Friday, April 3, 2015

Sepenggal Kisah Umar bin Khathab

“Barang siapa yang menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Barangsiapa yang menyembah Allah, sesunggahnya Allah Maha Hidup dan tidak mati.”
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144)
kata-kata singkat dan ayat penuh makna itu keluar dari lisan Abu Bakar ash-shiddiq di hadapan umat Islam. Semuanya bungkam, tak bergeming, seolah-olah baru mendengar ayat ini. seakan-akan ayat ini belum pernah turun sebelumnya. Semakin yakinlah mereka bahwa sosok yang mereka cintai, Rasulullah Muhammadshallallahu alaihi wa sallam telah meninggalkan dunia yang fana ini menemui Rabb-nya yang Maha Kekal.
Umar bin Khattab semula tidak percaya bahwa Rasulullah telah wafat. Ia yakin bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pergi menemui Rabb-nya sebagaimana Musa menemui-Nya selama 40 malam. Namun, setelah mendengar petuah dan nasehat mertua Rasulullah, Abu Bakar ash-shiddiq, jatuhlah dia, terduduk di tanah. Kakinya serasa berat untuk digerakkan. Bisa dibayangkan bagaimana sedihnya para sahabat dan umat Islam kehilangan orang tercinta, guru terbaik, sahabat tersayang. tak terkecuali Umar bin Khattab radhiyallahu anhu.
Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang keras, tegas, kuat dan sangat disegani hingga Rasulullah bersabda bahwa jika syetan melihat Umar berlalu atau melintasi satu jalan, maka syetan akan memilih jalan lain. Meski demikian, dia juga manusia biasa yang bisa sedih, bisa lemah, terlebih saat mendengar dan melihat sahabatnya meninggal dunia. Berapa banyak nasehat yang didapatnya dari Rasulullah, tak terhitung ilmu yang diterimanya dari Rasulullah hingga dia menjadi manusia yang memiliki derajat tinggi di sisi Allah. Sebelumnya dia adalah penyembah berhala. Cahaya Islam telah membawanya menjadi manusia yang unggul.
Kedekatannya dengan Rasulullah bisa dilihat lewat riwayat-riwayat dah hadits-hadits Nabawiyah.  Abdullah bin Abbas sering mendengar Nabi bersabda, “Aku pergi bersama Abu Bakar dan Umar, Aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar. Aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar.” (Muttafaq ‘alaihi).
Kisah lain dituturkan oleh Anas bin Malik, ”Suatu ketika Nabi, Abu Bakar, Umar, dan Utsman berjalan menaiki Gunung Uhud. Tak lama kemudian gunung itu berguncang. Lalu Nabi bersabda, Tenanglah, hai Uhud! Sesungguhnya di atasmu ada seorang Nabi, seorang Shiddiq (Abu Bakar), dan dua orang syahid (Umar dan Utsman).” (Muttafaq ‘alaihi).
Umar Menangis
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Umar juga memiliki hati yang lembut meskipun ia keras dan tegas. Rasulullah pernah menceritakan mimpinya, Ketika aku tidur, aku bermimpi sedang berada di dalam Surga. Saat itu ada seorang wanita yang berwudhu di samping sebuah Istana. Aku bertanya (kepada para malaikat),“Milik siapakah istana ini?”, mereka menjawab, “Istana ini milik Umar. Lalu Rasulullah menyebutkan ihwal kecemburuan Umar terhadap apa yang menjadi miliknya lalu pergi. Mendengar perkataan Rasulullah, air mata Umar pun menetes, “Pantaskah aku cemburu kepada engkau wahai Rasulullah?” ucapnya kemudian.
Ketika tersebar kabar bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hendak menceraikan istri-istrinya, umar merasa resah. Kemudian ia menemui Rasulullah di dalam kamarnya. Umar masuk ke kamar dan menjumpai Nabi sedang berbaring di atas sehelai tikar yang terbuat dari pelepah daun kurma, sehingga badan Nabi berbekas. Umar juga melihat tiga lembar kulit binatang yang telah disamak dan sedikit gandum di sudut kamar. Selain itu tak terdapat apapun. Melihat pemandangan kamar demikian, menangislah Umar. Umar prihatin melihat keadaan Rasulullah, sangat jauh berbeda dengan keadaan Kaisar Romawi dan Kisra yang hidup mewah bergelimang harta. Rasulullah pun menasehatinya, Wahai Umar, sepertinya engkau masih ragu dengan hal ini. kenikmatan di akhirat, tentu lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia ini. jika orang-orang kafir itu dapat hidup mewah di dunia ini, kita pun akan memperoleh segala kenikmatan itu di akhirat nanti. Di sana kita akan mendapat segala-galanya.” Mendengar sabda Rasulullah, Umar pun menyesal dan meminta pada Rasulullah agar memohonkan ampun pada Allah untuk dirinya.
Makam Umar bin Khattab
Umar terbunuh di kota Madinah akibat tikaman sebilah pisau beracun Abu Lu’luah seorang Majusi Persia (baca: Iran) saat meng-imami kaum muslimin shalat subuh. Di kemudian hari Abu Lu’luah ini dipuja-puja oleh kelompok Syi’ah Rafidhah karena berhasil membunuh orang yang telah menghancurkan dan menaklukkan Persia.
Umar memang mendambakan dan menginginkan mati syahid fi sabilillah di kota Madinah, dan Allah mengabulkan do’anya itu. Ia juga dimakamkan bersebelahan dengan dua sahabatnya tercinta, yaitu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar ash-shiddiq.
Ada satu kisah menarik berkenaan dengan makam Umar dan Abu Bakar ini. Kisah ini terdapat dalam Majalah Qiblati edisi Ramadhan 1433 H.
Alkisah, ada seorang syiah yang berkunjung ke kota Madinah dan hendak menziarahi makam Rasulullah. Ketika ia sampai di makam Rasulullah, ia memberi salam dan mendo’akan beliau. Ada yang aneh, dia melihat orang-orang di dekatnya ikut mendoakan dua makam di dekat makam Rasulullah. Dua makam itu tidak lain adalah makam Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Alangkah kaget dan terkejut dia melihat hal tersebut. Musuh terbesar dalam agamanya yaitu Abu Bakar dan Umar, musuh yang selalu ia cela, maki, dan ia kafirkan selama ini justru dikuburkan berdampingan dengan makam orang yang dicintainya. Bagaimana mungkin musuh dimakamkan dekat dengan Rasulullah!? Ia pun tersadar, dan merasa dibohongi oleh para ulama syi’ah. Kemudian dia bertaubat memohon ampun pada Allah dan mengganti aqidahnya dari syi’ah menjadi ahlus sunnah. (Kisah lengkapnya Anda bisa baca pada link ini:http://www.lppimakassar.com/2012/09/islamnya-seorang-penganut-syiah.html)
Tidaklah terlalu mengherankan, karena imam Syiah sendiri (orang yang yang mereka anggap sebagai Imam), Ali bin Musa Ar-Ridha dikuburkan dekat dengan makam khalifah Abbasiyah yang Sunni, Harun ar-Rasyid di kota Masyhad (dulu bernama Thus), Iran. Bahkan, orang yang dianggap sebagai Imam ke-8 oleh orang Syi’ah ini yang meminta sendiri agar dimakamkan di sisi makam Harun ar-Rasyid. Makam Imam Ali bin Musa ar-Ridha melekat dengan makam Harun Ar-Rasyid di bawah kubah yang sama dalam masjid yang sama di Kota Masyhad, Iran.
Kata Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi, “Tidak mungkin seorang laki-laki memberikan wasiat untuk dikuburkan di sisi jenazah seseorang, melainkan jika jenazah tersebut termasuk golongan orang-orang shalih dan bertakwa.” (Majalah Qiblati, edisi Rabiul Akhir 1433 H)

Bagaimana tanggapan Syi’ah atas kuburan Umar yang berada di sisi Rasulullah dan Imam Ali ar-Ridha yang berada bersebelahan dengan makam Harun ar-Rasyid? Biarlah mereka yang menjawabnya.(Mahardy/lppimakassar.com)

