Wednesday, March 18, 2015

Subhanallah, Kepala Initelijen Kurdistan Masrour Barzani : Syi'ah Lebih Bahaya Dari ISIS [ Mudah-mudahan Raja Saudi Salman bin Abdulaziz berpendapat serupa dan Meninggalkan Pasukan Koalisi ], Marg bar Syi’i !

BAGDAD - Kepala Dinas Intelijen di Kurdistan Irak, Masrour Barzani, menyatakan keprihatinannya tentang peran milisi Syiah yang didukung Iran yang bermain bersama tentara Irak untuk mendapatkan kembali kendali atas kota Tikrit dari ISIS.
Dalam sebuah wawancara dengan media Baat,  Barzani mengatakan bahwa keterlibatan milisi Syi'ah  oleh  pemerintah Irak  mengarah ke yang lebih besar dan lebih berbahaya daripada masalah ISIS. Karena keterlibatan milisi  Syi'ah akan semakin  meningkatkan ketegangan antara golongan Sunni dan Syiah di negara itu.
Barzani mengkritik keras pemerintah Baghdad yang menggunakan milisi Syiah untuk mengambil kembali kendali kota Salahuddin. "Ini akan menghasilkan masalah yang lebih besar daripada ISIS. Kita semua harus melihat masalah ini sebagai perang melawan organisasi, kita harus berjuang bersama-sama menghadapi ISIS, tetapi jika pembalasan atau balas dendam yang terjadi antara sekte atau agama atau kelompok etnis, masalah ini tentu akan menjadi lebih sulit", kata Barzani.
Pejabat Kurdi menambahkan: "Negara Islam adalah hasil dari kesalahan politik di negeri ini dan di wilayah,  ada Al-Qaeda, ISIS hari ini, besok mungkin ada sesuatu yang lain". Lahirnya al-Qaedah, ISIS dan berbagai kelompok perlawanan yag tumbuh di Irak, memiliki akar sejarah yang sangat mendalam. Tapi, jika sekarang pemerintah Irak meminta dukungan Iran dan milisi Syi'ah ini, berarti akan mengaduk-ngaduk seluruh dunia Arab.
Dengan perang antara Sunni - Syi'ah  tidak akan pernah selesai, dan terus berkembang lebih luas. Ini sangat berbahaya, dan seharusnya pemerintah Irak tidak memasukkan milisi Syi'ah  dan pasukan reguler Iran ke Irak, ini sangat berbahaya bagi masa depan Irak. 


Isu ISIS yang tengah menghangat di Indonesia dan dunia internasional karena blow up media-media sekuler barat, demikian juga dengan media-media di negeri ini yang ikut membebek dan berkiblat ke barat.
Kebengisan tentara ISIS yang melampaui batas ini dimanfaatkan oleh Syiah untuk menghantam Ahlussunnah secara umum. Kebiadaban yang dilakukan oleh Basyar Al Assad dan pasukannya terhadap kaum muslimin Suriah kini terlupakan oleh berita ISIS. Kemudian Syiah menghembuskan opini bahwa Ahlussunnah adalah kumpulan orang-orang yang kejam. Padahal Ahlussunnah sendiri sepakat bahwa ISIS adalah kelompok sesat.
Ustadz Firanda Andirja dalam kajian “Sikap Seorang Muslim dalam Menghadapi Isu ISIS” di masjid Darul Ilmi PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) Rabu (3/9/2014) mengatakan, Syiah sengaja memanfaatkan isu ISIS untuk menghantam Ahlussunnah.
“ISIS adalah isu yang banyak dimanfaatkan oleh banyak pihak, diantaranya adalah Syiah,” kata ustadz Firanda.
Ustadz Firanda menambahkan, ucapan para tokoh Syiah tentang ISIS diarahkan kepada Ahlussunnah dan untuk membentuk opini publik bahwa biang radikalisme berasal dari Ahlussunnah bukan Syiah.
“Jalaluddin Rakhmat, tokoh Syiah Indonesia mengatakan bahwa ciri-ciri ISIS adalah tauhid, jadi kalau yang sering membahas tauhid maka dia adalah ISIS,” ujarnya.
Pengajar di masjid Nabawi ini menegaskan bahwa ISIS memang berbahaya tetapi Syiah juga sangat berbahaya.
“Syiah adalah bahaya yang terorganisir (sudah ada dari zaman Sahabat), dan isu ISIS ini dimanfaatkan oleh Syiah untuk menjatuhkan Ahlussunnah,” terangnya.
ISIS juga, kata mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah ini, bukan hanya dimanfaatkan oleh Syiah tapi oleh orang-orang kafir juga.
“Orang-orang kafir memanfaatkan sepak terjang ISIS ini untuk menjatuhkan Islam,” paparnya.(iz/gemaislam)

