Saturday, February 28, 2015

Mu'awiyah di Mata Imam Syafi'i

Oleh: Syekh Mamduh Farhan al-Buhairi

Syubhat: Kami orang-orang Syi’ah tidak ada masalah dengan ahlussunnah, akan tetapi permasalahan kami hanyalah karena kalian selalu mendo’akan keridhaan bagi Mu’awiyah (mengucapkan Radhiyallahu ‘anhu untuk Mu’awiyah). Sementara imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah tidak mendoakan keridhaan bagi Mu’awiyah. Itu sebuah bukti bahwa kami dan ahlussunnah selaras, terutama dengan kaum Syafi’iyah. Di lain pihak, tidak mungkin terdapat persesuaian antara kami dengan kalian, karena kalian bukanlah Ahlussunnah waljama’ah.

Bantahan: Sekarang, ikutilah wahai sekalian para pembaca yang budiman, dan perhatikanlah kedustaan orang syi’ah ini. Pada dasarnya, kedustaan orang Syi’ah itu adalah satu perkara yang biasa, bahkan tidak akan mungkin menjadi orang Syi’ah sejati jika tidak menjadi seorang pendusta. Penanya Syi’ah (atau pemilik syubhat) ini berkata bahwa imam Syafi’i Rahimahullah dan ulama-ulama Syafi’iyah tidak mendo’akan keridhaan terhadap Mu’awiyah, maka ini adalah sebuah kejahatan terhadap hak Imam Syafi’i Rahimahullah, karena beliau berdo’a keridhaan untuk Mu’awiyah sebagaimana dalam kitabnya, al-Umm (II/190) dan (VI/170) dengan mengatakan: ‘Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu.’ Dia berdo’a keridhaan terhadap Mu’awiyah dalam kitab lain yang dikenal denganMusnad as-Syafi’i (I/33).
Bahkan, Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah seorang faqih menurut Imam Syafi’i yang beliau banyak berhujjah dengan perbuatan, perkataan, dan periwayatannya. (al-Umm (II/68), lihat juga al-Muhadzdzab (I/70, 216 dan II/70)

Imam As-syafi’i Rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu perkataannya dari Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu:
« يَا بُنَيَّ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَّا أَعْلَمَ مِنْ مُعَاوِيَةَ»
“Wahai putraku, tidak ada seorangpun dari kami yang lebih ‘alim dari Mu’awiyah.” (al-Umm (I/290))
As-Syafi’i Rahimahullah juga berhujjah dengan perkataan dan pendapat Mu’awiyah, sebagaimana  dia berkata,
بِحَدِيْثِ مُعَاوِيَةَ نَقُوْلُ
‘Dengan hadits Mu’awiyah kami berpendapat,’ yakni dalam masalah tardid (pengulangan) ucapan muadzdzin. (al-Umm (I/88))
Tatkala dikatakan kepada as-Syafi’i, ‘Kami tidak suka seorang pun witir kurang dari tiga (rakaat).’ Maka as-syafi’i Rahimahullah membantah mereka setelah meriwayatkan hadits tersebut dari Mu’awiyah, seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku tidak mengetahui satu sisi pun terhadap apa yang kamu katakan.’ (al-Umm (I/140))
Kami juga menyebut ucapan keridhaan ulama Syaifi’iyah terkemuka, yaitu Imam an-Nawawi Rahimahullah yang telah mengucapkan keridhaan serta memuji Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu sebagaimana disebutkan dalamRaudhatut Thalibin (XI/98), al-Majmu’ (III/86), al-Adzkar (I/7), dan Tahdzibul Asma` (I/190).
Agar tidak ada pendusta lain dari kalangan Syi’ah yang menampakkan diri kepada kita setelah dalil-dalil ini yang mengatakan bahwa as-Syafi’i Rahimahullah belum mengetahui tentang Mu’awiyah apa yang diketahui oleh manusia setelahnya, maka saya katakan, ‘Sungguh as-Syafi’i Rahimahullah telah mengisahkan detilnya kisah yang terjadi pada peperangan Shiffin antara Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu dan ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu. Dan dia tidak mencela Mu’awiyah, meskipun demikian.
Dengan jawaban ini, kami telah mendatangkan kepada Anda sekalian dengan kejelasan ucapan as-Syafi’i Rahimahullah dalam mengucapkan keridhaan terhadap Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu. Maka menjadi mustahil adanya persesuaian antara Anda dengan kami ahlussunnah, sama saja apakah kami ini bermadzhab Syafi’i, Hanbali, Maliki ataupun Hanafi. Yang benar, kesamaan-kesamaan itu ada antara Syi’ah dengan Yahudi danNasrani sebagaimana yang telah kami tetapkan sebelumnya. Berhati-hatilah Anda dari mempermainkan ucapan, lalu mengelompok-ngelompokkan ahlus sunnah dengan tujuan untuk memecah belah barisan kami ahlussunnah.
Terakhir, saya arahkan surat saya ini kepada orang yang telah mengaburkan perkara dengan membawa-bawa nama madzhab as-Syafi’i, lalu menaburkan keyakinan Rafidhah dari sela-selanya, ‘Kami nasihatkan kepada Anda untuk kembali dari penipuan ini, dan jangan lagi berbicara dengan mengatasnamakan imam atau madzhab as-Syafi’i Rahimahullah, sebagaimana kami nasihatkan kepada manusia agar berhati-hati, dan memahami tipu daya orang-orang seperti ini.*
Posted in: Syekh Mamduh


Syiah = Rafidhah, didirikan oleh orang Yahudi

Oleh: Syekh Mamduh Farhan Al Buhairi

Syubhat: Kami kaum Syi’ah adalah para Anshar Alu Muhammad (penolong keluarga Muhammad), bukan Rafidhah sebagaimana yang kalian sebutkan atas kami secara dusta. Mengapa kalian mengulang-ulang penamaan (Rafidhah) yang tidak memiliki sumber ini?! Yang benar adalah bahwa penamaan kami Syi’ah adalahSyi’atu Alil Bait (pendukung ahlul bait). Riwayat-riwayat ahlul bait telah mendustakan adanya penamaan Rafidhah, atau mendustaan pengkhususan istilah itu untuk kami!

Bantahan: Perhatikanlah wahai kaum muslimin, bagaimana mereka (orang-orang syiah) dalam pertanyaan yang lalu berhujjah bahwa as-Syafi’i adalah orang Syi’ah karena dalam bait Syi’irnya dia menyebutkan kalimat Rafidhi. Setelah mereka memasukkan as-Syafi’i Rahimahullah kepada Syi’ah dengan dusta dari kalimat Rafidhi yang beliau ucapkan, mereka sekarang datang menafikan istilah rafidhah tersebut dari mereka, dan bahwa mereka bukanlah Rafidhah. Demikianlah mereka orang-orang Syi’ah (Rafidhah) tidak mungkin hidup tanpa berbuat dusta atau menipu.
Sebelum saya membantah Anda atas syubhat dan pertanyaan Anda, saya akan menjelaskan kepada para pembaca perbedaan antara Syi’ah dan Rafidhah.
Saya katakan, Syi’ah itu lebih dulu dan lebih umum dari Rafidhah, sehingga masuk lah ke dalam istilah Syi’ah ini: Rafidhah, Zaidiyah, Isma’iliyyah, dan seluruh sekte Syi’ah. Adapun Rafidhah, maka mereka adalah Syi’ah Imamiah, atau Itsna’asyariyah, atau Ja’fariyah. Dan ketiga penamaan ini untuk perkara satu, yaitu agama yang sekarang disebarkan oleh orang syi’ah di Indonesia dan di beberapa negara lainnya. Bukanlah satu hal yang aneh agama itu menyebar, karena Nasraniah menyebar, dan Ahmadiah pun menyebar, juga sekte-sekte sesat yang lain menyebar. Maka setiap bibit setan akan menemukan pangsa pasarnya sebagaimana khomer memiliki orang yang menginginkannya, demikian juga perjudian, riba dan seterusnya.

