Saturday, April 25, 2015

Kekejaman Kaum Syiah Terhadap Ahlu Sunnah


Oleh

Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari

AHLU SUNNAH MENJADI INCARAN GOLONGAN LAIN
Benteng kaum Muslimin diserang dari dalam, kira kira begitulah ungkapan yang dirasakan umat ini atas kejahatan ahli bid’ah khususnya Syiah terhadap Islam, Sunnah dan Ahlu Sunnah. Pengkhianatan dan kekejaman yang dilakukan oleh ahli bid’ah terhadap Islam dan kaum Muslimin sangat banyak terjadi. Ini tidak lain dilandasi oleh keyakinan mereka yang mengkafirkan dan menghalalkan darah orang-orang yang berada di luar kalangan mereka. Kurangnya penghormatan mereka terhadap kehormatan, harta dan darah kaum Muslimin dan kesembronoan mereka dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap siapa saja yang tidak sepaham menjadi alasan mereka melakukan semua itu.

Tercatat di awal sejarah Islam dua kelompok bid’ah yang melakukannya, yaitu, Syiah dan Khawârij. Akibat dari tindakan pengkhianatan mereka tersebut banyak Sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum yang terbunuh. Mereka tak segan-segan menghalalkan darah Sahabat Radhiyallahu a'nhum, para Ulama dan orang shalih dengan alasan yang mengada-ada tanpa rasa takut dan rasa malu sedikit pun terhadap Allâh Azza wa Jalla.

Sejak awal kemunculan kelompok-kelompok bid’ah ini selalu yang menjadi incaran dan targetnya adalah Ahlu Sunnah. Kelompok-kelompok bid’ah itu rela melupakan perbedaan-perbedaan di antara mereka walaupun dalam masalah yang prinsipil untuk bekerja sama dalam mematikan Sunnah dan menghancurkan Ahlu Sunnah, begitulah sejarah berbicara. Khususnya pada abad ke-4 Hijriyah ketika mulai berdirinya daulah Syiah di beberapa wilayah, terutama di daerah-daerah pegunungan. Seiring dengan semakin gencarnya gerakan dakwah mereka ditambah lagi semakin lemahnya daulah Ahlu Sunnah pada masa itu.

SYIAH, MUSUH DALAM SELIMUT
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah telah menjelaskan fenomena ini dalam kitabnya ketika menyebutkan biografi salah seorang tokoh Syiah yaitu Ibnu Nu’mân : “Ibnu Nu’mân ini adalah seorang tokoh Syiah dan pembela mereka. Ia punya kedudukan di kalangan penguasa-penguasa daerah karena mayoritas penduduk di daerah-daerah tersebut pada masa itu mulai condong kepada tasyayyu’ (Syi’ah). Di antara muridnya adalah asy-Syarîf ar-Râdhi dan al-Murtadhâ.”[1]

Beberapa sekte, seperti Ismâ’îliyah, Buwaihiyah, Qarâmithah dan lain-lainnya memakai jubah Syiah ini untuk meraih tujuannya. Contoh kasusnya adalah yang terjadi di Afrika utara, salah seorang juru dakwah Syiah yang bernama Husain bin Ahmad bin Muhammad bin Zakariya ash-Shan’âni yang berjuluk Abu ‘Abdillâh asy-Syî’i masuk ke wilayah Afrika seorang diri tanpa harta dan tanpa satu pun orang yang mendampinginya. Ia terus melakukan kegiatan dakwah di sana hingga ia berhasil menguasainya. [2]

Abu ‘Abdillâh asy-Syîi’i inilah yang berhasil meyakinkan kaum Muslimin untuk menerima ‘Ubaidullâh al-Qaddah sebagai imam dakwah sehingga mereka membaiatnya. Lalu ‘Ubaidullâh ini menggelari dirinya sebagai al-Mahdi dan mendirikan daulah ‘Ubaidiyah yang kemudian lebih dipopulerkan dengan sebutan sebagai daulah Fâthimiyyah. Padahal pada hakekatnya merupakan daulah yang beraliran bathiniyah.

Di antara kejahatan yang dilakukan oleh ‘Ubaidullâh ini, suatu kali kudanya masuk ke dalam masjid. Lalu rekan-rekannya ditanya tentang hal itu, mereka menjawab, “Sesungguhnya kencing dan kotoran kuda itu suci, karena ia adalah kuda al-Mahdi (yakni ‘Ubaidullâh). Pengurus masjid mengingkari hal itu. Maka mereka pun membawanya ke hadapan ‘Ubaidullâh al-Mahdi, dan akhirnya ia menghabisi pengurus masjid tersebut. Ibnu ‘Adzâra t berkata,“Sesungguhnya di akhir hayatnya ‘Ubaidullâh ini ditimpa sebuah penyakit yang mengerikan yaitu adanya cacing yang keluar dari duburnya dan kemudian memakan kemaluannya. Begitulah keadaannya hingga kematian merenggutnya.” [3]

Abu Syâmah rahimahullah berkomentar tentang ‘Ubaidullâh ini dengan berkata, “Ia adalah seorang zindiq (kafir), khabîts (sangat buruk), dan merupakan musuh Islam. Menunjukkan diri sebagai Syiah dan berupaya keras untuk menghilangkan agama Islam. Ia banyak membunuh Fuqahâ’, ahli hadits, orang orang shalih dan banyak manusia lainnya. Anak keturunannya tumbuh dengan pola pikir seperti itu dan apabila ada kesempatan mereka akan menunjukkan taringnya, jika tidak maka mereka akan menyembunyikan diri.” [4]

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Duhai kiranya kalau ia hanya seorang penganut Syiah saja, tetapi ternyata di samping itu ia juga seorang zindiq.” [5]

Para ulama yang telah mereka bunuh di antaranya adalah Abu Bakar an-Nâbilisi, Muhammad bin al-Hubulli, Ibnu Bardûn yang dibunuh oleh Abu ‘Abdillâh asy-Syî’i. Sementara Ibnu Khairûn Abu Ja’far Muhammad bin Khairûn al-Mu’âfiri tewas di tangan ‘Ubaidullâh al-Mahdi.

Di antara penguasa mereka yang telah banyak membunuh para Ulama adalah al-‘Adhid, penguasa terakhir Bani ‘Ubaid. Ibnu Khalikân rahimahullah berkata tentang orang ini, “al-‘Adhid ini orang yang sangat kental Syi’ahnya, sangat keterlaluan dalam mencaci maki Sahabat Nabi, apabila ia melihat seorang Sunni (Ahlu Sunnah), ia menghalalkan darahnya.” [6]

Salah satu sekte yang menimpakan berbagai bala terhadap Ahlu Sunnah adalah Buwaihiyah. Sekte ini dinisbatkan kepada Buwaihi bin Fannakhasru ad-Dailami al-Fârisi. Berkuasa di Irak dan Persia lebih kurang satu abad ketika kekhalifahan ‘Abbasiyah sedang melemah di Baghdad. Sekte ini juga menunjukkan kefanatikannya kepada ajaran Syi’ah. Bahkan mereka memotivasi orang orang Syiah di Baghdad untuk melakukan tindakan-tindakan perlawanan terhadap Ahlu Sunnah. Hampir tiap tahun terjadi pertikaian dan benturan-benturan antara kaum Syiah dan Ahlu Sunnah. Sehingga banyak korban jiwa jatuh dan menimbulkan kerugian materiil yang besar, toko-toko dan pasar-pasar dibakar. Untuk menunjukkan hegemoni dan dominasi mereka atas Ahlu Sunnah, pada tahun 351H kaum Syiah di Baghdad dengan dukungan dari Mu’izzud Daulah mewajibkan masjid-masjid untuk melaknat Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu dan tiga Khalifah Râsyid (Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman Radhiyallahu 'anhum ). Sebuah ketetapan yang tak mampu dicegah oleh kekhalifahan ‘Abbasiyah.[7]

Bahkan pada tahun 352 H, Mu’izzud Daulah menyuruh kaum Muslimin untuk menutup toko-toko mereka, mengosongkan pasar, meliburkan jual-beli dan menyuruh mereka untuk meratap. Para wanita disuruh keluar tanpa penutup kepala dan wajah dicoreng-moreng, lalu berkeliling kota sambil meratap dan menampar-nampar pipi atas kematian Husain bin ‘Ali Radhiyallahu 'anhuma. Maka kaum Muslimin pun melakukannya, sementara Ahlu Sunnah tidak mampu mencegahnya karena banyaknya jumlah kaum Syiah dan kekuasaan kala itu berada di tangan mereka (di tangan kaum Buwaihiyyun). [8] Sehingga Imam adz-Dzahabi rahimahullah sampai berkomentar, “Sungguh telah terlantar urusan agama Islam dengan berdirinya daulah Bani Buwaihi dan Bani ‘Ubaid yang bermadzhab Syiah ini. Mereka meninggalkan jihad dan mendukung kaum Nasrani Romawi dan merampas kota Madâin.” [9]

