Thursday, August 14, 2014

Pandangan Imam Asy Syafi’i Terhadap Syi’ah Rafidhah

Pandangan Imam Asy Syafi’i Terhadap Syi’ah Rafidhah

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
أَفْضَلُ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ
“Manusia paling mulia setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali” (Ma’rifat Sunan wal Atsar, karya Imam Baihaqi 1/192)
Inilah akidah Imam Asy Syafi’i rahimahullah. Adapun orang-orang Syi’ah, mereka malah mengkafirkan tiga sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang paling mulia tersebut. Sedangkan terhadap Ali radhiallahu’anhu, mereka terlalu berlebihan dalam mengagungkannya.
Merekalah yang sepantasnya dijuluki orang-orang ekstrem, karena mereka ekstrem dalam mengagungkan Ali radhiallahu’anhu, dan juga ekstrem dalam menghina dan merendahkan banyak sahabat Nabi lainnya.
Simaklah percakapan Imam Asy Syafi’i dengan murid seniornya, Al Buwaithi:
البويطي يقول: سألت الشافعي: أصلي خلف الرافضي؟ قال: لا تصل خلف الرافضي، ولا القدري، ولا المرجئ. قلت: صفهم لنا. قال: من قال: الإيمان قول، فهو مرجئ، ومن قال: إن أبا بكر وعمر ليسا بإمامين، فهو رافضي، ومن جعل المشيئة إلى نفسه، فهو قدري
Albuwaithi: “Aku pernah bertanya kepada Imam Asy Syafi’i, apakah boleh aku shalat di belakang orang berpaham (syi’ah) rafidhah?”
Imam Asy Syafi’i menjawab: “Janganlah shalat di belakang orang yang berpaham Syi’ah Rafidhah, atau orang berpaham Qadariyah, atau orang berpaham Murji’ah!”.
Al Buwaithi mengatakan: “Sebutkanlah sifat mereka kepada kami!”
Imam Syafi’i menjawab: “Barangsiapa mengatakan bahwa iman itu perkataan saja, maka ia seorang Murji’ah. Barangsiapa mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bukan imam, maka ia seorang Syiah Rafidhah. Barangsiapa menjadikan kehendak untuk dirinya, maka ia seorang Qadariyah”
(Siyaru A’lamin Nubala, karya Imam Dzahabi 10/31).
Subhanallah… shalat di belakang seorang Syiah Rafidhah saja dilarang oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, lalu bagaimana kita boleh toleran dengan pemahaman mereka?! Semoga Allah menyelamatkan kita dan masyarakat kita dari sesatnya pemahaman syiah ini, aamiin.

Yunus bin Abdul A’la murid senior Imam Asy  Syafi’i mengatakan: Aku pernah mendengar Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
أجيز شهادة أهل الأهواء كلهم إلا الرافضة, فإنهم يشهد بعضهم لبعض
“Aku membolehkan persaksiannya semua ahli bid’ah, kecuali Syi’ah Rafidhah, karena mereka itu saling memberi ‘kesaksian baik’ antara satu dengan lainnya” (Manaqib Syafi’i, karya Imam Baihaqi 1/468).
Lihatlah bagaimana kerasnya sikap Imam Asy Syafi’i rahimahullah kepada pemeluk Syiah Rafidhah. Sehingga apabila ada pengikut beliau masih toleran kepada mereka, maka sungguh perlu dipertanyakan pengakuannya sebagai pengikut Madzhab Syafi’i?!
Yunus bin Abdul A’la juga mengatakan:
سمعت الشافعي إذا ذكر الرافضة عابهم أشد العيب, فيقول: شر عصابة
Aku pernah mendengar Imam Syafi’i, bila menyebut kelompok Syiah Rafidhah, beliau mencela mereka dengan celaan yang paling buruk, lalu beliau mengatakan: “mereka itu komplotan yang paling jahat!” (Manaqib Syafi’i, karya Imam Baihaqi 1/468)
Alhamdulillah… Imam Asy Syafi’i rahimahullah, yang merupakan imamnya Ahlussunnah wal jamaah telah memberikan contoh kepada kita, bagaimana harus menyikapi ‘komplotan’ Syiah Rafidhah. Beliau tidaklah mencela mereka dengan celaan paling buruk, kecuali karena beliau tahu dan yakin akan kebusukan dan bahaya laten yang mereka usung.
Sehingga harusnya kita mengikuti jejak Imam Asy Syafi’i ini dengan menolak dan melawan gerakan mereka, jangan sampai kita terkecoh oleh mulut manis mereka, yang mengatakan: “Kita kan sama-sama Islam, sama-sama sholat, sama-sama berhaji ke baitulloh, sama-sama…, sama-sama… dst“.
Padahal kita telah tahu, semua persamaan tersebut tidaklah cukup, bukankah kaum munafikin juga punya persamaan-persamaan itu? Namun tetap saja mereka berada di kerak neraka yang paling dalam. 
Selama mereka (Rafidhah) menodai Al Qur’an, mencela para sahabat Nabi, dan merendahkan kemuliaan ibunda kita kaum mukminin, pantaskah kita toleran terhadap mereka?!
Penulis: Ustadz Musyafa Ad Dariny
Artikel Muslim.Or.Id

Syi’ah Rafidhah Menurut Imam Asy-Syafi’i


Sebelum mendengarkan perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullahtentang kelompok Syi’ahRafidhah, saya ingin menyebutkan biografi beliau rahimahullahsecara ringkas.

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Muthallib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib, Abu ‘Abdillah Al-Qurasyi Asy-Syafi’I Al-Makki.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

“Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu adalah seorangQurasyi Muthallibi berdasarkan kesepakatan para ulama dari seluruh kelompok, sedangkan ibunya berasal dari Azdiyah” [Siyar A’lamin Nubala’5/10]

Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bahwa suatu hari As-Saib bin’Ubaid bersama anaknya –Syafi’ bin As-Saib- datang menemui beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi menatapnya lalu bersabda:

من سعادة المرء أن يشبه أباه

“Diantara kebahagiaan seseorang adalah memiliki kemiripan dengan ayahnya.”[Al-Ishabah 2/11][1]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bergelar (laqab)Nashirul Hadits karena kegigihan beliau dalam mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pembelaan beliau terhadap hadits-hadits Rasulullah.

Beliau lahir pada tahun 150 H bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifahrahimahullah. Sedangkan riwayat yang menyebutkan tempat kelahiran beliau berlainan, ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau dilahirkan di Ghaza, dalam riwayat lain di ‘Asqalan dan dalam riwayat yang lain di Yaman.
Dari Ibnu Abi Hatim, dari ‘Amr bin Sawad, ia bekata: Asy-Syafi’i berkata padaku: “Aku dilahirkan di ‘Asqalan, setelah aku berumur dua tahun, ibu membawaku ke Mekah.”[Adab Asy-Syafi’i 22-23]

Al-Baihaqi rahimahullah menyebutkan dengan sanadnya dari Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Hakam, ia berkata: Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata: “Aku dilahirkan di Ghaza lalu ibu membawaku ke ‘Asqalan”[Manaqib As-Syafi’i2/170]

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

“Tidak ada perselisihan diantara riwayat yang ada, karena Ghaza pada asalnya dahulu berada di wilayah ‘Asqalan yakni nama sebuah kota. Perkataan Asy-Syafi’i bahwa beliau dilahirkan diGhaza yakni desa kelahiran beliau, dan perkataan Asy-Syafi’i ‘Asqalan maknanya adalah kota kelahiran beliau. Untuk menjama’ riwayat yang ada, maka dikatakan bahwa beliau dilahirkan di desa Ghaza, di kota ‘Asqalan. Ketika Asy-Syafi’i berumur dua tahun, ibunya membawanya ke Hijaz...dan ketika Asy-Syafi’i berumur 10 tahun, terbetik kekhawatiran  jika nasab beliau yang mulia akan disia-siakan dan terlupakan, maka ibunya membawanya ke Mekah.”[Tawaali At-Ta’siis 51-52]

Diantara guru-guru beliau adalah Muslim bin Khalid Az-Zanji, Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibrahim bin Sa’d bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’id bin Salim Al-Qaddah, ‘Abdulah Wahhab Ats-Tsaqafi, Hatim bin Isma’il, Muhammad bin Khalid Al-Jundi, Hisyam bin Yusuf Ash-Shan’ani, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani rahimahumullah, dll.