Pada masa sekarang, jika disebutkan secara mutlak penamaan Rafidhah, maka yang dimaksud adalah Syi’ah Itsna ‘Asyariah, atau Imamiah, atau Ja’fariyah secara sepakat. Maka jadilah setiap orang Rafidhi adalah orang Syi’ah, dan tidak setiap orang Syi’ah adalah harus menjadi Rafidhiy. Maka Zaidiyah misalnya, dia itu syi’ah tapi bukan Rafidhah karena keberadaan mereka yang tidak mencaci maki para sahabat, akan tetapi mereka hanyalah lebih mengutakaman  ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu atas Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhum. Dan sekte Zaidiyah ini mengkafirkan Itsna ’asyariyah, demikian pula Itsna ’asyariyah mengkafirkan Zaidiyah. Demikianlah kondisi setiap sekte syi’ah, mereka saling mengkafirkan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Perlu diketahui bahwa sekte Zaidiyah bersama Ahlussunnah menggunakan istilah Rafidhah untuk menyebut Syi’ah Imamiyah (12 imam).
Adapun Syi’ah, maka mereka adalah sekumpulan manusia yang dulunya bersama dengan Ali Radhiallahu ‘Anhu. Dan perselisihan mereka bersama dengan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah masalah politik murni. Tidak ada pada seorang pun dari mereka penyimpangan aqidah dan fiqih. Tidak ada juga di tengah mereka orang yang menyentuh kehormatan Abu Bakar dan Umar atau kedudukan keduanya yang lebih utama dari seluruh manusia.
Sebagian jama’ah Ali Radhiallahu ‘Anhu berpandangan bahwa perselisihan jama’ah Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu bersama mereka adalah perselisihan politik. Yang dimaksud dari mereka adalah perselisihan atas hukum, sementara Mu’awiyah berdasarkan pendapat mereka, maka dia menjadi pembangkang. Akan tetapi mereka mengakui bahwa saat urusan itu kembali kepadanya, dan persengketaan telah hilang, jadilah dia sebagai seorang khalifah yang adil, pemilik pasukan dan futuhat (penaklukan-penaklukan) yang itu berada dalam lembaran-lembaran kebaikannya.
Maka tasyayyu’ dengan makna ini teleh dikenal dalam kitab-kitab ahlussunnah, dan tidak dianggap sebagai satu ketercelaan.
Perlu diketahui bahwa pensifatan Syi’ah adalah penyifatan ahlussunnah wal jama’ah bagi kelompok Ali Radhiallahu ‘Anhu. Demikian pula dulu mereka mengatakan kelompok Mu’awiyah sebagai Syi’ah Mu’awiyah. Adapun pensifatan yang benar bagi Syi’ah Itsna ’Asyariah, yang ditinggalkan oleh manusia hari ini adalahRafidhah.
Rafidhah yang dikenal pada hari ini dengan Syi’ah, telah menambahkan kepada bid’ah-bid’ah mereka dengan bid’ah-bid’ah kufur, seperti ucapan kema’shuman para imam, dan pengutamaan mereka atas para Nabi dan Rasul; penuduhan zina terhadap Ummul Mukminin ‘Aisyah s, pengkafiran dan pemfasikan para sahabat secara umum, pendapat raj’ah dan bada`. Keyakinan perubahan al-Qur`an, dan keyakinan-keyakinan kufur lain. Maka, telah terjadi Ijma’ akan kekafiran orang yang mengatakan dengan keyakinan-keyakinan mereka ini, bahkan sebagian ulama telah mengkafirkan orang yang tidak mau mengkafirkkan mereka ini.
Orang yang mendirikan sekte syi’ah Imamiyah adalah seorang Yahudi bernama ‘Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan nama ibnu Sauda`, karena ibunya adalah seorang budak wanita hitam, dan diapun adalah seorang yang berwana hitam. Dia adalah seorang Yahudi dari penduduk Shan’a` Yaman. Dia adalah orang yang ahli dalam menjelma (menyamar) menjadi orang-orang yang berbeda, serta membuat komplotan secara rahasia.
Dirinya dikelilingi oleh misteri dan rahasia hingga orang-orang yang sezamannya. Hampir-hampir nama dan negerinya tidak dikenal, karena dia tidaklah masuk ke dalam agama Islam kecuali untuk membuat tipu daya, membuat konspirasi, serta fitnah di antara barisan kaum muslimin. Para ahli sejarah telah sepakat bahwa dia adalah orang yang pertama kali menyerukan fanatik dan ghuluw dengan syi’ah, serta melaknat Abu Bakar dan Umar, serta ucapan raj’ah, bahkan ketuhanan Ali bin Abi Thalib.
Para tokoh besar Syi’ah, dan ahli sejarah mereka telah mengakui hal ini. Inilah dia al-Kasysyi, pemilik kitab terpenting dalam mengetahui para perawi menurut agama Syi’ah; dia berkata, dalam kitabnya ar-Rijal, ‘Sebagian ahlul ilmu telah menyebutkan bahwa ‘Abdullah bin Saba`, dulunya adalah orang Yahudi, kemudian dia masuk Islam, lalu loyal terhadap Ali [ع]. Dulu dia berkata, sementara dia masih Yahudi tentang Yusya` bin Nun bahwa Musa telah memberikan wasiat untuk ghuluw. Maka dia berkata dalam keIslamannya setelah wafat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang ‘Ali seperti itu juga. Dialah orang yang pertama kali menetapkan ucapan kewajiban imamah ‘Ali; menampakkan bara` dari musuh-musuhnya, para penentangnya serta dia mengkafirkan mereka. Dari sinilah orang-orang yang menyelisihi Syi’ah berkata bahwa Tasyayyu’ dan Rafdh diambil dari agama Yahudi.’ (Rijalul Kasysyi, hal. 101, cet. Muassasah al-A’lamiy, Karbala`, Iraq)
Al-Mamaqoni, Imam al-Jarh wat-Ta’dil menurut syi’ah menukil seperti ucapan al-Kasysyi. (Tanqihul Maqal, al-Mamaqoni (II/184), cet. Teheran)
Al-Qummi dalam kitabnya (al-Maqalat wal Firaq, hal. 10-21) mengakui keberadaan ‘Abdullah bin Saba`, dan dia menggolongkannya termasuk orang pertama yang menyatakan kewajiban keimamahan Ali, dan raj’ahnya. Serta menampakkan celaan atas Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, dan seluruh sahabat Radhiallahu ‘Anhu.
An-Nubakhtiy, salah satu ulama besar Syi’ah berkata dalam kitabnya Firaqus Syi’ah, ‘Abdullah bin Saba’, dulunya termasuk orang yang menampakkan celaan atas Abu Bakar, Umar, Utsman, dan para sahabat, dan dia berlepas diri dari mereka, seraya berkata, ‘Sesungguhnya ‘Ali [ع] telah memerintahkannya dengan yang demikian. Maka ‘Ali pun menangkapnya, kemudian menanyainya tentang ucapannya ini, maka dia mengakuinya, lalu ‘Ali memerintahkan untuk membunuhnya. Kemudian manusia pun berteriak kepadanya, ‘Wahai amirul mukminin, apakah Anda akan membunuh seorang laki-laki yang menyeru untuk mencintai Anda, ahlul bait, serta kepada kewaliyan Anda, dan berlepas diri dari musuh-musuh Anda?
Maka [Ali] mengasingkannya ke Madain [ibu kota Persia kala itu]. Sekelompok ahli ilmu dari sahabat ‘Ali [ع] mengisahkan bahwa sesungguhnya ‘Abdullah bin Saba` dulunya adalah seorang Yahudi kemudian masuk Islam, lalu loyal kepada ‘Ali [ع].
Dari sanalah orang-orang yang menyelisihi Syi’ah berkata bahwa asal dari Rafidhah diambil dari agama Yahudi. Dan tatkala sampai kepada ‘Abdullah bin Saba` berita kematian ‘Ali di Madain, dia berkata kepada orang yang menyampaikan berita kematiannya, ‘Engkau dusta, seandainya engkau mendatangkan kepada kami otaknya dalam tujuh puluh bokor, lalu kau kuatkan atas terbunuhnya Ali dengan persaksian tujuh puluh orang adil, maka pastilah kami tahu bahwa dia tidak mati, dan tidak terbunuh, dan dia tidak akan mati hingga menguasai dunia.’ (hal. 43, 44, cet. Matba’ah al-Haidariyah, Najaf, tahun 1379 H/1959 M)
Pemilik kitab Raudhatus Shafa (II/292, cet. Iran) menyebutkan dalam bahasa Persia, ‘Sesungguhnya ‘Abdullah bin Saba` menuju Mesir saat dia mengetahui bahwa penentangnya [Utsman bin ‘Affan] banyak terdapat di sana. Maka dia menampakkan dirinya dengan ilmu dan ketakwaan hingga manusia terfitnah (terperdaya, terkecoh) olehnya. Setelah kekokohannya di tengah-tengah mereka, maka mulailah dia menyebarkan doktrin dan prilakunya. Diantaranya adalah, bahwa setiap nabi memiliki wali dan pengganti, dan wali pengganti Rasulullah tidak lain kecuali ‘Ali yang berhias dengan ilmu, fatwa, kedermawanan, keberanian, dan disifati dengan amanah, dan ketakwaan. Dia berkata, ‘Sesungguhnya umat ini telah berbuat zhalim kepada ‘Ali, lalu merampas haknya, yaitu hak khilafah dan wilayah. Dan sekarang semuanya haru saling menolong dan membantunya, melepaskan ketaatan terhadap Utsman dan pembaiatannya. Lalu banyak dari orang-orang Mesir yang terpengaruh dengan ucapan dan pendapatnya, lalu mereka pun keluar untuk membunuh khalifah Utsman.”
Ini adalah pengakuan-pengakuan para ulama Syi’ah terdahulu, yaitu bahwa pendiri syi’ah adalah orang Yahudi, Abdullah bin Saba`. Sekarang kita datang kepada penolakan mereka akan penamaan Rafidhah atas mereka agar menjadi jelas bagi Anda bahwa mereka tidak mempunyai agama yang jelas, dan bahwa mereka itu ‘seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi’. Saya akan menetapkan bahwa para imam mereka telah memberkahi penamaan Rafidhah bagi mereka, dan hal itu telah disebutkan di dalam kitab-kitab Induk Syi’ah.
Ikutilah bersama saya dengan tenang dan penuh perhatian agar kita bisa sampai bersama-sama kepada satu hakikat yang hilang dari banyak orang yang mengikuti para pengikut Majusi tersebut. Syaikh mereka, al-Majlisi -salah seorang rujukan dalam ilmu hadits- telah meriwayatkan di dalam kitabnya, al-Bihar, empat hadits dari hadits-hadits mereka tentang pujian penamaan Rafidhah. Al-Majlisiy menyebutkannya dalam bab yang dia beri nama, ‘Bab Fadhlur Rafidhah wa Madh al-Tasmiyah Biha (Bab Keutamaan Rafidhah, dan pujian penamaan dengannya).’
Perhatikanlah, dia mengungkapkan bahwa sekedar memberi nama Rafidhah saja itu adalah sebuah pujian. Di antara contoh yang telah dia sebutkan dalam bab ini adalah:
عَنْ أَبِيْ بَصِيْرٍ قَالَ: قُلْتُ لِأَبِيْ جَعْفَرَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ -: جُعِلْتُ فِدَاكَ، اسْمٌ سُمِّيْنَا بِهِ اسْتَحَلَّتْ بِهِ الْوُلاَةُ دِمَاءَنَا وَأَمْوَالَنَا وَعَذَابَنَا، قاَلَ: وَمَا هُوَ؟ قُلْتُ: الرَّافِضَةُ، فَقَالَ جَعْفَرُ: إِنَّ سَبْعِيْنَ رَجُلاً مِنْ عَسْكَرِ مُوْسَى – عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ – فَلَمْ يَكُنْ فِيْ قَوْمِ مُوْسَى أَشَدَّ اِجْتِهَاداً وَأَشَدَّ حُبّاً لِهَارُوْنَ مِنْهُمْ، فَسَمَّاهُمْ قَوْمُ مُوْسَى الرَّافِضَةَ، فَأَوْحَى اللهُ إِلىَ مُوْسَى أَنْ أَثْبَتَ لَهُمْ هَذَا الْاِسْمَ فِيْ التَّوْرَاةِ فَإِنِّيْ نَحَلْتُهُمْ، وَذَلِكَ اِسْمٌ قَدْ نَحَلَكُمُوْهُ اللهُ
Dari Abu Bashir, dia berkata, ‘Kukatakan kepada Abu Ja’far ‘alaihissalam, Semoga aku dijadikan sebagai penebus Anda, satu nama yang kami diberi nama dengannya, dan dengannya para penguasa telah menghalalkan darah-darah kami, harta-harta kami, dan penyiksaan kami. Dia berkata, ‘Apa itu?’ Aku menjawab, ‘Rafidhah.’ Maka berkatalah Ja’far, ‘Sesungguhnya tujuh puluh orang laki-laki dari pasukan Musa ‘alaihissalam, tidak ada dalam kaum Musa yang paling keras ijtihadnya, dan paling besar kecintaannya kepada Harun dari mereka, lalu kaum Musa menyebut mereka  dengan nama Rafidhah. Maka Allah mewahyukan kepada Musa untuk menetapkan penamaan ini untuk mereka di dalam Taurat. Maka sesungguhnya aku mengakui mereka, dan itu adalah nama yang Allah telah mengakuinya untuk kalian.’
Al-Majlisiy meriwayatkan dari Ibnu Yazid, dari Shafwan, dari Zaid as-Syiham, dari Abul Jarud, dia berkata:
أَصَمَّ اللهُ أُذُنَيْهِ كَمَا أَعْمَى عَيْنَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ سَمِعَ أَبَا جَعْفَرَ (ع) وَرَجُلٌ يَقُوْلُ : إِنَّ فُلاَنًا سَمَّانَا بِاسْمٍ، قَالَ : وَمَا ذَاكَ الْاِسْمُ؟ قَالَ: سَمَّانَا الرَّافِضَةَ، فَقَالَ أَبُوْ جَعْفَرَ (ع) بِيَدِهِ إِلىَ صَدْرِهِ: وَأَنَا مِنَ الرَّافِضَةِ وَهُوَ مِنِّيْ قَالَهَا ثَلاَثًا
“Mudah-mudahan Allah menjadikan tuli kedua telinganya, sebagaimana dia menjadikan buta kedua matanya jika dia tidak mendengar Abu Ja’far [ع] dan seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya Fulan telah memberi nama kami dengan satu nama.’ Dia berkata, ‘Apakah nama itu?’ dia menjawab, ‘Dia memberi kami nama Rafidhah.’ Maka Abu Ja’far [ع] berkata dengan mengisyaratkan tangannya ke dadanya, ‘Dan aku adalah bagian dari Rafidhah, dan dia adalah bagian dariku.’ Dia mengucapkannya tiga kali. (Biharul Anwar (CXV/97))
Perhatikanlah sekarang, kami menukil dari kitab-kitab syi’ah yang mereka banggakan penamaan mereka dengan nama Rafidhah. Sementara Syi’ah pada hari ini menolak penamaan ini. Maka Syi’ah terdahulu tidak mengingkari penamaan ini secara mutlak. Al-Kulainiy (Ulama terbesar Syi’ah) telah meriwayatkan dalam kitabnya, al-Kafibahwa Allahlah yang telah memberi nama mereka Rafidhah (VIII/28).
Di tempat lain dia berkata, ‘Telah diriwayatkan bahwa sebagian Syi’ah telah berkata kepada Imam as-Shadiq ‘Alaihissalam:
إِنَّا قَدْ نُبِزْنَا نَبْزاً أَثْقَلَ ظُهُوْرَنَا، وَمَاتَتْ لَهُ أَفْئِدَتُنَا، وَاسْتَحَلَّتْ لَهُ الْوُلاَةُ دِمَاءَنَا فِيْ حَدِيْثٍ رَوَاهُ لَهُمْ فُقَهَاؤُهُمْ، فَقَالَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: الرَّافِضَةُ؟ قَالُوا: نَعَمْ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ مَا هُمْ سَمَّوْكُمْ.. وَلَكِنَّ اللهُ سَمَّاكُمْ بِهِ
“Sesungguhnya kami telah diberi satu julukan buruk yang telah memberatkan punggung-punggung kami, dan karenanya para penguasa menghalalkan darah-darah kami, dalam sebuah hadits yang para ulama ahli fiqih mereka meriwayatkannya untuk mereka. Maka berkatalah Abu ‘Abdillah ‘alaihissalam, ‘Rafidhah?’ Maka mereka menjawab, ‘Ya.’ Diapun berkata, ‘Tidak, demi Allah, tidaklah mereka yang menamai kalian, akan tetapi Allahlah yang telah menamai kalian dengannya.’ (al-Kafiy, V/34)
Adapun mengapa penamaan Rafidhah itu dimutlakkan atas Syi’ah Imamiah, maka berkatalah Ulama Syi’ah az-Zaidiy al-Imam Ahmad al-Murtadha (Syarhul Azhar (I/211)), maka dia berkata,
وَالرَّوَافِضُ قَوْمٌ مُعَيِّنِيْنَ مِمَّنْ يَنْتَحِلُ التَّشَيُّعَ وَهُمْ أَبُو الْخَطَّابِ وَأَصْحَابُهُ الَّذِيْنَ رَفَضُوا زَيْدَ بْنَ عَلِيٍّ لَمَّا قَالُوا لَهُ : مَا تَقُوْلُ فِي الرَّجُلَيْنِ الظَّالِمَيْنِ؟، قَالَ : مَنْ هُمَا؟ قَالُوا : أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، قَالَ : لاَ أَقُوْلُ فِيْهِمَا إِلاَّ خَيْراً ، فَقَالُوا :رَفَضْنَا صَاحِبَنَا فَسُمُّوا رَافِضَةً
“Dan Rawafidh adalah kaum tertentu dari orang-orang yang menganut tasyayyu’ (shi’isme), dan mereka adalah Abu al-Khaththab, dan para sahabatnya yang menolak Zaid bin ‘Ali saat mereka bertanya kepadanya, ‘Apa yang Anda katakan tentang dua orang zhalim?’ Dia menjawab, ‘Siapakah keduanya?’ Mereka berkata, ‘Abu Bakar dan Umar.’ Dia pun berkata, ‘Aku tidak mengatakan tentang keduanya kecuali kebaikan.’ Maka mereka berkata, ‘Kami menolak sahabat kami.’ Maka mereka pun diberi nama Rafidhah (kelompok yang menolak Zaid ibn Ali, atau yang menolak Khalifah Abu Bakar dan Umar).
Sekarang kami telah menetapakan dengan kekuatan dalil dari sumber rujukan mereka, bahwa Syi’ah pada hari ini adalah Rafidhah. Dan saya sama sekali tidak berdalil dengan sumber rujukan ahlussunnah atas hal itu. Sungguh aib, setelahnya Rafidhah mengaku bahwa mereka adalah pengikut ahlul bait Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kami memohonkan hidayah kepada Allah untuk mereka agar mereka memahami Islam. Dan saya mohon maaf akan terlalu panjangnya jawaban karena memang pentingnya masalah ini. (AR)*