Di antara sekte Syiah adalah Syiah Ismâ’iliyah. Setelah wafatnya Ja’far bin Muhammad ash-Shâdiq, kaum Syiah terpecah dua kelompok. Satu kelompok menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya, yaitu Mûsâ al-Kâzhim, mereka inilah yang kemudian disebut Syiah Itsnâ ‘Asyariyah (aliran Syiah yang meyakini adanya imam yang berjumlah dua belas orang, red). Dan satu kelompok lagi menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya yang lain, yaitu Ismâ’il bin Ja’far, kelompok ini kemudian dikenal sebagai Syiah Ismâ’iliyah. Kadang kala mereka dinisbatkan kepada madzhab bathiniyah dan kadang kala dikaitkan juga dengan Qarâmithah. Akan tetapi, mereka lebih senang disebut Ismâ’iliyah. [10] Adapun Qarâmithah sendiri adalah penisbatan kepada Hamdân Qirmith. Kemudian pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan Qarâmithah. Di antara tokoh mereka yang menimpakan fitnah besar terhadap kaum Muslimin adalah Abu Thâhir Sulaimân bin Hasan al-Janâbi. 

Mereka inilah yang bersekutu bersama kaum Nasrani dan Tatar untuk melawan Islam dan kaum Muslimin. Ketika mereka sudah memiliki kekuatan dan berhasil mendirikan daulah Bahrain, mereka melakukan aksi-aksi yang membuat bulu kuduk merinding; berupa perampasan, pembunuhan dan pemerkosaan. Bahkan kekejaman seperti itu tidak pernah dilakukan oleh bangsa Tatar maupun kaum Nasrani sekalipun. Pada tahun 312 H, mereka menghadang kafilah haji yang hendak kembali ke Irak. Mereka merampas kendaraan kafilah itu, bekal-bekal dan harta benda yang mereka bawa, dan meninggalkan rombongan haji begitu saja sehingga kebanyakan dari mereka mati kehausan dan kelaparan. [11]

Dan pada tahun 317 H, mereka menyerang jamaah haji di Masjidil Harâm, dan membunuhi para jamaah yang berada dalam masjid lalu membuang mayat mayat ke sumur Zamzam. Mereka membunuh orang orang di jalan-jalan kota Mekah dan sekitarnya. Jumlah korbannya mencapai tiga puluh ribu jiwa. Bahkan ia merampas kelambu Ka’bah dan membagi-bagikannya kepada pasukannya. Ia menjarah rumah-rumah penduduk Mekah dan mencungkil Hajar Aswad dari tempatnya untuk ia bawa ke Hajar (ibukota daulah mereka di Bahrain).[12]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah merekam kekejaman yang dilakukan oleh Abu Thâhir al-Janâbi al-Bâthini ini dengan berkata, “Ia menjarah harta penduduk Mekah dan menghalalkan darah mereka. Ia membunuhi manusia di rumah-rumah mereka hingga yang berada di jalan-jalan. Bahkan menjagal banyak jamaah haji di Masjdil Haram dan di dalam Ka’bah. Lalu pemimpin mereka, yakni Abu Thâhir –semoga Allâh Azza wa Jalla melaknatnya- duduk di pintu Ka’bah, sementara orang-orang disembelihi di hadapannya dan pedang-pedang berkelebatan membantai orang-orang di Masjidil Haram pada bulan haram (suci) di hari Tarwiyah yang merupakan hari yang mulia. Sementara Abu Thâhir ini berseru, “ Aku adalah Allâh, Allâh adalah aku. Aku menciptakan makhluk dan akulah yang mematikan mereka. 

Orang-orang pun berlarian menyelamatkan diri dari kekejaman Abu Thâhir ini. Di antara mereka bahkan ada yang bergantung pada kelambu Ka’bah. Namun itu tidak menyelamatkan jiwa mereka sedikit pun. Mereka tetap ditebas habis dalam keadaan seperti itu. Mereka dibunuhi meskipun mereka sedang bertawaf…”

Beliau melanjutkan, “Setelah pasukan Qarâmithah ini melakukan aksi brutal mereka itu –semoga Allâh melaknat mereka- dan perbuatan keji mereka terhadap para jamaah haji, Abu Thahir ini menyuruh pasukannya agar melemparkan mayat-mayat yang tewas ke sumur Zamzam. Dan sebagian lain dikubur di tempat-tempat mereka di tanah haram bahkan di dalam Masjidil Haram. Lalu kubah sumur Zamzam pun dirobohkan. Kemudian Abu Thâhir memerintahkan agar mencopot pintu Ka’bah, melepaskan kelambunya, untuk ia koyak-koyak dan bagikan kepada pasukannya.”[13]

Dan jangan lupa juga pengkhianatan mereka terhadap Khalifah al-Musta’shim billâh yang dilakoni oleh Muhammad bin al-Alqami dan Nâshiruddîn ath-Thûsi, yang anehnya kedua orang ini dianggap pahlawan oleh orang-orang Syi’ah. 

Keruntuhan kota Baghdad yang kala itu merupakan ibukota Daulah Abbasiyah di tangan pasukan Tatar tak lepas dari konspirasi yang dilakukan oleh Ibnul Alqami dan ath-Thûsi. Hal ini didorong dendam kesumat Ibnul Alqami ini terhadap Ahlu Sunnah. Pasalnya, pada tahun 656 H terjadi peperangan hebat antara Ahlu Sunnah dan Syiah yang berujung dengan takluknya kota Karkh yang merupakan pusat kegiatan kaum Syiah dan beberapa rumah sanak keluarga al-Alqami menjadi korban penjarahan. Ia sangat berambisi meruntuhkan kekuatan Ahlu Sunnah dan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya, walaupun harus bersekutu dengan pasukan musuh dan berkhianat terhadap khalifah. Hal itu ia lampiaskan ketika ia memegang jabatan kementrian bagi Khalifah al-Musta’shim billâh, ia memberi jalan bagi pasukan Tatar untuk masuk Baghdad. Peristiwa itu terjadi pada tahun 656 H. Ketika Hulago Khan dan pasukannya yang berjumlah dua ratus ribu personil mengepung Baghdad dan menghujani istana khalifah dengan anak panah. Pengamanan sekitar istana saat itu lemah karena sebelum terjadinya peristiwa ini, Ibnul Alqami secara diam-diam telah mengurangi jumlah personil tentara khalifah dengan cara memecat sejumlah besar perwira dan mencoret nama mereka dari dinas ketentaraan. Pada masa kekhalifahan sebelumnya, yaitu Khalifah al-Mustanshir, jumlah pasukan mencapai 100.000 personil. Sementara pada masa al-Musta’shim billâh jumlahnya menyusut menjadi 10.000 personil saja. Kemudian Ibnul Alqami ini mengirim surat rahasia kepada bangsa Tatar dan memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Ia sebutkan dalam surat rahasia itu kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbasiyah di Baghdad. Itulah sebabnya bangsa Tatar dengan sangat mudah dapat merebutnya. Ketika pasukan Tatar mulai mengepung Baghdad sejak tanggal 12 Muharram 656 H, saat itulah Ibnul Alqami melakukan pengkhianatannya untuk kesekian kali. Dialah orang pertama yang menemui pasukan Tatar. Lalu ia keluar bersama keluarganya, pembantu serta pengikutnya pada saat-saat kritis itu untuk menemui Hulago Khan dan mendapat perlindungan darinya. Kemudian ia membujuk Khalifah agar ikut keluar bersamanya menemui Hulagokan untuk mengadakan perdamaian, yaitu memberikan separoh hasil devisa negara kepada bangsa Tatar.

