziz. Ia pertama kali menimba ilmu di Madrasah Umara (Princes’ School) di Riyadh. Di sana ia mempelajari ilmu agama dan sains modern.
Di Madrasah Umara, Raja Salman bin Abdul Aziz berhasil menghafalkan 30 juz Alquran saat usianya masih 10 tahun. Saat itu, kepala sekolah Madrasah Umara adalah Syaikh Abdullah al-Khayyath, imam dan khotib Masjid al-Haram sekarang. Oleh karena itu, sama seperti pimpinan-pimpinan Arab Saudi lainnya, Raja Salman menaruh perhatian yang sangat besar dalam memotivasi anak-anak Arab Saudi untuk menghafalkan kitabullah.
Wujud perhatian beliau terhadap Alquran adalah dengan adanya Musabaqoh al-Amir Salman bin Abdul Aziz li Hifzhi-l Quran yang telah diselenggarakan sebanyak 17 kali di Riyadh. Musabaqoh Alquran ini berada dibawah bimbingan Kementrian Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad (Menteri Agama) Arab Saudi. Sehingga diadakan merata di setiap wilayah kerajaan dengan dukungan gubernur masing-masing wilayah.
Menurut Menteri Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad (Menteri Agama) Arab Saudi, Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh, lomba ini bertujuan: (1) Perhatian besar Kerajaan Arab Saudi terhadap Alquran al-Karim baik menghafalkannya, membacanya dengan tajwid yang benar, dan tafsirnya, (2) Sebagai penyemangat bagi putra-putri Arab Saudi untuk menerima Kitabullah baik dalam menghafal, memahami, mengamalkan, dan menadabburinya, (3) Membangkitkan semangat agar berlomba-lomba dalam menghafalkan Alquran dan menjaganya, dan (4) Berkontribusi mempererat hubungan umat dengan sumber kemulian mereka di dunia dan akhirat.
Komitmen Terhadap Alquran dan Sunnah dengan Pemahaman Salaf ash-Shaleh
Dalam beberapa kali kesempatan, sebelum menjadi raja, Salman bin Abdul Aziz sering menyatakan bahwa Kerajaan Arab Saudi berdiri dengan asas syariat Islam dalam undang-undang dan sikap politiknya. Kerajaan ini juga senantiasa menolong agama Allah, berkhidmat untuk dua tanah suci, dan kaum muslimin secara umum.
Beliau mengatakan bahwa dari awal beridirnya, kerajaan ini telah berbaiat untuk berpegang teguh dengan pemahaman agama Islam yang benar secara manhaj (teori) dan praktiknya. Baik dalam hukum, asas politik, dan sosial kemasyarakatan. Hal ini telah dibuktikan dalam kurun perjalanan panjang sejarah kerajaan.
Dalam sebuah risalahnya kepada Dr. Muhammad al-Hasyimi dan Dr. Abdurrahman al-Furaih, sebagai kelanjutan penjelasannya dalam kuliah umum di Universitas Islam Madinah tahun 2008, Raja Salman mengatakan, “Kerajaan Arab Saudi berdiri dengan asas al-Kitab dan as-sunnah bukan berdasar hukum-hukum kabilah atau ideologi-ideologi buatan manusia. Kerajaan ini berdiri dengan berasaskan akidah Islam sejak lebih dari 270 tahun lalu, ketika al-Imam Muhammad bin Suud dan Syaikh Muhammad bin Abdullah Wahab –rahimahumallahu- menyebarkan Islam dan menegakkan agama Allah ‘Azza wa Jalla
…Oleh karena berpegang pada asas inilah, musuh-musuh negeri ini senantiasa menyerangnya sejak dari awal berdirinya hingga hari ini. Mereka menggunakan istilah-istilah yang menjelekkan dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan kepada Islam sesuai dengan Alquran dan as-sunnah. Muncullah istilah wahabi untuk mendistorsi sejarah kerajaan ini. Lalu mereka kaitkan istilah tersebut dengan sebuah sekte (Khawarij pen.) yang muncul di Afrika Utara yang dibawa oleh Abdul Wahab bin Rustum pada abad ke-2 H atau abad ke-8 M. Kelompok ini dikenal menyimpang secara akidah dan keluar dari tuntunan sunnah Nabi kita al-Mushtofa‘alaihi ash-shalatu wa salam. Dan Dr. Muhammad bin Sa’d asy-Syuwa’ir telah menjelaskan kekeliruan penisbatan sejarah istilah ini secara historis dalam bukunyaTash-hih Khata-i Tarikhi Haula al-Wahabiyah.