Perspektif Lain dari Wahabi

Kamis, 26 Februari 2015, 04:00 WIB
Tanggapan Positif Terhadap Tulisan Ali Mustafa Yaqub " Titik Temu NU-Wahhabi"
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Septiawan Ardiansyah/Penuntut Ilmu, Majelis Nashirusunnah Depok, Jawa Barat
Menurut sejarah, walau sebagian masih ada yang menafikan kenyataan ini, istilah Wahabi dibuat fobia oleh sebagian kita. Lalu, nisbah sebenarnya siapa Wahabi yang mestinya patut dijadikan fobia itu?

Kelompok (firqah) yang menyimpang sebagaimana diklaim Mohammad Khoiron (Wahabi dan NU Sama?), mestinya lebih tepat kepada sekte Wahhabiyah yang sudah ada sejak abad ke-2 H di Afrika Utara, dipelopori Abdul Wahhab bin Rustum.

Nama Wahhabiyah adalah nisbah kepadanya—pecahan dari sekte Wahbiyah Ibadhiyah yang berpemahaman Khawarij—nisbah kepada pendiri awalnya, yaitu Abdullah bin Wahb ar-Rasibi (Lihat Al Farqu Bainal Firaq Al Baghdadi, hlm 80-81, lihat juga Al Khawarij, Tarikhuhum Wa Araauhum Al I’tiqadiyah Wa Mauqif Al Islam Minha, Dr Ghalib bin ‘Ali ‘Awaji, hlm 95).

Khawarij secara harfiah berarti "Mereka yang keluar". Istilah umum ini mencakup kelompok dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya. Dinamakan Khawarij karena keluarnya mereka dari Dinul Islam dan pemimpin kaum Muslim. Mereka memang mudah mengafirkan kaum Muslim yang tak sependapat dengan mereka.



Sementara itu, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dilahirkan pada 1115 H/1703 M di Jazirah Arab. Bila ditilik dari lahirnya saja sudah berbeda 10 abad. Namun, istilah Wahabi yang marak justru berkembang pada zaman Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mestinya, dapat saja disebut sebagai Muhammadiyah. Lalu, mengapa istilah itu tidak dipakai?

Bukankah nama aslinya adalah Muhammad dan Abdul Wahhab itu nama ayahnya? Kerancuan ini seolah agar dianggap sama saja Wahabi yang kedua dengan Wahabi yang pertama. Hal ini terkesan menjadi sentimen tersendiri jika tidak disebut antipati mendalam yang kurang bijak dalam menilai siapa Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya.

Di sinilah perspektif lain tentang Wahabi berkembang. Sepengetahuan penulis, Wahabi ke-2 yang difobiakan ini mengikuti Alquran dan Sunah dengan manhaj (cara beragama) salafuna shalih berpemahaman para sahabat. Yang dimaksud adalah tiga generasi Islam permulaan (generasi Rasulullah SAW dengan para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in) itulah yang kerap disebut as-Salafus Shalih. (HR-Bukhari, No 3650).

Para ulama tafsir menyimpulkan, mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat, dan paling mengetahui dalam memahami Islam. Mereka juga para pendahulu yang memiliki kesalehan tertinggi (as-salafu ash-shalih). Inilah yang dinamakan dakwah salafiyah.



Selain itu, dakwah ini adalah pelopor gerakan islah (reformasi) yang muncul menjelang masa kemunduran Islam. Dakwah salafiyah ini juga menyerukan agar akidah Islam dikembalikan pada asalnya yang murni dan menekankan pada pemurnian arti tauhid dari syirik, khurafat, dan bid’ah dengan segala manifestasinya. Maka, di antara prinsip dakwah salafiyah yang dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahab (1703 –1791 M).