Maka berangkatlah Khalifah bersama para qadhi, Fuqâha’, tokoh-tokoh negara dan masyarakat serta para pejabat tinggi negara lainnya dengan 700 kendaraan. Ketika sudah mendekati markas Hulago Khan, mereka ditahan oleh pasukan Tatar dan tidak diizinkan menemui Hulago Khan kecuali hanya Khalifah bersama 17 orang saja. Permintaan ini dipenuhi oleh Khalifah. Ia berangkat bersama 17 orang sementara yang lain menunggu. Sepeninggal Khalifah, sisa rombongan itu dirampok dan dibunuh oleh pasukan Tatar. Selanjutnya Khalifah dibawa ke hadapan Hulago Khan seperti seorang pesakitan yang tak berdaya Kemudian atas permintaan Hulago Khan, Khalifah kembali ke Baghdad ditemani oleh Ibnul Alqami dan Nâshiruddîn ath-Thûsi. Di bawah rasa takut dan tekanan yang hebat, Khalifah mengeluarkan emas, perhiasan dan permata dalam jumlah yang sangat banyak. Namun tanpa disadari oleh Khalifah, para pengkhianat dari Syiah ini telah membisiki Hulago Khan agar menampik tawaran damai dari Khalifah. Ibnul Alqami ini berhasil meyakinkan Hulago Khan dan membujuknya untuk membunuh Khalifah. Dan tatkala Khalifah kembali dengan membawa perbendaharaan negara yang banyak untuk diserahkan, Hulago Khan memerintahkan agar Khalifah dieksekusi. Dan yang mengisyaratkan untuk membunuh Khalifah adalah Ibnul Alqami dan ath-Thûsi.

Dengan terbunuhnya Khalifah pasukan Tatar leluasa menyerbu Baghdad tanpa perlawanan berarti. Maka jatuhlah Baghdad ke tangan musuh. Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas saat itu lebih kurang dua juta orang. Tidak ada yang selamat kecuali Yahudi, Nashrani dan orang-orang yang meminta perlindungan kepada pasukan Tatar, atau berlindung di rumah Ibnul Alqami dan orang-orang kaya yang menebus jiwa mereka dengan menyerahkan harta kepada pasukan Tatar. [14]

SEBUAH PELAJARAN BERHARGA
Melalui rekaman sejarah yang telah dipaparkan Ulama, menyerahkan amanat dan jabatan kepada kaum Syiah merupakan tindakan bunuh diri yang membahayakan umat. Karena sejarah telah membuktikan pengkhianatan yang mereka lakukan terhadap kaum Muslimin, khususnya kepada Ahlu Sunnah.

Al-Baghdâdi rahimahullah telah menjelaskan secara ringkas permusuhan kaum Syiah Bathiniyah ini terhadap Islam dan kaum Muslimin. Beliau berkata, “Ketahuilah –semoga Allâh membuatmu bahagia- sesungguhnya bahaya yang ditimbulkan oleh kaum Bathiniyah terhadap kaum Muslimin lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkan oleh kaum Yahudi, Nashrani maupun Majusi. Bahkan lebih besar daripada kaum Dahriyah (atheis) serta kelompok-kelompok kafir lainnya. Bahkan lebih besar daripada bahaya yang ditimpakan oleh Dajjal yang muncul di akhir zaman. Karena orang orang yang tersesat akibat dakwah Bathiniyah ini sejak awal mula munculnya dakwah mereka sampai hari ini lebih banyak daripada orang-orang yang disesatkan oleh Dajjal pada waktu munculnya nanti. Karena fitnah Dajjal tidak lebih dari empat puluh hari, sementara kejahatan kaum Bathiniyah ini lebih banyak lagi daripada butiran pasir dan tetesan hujan.” [15]

Kaum Bathiniyah ini sengaja memilih ajaran Syiah sebagai alat untuk beraksi karena adanya kecocokan dengan ambisi dan keinginan mereka. Karena mereka tidak menemukan jalan masuk kepada Islam kecuali dengan menampakkan ajaran Syiah ini dan menisbatkan diri kepada agama Syiah. Abu Hamid Al-Ghazâli rahimahullah mengungkapkan, “Telah sukses diadakan pertemuan di antara pengikut-pengikut ajaran Majusi dan Mazdakiyah dari kalangan kaum Tsanawiyah yang mulhid (kafir) serta sekelompok besar kaum filsafat mulhid –ad-Dailami menambahkan- dan sisa-sisa pengikut ajaran Kharamiyah serta kaum Yahudi. Mereka disatukan dengan satu slogan yaitu membuat tipu daya untuk menolak Islam. Mereka berkata, “Sesungguhnya Muhammad telah mengalahkan kita dan menghapus agama kita. Carilah sekutu untuk menghadapinya karena kita tidak mampu secara frontal untuk menghadapi mereka. Kita tidak bisa berhasil merebut kekuasaan yang ada di tangan kaum Muslimin dengan senjata dan peperangan. Karena kekuatan mereka dan banyaknya personil pasukan mereka. Demikian pula kita tidak mampu untuk beradu argumentasi dengan mereka karena mereka memiliki Ulama, fudhala’ dan ahli tahqiq. Tidak ada cara kecuali melakukan makar dan tipu daya. Kemudian mereka membuat rancangan dan program untuk mencapai tujuan ini. Dan di antara cara yang mereka tempuh adalah masuk ke tengah kaum Muslimin melalui jalan tasyayyu’ (ajaran Syi’ah). Walaupun mereka juga menganggap bahwa kaum Syiah ini sesat, hanya saja mereka itu adalah orang yang paling dangkal akalnya, paling konyol logikanya, paling mudah untuk menerima perkara-perkara yang mustahil, paling percaya dengan riwayat-riwayat dusta yang mereka buat, serta yang paling mudah untuk menerima riwayat-riwayat palsu. Apalagi dalam ideologi Syiah ini terdapat ajaran taqiyah (bermuka dua) yang sangat mereka perlukan untuk menjalankan misi mereka. Maka mereka pun bersembunyi di balik ajaran ini untuk melemahkan Islam dan kaum Muslimin. Sehingga tampilan luar mereka adalah Syiah, tetapi batin mereka berisi kekufuran (terhadap Islam). [16]

Itulah sedikit dari fakta sejarah yang sudah terjadi. Sebenarnya masih banyak lagi sejarah hitam kekejaman ahli bid’ah ini (kaum Syiah) terhadap Ahlu Sunnah khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya. Kita harus mengambil pelajaran dari masa lalu agar tidak berulang pada masa mendatang. Karena sesungguhnya seorang Mukmin itu tidak boleh jatuh dalam satu lobang berulang kali, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wallâh a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Al-Bidâyah wan Nihâyah (XII/17)
[2]. Wafayâtul A’yân, Ibnu Khalikân (II/192)
[3]. Akhbâr Mulûk Bani ‘Ubaid tulisan ash-Shanhâji hlm. 96
[4]. Ar-Raudhataini fi Akhbâri Daulatain hlm. 201
[5]. Târîkh Islâm , adz-Dzahabi
[6]. Wafayâtul A’yân (III/110)
[7]. Al-Kâmil (VIII/542)
[8]. Al-Kâmil (VIII/549)
[9]. Siyar A’lâmun Nubalâ’ (XVI/232)
[10]. Al-Milal wan Nihal (I/191-192)
[11]. Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 38
[12]. Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 54
[13]. Al-Bidâyah wan Nihâyah (XI/160)
[14]. Al-Bidâyah wan Nihâyah (XVIII/213-224)
[15]. Al-Farqu bainal Firaq hlm 382
[16]. Silahkan lihat Fadhâih Bâthiniyah hlm 18-19 dengan sedikit penambahan dan pengurangan.

Persamaan Syiah (Rafidhah) Dengan Khawarij

Dengan menyebut asma Allah, segala puji hanya milik-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah atas junjungan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Khawarij dan Syi’ah muncul secara bersamaan dalam satu waktu dan dari satu tempat, akan tetapi sebagian besar dasar pokok dan tujuan mereka berbeda-beda. Meski begitu keduanya memiliki kesamaan yang nyata dalam beberapa hal sebagai berikut:

1. Sikap Ghuluw (berlebih-lebihan)

Keduanya bersepakat dalam landasan dasar berbuat ghuluw (berlebih-lebihan), akan tetapi mereka berselisih pada penerapannya. Ghuluwnya kelompok Khawarij adalah ekstrem dalam permasalahan agama dan hukum-hukumnya, bara’ (berlepas diri) dan bersikap keras terhadap orang-orang yang menyelisihinya. Hal itu berdampak pada pengkafiran (terhadap pemimpin), keluar (dari kepemimpinannya) dan memeranginya. Sedangkan ghuluw yang dilakukan oleh Syi’ah adalah terhadap seseorang seperti ghuluw terhadap Ali Radhiyallahu anhu dan Ahlul Bait serta yang lainnya.

