Monday, April 27, 2015

Belajar dari Abbasiyah: Syiah Berkuasa Saat Muslim Sunni Melemah

Kekhalifahan Islam Abbasiyah telah berkuasa sejak tahun 775 H, namun pada saat itu kelompok Syiah belum berkuasa. Hingga pada akhirnya, beberapa dekade kemudian Dinasti Abbasiyah mengalami fragmentasi, dan Syiah mengambil kesempatan.
“Semuanya (pada awalnya) masih Kekhalifahan Abbasiyah, tetapi daerah-daerah mulai menjadi pemerintahan otonom, desentralisasi,” jelas pakar sejarah Islam, Alwi Alatas, beberapa waktu lalu.
Setelah terjadi desentralisasi, daerah-daerah otonom Kekhalifahan Abbasiyah melakukan pola pewarisan kekuasaan melalui garis keturunan keluarga. Saat itu sekitar tahun 778-909 H, belum ada Syiah, baru pada tahun 909 H mulai muncul Syiah Fathimiyah yang saat itu masih kecil.
“Masih belum besar, tapi kemudian mereka melebar, makin kuat kekuasaannya. Bahkan nanti ada masa-masa Syiah Fathimiyah lebih besar dan lebih kuat dari Abbasiyah,” jelas penulis yang telah menulis 25 buku ini.
Beliau melanjutkan, Syiah menjadi lebih besar kekuasaannya, bukan semata-mata karena Syiahnya kuat. Akan tetapi, pada masa itu Sunni sedang mengalami kelemahan.
“Sebagaimana kita alami di masa kini,” lontarnya.
Pawa awal abad ke-11 H, tahun 999 H Syiah Fathimiyyah mencapai ke Mesir, mereka memindahkan pusat kekuasaan ke Kairo, yaitu pada paruh kedua abad ke-10. Mereka menguasai wilayah Afrika Utara, Mesir, sebagian Syam, dan Hijaz. Namun meski demikian, Syiah Fatimiyyah hanya kuat dalam politik dan militer.
“Syiah tidak sampai mengakar ke masyarakat, masyarakat Mesir dan ulama-ulamanya masih banyak yang Sunni. Berbeda dengan yang terjadi di Iran,” katanya.
Dia kembali menegaskan bahwa kuatnya Syiah pada masa itu dikarenakan kaum muslimin pada saat itu mengalami kelemahan. Hal ini juga persis dengan apa yang terjadi menjelang perang Salib, Muslim Sunni juga mengalami kelemahan.
“Bahkan tantangan Sunni dalam sejarah sama Syiah dulu, baru dengan Perang Salib, satu rangkaian sebenarnya,” ungkap Ustadz Alwi.
Lanjutnya, pada tahun 1058 terjadi pemberontakan al Basasiri di Baghdad. Ketika itu Turki Saljuk yang Sunni bermazhab Hanafi mulai masuk hingga ke Baghdad. Turki Saljuk sat itu diangkat oleh Khalifah Abbasiyah untuk menghadapi Fathimiyah karena memiliki militer yang kuat.
“Namun, karena baru awal-awal kekuasaan Turki Saljuk masih mundur maju dari Baghdad, Saljuk pernah mundur ke wilayah Timur karena ada urusan di sana, mereka belum establish,” ujar pria yang tengah menempuh studi doktoral di IIUM Malaysia ini.
Kekuasaan Al-Basasiri yang dijatuhkan Saljuk di Baghdad, ternyata bekerjasama dengan Fathimiyah. Dinasti Fathimiyah memberikan dukungan senjata, nasehat militer, dan dukungan lainnya kepada Al-Basasiri.
Kelompok Al-Basasiri ketika itu berhasil menjatuhkan Baghdad, lalu menguasainya selama satu tahun. Bahkan, Khalifah Abbasiyah ditahan, tetapi tidak sampai dibunuh.
“Selama satu tahun Al-Basasiri menguasai Baghdad, Sunni ketika itu habis. Doa-doa di Baghdad diberikan kepada pengasa Fathimiyah di Mesir. Meski tidak total, masih ada Saljuk,” beber Ustadz Alwi.
Satu tahun kemudian, Turki Saljuk masuk Baghdad, Al-Basasiri ditumbangkan dan ditahan. Khalifah diangkat kembali, sementara wilayah Syam dan Hijaz direbut.
“Sehingga Fathimiyah hanya menguasai Mesir, bahkan ancaman Saljuk hingga ke wilayah utara. Mengancam Kristen Byzantium,” ujarnya.
Turki Saljuk sendiri ketika itu yang menonjol adalah wazirnya, Nizamul Mulk seorang Sunni berasal dari Persia. Nizamul Mulk merupakan wazirnya Tugril Bek, Aid Arsalan, dan Malik Syah.
“Nizamul Mulk pada saat itu adalah salah satu tokoh Sunni Revival selain Imam Ghazali. dari ulamanya adalah Imam Ghazali dari Umaronya Nizamul Mulk,” imbuhnya.
Sumbangan terbesar Nizamul Mulk adalah madrasah Nizhamiyah. Dia yang banyak menundang ulama-ulama besar untuk mengajar di Nizhamiyah.
“Kemudian, pada tahun 1092 Nizamul Mulk dibunuh oleh Assasins. Satu bulan kemudian Sultan Malik Syah meninggal dunia., Turki Saljuk pecah. Singkat ceritanya begitu,” ungkapnya.
Setelah Turki Saljuk Pecah mulailah dunia Islam memasuki masa perang Salib. Meski Saljuk pecah, proyek Sunni Revival juga tidak berhenti, pemikiran Imam Ghazali dan madrasah-madrasah terus dihidupkan oleh Saljuk.
“Bukan madrasah Nizhamiyah saja, bahkan para amir berlomba-lomba membuat madrasah sampai nanti pada zamannya Shalahuddin Al Ayubi,” tegas Ustadz Alwi.
Kenapa Muslim Sunni Kalah oleh Syiah?