Diantara murid-murid beliau yang terkenal adalah Ar-Rabi’ bin Sulaiman, Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Khizami, Ibrahim bin Khalid, Sulaiman bin Dawud rahimahumullah, dll.
Adapun perkataan Imam Asy-Syafi’irahimahullah yang mengandung celaan terhadap Syi’ah Rafidhah begitu banyak, diantaranya adalah:

[Pertama] Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: 

أجيز شهادة أهل الأهوى كلهم إلا الرافضة فإنهم يشهد بعضهم على لبعض

“Aku memperbolehkan syahadah (persaksian) seluruh Ahlul Bid’ah kecuali Rafidhah, karena mereka sering (berdusta) dalam memberikansyahadah satu sama lain.”[Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Manaqib 1/468 dan As-Sunan Al-Kubra 29/10]

[Kedua] Harmalah berkata: “Ketika disebutkan di hadapan Asy-Syafi’i tentang Rafidhah maka ia mencela mereka dengan celaan yang sangat keras, lalu Asy-Syafi’i berkata: 

شر العصابة

“Seburuk-buruk kaum”.[Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Manaqib 1/468]

[Ketiga] Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

لم أر أحدا أشهد بالزور من الرافضة

“Aku belum pernah melihat suatu kaum yang lebih dusta dalam syahadah (persaksian) dariRafidhah.”[Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalamAs-Sunan Al-Kubra 29/10]

[Keempat] Beliau juga pernah berkata:

ما كلمت رجلا في بدعة قط إلا كان يتشيع

“Aku tidak pernah berbicara kepada seorang pun yang terjatuh dalam bid’ah kecuali karena ia beraqidah Syi’ah.”[Adab Asy-Syafi’i 186 dan As-Sunan Al-Kubra 10/208]

[Kelima] As-Subki rahimahullah berkata: Asy-Syafi’i berkata tentang Rafidhah yang hadir dalam peperangan: “Mereka (Rafidhah) tidak diberikan bagian dari Fai’[2] sedikitpun. Karena Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَان

Dan orang-orang yang datang setelah mereka berkata, Wahai Rabb kami ampunilah dosa-dosa kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman[3]. Barangsiapa yang tidak meyakini ayat tersebut, maka ia tidak memperoleh hak sedikitpun dari hartafai’.”[Tafsir Al-Qurthubi 18/32]

Allahua’lam

Disarikan oleh Abul-Harits dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-‘Aqilhafidzahullah (Guru Besar di Fakultas Dakwah, Universitas Islam Madinah)


[1][1] Syaikh Al-Albani rahimahullah mendha’ifkan hadits ini dalam Dha’iful Jami’ hadits no 5301
[2] Harta rampasan perang yang didapatkan tanpa melaui peperangan
[3] Al-Hasyr ayat 10
Posted by Abul-Harits at 2:08 PM 




Mengapa Abu Hurairah Lebih Banyak Meriwayatkan Hadits daripada ‘Aliy ?

Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 20.48 
Label: Syi'ah
Raafidliy : Abu Hurairah ini penipu dan pendusta. Bagaimana bisa ia meriwayatkan hadits dalam kitab hadits Sunni lebih banyak daripada ‘Aliy bin Abi Thaalib yang notabene termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam dan Ahlul-Bait Nabi, sedangkan keislaman Abu Hurairah – seandainya ia dianggap benar-benar masuk Islam – di masa belakangan tahun ke-7 hijriah ?.