Tanggapi Komentar Kang Jalal, MUI Jatim: Syiah Lebih Berbahaya dari ISIS

KIBLAT.NET, Jakarta – Menanggapi pernyataan gembong Syiah Indonesia, Jalaludin Rakhmat, pengurus MUI Jawa Timur dan Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur, Habib Achmad bin Zein Al-Kaff menyatakan justru keberadaan syiah lebih berbahaya daripada ISIS di Indonesia.
Kami Front Anti Aliran Sesat (FAAS) siap menghancurkan Syiah di Indonesia tanpa bantuan ISIS. Sebab Syiah lebih bahaya dari ISIS,” ujar Habib Achmad bin Zein Al-Kaff kepada Kiblat.net, Selasa, (05/08) malam.
Seperti diberitakan Kiblat.net sebelumnya, Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaludin Rakhmat menuding bahwa akar masalah konflik di Indonesia adalah umat Islam ahlussunnah yang anti terhadap syiah. Ia juga menuding MUI dan sejumlah parpol dan ormas Islam membantu ISIS untuk menghancurkan Syiah. ( ?? sakit )
“Kelompok anti-Syiah adalah prospek utama pemicu konflik di Indonesia, dengan membantu ISIS untuk menghancurkan Syiah. Kelompok tersebut seperti MUI, MIUMI, dan orang-orang di PKS tidak menyukai Syiah,” tuding caleg PDI-P yang akan melenggang ke Senayan ini dalam acara bertajuk “ Tolak ISIS, Umat Beragama & Kepercayaan Menolak ISIS di Indonesia yang digelar di Galeri Cafe, Jakarta, Senin, (04/08).
Habib Zein Al-Kaff mengatakan, ketimbang ISIS, masih ada sederet aliran-aliran sesat yang tumbuh subur di Indonesia seperti Syiah, JIL, dan Ahmadiyah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah. ( masya Allah )
“Aliran-aliran sesat tumbuh subur di Indonesia karena pemerintah tidak tegas, tapi ISIS lebih mudah dideteksi karena gerakannya jelas, berbeda dengan aliran sesat yang bersifat menyusup memiliki misi dan kekuatan finansial yang cukup besar,” tambahnya.




Azyumardi Azra: Islam Indonesia beda dengan Islam Arab [ Banyak Statemennya menunjukan Kedengkian Luar Biasa Terhadap Bangsa Arab, Agama di Akal-akalin ]

Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra menilai Islam Indonesia berbeda dengan Islam di Arab. Islam Indonesia menurutnya bercorak kehidupan Bahari.
“Indonesia ini satu-satunya negeri mayoritas Muslim atau majority muslim country yang hidup di alam bahari atau kelautan,” katanya dalam bedah buku Agama dalam Kearifan Bahari karya Radar Pancha Dharma di Cipta Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu (18/2015).
Kebudayaan bahari ini, lanjutnya, melahirkan keislaman yang khas dan distingtif (berbeda). Karena, menurut dia corak alam Indonesia tidak memberi tempat bagi radikalisme. Oleh karena itu, menurutnya gerakan radikalisme di Indonesia secara sosilogis dikembangkan oleh orang-orang keturunan Timur-Tengah.
“Gerakan radikal, bukan dikembangkan oleh indigenous muslim (Muslim lokal), seperti saya yang indigenous Muslim, 100 % Minang,” akunya.
Islam Indonesia yang bercorak maritim, menurutnya memiliki ciri-ciri diantaranya, pusat pemerintahan kerajaan Islam di Indonesia 95 persen menempati wilayah pesisir. Corak maritim ini, melahirkan Islam yang berkarakter kosmopolitan atau mendunia.
“Karena berpusatnya di kota-kota pelabuhan yang selalu didatangi pedagang mancanegara, jadi kosmopolit atau mendunia.Sehingga, mereka terbuka atau inklusif, berbeda dengan Islam di pedalaman,” tuturnya.
Menurut Azra, karakter inklusif ini muncul untuk menopang kehidupan sehari-hari Muslim pesisir yang harus melakukan kontak ekonomi dengan pedagang dari berbagai latar belakang bangsa dan kepercayaan.
“Kalau mereka tidak bersikap inklusif, bagaiman mereka bisa berdagang,” ungkapnya.
Karakter Muslim bercorak maritim selanjutnya adalah fluid atau cair, mereka bersikap akomodatif. Azra menilai, tidak ada bangsa Muslim lainnya yang memiliki corak maritim seperti Indonesia. Umumnya, negara Muslim lainnya pusat pemerintahannya berada di pedalaman. “Pusat pemerintahan kita juga masih di pesisir, seperti Jakarta,” ungkapnya.
Dia menambahkan, ketika budaya Islam pesisir masuk ke pedalaman, terjadi proses akomodasi terhadap budaya pedalaman. hal ini ditunjang, dengan karakter Indonesia yang tidak memiliki kebangaan pada tribalisme atau kabilah.
“Kita memang ada suku bangsa, tapi sikap fluid itu yang membuat suku-suku saling mengakomodasi,” klaimnya.
Sementara, lanjut Azra, kehidupan Muslim di Timur Tengah lebih bercorak kebudayaan padang pasir yang keras. Sehingga, karakter keras itu diidentifikasi sebagai keislaman disana. Situasi di Timur Tengah menurutnya tidak memberi ruang bagi toleransi atau tepo seliro seperti di Indonesia. “Makanya, di sana menjadi pusat konflik, terutama setelah perang dunia ke-2,” tegasnya.
Bagaimana pendapat Anda?