2. Bodoh, dungu dan picik pandangan

Setiap kelompok Khawarij ataupun Syi’ah pada umumnya berpandangan picik, bodoh dan dungu. Hal yang menunjukkan akan kebodohan Khawarij adalah sikap mereka terhadap para sahabat dan keluarnya mereka dari pemimpin (imam) dan jama’ah (kaum muslimin). Sedangkan kebodohan Syi’ah dapat dilihat dari sikap ghuluw mereka terhadap AliRadhiyallahu anhu, padahal Ali sendiri berlepas diri dari perbuatan mereka dan pernah menasehati sebagian kelompok orang dari mereka.
3. Kurang paham terhadap ilmu syar’i dan lemah dalam memahami persoalan agama
Cirri-ciri yang menonjol kelompok Khawarij adalah tertipu dengan ilmu (mereka) yang dangkal, tidak punya semangat dalam menuntut dan memperdalam ilmu (Syar’i). sedangkan Syi’ah, mereka tidak menuntut ilmu dari ahlinya, dan tidak menimbanya dari para imam Ahlus Sunnah, bahkan sumber-sumber ilmu mereka berasal dari para pendusta dan pemalsu (hadits). Kedua firqah ini dalam banyak hal tidak memperhatikan hadits ataupun sunnah kecuali apa yang sesuai dengan hawa nafsu mereka.

4. Menjauhi sunnah dan keluar dari pemimpin dan jama’ah kaum muslimin.

Khawarij telah keluar dari jama’ah dalam permasalahan keyakinan (aqidah) dan perbuatan, mereka menentang para imam kaum muslimin dengan mengangkat pedang. Adapun Syi’ah / Rafidhah, mereka keluar dari jama’ah dalam masalah keyakinan dan perbuatan serta berpandangan untuk menentang dengan mengangkat pedang, akan tetapi disyaratkan –sesuai pandangan mereka- munculnya imam Mahdi yang mereka klaim. Oleh karenanya mereka selalu berlomba-lomba untuk menciderai kaum muslimin. (hal itu terbukti dalam sejarah kekejaman Syi’ah sepanjang masa).

5. Enggan beramal dengan dasar hadits dan atsar salaf:

Semua kelompok Khawarij dan Syi’ah tidak berpedoman pada sunnah yang shahih ataupun sunnah yang banyak dilakukan umat Islam kecuali jika mereka memandang bahwa sunnah tersebut dapat menopang hawa nafsunya. Dan mereka ini juga menjauhi atsar para salaf.

6. Rusaknya pemahaman mereka terhadap para sahabat:

Khawarij mengkafirkan sebagian sahabat seperti Ali, Utsman, Mua’wiyah, Abu Musa al-Asy’ari dan ‘Amru bin al-‘Ash Radhiyallahu anhum, serta para sahabat yang ikut dalam perang Jamal dan Shiffin dan yang lainnya. Mereka juga mencela dan mencacat sebgaian kaum salaf. Adapun Syi’ah (Rafidhah), mereka mengkafirkan seluruh sahabat dan sama sekali tidak memberikan pujian kepada mereka kecuali kepada sejumlah kecil saja dari sahabat itu, mereka mencela setiap kaum salaf dan para pemuka agama terlebih lagi adalah para pengikut Ahlus Sunnah.

7. Mengkafirkan orang yang berbeda dengan mereka dari kalangan kaum muslimin:

Khawarij dan Syi’ah, keduanya mengkafirkan kaum muslimin lantaran berbeda pendapat dengan mereka walaupun dasar pengkafiran kedua kelompok tersebut saling berbeda. Khawarij mengkafirkan sebagian sahabat disebabkan oleh pengamalan dan penentuan masalah tahkim, mengkafirkan pelaku dosa besar dari kaum muslimin serta mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka dan tidak bergabung dengan pasukan mereka, dengan beberapa perbedaan dari mereka tentang derajat kekafiran, antara kufur lantaran syirik atau kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan Rafidhah (Syi’ah) mengkafirkan seluruh para sahabat dan mengklaim bahwa mereka telah murtad (kecuali sebagian kecil sahabat, yang tidak lebih dari tujuh orang saja, menurut sebagian mereka). Yang jelas, keduanya mengkafirkan seluruh kaum muslimin, baik pemimpin ataupun kalangan awamnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Dasar pernyataan Rafidhah adalah bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memberikan nash (wasiat) kepada Ali secara jelas karena beliau telah udzur, Ali adalah imam yang ma’shum, barang siapa menyelisihinya berarti kafir, kaum muhajirin dan anshar menyembunyikan nash (wasiat), telah berbuat dhalim dan melampaui batas, bahkan (Syi’ah) telah mengkafirkan mereka (sahabat) kecuali sejumlah kecil saja dari mereka, sekitar belasan atau lebih. Mereka menyatakan; sesungguhnya Abu Bakar dan Umar serta yang semisalnya masih tergolong munafiq. Mereka katakan; (para sahabat) sempat beriman kemudian berubah menjadi kafir. Mayoritas mereka mengkafirkan orang yang meyelisihi ucapan mereka, dan menamakan diri mereka sebagai orang-orang mukmin sedang orang yang menyelisihinya mereka anggap kafir, kota-kota Islam yang tidak boleh muncul perkataan (keyakinan) mereka di sana mereka anggap sebagai Negara murtad (daar riddah), lebih buruk dari kota-kota kaum musyrikin dan nashrani.

Oleh karenanya mereka loyal kepada bangsa yahudi, nashrani dan kaum musyrikin atas sebagian jumhur kaum muslimin, mereka loyal kepada bangsa Eropa yang nashrani atas jumhur kaum muslimin, begitu juga mereka loyal kepada bangsa yahudi di atas jumhur kaum muslimin. Dari mereka muncul induk-induk kezindikan dan kemunafikan, seperti kezindikan Qaramithah aliran kebatinan dan yang semisal mereka, tidak diragukan bahwa merekalah kelompok pembuat bid’ah (membuat hal baru yang menyimpang) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan ini mereka adalah orang-orang yang terkenal oleh masyarakat umum dengan penyimpangannya terhadap sunnah, kebanyakan masyarakat umum tidak mengenal (kebencian yang amat sangat) terhadap orang sunni melainkan dari orang rafidhi (rafidhah syi’ah), jika seseorang berkata: saya sunni maknanya dia bukan seorang rafidhah (syi’ah).

Dan tidak ragu pula bahwa mereka (syi’ah) lebih buruk dari pada kelompok khawarij; meski pada permulaan Islam, khawarij mengangkat pedang menentang ahlul jama’ah (kaum muslimin). Loyalitas mereka (syi’ah) kepada kaum kafir lebih besar dari pada pedang-pedangnya kaum Khawarij. Aliran (syi’ah) Qaramithah dan Isma’iliyah serta yang semisalnya termasuk kelompok yang memerangi ahlul jama’ah meski mereka menisbatkan diri kepada ahlul jama’ah. Khawarij terkenal dengan kejujurannya sedangkan Rafidhah (syi’ah) terkenal dengan kedustaannya. Khawarij keluar (lepas) dari Islam sementara mereka (syi’ah) menentang Islam.” [fnoor/m.a/syiahindonesia.com]

Mana yang Lebih Berbahaya, Syi’ah atau Khawarij?