Sunniy : Celaan yang Anda ucapkan kepada Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu sudah masyhur sejak jaman purba. Bahkan, bukan hanya Abu Hurairah, hampir seluruh shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun didustakan dan dikafirkan. Dan bukan Raafidlah namanya jika tidak mencela (dan mengkafirkan) para shahabat. Apapun celaaan Anda – dengan memang itulah tabiat Anda -, Allah ta’ala telah berfirman tentang mereka (termasuk di antaranya Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu) :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Fath : 29].
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bukanlah pendusta seperti yang Anda katakan. Ia orang yang amanah dalam meriwayatkan hadits, bahkan terkenal karenanya.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَالَ فِي شَيْءٍ بِرَأْيِهِ قَالَ: هَذَا مِنْ كَيْسِي
“Dan dari Abu Hurairah, bahwasannya ia apabila berkata tentang sesuatu dengan pendapat pribadinya, maka ia berkata : ‘Ini berasal dari pendapatku semata” [Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadllihi, hal. 851 no. 1607].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ أَفْضَلَ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ "، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: تَقُولُ امْرَأَتُكَ أَطْعِمْنِي وَإِلا فَطَلِّقْنِي، وَيَقُولُ: خَادِمُكَ أَطْعِمْنِي وَإِلا فَبِعْنِي، وَيَقُولُ: وَلَدُكَ إِلَى مَنْ تَكِلُنِي؟ قَالُوا: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ هَذَا شَيْءٌ تَقُولُهُ مِنْ رَأْيِكَ أَوْ مِنْ قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لا، بَلْ هَذَا مِنْ كَيْسِي، أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيحِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الأَعْمَشِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya shadaqah yang paling utama adalah yang masih menyisakan kecukupan, dan tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Mulailah dengan orang-orang yang ada dalam tanggunganmu”. Abu Hurairahradliyallaahu ‘anhu berkata : “Istrimu berkata : ‘Berilah aku makan, atau kalau tidak, ceraikanlah aku’. Pembantumu berkata : ‘Berilah aku makan, atau jika tidak, bebaskanlah aku’. Anakmu berkata : ‘Kepada siapa engkau menyerahkanku ?”. Mereka bertanya : “Wahai Abu Hurairah, apakah ini sesuatu yang engkau katakan menurut pendapatmu, ataukah berasal dari sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Tidak, bahkan ini berasal dari pendapatku semata” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 7/471; sanadnya shahih].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ قَالَ: " كُنْتُ حَدَّثْتُكُمْ أَنَّ مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا فَقَدْ أَفْطَرَ، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْ كِيسِ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَمَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا فَلا يُفْطِرْ "
Dari Abu Hurairah, bahwasannya ia berkata : “Aku dulu pernah mengatakan kepada kalian barangsiapa yang berada di waktu shubuh dalam keadaan junub, ia telah batal puasanya. Maka itu hanyalah berasal dari pendapat Abu Hurairah. (Yang benar), barangsiapa berada di waktu Shubuh dalam keadaan junub, maka tidak batal puasanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 22/44 dan Al-Khathiib dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih, 2/200; sanadnya hasan].
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu banyak adalah fakta, baik Anda senang maupun resah.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: " يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْتَ كُنْتَ أَلْزَمَنَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَحْفَظَنَا لِحَدِيثِهِ "
Dari Ibnu ‘Umar, bahwasannya ia pernah berkata kepada Abu Hurairah : “Wahai Abu Hurairah, engkau adalah orang yang paling sering mendampingi (bersama) Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dan paling hapal hadits beliau di antara kami” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3836, Ahmad 2/2, ‘Abdurrazzaq no. 6270, dan yang lainnya; shahih].
Dari riwayat di atas kita mengetahui salah satu sebab mengapa Abu Hurairahradliyallaahu ‘anhu banyak meriwayatkan lagi hapal hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[1] Selain itu, Abu Hurairah juga sering membuka halaqah-halaqah penyampaian hadits sebagaimana diterangkan para ulama, di antaranya tergambar dalam riwayat :
عَنْ عَاصِم بْن مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " رَأَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَخْرُجُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَيَقْبِضُ عَلَى رُمَّانَتَيِ الْمِنْبَرِ قَائِمًا، وَيَقُولُ: حَدَّثَنَا أَبُو الْقَاسِمِ رَسُولُ اللَّهِ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَلا يَزَالُ يُحَدِّثُ حَتَّى إِذَا سَمِعَ فَتْحَ بَابِ الْمَقْصُورَةِ لِخُرُوجِ الإِمَامِ لِلصَّلاةِ جَلَسَ ".
Dari 'Aashim bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata : “Aku melihat Abu Hurairahradliyallaahu ‘anhu keluar pada hari Jum’at, lalu ia menggenggam dua pegangan mimbar sambil berdiri. Ia berkata : ‘Telah menceritakan kepada kami Abul-Qaasim Rasulullah Ash-Shaadiqul-Mashduuq shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam’. Ia terus menceritakan hadits hingga apabila mendengar dibukanya pintu kamar untuk keluarnya imam, ia pun duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 3/512, dan ia berkata : “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya”].
Oleh karenanya, banyak di antara shahabat dan taabi’iin yang meriwayatkan hadits darinya sehingga haditsnya menyebar.
‘Aliy bin Abi Thaalib, sebagaimana juga Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang lain, bukannya tidak mempunyai banyak hadits. Bahkan sangat mungkin mereka mempunyai hadits lebih banyak dibandingkan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu – mengingat masa hidup mereka bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih lama. Akan tetapi mereka telah disibukkkan mengurus pemerintahan, memobilisasi jihad, dan yang lainnya dari perkara umat, sehingga tidak mempunyai keluasaan waktu membuka majelis-majelis penyampaian hadits dibandingkan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhudan sebagian shahabat lainnya yang mempunyai hadits lebih banyak. Namun, apa yang telah disampaikan para shahabat secara umum telah mencakup apa yang ada dalam diri Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum, karena Allahta’ala berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [QS. Al-Hijri ; 9].
Tidak ada syari’at Allah yang hilang hanya karena hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada Al-Khulafaaur-Raasyidiin tidak sampai kepada kita.
Jika Anda tetap menuduh Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu telah berdusta dengan memakai referensi Ahlus-Sunnah dan ‘cara pandang’ Ahlus-Sunnah (sebagaimana di atas), maka sebenarnya Anda telah melewatkan satu pertanyaan mendasar sebelum mempertanyakan hal yang sama pada Abu Hurairah. Jika Anda memakai referensi Ahlus-Sunnah, mengapa Anda tidak mempertanyakan ‘Aliy bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu mempunyai sedikit riwayat yang sampai pada kita ?. Seandainya kita sepakat bahwa ‘Aliy mempunyai banyak riwayat dan Anda tidak sependapat dengan alasan yang dikemukakan di atas, mengapa Anda tidak kritis pada ‘Aliy – sebagaimana Anda begitu kritis pada Abu Hurairah – telah menyembunyikan ilmu ?.  Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ * إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 159-160].
Ketika Anda membuka peluang bagi Abu Hurairah untuk berdusta, maka Anda pun membuka peluang yang sama untuk mengatakan ‘Aliy telah menyembunyikan ilmu. Kedua-duanya adalah perilaku yang buruk.
Jika Anda mengatakan ‘Aliy tidak menyembunyikan ilmu, namun para shahabat dantaabi’iin yang jumlahnya ribuan dan menduduki mayoritas umat Islam waktu itu telah sepakat membuang hadits ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu kecuali sedikit, maka inilah omong kosong, tidak ada buktinya sama sekali. Mustahil dinalar oleh orang yang masih mempunyai tabungan akal sehat. Seandainya ada dan shahih, hadits ‘Aliy pasti sudah tersampaikan melalui lisan orang-orang terpercaya sejamannya dan sampai pada kita. Yang tidak ada tidak perlu direkayasa menjadi ada.
Ini dengan catatan : Anda melempar tuduhan Abu Hurairah berdusta itu dengan memakai referensi Ahlus-Sunnah. Jika tidak, maka Anda pun tidak perlu repot-repot berhujjah dengan referensi Ahlus-Sunnah untuk menjatuhkan Abu Hurairahradliyallaahu ‘anhu, karena dasar Anda mengatakan hadits Abu Hurairah lebih banyak dari ‘Aliy telah Anda gugurkan sendiri.
Sebenarnya Anda cukup bilang untuk mendasarkan tuduhan Anda kepada Abu Hurairah : “Kata Khomeini begini...., kata Al-Majlisiy begitu,... dan seterusnya. Atau,... menurut riwayat dalam Al-Kaafiy .......”.
Beres !.
Kami tak perlu berpayah-payah karena cukup satu kata untuk meresponnya : “Dusta”. Orang-orang dan kitab yang Anda sebut adalah orang dan kitab yang kami (kaum muslimin/Ahlus-Sunnah) tak akan menengoknya sedikitpun untuk membangun agama kami.
Dan Anda pun sebenarnya tidak perlu berpayah-payah mendompleng kitab Ahlus-Sunnah, karena PR Anda masih sangat banyak. Banyak perawi Syi’ah yang mempunyai kekuatan super dalam periwayatan dibandingkan Abu Hurairah atau shahabat lainnya. Misalnya Jaabir Al-Ju’fiy – salah seorang perawi Syi’ah – berkata :
حدثني أبو جعفر عليه السلام بسبعين ألف حديث لم أحدثها أحدا قط ، ولا أحدث بها أحدا أبدا
Telah menceritakan kepadaku Abu Ja’far ‘alaihis-salaam 70.000 (tujuhpuluh ribu) hadits yang belum aku pernah ceritakan kepada seorangpun, dan akupun tidak akan menceritakan hadits itu kepada seorang pun selamanya” [sumber :http://www.mezan.net/mawsouat/baker/jofi.html].
Super bukan jumlahnya ?. Sudah begitu, disembunyikan pula olehnya. Semoga Anda bisa menemukan mana saja hadits Jaabir Al-Ju’fiy yang disembunyikan itu, karena mungkin saja hadits yang disembunyikan itu menyebabkan agama Anda (Syi’ah) menjadi kurang dan hasilnya sebagaimana kita lihat sekarang, kacau balau.[2]
Lalu, bandingkan dengan Abu Hurairah yang jumlah haditsnya tidak lebih dari 2000 buah menurut penelitian muhaqqiqiin.[3]
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 19081434/28062013 – 20.00].



[1]      Silakan baca artikel : Hapalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
Meskipun demikian, kita (kaum muslimin/Ahlus-Sunnah) tidak pernah menyucikan Abu Hurairahradliyallaahu ‘anhu dari kesalahan dan lupa, karena orang setingkat Nabi pun pernah salah dan lupa sehingga Allah ta’ala mengingatkan dan/atau menegurnya.
[2]      Baca artikel :
[3]      Dr. Dliyaaurrahmaan Al-A’dhamiy telah melakukan penelitian ulang terhadap musnad Abu Hurairah yang diambil dari Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan ditambah dengan riwayat dalam al-kutubus-sittah, dengan menyatakan bahwa jumlah hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berjumlah 1336 buah. Kemudian ia berkata : “Benar bahwa ada sejumlah riwayat lain (yang diriwayatkan Abu Hurairah) di dalam kitab Al-Mustadrak milik Al-Haakim, Sunan Al-Baihaqiy, Sunan Ad-Daaruquthniy, Mushannaf ‘Abdirrazzaq, dan kitab-kitab hadits yang lain. Namun saya berani memastikan bahwa riwayat-riwayat tersebut tidak mencapai jumlah yang disebutkan oleh para ulama. Bahkan menurut dugaan kuat, tidak mencapai 2000 hadits” [Abu Hurairah fii Dlau’i Marwiyyatihi oleh Dr. Dliyaaurrahmaan Al-A’dhamiy, hal. 76].
Berbeda halnya dengan beberapa pernyataan ulama mutaqaddimiin – misalnya Ibnu Hazm – yang menyatakan jumlah hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu sebanyak 5374 buah.Wallaahu a’lam.


Pernikahan ‘Umar bin Al-Khaththaab dengan Ummu Kultsum binti ‘Aliy – Dalil Bolehnya Wanita Mukmin Menikah dengan Laki-Laki Kafir ?

Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 08.39 
Label: Syi'ah
Mengenai pernikahan ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu dengan Ummu Kultsum rahimahallaah, ada beberapa sumber/keterangan yang menyebutkannya.
Sumber Ahlus-Sunnah :
Beberapa hadits dengan sanad shahih, diantaranya adalah :
Pertama :
حدثنا عبدان: أخبرنا عبد الله: أخبرنا يونس، عن ابن شهاب: قال ثعلبة بن أبي مالك: إن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قسم مروطا بين نساء من نساء المدينة، فبقي مرط جيد، فقال له بعض من عنده: يا أمير المؤمنين، أعط هذا ابنة رسول الله صلى الله عليه وسلم التي عندك، يريدون أم كلثوم بنت علي، فقال عمر: أم سليط أحق. وأم سليط من نساء الأنصار، ممن بايع رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال عمر: فإنها كانت تزفر لنا القرب يوم أحد.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdaan : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah : Telah mengkhabarkan kepada kami Yunus, dari Ibnu Syihaab : Telah berkata Tsa’labah bin Abi Maalik : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththabradliyallaahu ‘anhu pernah membagi beberapa pakaian kepada beberapa wanita Madinah. Dan ada satu pakaian yang bagus tersisa. Berkata sebagian orang yang bersama beliau : “Wahai Amiirul-Mukminiin, berikanlah pakaian ini kepada putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi istrimu – yang dimaksudkan adalah Ummu Kultsum binti ‘Ali”. ‘Umar berkata : Ummu Saliith lebih berhak, dan ia adalah seorang wanita Anshaar yang berbaiat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. ‘Umar menambahkan : “Dia telah membawakankan geriba (kantong air) kepada kami sewaktu perang Uhud” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 2881].
Riwayat ini shahih tanpa ada keraguan sedikitpun,[1] walau sebagian kalangan Syi’ah membuat-buat dalih untuk menolak riwayat ini.[2]
Kedua :
أخبرنا أبو عبد الله محمد بن يعقوب وأبو يحيى أحمد بن محمد السمرقندي قالا ثنا محمد بن نصر الإمام ثنا يحيى بن يحيى أنبأ عبد العزيز بن محمد عن جعفر بن محمد عن أبيه أن أم كلثوم بنت علي رضى الله تعالى عنهما توفيت هي وابنها زيد بن عمر بن الخطاب في يوم فلم يدر أيهما مات قبل.....
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ya’quub dan Abu Yahyaa Ahmad bin Muhammad As-Samarqandiy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Nashr Al-Imaam : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya : Telah memberitakan ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad bin Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya : “Bahwasannya Ummu Kultsum binti ’Aliy radliyallaahu ta’ala ‘anhuma wafat pada hari yang sama dengan anaknya yang bernama Zaid bin ‘Umar bin Al-Khaththaab. Tidak diketahui siapa di antara keduanya yang lebih dahulu wafat…” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/345-346, dan ia berkata : “Sanad hadits ini adalah shahih”. Disepakati oleh Adz-Dzahabiy. Dishahihkan pula oleh Al-Albaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 6/154].
Secara jelas disebutkan dalam hadits bahwa Zaid bin ‘Umar bin Al-Khaththaab adalah anak dari Ummu Kultsum binti ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum.[3]
Ketiga :
أخبرنا أبو سعد الماليني أنبأ أبو أحمد بن عدي الحافظ ثنا محمد بن داود بن دينار ثنا قتيبة بن سعيد ثنا عبد الله بن زيد بن أسلم مولى عمر بن الخطاب عن أبيه زيد بن أسلم عن أبيه أن عمر بن الخطاب رضى الله تعالى عنه أصدق أم كلثوم بنت علي رضى الله تعالى عنه أربعين ألف درهم
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’d Al-Maaliniy : Telah memberitakan kepada kami Abu Ahmad bin ‘Adiy Al-Haafidh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Dawud bin Diinaar : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Zaid bin Aslam Maula ‘Umar bin Al-Khaththaab, dari ayahnya (yaitu) Zaid bin Aslaam, dari ayahnya : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ta’ala ‘anhu telah memberikan mahar kepada Ummu Kultsum binti ‘Aliy radliyallaahu ta’ala ‘anhusebesar 40.000 dirham” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 7/233].
Keempat :
أخبرنا محمد بن رافع قال أنبأنا عبد الرزاق قال أنبأنا بن جريج قال سمعت نافعا يزعم : أن بن عمر صلى على تسع جنائز جميعا فجعل الرجال يلون الإمام والنساء يلين القبلة فصفهن صفا واحدا ووضعت جنازة أم كلثوم بنت علي امرأة عمر بن الخطاب وبن لها يقال له زيد وضعا جميعا والإمام يومئذ سعيد بن العاص وفي الناس بن عمر وأبو هريرة وأبو سعيد وأبو قتادة فوضع الغلام مما يلي الإمام فقال رجل فأنكرت ذلك فنظرت إلى بن عباس وأبي هريرة وأبي سعيد وأبي قتادة فقلت ما هذا قالوا هي السنة
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Raafi’, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Abdurrazzaq, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar Naafi’ berkata : “Bahwasannya Ibnu ‘Umar menyalatkan sembilan jenazah secara bersamaan. Jenazah laki-laki ditempatkan di dekat imam dan jenazah wanita ditempatkan di dekat arah kiblat. Masing-masing diletakkan dalam satu barisan, dimana jenazah Ummu Kultsum binti ‘Aliy – istri ‘Umar bin Al-Khaththaab – dan anaknya yang bernama Zaid, diletakkan sekaligus. Imam shalat pada waktu itu adalah Sa’iid bin Al-‘Aash. Dan di antara jama’ah tersebut terdapat Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Abu Sa’iid, dan Abu Qatadah. Lalu jenazah seorang anak laki-laki diletakkan di dekat imam. Ada seseorang yang berkata : Maka aku hal itu dan aku melihat ke arah Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’iid, dan Abu Qatadah, seraya kukatakan : ‘Mengapa demikian ?’. Mereka menjawab : ‘Yang demikian adalah sunnah” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy no. 1978. Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaq 3/465/6337, Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa no. 267-268, Ad-Daruquthniy no. 194, dan Al-Baihaqiy 4/33 – dengan sanad shahih].
Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata saat menyebutkan anak-anak perempuan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu :
وأما ((أم كلثوم الكبرى)) وهي بنت فاطمة؛ فكانت عند : عمر ابن الخطاب. وولدت له أولادًا قد ذكرناهم. فلما قُتل ((عمر)) تزوّجها ((عون بن جعفر ابن أبي طالب)) فماتت عنده.
“Adapun Ummu Kultsuum Al-Kubraa, ia adalah anak dari Faathimah, istri dari ‘Umar bin Al-Khaththaab. Ia melahirkan beberapa orang anak yang telah kami sebutkan sebelumnya. Ketika ‘Umar dibunuh (wafat), maka ia dinikahi oleh ‘Aun bin Ja’far bin Abi Thaalib, dan kemudian meninggal di sisinya” [Al-Ma’aarif, hal. 211; Daarul-Ma’aarif, Cet. 2].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقال بن وهبٍ عن عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه عن جده: تزوج عمر أم كلثوم على مهر أربعين ألفاً وقال الزبير: ولدت لعمر ابنيه: زيداً ورقية وماتت أم كلثوم وولدها في يوم واحد …
“Telah berkata Ibnu Wahb, dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya : ‘Umar menikahi Ummu Kultsum dengan mahar sebesar 40.000 (dirham). Telah berkata Az-Zubair : Melahirkan dua orang anak dari ‘Umar, yaitu Zaid dan Ruqayyah. Ummu Kultsum wafat bersama anaknya (Zaid) pada hari yang sama….” [Al-Ishaabah, 8/275 no. 1473; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut].
