Wednesday, May 6, 2015

status kitab nahjul balaghah

Kitab Nahjul Balaghah itu amat popular di kalangan penganut Islam dan penganut Syiah. Isinya mengandungi ucapan, khutbah dan surat yang disandarkan kepada saidina Ali r.a. Timbul persoalan di sini, apakah benar isi Nahjul Balaghah itu benar-benar asli dari Ali r.a.? Nantikan artikel dari al-ahkam.net menjawab persoalan ini.. Bagi mereka yang biasa dengan pengajian hadis, sudah pasti menjawabnya dengan kata-kata Ibnu al-Mubarak: الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء Maknanya: Sanad itu sebahagian dari agama. Dan, kalaulah tiada sanad, nescaya seseorang itu akan berkata apa sahaja semahunya. Kata imam al-Zahabi di dalam Siyar A'lam al-Nubala' ketika menulis biografi al-Murtadha Ali bin Husain bin Musa al-Musawi: Menurutku dia adalah penulis kitab Nahjul Balaghah, yang disnibahkan lafaznya kepada Imam Ali r.a. Tanpa sanad. Sebahagiannya mengandungi kebatilan dan terselit juga di dalamnya kebenaran. Namun di sana terdapat topik-topik yang tak mungkin diucapkan oleh imam Ali r.a. Ada yang mengatakan: Malah ia (Nahjul Balaghah) disusun oleh saudaranya yang bernama al-Syarif al-Radhi... Kata al-Zahabi lagi: Di dalamnya terdapat cercaan terhadap para sahabat Rasulullah s.a.w. maka kami mohon perlindungan dari Allah dari ilmu yang tidak memberi manfaat. Web islamqa.info kelolaan Syeikh al-Munajjid ada menyebutkan; Sebahagian ulama yang menyatakan kedustaan yang terdapat di dalamnya ialah al-Khatib al-Baghdadi di dalam al-Jami' Li Akhlaqi al-Rawi Wa Adabus Sami'. Begitu juga dengan Ibnu Khalikan, al-Shofadi dan selain mereka. Kesimpulan yang dapat diambil dari semua itu ialah:     Jarak masa antara penyusun kitab dan antara Ali r.a. adalah tujuh genarasi perawi. Penyusunnya telah membuang semua perawi berkenaan. Sebab itulah perkataannya tidak boleh diterima tanpa sanad.     Seandainya pengarangnya ada menyebutkan sanad, tidak boleh tidak ia mestilah dikaji dan disiasat tahap kepercayaan mereka itu.     Al-Murtadha, tuan punya kitab ini bukanlah ahli riwayah melainkan dia adalah seorang mutakallim agama dan tahap kepercayaannya.     Cercaan terhadap para sahabat yang terdapat di dalamnya memadai untuk menolaknya.     Cercaan dan makian yang ada di dalamnya bukanlah dari akhlak mukmin, lebih-lebih lagi di kalangan para imam mereka seperti Ali r.a.    Terdapat di dalamnya percanggahan dan ibarat yang tidak kemas yang pasti ia bukanlah dari imam-imam dalam bidang Balaghah dan Bahasa. Kitab Nahjul Balaghah ini diterima oleh golongan Syiah Rafidhah secara pasti kesahihannya sebagaimana al-Quran sedangkan ia dalam keadaan penuh dengan percanggahan. Ini menjadi bukti bahawa mereka tidak mengambil tentang berat hal ehwal agama mereka dalam urusan yang melibatkan penapisan dan pengesahan sumber samada ia sahih dan kukuh atau sebaliknya. Atas asas ini, jelas kitab ini tidak sah dinisbahkan kepada Ali r.a. Ia juga dengan segala isikandungannya samasekali tidak menjadi hujah di dalam masalah syarak. Adapun untuk membacanya kerana mahu menelaah isikandungannya dari sudut balaghah, maka hukumnya sama seperti membaca mana-mana kita lughah/bahasa tanpa menisbahkannya kepada Amiril Mukminin Ali r.a. Kesimpulan Kitab Nahjul Balaghah BUKAN ASLI DARI ALI R.A. KENAPA?     Ditulis selepas 4 genarasi periwayatan     Tiada sanad     Penyusunnya bukan ahli riwayah     Ada cercaan ke atas para Sahabat     Ada caci maki yang pasti bukan dari Ali r.a.     Ucapannya ada yang pasti bukan dari pakar Balaghah dan bahasa Teks penuh rujuk sini: http://www.islamqa.info/ar/30905

Salah satu Isi kitab NAHJUL BALAGHAH salah seorang ulama syi’ah bernama Al Murtadho Alamul Huda –saudara kandung As Syarif Ar Radhiy, penyusun kitab Nahjul Balaghah- menyatakan: saat Ali menjabat khalifah, ada orang mengusulkan agar Ali mengambil kembali tanah fadak, lalu dia berkata: saya malu pada Allah untuk merubah apa yang diputuskan oleh Abubakar dan diteruskan oleh Umar. Bisa dilihat dalam kitab As Syafi hal 213. Hakekat.com : terimakasih, memang begitulah kenyataannya, namun hal ini dikubr rapat-rapat oleh para ustadz yang menerima bayaran dari Iran. Ketika kebenaran berlawanan dengan kepentingan Iran, maka harus disembunyikan, jika tidak, Iran tidak lagi memberi bayaran. ada lagi yang perlu kita perhatikan dari riwayat di atas, di antaranya: 1. Keputusan Abubakar dalam masalah fadak adalah benar adanya, dengan bukti: 2. putusan ini disahkan oleh imam maksum, yang mengakui keutamaan Abubakar.
Oleh zain-ys
Sumber : hakekat.com
http://faktasyiah.blogspot.com/

Artikel terkait : 


