Tuesday, February 3, 2015

Menag: Kita Adalah Orang Indonesia Yang Islam, Bukan Orang Islam di Indonesia

Dalam penerbangan kembali ke Jakarta tadi pagi, saya berkesempatan membaca surat kabar yang diberikan pihak maskapai, Harian Nasional.  Lembar demi lembar saya baca dan sampailah pada halaman dimana dimuat satu kolom informasi singkat seputar kunjungan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) bersama sejumlah jurnalis asing yang tergabung dalam East-West Center : Collaboration, Ekpertise, Leadership ke Kementrian Agama pada selasa (2/9). Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama langsung menerima kunjungan para juru warta tersebut.
“Umat Islam Indonesia adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia” ujar Lukman Hakim seperti dikutip harian Nasional, Rabu (3/8). Lukman menjelaskan bahwa dua ungkapan ini mengandung makna yang berbeda dan mengulang kembali ungkapan diatas guna mempertegas maksudnya.
Ungkapan Menteri Agama yang mengawali karirnya dengan kontroversi pengesahan Bahai sebagai sebuah agama yang sah di Indonesia ini cukup menarik. Ungkapan tersebut memang mengandung makna yang berbeda. “Orang Indonesia yang beragama Islam” bermakna identitas yang dominan adalah nasionalisme dan agama hanyalah asesoris tambahan, sementara ungkapan “orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia” menggambarkan identitas Aqidah yang dominan sementara penyebutan nama negara atau wilayah Indonesia hanya keterangan tambahan yang menggambarkan salah satu kawasan di muka bumi yang dihuni oleh sekelompok orang tanpa makna mendalam apapun serta tidak mengandung konsekuensi signifikan jika keterangan wilayah itu dirubah menjadi Yaman, Inggris, Afrika dan lain sebagainya.