Islam yang Satu. Tak Ada yang Arab, Tak Ada yang Indonesia

Pendapat Azyumardi Azra tentang perbedaan Islam Arab-Islam Indonesia  [baca berita sebelumnya] pernah dibantah  oleh Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto. Menurutnya Islam di Indonesia berbeda dengan di Arab hanya karena faktor sosiologis terkait penampilan wajah umat Islam.
Kata Ismail, Islam memang berbeda-beda dalam tampilannya di tiap negara. Perbedaan itu muncul karena ada interaksi budaya, adat istiadat, dan kearifan lokal yang berbeda.
“Tampilan umat Islam di tiap negara pasti berbeda-beda karena memiliki latar budaya berbeda,” katanya kepada Ismail saat dihubungi Kiblat.net, pada Rabu (11/2).
Namun, menurut Ismail Islam sangat universal. Di negara manapun, Islam sangat cocok untuk tumbuh dan berkembang.
“Islam tidak berbenturan dengan bangsa manapun,” tandasnya.
Adapun, Sekjen Forum Umat Islam, Ustadz Muhammad Al Khaththath menegaskan Islam yang perlu dianut umat Islam di dunia dan di Indonesia adalah Islam model Rasulullah SAW bukan Islam versi mana pun.
“Sebab Rasulullah SAW adalah satu-satunya model Islam. Tidak ada model lain, apalagi Islam model Indonesia,” katanya kepada Kiblat.net pada Selasa (10/2).
Menurut beliau, agama Islam bukan hasil buatan manusia, sehingga Islam tidak memiliki varian yang diukur dari nilai suatu daerah.
“Islam bukan produk budaya masyarakat atau bangsa tertentu. Jadi, tidak ada Islam model Arab Saudi atau model Islam Indonesia,” ucap Ustadz Khaththath.

Syarif Baraja: Islam Ala Indonesia Berarti Bukan Islam Ala Sahabat Nabi SAW

Dai muda dan Motivator ‘Sholat For Success’, Ustadz Syarif Baraja menolak pandangan Menteri Agama yang meminta agar Islam moderat atau Islam ala Indonesia dikembangkan. Menag beralasan, model Islam ala Indonesia menjadi harapan para ilmuwan di dalam dan di luar negeri.
“Islam ala Indonesia itu berarti bukan Islam ala Sahabat Nabi shalallahu alaihi wassalam,” katanya menanggapi pertanyaan dari pertemanan Facebooknya, pada Senin (9/2).
Menurut da’i muda yang memiliki 30 ribu follower twitter ini, para ilmuwan bukanlah standar kebenaran untuk menentukan Islam mana yang cocok diterapkan oleh umat Islam baik di Indonesia ataupun di luar negeri.
“Para ilmuwan itu bisa kasih apa di akhirat nanti? Bagaimana jika Islam yang diharapkan para ilmuwan itu berbeda dengan Islam yang diharapkan oleh Allah?” tanyanya retoris.
Seperti diketahui, dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukman Hakim menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Lukman pada Ahad lalu (08/02).

Menag: Islam Ala Indonesia Bukan Islam yang Terlalu Hitam-Putih
[Korupsi/Riba belum tentu Haram, bisa diatur ???] 

Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin kembali menegaskan apa yang ia maksud sebagai Islam ala Indonesia atau Islam Nusantara.
“Islam Nusantara itu ialah Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang penuh dengan kedamaian, Islam yang bisa hidup di tengah keragamaan. Karena hakikatnya Indonesia adalah bangsa yang sangat besar dan penuh dengan keragaman,” jelas Lukman Hakim kepada Kiblat.net usaiacara Launching Musabaqah Kedubes Saudi di Hotel Raffles, Jakarta, tadi malam (11/02).
Menurut beliau, para pendahulu kita telah mewariskan ajaran Islam yang toleran dan rahmatan lil alamin. Sehingga, mampu melihat perbedaan itu sebagai keragaman yang variatif bukan yang kontradiktif.
“Saya lebih senang menyebut perbedaan sebagai keragaman. Itu adalah dalam rangka untuk saling melengkapi dan mengisi sehingga saling menyempurnakan kita manusia yang pada dasarnya terbatas,” tambahnya.
Lukman menambahkan, Islam ala Indonesia bukanlah Islam yang terlalu hitam-putih, yang mudah untuk menyalah-nyalahkan atau bahkan mengkafirkan.
“Karena beberapa negara sudah mulai ke arah sana sehingga di era globalisasi ini agar paham-paham seperti itu tidak terlalu mempengaruhi umat Islam Indonesia yang sesungguhnya mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu Islam Nusantara itu,” jelas Lukman.
Seperti diberitakan Kiblat.net sebelumnya, dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam ala Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (8/2/2015).

Islam ala Indonesia Tolak Syariat, Islam Ala Rasulullah SAW Terapkan Syariat

Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Ustadz Muhammad Al-Khaththath menanyakan apa yang dimaksud dengan Islam moderat dan Islam ala Indonesia.
Apakah Islam moderat itu yang dimaksud adalah menolak syariat Islam berlaku dalam kehidupan bernegara? Jika seperti itu, sudah tentu bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
“Islam yang dibawa Rasulullah SAW itu justru ditegakkan dan diterapkan dengan negara,” katanya kepada Kiblat.net pada Selasa (10/2). Hal itu diutarakannya ketika menanggapi pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Syaefuddin tentang perlunya mengembangkan Islam ala Indonesia.
Lanjutnya, Nabi SAW memutuskan perkara-perkara di masyarakat dengan hukum Islam yang diturunkan Allah SWT kepada beliau SAW seperti dijelaskan oleh QS Al-Maidah: 48-49.
Sementara, tidak mungkin memutuskan perkara di masyarakat kalau ia bukan seorang pejabat negara.
“Bukankah sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kita tidak boleh main hakim sendiri. Artinya, negara tidak punya wewenang memutuskan perkara persengketaan di masyarakat, Hakim itu harus kepala negara atau pejabat negara yang diberi wewenang,” terang Ustadz Khaththath.
Menurut Ustad Khaththath, Rasulullah SAW mengangkat sahabat Muadz bin Jabal sebagai wali negeri atau setara dengan gubernur di Yaman untuk menerapkan Syariat Nabi SAW. Nabi pernah bertanya kepada Muadz: Dengan apa anda memutuskan perkara? Maka dijawab oleh Muadz: Dengan Kitabullah.
“Jadi Islam yang dibawa oleh Rasulullah menjadikan negara sebagai pelaksana Syariah,” tegasnya.
Sementara itu, kata Ustadz Khaththath, Islam moderat menolak jihad dan hal-hal yang dianggap sebagai kekerasan. Berbeda dengan Islam yang diturunkan oleh Allah SWT.
“Apakah Islam yang dibawa oleh rasulullah SAW menolak jihad dan perang untuk meninggikan kalimat Allah? Tentu tidak,” ucapnya.
Bahkan, sambungnya, ayat Al-Qura’an yang menerangkan bahwa Nabi SAW adalah Uswah Hasanah atau teladan yang baik bagi umat Islam adalah ayat perang dalam surat perang.
“Ayat Uswah Hasanan ada di surat Al-Ahzab merujuk pada perang Ahzab atau perang sekkutu (koalisi musuh-musuh Islam, red),” tandasnya.
Seperti diketahui, dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (8/2/2015).