Sejarawan Islam, Ustadz Alwi Alatas menegaskan, dari sudut pandang sejarah, inti masalah mengapa kaum muslimin pada masa lampau sempat dikalahkan Syiah Fathimiyah dan pasukan salib karena disebabkan oleh masalah internalnya sendiri.
Apa yang terjadi pada masa lalu, rupanya terulang pada hari ini.
“Begitu pula kita pada hari ini, banyak persamaan pada masa dulu. Sesama Sunni ribut, gontok-gontokan, susah bersatu, dan banyak hal-hal lain juga,” kata akademisi yang rajin menulis di media-media Islam ini.
Menurutnya, penyelesaian masalah Ahlussunnah pada masa itu adalah membenahi masalah internal, seperti dilakukan oleh para ulama salah satunya oleh Imam Al-Ghazali.
Ustadz Alwi berpendapat, metode ulama ketika itu dalam menghadapi Syiah, dapat ditiru oleh Sunni pada masa kini, tanpa mengabaikan cara-cara lain yang bersifat turunan.
“Inti solusi kita pada hari ini dalam menghadapi Syiah adalah menyelesaikan masalah internal yang ada di tengah Ahlussunnah,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan, pertarungan Ahlussunnah dengan Syiah pada masa kekhalifahan Abbasiyah dan masa kini merupakan pertarungan yang sangat panjang. Konflik tersebut, tidak diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun atau sepuluh tahun ke depan.
“Ketika Fathimiyah kuat dari awal abad 11 H sampai akhir abad itu, Baru mulai akhir abad ke-11 H baru ada solusi serius menghadapi Syiah, setelah satu abad baru dilakukan,” ucapnya
Dalam menghadapi Syiah, senjata utama yang digunakan Ahlussunnah pada masa Imam Ghazali hingga era Shalahudin Al-Ayubbi dengan pembenahan ilmu.
“Senjata utama yang mereka gunakan ketika itu adalah madrasah, selain menggabungkan pemimpin yang adil dan kesalehan, pelan-pelan dengan dakwah mengubah masyarakat oleh Nuruddin Zanki yang terkenal kesalehan dan keadilannya,” pungkasnya.

Diambil dari comment syiahindonesia.com:

Selama kebidahan melanda umat Islam selama itupula umat Islam akan susah melawan/menghindari agama Syiah. Karena banyak ahli bidah yang diam diam membela Syiah yang memang rajanya bidah. Jika didebat oleh ASWAJA yang ahli bidah maka akan mudah dipatahkan oleh mereka (syiah) dengan cara membalikannya kembali...wong sama-sama pelaku bidah.
Namun jika umat Islam bersatu / sepakat untuk meninggalkan kebidahan...walaupun tidak sekaligus namun secara pelan-pelan...Insya Allah umat Islam dengan mudah akan mengalahkan mereka. Mengalahkan tentunya tidak perlu dengan cara berperang namun bisa saja menjadikan dagangan mereka (syiah) tidak laku di negeri ahlul sunnah sehingga pada akhirnya mereka bangkrut sendiri. Wallahualam.
Masalah sekarang lebih komplex lg. 
Terutama dr media sehingga banyak yg tertipu mengira syiah adl islam.

Sukses Lumpuhkan Milisi Syiah Houthi Yaman kini Rezim Assad Diambang Kehancuran [ Insya Allah ], marg bar rafidhah !

Sukses Lumpuhkan Milisi Syiah Houthi Yaman, Raja Salman Banjir Pujian

Keputusan yang diambil Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz yang memimpin Koalisi Teluk dalam membombardir Yaman untuk memerangi milisi Syiah Houthi dianggap sukses setelah serangan ke Yaman diakhiri. Raja Salman banjir pujian dari para pejabat tinggi Kerajaaan Arab Saudi.

Gubernur daerah, menteri dan tokoh-tokoh penting di Kerajaan Arab Saudi ramai-ramai mengucapkan selamat kepada Raja Salman yang dijuluki sebagai “Penjaga Dua Masjid Suci” itu. Menurut mereka, agresi militer dengan nama “Operation Decisive Storm” sukses dan Raja Salman dianggap berhasil membela perbatasan Saudi dari agresi asing.

”Operasi anti-Houthi sukses besar,” kata Gubernur Makkah, Pangeran Khaled Al-Faisal dalam pesan ucapan selamat kepada Raja Salman.”Keputusan yang diambil oleh Raja untuk meluncurkan ‘Operation Decisive Storm’ telah mengejutkan dunia dan mencerminkan kemampuan dan keberanian Kerajaan (Saudi) untuk membela kebenaran,” katanya lagi, seperti dilansir Arab News, Kamis (23/4/2015).

Agresi militer Koalisi Teluk yang dipimpin Arab Saudi diakhiri pada Selasa lalu. Agresi itu diklaim atas permintaan presiden sah Yaman, Abed Rabbo Mansour Hadi.

Menteri Garda Nasional Saudi, Pangeran Miteb bin Abdullah juga mengucapkan selamat kepada Raja Salman dan para pemimpin Koalisi Teluk atas keberhasilannya dalam memerangi Houthi di Yaman. 

Pangeran Miteb mengatakan, Garda Nasional akan terus berkoordinasi dengan Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri dalam segala situasi. ”Koordinasi ini tidak akan terbatas pada ‘Operation Decisive Storm’m” imbuh dia.

