Sunday, April 26, 2015

Syafi’i Ma’arif Sebut Sunni & Syi’ah Tak Ada Dizaman Nabi, Habib Zein Alkaf: Dia Sudah Pikun!

Jum`At, 27 Jumadil Tsaniyah 1436h / April 17, 2015
Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Ma’arif menilai Sunni dan Syi’ah bukanlah ajaran asli dari Al Qur’an. Ia mengumpamakan bila ingin mengambil air yang bersih itu di hulu, jangan di hilir. Sedangkan Sunni dan Syi’ah keduanya ada di hilir, maka hal itu bukan persoalan yang pokok.
Sepeti dilansir Republika pada Kamis (16/4/2015), ia mengatakan jika Sunni dan Syi’ah tidak ada di zaman nabi. Sunni dan Syiah adalah hasil yang diciptakan oleh sejarah karena pertentangan politik orang arab waktu itu. Kemudian hal itu menjalar ke theologi atau aqidah, dan sistem berfikir yang berlanjut hingga sekarang.
Menanggapi hal itu, Ketua Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama Jawa Timur (PWNU Jatim), Habib Achmad Zein Alkaf menyatakan bahwa Syafi’i Ma’arif sudah pikun dan tidak tahu menahu tentang sejarah persoalan antara umat Islam Ahlu Sunnah dengan Syi’ah.
“Lebih baik saya katakan dia sudah pikun, dari pada saya katakan sebagai penjual Aqidah. Untung sudah tidak jadi Ketua Muhammadiyah,” tegas anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim ini kepada Panjimas.com pada Kamis (16/4/2015).
Ketua Front Anti Aliran Sesat (FAAS) ini menambahkan, dengan adanya statemen-statemen nyleneh dari sejumlah tokoh Islam dan lebih cenderung membela Syi’ah telah membuktikan kepiawaian orang-orang Syi’ah dalam melobi dan mempengaruhi para tokoh Islam di Indonesia.
“Ini semua menunjukkan kepandaian tokoh-tokoh Syi’ah melobi tokoh-tokoh kita. Dia kira perbedaan Syi’ah dengan Ahlu Sunnah itu seperti perbedaan NU dengan Muhammadiyah. Maklum bermilyar-milyar dolar Syi’ah hamburkan dalam pemurtadan di Indonesia,” jelasnya. [GA]

Ust Mustaqim, Lc : Omongan Syafii Maarif Jangan Di Gubris

Kemunculan Video Syafii Maarif beberapa waktu silam yang mengatakan bahwa Suny dan Syiah itu tidak ada di Jaman Nabi, Mendapat reaksi keras dari para asatidz. Diantaranya Ustadz Mustaqim,Lc, beliau minta omongan Syafii Maarif tidak usah di gubris.

Sepeti dilansir Republika pada Kamis (16/4/2015), ia mengatakan jika Sunni dan Syi’ah tidak ada di zaman nabi. Sunni dan Syiah adalah hasil yang diciptakan oleh sejarah karena pertentangan politik orang arab waktu itu. Kemudian hal itu menjalar ke theologi atau aqidah, dan sistem berfikir yang berlanjut hingga sekarang.

Bukan hanya itu, Mantan Pimpinan Muhamadiyah ini juga mengatakan bahwa itu semua bukan asli ajaran Al Quran. Ia mengumpamakan bila ingin mengambil air yang bersih itu di hulu, jangan di hilir. Sedangkan Sunni dan Syi’ah keduanya ada di hilir, maka hal itu bukan persoalan yang pokok.

Jumat (24/4) di Masjid Darusalam Blora, seorang alumni santri Tambak Beras Jombang, Ustadz Mustaqim mengajak Umat Islam untuk tidak menggubris apa yang di sampaikan oleh Syafii Maarif.

“Saya tahu arah tujuannya kemana apa yang di omongkan dia, jadi Omongan Syafii Maarif itu jangan di gubris, tidak layak dia itu di panggil buya, jauh sekali dengan buya Hamka, nah kalo Buya Hamka itu baru cocok” Cetus ustadz yang juga pernah menjadi Pimpinan Pondok Muhamadiyah di Klaten.

Ustadz Mustaqim menerangkan “ Seharusnya dia itu membaca sejarah islam dulu secara lengkap, agar omonganya tidak ngawur. Kalau dia berkata seperti itu gaya fikirnya, nanti kan di ketawain banyak orang”imbuhnya dengan sedikit senyuman

Ustadz Mustaqim dalam kesempatan Sarasehan Jumat Pon saat itu menerangkan dengan jelas sejarah asal muasal adanya Syiah dan siapa di balik Syiah itu sendiri. Sehingga sangat jelas jikalau ada statmen bahwa Suny dan Syiah itu bukan masalah pokok maka pemikiran tokoh tersebut telah tercampuri liberal 


Indonesia Dicaplok Syi'ah Iran Untuk Menggayang Radikalisme

Menjadi semakin gamblang bagaimana posisi Indonesia terhadap Syi'ah. Indonesia sudah masuk perangkap Syi'ah dengan adanya perjanjian antara Indonesia-Iran. Di mana Presiden Jokowi dan Presiden Republik Iran Hassan Rouhani sepakat melakukan kerja sama memberantas radikalisme dan terorisme.

Kesepakatan ini dicapai dalam pertemuan bilateral antara Presiden Jokowi dan Presiden Iran Hassan Rouhani di sela-sela acara Konferensi Asia Afrika 2015, di Jakarta Convention Center, Kamis (23/04/2015).

Rezim Syi'ah Iran berhasil  menyusup dalam Konferensi KAA, dan memasukan isu tentang radikalisme dan terorisme, dan semua itu bagian dari setrategi Iran yang ingin mencaplok negara-negara Islam dengan membuat isu radikalisme dan terorisme. Semua itu hanyalah membawa keuntungan bagi Syi'ah secara global. Seperti sekarang ini negara-negara Arab seperti kartu 'domino' satu-satu jatuh ke tangan Syi'ah.

Indonesia - Iran bersepakat segera mengaktifkan kembali Komisi Bersama (SKB) kedua negara untuk meningkatkan kerja sama bilateral dan kerja sama antara kedua negara dan negara Islam untuk memberantas radikalisme dan mengentaskan terorisme dengan mengedepankan sisi kebudayaan dan agama, serta kerja sama tukar informasi untuk mengatasi terorisme.

Sebagaimana dikutip laman resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia, kerja sama ini disepakati saat kedua presiden bertemu dalam pertemuan bilateral di Jakarta Kamis, (23/04/2015).

“Pertemuan bilateral juga membahas berbagai upaya peningkatan kerja sama antar kedua negara terutama di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi. Presiden RI juga  meminta agar akses ekspor kelapa sawit dari Indonesia ke Iran dapat didorong lebih banyak. Presiden juga mengundang pengusaha Iran untuk berinvestasi di bidang infrastruktur di Indonesia yang masih terbuka luas,” demikian dikutip laman Kemenlu.go.id.

Presiden Iran, Hassan Rouhani menegaskan  bahwa hubungan Iran dan Indonesia sangat penting, karenanya Presiden Rouhani setuju untuk  mendorong pihak swasta Iran hadir di Indonesia.

Menurut anggota Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH kerja sama ini dinilai sangat terburu-buru dan akan membawa banyakmudharat (mendatangkan keburukan) dibanding kebaikan.


Sebab menurut penulis buku “Syiah Menurut Sumber Syiah, Ancaman Nyata NKRI” ini, definisi radikalisme yang dipahami Iran (dalam hal ini Syiah, red) tidak sama dengan yang dipahami Indonesia.

“Kita harus paham dulu, apa pengertian radikalisme dalam pikiran Iran. Bagi Iran yang Syiah, semua yang melawan usaha-usaha syiahisasi dinilai intoleran dan takfiri. Jikatakfiri akan melahirkan gerakan radikal. Dan gerakan radikal bisa berujung tindakan terorisme, begitu cara pikir Iran,” ujar Abdul Chair Ramadhan.

“Nampaknya, istilah radikalisme, akan dijadikan palu godam bagi Syiah-Iran untuk menghalangi sekaligus mengamankan usaha syiahisasi di Indonesia.” Kerja sama dengan Iran ini menurut Abdul Chair, termasuk salah satu bagian keberhasilan Syiah Iran mempengaruhi pemerintah Indonesia.

Indonesia hanya mengikuti irama 'gendang' Amerika, sekarang ini Amerika sedang berangkulan dan bergandeng tangan dengan Iran, dan mengganyang terorisme dan radikalisme yang terus dikobarkan oleh Iran. Di Indonesia sedang gencar pemerintah melakuakn perlawanan terhadap terorisme  dan radikalisme . Sumbernya dari Iran. (abimontrono/dbs/voa-islam.com)

MUI kritik keras kerja sama Jokowi dengan republik Syi'ah Iran terkait isu "Radikalisme"
Presiden RI atau yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai "Ulil Amri" Indonesia, Ir. Joko Widodo, telah melakukan kesepakatan peningkatan kerja sama bilateral dengan Hassan Rouhani, presiden Iran. Selain bidang ekonomi, kerja sama ini termasuk menyangkut isu radikalisme dan pemberantasan terorisme.

Hal ini mendapat respon keras dari Anggota Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat, Dr. H. Abdul Chair Ramadhan SH., yang menilai kerja sama ini adalah tindakan yang sangat terburu-buru dan akan membawa banyak mudharat (keburukan) dibanding kebaikan.

