Thursday, May 21, 2015

Walisongo Bukan Syiah Tapi Ahlussunnah

Artikel terkait :
Islamisasi Nusantara : Syiah Tidak Berperan

Dalam beberapa buku sejarah Islam di Nusantara, terdapat silang pendapat tentang asal usul Walisongo. Meski begitu, mereka sepakat bahwa akidah wali songo adalah Ahlussunnah. Teori yang masyhur dan banyak dikaji peneliti adalah Walisongo bermadzhab Sunni Syafi’i. Teori ini sudah lama dianut peneliti dan dinyatakan matang. Adapun teori yang mengatakan bahwa Walisongo Syiah adalah kajian baru yang masih disuarakan sedikit peneliti. 

Kajian baru ini tentu tersebut masih perlu dibuktikan lebih serius lagi dari beberapa sisi. Sebagai contoh buku berjudul Syiah dan Politik di Indonesia Sebuah Penelitian (oleh A Rahman Zainuddin dan Hamdan Basyar), Mengislamkan Tanah Jawa (oleh Saksono Widji). Seperti dikutip dalam buku Idrus Alwi al-Masyhur, dua buku yang berpendapat bahwa Walisongo itu Syiah, memiliki kekurangan pada sisi penelusuran identitas akidah leluhur Walisongo. Karena itu, tulisan singkat ini akan menjelaskan identitas akidah leluhur Walisongo termasuk rantai isnad pemikirannya sebelum sampai pada kesimpulan corak keberagamaan Walisongo.
  
Identitas Walisongo dan Politik Orientalis

Sebelum mengkaji corak pemikiran keagamaan yang dianut Walisongo, ada baiknya sedikit membicarakan asal-usul Walisongo.

Setidaknya terdapat tiga pendapat yang mengemuka tentang kajian asal usul Walisongo, yaitu;Walisongo berasal dari India, China dan dari Arab (Hadramaut Yaman).

Teori India dikemukakan oleh orientalis bernama Pajnapel dan Snouck Horgronye. Teori ini mendasarkan kepada catatan perjalanan Marcopolo dan Ibnu Bathutah. Horgronye, yang pernah menjabat sebagai penasihat penjajah Belanda pada masa kolonial, berpendapat bahwa selama empat abad pimpinan agama Islam di Indonesia berada di tangan orang India dan baru pada abad XVI pengaruh Arab mulai masuk ke Indonesia[1]. Menurutnya, tradisi mistisme Walisongo di Jawa itu sifatnya non-Arab. Maksudnya, tradisi Islam di Indonesia lebih cenderung kepada India daripada Arab.

Pendapat Horgronye diikuti Morisson yang berpendapat bahwa Islam Indonesia berasal dari sebuah pelabuhan di India yaitu pantai Koromandel. Ia menjadi pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara[2]. Tome Pires mendukung teori ini. Menurutnya kebanyakan orang terkemuka di Pasai Aceh adalah orang Benggali (India Selatan) atau keturunan mereka[3].

Asas teori tersebut berangkat dari aspek geografis. Bahwa leluhur Walisongo datang ke Indonesia dengan bertolak dari sebuah wilayah di India. Berangkat dari pendapat ini mereka menarik kesimpulan bahwa etnis yang datang adalah India bukan Arab.

Sementara teori China pernah dijelaskan oleh Tan Ta Sen dalam bukunya berjudulCheng Ho Penyebar Islam dari Cina ke Nusantara. Ta Sen berpendapat, orang Muslim Cina dari Dinasti Yuan dan Dinasti Ming mempunyai peran khusus dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Buku Tan Sen terlalu menggunggulkan Cina dan meminggirkan peran Arab sama sekali. Menurut dia, pedagang Muslim Arab gagal dalam menjalankan misinya untuk mengislamkan Asia Tenggara. Dr. SQ. Fatimi menjelaskan pada sekitar tahun 876 terjadi perpindahan orang-orang Muslim dari Canton Cina ke Asia Tenggara dikarenakan ada peperangan yang mengorbankan hingga 150.000 Muslim[4].