Pada tahun 1365 H/1946 di Mina, Raja Abdul Aziz telah menjelaskan kepada para pimpinan jamaah haji tentang prinsip dasar kerajaan. Raja Abdul Aziz mengatakan, “Orang-orang menyebut kami adalah wahabi, padahal sebenarnya kami adalah salafi yang menjaga agama kami dan mengikuti Kitabullah dan sunnah Rasulullah”. Itulah asas Kerajaan Arab Saudi sejak pertama kali berdiri. Yang jadi pertanyaan, bisakah orang-orang yang membaca karya-karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Agar tuduhan yang dilemparkan ini memang terbukti.
Meluruskan Istilah Wahabi
Saat menjadi Gubernur Riyadh, Raja Salman bin Abdul Aziz menantang orang-orang yang menggelari Kerajaan Arab Saudi dengan sebutan wahabi. Beliau mengatakan, “Musuh-musuh dakwah (Islam) menggelari dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sebutan wahabi, padahal kami tidak mengenal yang demikian”.
Dalam sebuah press conference, Salman bin Abdul Aziz –sewaktu masih menjabat Gubernur Riyadh- berbicara di hadapan para wartawan, “Saya berbicara kepada kalian hari ini, di sebuah daerah yang menjadi tempat munculnya dakwah yang dipimpin oleh al-Imam Muhammad bin Suud dan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (Propinsi Dir’iyah). Apa yang mereka serukan adalah dakwah Islam yang tidak ada penyimpangan maupun ketidak-jelasan di dalamnya”. Kemudian beliau menambahkan, “Saya tantang (orang-orang yang menuduh dakwah ini menyimpang pen.) untuk menemukan satu huruf saja dari buku-buku karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau dalam risalahnya, yang menyelisihi Kitabullah atau sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!”
Beliau menjelaskan, “Muncul dan berdirinya Kerajaan Arab Saudi dibangun oleh al-Imam Muhammad bin Suud dan dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Dakwahnya adalah dakwah yang bersih (dari kesesatan), yang bersumber kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada selain dari kedua hal itu”.
Pandangannya Terhadap Demokrasi
Pada tahun 2010, Raja Salman pernah diwawancarai oleh Karen Elliot House, penulis buku On Saudi Arabia: Its People, Religion, Fault Lines. Raja mengatakan, “Jika Amerika bisa bersatu karena demokrasi, Arab Saudi pada dasarnya bersatu karena keluarga kerajaan”.
Sebagaimana telah disinggung dalam tulisan Raja Salman Pemersatu Arab Saudi, pengaruh kabilah kerajaan begitu diterima suku-suku atau kabilah-kabilah yang ada di Arab Saudi. Kerajaan berhasil menjadi wadah bagi setiap kabilah untuk bersama-sama mewujudkan pemerintahan yang islami.
Dalam Associated Press, House mengatakan bahwa Raja Salman juga mengatakan, “Kita tidak bisa memiliki demokrasi di Arab Saudi, jika kita melakukannya maka setiap kesukuan akan membentuk partai dan kemudian Arab Saudi akan bernasib seperti Irak yang kacau”.
Apa yang disampaikan oleh Raja Salman menunjukkan kepandaiannya dalam memberikan statement. Ia berbicara sesuai dengan tingkat pemahaman lawan bicaranya.