Washington Post: Rezim Assad Diambang Kehancuran
[ Insya Allah ]
Surat kabar kenamaan Amerika Serikat, Washington Post, menyatakan bahwa rezim Bashar al-Assad berada dalam posisi mengkhawatirkan setelah serangkaian kemenangan besar faksi-faksi perjuangan revolusi Suriah dalam beberapa waktu terakhir.
Dalam analisisnya, Washington Post menyebut dua faktor utama yang menyebabkan rezim Bashar Al Assad kini diambang kehancuran setelah meletusnya revolusi Suriah pada tahun 2011 lalu, selain fokus Iran dalam membantu pemerintah Irak menghadapi Negara Islam.
Yang pertama adalah; Kerjasama diagonal Saudi-Turki menjadi sebab kemenangan besar pejuang revolusi Suriah
Sejak mewarisi tahta pada bulan Januari lalu, Raja Salman terus bergerak agresif untuk mencegah hegmoni Iran yang terus berkembang di kawasan Timur Tengah, salah satunya dengan menjalin kerjasama dengan Qatar dan Turki.
Kita dapat melihat kerjasama Saudi-Qatar-Turki dalam mendukung faksi-faksi kecil perjuangan Suriah yang sebagian besar berideologi Islam, dan menjadikannya satu dibawah nama “Pasukan Pembebasan.”
Dalam prestasinya, faksi pejuangan Suriah yang didukung oleh Trio Timur Tengah ini telah menyebabkan hilangnya sejumlah provinsi penting seperti Idlib dari kekuasaan pasukan Bahsar Al Assad sejak awal tahun 2015.
Menurut Washington Post alasan Raja Salman mendekat ke Turki yang notabenya adalah negara kuat di ujung Eropa dengan kemandirian ekonomi dan militernya, adalah kebutuhan Arab Saudi terhadap mitra kuat lainnya selain Amerika Serikat yang tengah sibuk dalam perang mereka di Irak.
Yang kedua adalah dukungan Iran yang semakin berkurang
Di saat rezim Suriah sangat bergantung pada pemerintah Iran yang telah mengirimkan pasukan, senjata, dana yang tidak terhenti kepada rezim Bashar Al Assad, kini negara Syiah tersebut harus berjuang menghadapi krisis ekonomi akibat sanksi internasional, serta pendanaan yang tidak terhenti dalam menghadapi milisi Negara Islam di Irak dan mendukung pemberontakan Syiah Houthi di Yaman.
Seperti dikutip surat kabar dari mantan utusan AS di Suriah, Robert Ford, mengatakan, “Kita tidak bisa mengesampingkan tanda-tanda runtuhnya rezim Suriah saat ini. Kemunduran tentara rezim di medan perang, kekurangan pasukan, tidak fokus dalam pertempuran yang dijalani menjadi tanda awal dari akhir kekuasaan mereka.”
Tidak bisa dikesampingkan bahwa bergabungnya 3 negara kuat di Timteng, Saudi-Qatar-Turki, telah memaksa pemerintah Teheran harus berfokus menghadapi sejumlah pilihan mendukung sekutu-sekutunya dikawasan. (Rassd/Ram)
http://www.eramuslim.com/berita/washington-post-rezim-assad-di-ambang-kehancuran.htm#.VT9aYCGqqko

Mulai Terdesak, Menhan Suriah Ngemis Bantuan Ke Iran
Selasa 28 April 2015 Menteri Pertahanan Suriah, Fahd Jassem al-Freij, memulai kunjungan 2 hariny ke Iran untuk membahas kerjasama militer kedua negara dalam menghadapi pejuang revolusi Suriah.
Seperti dilansir kantor berita SANA menyatakan bahwa dalam kunjungannya Menhan Fahd Jassem akan bertemu dengan rekan sejawat Menhan Iran Brigadir Jenderal Hossein Dehghan, membahas upaya koordinasi dan kerja sama antara kedua negara dalam menghadapi terorisme dan tantangan umum di wilayah
Ini adalah kunjungan intensif pertama pejabat penting Damaskus di tahun 2015, setelah sebelumnya pemerintah Teheran dikabarkan mengurangi bantuan ke Suriah akibat berfokus pada perang melawan mujahidin Negara Islam di Irak.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sepanjang tahun 2014 pasukan Garda Revolusi Iran berperan penting dalam membantu pasukan pemerintah mempertahankan sejumlah wilayah strategis di Suriah.
Tercatat Komandan Korps pasukan khusus Garda Revolusi Iran, Jenderal Qassem Soleimani, beberapa kali terekam tengah memberikan pengarahan kepada tentara iran di Suriah. 