Di antara yang disarikan dari buku Al Mausu’atul Muyassaroh Fil Adyaan Wal Madzahibil Muaashiroh, WAMY, hlm 227–232: senantiasa merujuk kepada Alquran dan Sunah yang sahih dalam masalah akidah; berpegang teguh pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah sesuai pemahaman para sahabat; menyerukan pada pemurnian tauhid; menetapkan tauhid asma dan sifat-sifat Allah tanpa tamsil (perumpamaan), takyif (pencocokan), dantakwil (interpretasi); menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.

Tak mengafirkan
Dakwah salafiyah sejatinya juga tidak mengafirkan seorang pun dari kaum Muslim, kecuali bila orang itu melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Karena, ada sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa yang berkata kepada saudaranya (Muslim), 'Wahai kafir', maka pengafiran ini akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika dia benar dalam pengafirannya (maka tidak mengapa), tapi jika tidak, ucapan itu akan kembali kepadanya." [HR al-Bukhari).

Jadi, perkataan Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Najdi (kakak kandung Muh bin Abd Wahab) dalam kitab al- Shawaiq al-Ilahiyah fi al-Raddi ‘ala al- Wahabiyah poin ke-4 yang Mohammad Khoiron kutip bahwa "Muhammad bin Abdul Wahab mengafirkan lawan polemik dan umat Islam yang tidak sejalan dengannya" perlu dikaji ulang. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya yang lain, Mushlih Mazhlum, hlm 48-50 menyebut bahwa kakaknya menurut beliau telah rujuk dan bertobat akan perkataannya itu. Hal ini telah dikatakan juga oleh Ibn Ghonnam, Ibn Bisyr, dan Dr Muh bin Saad as-Syuwair dalam makalahnya "Sulaiman bin Abdul Wahhab Syaikh Muftaro ‘Alaihi" yang dimuat di majalah Buhuts Islamiyyahedisi 60/Tahun 1421 H.

Dan, tuduhan lain bahwa "ilmu fikih dianggap setan berupa manusia karena bisa berbuat syirik" itu di kitab mana? Di kitabnya, Majmu’ah Muallafat Syaikh: 5/11, 12, dibantah tuduhan itu sebagaimana dalam suratnya kepada penduduk Qashim, beliau memberikan isyarat terhadap tuduhan musuh bebuyutannya (Ibnu Suhaim) dan berlepas diri dari tuduhan itu.

"Allah mengetahui orang tersebut telah menuduhku yang bukan-bukan, bahkan tidak pernah terbetik dalam benakku, di antaranya dia mengatakan bahwasanya aku mengatakan, ‘Manusia sejak 600 tahun silam tidak dalam keislaman, aku mengafirkan orang yang bertawasul kepada orang-orang saleh, aku mengafirkan al-Bushiri, aku mengafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah'. Jawabanku terhadap tuduhan ini, ‘Mahasuci Engkau ya Rabb kami, sesungguhnya ini kedustaan yang amat besar."

Idealnya sebagai Muslim terus haus mempelajari agama ini dari sumber asli, Alquran dan as-Sunah menurut pemahaman para sahabat. Dan, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab ini ialah mujadid pelopor dakwah Suni yang lurus dan murni.

Sebagai kesimpulan, dakwah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum termasuk dalam firqah Khawarij, mudah mengafirkan pelaku maksiat (dosa besar), membangkang dan memberontak terhadap pemerintah Islam, dan keluar dari jamaah kaum Muslim. Termasuk kategori ini adalah Khawarij generasi awal (Muhakkimah Haruriyah) dan sempalannya, seperti al-Azariqah, ash-Shafariyyah, dan an-Najdat—ketiganya sudah lenyap—dan al-Ibadhiyah—masih ada hingga kini.

Maka, bisa saja Khawarij muncul di sepanjang masa, bahkan betul-betul akan muncul pada akhir zaman, seperti kelompok sesat nan keji, ISIS, yang marak diberitakan saat ini. (HR al-Bukhari No 6930, Muslim No 1066).



Syekh Muhammad Abdul Wahhab (Ahlus Sunnah wal Jamaah) berkata dalam salah satu kitabnya, "Segala puji dan karunia dari Allah serta kekuatan hanyalah bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Alhamdulillah aku bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran sufi, ajaran imam tertentu yang aku agungkan atau ajaran orang filsafat. Tetapi, aku mengajak hanya kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada Sunah Rasul-Nya yang telah diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap tidak menolak kebenaran jika datang kepadaku."


Adapun tuduhan buruk kepada dakwah Syekh Muhammad Abdul Wahhab berasal dari (sebagian) tokoh agama yang tidak suka dakwah salafiyah yang tegas ini. Mereka memutarbalikkan kebenaran. Yang hak dikatakan bathil, begitu pula sebaliknya.

Mereka masih yakin jika mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan, bertawasul doa meminta bantuan kepada mayit, dan semisalnya masih bagian dari ajaran Islam. Dan barang siapa yang mengingkarinya, akan dianggap membenci orang-orang saleh dan para wali. Hal ini yang keliru. Bisa karena kejahilan, bisa juga karena taklid buta akan ajaran nenek moyang dan qila wa qala (katanya-katanya) yang tak mendasar.

Mereka tak siap menerima tegasnya hadis larangan berbagai macam bid’ah dengan masih mempertahankan akar tradisi budaya yang tak mau dihilangkan walau itu menyelisihi sunah. Atau karena beda pemahaman akan bid’ah dan cara beragamanya.

Maka itulah, barang siapa ingin mengetahui secara utuh pemikiran dan ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, ada baiknya lebih objektif lagi membaca kitabnya, seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah. Janganlah kita gegabah menuduh atau mengklaim sesuatu yang bisa jadi belum benar keabsahannya. Karena, bisa jadi kita terjebak, sadar atau tidak sadar, pada dosa fitnah. Wallahu ta’ala a’lam.

http://republikaco.xzlyv.mobi/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/02/25/nkc4re-perspektif-lain-dari-wahabi


Sekilas keduanya nampak sama. Namun, latar belakang lahirnya kedua istilah itu sungguh bertolak belakang 180 derajat. Istilah salafi lahir sebagai identifikasi sebuah gerakan pemurnian Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Kata salaf sendiri berarti “yang terdahulu”. Dalam hal ini pengertian salaf (yang terdahulu) adalah generasi Sahabat Nabi, Tabiin, dan Tabiut Tabiin. Pengertian itu merujuk kepada sebuah hadis Nabi SAW yang berbunyi, “Sebaik – baik generasi adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian sesudahnya lagi, kemudian sesudahnya lagi”. Jadi, salafiyah adalah ajaran Islam yang merujuk kepada Al-Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih (tiga generasi awal). Orang – orang yang mengikuti ajaran salafiyah disebut dengan salafi.


Apa beda Salafiyah dengan Ahlus Sunnah?
Secara umum umat Islam awam mengartikan Ahlus Sunnah sebagai :
1. Golongan mayoritas
2. Golongan yang selamat, dalam artian bukan salah satu dari 72 golongan yang terancam api neraka sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis terkenal tentang perpecahan umat.
3. Lawan dari Syiah. Dewasa ini media kerap mengartikan Ahlus Sunnah (pengikutnya disebut Sunni) sebagai semua lawan dari kaum syiah. Padahal, kalau kita cermati pihak – pihak yang berlawanan dengan Syiah sangat banyak dengan aqidah yang berbeda – beda pula.
4. Paham yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hasan al Asy’ary(Asy’ariah) dan Abu Mansur al Maturidi (Maturidiah). Definisi keempat ini banyak tertulis di pelbagai buku Pendidikan Agama Islam SMA dan Perguruan Tinggi. Salah satu buku terkenal yang menyatakan demikian adalah “Teologi Islam”  karya Dr. Harun Nasution.
Dari beberapa definisi di atas, hanya poin nomor 3 yang benar. Adapun poin 4 yang banyak diamini oleh kalangan akademisi jelas salah 100%. Paham Asy’ariah yang oleh masyarakat luas dikenal sebagai Ahlus Sunnah, justru berasal dari pemikiran Imam Abu Hasan al Asy’ari ketika beliau mengalami pergolakan batin dalam mencari kebenaran. Akhirnya Imam Abu Hasan al Asy’ari bertobat  dan kembali kepada ajaran Islam sebagaimana dipahami generasi salafus shalih.  ajaran paham Asy’ariah yang terkenal adalah :
1.  membatasi sifat Allah dengan 20 sifat wajib sebagaimana kita kenal seperti wujud, qidam. baqa’, mukhalafatu lil khawaditsi, dst. Penetapan yang demikian tidak pernah dilakukan oleh kalangan Sahabat Nabi yang paling memahami ajaran Islam.
2. mentakwilkan beberapa sifat Allah, seperti “tangan ” Allah ditakwilkan menjadi kekuasaan Allah, “wajah” Allah ditakwilkan sebagai Ilmu Allah, dan sebagainya. Pentakwilkan semacam ini tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat Nabi yang telah ditetapkan Rasulullah sebagai generasi terbaik. Para Sahabat Nabi mengimani semua sifat – sifat Allah tanpa mentakwilkan, meniadakan, menanyakan bagaimana, serta menyerupakan dengan makhluk. Dengan kata lain mereka meyakini, benar bahwa Allah memiliki tangan, wajah sebagaimana telah dinyatakan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, namun tangan Allah, wajah Allah tidak sama dengan makhluk. Mahasuci Allah dari hal yang demikian.
Terminologi Ahlus Sunnah baru populer setelah abad III Hijriah, untuk membedakannya dengan berbagai sekte menyimpang semisal Khawarij, Syiah, Muktazilah, Jabariyah, dan Qadariyah. Dengan kata lain terminologi
Ahlus Sunnah digunakan sebagai penegasan tentang ajaran Islam murni sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para Sahabat.
Seiring perjalanan waktu kian banyak berbagi pergerakan Islam, partai, organisasi yang mengklaim berazaskan Ahlus Sunnah. Namun faktanya, tak sedikit dari berbagai kelompok tersebut yang dalam aqidahnya, metodologinya, atau tujuan dakwahnya melenceng dari ajaran Ahlus Sunnah yang sesungguhnya. Sebuah ormas besar yang mengklaim sebagai penggerak dakwah Ahlus Sunnah, nyatanya ormas tersebut lebih banyak melestarikan berbagai ajaran syirik, bid’ah, dan pengkultusan terhadap kyai yang amat bertentangan dengan ajaran Ahlus Sunnah itu sendiri. Oleh karena itu, untuk membedakan Ahlus Sunnah yang sungguhan dengan Ahlus Sunnah yang hanya sebatas lebel digunakanlah istilah Salafiyah. Jadi, salafiyah hakekatnya merupakan sebutan lain dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah untuk membedakannya dari Ahlul Bid’ah Wal Jamaah.
Apa beda Salafi dengan Wahabi?
Istilah Wahabi dinisbatkan kepada Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab at Tamimi, seorang ulama besar dari Hijaz yang berjuang menegakkan tauhid memberantas kesyrikan di semenanjung Arabia. Dilihat dari penyebutannya saja istilah ini sudah rancu, lantaran kata wahabiyah justru mengacu pada ayah Syaikh Muhamad at Tamimi sebagai penggerak dakwah yang bernama Abdul Wahab. Jika mau fair, harusnya dakwah beliau disebut Muhamadiyah sesuai dengan nama tokohnya. Akan tetapi jika nama itu yang digunakan, maka tujuan pemunculan istilah tersebut sebagai alat penggiring opini negatif terhadap dakwah beliau takkan pernah terwujud.
Dapat dipastikan istilah wahabiyah sengaja dimunculkan oleh pihak – pihak yang tak menyenangi dakwah beliau baik dari kalangan kafir maupun dari kalangan kaum muslimin itu sendiri. Tak cukup dengan sekedar penciptaan opini, musuh – musuh dakwah tauhid bahkan menciptakan sejarah palsu tentang dakwah beliau . Wahabi selalu diidentikkan dengan kekerasan, kebrutalan, dan jejak berdarah. Saat ini pun, ketika terjadi teror yang mengguncang tanah air sebagian orang langsung menuduh wahabi sebagai biang keroknya. Apalagi bila pelakunya memiliki identitas jenggot, jidat hitam, celana ngatung, dan istrinya bercadar. Tuduhan itu sungguh tak berdasar.Pasalnya, dalam berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama yang dicap wahabi, justru menyerukan kepada kaum muslimin untuk mentaati pemerintahnya. Tak main – main. Taat terhadap penguasa merupakan salah satu pilar aqidah. Bahkan, Saudi Arabia yang dicap sebagai tempat tumbuh berkembangnya wahabiyah justru sering menjadi sasaran teror Al Qaida.
Sebetulnya penyebutan istilah wahabi dengan konotasi negatif bukan barang baru di tanah air. Dulu, di masa pemerintahan Hindia Belanda, istilah tersebut juga dimunculkan untuk memberi stigma negatif  para da’i yang menolak taklid terhadap mazhab dan menolak pelestarian adat istiadat yang berbau kesyirikan. Para da’i yang acapkali diberi stigma wahabi kala itu adalah mereka yang tergabung dalam organisasi Muhammadiyah, Persis, dan Al Irsyad.
Jadi, apa beda salafi dengan wahabi?  Perbedaannya adalah pada asal muasal pemunculan istilah tersebut. Istilah Salafi dimunculkan sebagai identitas atas sebuah dakwah tauhid yang menyeru kepada umat untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih. Sedangkan, istilah wahabi dimunculkan oleh musuh – musuh dakwah tauhid baik dari golongan kafir maupun kaum muslimin sendiri yang kian resah lantaran dakwah ini semakin berkembang dari hari ke hari. Siapakah golongan umat Islam yang tak menghendaki dakwah tauhid ini berkembang pesat menyinari hati para insan?