Riwayat-Riwayat Shahih tentang Wafatnya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam


Prolog : Artikel berikut merupakan paparan kisah seputar hari-hari wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang diambil dari riwayat-riwayat yang valid. Seleksi validitas riwayat dinukil dari telaahan Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umari hafidhahullah dalam bukunya : As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah : Muhaawalatun li-Tathbiiqi Qawaaidil-Muhadditsiin fii Naqdi Riwaayaati As-Siirah An-Nabawiyyah. Di akhir pembahasan kami lengkapi dengan penjelasan Mamduh Farhan Al-Buhairi mengenai syubuhaat Syi’ah yang mengklaim bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak wafat di pangkuan ’Aisyah, tapi di pangkuan ’Ali bin Abi Thalib.
Sekitar tiga bulan sepulang menunaikan haji wada’, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menderita sakit yang cukup serius.[1] Beliau pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Ummul-Mukminin Maimunah radliyallaahu ’anhaa[2]. Beliau sakit selama 10 hari,[3] dan akhirnya wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul-Awwal[4] pada usia 63 tahun.[5] Dan telah shahih (satu riwayat yang menyatakan) bahwa sakit beliau tersebut telah dirasakan semenjak tahun ketujuh pasca penaklukan Khaibar, yaitu setelah beliau mencicipi sepotong daging panggang yang telah dibubuhi racun yang disuguhkan oleh istri Sallaam bin Masykam Al-Yahudiyyah. Walaupun beliau sudah memuntahkannya dan tidak sampai menelannya, namun pengaruh racun tersebut masih tersisa.[6] Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam meminta ijin kepada istri-istrinya agar diperbolehkan untuk dirawat di rumah ’Aisyah Ummul-Mukminiin.[7] Ia (’Aisyah) mengusap-usapkankan tangan beliau pada badan beliau sambil membacakan surat Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas).
Ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan kritis, beliau berkata kepada para shahabat :
هلموا أكتب لكم كتابًَا لا تضلوا بعده
”Kemarilah, aku ingin menulis untuk kalian yang dengan itu kalian tidak akan tersesat setelahnya”.
Terjadi perselisihan di antara mereka. Sebagian berkeinginan memberikan alat-alat tulis (sebagaimana permintaan beliau), sebagian yang lain tidak setuju karena khawatir hal itu justru akan memberatkan beliau. Belakangan menjadi jelas bahwa perintah untuk menghadirkan alat tulis itu bukan merupakan hal yang wajib, namun merupakan sebuah pilihan. Ketika mendengar ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu mengatakan : (حسبنا كتاب الله) ”Kami telah cukup dengan Kitabullah”; maka beliau tidak mengulangi permintaannya tersebut. Seandainya hal itu merupakan satu kewajiban, tentu beliau akan menyampaikannya dalam bentuk pesan. Sebagaimana pada saat itu beliau berpesan secara langsung kepada mereka agar mengeluarkan orang-orang musyrik dari Jazirah ’Arab dan agar memuliakan rombongan delegasi yang datang ke Madinah.[9] Sebuah riwayat shahih menyebutkan bahwa beliau meminta alat tulis tersebut pada hari Kamis, 4 hari sebelum beliau wafat. «Seandainya permintaan tersebut wajib, niscaya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan meninggalkannya karena adanya perselisihan para shahabat pada waktu waktu itu. Beliau tidak mungkin meninggalkan tabligh (atas risalah) meskipun ada yang menyelisihi. Para shahabat sudah biasa mengkonfirmasi kepada beliau dalam beberapa perkara yang ada perintah secara pasti».
Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil Fathimah radliyallaahu ’anhaa yang kemudian membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah menangis. Beliau memanggil kembali dan membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah tersenyum. Setelah wafat, Fathimah menjelaskan bahwa ia menangis karena dibisiki bahwa beliau akan wafat, dan ia tersenyum karena dibisiki bahwa ia merupakan anggota keluarganya yang pertama yang akan menyusul beliau.[10]Dan salah satu tanda nubuwwah tersebut akhirnya terbukti.
Sakit yang beliau derita semakin bertambah berat sehingga beliau tidak sanggup keluar untuk shalat bersama para shahabat. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
مروا أبا بكر فليصل بالناس
”Suruhlah Abu Bakr agar shalat mengimami manusia”.
’Aisyah berusaha agar beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menunjuk orang lain saja karena khawatir orang-orang akan berprasangka yang bukan-bukan kepada ayahnya (Abu Bakr). ’Aisyah berkata :
إن أبا بكر رجل رقيق ضعيف الصوت كثير البكاء إذا قرأ القرآن
”Sesungguhnya Abu Bakr itu seorang laki-laki yang fisiknya lemah, suaranya pelan, mudah menangis ketika membaca Al-Qur’an”.[11]
Namun beliau tetap bersikeras dengan perintahnya tersebut. Akhirnya Abu Bakr maju menjadi imam shalat bagi para shahabat.[12] Pada satu hari, Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam keluar dengan dipapah oleh Ibnu ’Abbas dan ’Ali radliyallaahu ’anhuma untuk shalat bersama para shahabat, dan kemudian beliau berkhutbah. Beliau memuji-muji serta menjelaskan keutamaan Abu Bakrradliyallaahu ’anhu dalam khutbahnya tersebut dimana ia (Abu Bakr) disuruh memilih oleh Allah antara dunia dan kahirat, namun ia memilih akhirat.[13]
Khutbah terakhir yang beliau sampaikan tersebut adalah 5 hari sebelum wafat beliau. Beliau berkata di dalamnya :
إن عبدًا عرضت عليه الدنيا وزينتها فاختار الآخرة
”Sesungguhnya ada seorang hamba yang ditawari dunia dan perhiasannya, namun justru ia memilih akhirat”.
Abu Bakr paham bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ia pun menangis. Melihat hal tersebut, orang-orang merasa heran karena mereka tidak paham apa yang dirasakan oleh Abu Bakr.[14]