Sebab menurut penulis buku “Syiah Menurut Sumber Syiah, Ancaman Nyata NKRI” ini, defenisi radikalisme yang dipahami oleh Iran (Syi'ah) tidak sama dengan yang dipahami Indonesia.

“Kita harus paham dulu, apa pengertian radikalisme dalam pikiran Iran. Bagi Iran yang Syi'ah, semua yang melawan usaha-usaha Syi'ahisasi dinilai intoleran dan takfiri. Jika takfiri akan melahirkan gerakan radikal. Dan gerakan radikal bisa berujung tindakan terorisme, begitu cara pikir Iran,” ujar Abdul Chair Ramadhan yang dimuat oleh Hidayatullah.

Abdul Chair menyebut jika isu "Radikalisme" ini akan dimanfaatkan oleh Syi'ah-Iran sebagai senjata untuk melindungi Syi'ahisasi dan memberangus setiap upaya penolakan terhadap penyebaran Syi'ah.

Kerja sama dengan Iran ini menurut Abdul Chair, termasuk salah satu bagian keberhasilan Syi'ah Iran mempengaruhi pemerintah Indonesia.

Kekhawatiran Abdul Chair bukan tanpa alasan. Di Timur tengah, republik Syi'ah Rafidhah Iran tengah gencar menancapkan taring politiknya di berbagai negara dengan menggunakan tangan antek lokal atau milisi Syi'ah radikal-bersenjata setempat. Sedangkan di Indonesia, dalam beberapa tahun belakangan penyebaran agama Syi'ah Rafidhah makin gencar dengan banyaknya beasiswa ke Iran dan propaganda ideologi Syi'ah.

Abdul Chair juga menyayangkan presiden Jokowi yang tidak paham persoalan menyangkut masalah keumatan. Padahal pemerintah harusnya bisa berkonsultasi dahulu dengan berbagai pihak seperti MUI. (hidayatullah/rslh)

Alumni Iran Sebut Indonesia Ditargetkan Jadi Suriah Kedua
Senin 16 Jamadilakhir 1436 / 6 April 2015 19:41
MANTAN Da’i Syiah lulusan Iran, Ali Saefulloh memaparkan pengalamannya selama menjadi juru dakwah untuk merekrut masyarakat.
Menurut alumni Universitas Imam Khomeini, Qom ini, kelompok Syiah memiliki strategi yang sistematis dan terstruktur untuk mensyiahkan Indonesia. Mereka memiliki 7 divisi untuk mendekati berbagai kalangan dari mulai ulama, intelektual hingga politisi.
“Di Indonesia kelompok Syiah memiliki lembaganya. Ada 7 divisi (di antaranya) Divisi Mustasyar, Divisi Ulama, Divisi Intelek, Divisi Legislatif, Divisi Pertahanan dan Keamanan, Divisi Industri, Divisi Ilmu Pengetahuan dan Budaya. Di Divisi pendidikan (ilmu pengetahuan), kita memiliki orang penting,” kata Ali Saefullah yang menghabiskan waktunya belajar Syiah di Iran selama 4 tahun.
Hal itu diungkapkan Ali dalam Maulid Nabi bertema “Memperkokoh Akidah Ahlussunah wal Jamaah dari Ancaman Aliran Sesat Syiah” di Masjid Al Kamiliyyah, Jakarta Timur.
Hadir dalam acara ini di antaranya Habib Tohir Al Kaff, Prof. Dr. Habib Muhammad Baharun (MUI Pusat), Dr. Abdul Chair Ramadhan SH.MH (MUI Pusat), Drs. Ahmad Subki Saiman (Lisan Hal) beserta para habaib dan asatidz di Jakarta.
Menurut Ali, kelompok Syiah memiliki rencana matang karena sudah menargetkan Indonesia menjadi negeri Syiah.
“Saya tergabung di sebuah laskar ankatab. Itu laskar yang disiapkan untuk menajdikan Indonesia Negara Syiah. Kami merencanakan Indonesia menjadi Syria kedua. Sebelum kakek saya meninggal, beliau berpesan Indonesia sudah ditakdirkan menjadi negeri Syiah,” beber Ali. Dia mengatakan kakeknya belajar langsung di Suriah dan menjadi pengikut ajaran Syiah Nushairiyah.
Dari hasil dakwahnya, Ali mengaku telah mensyiahkan banyak orang. Dia ditugaskan khusus untuk berdakwah setelah menuntut ilmu Syiah di kampus dan hauzah Syiah di Qom, Iran.
“Kami dakwahi mereka dari Aceh hingga Irian. Saya sudah masukkan umat Islam menjadi Syiah sebanyak 300 orang. Naudzubillah,” terang dia yang memilih untuk bertaubat. [Pz/Islampos] 

Syiah Iran Membawa Misi Politik Transnasional ke Indonesia
SYIAH Iran tidak hanya membawa misi ideologi namun juga membawa misi politik transnasional. Syiah Imamiyah yang bersembunyi di balik nama ahlul bait dikendalikan secara terpusat dan sistemik di Iran kemudian disebarkan ke negeri-negeri ahlussunnah wal jamaah.
Begitulah penjelasan Dr.H. Abdul Chair Ramadhan, dalam ceramahnya di Majelis Ta’lim Asy-Syafiiyah pimpinan KH.Abdul Rasyid Abdullah Syafii, Bukit Duri, Jakarta Selatan, Ahad (26/4/2015).
Penulis buku Syiah Menurut Sumber Syiah, Ancaman Nyata NKRI ini kemudian mengungkapkan apa yang pernah terjadi di Lebanon, Bahrain, Iraq, dan Yaman baru-baru ini merupakan akibat dari Syiah yang berkespansi.
“Tidak ada suatu negara yang tidak terjadi konflik akibat ekspansi Syiah. Contohnya apa yang terjadi di Lebanon, Bahrain, Iraq, dan terbaru di Yaman,” ungkapnya
Ia menilai, Indonesia sebagai negeri muslim Ahlussunnah terbesar di dunia sedang menjadi bagian target politik Syiah. Sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya, Syiah berupaya merubah nasionalisme NKRI menjadi nasionalisme Syiah.
“Faham wilayah Syiah semenjak revolusi Khomeni mengharuskan baiat. Maka dari itu yang tidak berbaiat kepada wali faqih dihukumi mati dalam jahiliyyah, tidak terkecuali Syiah Indonesia. Inilah pokok pertentangan ideologi, ushuluddin, hingga politik ” pungkasnya.
Ia juga menyerukan agar umat Islam memperkokoh persatuan dan kesatuan. Tinggalkan perpecahan di bidang furu’ yang mengarah memecah belah umat.
“Perkokoh ukhuwah Islamiyah, akidah ahlussunnah wal jamaah. Tinggalkan perpecahan dan saling membidah-bidahkan yang mengarah perpecahan umat,” tutupnya. [suandri ansyah/Islampos]