Al-Qur’an dan Kelompok Syiah

Oleh: Faris Jihady, Lc

Terpecahnya pemahaman keagamaan kaum Muslimin sejak awal sejarah Islam merupakan ‎keniscayaan dan sunnatullah (kehendak Allah) yang bersifat takdir, sebagaimana diisyaratkan ‎dalam berbagai nash (teks) AlQur’an dan Hadits.‎
Terpecahnya pemahaman keagamaan ini bukan tanpa hikmah, ia merupakan ujian ‎keimanan bagi setiap muslim dalam konsistensi dan komitmen mereka ‎bepegang teguh pada Islam sebagaimana ia diwahyukan, karena pemegang teguh ajaran di era ‎ramainya terjadi penyimpangan, sebagaimana kata Nabi, bagaikan penggenggam batu bara.‎
Pemahaman keagamaan yang terpecah ini termanifestasikan dalam berbagai sekte atau kelompok ‎yang seiring perkembangan sejarah memiliki nama masing-masing yang membedakan diri satu ‎dengan lainnya.‎ Hal yang merupakan kesamaan di antara berbagai kelompok Islam, atau yang menisbatkan ‎diri kepada Islam, adalah upaya mereka untuk membangun konsep keagamaan yang utuh ‎berdasarkan dalil dari AlQur’an dan Sunnah, baik itu benar atau salah dalam berdalil. Karenanya tak ‎heran didapati bahwa setiap kelompok/sekte pasti mengklaim punya dalil baik AlQur’an atau pun ‎Sunnah. Hal ini merupakan hal wajar disebabkan –paling tidak- dua hal;‎
a)‎ Setiap ajaran keagamaan agar ia kokoh dan meyakinkan, membutuhkan legitimasi (baca: ‎pembenaran) dari sumber-sumber agama (wahyu), karena secara alamiah ajaran agama ‎yang tidak memiliki legitimasi dari wahyu tidak akan bertahan lama, karena kodrat manusia ‎yang membutuhkan basis transendental yang melampaui keberadaan dan pengalaman ‎kemanusiaan mereka sebagai tempat bersandar
b)‎ Secara sosial, akan ada penerimaan luas dari kalangan umat Islam, jika kelompok/sekte ‎tersebut mendasarkan ajaran keagamaannya pada wahyu, karena akan timbul perasaan ‎satu komunitas, bahwa kelompok tersebut masih bagian dari umat Islam
Kelompok Syiah Imamiyah, Rafidhah, Itsna Asyariyah, adalah berbagai penamaan yang merujuk ‎pada satu kelompok, yang pada hari ini merupakan sekte tua yang bangkit secara ideologis maupun ‎politik. Mereka tak terkecualikan dari tabiat ini, menisbatkan diri kepada Islam, karenanya mereka ‎pun berupaya membangun ajaran keagamaannya berdasar wahyu, tentu berdasar klaim mereka.‎
Dalam menilai klaim ini, patut kiranya setiap muslim memiliki standar umum yang tegas, apakah ‎klaim ini bisa diterima atau tidak? Apakah pemahaman mereka terhadap dalil berdasarkan metode ‎yang benar atau tidak? Hal ini penting agar jelas mana yang dapat ditoleransi dan mana yang tidak ‎dapat ditoleransi secara keyakinan. Dari sini paling tidak dapat kita menilai pada dua level kategori;
‎1)‎ Level referensi ajaran; apakah betul mereka menganggap wahyu sebagai sumber ajaran? ‎Bagaimana pandangan mereka terhadap wahyu dalam hal ini AlQur’an?
‎2)‎ Level metodologi dalam memahami referensi ajaran; apakah metodologi mereka dalam ‎memahami wahyu dapat diterima atau tidak?‎
Dalam berbagai referensi mereka, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya konsep mereka dalam ‎masalah wahyu Al-Qur’an telah selesai dan utuh, sehingga dapat dilakukan penilaian atas konsep tersebut, ‎terlepas dari keyakinan personal masing-masing pemeluk sekte.‎
Secara ringkas dapat disimpulkan keyakinan mereka adalah;‎
‎1)‎ Pada level referensi; mereka meyakini bahwa AlQur’an mengalami tahrif (distorsi), ‎sebagian mengatakan, tidak lengkap dengan berpendapat sesungguhnya ayat AlQur’an ‎berjumlah 17,000 ayat, sedangkan yang sekarang jumlah hanya 6236 ayat hanyalah ‎sepertiga saja, itu pun mengalami distorsi. Adapun dua pertiganya, masih disimpan oleh ‎para Imam yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), dan pada hari akhir akan disampaikan ‎semuanya oleh Imam yang terakhir versi ajaran mereka.‎
‎2)‎ Pada level metodologi, mereka melakukan tahrif (distorsi) dalam penafsiran ayat-ayat ‎AlQur’an sesuai dengan keinginan mereka, demi mendukung dan membenarkan aqidah ‎mereka, yang secara lebih detail akan lebih jelas pada bagian berikut.‎
Faktor Utama‎
Faktor utama dari perilaku dan keyakinan mereka terhadap AlQur’an, karena adanya konsep ‎Imamah yang merupakan keyakinan pokok dan sentral dalam keyakinan Syiah. Secara ringkas, ‎konsep Imamah adalah keyakinan mereka bahwa kepemimpinan umat selepas Nabi S.A.W wafat ‎diwariskan secara tegas berdasarkan wahyu kepada keturunan beliau yang berjumlah 12 orang, ‎atau 12 imam. Para Imam ini diyakini bersifat ma’shum (terjaga) dari kesalahan, dan setiap ‎perkataan mereka setara dengan wahyu.‎
Pada tataran sikap terhadap AlQur’an sebagai sumber, jika diteliti secara mendetil pada referensi-‎referensi syi’ah secara umum, maka akan ditemukan sangat banyak pendapat ulama mereka, ‎bahkan mendekati konsensus (ijma’) bahwa AlQur’an bukanlah hujjah, dan AlQur’an pada ‎dasarnya diwariskan kepada Ali bin Thalib ra setelah Nabi Muhammad S.A.W wafat, dan para sahabat ‎penyalin teks AlQur’an telah melakukan perubahan terhadap teks wahyu.‎
Seorang peneliti Syiah, Muhammad asSaif, menghitung sekitar 20 ulama yang merupakan rujukan ‎utama Syiah sepanjang kurun sejarah, yang berpendapat bahwa AlQur’an mengalami perubahan ‎dan pengurangan.‎
Pada tataran metodologis pemahaman terhadap AlQur’an sebagai referensi, ada beberapa konsep ‎yang mereka pakai dalam memahami AlQur’an, atau dalam istilah ilmiah, Ushul Tafsir (pokok-pokok ‎penafsiran) menurut Syiah.‎
Pokok-pokok penafsiran tersebut antara lain;‎
1. ‎Otoritas penafsiran hanya milik para 12 Imam yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), ‎Kenapa? Karena AlQur’an ada yang kurang, karenanya yang menafsirkan harus orang yang ‎tersambung dengan wahyu, yaitu para Imam. Ini melahirkan masalah bagi internal ‎keyakinan mereka, karena warisan riwayat penafsiran para Imam ahlul bait jumlahnya ‎sangat sedikit sekali, ini memaksa mereka untuk berdusta, kemudian mengarang riwayat-riwayat atas nama ahlul bait bahwa mereka ‎menafsirkan ayat AlQur’an.‎
2. Menolak penafsiran sahabat dan tabi’in secara mutlak. Kasyiful ghita’ –seorang ulama ‎syiah- mengatakan; para sahabat tidak setara dalam pandangan syiah meskipun ‎dibandingkan dengan sayap nyamuk. Ulama tafsir syiah lain, Muhammad Murtadha, mengatakan; tidak ada ‎nilainya penafsiran para sahabat, karena mereka murtad setelah Nabi Muhammad S.A.W wafat. Ada juga yang mengatakan karena mereka bukan manusia ma’shum. ‎
3. Al-Qur’an ada zahir dan batin. Mereka menggunakan metode ini, karena secara zahir tidak ‎ada satu pun teks ayat AlQur’an yang memberikan pembenaran terhadap keyakinan ‎mereka terhadap konsep Imamah, ini mendorong mereka untuk mengada-adakan ‎penafsiran yang bersifat batiniah, bahwa para Imam yang ma’shum memahami makna ‎batin ayat AlQur’an meskipun secara lahiriah ayat tersebut sama sekali tidak menunjuk ‎pada makna tersebut.‎ Keyakinan adanya zahir dan batin dari teks AlQur’an, juga berimplikasi pada tuduhan ‎bahwa Nabi S.A.W tidak menyampaikan makna penjelasan qur’an kepada orang banyak, ada ‎yang disembunyikan untuk orang tertentu, dengan kata lain Nabi Muhammad S.A.Wberkhianat atau menyembunyikan risalah. Di sisi lain, jika mereka mengatakan bahwa Nabi ‎tidak mengetahui makna dari wahyu, sedangkan para Imam tahu, berarti para Imam lebih ‎tinggi dari nabi.‎
4. Setiap ayat yang mengandung celaan tentang kufur, munafik dijatuhkan kepada musuh2 ‎Ali bin Abi Thalib ra dan ahlul bait, sedangkan ayat-ayat yang mengandung pujian kebaikan, dijatuhkan ‎kepada Ali dan ahlul bait. Ini disebut metode AlJaryu, dan dengan metode ini tampak jelas penafsiran ayat sesuai dengan kepentingan ideologis mereka.
Beberapa contoh penafsiran kelompok Syiah;‎
a)‎ Pada ayat QS ArRahman; ‎
‎“( 19 ) Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,( 20 ) ‎antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. ( 21 ) Maka nikmat ‎Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? ( 22 ) Dari keduanya keluar mutiara ‎dan marjan”.‎