Syiah dan Khawarij merupakan dua sekte yang muncul secara bersamaan dalam satu waktu bahkan dari sumber yang sama. Meski demikian di antara keduanya ada kesamaan dalam sebagian perkara dan ada perbedaan dalam beberapa perkara lainnya.
Seorang pemerhati dunia Syiah yang berasal dari Mesir, Abdul Malik bin Abdurrahman as Syafi’i dalam bukunya al Fikr at Takfiri ‘Inda as Syi’ah Haqiqah am Iftira’ (Pemikiran Mudah Mengkafirkan Dalam Syiah: Nyata atau Mengada-ada?) menyatakan,  “Syiah dan Khawarij berkolaborasi dalam menebarkan ide-ide takfir dan dalam memusuhi kaum muslimin. Hanya saja kalangan Khawarij melakukan takfir secara terang-terangan dan terbuka. Seperti mereka menyatakan inilah akidah kami. Lain halnya dengan kalangan Syiah yang menyembunyikan pemikiran takfirnya dan tidak memunculkannya di hadapan kaum muslimin. Padahal buku-buku otoritatif mereka penuh dengan riwayat yang begitu mudah mengkafirkan kaum muslimin.”
Meski demikian, ada beberapa poin kesamaan antara Khawarij dan Syiah. Di antaranya, mereka sama-sama berpandangan ekstrem, pola pikir yang pendek, dangkal dalam pemahaman agamanya, mudah mengkafirkan kaum muslimin yang berseberangan dengan mereka, menolak hadits yang shahih meskipun mutawatir, taklid kepada para tokoh dan lain-lain.
Kemudian muncul pertanyaan, manakah yang paling berbahaya antara Syiah dan Khawarij? Jika ditelusuri lebih lanjut kesamaan dan perbedaan antara kedua sekte tersebut maka dapat dipastikan bahwa Syiah jauh lebih berbahaya dari pada kalangan Khawarij.
Di antara karakteristik kalangan Khawarij adalah memerangi kaum muslimin dan membiarkan kaum paganisme. Sementara kalangan Syiah senantiasa membantu kaum kafir dalam memerangi kaum muslimin, mereka tunduk kepada kaum kafir dan mereka menjadi mitra kaum kafir. Sikap kalangan Syiah ini sebagaimana yang bisa kita lihat baik di Iran, Iraq, Lebanon, Yaman, Indonesia dan negara-negara lainnya. Kalangan Syiah begitu mesra berdampingan dengan kaum kafir dari kalangan Yahudi, Nashara, dan sekte-sekte sesat.
Kalangan Khawarij generasi awal mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin ‘Ash. Sementara kalangan Syi’ah mengkafirkan seluruh sahabat kecuali hanya segelintir. Kalangan Syiah mengkafirkan para sahabat yang mulia seperti Abu Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan dan istri-istri Nabi.
Pengkafiran terhadap sosok-sosok yang mulia bisa dilihat dalam ritual Idul Ghadir yang telah lalu dan bisa ditemukan juga nanti dalam ritual Asyura mereka di bulan Muharram.
Dengan demikian, Syiah lebih berbahaya dari pada Khawarij, penyimpangan mereka lebih banyak dari pada penyimpangan Khawarij. Kelompok Syiah dipenuhi dengan kemunafikan dan ini tidak ditemukan dalam Khawarij dan pengkafiran yang mereka lakukan pun jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan vonis kafir yang dilakukan kalangan Khawarij.
Yang jelas, kita berlindung dari dua sekte yang menyimpang ini, dan tidak bisa berharap banyak dari mereka dalam meninggikan kalimat Allah di muka bumi.
Penulis : Dr. (cand) Anung Al-Hamat, Wakil Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Wilayah DKI dan Ketua Forum Studi Sekte-sekte Islam (FS3I).

Khawarij Muslim Syiah Bukan !
Khawarij itu adalah muslimun yang sesat dan tidak kafir. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan di dalam Mushannaf-nya (15/332) dari Thariq Ibnu Syihab, berkata:
Dulu saya berada di samping Ali Ibnu Abi Thalib radliyallahu ‘anhu terus beliau ditanya tentang Ahli Nahrawan apakah mereka itu musyrikin? Maka ia berkata: Dari syirik itu mereka lari,” ditanya lagi: Apakah mereka itu munafiqun? Ia berkata: Sesungguhnya munafiqin itu tidak mengingat Allah kecuali sedikit,” ditanya: Maka apa mereka itu? Ia berkata: Kaum yang aniaya terhadap kita.”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Dan di antara hal yang menunjukkan bahwa para sahabat itu tidak mengkafirkan Khawarij adalah bahwa mereka itu shalat di belakang mereka, dan Abdullah Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu dan para sahabat lainnya shalat di belakang Najdah Al Haruriy, dan para sahabat juga mengajak mereka berbicara dan menyapa mereka sebagaimana orang muslim menyapa orang muslim lainnya, dan sebagaimana Abdullah Ibnu ‘Abbas menjawab surat Najdah Al Haruriy tatkala dia mengirim serat kepadanya untuk menanyakan beberapa masalah, dan haditsnya ada di dalam Al Bukhariy, dan sebagaimana beliau menjawab Nafi’ Ibnu Al Azraq tentang permasalahan yang masyhur, dan Nafi’ itu mengajaknya diskusi dalam beberapa persoalan dengan Al Qur’an sebagaimana layaknya dua muslim yang saling berdiskusi. Dan senantiasa sikap kaum muslimin seperti ini, di mana mereka tidak menjadikan Khawarij itu sebagai murattdin seperti yang diperangi Ash Shiddiq.”.
Sampai beliau rahimahullah berkata:”Para sahabat radliyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itu tidak mengkafirkan mereka dan tidak menjadikan mereka sebagai murtaddin serta tidak berbuat aniaya kepada mereka baik dengan ucapan maupun perbuatan, akan tetapi mereka bertaqwa kepada Allah dalam menyikapi mereka dan memperlakukan mereka dengan perlakuan yang adil.” Selesai (Minhaj As Sunnah 5/247).
Al Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata:”Jumhur ulama berpendapat bahwa Khawarij itu tidak keluar dari barisan kaum muslimin, berdasarkan sabdanya di dalam hadits “yatamaaraa fil fuuq” karena tamariy itu tergolong syakk (keraguan), dan bila terjadi keraguan dalm hal itu maka tidak dipastikan status mereka keluar dari islam, dikarenakan orang yang telah terbukti keislamaannya dengan meyakinkan adalah tidak dikeluarkan darinya kecuali dengan meyakinkan pula. Dan berkata: Ali telah ditanya tentang Ahli Nahrawan, apakah mereka itu kafir? Beliau berkata: Dari kekafiran itu mereka lari.” Selesai(Fathul Bari 12/375).
Al Imam An Nawawiy rahimahullah berkata:”Asy Syafi’iy dan jumhur ulama madzhabnya berpendapat bahwa Khawarij itu tidak kafir.” Selesai ( Syarh Shahih Muslim 7/225).
Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Mayoritas Ahlul Ushul dari kalangan Ahlussunnah bahwa Khawarij itu orang-orang fasiq dan bahwa mereka itu masih berstatus sebagai muslim dikarenakan mereka mengucapkan dua kalimah syahadat dan masih komitmen dengan rukun-rukun Islam, dan sebab mereka fasiq itu adalah dikarenakan mereka mengkafirkan kaum muslimin seraya bersandar kepada takwil yang rusak dan hal itu menggiring mereka untuk menghalalkan darah dan harta orang-orang yang menyelisihi mereka serta memvonis mereka sebagai orang kafir dan musyrik.” Selesai (Fathul Bari 12/375).
Bahkan Al Imam Al Khaththabiy mengklaim ijma terhadap sikap tidak mengkafirkan Khawarij, di mana beliau berkata: “Ulama kaum muslimin telah ijma bahwa Khawarij itu walaupun mereka itu sesat adalah masih salah satu firqah dari firqah-firqah kaum muslimin, dan para ulama membolehkan menjalin pernikahan dengan mereka dan memakan sembelihan mereka, dan bahwa mereka itu tidak kafir selagi masih berpegang dengan Ahlul Islam.” Selesai (Fathul Bari 12/375).
Maka tidak boleh langsung memerangi mereka, akan tetapi diterapkan pada mereka tuntunan orang yang paling paham tentang Khawarij yaitu Al Khalifah Ar Rasyid yang keempat Amirul Mu’minin Ali Ibnu Abi Thalib radliyallahu ‘anhu, di mana beliau berkata kepada mereka: “Sesungguhnya hak kalian atas kami adalah tiga:

1- Kami tidak menghalangi kalian dari shalat di mesjid ini.
2- Kami tidak menghalangi kalian dari bagian kalian dari fai ini selagi tangan-tangan kalian bersama tangan-tangan kami.
3- Kami tidak akan memerangi kalian sampai kalian memerangi kami.”
Selesai (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 15/238-327, Ibnu Jarir di dalam Tarikh-nya 5/688, dan Asy Syafi’iy di dalam Al Umm 4/136 sedangkan sanadnya adalah munqathi’ akan tetapi sanad itu memiliki banyak penguat dan telah diriwayatkan pada jalur lain, itu dikatakan oleh Al Baniy dalam Irwaul Ghalil 8/117-118).

Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:”Khawarij yang mengkafirkan dengan sebab dosa dan mengkafirkan Utsman, Ali, Thalhah, Az Zubair dan banyak sahabat serta menghalalkan darah dan harta kaum muslimin kecuali orang yang keluar bersama mereka, maka dhahir ucapan para fuqaha dari kalangan ulama muta’akkhirin madzhab kami adalah bahwa mereka itu bughat, status mereka sama dengan status bughat, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy Syafi’iy, jumhur fuqaha dan banyak ahli hadits.” Selesai (Al Mughniy 12/238).
Maka bagaimana bisa diperangi dan dikobarkan semangat untuk memerangi mereka, sedangkan mereka itu tidak memulai memerangi? Bahkan bagaimana bisa harta mereka, kendaraan-kendaraan mereka dan maqar-maqar mereka dijadikan ghanimah? Bahkan bagaimana boleh orang-orang yang terluka dan tawanan-tawanan mereka itu dihabisi dan disiksa? Bahkan bagaimana isteri-isteri mereka yang merdeka itu dinodai?
Padahal para ulama telah menegaskan di dalam kitab-kitab mereka terhadap perbedaan antara memerangi kaum muslimin dari kalangan bughat atau khawarij dengan memerangi kaum musyrikin, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Imam Al Qarafiy rahimahullah:
“Memerangi mereka itu dibedakan dari memerangi kaum musyrikin dengan sebelas sisi perbedaan: Tujuan memerangi mereka itu adalah penjeraan bagi mereka bukan membunuh mereka, orang yang melarikan diri dari mereka tidak dikejar, korban mereka yang luka-luka tidak dihabisi, tawanan mereka tidak dibunuh, harta mereka tidak dijadikan ghanimah, anak isteri mereka tidak dijadikan sabaya (budak-budak), dalam memerangi mereka tidak boleh meminta bantuan orang musyrik, tidak menjalin damai dengan mereka dengan bayaran harta, tidak dipasang pelontar (semacam mortir) terhadap mereka, rumah-rumah mereka tidak dibakar dan pohon-pohon mereka tidak ditebang.” Selesai (Anwarul Buruq Fi Anwa’I’ll Furuq 4/172).
Kemudian seandainya atas analogi bolehnya memerangi mereka secara asal, maka apakah boleh memerangi mereka pada saat kondisi sedang memerangi Nushairiyyah dan Rafidlah?
Al Imam Syamsuddien Adz Dzahabiy berkata dalam biografi Al Imam Abu Al Fadlli Al ‘Abbas Al Mumsiy rahimahullah:
“Tatkala Abu Yazid Mukhallad Ibnu Kandad Al A’raj pimpinan Khawarij menentang Banu ‘Ubaid, maka Al Mumsiy ini keluar bersamanya dengan sejumlah ulama Qairuwan dikarenakan dasyatnya bencana yang menimpa mereka, di mana sesungguhnya Al ‘Ubaidiy ini telah terbongkar hakikatnya dan dia menampakkan apa yang disembunyikan batinnya, sampai mereka mengikat Hasan Adl Dlarir As Sabab di jalanan dengan sajak yang mereka nukilkan, dia mengatakan: “Laknatlah goa dan apa yang ada di dalamnya, dan (laknatlah) selimut dan apa yang ditutupinya, serta hal lainnya, dan barangsiapa mengingkari(nya), maka dipenggal leherrnya.
Dan itu pada awal kekuasaan Raja Ketiga Ismail, maka Mukhallad Az Zalatiy tersebut penguasa Himarah, sedangkan dia itu orang yang zuhud, dan yang lainpun ikut bangkit mengikutinya, sehingga dia bisa menaklukan negeri-negeri dan merampas kota Qairuwan, akan tetapi Khawarij melakukan setiap keburukan, sampai para ulama-pun mendatangi Abu Yazid untuk mencelanya. Maka dia berkata: Menjarah kalian adalah halal bagi kami” maka mereka-pun berbuat lembut kepadanya sampai dia memerintahkan orang-orang agar menahan tangan, dan Al ‘Ubaidiy itu berlindung di benteng Mahdiyyah..”.
Sampai beliau rahimahullah berkata:”Khawarij itu adalah musuh kaum muslimin, dan adapun Ubaidiyyah Bathiniyyah itu maka mereka itu musuh Allah dan Rasul-Nya.” (Siyar A’lamin Nubala 15/372).
Jadi inilah madzhab yang shahih dan pendapat yang rajih, bukan seperti apa yang difatwakan oleh setiap orang busuk. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:”Bila penegakkan kewajiban berupa ilmu, jihad dan lainnya itu tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan orang yang padanya ada bid’ah – yang bahayanya lebih rendah dari bahaya peninggalan kewajiban itu – maka peraihan mashlahat kewajiban dengan disertai mafsadah yang lemah bersamanya adalah lebih baik dari sebaliknya.” Selesai(Majmu’ Al Fatawa 28/212).
Orang yang mengikuti Al Haq maka dia akan merasa cukup dengan satu dalil, dan adapun orang yang mengikuti hawa nafsu maka seribu dalil-pun tidak akan cukup baginya! Allah Ta’ala berfirman:”Sungguh, orang-orang yang telah di pastikan mendapat ketetapan Tuhanmu, tidaklah akan beriman. Meskipun mereka mendapatkan tanda-tanda (kebesaran Allah), hingga mereka menyaksikan azab yang pedih.” (Yunus: 96-97).
Dan barangsiapa yang menolak dan kembali menuduh setelah bukti-bukti penjelasan yang terang ini, maka mari berdiskusi ilmiyyah dan beradu hujjah! Alangkah indahnya apa yang diriwayatkan dari Umar Ibnu Abdil Aziz radliyallahu ‘anhu, bahwa ia mengirim surat kepada Syaudzab Al Kharijiy, di mana di dalam isi surat itu berkata:”Telah sampai kepadaku bahwa kamu memberontak sebagai bentuk marah karena Allah dan Nabi-Nya, sedangkan kamu tidak lebih utama dengan hal itu dari diriku, maka marilah ke sini kita berdiskusi, kemudian bila Al Haq ada pada kami maka kamu masuk dalam ketaatan yang dilakukan manusia, dan bila kebenaran itu ada pada dirimu maka kami akan meninjau urusan kami.” Selesai(Silahkan rujuk diskusi yang terjadi antara Umar dengan Syaudzab pada Ibnul Hakam hal: 99-102).
Dan akhir seruan kami adalah Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi paling mulia dan imam para Rasul. Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baiknya penolong.
Dikutip/dimodifikasi dari tulisan Abu Humam Bakr Ibnu Abdil Aziz Al Atsariy (18/3/1435H / 19/1/2014M).
Diterjemahkan oleh Abu Sulaiman Al Arkhabiliy pada tanggal 01/4/1435H



Mengikuti Manhaj Salaf Dalam Segala Hal

Oleh
Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan

Dalam memahami Islam, dalam bentuk apapun, baik masalah ibadah, syari’ah, mu’amalah; terutama masalah aqidah, harus mengikuti sebagaimana ulama-ulama Salaf memahaminya. Sebagai contoh dalam memahami al Qur`an dan al Hadits, kita tidak boleh lepas dari pemahaman ulama-ulama Salaf. Mengapa harus mengikuti para salaf?

Karena para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, mereka adalah yang paling memahami tentang Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Begitu pula kita harus mengikuti imam-imam Ahlus Sunnah, karena mereka sangat memahami tentang Islam. Apa yang difatwakan mereka adalah untuk kebaikan bagi kaum Muslimin. Memang, para imam-imam tersebut tidak ma’shum, tetapi, mereka itu adalah mujtahid. Sedangkan ciri Ahlus Sunnah, di antaranya ialah mengikuti para ulama dalam memahami dalil, terutama masalah fitnah yang dimunculkan oleh firqah-firqah. Sebagai contoh, yaitu Khawarij dan Syi'ah. 

Khawarij, mereka salah dalam memahami ayat : 

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. [al Maidah/5 : 44].

Kelompok Khawarij tidak rela terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu kepada Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu, dan akhirnya mereka mengkafirkan Ali Radhiyallahu 'anhu. Setelah itu, muncullah kelompok yang mengatasnamakan pendukung Ali Radhiyallahu 'anhu yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang kemudian menyatakan masuk Islam, dan pada akhirnya nanti sebagai bibit pertama munculnya Syi'ah. Tokoh ini sangat berlebihan dalam mencintai Ali Radhiyallahu 'anhu. Dia menyatakan, bahwa berdasarkan wasiat dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, katanya, Ali Radhiyallahu 'anhu lebih berhak menjadi khalifah. Bahkan Syi'ah sampai mengangkat Ali sebagai ilah (sesembahan). Kedua firqah ini muncul pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu.