Pidato Ali bin Abi Thalib di Hari Wafatnya Khalifah Abu Bakar

Semoga Allah meridhoi Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib r.a. dan Amirul Mukminin, Abu Bakar Shiddiq r.a
HUBUNGAN Khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib dikenal sangat erat.  Dalam kitab Nahjul Balaghah, kitab yang diyakini kumpulan pidato Ali, dikatakan bahwa Ali memuji Abu Bakar dan Umar sebagai Khalifah.
Dr. ‘Aidh Al-Qarni dan Dr. Muhammad Al-Hasyimi Al-Hamdi mengutip pidato Ali bin Abi Talib Radhiallahu Anhu di saat meninggalnya Khalifah Umar Bin Khatab;
Allah merahmatimu wahai Abu Bakar. Engkau adalah orang pertama yang memeluk Islam. Orang yang paling ikhlas dalam beriman. Orang yang paling kuat keyakinan. Orang berada yang paling mulia dan orang yang paling melindungi Rasul Allah. Orang yang dekat dengan Rasul Allah akhlaknya,  kemuliaannya,  petunjuknya dan karakternya. Semoga Allah memberimu pahala kebaikan atas Islam,  Rasul Allah dan kaum muslimin. Engkau membenarkan Rasul Allah saat orang-orang mengingkari. Engkau mendarmakan hartamu saat orang-orang lain kikir. Engkau berdiri bersamanya saat orang-orang lain diam. Allah menamakanmu Shiddiqan(yaitu yang datang dgn membawa kebenaran dan dia membenarkan. Mereka adalah orang-orang yang muttaqun). Orang-orang menginginkan Muhammad dan Muhammad menginginkanmu. Demi Allah engkau adalah benteng Islam dan siksaan bagi kaum kafirin. Hujjah-mu tidak menurun dan nalarmu tidak melemah. Dirimu tidak pernah takut. Engkau bagaikan gunung yang tidak goyah oleh hembusan badai. Engkau seperti halnya sabda Rasul : “Badanmu lemah namun kukuh dalam perintah Allah. Engkau adalah orang yang rendah hati namun mulia dihadapan Allah. Mulia di muka bumi dan besar di hadapan kaum muslimin. Tidak seorangpun di hadapanmu berambisi dan tidak seorangpun meremehkan. Orang yang kuat di hadapanmu lemah sampai engkau mengembalikan hak orang lain dari padanya. Orang yang lemah di hadapanmu kuat sampai engkau mengembalikan haknya. Semoga Allah tidak menjauhkan pahalamu atas kami dan tidak pula Allah menyesatkan kami setelah kepergianmu..”
Semoga Allah meridhoi Amirul Mukminin,  Ali bin Abi Thalib r.a. dan Amirul Mukminin,  Abu Bakar Shiddiq r.a. (Dikutip dari buku ‘Mawaddah Ahlu Al-Bait ‘inda Ahli Al-Sunnah’ oleh Dr. ‘Aidh Al-Qarni dan Dr. Muhammad Al-Hasyimi Al-Hamdi).*

Meninggalkan Perdebatan dalam Masalah Agama ( Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal )

      
٦ - تَرْكُ الْمِرَاءِ وَالْجِدَالِ وَالْخُصُومَاتِ فِي الدِيْنِ
Meninggalkan perdebatan, berbantah-bantahan, dan pertengkaran dalam (masalah) agama.
Penjelasan:
Ketiga istilah ini (al-miraa’, al-jidaal, dan al-khushuumaat) mempunyai makna satu atau berdekatan, yaitu perdebatan. Perdebatan dalam agama ada 2 (dua) macam, yaitu : perdebatan yang disyari’atkan/diperintahkan dan perdebatan yang tidak disyari’atkan/dilarang.
Perdebatan yang Disyari’atkan.
Diantara dalilnya adalah:

Takut Penyebaran Kesesatan Syi’ah di Media Sosial, Iran Pantau Para Pengguna Facebook.

Karena Qadha dan Qadarnya, saat ini keberadaan Media Sosial ( positip ) sangat effektif untuk mengungkap kesesatan ajaran-ajaran/sekte sesat Syi'ah Rafidhah dan lainnya. selama ribuan tahun, begitu mudahnya seseorang/sekelompok orang ( apalagi atas skenario/konspirasi Yahudi ) memanipulasi Ajaran/Aqidah Islam yang tidak merujuk pada pemahaman Shalafus shalih ( tiga generasi terbaik setelah Nabi ). Perbuatan tersebut selain karena keterpencilan lokasi/jauhnya dari Pusat Ilmu/Ulama, juga karena keawaman para pengikutnya dan tidak terdeteksi untuk waktu yang lama. Kebohongan-kebohongan tersebut akhirnya diyakini sebagai kebenaran/dogma. Saat ini dengan adanya keberadaan Media Sosial ( Internet/facebook dan lainnya ), semua penyimpangan/kesesatan  Aqidah dengan mudah terungkap/terkoneksi untuk mereviewnya. Begitupun dengan kesesatan ajaran-ajaran sekte syiah rafidhah, walaupun di "kandangnya" Iran, setiap pengikut/umatnya jika sedikit kritis dan dialektis serta ada keraguan, dengan mudah mereka bisa mengakses melalui jaringan internet " Pendapat-pendapat/Rujukan" yang benar ( shahih/sharih ). Hal inilah membuat guncang penguasa rafidhah, yang mengkhawatirkan ambruknya/berkurangnya pengikut ajaran sesat tersebut. Selama ribuan tahun, mungkin saja mereka masih bisa mempertahankan sedikit prosentasi umatnya dengan memprovokasi keganasannya bisa eksis tanpa kritis dan dialektis terhadap substansi kesesatan ajaran kerafihahannya. Saat ini di benak " Penguasa Elit Ideologi " mereka ada kepanikan akan kemapanan "busuknya" ajaran mereka terkuak dan terkounter oleh/terhadap  Umat Islam mayoritas yang merujuk pada ajaran Islam yang benar. berikut ini dipaparkan informasi sesuai hipotesa diatas.
                                              ----------------------------------
Iran akan mengawasi delapan juta pengguna Facebook di negara itu dengan perangkat lunak baru. Hal ini dilakukan untuk menangkapi para pengguna yang mengunggah materi-materi yang berlawanan dengan negara berpaham Syiah tersebut.
Diberitakan Reuters yang mengutip stasiun televisi Iran, Senin (2/3), Pusat Penyelidikan Kriminal Terorganisir, cabang dari tentara Garda Revolusi Iran, menuduh Facebook telah menyebarkan konten-konten yang tidak bermoral dan telah menahan beberapa penggunanya.
Semarak kampanye anti Syi’ah ternyata membuat kalang kabut orang-orang syi’ah Iran, jika mengaca dari media Ahlussunnah baik berbahasa arab maupun selainnya, kita dapati banyak sekali materi-materi pembahasan kesesatan ajaran syi’ah yang sudah diolah menjadi file doc, pdf dan juga audio maupun video.
Iran sebelumnya memang telah memblokir akses warga ke Facebook, Twitter dan Youtube, namun jutaan pengguna di negara tersebut masih bisa masuk dengan menggunakan jaringan pribadi virtual atau VPNS.
Media sosial juga menjadi “musuh” Iran setelah tahun 2009 lalu digunakan jadi sarana mengumpulkan massa usai terpilihnya kembali dedengkot presiden Syi’ah Mahmoud Ahmadinejad..
Untuk pengawasan kali ini, Iran menggunakan program “Spider” untuk memantau media sosial lainnya seperti Instagram, Viber, dan WhatsApp.
Desember lalu, Menteri Komunikasi Mahmoud Vaezi memperkenalkan kebijakan “penyaringan pintas” untuk meningkatkan efisiensi penyensoran. Vaezi mengatakan, kebijakan ini akan diterapkan secara penuh pada Juni mendatang.