Politik Iran Dan Pengaruh Syiah

Written By Sinai Mesir
“Aku berpikir karena aku ada” demikian ucapan Dekar yang terkenal, jika prinsip ini kita tarik ke dalam dunia politik, atau kebijakan politik, maka ia berkaitan dan berbicara tentang kepentingan suatu negara, kemaslahatan nasional suatu negara.
Aktifitas apapun yang diambil, atau kebijakan apapun yang ditempuh suatu negara, baik ekonomi, sosial, maupun politik dalam kancah internasional, semua itu hanya untuk memperjuangkan kepentingan politik negara itu, untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Karena negara pada asasnya hanya sebuah alat untuk mencapai kemakmuran, dan keamanan sebuah bangsa, maka sebuah negara akan senantiasa bekerja, dan berpijak untuk mencapai kemakmuran bangsanya.
Dan terma kepentingan politik adalah terma yang nisbi, tiap negara memiliki kepentingan tersendiri, kalau kita mengambil perumpamaan Jalaluddin Rumi, ibaratnya, beberapa orang yang menyentuh seekor gajah di pekat malam, setiap orang akan berasumsi dan memberikan persepsi dan defenisi tentang gajah sesuai dengan apa yang ia sentuh.
Begitupun dengan setiap negara akan berjuang untuk mencapai kemaslahatannya dan kepentingannya, maka ketika kita mendapatkan beberapa negara yang berbeda kebijakan, kemudian membuat blok, atau bahkan sampai terlibat dalam perang militer, yakin bahwa hal itu hanya untuk memperjuangkan dan mengamankan kepentingan nasionalnya.
Sebuah contoh misalnya, kebijakan politik Amerika Serikat “meledakkan” gedung WTC, secara kasat mata Amerika rugi secara politik dan ekonomi, namun kerugian ini tidak berarti apa-apa, jika kemudian kita bandingkan dengan hasil yang telah dicapai Amerika Serikat. Karena peledakan gedung kembar WTC tersebut, kini amerika telah menguasai dua negara Islam yang kaya minyak, Afganistan dan Irak. Dan ini hanyalah pintu gerbang untuk menguasai Timur Tengah atau yang kita kenal dengan proyek Timur Tengah raya “As-Syarq Al-Ausyat Al-Akbar”.
Lain Iran, lain Amerika, ketika mengkaji politik Iran, maka kita tidak bisa lepas dari Syiah sebagai ideolog negara lembah kaspia tersebut. Untuk memahami politik Iran, penulis akan mencoba merunutkan permasalahan ini. Pertama kita akan berkenalan dengan sejarah perkembangan politik Syiah, dalam hal ini Syiah Imamiyah yang menjadi mayoritas Syiah yang menghegemoni Iran. Kedua kita akan membahas politik luar negeri Iran, batasan-batasan kerja kebijakan politik luar negeri Iran dan karakteristiknya, serta tujuan politik luar negeri Iran.
Perkembangan Pemikiran Politik Syiah Imamiyah
Syura telah menjadi konsep dalam Islam sebagai jalan untuk menentukan dan memilih seorang pemimpin, dan penerapan konsep ini dapat kita lihat masa pasca wafatnya Rasulullah SAW. Rasulullah tidak menentukan dan tidak mewasiatkan seseorang dari sehabat beliau untuk menjadi khalifah pengganti sepeninggalnya. Seluruh sahabat, tanpa terkecuali meyakini dan menjalankan prinsip syura ini, sebagai konsep dalam memilih seorang pemimpin. Begitupun dengan anak-anak keturunan para sahabat, dalam hal ini yang penulis maksud adalah keturunan Ahlu bait radiyallahu anhum, semisal Hasan ra., Husai ra., dan Jakfar As-shadiq ra.
Lain halnya dengan orang-orang Syiah, dalam keyakinan Syiah, seorang khalifah sepeninggal Rasulullah telah ditentukan oleh Allah, atau telah ada nash dan wasiat yang menentukan seseorang sebagai khalifah. Oleh karena itu dalam pemikiran Syiah, khususnya Syiah Imamiyah, hanya meyakini imam yang dua belas dari ahlu bait. Karena bagi mereka telah ada nash dan wasiat tentang kepemimpinan para imam itu.
Pasca sepeninggalnya Imam Hasan Al-Askari yang tanpa memiliki seorang anak atau penerus, disini terjadi keterputusan kepemimpinan. Namun bagi Syiah Imamiyah, imam Al-Askari memiliki keturunan yang bernama Abu Al-Qosim Muhammad ibnu Hasan, yang kemudian diberi gelar Al-Mahdi Al-Muntazar. Dalam keyakinan Syiah, Abu Al-Qosim Muhammad ibnu Hasan ini bersembunyi di daerah Sardab Irak. Dan Imam Mahdi tidak mati sampai ia muncul kembali untuk mengisi dunia dengan keadilan dan kebaikan.
1. Fase Kepemimpinan Para Imam
Yaitu fase dimana para imam dari keturunan Ali Bin Abi Thalib masih hidup, mulai dari kepemimpinan Abu Al-Hasan bin Abi Thalib (600-661 M) sampai Imam yang kedua belas yaitu Abu Al-Qosim Muhammad bin Al-Hasan yang bergelar Al-Mahdi (870-000) yang lenyap dan menghilang dan menurut keyakinan Syiah bahwa Imam yang kedua belas masih hidup dan belum mati, sampai kedatangannya yang akan mengisi dunia dengan keadilan menggantikan dunia yang penuh dengan kedzaliman dan kerusakan. Menghilangnya imam yang kedua belas ini yang kemudian dikenal dengan masa kegaiban, dan ini juga berarti dimulainya fase kedua.
2. Fase Kedua : Masa Kegaiban
Fase ini dimulai dengan menghilangnya Imam yang kedua belas sampai kemunculannya nanti, diantara ciri dari fase ini adalah :
dalam dunia politik, atau kebijakan politik, maka ia berkaitan dan berbicara tentang kepentingan suatu negara, kemaslahatan nasional suatu negara.
  1. Lahirnya fatwa-fatwa yang mengharamkan aktifitas politik dan tidak bolehnya mendirikan negara Islam tanpa keberadaan seorang Imam yang maksum dan sesuai dengan pilihan Allah.
  2. Fatwa ini juga berakibat pada tidak bolehnya segala jenis aktifitas yang berurusan dengan negera, seperti zakat, penegakan had, shalat jum’at, dll.
  3. Wajibnya taqiyah, yaitu paham yang menyerukan untuk menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinan. Dan hal ini menjadi tuntutan dan kewajiban saat ketiadaan Imam atau fase stagnan yaitu fase kepemimpinan orang yang dzalim dalam pandangan orang-orang Syiah. Dalam hal ini Syaikh As-Suduq (381 H), mengatakan perihal kewajiban taqiyah ini, taqiyah, kata beliau adalah kewajiban yang diwajibkan bagi kita di bawah kepemimpinan orang-orang dzalim, maka barang siapa yang meninggalkannya, maka ia telah menyalahi agama (paham Imamiyah).
Masa kegaiban ini, dalam buku Ahmad Al-Katib (Tatawwur Al-Fikr As-Siyasi As-Syi’i), penulis mendapatkan bahwa fase ini telah melahirkan beragam ijtihad sebagai solusi dari ketiadaan seorang imam yang memimpin orang-orang syiah, di antara ijtihad tersebut :
  1. Lahirnya ijtihad, niyabatul Imam atau pengganti ketiadaan seorang imam, ijtihad ini mengatakan perlunya pengganti imam dalam Khilafah, namun kekuasaan niyabatul imam ini masih terbatas pada penegakan hukum agama, semisal penegakan hukum had. Dan tidak mencampuri urusan negara.
  2. Wilayatulfakih atau kepemimpinan seorang fakih, sebagai wakil mutlak dari imam. Konsep ini telah merampah dunia politik atau negara.
Kedua ijtihad diatas juga menandai dibukanya pintu ijtihad sebagai fase baru di zaman kegaiban. Yang sebelumnya, segala bentuk ijtihad diharamkan pada masa kegaiban seorang imam. Dalam paham Syiah, penetapan hukum baru adalah hak dan hanya terbatas bagi para imam yang maksum. Dan kondisi ini, tertutupnya kerang ijtihad berlangsung lama. Dan kerang pintu ijtihad ini mulai terbuka pada abad ke empat, yang diprakarsai oleh Al-Hasan Bin Al-Uqail bersama muridnya Sayyid Murtadha.
Wilayatul Fakih Muncul dan Perkembanganya
Terjadi perbedaan pendapat mengenai awal munculnya ide tentang Wilayat Al-Faqih itu sendiri di kalangan pembesar Syiah. Syiah Libanon melihat bahwa founding father dari ide ini adalah Sheikh Muhammad Ibn Maki Al-Jaziny, wafat tahun 1366 M (768 H). Beliaulah yang mengarang sebuah buku berjudul “Allam’atu Ad-Dimasyqiyah” yang sampai sekarang masih dianggap sebagai rujukan pemikiran (tsaqafah) orang-orang Syiah.
Di dalam buku itu ia memperkenalkan dengan pertama kalinya istilah “Naib Al-Imam/Wilayatulfakih)sebagai solusi dari masa stagnan dari kepemimpInan (Imamiyah) selama empat abad. Ide ini kemudian mendapat respon penerimaan yang luar biasa di kalangan Syiah. Diantaranya raja Ali ibnu Al-Muayyid, raja Syia (Khurasan) menjadikan ide ini sebagai asas negaranya.
Sementara sumber-sumber di Iran sendiri tidak merujuk kepada Sheikh Muhammad Ibnu Maki, dan menerangkan bahwa Wilayah Al-Mutlak bagi seorang Fakih, kembali kepada orang lain bernama Sheikh Ahmad Narafi. tetapi bisa saja Sheikh Ahmad telah mengambil ide “Naib Al-Imam/ Wilayat Al-Faqih) dari buku “Allam’ah Ad-Dimasyqiyah” karangan Ibnu Maki, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Sheikh Narafi, memilik keutamaan dalam mengutarakan ide dan menjelaskannya.
Sheikh Narafi dalam Bukunya “Awaid Al-Ayyam” memjadikan “Wilayatulfakih” satu judul. Ia menjelaskan idewilayatulfakih ini dengan mengatakan ; yang dimaksud dengan wilayatulfakih di sini adalah mereka para penguasa (hukkam) di jaman stagnan (kegaiban), dan dialah wakil ummat.
Dalam bukunya juga, ia memberikan dalil-dalil yang mendukung ide ini, diantaranya Hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. : .... ( sumber tidak jelas, silahkan buka 
Dan juga yang dinisbatkan kepada Imam Jakfar As-Shadiq, yang berbunyi :

(para raja adalah penguasa bagi manusia dan para ulama adalah penguasa bagi para raja).
Namun ide untuk menjadikan wilayatulfakih ini sebagai asas Negara tidaklah mutlak diterima oleh para fuqaha Syiah, salah satu di antara mereka yang menolak ide ini untuk dijadikan sebagai asas Negara secara mutlaq, adalah Dr. Muhammad Jawwad Magniyah, seorang faqih terkenal di kalangan Syiah Libanon. Dalam bukunya “Al-Khumaini wa Ad-Daulah Al-Islamiyah” yang disebarkan tahun pertama dari peristiwa Revolusi Iran 1979, ia mengkritik ide penerapan (tawassu’) Wilayatulfakih.1
Walaupun ada yang kontra dengan konsep ini (wilayatulfakih), namun hingga saat ini konsep ini tetap menjadi landasan hukum bagi negara Iran.

Politik Luar Negeri Iran
Politik luar negeri erat kaitannya dengan diplomasi yang ditempuh oleh sebuah negara, maka dari itu kita perlu mengetahui pengertian dari diplomasi Iran, dalam buku Madkhol Ila As-Siyasah Al-Khorijia Lijumhuriyati Al-Iran Al-Islam, yang dimaksud dengan politik luar negeri dan diplomasi adalah cara, seni, dan penggunaan seluruh kemampuan untuk mengamankan kemaslahatan nasional dalam ranah hubungan internasional.