Ada kesamaan dari dua teori di atas, yakni baik teori India maupun teori Cina sama-sama mengesampingkan peran Arab dalam Islamisasi Nusantara. Buku Ta Sen misalnya memberi kesimpulan negatif terhadap Arab, yakni pedagang Arab dianggap gagal menyatu dengan pribumi disebabkan eksklusivisme budaya Arab. Hal yang hampir sama diutarakan oleh Horgronye. Dia menyatakan bahwa dai pelopor di Jawa adalah India bukan Arab. Hamid al-Ghadri membantah teori orientalis tersebut. Ia berpendapat, orientalis Belanda melakukan kesengajaan melakukan ‘politik kesejarahan’ dengan cara memisahkan antara Arab dengan segala identitasnya dengan penduduk Muslim Nusantara.[5] Sehingga teori-teori sejarahnya dibuat sedemikian sehingga tidak ada peran Arab di dalamnya.

Teori orientalis tersebut dicurigai bermuatan kepentingan penjajahan atas wilayah Indonesia. Menonjolkan India dan meminggirkan Arab lebih menguntungkan penjajah Belanda. Tidak lain adalah untuk menciptakan citra negatif untuk Arab di Nusantara. Kemungkinan ini karena pada zaman kolonialisme banyak keturunan Arab yang menentang pendidikan Barat. Sama halnya golongan santri yang anti pendidikan sekuler ala Belanda.

Belanda melakukan politik ini karena melihat pengaruh keturunan Arab pada zaman revolusi ternyata cukup besar. Ia berupaya menutup-nutupi agar kajian-kajian sejarah dan buku-buku tidak banyak mengungkapkannya. Padahal, peran keturunan Arab membela kemerdekaan Indonesia cukup besar. Dr. GSSJ Ratu Langie, pernah mengatakan: “Dapat dimengerti bahwa gerakan keturunan Arab begitu cepat diterima dalam gerakan nasional”. Hal ini bisa dimengerti, sebab sejak berabad-abad lamanya — termasuk zaman Walisongo — keturunan Arab selalu menyatu dengan pribumi[6].

Keberadaan keturunan Arab cukup ditakuti Belanda. Thomas Stamford Raffles pernah mengaku bahwa tiap orang Arab dan orang-orang pribumi yang kembali dari ibadah haji dari Makkah dianggap ‘keramat’. Sangat mudah menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda dan menjadi komponen masyarakat yang dianggap membahayakan kepentingan Belanda.[7]

Dari sekilas penjelasan di atas, dapat dimengerti jika ada yang menyatakan bahwa teori-teori yang dikemukakan oleh Horgronye dan orientalis penjajah lainnya memang memiliki misi politis. Di sinilah teori-teori orientalis menjadi meragukan. Kajian ilmiah tercampur dengan ambisi politik. Hasilnya adalah statemen-statemen politis yang dibungkus kajian ilmiah.

Baik teori India maupun teori Cina semestinya tidak mengesampingkan fakta adanya raja-raja atau sultan keturunan Arab di wilayah Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Sebagai contoh, keluarga Kesultanan Pontianak memakai marga al-Qadri, yang tidak lain marga keturunan Arab dari kalangan habaib. Di Riau terdapat kesultanan Siak yang keluarga kesultanannya bermarga bin Shahab. Mereka semua yang memakai marga tersebut merupakan keluarga dari kalangan habaib.

Begitu pula, kesultanan-kesultanan lainnya misalnya Cirebon, Banten, Demak, Jepara dan lain-lain. Jika dibaca dari sejarah berdirinya, kesultanan-kesultanan tersebut berdiri tidak dengan kekuatan senjata. Hal ini karena keturunan Arab dari kalangan habaib tersebut memang diterima dan diangkat oleh rakyat. Rakyat pribumi menerima keturunan Arab bukan sebagai penjajah tetapi sebagai sultan pribumi. Sebabnya adalah, keturunan Arab zaman itu telah menyatu-padu dengan penduduk pribumi dari berbagai segi sehingga dianggap juga menjadi rakyat pribumi.

Orang-orang Arab ini bercampur gaul dengan penduduk setempat sehingga mendapatkan penerimaan yang baik dan menjabat sebagai tokoh. Alwi bin Thohir al-Haddad menjelaskan bahwa rupanya pembesar-pembesar Hindu juga terpengaruh dengan sifat-sifat keahlian orang Arab, oleh karena sebagian besar mereka keturunan Nabi Muhammad Saw. 