Dr. Muhaysini : Kemenangan ini Bukan Sekadar untuk Meruntuhkan Basyar Asad Saja

Pada Sabtu (28/03) selepas shalat Zuhur waktu Suriah, Mujahidin akhirnya berhasil merebut Kota Idlib, membebaskannya dari tentara rezim Nushairiyah dan milisi Syiah pendukungnya.
Kontributor Bumisyam, Shakirullah melaporkan, setelah melewati pertempuran kilat selama 5 hari berturut-turut sejak Selasa (24/03), setahap-demi setahap kekuatan rezim yang ada dalam kota dipatahkan dan dipukul mundur oleh Mujahidin hingga mereka keluar dari Kota Idlib.
Syaikh DR Abdullah Al Muhaysini—sosok yang selama ini tiada hentinya memompa semangat Mujahidin—mengatakan, “Keberhasilan Mujahidin pada pertempuran ini adalah atas karunia Allah semata. Kemudian dengan persatuan Mujahidin melalui aliansi yang saya sebut dengan nama Jaisy Al-Fath (tentara penaklukan), akhirnya mereka (Mujahidin) benar-benar menaklukkan Kota Idlib dan menjadikannya sebagai ibu kota provinsi kedua yang lepas dari kekuasaan rezim tirani Basyar Al-Asad setelah Raqqah.”
Tahmid, Tahlil dan Takbir tiada hentinya dikumandangkan setelah pengumuman Futuhnya Kota Idlib. Segenap Mujahidin yang telah berperang sebelumnya serta menyiapkan pertempuran ini, masuk ke dalam kota. Mereka berkonvoi, diiringi Takbir, Tahmid dan Tahlil.
Kaum Muslimin menyambut Mujahidin yang telah bertempur dalam beberapa hari ini dengan tangis haru. Tampak mereka menciumi Mujahidin.
Jalan-jalan di kota Idlib pun dipenuhi oleh Mujahidin. Semua titik utama dalam kota diduduki dan pos ribath baru segera dibangun, guna mempertahankan kota dan menghadang jalur masuknya kembali pasukan rezim.
Saat ini Mujahidin mengejar tentara rezim dan bertahan di dekat Muaskar Al-Mastumah, karena pasukan Asad juga berkumpul di sekitar itu.
Banyak yang berhasil ditawan Mujahidin, baik dari tentara rezim ataupun Syabihah (milisi Syiah). Tak kurang 200-an tentara dan milisi Syiah pendukungnya berhasil ditawan, 1500-an tewas. Dan di pihak Mujahidin ada 70 yang gugur syahid, insya Allah.
Syaikh Al Muhaysini yang turut mengitari Kota Idlib, mengatakan, bahwa kemenangan ini bukan sekadar untuk meruntuhkan Basyar Asad saja.
“Namun lebih dari itu, Basyar juga membawa kaum (Syiah) rafidhi dari berbagai negeri ke sini, maka Mujahidin dari berbagai negeri pun datang untuk meruntuhkan mereka (Basyar dan sekaligus Syiah rafidhi, red),” kata Syaikh Muhaysini.
“Dan, kami tidak akan berhenti hingga kami melihat Masjidil Aqsha dengan izin Allah,” pungkasnya.
“Kami memanjatkan syukur kepada Allah atas kemenangan Mujahidin, kemenangan yang datang pada awal musim semi, yang menjadi musim semi kemenangan, alhamdulillah,” kata seorang warga yang turut menikmati bebasnya Idlib.
“Kami berdoa kepada Allah agar menerima pengorbanan mereka, menerima para syuhada, menyembuhkan yang terluka, dan memberikan kesabaran bagi mereka untuk melanjutkan jalan Jihad ini,” harapnya. [Shakirullah/bumisyam]


Buku Beracun Tentang Kisah Sejarah Nabi, Contoh Buku Karya Muhammad Husein Haekal

                                               buku husain haekal
PERIKEHIDUPAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM KARYA DR MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
Oleh
Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsary

Buku ini ditulis ketika fase pemikiran Arab dan Islam mengalami kemunduran, kalau tidak boleh dikatakan mengalami masa suram di negara-negara Eropa. Buku ini beredar luas karena sering naik cetak, (termasuk di Indonesia, edisi terjemah, -pent)
Paruh pertama kitab ini, tidak berbeda dengan buku-buku orientalis [1] mana pun, meskipun penulis berupaya menampakkan pembelaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kisah Gharaniq [2] dan pada pernikahan beliau dengan Zainab bintu Jahsy [3]. Tetapi pembelaannya pada kisah Gharaniq bagaikan ungkapan “Berjihad tanpa ada musuh dan berperang bukan di tempat peperangan”. Mengapa begitu? Karena peperangan ini telah dipungkasi oleh para ulama pada masa awal, seperti pengakuannya sendiri. Lantaran dia menukil ucapan dari Ibnu Ishaq (w. 151H), “Hadits ini dibuat oleh orang-orang zindiq”.

Dr Haekal mengklaim buku ini ditulis dengan metode ilmiah dan sistematika modern. Pada hal. 47 dia berkata. “Aku tulis pembahasan ini dengan metode ilmiah modern dan dengan sistematika masa kini”. Katanya lagi pada hal. 47 “Tetapi pada beberapa hal aku panjang lebarkan guna menjelaskan faktor-faktor yang mendorong para ulama pemikir zaman dulu dan juga sekarang sebagaimana hal ini juga mendorong setiap peneliti yang cermat untuk tidak mengambil secara serampangan apa-apa yang termuat pada kitab-kitab sejaraah Nabi dan kaitab hadits. Juga mendorong untuk berpijak pada metode kritik ilmiah yang dapat menjaga dari ketegelinciran semampunya”.

Pada hal. 18, “Ini semua membuatku berpikir keras untuk mewujudkan keinginanku menulis kehidupan Muhammad dengan metode ilmiah yang benar dalam kitab tersendiri. Hal ini mendorongku untuk memikirkan sarana-sarana yang paling bagus guna memilah kitab-kitab sejarah dengan pemilahan yang ilmiah sesuai kemampuan”.

Akan tetapi sistematika modern dan ilmiah yang di klaim si Doktor, tidak membuatnya berpijak pada kaidah baku. Justru kalau pembaca cermati kitabnya, kritikan pertama kali terhadap penulis ialah ketika memaparkan peristiwa-peristiwa dan solusinya, ternyata dipaparkan tanpa kaidah metode baku, tetapi justru hanya berdasar perasaan dan akal penulis semata. Padahal para ulama hadits dan sirah memiliki metode yang sudah dikenal, tertuang dalam kitab-kitab musthalah dan kitab-kitab rijal.

Begitulah, karena pada hal. 18 dia mengatakan, “Sungguh telah jelas bagiku bahwa referensi paling valid untuk menulis sirah hanyalah Al-Qur’an yang mulia…”

Sayangnya, bukti ucapannya tidak terlihat pada bukunya. Dia hanya sekedar menaruh ayat Al-Qur’an tetapi istidlalnya sangat jauh menyimpang. Buktinya, dia jarang menyebut Jibril Alaihissalam dalam kitabnya, padahal Jibril membawa wahyu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dua puluh tiga tahun atau lebih. Tetapi yang sering disebutkan hanya pertemuan Ruh Qudus Alaihissalam dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau tidur. Dia lantas bersandar pada riwayat dha’if dari Ibnu Ishaq tanpa menyebut nama Jibril Alaihissalam, tetapi meletakkannya pada catatan kaki (lihat hal. 132) dan hadits ini mursal, dimursalkan (disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh Ubaid bin Umair.

Lihatlah hal. 237, katanya, “Tetapi Muhammad tidak butuh berpikir lama terhadap apa-apa yang mereka (musyrikin) sodorkan, untuk diketahui kalau mereka itu ingin menipu daya, maka seketika diwahyukan kepadanya”. Katanya lagi (hal.415), “Tidak terlalu lama Muhammad sudah memahami khabar tersebut, segeralah beliau mengutus Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam, Keduanya mendapati wanita itu dan memintanya turun dari kendaraan…”. Katanya lagi (hal. 246), “Sehingga kepalanya terantuk-antuk karena kantuk, di saat itulah dia melihat pertolongan Allah.”.