Selain sumber referensi dari Ahlus-Sunnah, beberapa sumber referensi mu’tamadkaum Syi’ah pun menyebutkan fakta ini, diantaranya :
Sumber Syi’ah :
Beberapa hadits/riwayat yang sampai kepada imam Syi’ah dengan sanad shahih, diantaranya :
Pertama :
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام بن سالم، وحماد، عن زرارة، عن أبي عبد الله (عليه السلام) في تزويج أم كلثوم فقال: إن ذلك فرج غصبناه.
‘Ali bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi ‘Umair, dari Hisyaam bin Saalim, dari Hammaad, dari Zuraarah, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) saat berkomentar tentang pernikahan Ummu Kultsuum (dengan ‘Umar) : “Sesungguhnya itu adalah ‘kemaluan’[4] yang dirampas dari kami” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Furuu’ Al-Kaafiy 5/347; Daarul-Adlwaa’, Beirut].
Riwayat-riwayat yang berasal dari ‘Ali bin Ibraahiim ini dinilai shahih oleh Al-Khomainiy dalam Al-Hukumatul-Islamiyyah hal. 133.
‘Ali bin Ibraahiim ini dinilai : tsiqatun fil-hadiits, dlaabith, mu’tamad, shahiihul-madzhab. [Jami’ur-Ruwaat, 1/545].
‘Ali bin Ibraahim meriwayatkan hadits dari ayahnya yang bernama Ibraahim bin Haasyim Al-Qummiy, seorang yang dianggap tsiqah dalam periwayatan [lihatJami’ur-Ruwaat 1/38 dan Mu’jamuts-Tsiqaat hal. 5].
Ibnu Abi ‘Umair, ia bernama Muhammad bin Abi ‘Umair; seseorang yang menduduki tingkat tertinggi dalam periwayatan kaum Syi’ah. Abu Ja’fat Ath-Thuusiy berkata tentang dirinya : “Ia adalah manusia yang paling tsiqah(autsaqun-naas)”. Dan yang lebih penting lagi, ia termasuk golongan Ashhaabul-Ijma’. Maksudnya, apabila ada seorang perawi yang termasuk dalam golongan ini, maka rantai periwayatannya sampai kepada imam adalah shahih [lihat perincian masalah ini dalam kitab Miqbasul-Hidayah fii ‘Ilmid-Diraayah oleh Al-Mamaqani, 2/171-208].
Kesimpulan : Riwayat di atas adalah shahih menurut standar penilaian periwayatan kaum Syi’ah.
Mirip riwayat di atas, website Syiah (Al-Shia.com) juga membawakan riwayat dalam Al-Kaafiy sebagai berikut :
أم كلثوم هذه هى بنت أمير المؤمنين عليه السلام قد خطبها اليه عمر في زمن خلافته فرده أولا فقال عمر ما قال وفعل مافعل
“Ummu Kultsum yang merupakan anak perempuan Amiirul-Mukminiin ‘alaihis-salaam; dimana ‘Umar pernah melamarnya kepada ‘Ali di jaman kekhalifahannya (‘Umar). Pada awalnya ‘Ali menolaknya, namun kemudian ‘Umar mengatakan apa ia katakan dan melakukan apa yang ia lakukan (yaitu menikahi Ummu Kultsum)”.[5]
Kedua :
حميد بن زياد، عن ابن سماعة، عن محمد بن زياد، عن عبد الله بن سنان، عن معاوية ابن عمار، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: سألته عن المرأة المتوفى عنها زوجها أتعتد في بيتها أو حيث شاءت؟ قال: بل حيث شاءت، إن عليا عليه السلام لما توفي عمر أتى أم كلثوم فانطلق بها إلى بيته
Humaid bin Ziyaad, dari Ibnu Samaa’ah, dari Muhammad bin Ziyaad, dari ‘Abdullah bin Sinaan, dari Mu’awiyyah bin ‘Ammaar, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam. Ia (Mu’awiyyah) berkata : “Aku bertanya kepada beliau (Abu ‘Abdillah) mengenai wanita yang suaminya meninggal; apakah ia harus ber-‘iddah di rumahnya atau di tempat lain sesuai dengan keinginannya ?. Maka beliau (Abu ‘Abdillah) menjawab : Ia boleh ber-‘iddah di tempat sesuai dengan keinginannya. Sesungguhnya ‘Aliy ‘alaihis-salaam ketika ‘Umar wafat, ia mendatangi Ummu Kultsum, lalu membawanya ke rumahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Furuu’ Al-Kaafiy, 6/117; Daarul-Adlwaa’, Beirut].
Humaid bin Ziyaad adalah seorang : ‘aalim jaliil al-qadr, luas ilmunya, banyak mempunyai tulisan, lagi tsiqah [Jami’ur-Ruwaat, 1/284].
Ibnu Samaa’ah, ia bernama Al-Hasan bin Muhammad bin Samaa’ah; salah seorang fuqahaa Syi’ah yang terkemuka. Ia digambarkan sebagai seorang yang banyak mempunyai hadits, faqih, lagi tsiqah [Jami’ur-Ruwaat, 1/225].
Muhammad bin Ziyaad, yang lengkapnya bernama Muhammad bin Al-Hasan bin Ziyaad Al-‘Attar. Seorang yang tsiqah [lihat Jami’ur-Ruwaat, 2/91].
‘Abdullah bin Sinaan, seorang imam Syi’ah yang terkenal di Kufah. Seorang yangtsiqah tanpa ada cela padanya [Jami’ur-Ruwaat, 1/487].
Mu’awiyyah bin ‘Ammaar, seorang yang sangat terkenal dan memimpin periwayatan hadits Syi’ah dari Ja’far Ash-Shaadiq di Kuffah. Seorang yang juga dinilai tsiqah [Jami’ur-Ruwaat, 2/239].
Kesimpulan : Riwayat di atas shahih menurut standar penilaian periwayatan kaum Syi’ah.
Ketiga :
محمد بن يحيى، وغيره، عن أحمد بن محمد بن عيسى، عن الحسين بن سعيد، عن النضر بن سويد، عن هشام بن سالم، عن سليمان بن خالد قال: سألت أبا عبد الله عليه السلام عن امرأة توفى زوجها أين تعتد، في بيت زوجها تعتد أو حيث شاءت؟ قال: بلى حيث شاءت، ثم قال: إن عليا عليه السلام لما مات عمر أتى ام كلثوم فأخذ بيدها فانطلق بها إلى بيته
Muhammad bin Yahya dan yang lainnya, dari Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa, dari Al-Husain bin Sa’iid, dari An-Nadlr bin Suwaid, dari Hisyaam bin Saalim, dari Sulaiman bin Khaalid, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah‘alaihis-salaam mengenai wanita yang suaminya meninggal; dimanakah ia harus ber-‘iddah ? di rumah suaminya atau di tempat lain sesuai dengan keinginannya ?. Maka beliau (Abu ‘Abdillah) menjawab : Ia boleh ber-‘iddah di tempat sesuai dengan keinginannya. Sesungguhnya ‘Aliy ‘alaihis-salaam ketika ‘Umar wafat, ia mendatangi Ummu Kultsum, lalu memegang tangannya dan membawanya ke rumahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Furuu’ Al-Kaafiy, 6/117; Daarul-Adlwaa’, Beirut].
Muhammad bin Yahya Al-‘Attar Al-Qummiy seorang ulama terkenal di jamannya,tsiqah, dan banyak mempunyai hadits [lihat dalam Jami’ur-Ruwaat, 2/213].
Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa Al-Qummiy, seorang ulama, fuqahaa, dan pemimpin kota Qumm [lihat Jami’ur-Ruwaat, 1/69]. Abu Ja’far Ath-Thusi dan Al-Hilliy menyebutnya sebagai seorang yang tsiqah [Ar-Rijaal hal. 366 dan Al-Khulaashah hal. 13].
Al-Husain bin Sa’iid dideskripsikan sebagai : seorang terkemuka lagi agung dantsiqah [lihat Jami’ur-Ruwaat, 1/241].
An-Nadlr bin Suwaid adalah seorang Kufiy tsiqah dan shahiihul-hadiits [Jami’ur-Ruwaat, 2/292].
Hisyaam bin Saliim adalah seorang yang dinilai sangat tsiqah (tsiqatun tsiqah) [lihat Jami’ur-Ruwaat, 2/315].
Sulaiman bin Khaalid juga dinilai tsiqah [lihat Jami’ur-Ruwaat, 1/378].
Riwayat ini telah dishahihkan oleh Al-Majlisiy dalam Mir’aartul-‘Uquul fii Syarh Akhbaari aalir-Rasuul (5/199).[6] Bahkan Al-Majlisiy dalam kitabnya tersebut memberikan bantahan secara khusus kepada Al-Mufiid yang menolak riwayat pernikahan Ummu Kultsum dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab dalam kitabBihaarul-Anwaar.[7]
Zainuddin Al-‘Aamiliy yang bergelar Asy-Syahiidust-Tsaaniy berkata :
وزوج النبي ابنته عثمان، وزوج ابنته زينب بأبي العاص بن الربيع، وليسا من بني هاشم، وكذلك زوّج علي ابنته أم كلثوم من عمر، وتزوج عبد الله بن عمرو بن عثمان فاطمة بنت الحسين، وتزوج مصعب بن الزبير أختها سكينة، وكلهم من غير بني هاشم
“Nabi telah menikahkan putrinya dengan ‘Utsmaan, menikahkan putrinya Zainab dengan Abul-‘Aash bin Ar-Rabii’ – padahal keduanya (‘Utsman dan Abul-‘Aash) bukan berasal dari Bani Haasyim. Begitu pula ‘Aliy telah menikahkan putrinya Ummu Kultsum dengan ‘Umar. Begitu ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Utsmaan menikahi Faathimah binti Al-Husain; dan Mush’ab bin Az-Zubair telah menikahi saudara perempuan Faathimah yang bernama Sakiinah. Semuanya bukan berasal dari Bani Haasyim” [Masaalikul-Afhaam Syarh Syaraai’il-Islaam, Baab Lawaahiqil-‘Aqd, juz 1].