Selasa, 2 September 2014, 17:09 –
Menag: Kita Adalah Orang Indonesia Yang Islam, Bukan Orang Islam di Indonesia
Jakarta (Pinmas) —- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin hari ini, Selasa (02/09), menerima kunjungan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama beberapa wartawan internasional yang tergabung dalam East-West Center: Collaboration, Ekpertise, Leadership.
Kedatangan sekitar 14 jurnalis ini dalam rangka “2014 Senior Journalist Seminar: Bridging Gaps Betwen The U.S. and The Muslom World” sekaligus lebih mengenal kehidupan umat Muslim di Negara-negara Muslim, termasuk di Indonesia. Mereka berasal Bangladesh, India, Iran, Iraq, Malaysia, Pakistan, Palestina, Singapura, USA, dan juga Indonesia.
Kepada mereka, Menag menegaskan bahwa umat Islam Indonesia adalah orang Indonesia yang beragama Islam dan bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia. “Kita berupaya betul meyakinkan kepada umat Islam Indonesia bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang sedang tinggal di Indonesia,” tegas Menag.
“Ini dua hal yang berbeda,” tambahnya didampingi Sekjen Kemenag Nur Syam, Pgs. Kepala Balitbang-Diklat, Kepala Pusat Informasi dan Humas, serta beberapa pejabat eselon II lainnya.
Menag menegaskan bahwa dalam kehidupan Islam di Indonesia, umat Islam senantiasa mengkaitkan antara Indonesia, Islam, dan kemodernan. “Kami di Indonesia itu sejak lama melalui tokoh-tokoh kami mencoba menerapkan paham keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Kita selalu mengkaitkan antara Islam, Indonesia, dan kemodernan,” katanya.
“Jadi, bagaimanapun keindonesian kita inilah yang perlu dikedepankan dalam kita menjalani kehidupan keagamaan kita, termasuk kehidupan keislaman kita dengan tetap bisa menyerap nilai-nilai modernitas itu,” tandasnya.
Indonesia Sebagai Model
Dalam kesempatan berdialog, Guy Taylor dari Washinton Time mengatakan bahwa Islam Indonesia yang moederat toleran harusnya bisa menjadi model kehidupan beragama di dunia. Tapi, Guy Taylor mempertanyakan kenapa pemberitaan di justru tentang Islam yang militan dan ekstrimis.
“Indonesia sebagai Negara muslim moderat, kenapa bukan ini yang muncul di internasional, justru berita-beritanya yang militan?” tanyanya.
Akan hal ini, Menag mengatakan bahwa Indonesia terus mensosialisasikan dan memperkenalkan bagaimana Islam yang rahmatan lil alamin bisa menjadi mainstrean dalam kehidupan antar kita, bahkan di dunia internasional. Menurutnya, banyak forum internasional yang sekarang mulai melihat Indonesia sebagai contoh bagaimana mengelola keragaman dengan penuh kedamaian dan harmoni.
“Karenanya, yang perlu ditekankan di sini, kasus-kasus di Timur Tengah misalnya yang selama ini menjadi kiblat dunia melihat Islam, harus mulai diubah. Jangan hanya Timur Tengah saja yang menjadi potret wajah Islam, tapi juga belahan timur di mana Indonesia bisa menjadi contoh sesungguhnya dalam melihat bagaimana nilai-nilai Islam itu bisa diterapkan dalam ikut menjadi perdamaian di dunia,” pungkas Menag. (mkd/mkd)
                                                                                      Statemen Menag di web resmi Kemenag
Pikiran saya pun melambung jauh tertuju pada satu karya tokoh intelektual Islam bernama Sayyid Quthb Rahimahullah yang berjudul “Ma’alim fi Thoriq” (Petunjuk Jalan, dalam edisi berbahasa Indonesia). Dalam satu Bab dibuku itu, Sayyid Quthb membahas seputar tema “Kewarganegaraan Seorang Muslim adalah Aqidah-nya” di situ Sayyid Quthb menjabarkan kebathilan segala macam ikatan yang bernada Nasionalisme seperti pan Arabisme dan seruan-seruan serupa.
Beliau Rahimahullah juga menganalisa fakta sejarah bahwa di awal kemunculan Rasulullah SAW, pertama kali hal yang didakwahkan adalah aqidah tauhid yang justru banyak mendapat penentangan dari bangsa Arab pada masa itu. Padahal jika Nabi SAW mengawali dakwahnya dengan seruan kebangsaan mungkin akan berbeda, pasalnya bangsa Arab ketika itu sangat gandrung dengan isu kesukuan dan kebangsaan, terlebih Nabi SAW berasal dari suku terpandang.
Sayyid Quthb memaparkan fakta sejarah bahwa Nabi SAW tidak melakukan seruan kebangsaan, seruan aqidah tauhid seberapapun tantangan yang menghadang dan resiko yang besar tetaplah menjadi pilihan. Allah SWT memerintahkan seruan aqidah tauhid dan memang inilah inti ajaran Islam dan karakteristikanya yang menghancurkan sekat-sekat jahiliyah termasuk sekat kesukuan, kebangsaan serta konsep kewarganegaraan primordial-primitif lainnya.
Sayyid Quthb mengatakan,”Kewarganegaraan yang dikehendaki oleh Islam untuk manusia (seluruhnya, pen.) adalah kewarganegaraan aqidah, dimana sama seorang Arab dengan seorang Romawi, seorang Parsi, setiap jenis dan warna (semuanya sama) di bawah panji-panji Allah. Dan inilah jalannya”
Penjelasan Sayyid Quthb ini juga dikuatkan dengan Sabda Rasulullah SAW yang mencela ashobiyah (fanatisme golongan/kesukuan/kebangsaan), beliau SAW bersabda, ”Bukanlah termasuk golongan umatku orang yang menyerukanashobiyah”.  Takdir Allah bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mengenal menjalin ukhuwah dan bukan untuk terkotak-kotak dalam bingkai kesukuan ataupun kebangsaan itu sendiri.
Islam memang lahir untuk mempersatukan manusia di bawah satu panji dengan aqidah sebagai ikatan yang utama. Menjadikan ikatan kebangsaan atau kenegaraan menjadi ikatan utama diatas ikatan aqidah maka itu menyalahi syariat Islam, terlebih terpecah-pecahnya dunia Islam menjadi negara-negara yang ada hari ini adalah ulah kaum imperialis yang tidak bisa dijadikan dasar ikatan untuk menandingi ikatan yang didasari wahyu.
“Dalam wacana ilmu politik modern pengertian ‘bangsa’ lebih bersifat imajinatif” (Benedict Anderson, 1999). Imajinatif karena kata bangsa tidak lagi sesuai dengan teori asalnya berdasarkan kesamaan ras, suku, budaya dan bahasa. Menilik penyebutan Indonesia sebagai bangsa, tentu jelas sangat imajinatif dan absurd, mengingat di dalam Indonesia justru terdapat banyak suku/ras/bangsa dan bahasa. Oleh karenanya kata “Indonesia” pun tidak bisa bermakna mewakili sebuah bangsa.