Sementara pengertian politik luar negeri Iran adalah pekerjaan, seni dan pandayagunaan segala kemampuan yang sesuai dengan syar’i dan sah untuk menjaga kemaslahatan umat Islam yang satu dalam ranah internasional.
Stategi Politik Luar Negeri Iran
Diantara strategi politik Iran dalam menggapai ambisi dan tujuannya, selebihnya bisa merujuk kembali bukuMadkhol Ila As-Siyasah Al-Khorijia Lijumhuriyati Al-Iran Al-Islam,di antara strategi politik luar negeri Iran adalah sebagai berikut :
1. Menghegemoni Dunia Islam (Al-Amal Fi Ithari Al-Islam)
Hal ini berarti pentingnya mendayagunakan umat dengan seluruh kemampuannya demi kehidupan dan pertumbuhan dalam tataran masyarakat internasional, maka mereka menginginkan segalanya demi kepentingan dan kemaslahatan umat. Tujuan dari menjadikan Islam sebagai pegangan adalah untuk mendukung posisi Iran dan untuk mencapai keberhasilan segala aktifitasnya dalam dunia internasional.
Ketika Iran melakukan aktifitas internasional di dunia Islam, dan juga mendukung gerakan-gerakan Islam (perlawanan), hal ini akan manjadi kekuatan bagi Iran. Dan pengejewantahan dari ini semua, Iran telah memiliki basis ideologi di Libanon, memberikan bantuan ke Afganistan, Hamas dan memiliki hubungan erat dengan Suriah. Hal ini akan mendukung Iran untuk menancapkan pengaruhnya yang lebih luas.
Jika Iran telah memiliki basis dukungan di Libanon, maka hal ini akan manjadi pendukung kepentigan Iran di dunia internasional. Dan Iran akan menggunakannya kapan saja, jika Iran menghendaki, atau ketika suatu saat Iran menghendakai Hizbullah untuk menyerang kepentingan negera yang memiliki permusuhan dengan Iran.
Dengan kondisi seperti ini, Iran bukan hanya sebatas sebuah negara tapi telah menjadi kekuatan internasional yang menikmati hegemoni dan kekuatan dari luar Iran. Dari sini, maka tujuan dari menjadikan Islam sebagai jargon, membangun basis-basis keislaman (husainiayat) di setiap sudut negeri, memperbanyak pengikut Islam (Syiah), dan mengagum-agumkan pemerintahan Republik Iran, semuanya bertujuan untuk menguatkan hegemoni dan mendukung kepentingan Iran.
B. Iran Adalah Ummu Al-Qura
Prinsip Umul Qura adalah refleksi dari ambisi Iran untuk menghegemoni di dunia Islam. Dengan mencita-citakan Iran akan menjadi pemimpin dan pusat kekuasaan Umat Islam. Yang dimaksud Ummul Qura adalah Iran yang memimpin dunia Islam, dan hal ini bisa kita lihat dari prinsip dan tujuan dari politik luar negeri Iran, yaitu Tashdir As-Tsaurah atau ekspansi Revolusi Iran kelua negara Iran, yaitu dunia Islam.
Konsep Ummu Al-Qura dalam penjabaran Dr. Larijani, sebagai berikut :
  1.  Ummu Al-Qura adalah pusat pemerintahan negara Islam dan inti dari ajaran Ummu Al-Qura adalah persatuan melaksanakan kewajiban Islam dibawah satu kepemimpinan.
  2. Dan bahwa Waliyulfakih tidak dibatas oleh sekat teritorial, karena dunia Islam adalah umat yang satu, dan kekuasaan wilayatulfakih tidak bisa dibagi-bagi kedalam negara.
  3. Dan bahwa wilayatulfakih adalah sumber dan inti dalam menegakkan pemerintahan Islam.
  4. Dan negara yang memiliki “Ummu Al-Qura” terhadap dunia Islam pantas untuk memimpin dunia tersebut (dunia Islam).
  5. Adapun jika terjadi persinggungan antara kemaslahatan umat Islam degan eksistensi Ummu Al-Qura,maka menjaga eksistensi Ummu Al-Qura adalah lebih utama.
Tujuan Politik Luar Negeri Iran
Salah satu tujuan dari politik luar negeri Iran adalah ekspansi nilai-nilai dan ajaran revolusi Iran dalam hal ini konsep wilayatulfakih (ajaran Syiah), diantaranya dengan Tasdir As-Tsaqafah, kerjasama pendidikan dengan negara-negara Islam.
Dan tujuan penting dari politik luar negeri Iran adalah ta’min lil Ihtiyajat ad-dakhili lil Ummul al-Qura atau menjaga kebutuhan internal Ummul Al-Quro yang tak lain adalah Iran.
Tulisan ini tidak lepas dari kontroversi, melihat Iran di media massa sering kali terlibat perang opini dengan Barat dan AS pada khususnya. Namun jika kita mau mengkaji sejarah maka kita akan mengambil kesimpulan bahwa di balik perang opini media massa, Iran dan AS memiliki hubungan gelap. Dan hal ini akan kita bahas di lain kesempatan.
Wallahualam bis shawab.
Muhammad Anas | Islamicgeo
sumber:http://www.sinaimesir.net/2013/06/politik-iran-dan-pengaruh-syiah.html

Dunia Islam Diambang Kejatuhan ke Tangan Syiah?

Semua hanya karena  ketidak mampuan para pemimpin Arab memahami perubahan 'geostrategi' Barat di Timur Tengah, berakibat sangat fatal. Nampak, beberapa waktu lalu ibukota Yaman jatuh dengan mudah ke tangan milisi Syiah Hutsi, sekaligus mengubah peta kekuatan politik dan militer di negara tersebut, seharusnya menjadi sebuah warning bagi keberlangsungan entitas muslim Sunni, adanya potensi bagi Syiah mengambil alih dominasi Sunni atas dunia Islam.

Pelan tapi pasti, satu per satu negeri-negeri muslim Sunni beralih ke tangan Syiah. Dimulai dari Iran, Suriah, Libanon, menyusul Irak pasca invasi AS, dan dikuasainya pemerintahan Afghanistan oleh faksi yang pro Iran. Lebih luas lagi, secara global peran dan posisi Syiah menguat signifikan, termasuk diuntungkan oleh situasi di negara-negara yang mengalami Arab Spring. Bahkan termasuk di Indonesia, mereka memainkan peran politik yang lebih besar, melampaui statusnya sebagai minoritas.

Untuk membangunkan kaum Sunni dari tidurnya, bahwasanya telah ada proses panjang di balik pencapaian tersebut, yang benar-benar dipersiapkan dengan baik oleh kaum Syiah, untuk mengukuhkan eksistensinya. Jadi tidak begitu saja tiba-tiba menghentak muncul ke permukaan. Dan bahkan selama ini tidak disadari oleh kaum Sunni sendiri.

Tulisan ini tidak mengambil perspektif menguji kebenaran sebuah dogma, bukan untuk menghakimi suatu keyakinan, tetapi dalam perspektif usaha-usaha yang dilakukan dalam mengukuhkan hegemoni dan membangun sebuah peradaban. Di antara klaim kebenaran antara Sunni dan Syiah, baiklah masing-masing di antara kita menghargai upaya pencarian kebenaran yang hakiki, seobyektif mungkin dan tanpa prasangka. Dan masing-masing dari kita kelak akan mempertanggungjawabkannya kepada Allah.

Benturan Tanpa Henti, Memperebutkan Hegemoni Peradaban

Generasi kita lahir dalam suasana dunia Islam telah sekian lama didominasi oleh paham Sunni. Membekas dalam benak kita bahwa Sunni adalah mayoritas, sedang Syiah hanyalah minoritas. Dalam perspektif sempit ini kita bisa lengah, dengan mengasumsikan dominasi Sunni tidak mungkin tergantikan oleh Syiah, apalagi dalam waktu dekat.
Tetapi dalam perspektif yang lebih luas, di antara benturan berbagai ideologi dan peradaban, silih berganti antara kemunculannya dan keruntuhannya, sesungguhnya sejarah peradaban umat manusia tetaplah berada dalam situasi yang cair. Pintu sejarah suatu peradaban tidak pernah terkunci, sehingga tidak ada tempat yang aman bagi sebuah peradaban untuk beristirahat dan tidur dengan tenang, sekokoh apapun mereka.

Pasca dominasi Turki Utsmani, antara Syiah dengan Sunni memang bisa diibaratkan seperti semut berhadapan dengan gajah. Bagaikan menyandang sebuah mission imposible, ketika segelintir orang yang tak memiliki apa-apa berhadapan dengan sebuah peradaban besar. Tetapi di antara mereka ada cita dan idealisme untuk menaklukkan peradaban besar tersebut, meski mengawali dari sebuah langkah.

Bukan sikap mental menyerah pada ketidakmungkinan, tetapi tidak juga terjebak pada sebuah optimisme semu yang hanya akan berakhir sia-sia. Bukan hanya khayal dan angan-angan panjang, tidak cukup hanya dengan retorika-retorika kosong, tetapi membutuhkan usaha-usaha luar biasa, upaya-upaya taktis dan terukur untuk merealisasikannya. Mencari celah-celah sempit untuk menembus kukuhnya benteng dominasi Sunni, menaklukkan sebuah kemustahilan.

Bukan sebuah upaya yang mudah, perjuangan yang membutuhkan kesabaran dan waktu, bahkan lebih dari itu, ia membutuhkan strategi yang terarah pada target yang ingin dicapai. Kemampuan membaca situasi dunia, memanfaatkan berbagai friksi dan konflik kepentingan, serta bermain di antara berbagai benturan ideologi dan peradaban besar.