Ahli Tarikh Syi’ah yang bernama Ahmad bin Abi Ya’quub juga menyebutkan kisah pelamaran ‘Umar bin Al-Khaththaab terhadap Ummu Kultsum pada ‘Ali bin Abi Thaalib [lihat Taariikh Al-Ya’qqubiy, 2/149-150].
Pernah diajukan pertanyaan kepada ulama kontemporer Syi’ah, Al-Khuu’iy :
السؤال : هل صحيح أن الخليفة الثاني قد تزوج من بنت الامام علي عليه السلام ؟
الجواب : هكذا ورد في التاريخ والروايات .
Soal : “Apakah benar/shahih bahwa khalifah kedua (‘Umar bin Al-Khaththaab) telah menikahi putrid Al-Imam ‘Aliy ‘alaihis-salaam (yaitu Ummu Kultsum) ?”.
Jawab : “Begitulah yang terdapat dalam taariikh dan riwayat-riwayat”.[8]
Dengan memperhatikan bukti dan fakta yang lebih terang daripada sinar matahari di siang hari sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak ada keraguan lagi bahwa Ummu Kultsum binti ‘Aliy memang telah diperistri oleh ‘Umar bin Al-Khaththaabradliyallaahu ‘anhu dengan sepengetahuan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuma.[9]
Permasalahan
Allah ta’ala berfirman :
وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” [QS. Al-Baqarah : 221].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” [QS. Al-Mumtahanah : 10].
Dua ayat di atas adalah nash yang sangat tegas mengenai keharaman pernikahan antara seorang wanita mukmin dengan laki-laki kafir, baik ia dari kalangan Ahli Kitab atau musyrikin secara umum. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini.
Bersamaan dengan itu, sebagaimana telah disebutkan, dalil shahih dan fakta sejarah telah menunjukkan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu menikahkan putri kandungnyanya yang bernama Ummu Kultsuum dengan ‘Umar bin Al-Khaththabradliyallaahu ‘anhu. Padahal, sudah ma’ruf doktrin kekafiran ‘Umar bin Al-Khaththabradliyallaahu ‘anhu dalam theology Syi’ah. Bahkan beliau dijuluki salah satu berhala Quraisy – bersama Abu Bakr Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhuma  wal-‘iyadzubillah !![10] Tidak ada seorang pun dari Syi’ah Raafidlah yang menyelisihi hal ini.
Pertanyaan menggelitik yang mungkin timbul adalah : “Apakah mungkin ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sebagai pribadi ma’shum – yang terbebas dari dosa besar dan kecil[11] – melakukan kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan menikahkan anak perempuannya kepada seorang ‘kafir’ ?”.
Atau,…. malah hal itu beliau lakukannya karena beliau tidak meyakini kekafiran ‘Umar bin Al-Khathhaab radliyallaahu ‘anhu sebagaimana diyakini oleh orang Syi’ah Raafidlah ?
Nampaknya kemungkinan terakhir inilah yang paling mungkin untuk pribadi beliau. Tidak pernah terlintas dibenak Ahlus-Sunnah untuk meyakini ‘Ali bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu telah melakukan kemaksiatan yang nyata kepada Allah ta’ala, walau ia ‘dipaksa’ oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.[12] Ahlus-Sunnah juga tidak beranggapan bahwa ‘Ali radliyallaahu ‘anhu menikahkan anaknya hanya karena takut atas gertakan atau kedudukan ‘Umar sebagai ‘amir. ‘Ali adalah sosok pemberani, penakluk benteng Khaibar, yang tidak pernah takut kepada siapapun, termasuk ‘Umar bin Al-Khaththab. Tidak pula dengan alasan taqiyyah.Darah dan jiwa siap beliau korbankan untuk membela al-haq. Lagi pula, pribadi Ummu Kultsum binti ‘Aliy yang suci tentu tidak akan sudi menyerahkan dirinya kepada ‘Umar jika memang ia benar-benar kafir.
Keadaan sebenarnya adalah ‘Umar memang tidak pernah menjadi kafir sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar radliyallaahu ‘anhu menikahi Ummu Kultsum rahimahallaah didasarkan atas kecintaannya pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuma mengenai alasan mengapa ia ingin menikahi Ummu Kultsum :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة إلا سببي ونسبي فأحببت أن يكون لي من رسول الله صلى الله عليه وسلم سبب ونسب
“Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Setiap sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku’. Oleh karena itu, aku ingin mempunyai sebab dan nasab dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 2036].
Ia pun diterima sebagai keluarga oleh ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuma atas dasar Islam dan iman, serta kecintaan. ‘Ali bin Abi Thaalib pernah berkata perihal pujian dan kecintaannya kepada ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
لله بلاء عمر، فقد أخمد الفتنة وأقام السنة، ذهب نقي الثوب، قليل العيب، أصاب خيرها وسبق شرها، أدى إلى الله طاعته.
”Allah telah memberikan cobaan kepada ’Umar. Sungguh ia telah memadamkan fitnah dan menegakkan sunnah. Ia pelihara kesucian dirinya dan sedikit aibnya. Ia telah mendapatkan kebaikan dari dirinya dan mengalahkan kejelekan (hawa nafsu)-nya. Ia telah tunaikan ketaatan kepada Allah” [Nahjul-Balaaghah, 2/222].
إنك إن تسر إلى هذا العدو بنفسك فتلقهم بشخصك فتنكب، لا تكن للمسلمين كانفة دون أقضى بلادهم، وليس بعدك مرجع يرجعون إليه، فابعث إليهم رجلاً مجرّباً واحفز معه أهل البلاء والنصيحة، فإن أظهره الله فذاك ما تحب، وإن تكن الأخرى كنت ردءاً للناس ومثابة للمسلمين.
“Sesungguhnya jika engkau berangkat menghadapi musuh ke medan perang lalu engkau terluka, umat Islam tidak lagi mempunyai benteng untuk melindungi negeri mereka. Mereka juga tidak punya tempat kembali jika ada permasalahan yang menimpa mereka. Maka, utuslah seorang laki-laki yang berpengalaman dan kirimkan bersamanya pasukan yang tahan uji dan ahli strategi. Apabila Allah memberikan kemenangan, maka itulah yang engkau harapkan. Namun jik sebaliknya, maka engkau tetap bisa menjadi pelindung bagi manusia dan tempat bertanya bagi kaum muslimin” [idem, 2/28].
Terakhir, mari kita dengarkan sendiri apa perkataan Ummu Kultsum kepada ‘Umar dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum saat mereka syahid :
عن الأصبغ الحنظلي، قال : قالت أم كلثوم ابنة علي : ما لي ولصلاة الغداة ؟ قتل زوجي أمير المؤمنين صلاة الغداة، وقتل أبي صلاة الغداة.
Dari Al-Ashbagh Al-Handhaliy, ia berkata : Telah berkata Ummu Kultsum putri ‘Aliy : “Ada apa denganku dan dengan shalat Shubuh ? Suamiku Amiirul-Mukminiin (yaitu ‘Umar bin Al-Khaththaab) dibunuh pada waktu shalat Shubuh. Begitu juga ayahku yang dibunuh pada waktu shalat Shubuh” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taarikh 42/555].
Jika ia (Ummu Kultsum) merasa dipaksa untuk menikah dengan seorang kafir, tentu ia tidak akan berkata seperti di atas tentang diri ‘Umar. Bahkan sudah menjadi kewajiban baginnya untuk bersyukur karena terbebas dari belenggu kediktatoran ‘Umar. Namun kenyatan yang ada tidak seperti itu……
Mereka, ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu adalah satu keluarga dan saling mencintai. Sangat jauh berbeda dengan keadaan para pecinta palsu Ahlul-Bait dari kalangan Syi’ah Raafidlah.
Allaahul-Musta’aan……
[Abu Al-Jauzaa’, 24 Ramadlan 1430 H, Perumahan Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas, Bogor - 16610].