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membuka tabir kamar ’Aisyah pada waktu shalat Shubuh, hari dimana beliau wafat, dan kemudian beliau memandang kepada para shahabat yang sedang berada pada shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum dan tertawa kecil seakan-akan sedang berpamitan kepada mereka. Para shahabat merasa sangat gembira dengan keluar beliau tersebut. Abu Bakr pun mundur karena mengira bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ingin shalat bersama mereka. Namun beliau memberikan isyarat kepada mereka dengan tangannya agar menyelesaikan shalat mereka. Beliau kemudian kembali masuk kamar sambil menutup tabir.
Fathimah masuk menemui beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata : ”Alangkah berat penderitaan ayah”. Maka beliau menjawab :
ليس على أبيك كرب بعد اليوم
”Setelah hari ini, tidak akan ada lagi penderitaan”.[15]
Usamah bin Zaid masuk, dan beliau memanggilnya dengan isyarat. Beliau sudah tidak sanggup lagi berbicara dikarenakan sakitnya yang semakin berat.[16]
Pada saat-saat menjelang ajal, beliau bersandar di dada ’Aisyah. ’Aisyah mengambil siwak pemberian dari saudaranya yang bernama ’Abdurrahman. Ia lalu menggigit siwak tersebut dengan giginya dan kemudian memberikannya kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliaupun lantas bersiwak dengannya.[17]
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana yang berisi air dan membasuh mukanya. Beliau pun bersabda :
لا إله إلا الله إن للموت سكرات
”Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Sesungguhnya pada setiap kematian itu ada saat-saat sekarat”.[18]
Dan ’Aisyah samar-samar masih sempat mendengar sabda beliau :
مع الذين أنعم الله عليهم
”Bersama orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah”.[19]
Lalu beliau pun berdoa :
اللهم في الرفيق الأعلى
”Ya Allah, pertemukan aku dengan Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah)”.
’Aisyah mengetahui bahwasannya beliau pada saat itu disuruh memilih, dan beliau pun memilih Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah).[20]
Akhirnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun wafat pada waktu Dluhaa  - dan ada yang mengatakan pada waktu tergelincirnya matahari - sedangkan kepala beliau di pangkuan ’Aisyahradliyallaahu ’anhaa. Abu Bakr radliyallaahu ’anhu segera masuk, dimana ketika wafatnya beliaushallallaahu ’alaihi wasallam ia tidak berada di tempat. Ia membuka penutup wajah beliau, dan kemudian ia menutupnya kembali dan menciumnya. Ia pun keluar menemui orang-orang. Pada waktu itu, orang-orang berada dalam keadaan percaya dan tidak percaya atas khabar wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. ’Umar radliyallaahu ’anhu termasuk orang yang tidak percaya atas berita wafatnya beliau tersebut. Orang-orang pun kemudian berkumpul menemui Abu Bakr. Ia (Abu Bakr) pun kemudian berkata :
أما بعد، من كان منكم يعبد محمدًا فإن محمدًا قد مات، ومن كان منكم يعبد الله فإن الله حي لا يموت. قال الله : (وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ)
Amma ba’du, barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad saat ini telah mati. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman : ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Aali ’Imraan : 144)”.
(Mendengar itu), maka para shahabat pun merasa tenang. Sementara itu, ’Umar radliyallaahu ’anhududuk di tanah tidak sanggup berdiri. Seakan-akan mereka belum pernah mendengar ayat tersebut melainkan pada saat itu saja.[21]
Fathimah radliyallaahu ’anhaa berkata :
يا أبتاه أجاب ربًا دعاه.
يا أبتاه من جنة الفردوس مأواه.
يا أبتاه إلى جبريل ننعاه.
”Wahai ayah, Rabb telah memenuhi doamu
        Wahai ayah, surga Firdaus tempat kembalimu
Wahai ayah, kepada Jibril kami mengkhabarkan atas kewafatanmu”.[22]
Semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, barakah, dan nikmat kepada Nabi-Nya, keluarganya, dan para shahabatnya.
Dan akhir seruan/doa kami adalah alhamdulillaahi rabbil-’aalamiin.
[selesai – diambil dari kitab As-Siirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah oleh Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umariy, 2/553-556; Maktabah Al-’Ulum wal-Hikam, Cet. 6/1415, Madinah Munawarah].
Saya tambahi keterangan Mamduh Farhan Al-Buhairiy[23] tentang bantahan terhadap syubhat Syi’ah yang mengingkari riwayat wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam di dada ’Aisyah, dimana mereka mendasarkan pengingkaran mereka dengan riwayat-riwayat yang tidak valid.
1.          Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanad sampai ’Ali radliyallaahu ’anhu, ia berkata :
((أُدْعُوا لِي أَخِي))، فَأَتَيتُهُ، فَقَالَ : ((أَدْنُ مِنِّي))، فَدَنَوْتُ  مِنْهُ، فَاسْتَنَدَ إِلَيَّ فَلَمْ يَزَلْ مُسْتَنِدًا إِلَيَّ، وَإِنَّهُ لَيُكَلِّمُنِيْ حَتَّى إِنَّ رِيْقَهُ لَيُصِيْبُنِيْ
”Panggilkan untukku saudaraku !”. Maka akupun mendatangi beliau, lalu beliau bersabda : ”Mendekatlah kepadaku !”. Maka akupun mendekat kepada beliau, kemudian beliau bersandar kepadaku dan tidak henti-hentinya beliau bersandar kepadaku, dan beliau berbicara kepadaku hingga air ludah beliau mengenaiku”.
Ini adalah hadits haalik (rusak) sangat dla’if, dikarenakan Ibnu Sa’d meriwayatkannya dari Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Dia adalah pendusta.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : ”Dia adalah pendusta, dia membolak-balik hadits”. Ibnu Ma’in rahimahullah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang tsiqah, haditsnya tidak ditulis”. Al-Bukhari dan Abu Hatim berkata : ”Matruk (haditsnya ditinggalkan)”. Abu Hatim dan An-Nasa’i juga berkata : ”Haditsnya diletakkan” [Al-Miizaan, 3/662].
2.          Juga hadits ’Ali radliyallaahu ’anhu yang lain :
عَلِّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْفَ بَابٍ كُلُّ بَابٍ يَفْتَحُ أَلْفَ بَابٍ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengajari aku seribu bab, setiap bab membuka seribu bab”.
Ini adalah hadits maudlu’ (palsu), sebab ’Imran bin Haitsam adalah pendusta. Seandainya saja kita menyerah tidak mendebat keshahihan hadits ini, maka tidak ada di dalamnya hal yang menunjukkan bahwa pengajaran ini pada saat-saat kematian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam, bahkan tidak masuk akal semua itu bisa dilakukan pada saat-saat seperti itu.