Memainkan Keragaman Manhaj, antara Puritanisme dan Tradisionalisme

Sebuah retakan yang bisa menjadi jalan untuk membelah besarnya dominasi Sunni dalam dua kubu yang konfrontatif. Minoritas Syiah tidak harus menghadapi mayoritas Sunni secara utuh. Dengan menjadikannya terbelah, berarti hanya perlu menghadapi sebagian saja dari keseluruhan lawan, beban menjadi lebih ringan, bahkan akan masih terbantu oleh adanya friksi internal di dalam tubuh Sunni itu sendiri. Sebuah upaya menyiasati ketidakseimbangan kekuatan.

Islam pasca Rasulullah, adanya keragaman manhaj dan madzhab menjadi sesuatu yang tak bisa diniscayakan. Melewati rentang masa yang panjang, situasi dan kultur yang bermacam-macam, potensi keragaman juga akan semakin komplek. Antara menjaga orisinalitas agama dengan mengakomodasi fleksibilitasnya akan terus memunculkan dinamika.

Nabi Muhammad berbeda dengan rasul-rasul sebelumnya, Islam yang dibawanya bukan hanya untuk satu kurun dan kaum tertentu. Adanya jaminan tidak ada lagi nabi sesudah Beliau, hanya akan ada pembaharu-pembaharu yang mengembalikan orisinalitas Islam tiap kurun tertentu. Karena bukan nabi, para pembaharu tersebut tak akan menyelesaikan sepenuhnya setiap permasalahan umat, tetapi orisinalitas Islam tak akan sepenuhnya pudar sebagaimana agama-agama terdahulu. Hal ini mengisyaratkan Islam ini didesain memadai untuk menjawab semua problematika segenap umat manusia hingga akhir zaman.

Tidak semua problematika tiap-tiap generasi diterangkan secara detail, tak mungkin tiap-tiap generasinya menghandle problematika keseluruhan generasi, Islam tak memberi beban di luar kemampuan mereka. Ada aspek-aspek yang dijelaskan secara global, menjadikan fleksibilitas Islam diterima dalam beragam kondisi dan zaman yang berbeda-beda, agar tiap-tiap generasi mampu mencerna Islam sesuai kapasitas kemampuan mereka dalam menjalankannya. Generasi abad pertama Islam tidak terbebani semua permasalahan generasi kita. Sebaliknya, bagi generasi kita akan menghadapi persoalan-persoalan baru yang belum dirumuskan secara langsung oleh generasi terdahulu.

Di antara persoalan-persoalan baru yang timbul dalam perjalanan hidup umat Islam, muncul keragaman pemahaman dan perbedaan sudut pandang dalam menyikapinya. Bahkan kemudian mengkristal menjadi friksi dalam tubuh umat seiring perjalanan panjang melewati rentang ruang dan waktu, baik dalam corak tradisionalis, puritan, modernis, konservatif dan sebagainya.

Antara menjaga kesatuan umat dan mempertahankan kemurnian agama, sering menjadi sebuah persimpangan bagi perjalanan agama ini. Islam tidak bisa tegak di atas penyimpangan, ia harus terjaga orisinalitasnya dari penyelewengan, tetapi keragaman juga akan senantiasa timbul, dan hal tersebut membutuhkan sikap obyektif dan proporsional ketika belum dapat dipertemukan. Jika tidak, hal ini akan berujung pada friksi yang tak kunjung usai dan kontraproduktif bagi umat ini sendiri.

Terlepas dari beragam rumor yang beredar di balik berbagai friksi yang terjadi, dalam catatan-catatan gelap seperti Memoar of Hempher atau Lawrence of Arabiya, yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan, tetapi kenyataannya memang dimanfaatkan pihak luar, dalam konteks kolonialisme, persaingan politik, persaingan antara Sunni dengan Syiah dan sebagainya.

Friksi antara Salafi dengan Asy’ariyah, atau dalam tataran lokal seperti polemik tentang MTA, dimainkan secara piawai termasuk kepentingan meneguhkan eksistensi Syiah dalam menghadapi Sunni. Tidak hanya memperkecil medan konfrontasi Syiah dengan Sunni, bahkan bisa menarik kedekatan Asy’ariyah dengan Syiah, pada sisi-sisi kesamaan di antara keduanya. Selangkah lebih jauh untuk mengesampingkan perbedaan akar keagamaan di antara keduanya. Friksi dengan kaum puritan membuat kalangan muslim tradisionalis memposisikan diri lebih dekat dengan Syiah.

Antara Salafi (Wahabi) dengan Asy’ariyah (Sufi), sebenarnya memiliki kesamaan akar keberagamaannya dari sisi penerimaan mushaf Utsmani, hadis kutubussitah dan madzhab empat, tetapi mengkristalkan sisi-sisi perbedaan di antara keduanya mengakibatkan terciptanya gap yang sangat lebar, penampakan praktek keagamaan di antara keduanya menjadi berbeda sama sekali, dan menjadi sulit untuk dipertemukan.

Ketika salah satu pihak didorong semakin jauh pada arus heretic beserta penyimpangannya, sedang pihak lain didorong pada arah rigid dengan keabsolutannya, tereliminasinya sisi-sisi kesamaan di antara keduanya, sekaligus mengedepankan sisi-sisi perbedaan, maka semakin sulit untuk mempertemukan keduanya, dan akhirnya menjadi dilema cukup berat yang dihadapi oleh kalangan Sunni.

Sebaliknya, antara Asyariyah dengan Syiah memiliki akar keagamaan yang berbeda sama sekali, tetapi keduanya hidup dalam tradisi yang serupa, dan mengakomodirnya, sehingga penampakannya memiliki banyak kesamaan, misalnya pada aspek tradisi ziarah kubur, istighatsah, tawasul, tasawuf, wirid-wirid dan sebagainya, sehingga semakin menarik kedekatan mereka dengan kalangan Syiah.

Menjaga eksistensi muslim Sunni membutuhkan solusi untuk menyikapi friksi yang terjadi, membutuhkan pandangan yang obyektif dan komprehensif mengenai perkara ushul dan furu’, serta berbagai ikhtilaf yang sulit disepakati, tanpa mengesampingkan upaya mencari kebenaran hakiki. Jika tidak, justru akan tersandera oleh permasalahan tersebut, sekaligus menjadi beban internal yang cukup melemahkan.

Bermain di Antara Benturan Islam Vis Neo-Kolonialisme Barat

Terlepas dari benturan abadi antara al haq dan al bathil, benturan kepentingan dalam berbagai aspeknya telah banyak menghiasi sejarah, dan akan terus berlangsung. Tidak ada kawan dan lawan abadi untuk memperebutkan supremasi dunia.

Pada era kolonialisme dan sesudahnya, kondisi dunia Islam memang didominasi oleh Sunni. Tetapi keberadaan Sunni sebagai tulang punggung dunia Islam justru menempatkannya sebagai target dari upaya kembalinya neo-kolonialisme. Ketika penjajahan secara fisik berakhir, penjajahan dalam bentuk lain, secara ideologi, politik, ekonomi, serta penguasaan SDA, terus berupaya mencengkeram dunia ke tiga, termasuk dunia Islam.

Di satu sisi, saat ini Syiah memang berada di bawah superioritas Sunni, tetapi di sisi lain dunia Islam sebenarnya sedang berada jauh di bawah superioritas kekuatan super power dunia. Barat dan Syiah sama-sama memiliki kepentingan untuk menggeser dominasi Sunni. Berpotensi menjadi sebuah kolaborasi yang apik untuk mengukuhkan eksistensi Syiah, sekaligus tantangan lebih berat yang harus dihadapi Sunni.

Secara kasat mata di permukaan, Syiah (terutama Iran dan Suriah) menjadi ikon perlawanan dunia Islam terhadap Barat, dalam hal ini Amerika dan Zionis. Tetapi dunia sedang tidak sesederhana itu, kita bukan hanya berada pada era kemajuan teknologi canggih yang menakjubkan, tetapi juga kemajuan teknologi politik yang sudah tidak sederhana, tak lagi bisa dimengerti oleh orang kebanyakan, dunia yang penuh intrik, tipu daya dan konspirasi.

Jika kita cermati dengan seksama, di balik konfrontasi antara Iran dan AS, mengapa tercipta kolaborasi indah keduanya di Irak. Tidak ada kepentingan AS untuk menjatuhkan Saddam Husain, kemudian pergi meninggalkan Irak begitu saja. Yang pasti justru kepentingan menghadiahkan negara Irak kepada Syiah, sebuah kolaborasi apik antara AS, Iran dan pemerintahan Irak yang didominasi Syiah.

Invasi AS ke Afghanistan juga berakhir dengan terwujudnya pemerintahan Afghanistan yang pro Iran. Terlalu naif jika AS hanya berkepentingan menjatuhkan Taliban kemudian meninggalkannya begitu saja. Retorika Barat untuk mengakhiri rezim Asad, di lapangan ternyata jauh panggang dari api, makin mengukuhkan keberadaan rezim Asad. Kecurigaan adanya kolaborasi antara pemerintahan Syiah Irak dan AS dalam melakukan pembiaran dan memfasilitasi kemunculan ISIS, berpotensi menjadi jalan untuk menghancurkan eksistensi Sunni yang tersisa di wilayah tersebut.

Benturan antara rezim-rezim boneka Barat dengan Islamis juga menjadi benang merah yang menghubungkan kepentingan Syiah. Yaman adalah salah satu contoh, sebuah situasi yang didesain untuk menggiring lawan-lawan politik Islamis untuk masuk dalam satu kepentingan dengan Syiah.