Orang-orang Arab ini membawa sesuatu yang menarik – tradisi baru, pikiran baru dan pola hidup yang baru pula — kepada orang-orang Hindu. Keturunan Nabi Saw tersebut mengajarkan akidah Sunni dan fikih Syafi’i secara fleksibel kepada pribumi yang dikenal masih sangat kolot dengan tradisi animismenya. Tetapi ternyata orang-orang Hindu merasa membutuhkan dengan hal-hal baru tersebut. Inilah yang membuat mereka cepat tertarik dengan ajaran Islam tersebut.

Sedangkan kaum India dan Cina Muslim tidak bisa dianggap tidak ada. Namun, peran mereka tidak seperti yang dilakukan keturunan Arab. Untuk melakukan penyatuan dengan pribumi bukan perkara mudah dan tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat. Prosesnya berabad-abad, sampai akhirnya keturunan Arab pun oleh orang Jawa dianggap ‘pribumi’. Hal ini menunjukkan, eksistensi keturunan Arab jauh lebih dahulu hadir di Nusantara.

GR. Tibbets dan Alwi bin Thohir al-Haddad berpendapat kepulauan Indonesia telah menjadi jalur perdagangan internasioal sebelum Islam datang. Orang-orang Arab yang akan berdagang ke Cina melewati Sumatra dan Jawa untuk mampir sambil berdagang[8]. Di sinilah Alwi al-Haddad berpendapat bahwa Agama Islam masuk ke Sumatra pada tahun 30 H di zaman Khalifah Utsman bin Affan, atau pada tahun 650 Masehi. Sebab, kepulauan Nusantara tidak lah asing bagi orang-orang Arab.

Orang-orang Arab ini generasi awal yang masuk ke Indonesia. Mereka disebut pelopor dakwah Islam di Nusantara. Sementara para dai yang tergabung dalam Walisongo merupakan generasi keturunan Arab yang mematangkan dakwah Islam sampai berdiri kesultanan Islam, setelah sekian abab Islam berkembang perlahan di tanah Jawa dan Sumatera.

Alwi al-Haddad mengutip kitab Nukhbatuddahr yang ditulis oleh Syaikh Syamsuddin Abu Ubaidillah Muhammad bin Thalib al-Dimasyqi bahwa ternyata sebelum gelombang orang Arab dari Hadramaut — yang menjadi leluhur Walisongo– datang, di pulau-pulau Sulawesi (dikatakan Sila) serta pulau-pulau sekitarnya sudah masuk kaum Alawiyyin (keturunan Ahlul Bait Nabi Saw) yang melarikan diri dari kekisruhan politik Dinasti Umayyah. Mereka menetap dan berkuasa di kepulauan tersebut serta sampai dikubur di sana.[9] Dapat dipastikan, selama menetap di situ mereka menikah dengan pribumi dan beranak-pinak.

Madzhab Leluhur Walisongo

Maka, jadi jelas yang datang ke Nusantara pertama kali itu adalah orang Arab. Dan leluhur Walisongo merupakan keturunan Arab dari kalangan bani Alawiyyin (habaib). Teori Arab berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan habaib dari Hadramaut. Pendapat yang menyebut Walisongo berasal dari Asia Tengah, Campa atau lainnya ternyata tidak memiliki basis teori kuat, sebab tempat-tempat seperti Gujarat India, Campa dan lain-lain adalah tempat singgah para rombongan bani Alawiyyin sebelum sampai ke Sumatra dan Jawa. Tempat-tempat tersebut merupakan jalur perjalanan saja, bukan asal-usul rasnya[10]. Inilah teori yang paling masyhur dan paling kuat.

Jamaluddin al-Husein, kakek dari Maulana Malik Ibrahim misalnya adalah seorang keturunan Arab dari bani Alawiyyin yang lahir di India. Ia memiliki garis keturunan dari Sayid Ahmad bin Isa al-Muhajir, imigran asal Irak yang menetap di Hadramaut Yaman, keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. Jamaluddin al-Husein bukan dari etnis India, leluhurnya bernama Abdul Malik, berasal dari Hadramaut tapi hijrah ke India untuk berdakwah. Ia menetap di wilayah Koromandel India dan pernah berdiri sebuah kerajaan yang didirikan oleh keturunan Abdul Malik. Namun, penduduknya banyak yang berpindah ke Champa karena kalah dalam suatu peperangan[11].