Buka juga :

STOP SIARAN LANGSUNG, KITA TEREKSPOS! Teriak ayatullah Syiah (Video)

SYAHADAT KETIGA : Salah Satu Produk Kreatifitas Syi’ah [ Kritik Dr. Musa Al-Musawi ]

Pernah mendengar konsep syahadat ketiga Syi’ah ? Syahadat ketiga Syi’ah adalah konsep bid’ah yang diada-adakan kaum Syi’ah yang mengatasnamakan agama [1]. Syahadat ini adalah tambahan lafadh selain syahadatain yang dikenal oleh umat Islam, yang berisi tentang pengakuan keimamahan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Syahadat tersebut berbunyi :
أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيّاً وَلِيُّ الله
”Aku bersaksi bahwa ‘Ali adalah wali Allah”
Tulisan ini merupakan nukilan dari buku yang berjudul Asy-Syi’ah wat-Tashhih : Ash-Shiraa’ bainasy-Syi’ah wat-Tasyayyu’ (الشيعة والتصحيح : الصراع بين الشيعة والتشيع) yang ditulis oleh Dr. Musa Al-Musawi, seorang (mantan) “Syi’ah” yang ingin “memperbaiki” kondisi kejumudan, kesesatan, dan kerusakan manhaj aqidah Syi’ah di negeri hitam tempat ia pernah tinggal : Iran. Penulis merupakan cucu dari salah seorang seorang tokoh besar Syi’ah : As-Sayyid Abul-Hasan Al-Musawi, yang dikatakan oleh Muhammad Al-Husain Kasyful-Githa’ dengan perkataannya : Ansaa man qablahu wa at’aba man-ba’dahu (“Dapat mengubur ingatan orang akan tokoh-tokoh sebelumnya dan mengecilkan nama-nama yang datang sesudahnya”).  Berikut perkataan Dr. Musa Al-Musawi dengan beberapa catatan kaki dari saya (Abul-Jauzaa’) :
*********
Sayyid Al-Murtadla, salah seorang tokoh ulama Syi’ah Imamiyyah pada abad ke-5 H, berkata bahwa barangsiapa mengatakan di dalam adzan :
أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيّاً وَلِيُّ الله
”Aku bersaksi bahwa ‘Ali adalah wali Allah”
maka ia telah melakukan perbuatan yang diharamkan.
Dari pendapat ini jelaslah bahwa konsep syahadat ketiga yang digunakan untuk panggilan shalat, baru masuk ke dalam Syi’ah setelah muncul peristiwa Ghaibah Kubra. Namun kebiasaan itu belum muncul secara resmi dalam kehidupan bermadzhab kecuali setelah Syah Isma’il Ash-Shafawi memasukkan Iran ke dalam Syi’ah dan memerintahkan para muadzdzin menyerukan syahadat ketiga dalam panggilan shalat lima waktu.
Begitulah kisah tentang diberinya Imam Ali [2] kedudukan yang tetap dalam memegang khilafah sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sejak saat itu, seluruh masjid Syi’ah di dunia mengikuti tata cara yang ditentukan oleh Syah Isma’il Ash-Shafawi sehingga tanpa satu masjid pun menyimpang dari garis tersebut.
Sebenarnya fuqahaa kita – semoga Allah memaafkan mereka – berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang pro dan kontra untuk memasukkan syahadat ketiga ke dalam adzan. Namun sayangnya, kelompok yang pro tampak lebih mayoritas daripada kelompok yang kontra. Para fuqahaa yang kontra (yang melarang) bersepakat bahwa mengucapkan syahadat ketiga itu dijatuhi hukum mati atas pelakunya [3].
Sikap kelompok minoritas fuqahaa kita ini tentu mendapat tantangan dari kelompok mayoritas. Mereka dituduh keluar dari Tasyayyu’ [4] dan terlepas dari keterikatan dengan ‘Ali dan anak-anaknya. Mereka disisihkan dan diboikot, tanpa sedikitpun mendapat bantuan. Dan anehnya, sikap inilah yang diteladani oleh para pengikut yang awam dan bodoh.
Di sini tampak jelas bahwa ashabiyyah (fanatisme) buta telah menguasai sebagian fuqahaa dan orang-orang bodoh. Mereka saling dukung dalam kejelekan.
Sebenarnya saya sudah bosan mendiskusikan persoalan ini dengan para fuqahaa kita. Sebab, mereka selalu melontarkan jawaban klise yang sudah ada sejak berabad-abad. Tak sedikit pun muncul hal-hal baru. Mereka mengatakan bahwa syahadat ketiga bukan merupakan (tidak diyakini sebagai) bagian dari shalat. Oleh karena itu, tidak ada halangan untuk memasukkan syahadat ini ke dalam adzan.
Saya telah mengatakan kepada mereka bahwa persoalannya bukan terletak pada : Apakah syahadat ketiga itu merupakan bagian dari shalat atau tidak, tapi lebih dari itu. Jelasnya, karena adzan merupakan ucapan (syahadat) yang disetujui Rasul, maka jadilah ia sunnah taufiqiyyah (yaitu perbuatan shahabat yang disepakati Rasul) yang tidak boleh dikurangi atau ditambah, sekalipun kalimat tambahan itu sesuai dengan kenyataan, kebenaran, dan kejujuran.
Mereka juga berkata bahwa syahadat ketiga telah menjadi bagian syi’ar bagi Syi’ah. Sebab itu, saya katakan kepada mereka bahwa syiar Islam itu lebih penting daripada syiar Tasyayyu’. Apakah Syi’ah dan Islam itu adalah dua hal yang berbeda sehingga Syi’ah perlu mempunyai syi’ar khusus sebagai ciri khasnya ??
Mendapat pertanyaan seperti ini, para fuqahaa itu hendak melemparkan tanggung jawab kepada selain mereka dengan menyatakan : “Kami tidak dapat meminta kaum Syi’ah meninggalkan syahadat ketiga dalam adzan karena ia telah menjadi bagian dari tabiat Syi’ah dan ia tergantung kepadanya sebagaimana ketergantungan seorang anak dengan susu ibunya”.  Sampai di sini pembicaraan kami sia-sia.