Firqah lain yang juga muncul, yaitu Qadariyah dan Murjiah. Firqah Qadariyah sendiri telah ada sejak zaman Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, karya Al Lalika’i (I/35-36) disebutkan, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata : Orang-orag musyrik Quraisy mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mendebat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah qadar, maka turunlah firman Allah Azza wa Jalla. 

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ

[Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka - al Qamar/54 ayat 47-]. 

Disebutkan dalam al Lalika’i, halaman 36, ketika terjadi perdebatan di antara para sahabat dalam masalah qadar, dan didengar oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memarahi dan melarang mereka untuk mengulang-ulang pembicaraan tersebut. Dalam riwayat Muslim, dari Yahya bin Ya’mar, sesungguhnya ia berkata : "Orang yang pertama kali berbicara tentang al qadr di Basrah adalah, Ma’bad al Juhani".

Madzhab Qadariyah berpandangan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mentaqdirkan sesuatu dan Dia tidak mengetahuinya. Menurut paham sesat Qadariyah, Allah mengetahui setelah suatu kejadian itu terjadi. Dari pemahaman ini, berarti ada dua kesimpulan. Pertama, ingkar terhadap ilmu Allah sebelum sesuatu itu terjadi. Kedua, berarti hamba itu terjadi dengan sendirinya, bukan dari Allah. [Lihat al Lalika’i, 1/36-37].

Sedangkan Murjiah, mereka mempunyai pandangan, apabila seseorang yang beriman, melakukan dosa maka dosanya itu tidak mempengaruhi keimanannya. Sebagaimana orang kafir, sekalipun melakukan ketaatan, akan tetapi ketaatan itu tidak mempengaruhi kekufurannya. Mereka menyangka, iman itu hanya pembenaran di dalam hati saja. [Syarah Aqidah Washithiyah, Harrasy, hlm. 188]

Jadi, pada zaman pertengahan Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu, telah muncul bid’ah-bid’ah Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Syi’ah. Kemudian pada tahun 100-150 H muncullah nama pemuka ahli bid’ah, di antaranya Muqatil bin Sulaiman, Jahm bin Shafwan, Al Ja’d bin Dirham dan Washil bin Atha’. Mereka ini, masing-masing mempunyai pemikiran dan diikuti oleh jamaahnya.

Kemudian pada tahun 150-234 H, seiring dengan munculnya empat tokoh ahli bid’ah tersebut, muncul bid’ah-bid'ah dalam pemikiran, di antaranya :

1. Manzilah bainal manzilatain (satu tempat di antara dua tempat), yaitu tidak mukmin tidak kafir.
2. Masalah dosa besar. 
3. Muncul bid’ah yang menyatakan bahwa al Qur`an itu makhluk. 
4. Bid’ah yang menafikan (menolak) Asma’ wa Shsifat (nama-nama dan sifat-sifat Allah), atau menta’wilnya. 
5. Bid’ah Jabariyah, yang berpandangan bahwa manusia itu dipaksa oleh Allah, dan manusia sama sekali tidak mempunyai kekuatan kehendak.

Inilah bid'ah-bid'ah yang muncul pada saat itu, yang pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu. Dan bid’ah yang pada waktu kemudian bermunculan, banyak terpengaruh oleh pemikiran atau filsafat Yunaniyah, merupakan produk dari akal manusia yang jahil, menyimpang dari al Qur`an dan as Sunnah dan pemahaman Salaful Ummah.

Adapun firqah-firqah yang muncul pada masa sekarang ini, semuanya menginduk kepada empat firqah tersebut, bisa ke Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, atau Murjiah. Kesesatan firqah-firqah tersebut bisa karena mereka melampui batas dalam melaksanakan perintah, ataupun meninggalkan yang semestinya boleh dilakukan. Yakni, mereka terjatuh ke dalam al ifrath (terlalu mengagungkan) dan at tafrith (berlebih-lebihan). Padahal Islam itu wasath (tengah-tengah), di antara al ifrath dan at tafrith. Artinya, tidak boleh berlebih-lebihan, dalam batas yang disyariatkan. Islam itu lurus.

Firqah-firqah itu menisbatkan diri kepada Islam dan berbicara tentang Islam. Dan dalam membicarakan Islam, firqah-firqah tersebut menggunakan akal dan filsafat Yunani. Apabila al Qur`an dan Hadits bertentangan dengan akal dan filsafat, mereka akan mendahulukan akalnya daripada al Qur`an dan as Sunnah. Maka jelaslah, pemikiran semacam ini menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Dan harus diwaspadai, karena pola pemikiran seperti ini beredar di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. Sehingga tak mustahil bisa melahirkan kecenderungan berpikir sangat berbahaya. Terlebih lagi bagi masyarakat kita yang mayoritas awam dan sangat kagum dengan orang yang mempunyai gelar kesarjanaan.

Dalam makalah ini, kami akan mengemukakan beberapa contoh, bahwa Islam itu berada di tengah-tengah, di antara al ifrath dan at tahrith, tidak kurang dan tidak berlebihan. Naskah yang ditulis oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan ini, diangkat dari Tahdzib, Tashil al Aqidah al Islamiyah, Dr. 'Abdullah bin 'Abdul Aziz al Jibrin. Semoga bermanfaat.

DALAM MASALAH IBADAH
Dalam masalah aqidah ini, pemahaman Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, antara pemikiran Rafidhah dan ad Duruz an Nushairiyah 

Rafidhah, mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetapi tidak sebagaimana yang disyariatkanNya, seperti dalam berdzikir, tawasul. Dzikir mereka amalkan ialah dengan dipimpin, dan secara berjamaah. Mereka juga bertawasul kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal, membuat acara-acara bid’ah, seperti Maulid Nabi, Isra` Mi`raj, mendirikan bangunan di atas kubur, kemudian shalat dan thawaf, serta menyembelih di atasnya. Perbuatan yang mereka amalkan sangat melampui batas, hingga mereka menyembah dan berdoa kepadanya, dengan maksud untuk mendatangkan manfaat dan menolak madharat (bahaya, musibah). Misalnya dengan maksud minta kaya dan keselamatan, serta menolak bala` (musibah).

Ad Duruz an Nushairiyah, mereka tidak melaksanakan ibadah-ibadah yang biasa dilakukan oleh kaum Muslimin. Mereka meninggalkan shalat, tidak berpuasa, tidak zakat, tidak berhaji dan seterusnya.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan yang disyariatkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah. Tidak meninggalkan yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak menambah dengan hal-hal baru yang tidak ada contohnya dari Rasul. Berdasarkan hadits : 

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ 

Barangsiapa membuat-buat suatu yang baru dalam agama ini yang tidak berasal darinya, maka itu tertolak. [Muttafaq ‘alaih]

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada dalam agama kami ini, maka itu tertolak. [HR Muslim]

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ 

Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta seburuk-buruknya adalah perkara baru yang dibuat-buat. Dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat. [HR Muslim].

DALAM MASALAH ASMA`DAN SIFAT ALLAH
Pemahaman Ahlus Sunnah dalam asma` dan sifat Allah berada di tengah-tengah di antara kelompok-kelompok Mu’aththilah (yang menafikan) dan kelompok yang Mumatstsilah (yang menyamakan Allah dengan makhluk). Di antara Mu’aththilah ada yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah, seperti Jahmiyah. Juga ada yang mengingkari sifat-sifat Allah, seperti Mu’tazilah, dan ada yang mengingkari sebagian sifat-sifat Allah, seperti al Asy'ariyah. Mereka ini, dalam menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah bersandar kepada akal manusia, bukan dengan al Qur`an dan as Sunnah.

Al Mumatstsilah, yaitu kelompok yang menjadikan sifat Allah sama seperti sifat makhluk. Seperti mengatakan tangan Allah seperti tangan kami, pendengaran Allah seperti pendengaran kami, dan seterusnya. Pemahaman seperti ini berbeda dengan Ahlus Sunnah.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla atas diriNya dan apa-apa yang ditetapkan oleh RasulNya, baik berupa nama-nama dan sifatNya, tidak dita’wil (dirubah artinya), tidak ditolak (diingkari), tidak disamakan dengan sifat-sifat makhluk, dan tidak bertanya tentang hakikatnya. Ahlus Sunnah mengimani bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah itu benar-benar ada (haqiqi), sesuai dengan kebesaran Allah, dan tidak sama dengan sifat-sifat makhluk. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura/42 : 11]. [Lihat Taqrib at Tadmuriyyah]

DALAM MASALAH QADHA DAN QADAR
Ahlus Sunnah wal Jamaah berada di antara Jabariyah dan Qadariyah. 