Jamaluddin al-Husein ini mempunya tiga anak laki-laki yang keturunannya menjadi pendakwah. Mereka adalah Sayid Barakat Zainal Alam, Ibrahim al-Akbar dan Ali Nurul Alam. Barakat Zainal Alam menetap di Gujarat India dan memiliki anak bernama Maulana Malik Ibrahim, salah satu Walisongo. Sedangkan Ibrahim al-Akbar merupakan kakek dari Sunan Ampel.

Asal-muasal Walisongo berasal dari bani Alawiyyin Hadramaut bahkan diakui banyak sejarawan, termasuk seorang orientalis Belanda, Van den Berg. Seperti dikutip oleh Habib Alwi bin Thohir al-Haddad: “Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam adalah dari orang-orang sayyid syarif (bani Alawiyin). Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain dari Hadramaut (yang bukan golongan sayid), tetapi meeka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka kaum sayid adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad Saw)[12]

Salah satu cirri keturunan sayid ini adalah kekuatan menjaga tradisi keagamaan secara turun-temurun. Mereka cenderung lebih mengamalkan ajaran dan jejak nenek moyangnya, daripada ajaran baru. Nenek moyang yang dianut ajaranya adalah Sayid Ahmad bin Isa al-Muhajir. Dan juru bicara yang disebut-sebut tokoh sentralnya adalah habib Abdullah al-Haddad. Keduanya secara akidah menganut madzhab Asy’ari, fikih mengikuti imam Syafi’i dan tasawufnya mengikut imam al-Ghazali.

Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran mengatakan: “Adapun anak cucu Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa al-Muhajir yang tiba di Hadramaut dan kemudian tinggal di Tarim Yaman, mereka adalah asyraf yang Sunni”[13].

Akidah Ahlussunnah dijelaskan oleh Habib Abdullah al-Haddad dalam kitabnyaRisalah al-Mu’awanah. Beliau mengatakan bahwa firqah al-najiyah (kelompok yang selamat) adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam kitab tersebut dinyatakan juga bahwa akidah bani Alawi secara turun temurun adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Dia menulis: “Perbaiki dan luruskanlah akidahmu dengan berpegang pada manhaj al-firqah al-najiyah (golongan yang selamat) yang dalam Islam dikenal dengan nama Ahlussunnah wal Jama’ah. Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran Rasulullah Saw dan para Sahabatnya. Jika kamu teliti al-Qur’an dan al-Sunnah – yang berisi ilmu-ilmu keimanan – dengan pemahaman yang benar dan hati yang bersih, serta kamu pelajari perjalanan hidup para salaf yang soleh dari kalangan Sahabat dan tabi’in, maka kamu akan mengetahui secara yakin bahwa kebenaran ada pada golongan al-Asy’ariyah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau telah menyusun akidah ahlil haq beserta dalil-dalilnya. Itulah akidah yang diakui oleh para Sahabat dan tabi’in. itulah akidah seluruh kaum sufi, sebagaimana disebutkan oleh Abul Qasim al-Qusyairi pada bagian awal bukunya, al-Risalah.

Alhamdulillah, itulah akidah kami dan saudara-saudara kami para Sadah al-Husaini yang dikenal dengan sebutan bani Alawi. Itulah juga akidah salaf kami, mulai dari zaman Rasulullah Saw hingga saat ini.

Dalam bidang fikih leluhur bani Alawi menganut madzhab Syafi’i. Sayid Ahmad bin Isa dikenal berjasa menyebarkan madzhab Syafi’i di Hadramaut. Ketika sampai di negeri Hadramaut Ahmad bin Isa dikatan beliau menyebarluaskan madzhab Syafii. Hal ini diakui oleh habib Abu Bakar al-Adni bin Abdullah al-Aidarus yang menyatakan: “Madzhab kami dalam furu’ adalah madzhab Syafi’i, dalam usul adalah madzhab guru kami imam al-Asy’ari dan thariqah kami adalah thariqahnya para sufi[14].