Saya telah menyatakan kepada mereka,”Seandainya Anda semua sepakat atas satu pendapat serta Anda menerangkan hukum Allah dengan kejelasan dan keberanian, tidak akan timbul perselisihan tentang persoalan tersebut. Sesungguhnya kewajiban Anda adalah menjelaskan hukum Allah dan melaksanakannya”.
Mereka (untuk mempertahankan argumentasinya) juga menyatakan : Sesungguhnya Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghapus kalimat  حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَلdari seruan adzan dan menggantinya dengan  الصَّلاةُ خَيْرٌ مِن النَوْم.
Saya katakan kepada mereka : Jawaban yang bersifat menentang tidak sedikitpun dapat menyampaikan kebenaran. Sekarang seandainya persoalannya benar seperti yang Anda katakan, pastilah Imam Ali tidak menguatkannya ketika beliau menjadi khalifah, dan tentulah beliau akan memerintahkan agar mengganti kalimat tersebut dengan lainnya. Menurut logika Anda, perbuatan Imam adalah sebagai bukti atas kebenaran atau sahnya perbuatan tersebut. Selain itu, Anda telah sepakat secara mutlak bahwa syahadat ketiga tidak pernah ada pada masa Rasul dan para Imam. Ia dimasukkan ke dalam adzan pada waktu belakangan.
Adapun kalimat  الصَّلاةُ خَيْرٌ مِن النَوْمadalah persoalan yang diperselisihkan. Golongan Islam selain Syi’ah sepakat bahwa ia telah ada di masa Rasul, sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa ia dibuat oleh Khalifah ‘Umar bin Khaththab.[5] Sungguh jauh bedanya antara persoalan yang telah disepakati dan tidak diperselisihkan, dengan masalah khilafiyah yang di dalamnya terdapat banyak perbedaan dan pertentangan pendapat.
Saran Perbaikan :
Saya (Dr. Musa Al-Musawi) tidak pernah ragu bahwa syahadat ketiga yang sekarang menjadi bagian dari adzan shalat bagi Syi’ah bukan lagi perbuatan yang bersifat individu, tapi telah memiliki kharakteristik yang bersifat sentimental, sosial, dan kemadzhaban Kebiasaan ini memang tidak mudah diubah, apalagi dasar negara (Iran) yang sistem pemerintahannya berdasarkan madzhab, yang mengembangkan sentimen kemadzhaban [6], dan memanfaatkan madzhab sebagai alat untuk berkonfrontasi dengan negara-negara tetangganya yang mayoritas dari golongan Ahlus-Sunnah; usaha perbaikan di dalam negeri Iran tampaknya menemui kesulitan yang luar biasa, sebagaimana yang telah saya usahakan itu.
Namun saya optimis, bahwa suatu saat pemerintahan “Republik Islam” yang ekstrem itu akan berubah menjadi pemerintahan yang moderat yang menjadikan persatuan kaum muslimin dan maslahat Islam sebagai nilai dasarnya. Jika datang itu, maka segala usaha perbaikan tampaknya akan mendapatkan tanggapan positif, termasuk persoalan syahadat ketiga.
Namun, sebelum sampai ke masa itu, dari sekarang saya berkewajiban menghimbau kaum Syi’ah, terutama di luar Iran, agar berusaha dengan sungguh-sungguh untuk kembali kepada adzan yang pernah berkumandang pada masa Rasul, Imam Ali, dan para Imam Syi’ah. Kemudian, kewajiban yang harus dipikul oleh kalangan terpelajar dan mereka yang telah sadar dari generasi muda Syi’ah adalah mengambil peranan dalam memperbaiki madzhab yang mereka ikuti.
Sekali lagi, saya ingin mengatakan bahwa sebenarnya saya sudah lelah mengharapkan fuqahaa kita agar berani mengatakan yang haq dan mau berdiri bersama kita dalam arena perjuangan ini. Sebab, kenyataan yang selama ini kita dapat, selalu bertolak belakang dengan apa yang saya harapkan. Mereka justru adalah orang yang paling keras mendukung bid’ah ini, baik dalam pemikiran maupun dalam pratek mereka di masjid-masjid.
Demi Allah, seandainya Imam Ali masih hidup dan mendengar namanya disebut dalam seruan-seruan shalat yang akan dikumandangkan dari menara-menara masjid, tentulah ia akan menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku dan penyebab timbulnya perbuatan tersebut. Apakah sesungguhnya yang kita inginkan dari melakukan perbuatan demi Ali yang ia sendiri tidak meridlainya ?
Sekali lagi, saya mengharap kepada kaum Syi’ah agar kembali kepada adzan yang dikumandangkan oleh Bilal Al-Habsyi dari dalam masjid Rasul dan di hadapan Rasul serta para shahabat, termasuk Imam Ali; dan hendaklah mereka meminta kepada para muadzdzin di masjid-masjid Syi’ah berpegang teguh dengan amaliah tersebut. Jika para muadzdzin mau berpegang teguh dengan amaliah tersebut, maka hal itu akan membuka jalan yang lebih jauh lagi dan adzan itu akan masuk ke rumah-rumah Syi’ah sebagaimana dahulu ia telah masuk ke rumah ‘Ali dan Fathimah.
------selesai perkataan Dr. Musa Al-Musawi--------- 
Sebenarnya masih banyak lagi perkataan-perkataan Dr. Musa Al-Musawi yang mengkritisi cara beribadah kaum Syi’ah baik dalam masalah ‘aqidah, manhaj, maupun muamalah dalam kitabnya Asy-Syi’ah wat-Tashhih : Ash-Shiraa’ bainasy-Syi’ah wat-Tasyayyu’ ; termasuk masalah imamah, wilayatul-faqih, kebiasaan caci-maki terhadap para shahabat, raj’ah, bada’, ziarah kubur, dan lain-lain. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari makar dan tipu daya kaum Syi’ah.
Wallaahu a’lam bish-shawwab.