[1] Namun ada sekelompok Syi’ah yang menebar kerancuan kepada kaum muslimin dengan mengatakan riwayat tersebut tidak shahih, karena Tsa’labah bin Abi Maalik radliyallaahu ‘anhuseorang yang tidak diketahui identitasnya. Namanya tidak tercantum dalam Miizaanul-I’tidaalkarangan Adz-Dzahabiy yang memuat biografi semua perawi hadits. Begitulah kata mereka.
Kita jawab :
Syubhat mereka sangat lemah, selemah sarang laba-laba. Nama Ts’labah bin Abi Maalik dapat dengan mudah ditemukan di beberapa referensi berikut :
a) Ath-Thabaqaat Al-Kubraa oleh Muhammad bin Sa’d (w. 230 H).
b) Ma’rifatuts-Tsiqaat oleh Abul-Hasan Al-‘Ijilliy (w. 261 H).
c) At-Taariikh Al-Kabiir oleh Al-Bukhariy (w. 256 H).
d) Al-Jarh wat-Ta’diil oleh Ibnu Abi Haatim (w. 327 H).
e) Ats-Tsiqaat oleh Ibnu Hibbaan (w. 354 H).
f) At-Ta’diil wat-Tajriih liman Kharaja ‘anhu-Bukhariy fil-Jamii’ish-Shahiih oleh Abul-Waliid Al-Baajiy (w. 474 H).
g) Dan lain-lain.
Sebagai contoh, Al-Bukhari rahimahullah berkata mengenai diri Tsa’labah bin Abi Maalikradliyallaahu ‘anhu :
ثعلبة بن أبي مالك القرظي المديني كان كبيرا امام بني قريظة سمع عمر وحارثة بن النعمان وعن ابن عمر سمع منه ابن الهاد والزهري وابنه مالك
“Tsa’labah bin Abi Maalik Al-Quradhiy Al-Madiiniy, seorang yang besar/agung, imam dari kalangan Bani Quraidhah. Ia mendengar riwayat dari ‘Umar (bin Al-Khaththaab), Haaritsah bin An-Nu’maan, dan Ibnu ‘Umar. Orang yang mendengar riwayat darinya adalah Ibnul-Haad, Az-Zuhriy, dan anaknya, Maalik” [At-Taariikh Al-Kabiir oleh Al-Bukhariy, 2/174; Al-Maktabah Al-Islamiyyah, Diyarbakir, Turki].
Abul-Waliid Al-Baajiy rahimahullah berkata :
ثعلبة بن أبي مالك أبو يحيى القرظي المديني إمام مسجد بني قريظة أخرج البخاري في الجهاد وغير موضع عن الزهري عنه عن عمر بن الخطاب وقيس بن سعد قال الكلاباذي له رؤية من النبي صلى الله عليه وسلم
“Tsa’labah bin Abi Maalik, Abu Yahya Al-Quradhiy Al-Madiiniy; imam masjid Bani Quraidhah. Al-Bukhari membawakan riwayatnya dalam Kitaabul-Jihaad dan yang lainnya, dari Az-Zuhriy, darinya, dari ‘Umar bin Al-Khaththaab dan Qais bin Sa’d. Al-Kalaabaadziy berkata : “Ia pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [At-Ta’diil wat-Tajriih liman Kharaja ‘anhu-Bukhariy fil-Jamii’ish-Shahiih oleh Abul-Waliid Al-Baajiy, 1/447 no. 184, tahqiq : Ahmad Al-Bazzaar].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
ثعلبة" بن أبي مالك القرظي حليف الأنصار أبو مالك ويقال أبو يحيى له رؤية.......روى عن النبي صلى الله عليه وسلم وعن عمر وعثمان وجابر وحارثة بن النعمان وجماعة وعنه أبناه أبو مالك ومنظور والزهري والمسور بن رفاعة ومحمد بن عقبة بن أبي مالك القرظي وصفوان بن سليم وغيرهم. قلت: قال البخاري كان كبيرا أمام بني قريظة على دين اليهودية فتزوج امرأة من بني قريظة فنسب إليهم وهو من كندة وكان ثعلبة يؤم بني قريظة غلاما وكان قليل الحديث وقال أبو حاتم في المراسيل هو من التابعين وقال العجلي تابعي ثقة وذكره ابن حبان في الثقات.
“Tsa’labah bin Abi Maalik Al-Quradhiy, sekutu Anshaar. Abu Maalik, dikatakan juga : Abu Yahyaa. Ia pernah melihat (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). ….. Ia meriwayatkan dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar, ‘Utsmaan, Jaabir, Haaritsah bin An-Nu’maan, dan sekelompok lainnya. Meriwayatkan darinya : Kedua anaknya yang bernama Abu Maalik dan Mandhuur, Az-Zuhriy, Miswar bin Rifaa’ah, Muhammad bin ‘Uqbah bin Abi Maalik Al-Quradhiy, Shafwaan bin Sulaim, dan yang lainnya. Aku berkata : Telah berkata Al-Bukhari : Ia seorang yang besar/agung, imam Bani Quraidhah dalam agama Yahudi. Ia menikahi seorang wanita Bani Quraidhah, dan kemudian ia dinisbahkan kepada mereka (Bani Quraidhah). Ia sendiri berasal dari suku Kindah. Tsa’labah mengimami Bani Quraidhah saat ia masih muda, dan ia mempunyai sedikit hadits. Abu Haatim berkata dalam Al-Maraasil : Ia termasuk tabi’iin. Al-‘Ijilliy berkata :Tabi’iy tsiqah. Ibnu Hibaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat” [Tahdziibut-Tahdziib oleh Ibnu Hajar, 2/25 no. 39; Mathba’ah Daairatil-Ma’aarif An-Nidhaamiyyah, India].
Tidak dicantumkannya seorang perawi oleh Adz-Dzahabiy dalam kitab Al-Miizaan bukanlah standar bahwa perawi tersebut tidak ada atau majhul. Kitab Al-Miizaan bukan satu-satunya sumber yang memuat seluruh biografi perawi hadits. Betapa banyak biografi seorang perawi yang tidak ada dalam kitab Al-Miizaan namun ada dalam kitab rijaal yang lain. Adz-Dzahabiy sendiri menuliskan keterangan tentang Tsa’labah bin Abi Maalik dalam kitabnya yang lain berjudul Al-Kaasyif :
ثعلبة بن أبي مالك القرظي له رؤية وسمع عمر وعنه ابناه منظور وأبو مالك والزهري
“Tsa’labah bin Abi Maalik Al-Quradhiy. Ia pernah melihat (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dan mendengar riwayat dari ‘Umar. Dua orang anaknya yang bernama Mandhuur dan Abu Maalik, serta Az-Zuhriy telah meriwayatkan darinya” [Al-Kaasyif fii Ma’rifati Man Lahu Riwayah minal-Kutubis-Sittah oleh Adz-Dzahabiy, 1/284 no. 711, ta’liq : Muhammad ‘Awwaamah,takhriij : Ahmad Al-Khathiib; Daarul-Qiblah, Jeddah].
Bahkan, beberapa ulama Syi’ah pun menyebutkan tentang Tsa’labah ini. Saya sebutkan salah satu diantaranya adalah As-Sayyid Mushthafa At-Tafrisyiy. Ia berkata :
ثعلبة بن أبي مليك القرظي من أصحاب الرسول صلى الله عليه وآله
“Tsa’labah bin Abi Maliik Al-Quradhiy, termasuk salah seorang shahabat Rasul shallallaahu ‘alaihi wa aalihi” [Naqdur-Rijaal oleh As-Sayyid Mushthafa At-Tifrisyiy, 1/317; Muassasah Aalil-Bait, Qumm, Iran].
[2] Tidak cukup dengan syubhaat di atas, kaum Syi’ah Raafidlah juga menebarkan syubhat lain dengan mengatakan bahwa kata : binti ‘Aliy (بنت علي) dalam hadits tersebut tidak ada dalam teks manuskrip. Kata tersebut merupakan tambahan (yang tidak ada dalam versi aslinya).