Menurut habib Novel Alaydrus, keputusan sayid Ahmad bin Isa al-Muhajir menjadikan Syafi’iyah sebagai madzhab fikihnya merupakan sebuah keputusan yang didasari dengan berbagai pertimbangan matang, sebagaimana beliau putuskan untuk hijrah dari Basrah-Irak menuju negeri Hadramaut.

Hal ini juga diakui oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani. Dia berkata: “Umat Islam di seluruh dunia dan pada setiap zaman sepakat bahwa para sadah bani Alawi merupakan ahli bait nabi yang nasabnya paling benar dan otentik, serta ilmu, amal, kemuliaan dan adabanya paling tinggi. Mereka semua berakidah Ahlussunnah dan bermadzhab Imam kita, yaitu Syafi’i. semoga Allah Swt meridhai beliau, mereka dan kita semua[15].

Leluhur bani Alawi bahkan banyak berseberangan dengan aliran Syiah. Pada setiap zaman mereka, kerap bertemu dengan pengikut Syiah dengan mengeluarkan kecaman. Seperti habib Abdullah al-Hadda dalam salah satu nasihatnya bercerita: “Seseorang penganut Syiah di Madinah bertanya kepada salah seorang sadah bani Alawi: ‘Apa pendapatmu tentang Syiah dan Ibadhiyah?’ Ia menjawab: ‘Seperti kotoran hewan dibelah dua”[16].

Menurut habib Abdullah al-Haddad rafidhah adalah orang-orang yang batil. Dalam segala hal, mereka tidak dapat diambil pendapatnya. Baginya, penyebaran dakwah Syiah merupakan benca yang sangat buruk dan mengerikan. Ketika menulis surat kepada saudaranya yang tinggal di India beliau menulis:

“Aku berharap pada kemurahan Allah, semoga kalian berada dalam keadaan yang paling baik, meskipun aku telah mendengar berita tentang adanya gangguan di sana. Aku mendengar di India terjadi banyak fitnah yang menyesatkan, bala bencana, pertentangan, perpecahan di kalangan penduduknya, dan tidak berlakunya hukum. Semuanya ini adalah bencana yang sangat besar. 

Tetapi, bencana yang lebih buruk, lebih keji dan lebih mengerikan dari semua itu adalah munculnya orang-orang yang secara terang-terangan membenci al-Syaikhoni, al-Shiddiq (Abu Bakar) dan al-Faruq (Umar) radhiallahu ‘anhuma dan mereka memeluk agama rafidhah yang menurut syariat dan akal sangat tercela.Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Ini adalah musibah yang paling besar dan bencana yang paling dahsyat. Sejak dahulu, sebelum timbulnya berbagai bencana ini, aku merasa keberatan engkau berlama-lama tinggal di negeri yang gelap itu. Sekarang aku semakin berkeberatan lagi. Insya Allah kamu dan saudara-saudaramu, kaum Sayid dari negara Arab, berada dalam lindungan dan penjagaan Allah”.[17]

Akidah Walisongo

Seperti sudah menjadi tradisi bani Alawi, ajaran dan madzhab leluhurnya diajarkan secara disiplin kepada anak turunnya. Seperti juga para dai yang tergabung dalam Walisongo. Idrus Alwi al-Masyhur mengutip buku KH. Abdullah bin Nuh berjudul al-Imam al-Muhajir yang berpendapat: “Kata Sunan merupakan sebutan mulia yang diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh dari Islam di Jawa. Dan akan dijelaskan nasab mereka hingga bersambung sampai ke imam al-Muhajir. Dan sungguh telah kami fahami dari apa yang mereka ajarkan bahwa mereka semua adalah ulama pengikut madzhab Syafi’i dan Sunni akidah keagamaannya. Mereka kemudian lebih dikenal dengan sebutan Wali songo”.

Menurut KH. Abdullah bin Nuh, dalam buku Primbon didapati bahwa wali songo merujuk beberapa kitab Ahlussunnah dalam berdakwah. Seperti Ihya Ulumuddinkarya imam al-Ghazali, Tahmid fi Bayan al-Tauhid wa al-Hidayat li kulli al-Mustarasyid wa al-Rasyid karya Abu Syakhur bin Syuaib al-Kasi al-Hanafi al-Salimi, Talkhis al-Minhaj karya Imam Nawawi, Quut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki, al-Risalah al-Makkiyah fi Thariq al-Sada al-Sufiyah karya Afifuddin al-Tamimi, Hilyah al-Aulia karya Ahmad ibnu Hasyim al-Anthaki. Para wali songo juga merujuk kepada ulama sufi sunni seperti Abu Yazid al-Busthami, Ibnu ‘Arabi, Ibrahim al-Iraqi, Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain[18].