Ditulis ulang oleh Abu Al-Jauzaa’.


[1]     Syi’ah adalah salah satu sekte yang paling jago dan produktif dalam membuat bid’ah-bid’ah dalam agama untuk menyesatkan kaum muslimin.
[2]     Mengkhususkan pengebutan gelar ”Al-Imam” kepada ’Ali bin Abi Thalib adalah perbuatanghulluw yang biasa dilakukan oleh kaum Syi’ah dan sebagian habaaib (orang yang mengaku keturunan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam). Jika kita menyebut ’Ali bin Abi Thalib dengan gelar ”Al-Imam”, maka Abu Bakar dan ’Umar bin Khaththab tentu lebih berhak daripada ’Ali radliyallaahu ’anhum. Telah menjadi salah satu prinsip ’aqidah Ahlus-Sunnah bahwa shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang paling utama adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq kemudian ’Umar bin Khaththab. Adapun setelah dua shahabat tersebut, maka Ahlus-Sunnah berselisih pendapat mana yang lebih utama antara ’Utsman bin ’Affan dan ’Ali bin Abi Thalib. Yang rajih, ’Utsman bin ’Affan lebih utama, baru kemudian setelah itu ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhum.
Dalam pembicaraan ini (yaitu dalam penyebutan ”Al-Imam” bagi ’Ali bin Abi Thalib), nampaknya Dr.Musa Al-Musawi ingin berbicara dengan orang Syi’ah sesuai dengan kebiasaan penyebutan mereka dengan harapan apa yang beliau nasihatkan dapat diterima – sebagaimana telah beliau tegaskan di awal kitab. Wallaahu a’lam. [Abul-Jauzaa’].
[3]     Karena memang bukan agama yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamdan yang dilakukan para shahabatnya, termasuk ‘Ali bin Abi Thalib sendiri [Abu Al-Jauzaa’].
[4]     Tasyayyu’  pada awalnya hanya sebatas pada sikap mencintai ’Ali dan mengutamakan ’Ali dalam hal kekhalifahan (tanpa diiringi sikap membenci para shahabat yang lain). Akan tetapi kemudian istilah tasyayyu’  ini berkembang menjadi ’aqidah dan sikap ghulluw dalam mencintai ’Ali, me-ma’shum-kannya dan keturunannya, membenci para shahabat lain (bahkan mengkafirkannya) karena dianggap merebut tahta kekuasaan dari ’Ali, dan yang lain sebagainya. Allahul-Musta’an [Abul-Jauzaa’].
[5]     Perkataan Dr. Musa Al-Musawi ini adalah benar. Telah shahih riwayat Abu Mahdzurah – salah satu muadzdzin Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam – secara marfu’ ketika mengajarkan lafadh adzan :
فإذا أذنت بالأولى من الصبح فقل الصلاة خير من النوم مرتين
”Apabila engkau adzan pertama di waktu shubuh, maka ucapkanlah : Ash-shalaatu khairum-minan-naum (Shalat itu lebik baik daripada tidur)" [Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni no. 4 dalam Kitabush-Shalah, Bab : Fii Dzikri Adzaani Abi Mahdzurah wakh-tilaafir-riwaayaati fiih].
عن أنس قال من السنة إذا قال المؤذن في أذان الفجر حي على الفلاح قال الصلاة خير من النوم الصلاة خير من النوم
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Termasuk sunnah : Apabila muadzdzin berkata dalam adzan fajar Hayya ‘alal-falaah ; adalah mengucapkan : Ash-Shalaatu khairum-minan-naum (2x)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 1835; shahih. Riwayat inimauquf, namun dihukumi marfu’ karena perkataan Anas “Termasuk sunnah” (minas-sunnati) adalah termasuk salah satu lafadh yang dihukumi marfu’ dalam ilmu hadits].
Adapun anggapan Syi’ah bahwa ‘Umar adalah orang yang membuat bid’ah tatswib ini tidak lain adalah karena kedengkian mereka yang amat sangat kepada beliau. Semoga Allah selalu merahmati ‘Umar bin Khaththab dan membalas segala amalnya dengan surga. Kita katakan kepada kaum Syi’ah : Muutuu bighaidlikum (”Matilah kalian dengan kemarahan kalian”) !! [Abul-Jauzaa’].
[6]     Khususnya kepada Ahlus-Sunnah. Dan lebih khusus lagi kepada Salafiyyun (yang lebih sering mereka sebut dengan Wahabiyyun) ! [Abul-Jauzaa’]


Masukan Untuk Menteri Agama ( 2 ), Hukum Mencaci Istri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.

                                                       
Barangsiapa menuduh ‘Aaisyah telah berbuat zina yang Allah ta’ala telah membebaskan dirinya dari perbuatan (zina) tersebut, maka orang itu kafir tanpa ada perselisihan pendapat. Telah dihikayatkan adanyaijmaa’ dalam hukum kekafiran ini dari beberapa orang ulama.
Diriwayatkan dari Maalik :
من سَبّ أَبَا بَكْر جُلِد، وَمِن سَبّ عَائِشَة قُتِل، قِيل لَه: لِم؟ قَال من رَمَاهَا فَقَد خالف الْقُرْآن، لِأَنّ اللَّه تَعَالى قَالَ: يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
“Barangsiapa yang mencaci Abu Bakr, ia dicambuk. Dan barangsiapa mencaci ‘Aaisyah, ia dibunuh”. Dikatakan kepadanya : “Mengapa?”. Ia berkata : “Barangsiapa yang menuduhnya, maka ia telah menyelisihi Al-Qur’an, karena Allah ta’ala berfirman : ‘Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman’ (QS. An-Nuur : 17)”[1].