Kaum liberalis yang memang selalu mengeluarkan fatwa – fatwa super nyeleneh seperti bolehnya seorang muslimah menikahi pria di luar Islam, bolehnya menghadiri perayaan Natal (ingat 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus, melainkan kelahiran Dewa Matahari dalam mitologi romawi. Saking kentalnya pengaruh kultur Romsawi dalam ajaran Kristen, sampai – sampai hari sabat yang harusnya jatuh hari sabtu diganti dengan hari minggu yang merupakan hari kelahiran Dewa Matahari. Sun=matahari, day=hari, Sunday=hari matahari), dsb
Kalangan penyembah kubur, pengkultus kyai, dan semacamnya. Bila dakwah tauhid berkembang, para kyai(Tidak semua kyai, namun memang ada kyai jenis ini) akan kehilangan kedudukannya, penghasilannya, dan  kewibawaannya. Mengapa? Kyai (ada yang merangkap dukun) tak lagi mendapat amplop dari orang – orang yang meminta doanya dalam berbagai acara bid’ah, dan orang – orang yang meminta jimat darinya dengan bayaran mahal. Praktek para kyai ini tak ubahnya seperti kelakuan para pendeta yang menjual surat pengampunan dosa sebelum terjadinya Reformasi Protestan.
Demikianlah sedikit tentang perbedaan latar belakang lahirnya terminologi salafi dan wahabi, yang banyak orang keliru dalam menyikapinya
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Muhammad Karyono, 01 January 2012, dalam
http://sejarah.kompasiana.com/2012/01/01/beda-salafi-dengan-wahabi/)






Kronologi Agama Syiah dari Tahun 14 H sampai Tahun 1410 H

Berikut ini ringkasan sejarah agama Syiah Rafidhah, kanker umat dan penyakitnya yang ganas. Dengan izin Allah, kami menjelaskan peristiwa-peristiwa paling penting yang memiliki kaitan langsung dengan sejarah Syiah Rafidhah dalam memerangi kaum muslimin. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin secara umum.
Dengan nama Allah, saya memulai:
14 H: Tahun ini merupakan asal muasal cekikan kelompok Rafidhah terhadap Islam dan kaum muslimin. Hal itu dikarenakan pada tahun ini terjadi perang Qadisiyah, di mana kaum muslimin meraih kemenangan telak atas nenek moyang kelompok Rafidhah, yaitu bangsa Persia Majusi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khathab RA.
16 H: Ibukota imperium Persia, Madain, jatuh ke tangan kaum muslimin. Peristiwa ini meninggalkan kekecewaan, kemarahan, dan kebencian yang mendalam dalam hati kelompok Rafidhah.


23 H: Abu Lu’luah al-Majusi membunuh khalifah Umar bin Khatab RA. Kelompok Rafidhah memberi Abu Lu’luah gelar Baba Alauddin, sebagai symbol dan tokoh penting mereka dalam memerangi Islam.

34 H:  Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi dari Shan’a yang bergelar Ibnu Sauda’ muncul dan menampakkan dirinya masuk Islam secara lahir meski dalam hatinya memendam kekafiran. Ia mulai menggerakkan kelompok-kelompok untuk melawan khalifah Utsman bin Affan. Provokasinya berhasil dan orang-orang yang menjadi pengikutnya membunuh khalifah Ustman bin Affan pada tahun 35 H.
Aqidah Abdullah bin Saba’ memiliki akar pada ajaran Yahudi, Nasrani, dan Majusi yaitu penuhanan Ali bin Abi Thalib, pewasiatan kepemimpinan baginya, raj’ah (Ali akan hidup kembali di akhir zaman untuk menghukum lawan-lawan politiknya), wilayah, imam, bada’, dan lain-lain.