Dengan suguhan metode ilmiah dan sistematika modern ini, para pembaca dapat memahami bahwa memikirkan dan kecerdesan adalah pondasi kehidupan Muhammad, tidak ada pengaruh wahyu sama sekali. Ini merupakan bentuk pengingkaran dan membuang nash-nash shahih dan telah qath’i. Dr Haekal lebih banyak memfokuskan pada kontemplasi (perenungan) pada kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lihat hal. 133, 238 dan 354. Di situ dia menggambarkan kalau jiwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam gemar mencermati sesuatu. Katanya pada hal. 118, “Jiwa Muhammad gemar untuk melihat, mendengar dan mengetahui. Seakan terhalangnya beliau untuk mempelajari apa yang dipelajari anak-anak musuhnya membuatnya lebih bersungguh-sungguh dan sangat ingin untuk mengetahui”

Ucapan ini tidak benar, sebab nash qath’i menolak dan membantahnya, seperti firman-Nya.

“Artinya : Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu ; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)” [Al-Ankabut : 48]

Untuk memperkuat dugaannya, si Doktor berani mendustakan sejarah yang shahih, hadits dan sirah dengan menetapkan hubungan antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Yahudi dan Nasrani guna memahami agama mereka dan mempelajarinya.

Pada hal. 115 dia berkata, “begitu pula di Syam, Muhammad mencermati khabar-khabar Romawi dan agama Nasrani yang mereka peluk. Dia mendengar dari para pengajar kitab mereka dan penyembahan api dari Persia serta menunggu kejadian yang akan menimpa mereka meski umurnya baru dua belas tahun. Namun beliau memiliki ruh yang agung, hati yang cerdik, akal yang cerdas, tajam pandangan, dan kuat ingatan. Ditambah lagi dengan kapabilitasnya sebagai persiapan menerima risalah agung sehingga membuatnya memandang sesuatu dengan pandangan yang tajam dan mendalam. Tidak berhenti pada apa yang didengar dan dilihat tetapi hatinya bertanya-tanya, mana yang haq dari semua itu?”.

Katanya lagi pada hal. 115-116, “Muhammad mendengar khutbah-khutbah para khatib dari Yahudi dan Nasrani, yang mereka itu membenci saudara mereka dari Arab dan keberhalaannya. Mereka menuturkan dari kitab-kitab Isa dan Musa, menyeru orang-orang Arab kepada keyakinan yang mereka anggap benar. Beliau lantas menimbangnya dengan timbangan hatinya dan melihat bahwa ini lebih baik ketimbang keberhalaan yang menenggelamkan pelakunya. Hanya saja hal ini belum menenangkan hatinya”. Katanya lagi, “Nabi juga mendengar khutbah Qis dan khutbah Yahudi dan Nasrani. Namun perlu diketahui, mendengarnya beliau dari Qis bin Saidah Al-Iyadi tidak benar. Para imam menegaskan bahwa kisah itu palsu”.

Kisah-kisah lemah seperti ini banyak dimuat penulis. Dia juga menulis, “Penulis rahasia Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang Yahudi” [Lihat hal. 312]

Termasuk kengawurannya, pada hal. 128-129, ketika berbicara tentang Khadijah, “Dan beliau, tidak ragu lagi, ketika suaminya yang pertama dan kedua meninggal pada masa jahiliyyah, beliau menghadap ke patung-patung itu, menanyakan mengapa patung-patung itu tidak merengkuhnya dengan rahmat dan kebaikannya? Mengapa patung itu tidak mengasihi hatinya?”.

Katanya lagi, “Ketika datang Zaid bin Haritsah, Nabi membelinya dan meminta Khadijah untuk membelinya maka Khadijah membelinya dari Nabi. Kemudian Nabi memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak”. Ini bukti kengawurannya seperti di muka. Dia berpaling dari riwayat yang shahih lagi masyhur kepada riwayat yang lemah untuk melegalkan kengawurannya tadi. Riwayat yang masyhur disebutkan Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Hajar. Yakni, bahwa yang membeli Zaid adalah Hakim bin Hizam untuk Khadijah sebelum menikah dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian diberikan kepada Nabi setelah menikah dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang paling parah dari kitab ini, tentang kisah Isra’ dan Mi’raj hal.190-191. ‘Aku (Syaikh Masyhur) petikkan sebagian kebohongan dan kesalahannya yang dia nukil dari orientalis Durheim. Bahkan si Durheim mengakuinya dan menganggapnya sebagai uraian paling bagus pada topik ini.

Katanya, “Di tengah malam yang sangat tenang, burung-burung malam berhenti berkicau, binatang buas juga terdiam, air kolam tidak gemercik, angin menghentikan hembusannya, bangunlah Muhammad karena sebuah suara, ‘Wahai orang yang tidur, bangunlah!’, Maka beliau bangun, ternyata di depannya ada malaikat Jibril, jidatnya bercahaya dengan wajah yang putih bagaikan putihnya salju dengan rambut blonde yang terurai. Berdiri memakai pakaian dari permata dan emas, sayapnya terjuntai beraneka warna dan gemerlap. Di tangannya ada bintang yang menakjubkan namanya Buraq. Dia memiliki sayap seperti burung Nasar, menaik-turunkan sayapnya di hadapan Rasul…. Kemudian Rasul dibawa naik bertumpu pada batu Ya’qub, darinya Muhammad naik dengan cepat ke langit. Langit pertama berupa perak murni, tergantung padanya bintang-bintang yang dikaitkan dengan rantai emas….. Ketika beliau merenungkan ciptaan ini, tiba-tiba terangkatlah Sidratil Muntaha berdiri di sebelah kanan Arsy. Milyaran ruh malaikat bernaung dibawah Arsy tersebut…,

Inilah gambaran yang ditakjubi Dr Haekal. Komentarnya, “Kisah ini diringkas dari berbagai macam kitab sirah dengan ungkapan yang menawan dan elok”. Lanjutnya, “Ini riwayat orientalis Durheim dari kisah Isra Mi’raj. Engkau akan mendapati apa yang dikisahkan ini tercantum pada beberapa kitab sirah, meskipun jika engkau dapati kebanyakan berbeda dengan uraiannya (Durheim) dengan penambahan atau pengurangan pada sebagain sisi”.

Apa yang dikisahkan Duheim, kebanyakannya tidak terdapat pada kitab-kitab sirah yang dijadikan sandaran. Kisah ini tidak diterima oleh akal seorang muslim pun dan riwayat ini tidak shahih. Aku tidak tahu, kitab mana yang menujukkan omong kosong ini? Apakah pada sirah Ibnu Hisyam yang dia ikuti, tetapi tidak dia paparkan kecuali yang cocok dengan pemikiran orientalis dan menyembunyikan nash-nashnya jika berlawanan dengannya? Ini semuanya tidak bisa dipastikan. Andaikan dia memaparkan apa yang termuat pada Sirah Ibnu Hisyam niscaya dia telah berbuat baik dan memberi manfaat, tetapi dia menyimpang sehingga tegelincir dan sesat. Banyak sekali kesalahan dan keburukan pemahamannya terhadap profil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah beliau. Cukuplah contoh-contoh tadi sebagai penegasan kalau kitab ini pantas dikritik perkalimat.

Keanehan lain orang ini, pada hal. 21 dia berkata, ”Kitab sirah yang pertama ditulis setelah dua abad dari masa Muhammad…”, padahal dia bersandar pada Sirah Ibnu Hisyam. Dan sudah diketahui bahwa sirah Ibnu Hisyam merupakan ringkasan sirah Ibnu Ishaq, dan Muhammad bin Ishaq ini meninggal tahun 151H (paruh abada kedua, -pent). Lantas bagaimana dia menutup mata dari realita ini dan pura-pura tidak tahu? Aku tidak tahu, Ibnu Hisyam pun yang meringkas Sirah ini meninggal tahun 218 atau 213H?
Apa yang dia ikuti itu merupakan hasil dialog dengan orientalis, karena hal itu memberi ruang untuk berbeda pendapat, pemikiran dan ijtihad. Adapun nash-nash sirah dan sejarah adalah penukilan dari masa lalu, tidak ada ruang untuk ijtihad guna menciptakan hal baru. Tidak sebatas itu, namun juga ijtihad untuk menguraikannya dan penyimpulan apa yang ditunjukkan nash tersebut.