AtTabatabai-seorang ulama syiah- mengutip riwayat palsu yang disandarkan kepada Ibn ‎Abbas ra; bahwa makna dari “dua lautan” adalah Ali & Fatimah ra, dan “batas” adalah Nabi ‎Muhammad S.A.W, sedangkan “mutiara dan marjan” adalah Hasan dan Husain ra. ‎
b)‎ QS AlMaidah;‎
‎”( 67 ) Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu

Muhammad Jawab Mughniyah, seorang penafsir Syiah kontemporer, mengatakan bahwa ‎yang dimaksud dengan dengan perintah untuk menyampaikan, adalah informasi tentang ‎kepemimpinan (imamah) Ali ibn Thalib ra setelah Nabi Muhammad S.A.W wafat.
c)‎ QS Al-A’raf;‎
‎”( 31 ) Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid

AtTabataba’i, mengutip riwayat lemah yang menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini ‎adalah perintah untuk mandi setiap bertemu dengan para Imam yang ma’shum.‎
Kesimpulan; relasi antara Syiah dengan AlQur’an
Dari paparan ringkas di atas, dapat disimpulkan bahwa relasi antara kelompok Syiah dengan Al-‎Qur’an sebagai wahyu dan dasar dalam beragama, tidak lebih adalah relasi yang dipaksakan, pada ‎hakikatnya sangat jauh dan renggang hubungan antara keduanya. Ada upaya penyelewengan dan pemaksaan penafsiran yang sangat nampak terhadap AlQur’an, tanpa peduli dengan kaidah-kaidah yang benar. Benarlah ketika Ibn Taimiyah berkata: “kaum ‎Rafidhah sama sekali tidak memiliki perhatian untuk menghafal Qur’an, mempelajari maknanya, ‎dan tidak pula mempelajari petunjuk-petunjuk untuk memahami maknanya”.‎
Wallahu a’lam
Beberapa bacaan lanjutan;‎
• Al-Khututh Aridhah li AsSyiah (pokok pikiran syiah) , Muhibudin AlKhatib‎
• AsSyiah wa tahriful Qur’an (syiah dan penyelewengan alqur’an), Muhammad AsSaif
• Minhaj AsSunnah, ibn Taimiyah



Kapolri dan Sunnah Nabi

Kemarin, Minggu (26/4), kita dikejutkan dengan kabar gembira yang kali ini datang dari kapolri baru, Jenderal Badrodin Haiti
Tanpa paksaan dan terang-terangan beliau ucapkan kalimat yang mungkin tidak pernah kita duga sebelumya.
Kata-kata yang selama ini sering diucapkan oleh banyak umat Islam yang sering didiskriminasi akibat keteguhannya menjalankan ajaran Nabi.
“Tidak bisa hanya dengan celananya gantung (di atas mata kaki) dan berjenggot, lalu dicurigai IS (pelaku teror, pen),” inilah yang diucapkan Haiti di depan banyak wartawan kemarin. Ringkas, padat dan melegakan umat Islam.
Penulis tahu, andai kapolri tidak menuturkan kalimat tersebut, kita tetap akan mempertahankan jenggot dan celana cingkrang. Tapi setidaknya kapolri telah melakukan pembelaan.
Melalui pernyataannya, kapolri jelas ingin meluruskan pemahaman keliru yang beredar di banyak kalangan tentang ciri teroris
Dengan pembelaan ini, kepongahan seorang tokoh agama yang mencela, menuduh dan mencemooh pemilik jenggot sebagai radikalis wali jenggot, rontok sudah.
Dengan pernyataan ini, keangkuhan masyarakat yang menganggap jahat pria bercelana cingkrang bisa diruntuhkan.
Dengan ucapan tersebut, diskriminasi terhadap professional yang tidak mencukur jenggotnya bisa dibantah
Kalau saja pengucapnya bukan seorang jenderal berbintang empat, tentu kita tidak akan mengira bahwa negara tidak menganggap jenggot dan cingkrang sebagai musuh bersama.
Kalau saja penuturnya bukan pucuk pimpinan kepolisian, mungkin kita akan semakin curiga dan membenci aksi densus 88 yang sering menangkapi pria berjenggot yang juga cingkrang.
Harus diakui, ucapan sang perwira sangat berarti bagi kita, muslim Indonesia. Kini kita tidak perlu lagi repot-repot menepis tuduhan teroris dari para pembenci dengan dalil yang panjang berbaris.
Cukup katakan kepada mereka yang berpenyakit hati, “Menurut kapolri ini bukan ciri teroris”.
Mari kita doakan agar Jenderal Haiti diberi kesehatan, diberi keberanian dan diberi tambahan iman untuk membela kebenaran
Beliau telah memberi kita harapan. Asa bahwa masih ada pejabat baik di Indonesia tercinta
Beliau telah memuluskan jalan. Jalan dakwah dalam menyebarkan sunnah ke penjuru nusantara
Mari syukuri nikmat ini, agar semakin banyak pejabat yang dianugrahi kebaikan hati
Mari doakan pemimpin negeri, agar semakin mudah menerima kebenaran ilahi