3.          Hadits Jaabir bin ’Abdillah radliyallaahu ’anhu, bahwasannya Ka’b Al-Ahbar bertanya kepada ’Umar radliyallaahu ’anhu seraya berkata :
مَا آخِرُ مَا تَكَلَّمَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ عُمَرُ : سَلْ عَلِيًا.....
”Apa yang terakhir kali dibicarakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam ?”. Maka ’Umar menjawab : ”Tanyalah kepada ’Ali....”.
Hadits ini adalah dla’if (lemah) yang tidak boleh ditoleh, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidi. Dia dalah matrukul-hadiits (haditsnya ditinggalkan) sebagaimana telah lalu perinciannya [Al-Miizaan, 3/662]. Juga di dalamnya terdapat Haram bin ’Utsman Al-Anshariy, dia juga matruk. Al-Imam Malik dan Yahya berkata : ”Dia tidaktsiqah”. Al-Imam Ahmad berkata : ”Manusia meninggalkan haditsnya”. Al-Imam Asy-Syafi’iy dan Yahya bin Ma’in berkata : ”Riwayat dari Haram hukumnya haram”. Ibnu Hibban berkata : ”Dia keterlaluan dalam memihak Syi’ah, membolak-balik sanad, dan membuat yang mursalmenjadi marfu’ [Al-Miizaan, 1/468].
4.          Hadits :
قِيْلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ : أَرَأَيْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْفِيَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ أَحَدٍ؟ قَالَ : نَعَمْ، تُوْفِيَ وَإِنَّهُ لَمُسْتَنِدٌ إِلَى صَدْرِ عَلِيّ
Dikatakan kepada Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma : ”Apakah engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat dan kepala beliau di pangkuan seseorang ?”. Maka ia menjawab : ”Ya, beliau wafat dan beliau bersandar di dada ’Ali....”.
Hadits ini adalah dla’if (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy, dia adalah matrukul-hadits sebagaimana penjelasan sebelumya. Di dalam sanadnya juga terdapat orang yang bernama Sulaiman bin Dawud bin Al-Hushain, dari Abu Ghatfal, diamajhul tidak diketahui keadaannya.
5.          Hadits ’Ali bin Al-Husain :
قُبِضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ عَلِيٍّ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau di pangkuan ’Ali”.
Hadits ini dla’if, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy. Diamatrukul-hadiits. Di samping itu, sanadnya terputus.
6.          Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanadnya kepada Asy’Sya’biy, ia berkata :
تُوْفِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَأْسُهُ فِي حُجْرِ عَلِيٍّ.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali”.
Dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy yang dia ini matruk. Selain itu, dalam sanadnya terdapat Abul-Huwairits yang namanya adalah ’Abdurrahman bin Mu’awiyyah. Ibnu Ma’in dan yang lainnya berkata : ”Tidak bisa dijadikan hujjah”. Al-Imam Malik dan An-Nasa’i berkata : ”Dia tidak tsiqah” [Al-Miizaan, 2/591].
7.          Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
كَانَ عَلِيٌّ لَأَقْرَبُ النَّاسِ عَهدًا بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.....
“’Ali adalah benar-benar manusia yang paling dekat masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
Hadits ini shahih, namun sama sekali tidak menafikkan hadits ‘Aisyah bahwa beliaushallallaahu ‘alaihi wasallam wafat di dadanya, bahkan hadits ‘Aisyah lebih shahih dari hadits Ummu Salamah. Para ulama ahli hadits telah menggabungkan dan mengkompromikan antara hadits Ummu Salamah dengan hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul-Baariy (12/255) : “Mungkin bisa dikompromikan bahwa ‘Ali adalah orang yang paling akhir masanya dengan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam. Dia tidak meninggalkan beliau hingga kepala beliau condong. Saat itu dia menyangka bahwa beliau telah wafat. Maka dia adalah orang yang paling akhir bertemu dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau siuman, dan dia sudah pergi. Setelah itu ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menyandarkan beliau di dadanya, kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat”.
8.          Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dari ‘Ali radliyallaahu ’anhum, ia berkata :
“Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab”.
Hadits ini adalah dla’if, di dalam sanadnya terdapat Kaamil bin Thalhah. Para ulama ahli hadits berselisih tentangnya. Al-Imam Ahmad dan Ad-Daruquthni menyatakan tsiqah, namun Yahya bin Ma’in berkata : “Tidak bernilai apa-apa” [Al-Miizaan, 3/400].
Di dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Ma’in berkata : “Dia lemah, tidak bisa dijadikan hujjah”. Yahya bin sa’id sama sekali tidak menganggapnya sama sekali. Abu Zur’ah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya”. An-Nasa’i berkata : ”Dia lemah”. Al-Jauzajani berkata : ”Tidak ada cahaya pada haditsnya, tidak layak berhujjah dengannya”. Al-Bukhari berkata dalam kitab Adl-Dlu’afaa’ saat menyebut Ibnu Lahi’ah dengan mengomentari hadits yang diriwayatkannya : ”Ini adalahmunkar”.
Di dalam sanadnya juga terdapat Huyay bin ’Abdillah Al-Maghafiriy. Ibnu ’Adiy berkata : ”Ibnu Lahi’ah memiliki sekian belas hadits yang umumnya munkar. Diantaranya hadits : ”Beliau mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab” [Al-Miizaan, 1/623].
Adapun orang yang tanpa ilmu menginginkan untuk menjadikan hadits-hadits lemah lebih kuat sanadnya, maka itu adalah murni disebabkan hawa nafsu. Tentang hadits-hadits tersebut, Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ”Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa menceritakan bahwa beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat di antara dada dan lehernya; membantah apa yang diriwayatkan Al-Haakim dan Ibnu Sa’d dari berbagai jalur yang menceritakan bahwa Nabishallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali radliyallaahu ’anhu. Seluruh jalan hadits tersebut tidak luput dari orang Syi’ah. Maka tidak layak dilirik sama sekali” [Fathul-Baariy, 8/139].