Bagaimanapun keadaannya, pada paruh kedua kitabnya dia bersikap jujur. Tetapi hal ini tidak menjadikan kitabnya sebagai referensi yang diakui dan bukan pula rujukan dalam menafsirkan sesuatu pun dari sirah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam.

KESIMPULAN
Buku ini beracun karena tidak berpijak pada pijakan baku. Penulisnya berterus terang, “Aku tidak mengambil apa-apa yang tertuang dalam kitab sirah dan hadits karena aku lebih mengutamakan dalam bahasanku ini dengan metode ilmiah [4]”. Lantaran itu, dia berpijak pada akal sehingga hampir-hampir mengingkari hubungan wahyu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah orang yang memberikan kata pengantar kitabnya, Syaikh Musthafa Al-Maraghi (Syaikh Al-Azhar). Katanya, “Mukjizat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hebat ini tidak ada kecuali apa yang ada di Al-Qur’an, dan dia adalah mukjizat yang rasional.

Dengan demikian, buku ini hanya untuk mengedarkan sifat kepahlawanan, keagungan, kepemimpinan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semacamnya. Sebagai ganti dari sifat kenabian, wahyu dan risalah, dan untuk menutupi sifat-sifat tersebut serta menjauhkan dari memikirkannya. Oleh karena itu. Dr Haekal tidak menyebutkan mukjizat kauni (keanehan alam) dengan dalih bahwa hal itu tidak rasional.

Akhirnya kita bertanya kepada penulis, jika metode orang barat dalam mengkaji kehidupan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah metode yang ilmiah dan dapat mengantar kepada kebenaran seperti pandangan Husain Haekal, bukan metode yang dipakai oleh Salaf (pendahulu)kita, maka perkaranya hendaknya berhenti pada dua hal.

[1]. Orang-orang barat harus beriman dengan kenabiah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika Haekal memandang metode itu adalah benar.
[2]. Atau dia harus mengingkari kenabian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memandang hal itu tidak benar.

Kami (Syaikh Masyhur) menyaksikan Siaran Radio Yahudi pada bulan Ramadhan 1968M memilih buku ini untuk diudarakan, bukan buku yang lain. Apakah hal itu karena Siaran Radio Yahudi itu benar-benar mendorong untuk tidak disiarkan sesuatu pun dari perikehidupan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejarahnya kecuali semata-mata dasar ilmiah? Cukuplah bagimu secara yakin, karena mutu buku inilah yang menyebabkan dipilih oleh Yahudi guna menutupi program-program agama dari siaran Radio Islam bagi kaum muslimin.

[Dirinkas dari kitab Kutubun Hadzdzara Minha Al-Ulama karya Syaikh Masyhur Hasan Salman I/354-362]

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 5 Tahun V/Dzulhijjah 1426//Januari 2006, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik JATIM]
__________
Foote Note
[1]. Orientalis adalah orang-orang barat yang mempelajari budaya timur khususnya Islam,untuk tujuan tertentu terutama untuk menjajah negara-negara Islam dan merusak pemahaman Islam.
[2]. Kisah Gharaniq adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat An-Najm sampai ayat 19-20, tiba-tiba setan membisikkan kepada beliau lewat lisannya sehingga beliau mengatakan, “Latta, Uzza dan Manaf dalah gharani’ yang mulia, syafaat mereka diharapkan” Mendengar itu orang-orang musyrik berkomentar. “Sebelum ini, Muhammad tidak pernah menyebut tuhan-tuhan kita dengan baik”. Maka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, mereka pun ikut sujud. Lantas turunlah ayat Al-Hajj : 52. Gharani’ artinya burung air. Patung-patung itu diserupakan dengan gharani’ karena dianggap dapat memberi syafa’at ke langit sebagaimana burung dapat terbang ke langit (lihat Fathul bari, Tafsir surat Al-Hajj dan Tuhfatl Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi, Al-Mubarakfuri, bab Sujud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membaca surat An-Najm.
[3]. Karena menikahi mantan istri anak angkat adalah aib menurut pandangan orang Arab ketika itu dan barangkali demikian pula menurut sebagian masyarakat sekarang.

[4]. Maka engaku akan lihat dia pun ternyata tidak mengambil dari Shahih Bukahri dan Muslim untuk menjaga gengsinya dan berpegang pada metode dan sistemnya.

Tantangan untuk Semua Ulama Syiah

Sesungguhnya kaum Muslimin meyakini Al-Qur’an tidak berubah, baik satu kalimat maupun satu huruf. Akan tetapi sebagaimana kebaikan ada, maka keburukan juga ada. Olehnya, hanya selain kaum Muslimin yang tidak meyakini Al-Qur’an sebagai kalam Allah, atau sebagiannya meyakini Al-Qur’an telah dirubah, baik itu dengan penambahan ataupun pengurangan, dan di antara mereka yang meyakini itu adalah Syiah.
Setiap insan Allah anugrahkan akal agar dia bisa berfikir dan mencari hidayah. Kaum Jahiliyah telah ada beberapa abad sebelum datangnya Islam, namun sebagian besar untaian sya’ir mereka masih dihafal tanpa ditambah maupun dikurangi. Jika seseorang ingin menambah atau memasukkan kata-kata lain, maka ia tak akan mampu. Lihatlah pemilik sya’ir “Al-Mu’allaqat” dinamakan mu’allaqat karena dihafal sampai hari ini, padahal itu hanya perkataan manusia, maka bagaimana lagi dengan Al-Qur’an Al-Karim!
Bagaimana mungkin manusia dapat dihafalkan perkataan-perkataannya oleh cerdik pandai, namun tak dapat menghafal perkataan Tuhan semesta alam.
Atau mampu menghafal bait dan untaian sya’ir dengan mendapatkan perhatian manusia, tapi tidak mampu menghafal Al-Qur’an dengan perhatian semacam itu?! sungguh tak mungkin itu terjadi terhadap Allah.
Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril al-Amin ke hati sayyidil mursalin dari Rabbul ‘Alamin sangat diagungkan dan disucikan oleh kaum Muslimin, dan kita pada zaman ini tidak lagi seperti masa lalu, zaman kita saat ini kebaikannya sudah sangat sedikit dan keburukan berada dimana-mana, menembus seluruh pelosok dunia, akan tetapi masih ada jumlah kecil dari kaum Muslimin yang menghafal Kalamullah di luar kepala, maka bagaimana lagi dengan masa-masa generasi awal Islam?
Al-Qur’an adalah mukjizat pada alam ini. Maka ketika Allah menjadikannya mukjizat untuk sang penutup para nabi, Allah sediakan segala sebab untuk menjadikannya sebagai mukjizat, di antaranya adalah cepatnya menghafal Al-Qur’an bagi orang yang ingin shalat. Shalat ini telah ada sejak disyari’atkannya hingga hari ini, dan shalat tarwih di bulan Ramadhan sebaik-baik saksi untuk itu. Di setiap tahun Kitabullah dikhatamkan di penjuru kota-kota Islam di berbagai belahan dunia.
Perkataan ini mungkin bisa difahami oleh setiap Muslim, namun selain muslim dan orang yang ditutup hatinya akan mencari alasan yang dibuat-buat dan argumen yang tidak masuk akal.
Di antara mereka itu adalah Syiah, sekte sesat yang mengklaim Al-Qur’an telah dirubah.
Yang aneh ketika sebagian orang Syiah ditanya tentangtahrif Al-Qur’an ini, sebagian mereka berkata, “Astaghfirullah, bagaimana mungkin kami meyakini itu?” perkataan mereka tak lebih dari taqiyyah untuk menipu orang yang tidak mengenal makar dan tipuan mereka.
“Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, namun tidaklah mereka menipu kecuali diri mereka sendiri, akan tetapi mereka tidak mennyadarinya” (Al-Baqarah: 9)
Keyakinan mereka tentang tahrif Al-Qur’an masih saja sama, kitab-kitab mereka penuh dengan pernyataan-pernyataan itu, dan kami ingin pertegas kepada mereka, jika kalian jujur dengan apa yang kalian katakan bahwasanya Al-Qur’an tidaklah dirubah dan diganti-ganti ayatnya, kami tantang kalian untuk mengumumkan pernyataan itu pada marja’ keagamaan tertinggi Syiah, menolak tahrif Al-Qur’an dan bahwa yang di tangan kita pada hari ini adalah Al-Qur’an yang sempurna yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, sebaik-baik makhluk-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kalian kafirkan semua ulama Syiah dari dulu sampai sekarang yang meyakini Al-Qur’an telah mengalami perubahan!
Kafirkan Al-Qummi, Al-Mufid, Al-Majlisi, Ni’matullah Al-Jazairi, An-Nuri Ath-Thibrisi, Al-Kasyani, Al- Fadhl bin Syadzan, Furat bin Ibrahim Al-Kufi, Al-‘Ayyasyi, Al-Kulaini, Ali bin Ahmad Al-Kufi, An-Nu’mani, Al-Irbili, Al-Hurr Al-‘Amili, Al-Bahrani, Muhammad Shalih Al-Mazindirani, Al-Khu’i, Khomeini dan masih banyak lagi yang perlu kalian kafirkan jika kalian beriman dengan QS. Al-Hijr:9
Karena mereka telah menolak dan kafir terhadap pernyataan Allah pada surat Al-Hijr: 9 tersebut, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah yang akan menjaganya!”
Tidak diragukan lagi itu akan menghancurkan pondasi akidah mereka yang rusak, dan akan hilang bagaikan diterpa angin kencang, dan dengan terlebih dahulu kami sudah tahu bahwa kalian tidak akan melakukannya dan kalian tidak akan mampu.
“Katakanlah, Jika seluruh bangsa manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan seperti Al-Qur’an ini mereka tidak akan mampu mendatangkan seperti itu meskipun mereka saling bahu-membahu” (QS. Al-Isra’: 88)
Disarikan, ditambah dan diedit seperlunya dari Kitab Syeikh Mamduh Farhan Al-Buhairy, “Asy-Syi’ah Minhum ‘Alaihim” hal 194-195