Kerancuan Teologi Syafi’i Ma'arif

Zullatul ‘Alim Zullatul ‘Alam,Ketergelinciran seorang alim adalah ketergelinciran alam” kata seorang ulama yang menegaskan peran alim yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup alam semesta.
Kolom resonansi Koran Nasional Republika, 21 Mei 2013, menurunkan artikel terakhir dari 2 serial tulisan Ahmad Syafi’i Ma’arif tentang Pergumulan Teologis dan Realitas Hidup. Membaca artikel berseri tersebut sangat menarik untuk kita kaji secara mendalam terutama pada seri yang kedua. Dimana pernyataan beliau yang dimaksudkan sebagai solusi dari keterpurukan umat Islam hari ini sangat lantang dan berani.
Analisa beliau tentang kondisi umat berawal dari pembacaan kata-kata Iqbal yang menurutnya sangat keras terasa dan menyinggung kita sebagai umat Islam yang hidup hari ini. Konklusinya adalah penyakit sektarianisme yang masih menggerogoti umat sebagaimana yang diungkapkan Syafi’i Ma’arif, “Sektarianisme yang dipuja itu adalah pengkhianatan telanjang terhadap doktrin tauhid yang menjadi inti teologi Islam.”
Selanjutnya mari kita simak penuturannya yang saya katakan lantang dan berani,
“Saya sudah lama berpendapat bahwa baik sunisme maupun syi’isme tidak lain dari ciptaan sejarah yang tidak muncul di era Nabi, tetapi mengapa masih diberhalakan sampai sekarang? Masing-masing pendukung sekte berkata merekalah yang mewakili Islam secara benar. Bukankan klaim serupa ini adalah sifat manusia takabbur? Bagi saya, kita harus punya keberanian teologis untuk membongkar klaim-klaim palsu hasil sejarah sengketa karena berebut kuasa di kalangan internal umat itu. Tanpa keberanian itu, saya khawatir, darah masih akan tertumpah lebih banyak lagi dari kalangan umat yang bernasib malang ini.”
Lebih jelasnya, “Sektarianisme adalah penyakit kronis peradaban, tetapi masih saja dibela orang karena dianggap benar” pungkas lulusan University of Chicago ini.
Saya mencoba untuk membandingkan solusi dan jawaban dari Syafi’i ma’arif di atas tentang kondisi umat yang kita lihat hari ini dengan solusi dan jawaban yang diungkapkan oleh utusan Allah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan dari Ibnu Umar,
“Jika kalian berjual beli dengan model al-‘Inah,memegang dan mengikuti ekor-ekor sapi, ridha dengan pertanian dan meninggalkan jihad maka Allah akan susupkan kepada kalian (umat Islam) kehinaan yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian!”
Beberapa gambaran kondisi umat Islam yang digambarkan oleh Rasulullah dan menyebabkan keterpurukan umat diatas oleh beliau diringkas sendiri dalam riwayat lain dengan ungkapan,  Hubb al-Dunya wa karahiyat al-maut, cinta dunia dan takut mati.
Lengkapnya, ketika Rasulullah mengabarkan kepada para sahabatnya kondisi yang akan dilalui umat Islam di kemudian hari,
“Hampir tiba masanya umat-umat lain mengerumuni kalian sebagaimana orang-orang mengerumuni tempat makan” ada seorang sahabat yang bertanya, “Apakah waktu itu kita (umat Islam) sedikit?” Sang Rasul menjawab, “Bahkan pada waktu itu kalian banyak, tapi kalian seperti buih/ riak yang ada di lautan. Dan pasti Allah akan mencabut wibawa kalian dari hati mereka lalu menyusupkan ke dalam hati kalian al-Wahn”, seorang sahabat bertanya lagi, “Apakah al-Wahnu itu wahai Rasulullah?”, sang Rasul pun kembali menjawab, “Cinta dunia dan takut mati!”
Kedua riwayat di atas dikumpulkan oleh Imam Abu Dawud dalam sunan-nya dan dinilai shahih oleh Nashiruddin al-Bani, sang Muhaddits besar abad ini.
Teks (nash) yang sangat gamblang ini membuat kita bertanya-tanya, apakah Bapak Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif lupa hadis ini atau tidak membacanya? Wallahu A’lam mana yang benar atau keduanya salah.
Karena itu, sektarianisme dalam penilaian Rasulullah bukanlah penyebab utama dari kondisi internal umat yang membuatnya rapuh, tapi umat Islam yang jauh dari agama Islam karena terpana dengan kehidupan dunia sehingga terlalu mencintainya dan takut mati itulah yang membuatnya mundur dan tertinggal dari peradaban lain. Solusi yang tepat adalah al-Ruju’ Ila al-Diin, back to Islam.
Sungguh tepat ketika Amir Syakib Arselan mengatakan,
“Kaum muslimin menjadi mundur dikarenakan mereka meninggalkan agama mereka dienullah al-Islam. Sedangkan pihak barat kafir justeru menjadi maju karena mereka meninggalkan agama mereka!” dalam bukunya yang berjudul Mengapa Kaum Muslimin Mundur Dan Kaum Selainnya Maju?
Pendapat Arselan diperkuat oleh argumen Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, yang berpandangan bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah terkait erat dengan ilmu pengetahuan sebagai akar dari sebuah peradaban, katanya,
“Peradaban Islam hakekatnya dibangun atas dasar ilmu pengetahuan Islam yang merupakan produk dari pandangan hidup islam yang dipancarkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Maka dari itu, tantangan yang mendasar dihadapi yang dihadapi oleh peradaban Islam masa kini adalah problem ilmu pengetahuan. Konsep dan tujuan ilmu dalam Islam telah bercampur dengan konsep dan tujuan dari wordlview Barat sekuler. Dari sini masalah berkembang ke bidang social, politik, ekonomi, pendidikan dan bahkan merambah ke bidang budaya dan gaya hidup. Ide-ide para pemikir seperti decorates, Karl Marx, Memanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam Smith dan sebagainya dapat mempengaruhi dan merubah pemikiran masyarakat. Demikian pula dulu dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama seperti Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Imam Ghazali, Ibnu Khaldun dan lain sebagainya mempengaruhi cara berfikir masyarakat dan bahkan kehidupan mereka. jadi ringkasnya, membangun peradaban Islam harus merupakan kerja strategis dan sinergis membangun pemikiran umat Islam, melalui tradisi ilmu dan selanjutnya disebarkan secara sinergis pula ke tengah masyarakat sehingga ide-ide cendikiawan atau ulama yang otoritatif dapat menjadi motor perubahan.” (orasi ilmiah Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam rangka ulang tahun Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) yang disampaikan di Tawangmangu, 26 Januari 2013).
Takabbur
Selain itu, komentar beliau terhadap orang-orang yang masih memberhalakan sektarianisme yang dikatakannya takabbur perlu dicheck and recheck lebih dalam. Apakah benar orang tersebut benar-benar takabbur? Ataukah mereka melakukan itu karena melihat agama ini dinodai oleh ajaran yang menyesatkan sehingga merekapun tampil membela kesucian agama ini.
Sebutlah para ulama, zuama dan cendikiawan muslim yang duduk dalam Majelis Ulama Indonesia, dimana mereka katakan bahwa metode berislam yang benar haruslah sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, hal 46 tentang faham Syiah dan hal 841 tentang Taswiyat al-Manhaj; Penyamaan Pola Pikir dalam Masalah-masalah Keagamaan).
Apakah para ulama, zuama dan cendikiawan muslim itu adalah manusia-manusia takabbur ketika menetapkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah manhaj yang benar dalam mengamalkan Islam?
Lebih dari itu Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Saya belum pernah melihat orang-orang ahli bid’ah yang paling pembohong dalam pengakuan-pengakuannya dan paling sering bersaksi palsu lebih dari Rafidhah (sekte Syiah).” Lihat Ibnu Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra, 2/545.