Abus-Saaib Al-Qaadliy berkata:
كُنْتُ يَوْمًا بِحَضْرَةِ الْحَسَنِ بْنِ زَيْدٍ الدَّاعِي بِطَبَرِسْتَانَ، وَكَانَ يَلْبَسُ الصُّوفَ، وَيَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ، وَيُوَجِّهُ فِي كُلِّ سَنَةٍ بِعِشْرِينَ أَلْفَ دِينَارٍ إِلَى مَدِينَةِ السَّلامِ تُفَرَّقُ عَلَى سَائِرِ وَلَدِ الصَّحَابَةِ، وَكَانَ بِحَضْرَتِهِ رَجُلٌ ذَكَرَ عَائِشَةَ بِذِكْرٍ قَبِيحٍ مِنَ الْفَاحِشَةِ، فَقَالَ: يَا غُلامُ اضْرِبْ عُنُقَهُ، فَقَالَ لَهُ الْعَلَوِيُّونَ: هَذَا رَجُلٌ مِنْ شِيعَتِنَا، فَقَالَ: مَعَاذَ اللَّهِ، هَذَا رَجُلٌ طَعَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ تَعَالى: الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ، فَإِنْ كَانَتْ عَائِشَةُ خَبِيثَةً، فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبِيثٌ، فَهُوَ كَافِرٌ، فاضْرِبُوا عُنُقَهُ، فَضَرَبُوا عُنُقَهُ وَأَنَا حَاضِر
Pada suatu hari aku berada di dekat Al-Hasan bin Zaid, seorang da’I negeri Thibristaan. Ia waktu itu mengenakan pakaian dari bulu domba. Ia seorang yang memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Setiap tahun ia mengirim uang sebanyak 20.000 dinar ke Madiinah agar dibagikan kepada seluruh anak-anak shahabat. Pada waktu itu, hadir di hadapannya seorang laki-laki yang menyebut-nyebut ‘Aaisyah dengan penyebutan buruk lagi keji. Ia (Al-Hasan bin Zaid) berkata : “Wahai ghulaam, penggallah pehernya”. Orang-orang ‘Alawiyyiin berkata kepadanya : “Laki-laki tersebut termasuk pengikut kelompok kami”. Ia berkata : “Aku berlindung kepada Allah, orang ini telah mencela Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman : ‘Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)” (QS. An-Nuur : 26)’. Apabila ‘Aaisyah seorang wanita yang keji, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun juga seorang laki-laki yang keji. Orang tersebut kafir. Penggallah lehernya”. Maka mereka memenggal lehernya sedangkan aku hadir menyaksikannya.  
Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy[2].
Adapun orang yang mencaci istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salami selain ‘Aaisyah, maka ada dua pendapat:
1.     Ia seperti orang yang mencaci para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[3]
2.     Menurut pendapat yang lebih benar, orang yang menuduh salah seorangummahaatul-mukminiin telah berbuat zina, maka hukumnya seperti menuduh ‘Aaisyah berbuat zina (yaitu kafir). Hal itu dikarenakan dalam cacian itu terdapat aib dan kerendahan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta menyakiti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih dari menyakiti beliau dengan sebab menikahi mereka (istri-istri Nabi) sepeninggal beliau. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan [QS. Al-Ahzaab : 57].
[selesai diterjemahkan dari Taqriibu Ash-Shariimil-Masluul ‘alaa Syaatimir-Rasuul li-Syaikhil-Islaam Ibni Taimiyyah oleh Dr. Shalaah Ash-Shaawiy, hal. 303-304 dengan sediikit peringkasan dan penambahan catatan kaki – Abul-Jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 09032015 – 23:44].
                             ------------------------------------------------------ 
[1]      Diriwayatkan oleh Al-Jauhariy dalam Al-Musnad Al-Muwaththa’ 1/112-113, Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 12/440, dan Abu Sa’iid An-Nuqqaasy dalam Tsalaatsatu Majaalis minal-Amaaliy no. 12. Dibawakan juga oleh Al-Qaadliy ‘Iyaadl dalam Asy-Syifaa’ 2/184.
[2]      Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2402.
[3]      Ibnu Taimiyyah rahimahullah membuat perinciannya:
a.      Orang yang mencaci shahabat dengan cacian yang tidak mengurangi sifat keadilan dan agamanya, seperti pelit, penakut, kurang berilmu, tidak zuhd, atau yang semisalnya; maka ia berhak untuk diboikot dan di-ta’zir, tidak dikafirkan.
b.      Orang yang melaknat dan menjelek-jelekkan shahabat secara mutlak, maka para ulama berbeda pendapat padanya dikarenakan adanya keragu-raguan permasalahan antara laknat kemarahan dan laknat keyakinan.
c.      Orang yang mencaci dan menganggap para shahabat murtad setelah wafatnya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali hanya sekelompok kecil saja; atau ia memfasikan mayoritas shahabat; maka ini tidak diragukan lagi akan kekafirannya karena ia mendustakan apa yang telah dinashkan oleh Al-Qur’an dalam beberapa ayat akan adanya keridlaan dan pujian terhadap mereka. Bahkan barangsiapa yang ragu akan kekafiran orang yang semisal ini, maka ia juga kafir secara yakin [At-Taqriib, hal. 325-326].
Artikel terkait : 


Kalau kita melihat tindak tanduk Rafidhah (baca: Syi’ah), mereka tidaklah lepas dari mencela sahabat. Ulama-ulama mereka tidak segan-segan mengatakan bahwa ‘Aisyah –istri tercinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam- itu kafir dan pantas menempati neraka. Banyak literatur Syi’ah yang menyebutkan ajaran demikian, bukan hanya satu atau dua pernyataan, bahkan sudah menjadi ajaran pokok mereka. Tulisan kali ini akan menunjukkan bagaimana pujian Allah pada mereka, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Juga akan dijelaskan pula mengenai kafirnya orang yang mencela sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Merenungkan Sifat Mulia Para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sifat mulia para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, termaktub dalam ayat berikut setelah Allah memuji Rasul-Nya yang mulia. Allah Ta’ala berfirman,

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Fath: 29).

Mula-mula ayat ini berisi pujian Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak disangsikan lagi adalah benar. Lalu beliau dipuji sebagai utusan Allah, di mana pujian ini mencakup semua sifat yang mulia. Kemudian setelah itu, barulah datang pujian kepada sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa saja pujian bagi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Pertama: Mereka keras terhadap orang kafir namun begitu penyayang terhadap sesama mereka yang beriman sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas,

وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”

Pujian seperti itu terdapat pula dalam ayat lainnya,

فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir” (QS. Al Maidah: 54).

Inilah sifat yang semestinya dimiliki oleh orang beriman. Mereka keras dan berlepas diri dari orang kafir dan mereka berbuat baik terhadap orang-orang beriman. Mereka bermuka masam di depan orang kafir dan bermuka ceria di hadapan saudara mereka yang beriman. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa” (QS. At Taubah: 123).

Dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR. Muslim no. 2586).

Dari Abu Musa, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan satu dan lainnya” (HR. Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585).