(Muh. Istiqamah/lppimakassar.com)

2 komentar:

Fakta menunjukkan di rumah2 orang syiah,perpustakaan2nya,masjid2nya,buku2 mereka yang menggunakan ayat2 Alquran sebagai hujjah adalah bukti Alquran mereka sama dengan Alquran kaum muslim sedunia.Andai para ulama yang Anda sebutkan meyakini Alquran telah dirubah tapi mereka mengajarkan Alquran kepada orang2 syiah sebagaimana Alquran yang sama dengan umat muslim. Dengan tantangan tersebut apa yang ingin Anda tunjukkan?.
Kalau Anda tahu tolong jelaskan apa tafsiran para ulama syiah tersebut pada :
Al Hijr ayat 9, Al Isra' : 88, AlBaqarah : 23, Hud : 13, Yunus : 38

ucapan Anda dijawab sendiri oleh ulama anda sendiri:
Al-Karmani, Ulama Syiah

“Terjadi perubahan dan pengurangan pada Al Quran!, Al Quran yang terjaga itu tidak ada melainkan ada pada Al Qa’im (Imam Mahdi), dan Syiah itu TERPAKSA membaca Al Quran ini (Al Quran sekarang) sebagai bentuk taqiyyah, karena ini perintah keluarga Muhammad alaihis salam” (Al Karmani, Ar Radd ‘ala Hasyim Asy-Syami, hal 13, cet Iran)


Ni'matullah Al-Jaza'iri, Ulama Syiah juga

“diriwayatkan dari berita-berita bahwa mereka (para Imam Syiah) alaihimus salam memerintahkan pengikut mereka membaca Al Quran yang ada sekarang ini di dalam shalat dan selainnya, juga mengamalkan hukum-hukumnya sampai muncul Maulana Shahibuz Zaman (Imam Mahdi) kemudian ia akan mengangkat Al Quran ini dari tangan manusia ke langit dan mengeluarkan Al Quran yang disusun oleh Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib ra) kemudian dibaca dan hukum-hukumnya dilaksanakan” (Ni’matullah Al Jaza’iri, Al Anwar An Nu’maniyyah, Jilid 2, hal 363-364)

Lebih lengkapnya anda bisa baca pada link berikut ini:

http://www.lppimakassar.com/2012/11/inilah-scan-al-quran-iran-syiah-yang.html












Tragedi Hari Kamis

Syubhat: Bid’ah yang sesungguhnya itu ialah mengkreasi imam tandingan untuk mendiskualifikasi Imam pilihan Allah. Tragedi kamis sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat itulah sebenarnya bibit ingkar sunnah dan bid’ah.
Jawaban: meskipun saya pernah menjawab syubhat tragedi kamis, saya kembali mengulasnya tetapi secara lebih komprehensif, dengan harapan semoga Allah membuka nalar Anda semua. Pertanyaan di atas cukup singkat, tetapi saya dapat membaca maksud penanya. Barangkali pembaca belum memahami latar belakang syubhat tersebut. Oleh karena itu, berikut saya muat salah satu riwayat terkait peristiwa tersebut.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab al-Maghaziy, bab Maradhu an-Nabi wa wafatuhu (sakit dan wafat Nabi) no. 4168, dari Sa’id bin Jubair, dia berkata,
يَوْمُ الخَمِيسِ، وَمَا يَوْمُ الخَمِيسِ؟ اشْتَدَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعُهُ، فَقَالَ: «ائْتُونِي أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا»، فَتَنَازَعُوا وَلاَ يَنْبَغِي عِنْدَ نَبِيٍّ تَنَازُعٌ، فَقَالُوا: مَا شَأْنُهُ، أَهَجَرَ اسْتَفْهِمُوهُ؟ فَذَهَبُوا يَرُدُّونَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «دَعُونِي، فَالَّذِي أَنَا فِيهِ خَيْرٌ مِمَّا تَدْعُونِي إِلَيْهِ» وَأَوْصَاهُمْ بِثَلاَثٍ، قَالَ: «أَخْرِجُوا المُشْرِكِينَ مِنْ جَزِيرَةِ العَرَبِ، وَأَجِيزُوا الوَفْدَ بِنَحْوِ مَا كُنْتُ أُجِيزُهُمْ» وَسَكَتَ عَنِ الثَّالِثَةِ أَوْ قَالَ فَنَسِيتُهَا "
Ibnu Abbas berkata, “Hari Kamis, apakah hari Kamis itu? Sakit Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam semakin keras. Beliau bersabda, ‘Hadirkan (para penulis) kepadaku, saya akan menulis pesan tertulis untuk kalian. Kalian tidak akan tersesat selamanya setelah itu.’ Maka mereka pun berselisih paham, padahal tidak selayaknya bedebat di sisi nabi. Mereka berkata, ‘Bagaimana kondisi beliau, apakah beliau mengigau? Tanyakanlah kepada beliau.’ Maka mereka pun mendatangi untuk menanggapi beliau. Maka beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Tinggalkanlah saya, karena situasi saya lebih baik daripada apa yang kalian serukan kepadaku.’ Lalu beliau mewasiatkan tiga pesan. Beliau bersabda, ‘Keluarkanlah orang-orang musyrik dari Jazirah Arab. Berikanlah hadiah kepada para delegasi yang datang seperti yang saya lakukan. ‘Lalu perawi tidak menyebutkan yang ketiga, atau dia berkata, ‘Aku lupa (yang ketiga).”
Berikut ringkasan kejadian –yang memiliki jalur-jalur sanad yang lain- tersebut.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam meminta kepada para sahabat yang berada di sekitar beliau, -sementara sakitnya- supaya mereka menghadirkan para penulis, untuk beliau perintahkan menuliskan pesan-pesan berisi petunjuk bagi umat sepeninggal beliau, yang belum pernah beliau sampaikan. Melihat dan iba dengan kondisi Rasulullah yang sangat keletihan dan kepayahan, sebagian sahabat yang hadir berpandangan untuk tidak menghadirkan para penulis. Menurut mereka petunjuk tertulis yang ada dalam Al-Qur’an yang agung, telah mencukupi daripada membuat Rasulullah semakin kelelahan dengan mendiktekan kepada para juru tulis. Tetapi orang-orang Syi’ah dalam hal ini berkeyakinan bahwa Umar menghalang-halangi Nabi menuliskan wasiat Imamah (perihal kepemimpinan setelah Rasulullah) untuk Ali.
Bersama ini, saya minta kepada setiap penganut Syi’ah untuk membaca jawaban syubhan yang batil ini dengan tenang.
Anda semua mengakui kemaksuman Nabi shallallahu alaihi wa sallam (seperti yang diyakini ahlu sunnah). Tidak diragukan ini adalah sebuah kebaikan. Akan tetapi, melalui syubhat ini –tanpa Anda sadari- Anda telah menciderai kemaksuman Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ini karena anggapan Anda sekalian bahwa ada perintah dan tugas Ilahi kepada Nabi, yaitu menyampaikan keimamahan ‘Ali kepada kaum muslimin, yang tidak mampu Beliau laksanakan, berdasarkan syubhat yang Anda pelihara. Dengan demikian gugurlah kemaksuman Nabi, karena Beliau telah gagal –wal’iaadzu billaah- menjelaskan dan menyampaikan perihal imamah Ali bin Abi Thalib kepada kaum muslimin, sebagaimana yang Anda sangkakan. Padahal Rasulullah sama sekali besih dari hal yang demikian…!
Selain itu, bagaimana Anda dapat berdalil dengan syubhat peristiwa Kamis yang batil versi Anda itu, jika dikonfrontasikan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 67)
Syubhat tragedi kamis, versi syi’ah yang tampak kacau tersebut, bertolak belakang dengan perintah Allah dalam ayat ini. bagaimana mungkin Allah mencabut roh kekasih dan nabi-Nya padahal masih ada satu perintah agung yang belum Beliau sampaikan. Yang berakibat banyak orang menjadi kafir, dan berhak untuk dicampakkan ke dalam neraka jahannam, kemudian kekal di dalamnya?!!
Mari kita minta kepada penganut Syi’ah, yang mempercayai syubhat konspirasi Kamis –yang sebenarnya hanyalah permainan dan rekaan ulama mereka semata- untuk memperhatikan firman Allah kepada Nabi-Nya:
“……Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia…” (QS. Al-Maidah: 67)
Masuk akalkah Allah tidak kuasa melindungi Rasul-Nya dari seorang Umar bin Khattab?! Sesungguhnya celaka jika ada akal yang tidak mampu atau tidak mau memahami perkara ini dengan jernih.
Mari kita kembali kepada riwayat semula. Ada beberapa catatan ringkas hendak saya sampaikan:
  1.Orang-orang syi’ah menuduh Umar berkata tentang Nabi, “Beliau mengigau” Pertanyaannya pada bagian manakah nama Umar disebut dalam riwayat tersebut? Ternyata tidak satu pun riwayat yang menerangkan bahwa yang berkata demikian ialah Umar bin Khattab.
  2.Masuk akalkah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mewasiatkan tiga perkara, tetapi tidak menyampaikan wasiat tentang keimamahan Ali padahal itu –menurut orang Syi’ah- merupakan mandat langsung dari Allah?
    3.Sesungguhnya teguran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam disebabkan oleh perdebatan mereka, bukan karena ucapan Umar. Oleh karena itu beliau menyuruh mereka semua keluar, tidak terkecuali para juru tulis, seperti yang Beliau katakan, “Berdirilah kalian (tinggalkanlah aku), apa yang aku di dalamnya lebih baik daripada yang kalian berada di dalamnya.”
    4.Perhatikanlah dalam sebuah riwayat terdapat kalimat:
“Maka mereka berkata, ‘Ada apa dengan Beliau? Apakah beliau mengigau?’ Yang berkata demikian ialah sekelompok orang (mereka), bukan Umar. Saya mempersilahkan penganut Syi’ah manapun untuk menyebutkan satu dalil saja, meskipun lemah atau dhaif, yang menyebutkan bahwa Umar lah yang berkata, “Beliau mengigau” Yang beliau ucapkan ialah:
“Rasa sakit telah menguasai beliau”
Perkataan ini, tidak menyimpang karena Allah berfirman tentang Ayyub alaihissalam:
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku) sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83)
Dan rasa sakit yang diderita Nabi dua kali lipat penderitaan kita manusia biasa. Jadi perkataan Umar adalah benar berdasarkan dalil tersebut.
Saya tahu, bahwa terdapat riwayat-riwayat yang memuat nama Umar. Tetapi tidak sebagai yang berkata, “Hajara (beliau mengigau).” Melainkan yang dia katakan ialah:
“Rasa sakit telah menguasai beliau, sementara bersama kita telah ada kitabullah yang telah cukup bagi kita.
Jadi, yang maksud perkataan Umar, dan orang yang sependapat dengannya ialah ungkapan rasa iba dan keinginan untuk meringankan beban derita Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan ini merupakan ijtihad mereka. tetapi sebaliknya, di sebahagian lain sahabat yang hadir berpendapat melaksanakan perintah Rasulullah apa adanya yakni tetap menghadirkan juru tulis. Perbedaan pandangan ini kemudian menyebabkan perselisihan yang menimbulkan sedikit kegaduhan antara dua kelompok. Ketika nabi melihat yang demikian, maka beliau membatalkan permintaan beliau menghadirkan juru tulis, dan memilih memberikan wasiat kepada mereka secara lisan seperti termaktub dan terhimpun dalam riwayat-riwayat tersebut.