Apakah Ahmad Syafi’i Ma’arif menilai Imam Syafi’i melalui ucapannya pada paragraf di atas adalah orang takabbur? siapa yang tidak mengenal kebesaran dan kehebatan Imam Syafi’i dalam menelorkan hukum-hukum fiqh? Na’uzubillah. (Muh. Istiqamah/lppimakassar.com)


[ Peristiwa Lama ] Syiah dan Kesalahpahaman “Pembelanya”

Oleh: Fahmi Salim, MA

DALAM artikelnya di Republika (27/1/2012), saudara Haidar Bagir kembali menanggapi artikel bantahan yang ditulis oleh Muhammad Baharun dan saya dengan judul "Sekali Lagi, Syiah dan Kerukunan Umat (Tanggapan untuk Muhammad Baharun dan Fahmi Salim), (Republika, 27 Januari 2012). Sebelumnya, perlu disampaikan, dalam setiapmunazharah (debat ilmiah) perlu ada kode etik (adabul baths). Dan salah satu kode etik yang selalu saya pegang dari Al-Azhar Mesir, -- almamater saya -- adalah kaidah yang menyatakan, “in kunta naqilan fa’alayka bil-shihhat wa in kunta mudda’iyan fa’alayka bi-d-dalil” (jika Anda menukil pendapat, maka harus benar-benar diverifikasi dan jika Anda mendakwa maka harus mendatangkan dalil).



Dalam konteks inilah, Haidar keliru. Saat menyebutkan satu-dua dakwaan atau nukilan, ia tidak menyebut sumber apalagi memverifikasi kesahihannya. Jadi harap dimaklumi. Tak bermaksud semena-mena, tetapi menaati kode etik, yang mungkin ditafsirkan lain. Ini berbeda dengan ulama salaf yang dengan amanah telah menyebutkan sanad lengkap, dan menjadi tugas peneliti selanjutnya untuk memverifikasi kebenarannya.

Pertama, masih soal Tahrif (distorsi dan ketidaklengkapan) Al-Qur’an di kalangan Syiah dan Sunnah. Saya tegaskan bahwa Ahlusunnah secara mutlak menerima keotentikan, kelengkapan dan kemutawatiran mushaf Usmani yang ada saat ini --tanpa ada pengurangan dan tambahan sedikitpun. Namun tak jarang, kalangan Syiah menuduh balik bahwa indikasi tahrif banyak ditemukan dalam riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab hadis standar di kalangan sunnah. Saudara Haidar telah menyebutkan di antara contoh sebagiannya.

Contoh-contoh riwayat yang berbau ‘Tahrif’, yang disebut Haidar, sangat akrab di kalangan pengkaji ilmu Al-Qur’an dalam kajian Nasikh-Mansukh. Berbagai literatur seperti Al-Burhan (vol.2/41-46) karya Az-Zarkasyi, Al-Itqon (hlm.332&336) karya As-Suyuthi dan Manahil Irfan (vol.2/154-155) karya Az-Zarqani memberi contoh hadis Sayidah Aisyah tentang hukum 10 kali susuan yang dinasakh oleh 5 kali susuan (HR.Muslim) untuk kategori nasakh (konsep abrogasi) baik pada hukum dan bacaan Al-Qur’an. Sedangkan riwayat Sayidina Umar tentang ayat rajam (HR.Bukhari) dan riwayat Ubay ibn Ka’ab tentang ayat rajam (HR.Ibnu Hibban), dijadikan contoh untuk kategori nasakh pada bacaan saja, dan hukumnya tetap berlaku.

Menilai riwayat-riwayat yang dikategorikan nasikh-mansukh menurut konsep ‘Ahlusunnah’, dan menyamakan dengan ‘Tahrif’ adalah suatu kekeliruan yang mendasar. Ulama Ahlusunnah memandang adanya nasakh di dalam Al-Qur’an, --- yang tentunya adalah hak prerogatif Allah SWT dan hanya bisa terjadi selama Rasulullah hidup dan atas kewenangannya –bukan suatu distorsi (Tahrif) dan ketidaklengkapan Al-Qur’an.

Nukilan dari Aisyah, seperti dikutip Haidar, bahwa surah Al-Ahzab aslinya 200 ayat lalu tersisa hanya 73 ayat dalam mushaf Usmani, ditinjau dari sanadnya dhoif. Karena hadits itu diriwayatkan oleh Abu Ubaid (penulis Fadha’il Al-Qur’an) sampai ke Aisyah, yang rawinya Ibnu Lahi’ah dinilai mukhtalit (hafalannya amburadul) setelah kitab-kitabnya hangus terbakar, sehingga sanadnya dhoif/lemah (Mizan Al-I’tidal vol.2/475-477). Demikian pula nukilan dari Ubay ibn Ka’ab bahwa jumlah surah Al-Ahzab setara dengan Al-Baqarah (286 ayat), ternyata seorang rawinya Al-Mubarak ibn Fadhalah adalah mudallis yang dinilai dhoif/lemah, seperti penilaian Abu Dawud dan Abu Zur’ah dalam Al-Mudallisin(vol.1/80).