Dengan demikian “bagaimana ungkapan sang Mentri Agama di atas? Apa maknanya?” Silakan Anda menilai.  Setelah menilai dan merenung, jangan lupa tentukan pilihan apakah anda adalah “Orang Islam yang ditakdirkan tinggal di Indonesia” atau “Orang Indonesia yang Beragama Islam”.
Penulis: Usyaqul Hurr
Editor: Hamdan


Menag: 
Islam Ala Indonesia Bukan Islam yang Terlalu Hitam-Putih
KIBLAT.NET, Jakarta – Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin kembali menegaskan apa yang ia maksud sebagai Islam ala Indonesia atau Islam Nusantara.
“Islam Nusantara itu ialah Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang penuh dengan kedamaian, Islam yang bisa hidup di tengah keragamaan. Karena hakikatnya Indonesia adalah bangsa yang sangat besar dan penuh dengan keragaman,” jelas Lukman Hakim kepada Kiblat.net usaiacara Launching Musabaqah Kedubes Saudi di Hotel Raffles, Jakarta, tadi malam (11/02).
Menurut beliau, para pendahulu kita telah mewariskan ajaran Islam yang toleran dan rahmatan lil alamin. Sehingga, mampu melihat perbedaan itu sebagai keragaman yang variatif bukan yang kontradiktif.
“Saya lebih senang menyebut perbedaan sebagai keragaman. Itu adalah dalam rangka untuk saling melengkapi dan mengisi sehingga saling menyempurnakan kita manusia yang pada dasarnya terbatas,” tambahnya.
Lukman menambahkan, Islam ala Indonesia bukanlah Islam yang terlalu hitam-putih, yang mudah untuk menyalah-nyalahkan atau bahkan mengkafirkan.
“Karena beberapa negara sudah mulai ke arah sana sehingga di era globalisasi ini agar paham-paham seperti itu tidak terlalu mempengaruhi umat Islam Indonesia yang sesungguhnya mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu Islam Nusantara itu,” jelas Lukman.
Seperti diberitakan Kiblat.net sebelumnya, dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam ala Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (8/2/2015).


SELASA, 10 FEBRUARI 2015 | 02:14 WIB
Apa kata tokoh JIL/sepilis ( perusak agama) si azyumardi azra !!

Islam Indonesia Bukan Arab, Wanita Bisa Jadi Raja
[terkuak kedengkiannya terhadap bangsa Arab ]
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kasultanan Yogyakarta merupakan salah satu kasultanan Islam di Indonesia. Sesuai dengan tradisi kerajaan Islam yang berkembang di Nusantara, seorang perempuan bisa diangkat sebagai sultan. "Tak apa-apa sultan perempuan," kata cendekiawan muslim, Azyumardi Azra, seusai pembukaan Kongres Umat Islam VI di Yogyakarta, Senin, 7 Februari 2015.
Islam di Indonesia, menurut dia, adalah Islam yang rileks. Itu berbeda dengan Islam yang berkembang di Arab. Perbedaan corak Islam itu pun berdampak pada cara memandang raja perempuan. "Kalau di Arab, jangankan jadi raja, (perempuan) menyetir mobil saja tidak boleh," ujarnya.
Dia menuturkan kasultanan di Nusantara memiliki sejarah adanya sultan perempuan. Di Kasultanan Aceh pada abad ke-XVII, dia memberi contoh, ada tiga perempuan yang menjadi raja (sultonah). "Kita bukan di Arab," katanya.
Undang-Undang Keistimewaan DIY mengamanatkan gubernur merupakan Raja Keraton Yogyakarta yang bertahta, Sultan Hamengku Buwono. Ada indikasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 itu bahwa sultan harus seorang lelaki. Sepanjang sejarah kasultanan Yogyakarta, dari Hamengku Buwono I hingga X, sultan merupakan seorang lelaki.
Azyumardi menjelaskan, pada dasarnya, Islam Nusantara tak menghalangi seorang perempuan menjadi sultan. "(Kalau tidak bisa) mungkin karena aturan kerajaannya," katanya. Namun aturan itu bisa saja diubah.
 
Ketua Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin menuturkan keraton Yogyakarta merupakan salah satu kasultanan Islam di Indonesia. Bergelar Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah, sultan tak hanya merupakan pemimpin politik, tapi sekaligus pemimpin agama bagi rakyatnya. "Sultan gelarnya luar biasa," ujarnya.
Posisi sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin agama itu, menurut dia, tak hanya berlaku di Keraton Yogyakarta, tapi juga di hampir semua kasultanan di Indonesia. Dalam pembukaan Kongres yang berlangsung di Pagelaran Keraton Yogyakara itu, dihadiri pula oleh 42 kasultanan di Indonesia.