Kedua: Para sahabat nabi adalah orang yang gemar beramal sholeh, juga memperbanyak shalat dan shalat adalah sebaik-baik amalan

Ketiga: Mereka dikenal ikhlas dalam beramal dan selalu mengharapkan pahala di sisi Allah, yaitu balasan surga.

Kedua sifat ini disebutkan dalam ayat di atas,

تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا

“Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”

Keempat: Mereka terkenal khusyu’ dan tawadhu’. Itulah yang disebutkan dalam ayat,

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”.

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tanda yang baik. Mujahid dan ulama tafsir lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah khusyu’ dan tawadhu’.

Ulama pakar tafsir lainnya, yaitu As Sudi berkata bahwa yang dimaksud adalah shalat telah membaguskan wajah mereka.

Sebagian salaf berkata,

من كثرت صلاته بالليل حسن وجهه بالنهار

“Siapa yang banyak shalatnya di malam hari, maka akan berserilah wajahnya di siang hari.”

Sebagian mereka pula berkata,

إن للحسنة نورا في القلب، وضياء في الوجه، وسعة في الرزق، ومحبة في قلوب الناس.

“Setiap kebaikan akan memancarkan cahaya di hati dan menampakkan sinar di wajah, begitu pula akan melampangkan rizki dan semakin membuat hati manusia tertarik padanya.”

Karena baiknya hati, hal itu akan dibuktikan dalam amalan lahiriyah. Sebagaimana kata ‘Umar bin Al Khottob,

من أصلح سريرته أصلح الله علانيته.

“Siapa yang baik hatinya, maka Allah pun akan memperbaiki lahiriyahnya.”

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, niat mereka dan amal baik mereka adalah murni hanya untuk Allah. Sehingga siapa saja yang memandang mereka, maka akan terheran dengan tanda kebaikan dan jalan hidup mereka. Demikian kata Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya.

Kelima: Para sahabat dipuji oleh umat sebelum Islam dan mereka adalah sebaik-baik umat.

Imam Malik rahimahullah berkata bahwa telah sampai pada beliau, jika kaum Nashoro melihat para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menaklukkan Syam, mereka berkata, “Demi Allah, mereka sungguh lebih baik dari Hawariyyin (pengikut setia Nabi ‘Isa ‘alaihis salam), sebagaimana yang sampai pada kami.” Kaum Nashrani telah membenarkan hal ini. Ini menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang dalam anggapan umat-umat sebelum Islam sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka. Dan umat Islam yang paling mulia dan utama adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu dalam ayat yang kita bahas di atas disebutkan,

ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ

“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Demikianlah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menguatkan, mendukung dan menolong Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga mereka selalu bersamanya sebagaimana tunas yang selalu menyertai tanaman”. Tunas itulah ibarat para sahabat dan tanaman itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panutan mereka.

Kafirnya Orang yang Mencela Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Setelah disebutkan sifat-sifat mulai para sahabat, kemudian Allah menyebutkan sifat mereka yang selalu menolong Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana halnya tunas pada tanaman, lalu disebutkan,

يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ

“Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir”.

Sebagaimana dalam salah satu riwayat dari Imam Malik rahimahullah, beliau mengkafirkan Rafidhah (Syi’ah) di mana mereka menaruh kebencian pada para sahabat. Imam Malik berkata,

لأنهم يغيظونهم، ومن غاظ الصحابة فهو كافر لهذه الآية

“Karena para sahabat membuat hari mereka jengkel. Dan siapa yang jengkel (murka) pada para sahabat, maka ia kafir berdasarkan ayat ini.”

Sekelompok ulama sependapat dengan Imam Malik dalam hall ini. Juga banyak hadits yang menunjukkan keutamaan para sahabat dan larangan mencela mereka sebagai pendukung. Cukup dengan pujian dan ridho Allah atas mereka sebagaimana terbukti dalam ayat ini.

Bukti dari Literatur Syi’ah Mengenai Celaan pada Para Sahabat

[1] Salah satu buku induk ajaran Syi’ah yaitu karangan ulama besar mereka, Al Kulaini menyebutkan riwayat dari Ja’far ‘alaihis salam, “Manusia (para sahabat) telah murtad setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali tiga orang.” Aku berkata, “Siapa saja tiga orang tersebut?” Disebutkan, “Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisi”. (Furu’ Al Kaafi, Al Kulaini, hal. 115)

***
Lihatlah bagaimana tujuan keji Syi’ah yang bukan hanya mencela, namun menganggap murtad para sahabat yang mulia kecuali tiga sahabat di atas.

[2] Al Majlisi menyebutkan dalam kitabnya bahwa bekas budak ‘Ali bin Husain. Di mana ia pernah bersama ‘Ali bin Husain. Lalu bekas budaknya ini berkata pada ‘Ali bin Husain, “Engkau punya kewajiban untuk memberitahukanku mengenai dua orang pria yaitu Abu Bakr dan ‘Umar.” ‘Ali bin Husain berkata, “Mereka berdua itu kafir. Dan siapa saja yang mencintai keduanya, maka ia juga ikut kafir.” (Baharul Anwar, Al Majlisi, 29: 137)

***
Perlu diketahui bahwa sebenarnya ‘Ali bin Husain dan ahlul bait tidaklah seperti yang diceritakan di atas. Mereka sebenarnya berlepas diri dari kebiadaban dan tuduhan keji orang-orang Syi’ah. Dan ini jadi bukti bagaimana bencinya orang Syi’ah pada dua sahabat yang mulia yaitu Abu Bakr dan ‘Umar. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memuji Abu Bakr dengan julukan shiddiq (orang yang paling membenarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan menyebut ‘Umar dengan syuhada’.

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Gunung Uhud pun berguncang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِىٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ

“Diamlah Uhud, di atasmu ada Nabi, Ash Shiddiq (yaitu Abu Bakr) dan dua orang Syuhada’ (‘Umar dan ‘Utsman)” (HR. Bukhari no. 3675).

[3] Ulama pakar tafsir di kalangan Syi’ah yaitu Al Qummi berkata mengenai firman Allah Ta’ala,

وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ

“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (QS. An Nahl: 90). Namun lihatlah bagaimana tafsiran Al Qummi mengenai ayat ini. Ia berkata, “Fahsya’ adalah Abu Bakr, munkar adalah ‘Umar (bin Khottob), dan baghyu adalah ‘Utsman (bin ‘Affan).” (Tafsir Al Qummi, 1: 390)

Jika ulama Syi’ah saja mencela seperti ini, bagaimana lagi dengan pengikutnya?