Firqah Qadariyah, mereka menafikan qadr (ketentuan Allah). Mereka berpendapat, bahwa perbuatan manusia, baik yang berupa ketaatan maupun kemaksiatan, tidak ada campur tangan dari Allah. Perbuatan itu tidak ditakdirkan dan tidak ditentukan Allah. Menurut mereka, perbuatan manusia itu terbebas dari apa saja, tidak ada yang mempengaruhi dan tidak diciptakan oleh Allah. Yang berarti perbuatan manusia itu diciptakan oleh dirinya sendiri. Apabila demikian, berarti Qadariyah terjatuh ke perbuatan syirik dalam masalah rububiyah; karena ada beberapa pencipta, yaitu Allah dan manusia. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjuluki mereka dengan "majusinya" umat ini.

Adapun Jabariyah, mereka berlebihan dalam menetapkan qadr. Mereka berpendapat, sesungguhnya perbuatan hamba itu dipaksa oleh Allah. Manusia hanya mengikuti saja, ibarat daun ditiup angina. Jabariyah menganggap manusia tidak mempunyai kehendak apapun, terserah angin yang membawa. 

Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki pemahaman tengah-tengah di antara Jabariyah dan Qadariyah. Ahlus Sunnah menetapkan, bahwa manusia (hamba) itu benar-benar berbuat, dan perbuatan mereka itu dinisbatkan kepada mereka (yang berbuat) dengan sebenar-benarnya. Tetapi, semua perbuatan hamba itu terjadi dengan takdir dan kehendak, dan merupakan ciptaanNya. Allah-lah yang menciptakan hamba dan perbuatan hamba tersebut. Firman Allah: 

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. [ash Shaffat/37 : 96]

Seorang hamba mempunyai kehendak, tetapi kehendaknya itu di bawah kehendak Allah. Firman Allah : 
تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ 

an kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. [at Takwir/81 : 29]

Allah memerintahkan kepada hamba untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya, dan melarang mereka berbuat maksiat. Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa, dan Dia tidak ridha kepada orang yang fasik. Supaya hamba tidak menuntut di akhirat nanti, maka Allah mengutus Rasul dan menurunkan kitab. Barangsiapa yang taat, silakan taat dan akan diberi pahala. Sebaliknya, barangsiapa yang ingin bermaksiat, silakan berbuat maksiat dan akan mendapat balasan. Karena permasalahannya sudah jelas, dan Allah tidak zhalim terhadap hambanya. Firman Allah :

مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba(Nya). [Fushilat/41 : 46].

Ada empat tingkatan yang harus diimani dalam masalah qada’ dan qadr ini.
1. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu.
Sesungguhnya Allah mengetahui yang sudah terjadi dan yang akan terjadi, dan Allah mengetahui perbuatan hambaNya sebelum Allah menciptakannya.

2. Segala yang ada telah dicatat oleh Allah di dalam Lauhul Mafudz pada 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakannya. 

3. Kehendak dan kekuasaan Allah meliputi apa yang Allah kehendaki, maka bisa terjadi. Begitu pula apa yang tidak dikehendakiNya, maka tidak akan terjadi. Semua yang terjadi tersebut atas kehendak Allah sebelum hal itu terjadi.

4. Allah menciptakan segala sesuatu.
Allah-lah yang menciptakan orang yang mengerjakan dan pekerjaannya, dan yang bergerak dan gerakannya, dan semua yang diam dan diamnya.

DALAM MASALAH AL WA’D DAN AL WA’ID 
Al wa’du atau janji, yaitu ayat-ayat yang memberikan janji surga bagi yang beramal shalih. Sedangkan al wa’id atau ancaman, yaitu ayat-ayat yang memberikan ancaman neraka bagi yang berbuat maksiat. 

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Wa’idiyah dan Murjiah. 

Kelompok Wa’idiyah mempunyai pemahaman, bahwa ayat-ayat al wa’diyah (ancaman) harus diutamakan dibandingkan dengan ayat-ayat al wa’du (janji). Menurut mereka, pelaku dosa besar, seperti zina, minum khamr adalah kafir dan kekal di neraka. 

Sedangkan Murjiah, mereka mengutamakan ayat-ayat al wa’du daripada ayat-ayat al wa’id. Mereka berkata, iman ialah pembenaran dalam hati. Amal tidak termasuk iman. Dan kemaksiatan seorang mu’min (seperti zina dan minum khamr) tidak membahayakan keimanannya, dan ia tidak berhak masuk Neraka. Menurut mereka, seorang mukmin meskipun bermaksian, keimanannya tetap seperti keimanan yang dimiliki Abu Bakr dan ‘Umar Radhiyallahu a'nhuma. 

Berbeda denganAhlus Sunnah wal Jamaah yang berpendapat, seorang muslim, apabila berbuat maksiat (seperti melakukandosa besar), maka dia tidak keluar dari Islam. Artinya, dia tetap muslim, tetapi imannya berkurang. Selama tidak melakukan perbuatan yang mengkafirkannya, dia tetap mukmin dengan imannya, dan fasiq dengan dosanya. Dan di akhirat terserah kepada Allah Azza wa Jalla. Jika Dia berkehendak untuk mengampuni, maka dia diampuni. Jika tidak, maka disiksa sampai bersih dosa-dosanya, kemudian masuk surga. Mereka tidak kekal di neraka, kecuali jika mati dalam keadaan kufur dan syirik kepada Allah.

Definisi iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah, diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, diamalkan dengan anggota badan. Dan iman itu bisa bertambah dengan sebab ketaatan, berkurang akibat perbuatan maksiat.

DALAM MASALAH PARA SAHABAT NABI SHALALLLAHU A'ALAIHI WA SALLAM
Kepada para sahabat Nabi, pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah kepada mereka berada di antara al Khawarij dan Syiah.

Syiah, mereka melampaui batas dalam mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi), seperti kepada Ali bin abi Thalib dan anak-anaknya Radhiyallahu 'anhum. Mereka memiliki anggapan bahwa Ali Radhiyallahu a'nhu itu ma’shum (tidak pernah salah), mengetahui hal-hal ghaib, dan lebih utama daripada Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu. Bahkan ada yang sampai mengatakan Ali Radhiyallahu 'anhu itu ilah (Tuhan). 

Sedangkan Syiah Rafidhah, mereka membenci kepada sebagian sahabat. Mereka melontarkan celaan kepada sebagian sahabat. Mereka mengatakan bahwa para sahabat telah kufur dan murtad setelah Rasulullah n wafat, termasuk juga Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu. Tidak ada pengecualian, selain Ahlul Bait dan beberapa sahabat saja. Mereka berkata, sesungguhnya mereka itu adalah kekasih Ahlul Bait.

Mereka juga mengecam isteri-isteri Rasul dan afdhalush shahabah (sahabat terbaik), yaitu Abu Bakr secara terang-terangan. Terkadang mereka tampak meridhainya, dan secara dhahir menunjukkan kecintaan kepada sahabat dan dekat kepada Ahlus Sunnah. Namun, mereka sebenarnya hanyalah melakukan tipuan saja, sebab aqidah mereka adalah aqidah taqiyyah (pura-pura), dhahirnya menampakkan Ahlus Sunnah, akan tetapi hakikat di dalam kalbunya Syiah.

Sebaliknya, al Khawarij berseberangan dengan Syiah. Khawarij sangat membenci Ali Radhiyallahu 'anhu, dan tidak memberikan hak yang sebenarnya kepada Ali Radhiyallahu 'anhu. Mereka juga mengkafirkan Mu’awiyah dan mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka mencintai sahabat Nabi dan meridhainya. Ahlus Sunnah berpendapat, para sahabat adalah orang yang paling mulia setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Allah telah memilih mereka sebagai sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak memberikan komentar terhadap pertikaian mereka. Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat, para sahabat adalah mujtahidun, yang mendapat pahala. Jika benar mendapat dua pahala, tetapi jika salah mendapat satu pahala. 

Ahlus Sunnah juga berpendapat, sahabat yang termulia adalah Abu Bakr kemudian Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian Ali Radhiyallahu 'anhum, dan juga mencintai Ahlul Bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Bait mendapat dua hak, yaitu hak Islam dan hak keluarga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dari penjelasan ringkas ini, menunjukkan bila Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai dan meridhai para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]