Benturan Islamis dengan Liberalis dan Sekuler, kemudian menempatkan salah satu kubu dalam satu kepentingan dengan Syiah, bisa merubah konstelasi Sunni-Syiah secara drastis. Apalagi jika kekuatan pro Barat, Liberalis, Sekuler, dan rezim-rezim tiran meninggalkan identitas kesunniannya, hingga Sunni akan terbatas pada Islamis saja.

Termasuk dalam tataran lokal, menarik masuk kalangan nasionalis dan abangan dalam satu kepentingan dengan Syiah menghadapi Sunni, berpotensi berubahnya konstelasi Sunni-Syiah, hingga dominasi Sunni atas Syiah kemudian berbalik.

Pelajaran untuk Islamis dan Jihadis, Sebuah Jebakan

Sempat terbawa dalam euforia sesaat kemenangan Islamis pasca Arab Spring, sebenarnya ada hal-hal di balik itu yang perlu dicermati. Jika islamis sempat menduga Barat (terpaksa) mendukung tuntutan rakyat yang menginginkan jatuhnya para tiran yang notabene boneka mereka sendiri, atau membiarkan kolega-kolega mereka jatuh, tak berdaya menghadapi gejolak arus revolusi, tentunya permasalahan tidak akan sesederhana ini.
Sebagaimana halnya ketika Jihadis menduga Barat meninggalkan medan-medan jihad karena tak mampu lagi menghadapi perlawanan mereka, persoalan juga tak sesederhana ini. Tidak mungkin Barat menyerahkan kekuasaan ke tangan Islamis begitu saja.
Tetapi di antara intrik dan strategi yang sudah sedemikian rapi, segala sesuatunya yang terjadi tentunya telah terencana, terukur dan diperhitungkan secara matang. Bukannya Barat tak mampu mempertahankan kekuasaan Husni Mubarak misalnya, tetapi memang telah ada agenda lain.
Reformasi di Indonesia yang telah terjadi beberapa tahun sebelumnya bisa menjadi cermin, bahwasanya hal tersebut bukan hanya kepentingan Islamis melawan diktator lokal, tetapi ada pihak yang sebenarnya memfasilitasi dan akan memanfaatkannya.
Berbagai revolusi dan pergolakan dijalani bersusah payah, sedang hasilnya dinikmati pihak lain. Keluar dari sebuah tiran, masuk kepada tiran lain setelahnya, bahkan lebih buruk. Sebenarnya perlu diperhatikan dengan seksama, ketika keterlibatan Islamis di garda terdepan berbagai pergolakan, revolusi dan medan jihad, ujung-ujungnya justru mengukuhkan dominasi Barat, termasuk menguatnya eksistensi Syiah.
Kita perlu melakukan evaluasi mendalam ketika Islamis hampir tidak mendapatkan apa-apa dari keterlibatannya dalam Arab Spring, justru memunculkan kediktatoran dalam bentuk lain. Mesir dan Yaman menjadi pelajaran berharga, revolusi yang bergulir dimanfaatkan betul oleh pihak lain. Demikian pula terbentuknya kelompok-kelompok Jihadis yang justru menjadi pintu masuk upaya penghancuran dan pelemahan Islamis, sekaligus penguatan rezim-rezim yang berafiliasi kepada Barat dan Syiah.
Demikian pula ketika Barat meninggalkan medan-medan jihad dengan segala persoalannya. Tentunya bukan semata kegagalan menghadapi perlawanan, tetapi ada agenda lain yang telah dipersiapkannya. Agar jangan sampai energi dan keteguhan untuk melakukan perjuangan justru dimainkan dan dimanfaatkan oleh pihak luar untuk melemahkan dan berbalik menjadi beban bagi kekuatan Islam sendiri.
Di antara tangan-tangan tak terlihat yang bermain di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi, di antara jebakan dan umpan, membutuhkan sebuah kewaspadaan, sebuah upaya menghindarkan diri agar tidak menari di atas genderang yang ditabuh orang lain.

Dunia Islam di Ambang Syiah

Ketika di satu sisi, faksi-faksi yang beragam dalam tubuh Syiah bisa memadukan gerak langkah untuk mewujudkan agenda bersama, baik Syiah Imamiyah, Zaidiyah, Alawites, lebih luas lagi mencakup kemampuan bersinergi dengan kalangan sekuler, liberal, termasuk juga dengan kekuatan luar Islam.
Di sisi lain, dunia Sunni terpecah dalam beragam kepentingan yang sulit dipertemukan, bahkan saling bertentangan, antara berbagai faksi Islamis, konflik kepentingan dengan kalangan Sekuler dan liberal, serta dengan para pemegang kekuasaan.
Arab Saudi menjadi sebuah contoh, dalam posisinya yang terjepit meluasnya pengaruh Syiah di kawasan regional, sementara mereka tidak memiliki kemampuan sumber daya, kekuatan militer, bahkan tanpa spirit yang memadai, tidak punya pilihan lain kecuali berlindung kepada Barat. Sebuah pilihan bersyarat yang membuat mereka harus bermusuhan dengan Islamis dan Jihadis. Sedang Barat sendiri tidak tulus menopang mereka, terbangun atas kepentingan yang sangat rapuh.

Menjadi ujian kedewasaan bagi Islamis, benteng terakhir entitas muslim Sunni dalam mempertahankan eksistensinya. Kedewasaan untuk memahami situasi agar tidak terjebak pada permainan dan intrik yang disetting untuk makin melemahkan Sunni itu sendiri. Baik dalam menyikapi friksi internal maupun benturannya dengan kalangan eksternal.
Sejauh mana kemampuan melakukan pendekatan dan komunikasi dengan kalangan nasionalis, atau bahkan sekuler, agar tidak terjebak pada konflik kepentingan, yang bisa menarik kalangan nasionalis, sekuler dan liberal untuk meninggalkan identitas Sunninya dan terserap ke dalam lingkaran Syiah. Sehingga komunitas Sunni makin terisolir dan terbatas pada kalangan tertentu yang makin sempit.
Demikian pula dalam mengambil posisi yang tepat terhadap rezim dan penguasa lokal, yang notabene masih muslim, dengan kebaikan dan keburukannya, agar terhindar dari benturan yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan kepada penguasa yang lebih buruk. Benturan antara Islamis dan penguasa lokal seperti yang terjadi di Libya, Sudan atau Malaysia, bisa menjadi sebuah catatan agar tidak menjadi blunder di belakang hari, yang akhirnya dimanfaatkan pihak luar untuk makin melemahkan kekuatan muslim Sunni secara keseluruhan.
Pendekatan sebaik-baiknya, di satu sisi berhadapan dengan realitas adanya kekurangan-kekurangan mereka bagi eksistensi Sunni, tetapi di sisi lain mereka adalah aset-aset kekuatan Sunni yang tersisa. Menempatkan diri menjadi solusi, mengedepankan kebijaksanaan, untuk kepentingan jangka panjang. Daripada kemudian menjadi berjarak yang semakin jauh, dan aset-aset tersebut jatuh sepenuhnya ke pihak lain.

Sebuah Optimisme, Kebenaran Akhirnya Akan Menang

Di suatu zaman yang penuh fitnah, tantangan mengepung umat ini dari segala penjuru, permasalahan yang dihadapi sangat komplek, upaya-upaya untuk memadamkan cahaya Islam akan semakin pelik, dan semua ini tidak cukup hanya dihadapi secara emosional buta.

Kebenaran memang akan menang, keadilan akan tegak, menjadi buah kebaikan bagi kehidupan, tetapi harus melewati berbagai rintangan tersulit. Sedang takdir yang baik senantiasa bersama upaya-upaya terbaik. Tidak dengan cara-cara curang, menghalalkan segala macam cara, tetapi bukan pula sikap bodoh dan mudah diperdaya.

Dalam keterbatasannya, di tengah berbagai stigma buruk dan kesulitan yang menimpa, nyatanya tetap terlahir manusia-manusia yang akal pikirnya memiliki kesadaran, yang mengenali Islam sebagai sebuah mutiara, sebuah nilai unggul yang akan menjadi solusi bagi permasalahan dunia. Bukan untuk menguasai dan menaklukkan manusia-manusia lain, tetapi untuk membebaskan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang hakiki.

Menjadi sebuah pertanyaan tersisa, apakah sebuah peradaban yang dibangun dengan aliansi dengan kebatilan, akan bisa menjadi tujuan bagi para pencari kebenaran yang hakiki?

Terlepas dari benturan abadi antara al haq dan al bathil, benturan kepentingan dalam berbagai aspeknya telah banyak menghiasi sejarah, dan akan terus berlangsung. Tidak ada kawan dan lawan abadi untuk memperebutkan supremasi dunia.

Pada era kolonialisme dan sesudahnya, kondisi dunia Islam memang didominasi oleh Sunni. Tetapi keberadaan Sunni sebagai tulang punggung dunia Islam justru menempatkannya sebagai target dari upaya kembalinya neo-kolonialisme. Ketika penjajahan secara fisik berakhir, penjajahan dalam bentuk lain, secara ideologi, politik, ekonomi, serta penguasaan SDA, terus berupaya mencengkeram dunia ke tiga, termasuk dunia Islam.

Di satu sisi, saat ini Syiah memang berada di bawah superioritas Sunni, tetapi di sisi lain dunia Islam sebenarnya sedang berada jauh di bawah superioritas kekuatan super power dunia. Barat dan Syiah sama-sama memiliki kepentingan untuk menggeser dominasi Sunni. Berpotensi menjadi sebuah kolaborasi yang apik untuk mengukuhkan eksistensi Syiah, sekaligus tantangan lebih berat yang harus dihadapi Sunni.