[4] Yusuf Al Jaroni dalam kitabnya menyebutkan bahwa ‘Aisyah telah murtad setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana murtadnya sahabat Al Jamm Al Ghofir (Asy Syihab Ats Tsaqib fii Bayani Ma’na An Nashib, Yusuf Al Jaroni, hal. 236).

[5] Dalam buku Syi’ah, mereka menuduh ‘Aisyah telah berzina. Mengenai firman Allah Ta’ala yang sebenarnya mensucikan ‘Aisyah dari tuduhan zina yaitu pada surat An Nuur,

أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ

“Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu)” (QS. An Nuur: 26). Kata mereka, ayat ini yang dimaksud adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pada istrinya ‘Aisyah. (Ash Shiroth Al Mustaqim, Zainuddin An Nabathi Al Bayadhi, 3: 165)

***
Bagaimana mungkin ‘Aisyah dituduh berzina, sedangkan dalam surat An Nuur sebelumnya disebutkan,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (QS. An Nuur: 26).

Bagaimana pula ‘Aisyah itu murtad dan berbuat zina, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu menaruh hati pada ‘Aisyah. Lihatlah bagaimana ungkapan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada istrinya tercinta.

قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ

‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku bagimu seperti sayangnya Abu Zar’ pada Ummu Zar’. (HR. Bukhari no. 5189 dan Muslim no. 2448).

Dalam riwayat lain, A’isyah berkata,

يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ

“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku daripada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)

Pujian Tinggi pada Para Sahabat

Di akhir ayat, Allah menyebutkan pujian tinggi pada para sahabat,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Siapa saja yang mengikuti para sahabat dalam sifat mulia mereka, ia akan mendapatkan keutamaan demikian.

Ya Allah, berilah kami petunjuk untuk mengikuti jejak mulia para sahabat dan moga kami menjadi orang-orang yang mencintai mereka.

Kami tutup tulisan ini dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

“Janganlah kalian mencela sahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak bisa menandingi satu mud infak sahabat, bahkan tidak pula separuhnya” (HR. Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2540).

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1421 H, 13: 132-135.
Man Hum Asy Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah, ‘Abdullah bin Muhammad As Salafi, dd-sunnah.net, cetakan pertama, 1428 H.
Min ‘Aqoidi Asy Syi’ah, ‘Abdullah bin Muhammad As Salafi (dengan muqoddimah: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz), dd-sunnah.net, cetakan ketiga, 1428 H.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 27 Rabi’uts Tsani 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id



( Penanda tangan Risalah Aman )
Berikut ini adalah cuplikan dari tayangan video kajian Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam salah satu stasiun TV di negeri timur tengah,
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi: …. Sampai pada tahapan orang-orang yang mengikuti mereka. Maka apatah lagi dengan orang-orang yang mencela mereka. Oleh karena itu mencela sahabat adalah hal yang paling berbahaya!
Pembawa acara: Mencela sahabat –wahai Syekh- apakah itu menyebabkannya menjadi kafir atau fasik atau bagaimana pendapat Anda?
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi: Jika dia tidak memiliki syubhat (ta'wil), maka dia Kafir!
Namun jika ia memiliki syubhat (ta'wil), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan banyak ulama tidak mengkafirkannya, dan jika tidak niscaya ia telah kafir.
Seperti jika ia mengatakan bahwa semua sahabat itu murtad sepeninggal Nabi, atau mencela Aisyah setelah Allah bebaskan ia dari tuduhan zina (peristiwa ifk -penerj) yang mana Allah turunkan ayat-ayat yang jelas dalam surat An-Nur.
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (ayat 4)
Mengapa waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak berperasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa) tidak berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.
Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (ayat 12-14)
Maka siapa yang tetap mencela Aisyah, tidak diragukan lagi kekafirannya!

Baca juga tiga fatwa beliau tentang Syiah; 
b) Sikap Syeikh Yusuf Al-Qardhawi di Muktamar Taqrib di Doha, (http://www.lppimakassar.com/2012/09/fatwa-terbaru-syaikh-yusuf-al-qaradhawi.html) dan 
(lppimakassar.com)


Ayyub bin Hasan Al-Faqih berkata: Mazdak seorang yang terpercaya menceritakan kepadaku, ia seorang penjual kayu jati, ia berkata: Saya menjual kayu jati di ahwaz kepada seseorang, dia memiliki wibawa dan kekuasaan, saya menemuinya untuk meminta harganya, ketika itu nama Abu Bakar dan Umar disebut-sebut didekatnya radhiyallahu ‘anhuma, lantas ia mencelanya, saya agak takut melarangnya lantaran wibawanya dan kekuasaannya, setelah itu saya pulang ke rumah, malam itu saya lalui malam dengan rasa sedih dan sesak, hanya Allah yang mengetahuinya, akhirnya saya bermimpi melihat Nabi dalam mimpi, saya memanggilnya: wahai Rasulullah, orang ini mencela Abu Bakar dan Umar, Rasulullah berkata: ini?, saya jawab: ini!, ia bertanya lagi, ini? Saya jawab: ini!, Rasulullah berkata padaku: berdirilah dan sandarkanlah ia, saya berdiri dan saya menyandarkannya, kemudian Rasulullah berkata memerintahkanku: Berdirilah kemudian sembelihlah!, namun penyembelihan itu terasa berat di mataku, Rasulullah pun mengulanginya sampai tiga kali: Berdirilah dan sembelihlah, kemudian saya berdiri, lalu saya gorok dengan pisau pada urat lehernya, lalu saya pun menyembelihnya, ketika pagi menyeruak, saya bergumam dalam diri: Demi Allah, saya akan pergi kepadanya dan mengabarkannya mimpi ini, ketika saya sampai pada pintu rumahnya, saya mendengar teriakan dari dalam rumah, saya bertanya: teriakan apa ini? Mereka menjawab: fulan yang dipotong oleh seorang penyembelih pada tengah malam. Saya katakan: Saya yang menyembelihnya atas dasar perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian putranya (anak pencela Abu Abu Bakar dan Umar) keluar menemuiku, dan berkata: Saya sangat berharap anda menyembunyikannya untuk kami. 
(Sumber: An-Nahyu ‘An Sabb Al-Ash-haab wa maa fiihi min al-istmi wa al-‘iqab, Dhiyauddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi, Darul Faruq, Kairo, Mesir, Cet I, 2009, hal 44)
(lppimakassar.com)
Buka :