Inilah hasil telaah riwayat tersebut. Dan kisahnya dengan mudah dapat dipahami karena redaksinya yang sederhana dan tidak rumit. Kecuali kelompok yang menyimpang yang tidak menerima, bahkan –entah sadar atau tidak- membangun asumsi bahwa kedudukan seorang sahabat (Umar bin khattab) lebih tinggi daripada Nabi sehingga dengan begitu mudah dapat melarang Beliau untuk menunaikan risalah yang seharusnya Beliau sampaikan yakni perihal imamah Ali bin Abi Thalib. Interpretasi ini tidak lebih dari memancing di air keruh; komentar liar yang tidak bertanggung jawab mengikuti hawa nafsu dan bisikan setan, dan mendistorsikan makna kata-kata dan fakta.
Motif mereka sebuah masalah sederhana, yaitu nabi tidak marah kepada mereka atas apa yang terjadi, dan tidak mengingkari mereka yang tidak segera memanggil juru tulis, karena Allah tidak mencela mereka dengan menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana lazimnya. Bahkan beliau mendiamkan, dan mengakui mereka, serta tidak mengulangi permintaan beliau untuk menghadirkan juru tulis.
Taqriir Allah dan Rasulullah itu menunjukkan bahwa perkara tersebut tidak tempat untuk asumsi-asumsi batil yang dihembuskan oleh sebagian musuh-musuh islam yang dengki. Jadi yang terjadi sesungguhnya ialah sebuah perselisihan ringan yang sebelumnya juga kerap terjadi di kalangan sahabat. Seperti pada peristiwa Hudaibiyah, saat Nabi memerintahkan mereka untuk bertahallul. Para sahabat tidak segera melakukannya dengan harapan diturunkan wahyu berisi perintah untuk menyempurnakan umrah. Demikian juga perbedaan pendapat mereka tentang tawanan perang Badar, dan perkara-perkara lain yang dihadiri nabi tetapi Beliau mendiamkannya (sunnah taqriiriyah).
Seandainya apa yang tadinya hendak Beliau tulis termasuk perkara yang wajib dijelaskan dan dituliskan, pasti nabi diwajibkan menjelaskan dan menuliskannya, dan tidak seorang pun yang dapat mempengaruhi beliau untuk mengurungkannya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ketika beliau memutuskan untuk tidak menulis, penulisan tersebut bukan merupakan kewajiban. Sebab meninggalkan sesuatu yang wajib hukumnya haram. Apakah Rasulullah telah melakukan perbuatan yang haram?
Tampaknya nalar syiah tidak dapat memahami bahwa perselisihan para sahabat lahir dari ijtihad mereka dalam memahami dan menginterpretasikan ucapan Nabi, atau sesuatu di dalam hati mereka membuat mereka sengaja mengabaikan hal tersebut. Jika para ulama umat ini berbeda pendapat secara kontras dalam memahami dan menafsirkan nas-nas yang diriwayatkan dari nabi dalam berbagai permasalahan sehingga melahirkan beragam mazhab, namun mereka tidak dikecam karena itu, bahkan mereka berhak mendapatkan pahala atas ijtihad tersebut, terlepas hasil ijtihad mereka benar atau salah. Nah mengapa para sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum ajma’iin dikecam karena perbedaan pendapat mereka dalam masalah sangat parsial, bahkan setelah Rasulullah memaklumi perbedaan pendapat mereka tersebut, dan tidak bersikap keras kepada seorang pun dari mereka?! bahkan lebih dari itu, Rasulullah mengambil pendapat kelompok yang tidak menyetujui menghadirkan juru tulis. Sesungguhnya jika Beliau tetap ingin menuliskan wasiat tersebut, tidak akan ada seorang pun yang mampu menghalangi.
Selain itu, Beliau shallallahu alaihi wa sallam  masih hidup beberapa hari setelah kejadian tersebut. Ini disepakati oleh Ahlussunnah dan pengikut syi’ah. Nah mengapa dalam rentang waktu itu RAsulullah tidak menulis sesuatu pun? Kemudian, andai kata tidak menghadirkan juru tulis itu merupakan sebuah kelalaian, mengapa ahlul bait tidak memperbaiki situasi ini dengan menghadirkannya setelah pertemuan tersebut?!
Adapun pemahaman keliru lain yang dilontarkan Syi’ah, bahwa sebagian sahabat telah menuduh nabi mendistorsi wahyu –sekali-kali Nabi tidaklah demikian- berdasarkan apa yang disebutkan dalam riwayat tersebut, “Mereka berkata, أهجر؟  (apakah beliau mengigau)?” ini merupakan kedustaan lain dan rekaan semata. Karena sangat jelas terlihat frasa (أهجر؟) menunjukkan keragu-raguan mereka akan terjadinya hajr (yaitu ucapan yang tidak jelas, igauan, karena tidak sadarkan diri) dari Nabi, bukan vonis bahwa hal itu telah terjadi.
Selain itu riwayat-riwayat dengan redaksi pertanyaan lebih kuat daripada riwayat-riwayat dengan redaksi kalimat berita. Inilah kesepakatan ahli hadits, seperti Al-Qadhi ‘Iyadh dalam as-Syafa’ (II/886), Al-Qurthuby dalam Al-Mufham (IV/559), An-Nawawiy dalam Syarah Muslim (XI/93), serta Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (VIII/133). Kalimat tanya (istifham) menunjukkan adanya keraguan, dan bukan kepastian.
Faktor keraguan sahabat sungguh signifikan, tidak muncul begitu saja. Situasinya, sakit Rasulullah sangat keras. Hal itu karena kesakitan yang beliau derita dua kali lipat yang dirasakan oleh orang biasa, dan beliaupun jatuh pingsan berkali-kali. Ini semua diriwayatkan secara pasti dalam shahihain (Al-Bukhari Muslim). Oleh karena itu, orang yang mengatakan ucapan tersebut –dan dia tidak dikenal; riwayat-riwayat yang shahih tidak pernah menyebut namanya- menyangka bahwa sakit tersebut telah mempengaruhi beliau sedemikian rupa sehingga menimbulkan hajr (igauan). Tidak diragukan lagi prasangka ini adalah salah, namun dari situasi yang diriwayatkan timbulnya prasangka salah tersebut dapat dimaklumi.
Oleh karena itu, kita tidak menemukan satu riwayat pun tentang kecaman hadirin yang lain terhadap orang yang mengatakan ungkapan tesebut. Bahkan adlah Ibnu Abbas, -putra paman nabi- meriwayatkan lafaz tersebut tanpa menginventarisasi orang tersebut karena para sahabat memaklumi situasi yang melatar belakangi keluarnya ungkapan tersebut. Suasana yang menegangkan, orang yang paling mereka cintai, Rasulullah dalam kesusahan dan diuji sedemikian beratnya.
Dengan berhusnu azh-zhan (berbaik sangka), saya katakan, “Sama saja, apakah pelakunya salah seorang ahlul bait maupun selain mereka, makan ucapan tersebut lahir dari keterguncangan situasi krisis dan kritis karena sakit Nabi yang begitu keras. Sehingga tanpa sadar keluarlah ucapan tersebut, sebagaimana yang terjadi pada Umar bin Khattab saat Rasulullah wafat. Saking terguncangnya, beliau tidak menyangka bahwa Rasulullah telah meninggal, dan berang, kemudian mengklaim bahwa beliau hanya pergi sesaat dan akan kembali.
Selanjutnya ucapan Umar حسبنا كتاب الله  (cukuplah bagi kita kitabullah)” tentunya atas dsar pengetahuan beliau bahwa Allah telah menyempurnakan agama ini, berdasarkan firman Allah:
“…..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3)
Dan karena pengetahuannya tentang sabda Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam:
“Demi Allah, saya tidak membiarkan sesuatupun yang mendekatkan kalian kepada Allah dan sorga melainkan saya telah memberitahukannya kepada kalian, dan yang diperintahkan Allah kepada kalian melainkan saya telah perintahkan pula kepada kalian. Tidaklah aku meninggalkan sesuatupun dari perkara yang dilarang Allah daripadanya, melainkan aku pun telah melarang kalian daripadanya.” (HR. An-Nasa’I (2719))
Maka tidak satu pu yang tersisa dari urusan agama ini yang tidak pernah disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Dan saat mencari tentang penulisan yang Rasulullah ingin menulisnya, maka kita menemukan dalam sunnah nabi apa yang memberikan jawaban akan permasalahan ini.
Dari Ali bin Abi Thalib, dia berkata:
“Adalah kami berada di sisi Rasulullah, maka beliau memerintahkanku untuk membawa nampan sebagai landasan menulis pesan yang akan memelihara umat beliau dari kesesatan (dengan berpegang teguh dengan pesan tersebut) sepeninggal beliau. Maka Ali berkata, ‘Maka akupun khawatir beliau meninggal sebelum juru tulis datang. Maka saya pun berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku bisa menghafal dan memahami (apa yang hendak anda sampaikan).’ Maka Nabi bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian untuk menjaga shalat, zakat, dan budak yang kalian miliki.” (HR. Baihaqi (V/17), Ahmad (I/90).
Berdasarkan keterangan ini jika syi’ah menuduh para sahabat telah tidak menaati perintah nabi karena tidak menghadirkan juru tulis, maka dapat dikatakan bahwa Ali dalam hal ini, termasuk orang yang paling pertama tidak menaati Rasulullah. Karena sesungguhnya Beliau secara individual diperintah langsung oleh Nabi. Namun beliau tidak memanggil juru tulis tersebut. Oleh karena itu kita menyalahkan para sahabat tersebut, tentunya kita juga harus menyalahkan Ali bin Abi Thalib. Maka yang benar ialah tidak mencela mereka semua, baik Ali maupun sahabat yang lainnya. Paling tidak karena beberapa alasan berikut:
Pertama, sesungguhnya Ali dalam riwayat Beliau sendiri berkata, “Maka aku pun khawatir beliau meninggal, maka akupun berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mampu menghafal dan memahami apa yang hendak Beliau katakan. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian untuk menjaga shalat, zakat dan budak yang kalian miliki.’”
Dengan demikian nabi pun telah mengucapkan apa yang ingin beliau tulis.
Kedua, yang ingin ditulis oleh nabi shallallahu alaihi wa sallam bisa jadi sesuatu yang wajib, bisa jadi sunnah. Jika syiah berpendapat bahwa isi pesan itu ialah perkara yang wajib, atau termasuk perkara-perkara syari’at yang wajib disampaikan, maka ini –berdasarkan pemahaman mereka- menunjukkan bahwa nabi belum menyampaikan syari’at secara utuh. Ini tentunya menciderai kredibilitas Nabi, dan serangan kepada Allah yang telah berfirman, “pada hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian.” Namun jika mereka mengatakan bahwa isi pesan yang tidak jadi ditulis tersebut ialah sesuatu yang hukumnya sunnah, maka kami katakan, “Pendapat kami juga seperti itu.”
Ketiga, sesungguhnya para sahabat menolak menghadirkan juru tulis karena prihatin dengan kondisi nabi shallallahu alaihi wa sallam, bukan karena maksiat.
Jika orang-orang syi’ah –entah karena apa- tidak menerima jawaban kami terhadap syubhat mereka yang tidak kuat ini, dan tetap bersikukuh bahwa pesan tertulis yang hendak disampaikan Nabi ialah penyebutan nama sosok yang akan menggantikan beliau, maka kami tegaskan bahwa sampai saat beliau meminta kehadiran juru tulis tersebut, tidak seorang pun yang tahu bahwa Ali lah sosok yang dimaksud. Dengan demikian gugurlah dalil-dalil kalian tentang keimamahan Ali. Kemudian jika Anda semua tetap memaksakan bahwa Nabi ingin menuliskan Nama sosok yang akan menggantikan beliau, maka kami katakan berdasarkan fakta Beliau pasti akan menyebut nama Abu Bakar, sebagaimana yang diriwayatkan dalah Ash-shahihain dari Aisyah, beliau berkata, “Rasulullah bersabda dalam sakit beliau,
“Panggilkanlah Abu bakar; ayahmu, dan saudaramu, supaya aku meninggalkan pesan tertulis. Karena sesungguhnya aku khawatir ada orang yang berharap, dan orang yang berkata, Aku lebih berhak. Dan Allah serta orang-orang mukmin menolak selain Abu Bakar.”
Sehingga ucapan Ibnu Abbas,
“sesungguhnya musibah yang sebenarnya ialah apa yang menghalangi antara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam daripada menuliskan pesan tertulis untuk mereka.”
Mengandung makna bahwa musibah tersebut ialah beradaan orang-orang yang meragukan kekhalifahan Abu Bakar Ash-shiddiq, atau tidak memahami permasalahan ini dengan baik. Karena seumpama terdapat satu wasiat tertulis tentu keraguan itu akan sirna. Adapun orang yang mengetahui bahwa kekhalifahan Abu Bakar merupakan suatu yang hak, maka tidak ada rencana yang menimpanya, walillahi al-hamdu.
Siapa yang menduga pesan yang hendak ditulis tersebut ialah wasiat tentang kekhalifahan Ali, dapat disimpulkan bahwa dugaannya itu sesat menurut ulama Ahlussunnah maupun Syi’ah. Adapun Ahlussunnah, mereka sepakat tentang keutamaan Abu Bakar keterdepanan beliau. Adapun ulama Syi’ah mereka mengatakan bahwa Ali sebagai yang berhak akan keimamahan setelah Nabi. Kata mereka, “sesungguhnya perihal imamah Ali telah ditetapkan secara jelas dan tegas dengan nas sebelum itu. Oleh karena itu tidak kebutuhan terhadap pesan tertulis.” Jika mereka mengatakan bahwa umat ini telah mengingkari nash yang telah diketahui lagi dikenal, maka kami katakan bahwa sebuah pesan tertulis (bahkan tidak jadi ditulis) yang disaksikan hanya oleh sekelompok kecil orang, tentu lebih berpeluang dan lebih pantas untuk diingkar.
Satu pertanyaan patut diajukan kepada penganut Syi’ah, apakah seluruh sahabat saat itu mengetahui bahwa sakit Nabi tersebut ialah sakit yang membawa beliau kepada kematian?! Jika anda semua mengiakan, maka kami tidak salah mengatakan bahwa kalian telah berdusta. Andai kata mereka tahu, tentu mereka tidak akan terguncang dengan kematian beliau. Bahkan Umar pun tidak percaya bahwa beliau telah wafat. Kejadia tersebut (wafatnya Rasulullah) adalah pukulan berat yang menghantam para sahabat, hingga Abu Bakar berkhutbah di tengah-tengah mereka seraya berkata, “Barangsiapa menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat, dan barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah, Maha Hidup dan tidak akan mati!”
Mereka tidak tahu bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam akan segera meninggal, karena mereka tidak mengetahui perkara ghaib. Maka dapat dimengerti jika mereka radhiyallahu ‘anhum berpikir menangguhkan menuliskan pesan tersebut hingga kondisi Nabi menjadi lebih baik?! Perlu diketahui bahwa Nabi tidak mengatakan kepada mereka, “Kalian dengarkanlah perintahku, karena aku akan pergi, dan kalian tidak akan mendengar apa-apa lagi dariku setelah itu!”
Dapat dipastikan bahwa sebab perintah beliau supaya mereka keluar dari ruangan beliau karena perdebatan mereka. jika tidak, mengapa Rasulullah meminta kedua kelompok itu untuk keluar semua, dan tidak seorang pun disuruh tinggal untuk menulis? Sesungguhnya Rasulullah mengetahui bahwa mereka menaati beliau seandainya Beliau mengulangi permintaan beliau untuk menuliskan pesan Beliau, sebagaimana mereka mematuhi perintah Beliau ketika mereka semua disuruh keluar.
Jika kita telaah secara kritis, dan kita perhatikan dengan seksama, kesannya –wallahu a’lam- bahwa yang menggelisahkan Rasulullah ialah reaksi kelompok kedua. Seharusnya mereka radhiyallahu anhum ajma’iin membiarkan sahabat-sahabat yang berpandangan untuk tidak menuliskan pesan rasulullah, dan menunggu tanggapan Rasulullah terhadap mereka, karena tida ada yang lebih utama dan lebih baik daripada beliau dalam hal mencegah kemungkaran dan memerintahkan yang makruf. Jadi seharusnya mereka membiarkan Rasulullah sendiri yang menegaskan dan menegur. Dan ternyata beliau tidak mengingkari pendapat Umar untuk tidak menuliskan pesan beliau.
Tuduhan lain yang dikemukakan Syi’ah bahwa sakit Nabi begitu parah sehingga tidak mampu untuk mendiamkan Umar. Tentang hal ini kami katakan, “Aneh sekali Anda ini! ketika kami sampaikan empati Umar terhadap penderitaan Rasulullah, kalian justru menuduhnya sebagai tindakan menghalang-halangi Nabi?! Selain itu sebegitu payahnyakah Rasulullah sehingga tidak mampu berbicara dan menegur? Secara meyakinkan, ini tidak benar karena Nabi mampu meminta kehadiran juru tulis untuk menulis. Kemudian yang hadirpun diam di sisi beliau. Beliau juga berkata kepada mereka, “Tidak layak ada pertengkaran di hadapan seorang Nabi.” Karena itulah atas dasar itulah para sahabat terdiam. Lalu pada saat ada kesempatan bagi Nabi untuk berbicara, minimal sepanjang apa yang ada dalam pesan tersebut, mengapa Nabi tidak menyampaikan wasiat beliau –sebagaimana yang diklaim oleh orang orang syi’ah- dan berkata, “Ali adalah penggantiku?” Bukankah kalimat ini lebih pendek daripada “Tidak selayaknya ada pertengkaran di hadapan seorang Nabi” ?! Ini membuktikan bahwa penyebab mereka diperintahkan keluar dari ruangan beliau bukanlah ucapan Umar dan sahabat-sahabat yang lai yang sependapat tetapi perbedaan mereka. karenakan semua memahami bahwa Umar tidak berniat untuk menolak apa yang akan disampaikan Nabi. Akan tetapi beliau tidak setuju penulisan pesan tersebut pada saat sakit Rasulullah, karena kecintaan dan empati beliau kepada Rasulullah.
Sebagai penutup, kami menganggap bahwa syubhat inilah yang menyebabkan sang penanya memilih Syi’ah. Semoga Allah memberikan hidayah kepadanya. Kepada yang bersangkutan saya sampaikan, bagaimana pendapat anda setelah memperhatikan jawaban terhadap syubhat yang telah menyeret Anda masuk Syi’ah? Tidak lupa saya sampaikan salam kepada orang yang telah mempertemukan Anda dengan kami melalui syubhat ini dan mungkin syubhat yang lain.

Oleh: Syekh Mamduh Farhan Al-Buhairi
Majalah Islam Internasional Qiblati edisi 06 tahun VII, Jumadal Ula 1433 H, April 2012 M, hal 6-14.