Secara kasat mata di permukaan, Syiah (terutama Iran dan Suriah) menjadi ikon perlawanan dunia Islam terhadap Barat, dalam hal ini Amerika dan Zionis. Tetapi dunia sedang tidak sesederhana itu, kita bukan hanya berada pada era kemajuan teknologi canggih yang menakjubkan, tetapi juga kemajuan teknologi politik yang sudah tidak sederhana, tak lagi bisa dimengerti oleh orang kebanyakan, dunia yang penuh intrik, tipu daya dan konspirasi.

Jika kita cermati dengan seksama, di balik konfrontasi antara Iran dan AS, mengapa tercipta kolaborasi indah keduanya di Irak. Tidak ada kepentingan AS untuk menjatuhkan Saddam Husain, kemudian pergi meninggalkan Irak begitu saja. Yang pasti justru kepentingan menghadiahkan negara Irak kepada Syiah, sebuah kolaborasi apik antara AS, Iran dan pemerintahan Irak yang didominasi Syiah.

Invasi AS ke Afghanistan juga berakhir dengan terwujudnya pemerintahan Afghanistan yang pro Iran. Terlalu naif jika AS hanya berkepentingan menjatuhkan Taliban kemudian meninggalkannya begitu saja. Retorika Barat untuk mengakhiri rezim Asad, di lapangan ternyata jauh panggang dari api, makin mengukuhkan keberadaan rezim Asad.

Kecurigaan adanya kolaborasi antara pemerintahan Syiah Irak dan AS dalam melakukan pembiaran dan memfasilitasi kemunculan ISIS, berpotensi menjadi jalan untuk menghancurkan eksistensi Sunni yang tersisa di wilayah tersebut.

Benturan antara rezim-rezim boneka Barat dengan Islamis juga menjadi benang merah yang menghubungkan kepentingan Syiah. Yaman adalah salah satu contoh, sebuah situasi yang didesain untuk menggiring lawan-lawan politik Islamis untuk masuk dalam satu kepentingan dengan Syiah.

Benturan Islamis dengan Liberalis dan Sekuler, kemudian menempatkan salah satu kubu dalam satu kepentingan dengan Syiah, bisa merubah konstelasi Sunni-Syiah secara drastis. Apalagi jika kekuatan pro Barat, Liberalis, Sekuler, dan rezim-rezim tiran meninggalkan identitas kesunniannya, hingga Sunni akan terbatas pada Islamis saja.
Termasuk dalam tataran lokal, menarik masuk kalangan nasionalis dan abangan dalam satu kepentingan dengan Syiah menghadapi Sunni, berpotensi berubahnya konstelasi Sunni-Syiah, hingga dominasi Sunni atas Syiah kemudian berbalik.

Pelajaran untuk Islamis dan Jihadis, Sebuah Jebakan

Sempat terbawa dalam euforia sesaat kemenangan Islamis pasca Arab Spring, sebenarnya ada hal-hal di balik itu yang perlu dicermati. Jika islamis sempat menduga Barat (terpaksa) mendukung tuntutan rakyat yang menginginkan jatuhnya para tiran yang notabene boneka mereka sendiri, atau membiarkan kolega-kolega mereka jatuh, tak berdaya menghadapi gejolak arus revolusi, tentunya permasalahan tidak akan sesederhana ini.

Sebagaimana halnya ketika Jihadis menduga Barat meninggalkan medan-medan jihad karena tak mampu lagi menghadapi perlawanan mereka, persoalan juga tak sesederhana ini. Tidak mungkin Barat menyerahkan kekuasaan ke tangan Islamis begitu saja.

Tetapi di antara intrik dan strategi yang sudah sedemikian rapi, segala sesuatunya yang terjadi tentunya telah terencana, terukur dan diperhitungkan secara matang. Bukannya Barat tak mampu mempertahankan kekuasaan Husni Mubarak misalnya, tetapi memang telah ada agenda lain. Reformasi di Indonesia yang telah terjadi beberapa tahun sebelumnya bisa menjadi cermin, bahwasanya hal tersebut bukan hanya kepentingan Islamis melawan diktator lokal, tetapi ada pihak yang sebenarnya memfasilitasi dan akan memanfaatkannya.

Berbagai revolusi dan pergolakan dijalani bersusah payah, sedang hasilnya dinikmati pihak lain. Keluar dari sebuah tiran, masuk kepada tiran lain setelahnya, bahkan lebih buruk. Sebenarnya perlu diperhatikan dengan seksama, ketika keterlibatan Islamis di garda terdepan berbagai pergolakan, revolusi dan medan jihad, ujung-ujungnya justru mengukuhkan dominasi Barat, termasuk menguatnya eksistensi Syiah.

Kita perlu melakukan evaluasi mendalam ketika Islamis hampir tidak mendapatkan apa-apa dari keterlibatannya dalam Arab Spring, justru memunculkan kediktatoran dalam bentuk lain. Mesir dan Yaman menjadi pelajaran berharga, revolusi yang bergulir dimanfaatkan betul oleh pihak lain. Demikian pula terbentuknya kelompok-kelompok Jihadis yang justru menjadi pintu masuk upaya penghancuran dan pelemahan Islamis, sekaligus penguatan rezim-rezim yang berafiliasi kepada Barat dan Syiah.

Demikian pula ketika Barat meninggalkan medan-medan jihad dengan segala persoalannya. Tentunya bukan semata kegagalan menghadapi perlawanan, tetapi ada agenda lain yang telah dipersiapkannya. Agar jangan sampai energi dan keteguhan untuk melakukan perjuangan justru dimainkan dan dimanfaatkan oleh pihak luar untuk melemahkan dan berbalik menjadi beban bagi kekuatan Islam sendiri.

Di antara tangan-tangan tak terlihat yang bermain di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi, di antara jebakan dan umpan, membutuhkan sebuah kewaspadaan, sebuah upaya menghindarkan diri agar tidak menari di atas genderang yang ditabuh orang lain.
(abimantrono anwar/dbs/voa-islam.com)


Syaikh Ali Al Ammary: Amerika Meridhoi Penyebaran Ajaran Syiah

Peneliti dan Pengkaji ajaran Syi’ah dari Lajnah Pembela Sunnah, Syaikh Ali Al Ammary menyatakan Amerika dan Barat meridhoi ajaran Syiah tersebar di seantero dunia. Pasalnya, penyebaran Syiah yang kian pesat di negeri-negeri kaum Muslimin dan negara-negara lainnya tidak mendapatkan hambatan berarti apapun meski selama ini kaum Syiah menggembar-gemborkan anti terhadap Barat.
“Semenjak Revolusi Syiah di Iran, mereka mengaku anti Amerika dan Barat. Khomeini pernah mewasiatkan agar pemerintah Iran membantu penyebaran Syiah. Tetapi, saya heran mengapa ajaran mereka bisa berkembang tetapi Amerika diam saja. Diamnya Amerika menandakan meridhoi perkembangan Syiah,” Kata Syaikh Ali dalam kunjungannya di Kantor Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jl.Kramat Raya No.35, Jakarta Pusat.
Fakta tersebut, menurutnya menjadi salah satu bukti dari sekian banyak yang tidak terungkap dan terungkap di masyarakat dunia. Khomeini sendiri, menurut Syaikh Ali menggulirkan revolusi Syiah melawan Syah Reza Iran dibantu oleh barat. Khomeni yang sebelumnya berada di Najaf, Iraq dilobby pihak barat untuk datang ke Perancis membicarakan sejumlah konspirasi.
“Ada deal-deal tertentu antara Khomeini dan Barat sebelum revolusi berlangsung, hal itu mereka lakukan di Prancis. Barat sudah tidak suka dengan Syah Reza maka didukunglah Khomeini. Anda bisa lihat Khomeini kembali ke Iran dengan mengunakan pesawat Perancis dan dikawal oleh orang-orang Perancis berkulit putih,” ungkapnya.
Untuk menguatkan argumentasinya, Syaikh Ali menceritakan bagaimana Khomeini ketika berada di Perancis memberikan pidato agitatifnya mampu didengar oleh seluruh rakyat Iran di penjuru negeri Mullah itu. Padahal, ketika itu teknologi teleconference belum dikenal.
“Teknologi seperti itu hanya dimiliki oleh negara-negara tertentu. Jika ini bukan dibantu oleh barat. Lantas oleh siapa?” tanya Syaikh Ali Retoris.
Dalam kesempatan dialog yang panjang tersebut, Syaikh Ali banyak mengulas latar belakang sejarah munculnya kembali kekuatan Syiah yang dibelakangnya dimainkan oleh tangan-tangan Barat untuk menghancurkan umat Islam dari dalam.
“Mereka mencoba menghancurkan Islam melalui tangan-tangan orang munafik yang secara zhohir mirip dengan kita, namun menyimpang,” tuturnya.
http://www.alislamu.com/4763/syaikh-ali-al-ammary-amerika-meridhoi-penyebaran-ajaran-syiah/
Amerika Serikat dan Iran Bergandeng Tangan Menghancurkan Muslim Sunni