36 H: Satu malam sebelum terjadinya perang Jamal, kedua belah pihak sahabat berdamai dan bermalam dengan tenang. Adapun Abdullah bin Saba’ dan para pengikutnya tidak tinggal diam. Mereka melakukan kekacauan di kedua belah barisan sehingga mereka berhasil menyebabkan kesalah pahaman dan peperangan di antara kedua belah pihak. Pada masa kekhalifah Ali bin Abi Thalib, para pengikut Abdullah bin Saba’ (Saba’iyah) mendatangi Ali dan menyatakan secara terus terang bahwa Ali adalah Tuhan yang menciptakan dan memberi rizki mereka. Ali meminta mereka untuk bertaubat namun mereka tidak mau bertaubat, maka Ali menghukum mati mereka dengan hukuman bakar.
41 H: Tahun yang paling dibenci oleh kelompok Rafidhah, di mana kaum muslimin bersepakat untuk mengakui satu khalifah yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan RA. Hasan bin Ali mengundurkan dirinya dari jabatan khalifah dan tahun tersebut dikenal dengan nama tahun jama’ah. Makar Rafidhah untuk memecah belah kaum muslimin gagal.
61 H: Husain bin Ali RA terbunuh pada tanggal 10 Muharam setelah para pengikutnya mengkhianatinya dan membiarkannya sendirian menghadapi pasukan daulah Umawiyah.
260 H: wafatnya Hasan Al-Askari yang dianggap sebagai imam ke-11 kelompok Rafidhah. Maka muncul kelompo Rafidhah Itsna Asyariyah yang meyakini imam mereka adalah imam yang ditunggu-tunggu karena masih bersembunyi di sebuah gua di Samira, yaitu Muhammad bin Hasan al-Askari. Padahal Hasan al-Askari meninggal tanpa memiliki anak. Rafidhah Itsna Asyariyah meyakini imam Muhammad bin Hasan al-Askari adalah imam Mahdi yang akan keluar untuk menegakkan kerajaan Rafidhah dan menghukum lawan-lawan politiknya.
277 H: Di kota Kufah muncul kelompok Qaramithah Rafidhah, dipimpin oleh Hamdan bin Asy’ats yang bergelar Qarmith.
278 H: Di Ahsa’ dan Bahrain muncul kelompok Qaramithah Rafidhah di bawah pimpinan Abu Sa’id al-Janabi ar-Rafidhi.
280 H: berdiri kerajaan Syiah Zaidiyah Rafidhah di Sha’dah dan Shan’a, Yaman, dengan pemimpinnya Husain bin Qasim ar-Rasi.
297 H: Berdiri kerajaan Ubaidiyah Rafidhah di Mesir dan Magrib (Maroko dan Afrika Utara), di bawah pimpinan Ubaidullah bin Muhammad al-Mahdi. Mereka menipu kaum muslimin dengan mengklaim sebagai keturunan ahlul bait dan mereka menamakan kerajaan mereka kerajaan Fathimiyah.
317 H: Pemimpin Qaramithah Rafidhah di Ahsa dan Bahrain, Abu Thahir ar-Rafidhi bersama kelompoknya berhasil menguasai kota Makkah pada hari Tarwiyah, 8 Dzulhijah. Mereka membantai jama’ah haji di masjidil haram, membuang mayat-mayat mereka ke sumur zam-sam, dan mencongkel Hajar Aswad kemudian mereka bawa ke Ahsa’. Hajar Aswad tetap mereka kuasai di Ahsa’ sampai tahun 335 H. Adapun kekuasaan mereka di Ahsa’ bertahan sampai tahun 466 H.
Pada tahun 317 H berdiri pula kerajaan Hamdaniyah Rafidhah di Maushil (Irak) dan Halb (Suriah). Kerajaan ini tumbang pada tahun 394 H.
329 H: Tahun ini oleh kelompok Rafidhah disebut tahun Ghaibah Kubra (persembunyian skala besar), di mana mereka mengklaim telah sampai kepada mereka sebuah surat dengan tanda tangan imam Mahdi yang mereka tunggu-tunggu. Menurut klaim mereka, dalam surat tersebut imam Mahdi menulis: “Telah terjadi ghaibah (persembunyian) secara sempurna maka tidak akan muncul kecuali setelah mendapat izin Allah. Maka barangsiapa mengklaim melihat aku niscaya ia adalah seorang pendusta yang mengada-ada.” Surat palsu tersebut mereka buat karena para ‘dukun’mereka kewalahan menghadapi pertanyaan pengikut awam mereka tentang kapan waktu kemunculan imam Mahdi yang mereka tunggu-tunggu.
334 H: berdiri kerajaan Buwaihiyah Rafidhah di Dailam dengan pemimpinnya Abu Syuja’ ad-Dailami. Mereka melakukan perusakan di Baghdad dan pada masa mereka caci makian terhadap generasi sahabat beredar luas.
339 H: Hajar Aswad dikembalikan oleh pemimpin Qaramithah Rafidhah di Ahsa’ ke Makkah atas perantaraan raja Ubaidiyah Rafidhah Mesir.
352 H: Penguasa kerajaan Buawihiyah yang mendominasi kerajaan Abbasiyah memerintahkan rakyat untuk menutup pasar-pasar pada hari Asyura, melarang jual beli, menyalakan lilin, para wanita keluar rumah dengan rambut terurai dan menampar pipi di pasar-pasar. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, di Baghdad dilaksanakan peringatan ratapan atas terbunuhnya Husain bin Ali.
358 H: Kelompok Ubaidiyah Rafidhah menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan Ubaidiyah. Rajanya yang paling menonjol adalah Al-Hakim bi-Amrillah yang mengklaim dirinya sebagai Tuhan dan mempropagandakan ajaran reinkernasi. Dengan runtuhnya kerajaan Ubaidiyah ini pada tahun 568 H, berdirilah kelompok Druz Bathiniyah.
402 H:  Para ulama, pejabat, dan tokoh masyarakat di Baghdad berkumpul dan sepakat mengeluarkan fatwa tentang kepalsuan nasab penguasa Ubaidiyah Rafidhah Mesir, kecacatan akidah mereka, mereka adalah orang-orang zindiq dan kafir. Fatwa tersebut ditanda tangani oleh ulama, pejabat, dan tokoh masyarakat dari kalangan ahlus sunnah dan Syiah sendiri.
408 H: Penguasa Ubaidiyah Rafidhah Mesir, Al-Hakim bi-Amrillah mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Ia dua kali berencana membongkar makam Nabi shalallahu alaihi wasallam dan memindahkan jenazah beliau ke Mesir. Rencana pertama ditentang masyarakat Mesir. Rencana kedua, ia mengirim orang-orangnya dengan menyewa rumah di dekat masjid nabawi. Mereka mulai menggali terowongan ke arah makam Nabi shalallahu alaihi wasallam, namun usaha mereka terbongkar dan penduduk Madinah membunuh mereka.
483 H: Berdiri kelompok Hasyasyiyin yang mempropagandakan kekuasaan politik kerajaan Ubaidiyah Rafidhah Mesir. Pemimpinnya adalah Hasan ash-Shabah, yang memulai gerakannya dari propinsi Faris tahun 473 H.
500 H: Penguasa Ubaidiyah Rafidhah membangun bangunan makam di Mesir yang mereka namakan Tajul Husain (mahkota Husain). Mereka mengklaim di dalamnya ada kepala Husain bin Ali. Mereka berziarah ke bangunan makam tersebut sampai hari ini.
656 H: Pengkhianatan terbesar kelompom Rafidhah melalui pemimpinnya, Nashiruddin ath-Thusi dan Ibnu Alqami, yang bersekongkol dengan pasukan Mongol sehingga pasukan Mongol dipimpin Hulakho Khan berhasil meruntuhkan kerajaan Abbasiyah dan menghancur leburkan ibukota Baghdad. Pasukan Mongol membantai dua juta muslim, termasuk kalangan ahlul bait yang kelompok Rafidhah mengklaim secara dusta sebagai pecinta dan pembela mereka. Pada tahun ini pula muncul kelompok Nushairiyah Rafidhah di bawah pimpinan Muhammad bin Nuhsair ar-Rafidhi.
907 H: Berdiri kerajaan Shafawiyah Rafidhah di Iran di bawah pimpinan Shah Ismail bin Haidar ash-Shafawi ar-Rafidhi. Ia membantai satu juta lebih muslim ahlus sunnah di Iran karena mereka tidak mau dipaksa memeluk agama Rafidhah. Ketika ia mendatangi Baghdad, ia mencaci maki secara terang-terangan khulafa’ rasyidin, membantai warga mulsim yang tidak mau memeluk agama Rafidhah, dan membongkar banyak makam ahlus sunnah, di antaranya makam imam Abu Hanifah.
Di antara peristiwa yang menonjol dalam sejarah kerajaan Shafawiyah Rafidhah adalah pemimpinnya, Shah Abbas al-Kabir as-Shafawi memulai program haji ke Mashad Iran sebagai ganti dari berhaji ke Makkah. Pada masa Shafawiyah, muncul Shadruddin ash-Shairazi ar-Rafidhi yang membentuk agama Bahaiyah. Pengikutnya, Mirza Ali Muhammad ash-Shairazi ar-Rafidhi mengklaim bahwa Allah telah bersatu dengan jasadnya (manunggaling kawula lan gusti). Ia digantikan oleh muridnya, Bahaullah.
Jejaknya ditiru oleh Mirza Ghulam Ahmad di India, seorang boneka Inggris yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru, menerima kitab suci baru, dan mendirikan agama Qadiyaniyah. Kerajaan Shafawiyah runtuh pada tahun 1149 H.
1218 H: Seorang Rafidhah yang keji datang dari Irak ke Dir’iyah (pusat pemerintahan kerajaan Arab Saudi waktu itu) dan menampakkan dirinya sebagai ahli ibadah yang hidup zuhud. Seperti halnya Abu Lu’luah al-Majusi yang pura-pura ikut shalat untuk membunuh khalifah Umar bin Khatab, orang Rafidhah Irak ini juga pura-pura ikut shalat Ashar di masjid Tharif di kota Dir’iyah. Saat raja Abdul Aziz bin Muhammad bin Sa’ud yang mengimami shalat sedang sujud, orang Rafidhah ini mencabut belati yang telah disembunyikan di balik bajunya dan menusukkannya kepada raja Abdul Aziz. Raja Abdul Aziz meninggal akibat peristiwa itu. Orang Rafidhah ini membunuh raja Abdul Aziz karena ia dan pasukannya meratakan bangunan makam Husain bin Ali di Karbala ketika menundukkan wilayah tersebut.
1289 H: Iran mencetak dan menerbitkan buku ‘Fashlul Khithab fi Itsbat tahrif Kitab Rabb al-Arbab karya ulama Rafidhah dari Nejef, Irak bernama haji Mirza Husain bin Muhammad Nuri ath-Thibrisi. Dalam buku tersebut, ia mengumpulkan seluruh pernyataan ulama Rafidhah yang menyatakan Al-Qur’an yang berada di tangan kaum muslimin adalah Al-Qur’an yang telah ditambah dan dikurangi, dan Rafidhah memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Mushaf Fatimah, yang menurut pernyataan mereka tidak satu huruf pun dalam Al-Qur’an yang sama dengan isi mushaf Fatimah. Isi (jumlah surat dan ayat) mushaf Fatimah menurut keyakinan mereka tiga kali lipat dari isi Al-Qur’an.
1366 H: Terbit koran Rafidhah bernama Barjamul Islam, yang menyatakan Karbala’ lebih mulia daripada Makkah. Shalat dan thawaf mengelilingi makam Husain di Karbala’ menurut mereka lebih mulia daripada shalat di masjidil Haram dan thawaf mengelilingi Ka’bah di Makkah.
1389 H: Pemimpin agama tertinggi Rafidhah Iran, Ayatollah Khameini menerbitkan bukunya Wilayatul Faqih al-Hukumah al-Islamiyah. Di antara kekafirannya dalam bukunya tersebut terdapat pada hal. 35, Khameini menulis: “Sesungguhnya di antara perkara yang pasti dalam madzhab kami adalah keyakinan bahwa para imam kami memiliki kedudukan yang tidak mampu digapai oleh seorang malaikat yang dekat dengan Allah maupun seorang nabi yang diutus oleh Allah.”
1399 H: Berdiri Republik Rafidhah Iran dengan pemimpin pertamanya Khameini setelah menggulingkan pemerintahan Shah Pahlevi. Di antara ciri khasnya adalah melakukan demonstrasi dan perusakan di kota suci Makkah pada musim haji setiap tahun dengan mengatas namakan revolusi Islam.
1400 H: Pada tanggal 15 Sya’ban Khameini menyampaikan khutbah dalam peringatan yang disebut ‘maulid imam al-mahdi’. Di antara isi khutbahnya saat itu adalah perkataannya, “Seluruh nabi datang untuk membina pondasi-pondasi keadilan di dunia namun mereka tidak berhasil. Bahkan Nabi shalallahu alaihi wasallam penutup para nabi yang datang untuk memperbaiki kondisi manusia dan merealisasikan keadilan, juga tidak berhasil melakukan hal itu pada masa hidupnya…sosok yang akan sukses dalam tugas itu dan membina pondasi-pondasi keadilan di seluruh penjur dunia serta meluruskan penyimpangan-penyimpangan adalah imam al-Mahdi al-muntazhar.”
1407 H: Orang-orang Rafidhah yang berafiliasi ke negara Rafidhah Iran melakukan kekacauan dan perusakan di kota Makkah pada musim haji. Ribuan orang Rafidhah menyamar sebagai jama’ah haji Iran, melakukan demonstrasi pada hari Jum’at, melakukan penyerbuan, pembunuhan, dan perusakan di kota suci Makkah. Dalam peristiwa itu, mereka membunuh 402 orang, sebanyak 85 orang korban adalah polisi dan warga Saudi. Sisanya adalah jama’ah haji dari berbagai negara. Mereka juga menyerbu, menghancurkan, dan membakar toko-toko dan kendaraan-kendaraan beserta orang di dalamnya di Makkah. Tindakan biadab tersebut mencontoh jejak nenek moyang mereka, Qaramithah Rafidhah.
1408 H: Konferensi Islam III yang diadakan oleh Rabithah Alam Islami di Makkah mengeluarkan fatwa kafirnya Ayatollah Khameini.
1409 H: Orang-orang Rafidhah menyamar sebagai jama’ah haji memasukkan bahan peledak secara sembunyi-sembunyi ke wilayah Makkah. Pda sore tanggal 7 Dzulhijah, mereka meledakkan bom di sekitar masjidil Haram. Seorang jama’ah haji dari Pakistan meninggal akibat ledakan tersebut, sedangkan 16 jama’ah haji lainnya mengalami luka-luka parah. Investigasi aparat keamanan Saudi pada tahun 1410 H membuahkan hasil penangkapan, pengadilan, dan pelaksanaan hukuman mati terhadap 16 orang Rafidhah yang terlibat dalam peledakan tersebut.
1410 H: Pemimpin tertinggi Rafidhah Iran, Ayatollah Khameini meninggal. Rafidhah Iran telah membangun di atas makamnya bangunan dan ‘Ka’bah’ yang menyerupai Ka’bah di Makkah. Mereka berthawaf di sekeliling Ka’bah Khameini tersebut.
Oleh: Abu Daud al-Filasthini.