Dilansir Al Jazeera pada tahun 2007, Raja Salman menyampaikan statementnya di Kedutaan Amerika di Riyadh dengan mengatakan, “Kecepatan tingkat pembangunan tergantung pada faktor-faktor sosial dan budaya,… atas dasar alasan sosial –kecuali alasan agama- reformasi tidak bisa dipaksakan oleh (pemerintah Saudi) jika tidak, akan muncul reaksi negatif,… perubahan harus diperkenalkan dengan cara yang mengena dan tepat waktu. Demokrasi tidak boleh dipaksakan di Arab Saudi, karena negara ini terdiri dari suku-suku dan daerah. Jika demokrasi diberlakukan, masing-masing suku dan daerah akan memiliki partai politik”.
Pidato Pertama Sebagai Raja Arab Saudi
Di antara kalimat yang disampaikan oleh Raja Salman bin Abdul Aziz dalam pidato pertamanya:
Raja Salman mengawali pidatonya dengan pujian kepada Alllah dan shalawat kepada Rasul-Nya, kemudian ucapan bela sungkawa kepada anggota kerajaan dan seluruh rakyat Arab Saudi atas meninggalnya Raja Abdullah. Ia mengatakan:
“Segala puji bagi Allah, yang telah berfirman, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. (QS. Ar-Rahman: 26-27).
Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad, kepada keluarga dan juga sahabatnya… kemudian baru beliau sampaikan ucapan belasungkawa atas wafatnya Raja Abdullah bin Abdul Aziz rahimahullah. Raja Salman memuji pendahulunya tersebut atas dedikasi yang ia berikan dalam hidupnya kepada agama, negara, rakyat, dan dunia Islam secara umum.
Beliau menyampaikan, “Kami akan melanjutkan –dengan rahmat dan pertolongan dari Allah- meniti jalan yang benar dan tidak akan pernah menyimpang darinya, yaitu melanjutkan konstitusi kami berdasarkan Alquran dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
“Kami akan melanjutkan kebijakan negara ini, negara yang telah Allah utamakan dengan memilihnya sebagai tempat risalah (Nabi-Nya) dan kiblat (kaum muslimin), untuk meningkat persatuan dan mempertahankan negara. Dengan bimbingan dari Allah berdasarkan syariat Islam sebagai agama damai, kasih sayang, dan moderat”. Kata Raja Salman.
Ia melanjutkan, “Saya memohon kepada Allah agar senantiasa membimbing saya dalam melayani rakyat, mewujudkan harapan mereka, menjaga keamanan dan stabilitas negara kita, serta melindunginya dari kejahatan. Sesungguhnya Allah mampu melakukan yang demikian, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya”.
Penutup
Dari apa yang penulis sampaikan, kita sadar bahwa kepemimpinan yang sama persis dengan khalifah rasyid hanya akan terjadi di akhir zaman kelak, di masa Imam Mahdi. Usaha-usaha dan komitmen yang dilakukan pemerintah Arab Saudi sekarang untuk berpegang kepada Alquran dan sunnah sudah sangat kita apresiasi. Tidak ada negara di dunia ini, yang menerapkan syariat Islam lebih dari apa yang mereka lakukan. Sampai salah seorang polisi syariah di Arab Saudi pun tidak merasa betah dan jengah ketika berada di salah satu negeri Teluk luar Arab Saudi, karena ia menyaksikan pemandangan mall dan pasar-pasar yang masih penuh saat memasuki waktu shalat. Itu perbandingan negeri Teluk di luar Arab Saudi, bagaimana dengan selain negara-negara Arab di luar Teluk yang lebih bebas? Bagaimana lagi dengan selain negara-negara Arab, seperti di negara kita?
Semoga Allah tetap menjaga kerajaan ini dan meningkatkan peranannya untuk Islam dan kaum muslimin. Dan semoga Allah memperbaiki negara kita, memberi taufik kepada pemimpin-pemimpin dan rakyat-rakyatnya.
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)