Abul-Jauzaa’ – 4 Shaffar 1430, di Ciomas Permai.


[1]    Ibnu Katsir berkata bahwa wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah 81 hari setelah pelaksanaan hari haji akbar [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 5/101].
[2]    Ibnu Hajar berkata bahwa itu merupakan pendapat yang mu’tamadAda beberapa riwayat lain yang bertolak-belakang yang menyatakan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Zainab binti Jahsy atau Raihaanah [Fathul-Baariy, 8/129].
[3]    Sulaiman At-Taimiy memastikan pendapat ini. Riwayat ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shahih. Dan menurut pendapat kebanyakan ulama, bahwasannya beliau jatuh sakit selama 13 hari [Fathul-Baariy, 8/129].
[4]    Al-Haafidh berpegang pada pendapat/perkataan Abu Mikhnaf bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat pada tanggal 2 Rabi’ul-Awwal. Tambahan angka 1 di depan angka 2 sehingga menjadi 12 merupakan kesalahan [Fathul-Baariy, 8/130].
[5]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/150).
[6]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).
[7]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/141) dan Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/226) dengan sanad shahih.
[8]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/131).
[9]    Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/132).
[10]  Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 1/208). Lihat makna-makna yang lain dalam A’laamul-Hadiits oleh Al-Khaththaabiy.
[11]  Siirah Ibni Hisyaam, 4/330 dengan sanad shahih; dan Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/233.
[12]  Lihat Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/232-233.
[13]  Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy 8/141). Lihat Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy 21/231I; dan Al-Bidayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/229-230.
[14]  Musnad Ahmad (Fathur-Rabbaaniy, 21/222 berikut catatan pinggir/hasyiyah no. 3); danTirkatun-Nabiy (ق.أ.ب) dengan sanad dimana rijalnya adalah tsiqah, namun mursal.
[15]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).
[16]   Sirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[17]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/139).
[18]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/144).
[19]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136).
[20]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/136); dan Siirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[21]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/145).
[22]   Shahih Al-Bukhari (Fathul-Baariy, 8/149).
[23]   Qiblati, edisi 10, Thn. II – Juli 2007 M/Jumadats-Tsaniyyah 1428 M, hal. 28-30
COMMENTS
Anonim mengatakan...
Terjadi perselisihan di antara mereka (para sahabat Nabi saw.). Sebagian ingin memberikan alat2 tulis (sebagaimana permintaan Nabi), sebagian yang lain tidak setuju "karena khawatir hal itu justru akan memberatkan beliau".