Seperti dalam buku babad Cirebon dituliskan bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang penganut Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari madzhab Syafi’i. Pernikahan ibu Sunan Gunung Jati, Syarifah Mudaim dengan Maulana Hud di Makkah, di mana Syekh Abdullan Iman yang menjadi walinya, menggunakan tata cara madzhab Syafii[19].

Para wali songo berperan penting dalam pembinaan madzhab Syafi’i hingga mayoritas Muslim Indonesia bermadzhab Syafi’i. Dikatakan bahwa ikatan keluarga kalangan Asyraf pada zaman itu sangat kuat. Mereka tidak kesulitan untuk mempersamakan serta memupuk kesatuan faham Ahlussunnah. Pola pembinaan madzhab ini juga diperkuat dengan pertalian hubungan keluarga antara anak dengan bapak, paman dengan keponakan dan antara mertua dan menantu. Tradisi ini sangat kuat hingga membentuk pertalian ideologis secara turun-temurun.

Penutup

Dapat disimpulkan bahwa dugaan akidah wali songo Syiah adalah anggapan yang spekulatif. Berdasarkan data di atas, madzhab dan akidah wali songo adalah ahlus sunnah syafi’iyah. Diturunkan dari para leluhur mereka dari bani Alawi di Hadramaut yang memegang kuat tradisi keagamaannya yang bercorak tasawwuf itu. Jika, wali songo itu Syiah, maka dapat dipastikan mayoritas Muslim Indonesia Syiah. Kenyataannya, Muslim Indonesia mayoritasnya berakidah Ahlus Sunnah bermadzhab fikih Syafi’iyah. Hal ini karena, secara turun-temurun diwariskan dari para muballigh wali songo.

Kholili Hasib

Footnote:

[1] Hamid Al-Gadri,Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah,(Bandung: Mizan,1984), hal. 48
[2] Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, (Saraz Publishing,2012), hal. 98
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Hamid Al-Gadri,Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, hal. 47
[6] Ibid, hal. 38
[7] Thomas Stamford Raffles,History of Java dalam Hamid Al-Gadri,Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, hal 39
[8] Alwi bin Thahir al-Haddad,Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Penerbit Lentera,1996), hal. 39
[9] Ibid
[10] Faris Khoirul Anam,Al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa, (Malang:Darkah Media, 2010), hal.124
[11] Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 158
[12] Alwi bin Thahir al-Haddad,Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, hal. 52
[13] Ali bin Abu Bakar al-Sakran,al-Barkah al-Masyaqah, hal. 133 dalam Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan nan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi, hal.47
[14] Abu Bakar al-‘Adni bin Abdullah al-‘Aidarus,al-Juz’u Lathif Fittahkimi al-Syarif, hal. 13 dalam Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan nan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi,hal.73
[15] Ibid, hal. 73
[16] Abdullah bin Alawi al-Haddad,Tastbitul Fuad II,(Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hal. 226
[17] Abdullah bin Alawi al-Haddad,Mukabatul Imamil Ghautsil Fardhil Jami’, dalam Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan nan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi, hal. 49
[18] KH. Abdullah bin Nuh,al-Imam al-Muhajir hal. 174 dalam Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia,hal. 165
[19] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara dalam Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia,hal.166

http://www.islamedia.co/2015/01/walisongo-bukan-syiah-tapi-ahlussunnah.html

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dan 9 Tuduhan Dusta Yang Dialamatkan Padanya (Bag. I)