Wawancara Presiden AS Barack Obama dengan New York Times, sekalipun bernilai propaganda bagi kepentingan Amerika tentang hasil sepakatan awal dengan Iran.
Namun, dampak wawancara Obama itu  tidak dapat diabaikan. Pernyataan Obama menimbulkan ketakutan dikalangan para pemimpin Arab, khususnya di kawasan Teluk.
Thomas Friedman, seorang kolumnis terkemuka yang menulis di  Times, dan mempunyai pengaruh yang sangat luas, melakukan wawancara dengan Barack Obama. Tentu, wawancara Friedman dengan Obama menjadi perdebatan yagn luas.
Apa isis wawancara Friedman dengan Obama yang  yang menjadi perdebatan dikalangan para pemimpin Arab? Obama memuji rezim Iran dan membenarkan tindakan kebijakannya, dibagina lain Obama menyiratkan rasa bersalah atas kebijakan Amerika terhadap Iran.
Ini menggambarkan perubahan yang sangat mendasar ‘geostraregi’ Amerika atas Timur Tengah dan kawasan Teluk, dan adanya pendekatan baru terhadap Iran, yang dahulu disebut oleh Presiden George W.Bush sebagai ‘evil’ (setan).
Amerika Serikat selama ini menempatkan Iran sebagai musuh dan ‘ancaman’ keamanan global, dan bahkan posisi Iran disamakan denan Korera Utara yang sama-sama disebut sebagai rezim ‘evil’. Iran terus melakukan ekspansi ke seluruh Timur Tengah dan Telu, dan mempraktekan kekerasan dengan membangun kekuatan milisi dan  mempersenjatai mereka.
Iran  bertanggung jawab atas sebagian besar kekerasan di wilayah itu di bawah bendera ‘Revolusi Islam’, yang sejatinya bentuk ekspansi ideology Syi’ah, yang dibungkus dengan ‘Revolusi Islam’.
Dalam waktu lebih dari 20 tahun, sejak Ayatullah Khomeini menggulingkan rezim Syah Iran, terus dikkumandangkan ‘Revolusi Islam’, sembari mengumbar ancaman terhadap Zionis-Israel.
Obama meminta maaf kepada rezim Iran dan memuji negara 'mulah' itu telah bermurah hati serta atas karunia Tuhan dengan tercapainya perjanjian nuklir.
Dibagina lain, Obama bersikap lembek terhadap rezim Syi’ah Bashar al-Assad yang telah  menimbulkan bencana kemanusiaan.  Ini fakta baru tentang perubahan ‘geostrategi’ Amerika Serikat, yang merangkul Syi’ah, dan menjadi Iran sebagai alat baru menghancurkan kekuatan Islam Sunni di Timur Tengah dan Teluk.
Dibagian lain, bagaimana Obama bisa  memberikan pujian kepada Iran, dan melakukan perubahan kebijakannya, dan memilih Iran sebagai ‘partner’ baru di Timur Tengah? Padahal, Iran terlibat kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Suriah, Irak, dan Yaman yang mempunyai dampak sangat luas bagi keamanan regional di Timur Tengah?
Semua perubahan  ‘geostraregi’ Amerika Serikat  dan Presiden Obama memiliki tujuan yang sangat membahayakan, yaitu ingin melikwidasi memusnahkan kelompok Sunni yang dipandang menjadi ancamanan lebih nyata di masa depan. Terutama  Arab Saudi.
Karena itu para pengamat politik mengatakan, bahwa munculnya radikalisme, fundamentalisme, dan termasuk kelompok-kelompok militan bersumber dari ajaran Mohamad bin Abdul Wahab yang dikenal dengan faham : WAHABI.
Amerika dan Iran bergandeng tangan ingin menghancurkan kelompok Sunni yang dinilai menjadi sumber malapetaka dunia dengan ajaran WAHABI. Ini hakekat yang sebenarnya peristiwa politik yang menyertai hubungan antara Amerika dengan Iran, termasuk tercapainya perjanjian antara Barat, Amerika dengan Iran tentang senjata nuklir.
Seperti yang terjadi di Irak. Di mana Ayatullah Ali  Khamenei dan Presiden Iran Rouhani telah melakukan pembicaran rahasia, dan mengirim surat rahasia, yang intinya soal Irak, di barter dengan dukungan Iran kepada Amerika membasmi ISIS, sebaliknya Amerika mendukung program nuklir Iran. Ini terbukti dengan tercapainya perjanjian nuklir antara Amerika - Iran. Wallahu’alam. *mashadi/dtta


2015, AS Hapus Iran dan Syiah Hizbullah Lebanon dari Daftar Teroris

Badan Intelijen Nasional AS, CIA, menghapus negara Iran dan milisi bentukannya Hizbullah Lebanon dari daftar organisasi teroris yang mengancam Amerika Serikat selama tahun 2015 ini, seperti dilansir arabi21.com, Selasa (17/03).
Hal tersebut diketahui dalam konferensi pers yang digelar badan intelijen AS di Washington. Para wartawan terkejut tidak ada nama Iran dan Syiah Hizbullah Lebanon ketika badan intelijen AS membacakan daftar organisasi “teroris” yang mengancam AS.
Hal itu berbeda dengan laporan sebelumnya, di mana CIA menyebutkan bahwa Iran adalah ancaman serius bagi kepentingan AS karena mendukung Bashar Assad di Suriah, anti Israel dan mengembangkan kemampuan militernya.
Menurut laporan CIA tersebut, meski saat ini Iran berupaya memperluas pengaruhnya di Timur Tengah dan mendukung milisi Syiah, mereka ingin mencapai ketenangan di kawasan Arab. Iran, tambah CIA, juga ingin memperbaiki hubungan dengan Arab Saudi.
Sementara itu, surat kabar Makor Rishon menyebutkan dalam laporannya bahwa pernyataan yang dikeluarkan CIA itu menunjukkan bahwa hubungan AS dan Iran mulai membaik.
Dihapusnya Iran dan Hizbullah dalam daftar negara dan organisasi yang mengancam AS menunjukkan membaiknya hubungan Iran dengan AS. Sebagaimana diketahui, Iran selama ini memosisikan diri seakan-akan anti AS. Namun, negara Syiah itu tidak terlihat melakukan langkah-langkah untuk melemahkan negara tersebut.
Yang juga menjadi perhatian dari laporan itu, CIA tidak memasukan milisi Syiah Iraq, Al-Hasd Al-Syakbi, meski Amnesty Internasional telah menyatakan milisi itu melakukan kejahatan terhadap warga sipil. CIA hanya mencukup Jabhah Nusrah dan ISIS serta sejumlah gerakan jihad lainnya menjadi kelompok ‘teroris’.

Salman Al-Ouda: Hizbulah Kirim Pasukan ke Banyak Negara Tapi Tidak Masuk Daftar Teroris

Ulama dan dai asal Arab Saudi, Dr. Salman Al-Ouda, mengritik kelompok Syiah bersenjata di Libanon, Hizbulah, yang melakukan intervensi militer di berbagai negara Arab, seperti Suriah, Irak, dan Yaman.
Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi Aljazeera, Senin (30/3/2015) kemarin, Dr. Al-Ouda mengatakan, “Di seluruh dunia, tidak ada hizb (partai) yang seperti Hizbulah. Jamaah ini mempunyai pasukan militer yang sangat kuat. Lebih kuat dari pasukan militer negaranya sendiri, Libanon. Anehnya, jamaah ini juga mempunyai pengaruh kuat di Suriah.”
Menurut Dr. Al-Ouda, Hizbulah bahkan sudah pernah mengakui secara terang-terangan bahwa pihaknya melakukan intervensi dalam krisis politik di Irak. Lalu sekarang, Hizbulah juga dinilai telah mengintervensi politik dan militer di Yaman. Mereka benar-benar membantu kelompok bersenjata Syaih Hutsi.
Dr. Al-Ouda juga menekankan bahwa Hizbulah juga sebenarnya berperan kuat dalam mempengaruhi politik di beberapa negara Teluk. “Anehnya, walaupun demikian, milisi ini tidak dimasukkan dalam daftar organisasi teroris,” demikian Dr. Al-Ouda merasa heran.
Pemberitaan berbagai krisis di dunia Arab juga dikritik Dr. Al-Ouda. Beliau mengatakan, “Banyak stasiun televisi di dunia Arab dan Teluk yang menggambarkan bahwa ‘industri kematian’ berstempelkan Sunni. Kenapa tidak ada media yang mengungkap bahwa Syiah dan Zionis juga kerap melakukan aksi terorisme?”


Eropa dan Dunia Islam punya 'overlap' kepentingan terkait masalah Suriah 

Eropa dan dunia Islam punya 'overlap' kepentingan terkait masalah Suriah, yaitu:



                                    


1. Mengharapkan jatuhnya teroris Basyar al-Assad secepat mungkin. Berbeda dengan Amerika, negara Eropa seperti Inggris menganggap tidak ada solusi politik lain di Suriah selain hancurnya rezim tersebut, kejahatannya sudah bisa dinegosiasi lagi. Sedangkan Amerika masih pikir-pikir karena ini terkait maslahat bagi Israel, apalagi Basyar sudah terbukti menjadi "anak baik" di "halaman belakang" negara Zionis itu (lihat peta).



2. Bantuan kemanusiaan terhadap rakyat Suriah. Harus diakui banyak LSM-LSM dari Eropa melakukan aktivitas kemanusiaan yang sangat signifikan di Suriah (aktivisnya ada yang disembelih oleh Khawarij). Negara mereka menjadi donatur yang sangat besar bagi Suriah, sebagaimana negara-negara Arab dan negeri kaum Muslimin lainnya. Eropa juga memberikan banyak jatah bagi para pengungsi dan pencari suaka, dimana hal itu justru bisa meningkatkan jumlah umat Islam di sana.


Namun di luar adanya kesamaan kepentingan tersebut, ada pula perbedaan sangat tajam. Yaitu Eropa tidak ingin Suriah di masa depan menjadi negara Islam dan menerapkan syari'at Islam, atau apapun yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka.
(Risalah)