Tidak saya temukan adanya riwayat bhw ketidaksetujuan sebagian Sahabat utk diambilkan alat tulis bagi Nabi saw. adalah karena "mereka khawatir itu akan memberatkan Nabi saw." Demi Allah, yg saya temukan dlm periwayatan hadis: bhw di antara mereka yg menolak diambilkan alat tulis itu menyatakan bhw Nabi Muhammad saw. "hajara/yahjur" (meracau/mengigau/bicara tidak karuan).

Alasan "mereka khawatir diambilkannya alat tulis akan memberatkan Nabi saw." adalah alasan apologia utk memberi pembenaran atas perbuatan tidak taat kpd Nabi Muhammad saw. dan juga alasan yg dibuat-buat utk mengalihkan perhatian dari suatu perilaku berbicara yg nyata munkar yaitu mengatakan Nabi Muhammad saw. sbg hajara/yahjur (mengigau).

Dalam keadaan terbaring sakit, Nabi saw. masih berpikir utk memberi petunjuk (dgn menuliskan pesan) agar umatnya tidak sesat sepeninggal beliau. Beliau hanya meminta sesuatu yg sangat ringan: ambilkan alat tulis. Ajaibnya, ada di antara Sahabat yg menilai ucapan Nabi saw itu adalah ucapan yg keluar karena mengigau.
Tidakkah kita bisa melihat bhw pernyataan orang tsb hanya dalih utk tidak mau mematuhi Nabi Muhammad saw.?
Saya jadi teringat kisah ketika Nabi Musa a.s. memerintahkan Bani Israil utk menyembelih sapi. Titik. Lalu, tidakkah kita bisa melihat bhw Bani Israil cari2 alasan utk tidak melaksanakannya?

Sungguh benar sabda Nabi saw.: Latattabi'unna sunana man kana qablakum (Sungguh kalian akan mengikuti sunnah2 orang2 sebelum kalian (Yahudi&Nasrani)).

Allah al-musta'an. Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala aali Sayyidina Muhammad.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kalau memang wasiat itu sangat penting bagi umat dan merupakan salah satu pokok dalam agama Islam, apakah Anda pikir Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam akan melemah keinginannya untuk menyampaikannya ?. Kalau misal tidak di waktu itu, bukankah sangat mungkin disampaikan di waktu setelahnya ?. Bukankah di sana ada keluarga beliau ?. Tapi apa kenyataannya ?. Perkataan Anda itu hanyalah tuduhan dan perendahan akan martabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang lemah hanya karena keengganan - seandainya saya sepakat itu adalah keengganan - sebagian shahabat. Lihatlah kisah Muusaa yang Anda contohkan. Meski Bani Israaiil enggan menttaati Muusaa 'aklaihis-salaam, namun Muusaa tidaklah lemah akan hal itu.

Dan tolong refresh kembali pengetahuan Anda. Berikut ini adalah sebagian hadits yang Anda maksud :

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا هِشَامٌ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " لَمَّا حُضِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَفِي الْبَيْتِ رِجَالٌ فِيهِمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، قَالَ: هَلُمَّ أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ، قَالَ عُمَرُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَهُ الْوَجَعُ وَعِنْدَكُمُ الْقُرْآنُ، فَحَسْبُنَا كِتَابُ اللَّهِ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْبَيْتِ وَاخْتَصَمُوا، فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: قَرِّبُوا يَكْتُبْ لَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: مَا قَالَ عُمَرُ

Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Muusaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam, dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafat, maka di rumah beliau terdapat beberapa orang laki-laki yang di antaranya adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kesinilah, akan aku tuliskan kepada kalian satu tulisan yang (dengannya) kalian tidak akan tersesat selama-lamanya”. ‘Umar berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menderita sakit dan Al-Qur’an di tengah kalian. Maka, cukuplah bagi kami Kitabullah”. Ahlul-Bait pun berselisih dan bertengkar. Di antara mereka ada yang berkata : “Dekatkan pena kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya”. Sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7366].

Jadi siapakah yang ribut dan bertengkar ?. Berbeda dengan hadits lainnya dimana Syi’ah berlomba-lomba mengklaim apa yang ingin mereka klaim atas penisbatan lafadh Ahlul-Bait; maka dalam hadits di atas, tidak ada satupun orang Syi’ah yang mengambil hak atas lafadh Ahlul-Bait sebagaimana sebelumnya. 'Aliy dan (sebagian) keluarganya lagi-lagi ‘disucikan’ dan ditimpakanlah kesalahan itu kepada ‘Umar dan para shahabat yang lainnya radliyallaahu ‘anhum. Kemana saja 'Aliy ?. Apakah 'Aliy waktu itu kabur saat para shahabat-shahabat besar lain khawatir dan menunggui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ?. Apakah 'Aliy juga lemah untuk mengambilkan pena ?. Apakah 'Aliy takut terhadap 'Umar
?.