Nama Syaikh Muhammad Naasdhiruddin Al-Albany tentu bukanlah nama yang asing di telinga para penuntut ilmu. Meskipun beliau telah meninggal lebih dari satu dekade silam, karya-karya beliau (baik versi tulisan maupun ceramah lisan) dan peninggalan ilmiyahnya masih banyak dipergunakan dan diambil faidahnya.
Semenjak kemunculannya, nama Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albany memang banyak mendapat perhatian dari para penuntut ilmu, asatidzah dan para ulama. Karya-karyanya, kegigihannya dalam bidang ilmu hadits, dan keteguhannya terhadap sunnah membuat beliau menjadi salah satu rujukan dalam beragama.
Pujian pun banyak dilayangkan oleh para ulama untuk Syaikh Al-Albany. Julukan Muhaddits Asy-Syam (Ahli hadits negeri Syam) pun melekat kepeda beliau.
Meskipun begitu, beliau pun tidak lepas dari kritikan. Selayaknya pohon, semakin tinggi tentu semakin besar pula anginnya. Begitu pun dengan beliau, semakin beliau mendapat perhatian dan pujian dari para ulama hadits dan masyarakat Islam, semakin banyak pula kritikan yang dialamatkan kepadanya.
Beberapa kritikan memang terkesan ilmiyah, tetapi tidak jarang kritikan yang datang justru lebih bersifat kedustaan. Kedustaan terhadap Syaikh Al-Albany, datang dari para pendengki beliau. Dan ini memang sunnatullah yang juga menimpa kepada para ahli hadits sebelum beliau.
Dan layaknya ucapan seorang penyair, Allah akan terus meninggikan derajat seseorang dan menyebarkan keutamaannya melalui lidahnya para pendengki.

وإِذَا أَرادَ اللَّهُ نَشْرَ فَضيلَة                          طويتْ أتاحَ لها لسانَ حسودِ