Maksud mereka dengan perkataan tersebut adalah kalimat :
أعط هذا ابنة رسول الله صلى الله عليه وسلم التي عندك، يريدون أم كلثوم بنت علي
“Berikanlah pakaian ini kepada putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi istrimu – yang dimaksudkan adalah Ummu Kultsum binti ‘Ali”.
Kita jawab :
Ini adalah satu kedustaan yang sangat nyata. Semua cetakan kitab Shahih Al-Bukhariy memuat hadits dengan lafadh sebagaimana telah disebutkan. Cetakan-cetakan tersebut telah di-tahqiqsesuai dengan manuskrip yang ada. Salah satu contoh versi manuskrip Shahih Al-Bukhariadalah sebagai berikut :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3iOMQKzSenSeQGYfsH42O8D3a4gNitPK08Q-lIItWtA533XTEtN7HmvpJJ74gBRfJOtL5H5-bAFmzNcXiVGR_oExHKz3rhVKKxchTGuh3Zaf6SsN3pX42tRT8rWEVSJeJ4m4EyKttHL7F/s400/bintali_manu_shot.gif
Ini adalah manuskrip kitab Shahih Al-Bukhariy oleh Dliyaa’ud-Diin Al-Maqdisiy rahimahullah yang tersimpan dalam perpustakan Al-Azhar (301201).
[3] Beberapa referensi Syi’ah juga memuat riwayat yang senada. Ath-Thuusiy meriwayatkan dari Ja’far, dari ayahnya Al-Baaqir, bahwasannya ia berkata :
ماتت أم كلثوم بنت علي وابنها زيد بن عمر بن الخطاب في ساعة واحدة لا يدرى أيهما هلك قبل , فلم يورث أحدهما من الآخر وصلى عليهما جميعا .
“Ummu Kultsuum binti ‘Aliy dan anaknya (yang bernama) Zaid bin ‘Umar bin Al-Khaththaab wafat pada waktu yang bersamaan. Tidak diketahui siapa di antara keduanya yang lebih dahulu wafat. Tidak mewarisi antara satu dengan yang lain – semoga shalawat tercurahkan kepada mereka berdua” [lihat Tahdziibul-Ahkaam, 9/262].
[4] Kalimat ini sangat kasar dalam bahasa ‘Arab.
[9] Beberapa alasan penolakan kaum Syi’ah ini seringkali terkesan lucu dan dipaksakan. Di antara dalih mereka yang lain bahwa Ummu Kultsum yang menjadi istri ‘Umar bin Al-Khaththaabradliyallaahu ‘anhu adalah Ummu Kultsum binti Abu Bakr Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhu yang dipelihara oleh ‘Ali, setelah ibunya – yang bernama Asmaa’ binti Umais diperistri olehnya. Tentu saja kita tolak pernyataan ini, sebab sangat jelas – baik dalam riwayat shahih Ahlus-Sunnah dan Syi’ah – disebutkan : Ummu Kultsum binti ‘Ali bin Abi Thaalib. Bukan Ummu Kultsum binti Abu Bakr Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhum.
Mereka juga menyebutkan dalih bahwa dalam sumber referensi Sunni dikatakan ketika Ummu Kultsum binti ‘Aliy menikah dengan ‘Umar bin Al-Khaththab tahun 17 Hijriyyah, waktu itu ia berusia 4 atau 5 tahun, sehingga ia (Ummu Kultsum) lahir pada tahun 12 atau 13 Hijriyyah. Padahal Faathimah Az-Zahraa’ – ibunya – meninggal pada tahun 11 Hijriyyah. Jika demikian, apakah mungkin Ummu Kultsum yang dinikahi ‘Umar itu adalah anaknya Faathimah, padahal ia lahir setahun atau dua tahun setelah wafatnya ? Mereka menyandarkannya pada kitab Taariikh Khamiis (2/267). Ini adalah satu trik yang sering mereka lontarkan untuk talbis kaum muslimin yang tidak punya akes kepada kitab. Padahal dalam kitab tersebut justru jelas disebutkan bahwa yang dilahirkan pada tahun 13 H adalah Ummu Kultsum binti Abu Bakr. Bukan Ummu Kultsum binti ‘Aliy bin Abi Thaalib !! Adapun Ummu Kultsum binti ‘Aliy, ia dlahirkan pada tahun 6 H, sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabiy rahimahullah :
أم كلثوم بنت علي بن أبي طالب بن عبد المطلب بن هاشم الهاشمية شقيقة الحسن والحسين ، ولدت في حدود سنة ست من الهجرة ، ورأت النبي صلى الله عليه وسلم ولم ترو عنه شيئا …
“Ummu Kultsuum binti ‘Aliy bin Abi Thaalib bin ‘Abdil-Muthallib bin Haasyim Al-Haasyimiyyah, saudara perempuan Al-Hasan dan Al-Husain. Lahir pada penghujung tahun 6 Hijriyyah. Pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak meriwayatkan satu pun hadits dari beliau….” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 3/500 no. 114; Muassasah Ar-Risaalah, Beirut].
Dan akhirnya, yang paling lucu di antara dalih mereka untuk menolak pernikahan ‘Umar bin Al-Khaththaab dengan Ummu Kultsum binti ‘Aliy – sebagaimana disebutkan oleh al-‘AllamahMuhibbuddin Al-Khathib – bahwa wanita yang diserahkan kepada ‘Umar oleh ‘Ali dan keluarganya adalah wanit lain yang dirubah wajahnya menyerupai Ummu Kultsum !! [lihat Al-Khuthuuthul-‘Aridlah oleh Muhibbuddin Al-Khathiib – edisi terjemahan : Mungkinkah Syi’ah & Ahlus-Sunnah Bersatu ?, hal. 42-43; Pustaka Muslim].
[10] Dan inilah sebagian isi dari doa laknat kepada dua berhala Quraisy yang sering didendangkan oleh orang-orang Syi’ah :
اللهم صل على محمد، وآل محمد، اللهم العن صنمي قريش، وجبتيهما، وطاغوتيهما، وإفكيهما، وابنتيهما، اللذين خالفا أمرك، وأنكروا وحيك، وجحدوا إنعامك، وعصيا رسولك، وقلبا دينك، وحرّفا كتابك.....
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah, laknat bagi dua berhala Quraisy, Jibt dan Thaghut, kawan-kawan, serta putra-putri mereka berdua. Mereka berdua telah membangkang perintah-Mu, mengingkari wahyu-Mu, menolak kenikmatan-Mu, mendurhakai Rasul-Mu, menjungkir-balikkan agama-Mu, merubah kitab-Mu…..dst.”.
[11] Sebagaimana keyakinan Syi’ah terhadap imam-imam mereka.
[12] Kalaupun kita terima alasan bahwa ‘Ali secara terpaksa menyerahkan anaknya kepada ‘Umarradliyallaahu ‘anhuma.
Assalamu 'alaikum ,,ustadz gimana caranya menyanggah syubhat orang syi'ah ini 
http://syiahnews.wordpress.com/2010/05/25/benarkah-putri-suci-imam-ali-as-ummu-kulthum-as-menikah-dengan-umar-bin-khottob/Abu Al-Jauzaa' :
 mengatakan...Wa'alaikumus-salaam. Kalau Anda baca artikel di atas, Anda tidak perlu bertanya bagaimana 'cara menyanggah'.
NB : Sebaiknya kita perbanyak membaca referensi Ahlus-Sunnah, dan meninggalkan bacaan-bacaan syubhat.