Nah, tidak seperti dikesankan Haidar bahwa fakta itu ditengarai bentuk Tahrif, lagi-lagi jika mau jujur, justru riwayat Aisyah dan Ubay di atas ditempatkan oleh As-Suyuthi dalam kategori nasakh tilawah (lihat hlm.336). Artinya, Suyuthi ingin menegaskan bahwa sisa 127 ayat atau 213 ayat semuanya telah dinasakh bacaan dan hukumnya. Kecuali ayat Rajam yang hukumnya tetap berlaku meski bacaannya telah dinasakh. Inilah yang ditegaskan kembali oleh Al-Bayhaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (vol.8/211), Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani dalam Al-Intishar lil Qur’an (vol.1/406), dan Ibnu Hajar Asqallani dalam Fathul Bari (vol.12/144).

Jadi kesimpulannya, riwayat-riwayat itu hanya untuk konteks nasikh-mansukh, dan bukan pembuktian terjadinyaTahrif dalam Qur’an menurut ulama sunni. Saudara Haidar sebagai pendukung Syiah seharusnya memahami masalah ini. Menyamakan atau sengaja mengaburkan konsep Naskh dengan Tahrif jelas kesalahan fatal. Jangan memaksakan cara pandang Syiah pada referensi kaum Sunni.

Selanjutnya, yang kedua, soal riwayat pengutukan Ali ibn Abi Thalib. Saya tidak memungkiri ‘adanya’ cerita-cerita fantastis yang tertuang dalam buku-buku tarikh yang Saudara Haidar sebutkan. Namun sekali lagi, sumber tertua pangkal dari cerita itu adalah riwayat Ibnu Sa’d dalam Thabaqat. Jika Ali Al-Madaini bisa sedikit ditolerir, namun kelemahan riwayat lebih berat karena faktor guru al-Madaini yaitu Luth ibn Yahya Al-Kufi. Dia lah yang saya maksud semua pakar dan imam hadits menilainya lemah. Al-Dzahabi dalam Siyar A'lam An-Nubala (vol.7/301-302) menulis: "Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya Al-Kufi, penulis kitab tasnif dan tarikh, meriwayatkan dari Jabir al-Ju'fi, Mujalid ibn Sa'id, Sha'qab ibn Zuhair, dan sekelompok orang tak dikenal (majhulin)…Yahya ibn Ma'in berkata: (orang ini Luth ibn Yahya) tidak tsiqoh, Abu Hatim berkata: hadisnya ditinggalkan, Ad-Daruquthni berkata: tukang pemberi kabar yang lemah. Selain itu, Abu Mikhnaf adalah tukang berita yang rusak dan tak dipercaya. (Mizan Al-I’tidal, vol.3/409)

Mengutip riwayat Sahih Muslim dari Sahl ibn Sa’ad (no.2409) juga kurang tepat dalam konteks pengutukan. Sebab Imam Muslim justru memasukkan hadits itu dalam Bab Min Fadha’il Aly ibn Abi Thalib (Keutamaan Ali R.A.).

Memang tidak mudah menyeleksi riwayat yang tertuang dalam buku-buku sejarah, juga menganalisanya secara adil. Apalagi sering dijumpai oknum-oknum tertentu dengan motif politis memperkeruh suasana dalam setiap periode penulisan sejarah. 

Penting dicatat, Ahlusunnah sepanjang sejarah tidak pernah membela, merestui dan apalagi menjadikan pengutukan terhadap para sahabat dan ahlul bait Nabi – terlebih Sayidina Ali -- sebagai akidah atau dendam kesumat yang tertanam kuat secara resmi.
Bisa dibayangkan, dengan asumsi cerita kutukan terhadap Sayidina Ali selama 70 tahun (yang diragukan kebenarannya) itu sudah sangat tercela, bagaimanakah lagi pengutukan terhadap Khalifah Abu Bakr dan Umar, serta istri Nabi yang dilestarikan lebih dari 1000 tahun–dan entah sampai kapan-?

Dalam I’tiqad Ahlusunnah, semua sahabat dan keluarga Nabi, tanpa terkecuali, adalah orang-orang mulia yang terdidik dalam madrasah nubuwwah dan berjuang bertahun-tahun menegakkan panji Islam bersama Rasulullah. 

Pengorbanan nyawa, harta dan keluarga sudah tak terhitung. Mustahil rasanya, manusia-manusia yang disanjung berkali-kali dalam Al-Qur’an dan hadis nabi, mereka sontak berubah menjadi manusia tak bermoral dan beragama seketika hanya karena rebutan tahta dunia. Kecuali jika kita hendak katakan, bahwa Rasul telah gagal total dalam dakwahnya dan Allah SWT salah karena telah memuji kualitas iman mereka. Ini sama artinya merendahkan Allah dan Rasul-Nya, Wal’iyadzu billah!

Polemik ini semoga lebih membuka wawasan umat, bahwa masih ada ganjalan-ganjalan teologis dan historis dalam hal hubungan muslim Sunni dan Syiah. Jurang perbedaan antara keduanya juga lebar baik dalam aspek ushul akidah maupun furu’ agama.
Agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan bersama, juga demi keutuhan bangsa ini, maka benarlah ajakan Saudara Haidar agar semua elemen Syiah tidak mendakwahkan ajarannya di tengah mayoritas mutlak Sunni. Jika himbauan itu tidak diindahkan serius, terus terang saya kuatir nasib persatuan bangsa ini, dimana muslim sebagai mayoritas, akan terkoyak dan tercabik-cabik. Cukup sudah pengalaman konflik sektarian di Iraq, Libanon dan Pakistan menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Sayangnya, Penerbit Mizan yang dipimpin Saudara Haidar, sejak 1983 terus-menerus menerbitkan buku berjudul Dialog Sunnah-Syi’ah –sebuah dialog fiktif yang dikarang Syarafuddin Al-Musawi- yang mengandung fitnah dan penghinaan terhadap Istri Nabi Muhammad saw, terutama Aisyah R.A.

Terakhir, apa yang saya tulis ini adalah bagian dari tawashaw bil-haq dan tawashaw bil-shabr secara objektif, ikhlas, dan tajarrud pada al-haq seperti harapan Sdr. Haidar. Agar umat semakin cerdas dan dewasa. Wallahu a’lam.*

Penulis adalah Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)


Artikel terkait :