DALAM sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah versi Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (08/02/2015).
Para ilmuwan dari dalam dan luar negeri mengharapkan model Islam Indonesia.
Nah para ilmuwan itu bisa kasih apa di akherat nanti?
Bagaimana jika Islam yang diharapkan para ilmuwan itu berbeda dengan Islam yang diharapkan Allah?

sultan Palembang Tolak “Islam Indonesia” ala Menag

DALAM sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah versi Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (08/02/2015).
Namun pernyataan terkait “Islam yang Indonesia” ini ditolak oleh Sultan Palembang Iskandar Mahmud Badaruddin, saat memberi sambutan di kesempatan yang sama.
Menurutnya sebelum Indonesia berdiri, Kesultanan di Nusantara sudah memeluk Islam yang tidak dapat dibedakan antara satu sama lainnya.
“Kalau Bapak Menteri tadi bilang ada Islam ini dan itu, saya tidak sepakat, sebab Islam adalah rohmatan lil alamin dan hanya satu,” tegas Sultan.
Selain itu, Sultan Palembang menyatakan bahwa banyaknya krisis yang menimpa Indonesia disebabkan produk hukumnya masih menggunakan hukum Belanda yang notabene bertentangan dengan ajaran Islam.
“Ini produk hukum kafir,” tandasnya.
Sebagai Sultan dari Palembang yang memiliki akar keislaman yang kuat, Mahmud Badaruddin berharap agar dalam Kongres Umat Islam Indonesia ini hukum Islam dapat kembali dikuatkan sebagaimana pernah dicontohkan para Sultan Nusantara. [Eza/Islampos]

Ada Islam Arab Apalagi Islam Indonesia
FUI: Islam Bukan Produk Budaya, Tidak Ada Islam Arab Apalagi Islam Indonesia
KIBLAT.NET, Jakarta – Sekjen Forum Umat Islam, Ustadz Muhammad Al Khaththath menegaskan Islam yang perlu dianut umat Islam di dunia dan di Indonesia adalah Islam model Rasulullah SAW bukan Islam versi mana pun.
“Sebab Rasulullah SAW adalah satu-satunya model Islam. Tidak ada model lain, apalagi Islam model Indonesia,” katanya kepada Kiblat.net pada Selasa (10/2).
Menurut beliau, agama Islam bukan hasil buatan manusia, sehingga Islam tidak memiliki varian yang diukur dari nilai suatu daerah.
“Islam bukan produk budaya masyarakat atau bangsa tertentu. Jadi, tidak ada Islam model Arab Saudi atau model Islam Indonesia,” ucap Ustadz Khaththath.
Apalagi, lanjutnya, sewaktu ajaran Islam diturunkan belum ada negara-negara bangsa seperti Arab Saudi ataupun Indonesia.
“Islam adalah risalah yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad pada 15 abad lalu, sedangkan Arab Saudi dan Indonesia baru ada pada abad 20 kemarin,” tutur Ustadz Khaththath.
Ia menambahkan, dalam firman Allah pada QS Al-Ahzab: 21 diterangkan bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan teladan yang baik bagi seluruh manusia.
Laqad kaanaa lakum fi rasulullahi uswatun hasanah. Sungguh dalam diri Rasulullah SAW ada model teladan yang baik dan wajib diikuti oleh setiap Muslim dimanapun dan kapanpun,” tandasnya.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (8/2/2015).

Reporter: Bilal Muhammad

Editor: Fajar Shadiq

Syarif Baraja: Islam Ala Indonesia Berarti Bukan Islam Ala Sahabat Nabi SAW

KIBLAT.NET, Jakarta – Dai muda dan Motivator ‘Sholat For Success’, Ustadz Syarif Baraja menolak pandangan Menteri Agama yang meminta agar Islam moderat atau Islam ala Indonesia dikembangkan. Menag beralasan, model Islam ala Indonesia menjadi harapan para ilmuwan di dalam dan di luar negeri.
“Islam ala Indonesia itu berarti bukan Islam ala Sahabat Nabi shalallahu alaihi wassalam,” katanya menanggapi pertanyaan dari pertemanan Facebooknya, pada Senin (9/2).
Menurut da’i muda yang memiliki 30 ribu follower twitter ini, para ilmuwan bukanlah standar kebenaran untuk menentukan Islam mana yang cocok diterapkan oleh umat Islam baik di Indonesia ataupun di luar negeri.
“Para ilmuwan itu bisa kasih apa di akhirat nanti? Bagaimana jika Islam yang diharapkan para ilmuwan itu berbeda dengan Islam yang diharapkan oleh Allah?” tanyanya retoris.
Seperti diketahui, dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukman Hakim menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Lukman pada Ahad lalu (08/02).
Reporter: Bilal