Jangan Mudah Menuduh Orang Sebagai Wahabi

Ketika saya dihubungi agar mengulas tentang satu gerakan yang suka menuduh orang lain Wahabi, pada awalnya saya malas untuk ikut campur. Di saat negara sedang bergelut dengan berbagai krisis, ada juga kelompok yang sibuk menjuluki Wahabi orang lain. Terlebih lagi, saya sudah lama tidak berfikir tentang isu tersebut karena sibuk dengan isu-isu yang lebih bersifat nasional dan dunia.

Sesungguhnya, di negara kita kini (Malaysia,
 red) sedang muncul satu golongan yang menyembunyikan identitasnya. Mereka ini jika di negara Arab disebut sebagai Ahbash.

Kelompok ini berpusat di Lebanon dan mempengaruhi sebagian pelajar kita di sana, juga yang di tempat lain. Istilah
ahbash dinisbatkan kepada pendiri gerakan itu, seseorang keturunan Habasyah (Ethiopia) Afrika. Guru mereka ialah Abdullah Al-Harari. Seorang yang terkenal suka mengafirkan orang lain yang tidak sependapat dengannya. Dia selalu mengklaim bahwa hanya dirinya Ahlus Sunnah wal Jamaah dan bermazhab Syafi’i. Siapa yang tidak sependapat dengannya itu sesat, atau kafir atau Wahabi. Hasilnya terjadilah pembunuhan dan kerusuhan. Mereka telah mengafirkan ulama-ulama terdahulu seperti Imam Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Qayyim, Imam Adz-Dzahabi, Imam Ibnu Katsir, Muhammad bin Abdul Wahab dan lain-lain.

Ulama kontemporer yang dikafirkan oleh mereka di antaranya adalah Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Dr. Said Ramadhan Al-Buthi, Sayyid Sabiq, Sayyid Quthb, Al-Albani, Mufti Lebanon, Hasan Khalid, dan lain-lain.
Di Malaysia, mereka mulai masuk ke dalam organisasi-organisasi agama, begitu juga di negara-negara lain. Mereka membuat program-program atas nama Ahlussunnah wal Jamaah. Intinya, mereka menuduh siapa saja yang tidak sependapat dengan mereka sebagai Wahabi. Slogan mereka juga sama, siapa yang memberikan pendapat yang tidak sama dengan mereka maka orang itu sesat atau Wahabi. Dahulu pun dalam negara ini ada gerakan kaum muda seperti Za’ba, Sayid Syeikh Al-Hadi, Burhanudin Al-Helmi, Abu Bakar Al-Baqir dan selain mereka yang memang dikenal kontribusi mereka dalam pembaharuan dan kemerdekaan.

Walaupun ada tentangan terhadap kaum muda dari kelompok konservertif tradisionalis Melayu, namun buku-buku sejarah yang jujur terus mengakui sumbangan kaum muda kepada pendidikan, perjuangan hak wanita, kemajuan pemikiran, pembebasan dari kebodohan dan sejenisnya.

Namun hari ini kelompok Ahbash yang muncul dan menyelinap masuk dalam masyarakat kita mencoba untuk mengungkit perbedaan-perbedaan ini sehingga sampai pada level saling mengafirkan. Menurut mereka (Ahbash,
 red) golongan pembaharuan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Padahal jika mereka jujur, perpecahan yang sesungguhnya (sedang terjadi saat ini) dalam masyarakat Melayu adalah dalam isu-isu politik dan negara, bukan isu doa arwah, tahlilan dan tarekat yang dipertahankan oleh mereka.

Golongan Ahbash ini menyimpan racun mereka dan menunggu hari untuk menyebarkan racun tersebut. Tidak heran jika beberapa pembunuhan di Lebanon dikaitkan dengan mereka dan banyak tokoh yang menganggap mereka mempunyai hubungan dengan CIA. Oleh karena itu kita melihat pendekatan Ahbash ini mirip Amerika. Jika Amerika yang menjadi teroris di negara orang, menuduh orang lain teroris, maka demikian juga kelompok Ahbash ini yang suka mengafirkan orang lain, bahkan juga membunuh orang yang mereka tuduh kafir. Maka tidak heran jika guru Ahbash itu diberi gelar
 Al-Fattan atau penyebar fitnah.

Meski kita juga tidak menafikan, bahwa ada segelintir kelompok yang menyebut diri mereka salafi kadang-kala ada ciri-ciri agak keras dalam berinteraksi dengan amalan tradisi lokal atau menimbulkan beberapa pendapat yang terkadang tidak wajar dan dibesar-besarkan. Saya sendiri kurang setuju dengan sikap-sikap keras dan kaku dalam perkara yang diizinkan syari’at untuk berbeda pendapat.
Namun, kekeliruan mereka itu hanya pada cara melakukan pendekatan dan penyampaian. Tidak sepatutnya mereka (salafi) dihukumi sesat atau dikafirkan oleh kelompok Ahbash.

Ahbash ini agak unik, mereka menuduh siapa saja yang berbeda pendapat dengan pandangan mereka sebagai Wahabi. Padahal, jika kita bertanya kepada mereka, “Apa itu Wahabi?”. Mereka menjawab dengan tidak pasti dan terkesan tidak konsisten dengan jawaban yang diberikan.

Ada yang mengatakan Wahabi adalah siapa saja yang tidak membaca doa qunut subuh. Jika kita beritahu mereka, bahwa mazhab-mazhab yang lain juga tidak qunut subuh. Apakah Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah juga Wahabi?

Ada yang mengatakan bahwa Wahabi itu adalah mereka yang melakukan tahlilan. Kita beritahu mereka bahwa tahlil maksudnya
 La ilaha illa Allah, tahmid maksudnya Alhamdulillah, dan tasbih maksudnya Subhanallah. Setahu kita para ulama ini melakukannya. Mana mungkin, jika tidak, mereka kafir. Bahkan imam-imam di Arab Saudi yang dituduh Wahabi itu menghafal Al-Quran dengan begitu hebat dan bacaan-bacaan mereka diperdengarkan di sana sini. Apakah mereka kafir?

Ada yang mengatakan Wahabi adalah mereka yang belajar di Arab Saudi. Banyak yang tidak belajar di Arab Saudi pun ada juga yang menuduh Wahabi. Kemudian, kalau Wahabi itu sesat, apakah sekarang Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sedang didiami dan diimami oleh golongan yang sesat?

Ada yang mengatakan bahwa Wahabi ialah golongan yang tidak bermazhab. Kita beritahu dia bahwa Arab Saudi yang sering mereka tuduh Wahabi itu bermazhab Hanbali.

Mungkin ada juga yang mengatakan bahwa Wahabi adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahab.
Saya sendiri dalam pengalaman yang singkat ini ada yang menyebut saya Wahabi, sekalipun saya tidak begitu banyak membaca buku-buku Muhammad bin Abdul Wahab. Saya hanya menganggapnya sebagai salah seorang tokoh Islam yang berjasa dan mempunyai sumbangsih terhadap Islam. Di saat yang sama tentu ada kekurangan dan kelemahannya. Dia bukan tokoh mazhab fiqih yang ulung. Dia sendiri bermazhab Hanbali. Bukan juga ahli dalam hadis, sehingga Al-Albani pernah mengkritiknya dengan agak tegas. Namun sekali lagi, sebagai tokoh, dia tetap mempunyai jasa yang tidak dapat dilupakan tersendiri. Dari segi ilmiah, secara pribadi saya tidak mendapat terlalu banyak manfaat darinya. Namun, sekali lagi sumbangsihnya tidak bisa dilupakan.

Dr. Yusuf Al Qaradhawi dalam bukunya
 Fiqh Al Aulawiyyat memuji Muhammad bin Abdul Wahab, dengan berkata,“Bagi Imam Muhammad bin Abdul Wahab di Jazirah Arab perkara akidah menjadi keutamaannya untuk memelihara benteng tauhid dari syirik yang telah mencemari pancaran tauhid dan dikotori kesuciannya. Beliau telah menulis buku-buku dan risalah-risalah dalam perkara tersebut. Beliau bangkit menanggung beban secara dakwah dan praktikal dalam memusnahkan gambaran-gambaran syirik.” (hal. 263, cetakan Maktabah Wahbah, Mesir).

Salah seorang tokoh ahli fiqih terkenal, Dr. Wahhab Al Zuhaili juga memujinya dengan mengatakan,
 “Sesuatu yang tidak bisa diragukan, menyadari hakikat yang sesungguhnya, bukan untuk meredhakan siapa, berpegang kepada ayat Al Quran yang agung (maksudnya) “Jangan kamu kurangkan manusia apa yang menjadi hak-haknya (Surah Hud: 85), bahwa suara kebenaran yang paling berani, pendakwah terbesar untuk ishlah (perbaikan), membina umat, jihad dan mengembalikan individu muslim kepada berpegang dengan jalan salaf ash-shalih yang terbesar ialah dakwah Muhammad bin Abdul Wahab pada kurun yang kedua belas Hijrah. Tujuannya untuk memperbarukan kehidupan muslim, setelah secara umum dicemari dengan berbagai khilaf, kekeliruan, bid’ah dan penyelewengan. Maka Muhammad bin Abdul Wahab ialah pemimpin kebangkitan agama dan perbaikan (ishlah) yang dinantikan, yang memperlihatkan timbangan akidah yang bersih.” (Rujukan: Dr Wahbah Al Zuhaili, Risalah Mujaddid Al Din fi Qarn Al Thani ‘Asyar, m.s 57-58).

Bahkan masih banyak puji-pujian untuk beliau dalam risalah tersebut. Banyak lagi tokoh-tokoh lain yang memuji Muhammad bin Abdul Wahab, apakah tokoh-tokoh agama yang begitu banyak itu patut dituduh Wahabi?

Kitab
 Al Fiqh Al Manhaji ‘ala Mazhab Imam As-Syafi’i merupakan karya tokoh-tokoh kontemporer mazhab Imam Syafi’i, yaitu Syeikh Mustafa Khin, Syeikh Mustafa Al Bugha dan ‘Ali Al Syarbaji. Dan dalam kitab itu dikatakan,“Diantara bid’ah yang dibuat oleh keluarga orang yang meninggal dunia ialah dengan mengundang orang banyak untuk acara makan-makan dengan acara yang dinamakan 40 harian dan lainnya. Sekiranya makanan tersebut dibeli dari harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia dan di kalangan waris ada yang belum baligh, maka perkara itu lebih haram. Ini karena ia memakan harta benda anak yatim dan melenyapkannya bukan untuk kepentingan anak yatim tersebut. Termasuk di antara yang melakukan perbuatan haram adalah orang-orang yang mengundang dan memakan makanan tersebut.” (1/263, Damaskus, Dar Al-Qalam).

Apakah semua penulis itu Wahabi? Jika kita melihat kitab-kitab Melayu Jawi, kita akan mendapati perkara yang kurang lebih sama. Kata Syeikh Daud Al Fatani (semoga Allah merahmatinya) dalam
 Bughyah Al Talab, Hukumnyamakruh bahkan bid’ah, yakni orang yang ditimpa musibah kematian kemudian memasak makanan dan mengundang orang-orang untuk memakan bersama dia.” (2/34).
Demikian juga pernyataan yang dibuat oleh Syeikh Muhammad Arsyad Banjari dalam
 Sabil Al Muhtadin. Begitu juga Al  Marbawi dalam Bahr Al Mazi menyebutkan, “Itu adalah perbuatan bid’ah yang tidak baik.” (7/130).

Apakah mereka semua juga Wahabi?

Apabila ada yang memberitahu bahwa amalan Nisfu Sya’ban (seperti yang dilakukan oleh masyarakat kita) bukan dari ajaran Nabi. Mereka akan mengatakan, “Dia Wahabi.”

Ini fatwa Dr Yusuf Al Qaradhawi ketika ditanya mengenai nisfu Sya’ban, beliau menjawab,
 “Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya’ban, membaca doa tertentu dan melakukan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebagian negeri muslim. Bahkan di sebagian negara, setelah shalat maghrib banyak orang yang berkumpul pada malam tersebut di masjid-masjid. Mereka membaca surah Yasin dan shalat dua raka’at agar panjang umur, dua rakaat berikutnya agar tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca doa yang tidak pernah dilakukan oleh golongan salaf (para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in). Doa yang mereka ucapkan sangat panjang dan yang bertentangan dengan dalil (Al-Quran dan Sunnah). Menghidupkan malam nisfu Sya’ban seperti yang kita lihat dan dengar yang terjadi di sebagian negara Islam adalah bid’ah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan ibadah cukup seperti yang diterangkan dalam Quran dan Hadits.“ (Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Fatawa Mu`asirah, 1/382-383, Beirut: Dar Uli Al Nuha).

Apakah Dr Yusuf Al-Qaradhawi juga Wahabi?

Imam An-Nawawi (meninggal 676 H) adalah tokoh agung dalam mazhab Syafi’i. Pada zamannya, beliau membantah untuk mengiringi jenazah sambil membaca Al-Quran dengan mengangkat suara (agak dikeraskan,
 red).

Beliau berkata,
 “Ketahuilah, sesungguhnya yang menjadi amalan salaf ash-shalih radhiyallahu ‘anhum adalah diam ketika mengiringi jenazah. Jangan diangkat suara dengan bacaan ayat, zikir dan selainnya. Hikmahnya nyata, yaitu lebih menenangkan hati dan pikiran mengenai apa yang berkaitan dengan jenazah. Itulah yang seharusnya dilakukan dalam keadaan tersebut. Inilah yang cara yang benar. Jangan kamu terpengaruh dengan banyaknya orang yang menyelisihinya.” (An Nawawi, Al Azkar, halaman. 225-226, Damaskus: Maktabah Al Ghazali).

Saya percaya jika Imam An-Nawawi masih hidup di zaman ini dan membuat pernyataan ini, golongan yang fanatik pada Ahbash akan menuduhnya juga sebagai Wahabi.

Bahkan jika Imam As-Syafi’i masih hidup pun mungkin akan dituduh Wahabi. Dalam kitabnya
 Al Umm disebutkan,“Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berzikir selesai shalat. Hendaklah mereka berzikir dengan sirr (suara perlahan), kecuali jika imam mau mengajari makmum bacaan-bacaan zikir, maka ketika itu tidak apa-apa zikir bersama-sama dengan suara yang keras. Sehingga apabila zikir itu sudah diajarkan pada makmum. Maka setelah itu hendaklah dia membaca dengan sirr.” (Al Syafi’i, Mausu‘at Imam Syafi’i: Al Umm, 1/353 Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al ‘Arabi).
Ada yang mengatakan bahwa Wahabi tidak mewajibkan terikat dengan sesuatu mazhab. Saya kata kalau begitu haramkanlah buku Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Dr Wahbah Al-Zuhaili, Dr. Abdul Karim Zaidan dan berbagai tokoh ulama lain yang disebarkan di Malaysia ini. Sebab mereka ini yang tidak mewajibkan terikat dengan mazhab.

Lihat apa kata Dr Yusuf Al Qaradhawi,
 “Perkara yang penting untuk Anda ketahui adalah bahwa orang awam mengikuti salah seorang imam mazhab adalah sebuah keharusan dengan syarat yang telah ditentukan. Hal ini bukan sesuatu yang wajib seperti yang dikatakan oleh beberapa orang. Ini karena tiada kewajiban kecuali apa yang diwajibkan oleh Al-Quran dan Hadits, karena Al-Quran dan Hadits tidak mewajibkan seseorang terikat dengan satu mazhab. Maka tidak menjadi halangan untuk seorang muslim bebas dari ikatan mazhab manapun. Dia boleh bertanya berkaitan urusan agamanya kepada siapa saja di kalangan ulama. Tanpa perlu terikat dengan seorang ulama saja dengan tidak mau bertanya kepada orang lain. Inilah jalan para sahabat dan siapa yang mengikuti mereka dengan cara yang baik pada sebaik-baiknya zaman.” ( Al Qaradhawi: Dr Yusuf, Kaif Nata’amal Ma’ Al Turath, m.s. 83-84, Kairo, Maktab Wahbah)

Banyak lagi contoh-contoh lain jika hendak disebutkan, maka akan terbantahkanlah bahwa tuduhan Wahabi pada para ulama kebanyakan adalah fitnah. Ketika mereka tidak bisa menjawab pertanyaan dan persoalan yang disampaikan, biasanya mereka akan mengalihkan isu ke arah yang lain. Itu adalah lambang akhlak dan perilaku buruk mereka. Memburukkan orang lain tanpa bukti dan ilmu. Mereka ini akan didakwa di akhirat karena memutar-balikkan fakta tanpa rasa takut kepada Allah.
Allah berfirman dalam Surah Al Hujurat ayat 11-12:

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Sangat disayangkan jika medan pembahasan ilmiah dijadikan medan untuk saling memfitnah. Terlebih lagi jika yang dibahas itu adalah tentang agama dan berbagai macam perbedaan yang ada di dalamnya. Kita seharusnya berada dalam batas fakta dan angka saja. Jangan berlebihan sampai menuduh secara tidak berakhlak. Banyak pendakwah yang menjadi mangsa akhlak buruk ini. Sudah sepatutnya kita berduka cita dan bersimpati. Terlebih lagi jika pelaku fitnah ini menyelinap dan menggunakan nama organisasi tertentu untuk melancarkan aksi fitnahnya.

Saya katakan kepada para pendakwah yang difitnah, “Bersabarlah.” Karena sebelum ini para rasul yang mulia juga banyak mendapatkan fitnah. Nabi Muhammad
 Shalallahu Alaihi wa Sallam pernah dituduh tukang sihir dan orang gila. Imam Syafi’i Rahimahullah pernah dituduh sebagai pendukung Syi’ah di zamannya sehingga dia dihukum. Imam Al-Bukhari Rahimahullah pernah dituduh bersekongkol dengan Mu’tazilah mengenai Al-Quran, sehingga dia terpaksa keluar dari kampung halamannya.

Demikian juga sejarah dan perjalanan para ulama yang tidak pernah sepi dari kejahatan golongan pendengki dan pengkhianat. Demikian tabiat dan sunnatullah (hukum Allah) yang berlaku pada dakwah ini yang sentiasa menuntut keikhlasan dan pengorbanan bagi pengembannya.

Wahai mereka yang suka menuduh orang lain atas sentimen tanpa bukti. Berhentilah, banyak pekerjaan lain yang patut kita lakukan.
Jangan halangi orang lain untuk mencari ilmu dan berpikir jernih. Tunjukkan citra dan keistimewaan Islam itu dengan membiarkan berbagi pemikiran hidup dalam iklim yang harmoni agar tidak ada penipuan dan pengkhianatan. Dunia akan menjadi damai ketika dihuni oleh manusia yang cinta ilmu. bukan yang suka mengafirkan orang lain tanpa sebab atau menuduh orang Wahabi hanya karena tidak berkenan di hatinya.
Dr. Mohammad Asri Zainul Abidin, Malaysia