“Sekiranya Allah akan menyebarkan keutamaan seseorang,
Allah akan membukakannya melalui lisan pendengki”
Pada kesempatan ini, kita akan membahas secara singkat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albany rahimahullah. Tulisan ini diterjemahkan secara ringkas dan bebas, serta diambil dari artikel yang dituliskan oleh Syaikh  Muhammad Umar Bazmul (untuk yang mengerti bahasa arab, silahkan baca artikel lengkapnya disini)
1. Ahli Hadits Yang Tidak Paham Fikih
Ungkapan ini, bila dimaksudkan hanya sekedar untuk mensifati bahwa Syaikh Al-Albany termasuk ulama ahli hadits yang piawai dan pakar dibidangnya, dan tidak ada maksud untuk mengurangi ketinggian ilmu fikih beliau, maka ungkapan ini tidak perlu dijawab. Karena Syaikh Al-Albany merupakan salah satu ahli hadits abad ini yang dapat disaksikan keilmuannya, dan peran aktifnya di bidang hadits.
Adapun jika ungkapan tersebut bermaksud untuk menggugurkan dan meniadakan keilmuan Syaikh Al-Albany dalam bidang fikih hadits, penjelasan maknanya, pilihan-pilihannya, dan hasil tarjih beliau dalam masalah-masalahnya, maka ini adalah ungkapan yang munkar dan batil. Dan dapat dijawab dengan pernyataan berikut ini.
Kita katakan kepada orang yang menuduh Syaikh Al-Albany dengan tuduhan beliau tidak mengerti masalah fikih : Apa sebenarnya arti fikih menurut kalian? Jika maksud kalian fikih adalah menghafal masalah-masalah, matan-matan, dan masuk ke dalam permasalahan yang bersifat tidak nyata, tanpa mendasari semua itu dengan dalil yang shahih, maka Syaikh  Al-Albany memang jauh dari hal itu.
Adapun jika maksud kalian bahwa fikih adalah memahami dan mempelajari masalah-masalah berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in, tanpa fanatik kepada seseorang kecuali kepada dalil, maka jelas ini merupakan tuduhan dusta. Karena Syaikh Al-Albany justru merupakan orang yang memahami dan mempelajari dalil-dalil dari Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in.
2. Tidak Mengetahui Ilmu Ushul
Tuduhan ini jelas mengada-ada. Justru apa yang ada dalam kitab-kitab Syaikh Al-Albany merupakan kebalikan dari tuduhan ini.
Bahkan, yang masyhur di kalangan para penuntut ilmu adalah bahwa beliau memiliki kajian ushul fikih yang dihadiri oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah dan sebagian staff dosen Universitas tersebut. Diantara kitab yang diajarkan oleh beliau di halaqah ilmiyah tersebut adalah kitab Ushulul Fikih karya Abdul Wahhab Khallaf.
3. Tidak Memiliki Guru
Tuduhan ini terlalu tergesa-gesa untuk diucapkan. Sebab Syaikh Al-Albany pernah belajar beberapa ilmu alat dari ayahnya, seperti ilmu shorof. Beliau juga belajar darinya beberapa kitab madzhab Hanafi, seperti Mukhtashor Al-Qaduri. Darinya juga beliau belajar Al-Qur’an dan pernah menghatamkan riwayat Hafsh beserta tajwidnya.
Beliau pun pernah belajar dari Syaikh Sa’id Al-Burhani kitab Maraqi Al-Falah, sebuah kitab yang bermadzhab Hanafi, dan kitab Syudzurudz Dzahab di cabang ilmu nahwu serta beberapa kitab balaghah
Beliau juga pernah menghadiri seminar-seminar Al-Allamah Muhammad Bahjat Al-Baithar bersama beberapa ustadz dari Al-Majma Al-Islami Damaskus, diantaranya : Izzudin At-Tanukhi. Waktu itu mereka belajar kitab Al-Hamasah syairnya Abu Tammam.
Di akhir hayatnya, beliau sempat bertemu dengan Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabbakh. Syaikh Muhammad Raghib pun menyatakan takjub dengan Syaikh Al-Albani, dan menghadiahkan kepada beliau kitab Al-Anwar Al-Jaliyah Fi Mukhtashar Al-Atsbat Al-Hanbaliyah.
Apabila kita mengetahui semua ini, maka jelas bahwa bahwa tuduhan dusta mereka “Al-Albani tidak memiliki guru” menyelisihi realita yang ada.
Dan tentunya tidak mengurangi kedudukan Syaikh meskipun hanya sedikit gurunya. Betapa banyak ulama yang hanya memiliki sedikit guru, dan itu tidak mempengaruhi kredibilitas keilmuannya. Bahkan diantara perawi hadits ada yang tidak meriwayatkan hadits kecuali dari dua atau tiga orang saja, bahkan ada juga yang berguru dari seorang Syaikh saja. Namun ternyata para ulama bersaksi akan kekuatan dan kesempurnaan hafalannya. Dan hal itu tidak menjadi alasan yang mencegah untuk mengambil ilmu dan meriwayatkan hadits dari mereka.
Sebagai contoh, ada seorang ulama yang bernama Abu Umar Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Al-Lakhami yang terkenal dengan sebutan Ibnul Baji (wafat mendekati tahun 400H) yang merupakan penduduk daerah Isybilia (Sevilla). Dia adalah satu-satunya ulama dan ahli fikih yang ada pada waktu itu. Beliau mengumpulkan cabang ilmu hadits, fikih, dan keutamaan. Dan beliau menghafal dengan baik beberapa kitab-kitab sunnah dan penjelasan maknanya.
Oleh : Aziz Rachman


Sejarah Penyerangan Imam Masjidil Haram Dan Masjid Nabawi

Aksi penyerangan terhadap Imam Masjid Nabawi, Sheikh Ali Hudzaifi, pada hari Minggu (17/05) pekan lalu bukanlah aksi pertama yang dilakukan oleh sejumlah orang untuk menyerang Imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Tercatat sepanjang 1 dekade terakhir terdapat 4 kali upaya penyerangan terhadap Imam Masjid Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, dengan 2 kali diantaranya menimpa Sheikh Ali Hudzaifi.
Berikut beberapa aksi penyerangan yang dihimpun oleh kantor berita Al Arabiya;
Tahun 2015
Minggu 17 Mei seorang pria tidak dikenal mencoba menyerang Sheikh Ali Hudzaifi yang saat itu menjadi imam Di Masjid Nabawi.
Aparat keamanan Saudi yang sedang berjaga di sekitar tempat sholat berhasil melumpuhkan aksi seorang pemuda yang tiba-tiba menerbos barisan menuju tempat Imam.
Tahun 2014
Kejadian kedua hampir menimpa Sheikh Abdul Rahman Al Sudais yang saat itu menjadi imam shalat di Masjidil Haram.
Akan tetapi petugas yang sigap berhasil menghentikan aksi pemuda nekad tersebut sebelum berhasil mencapai tempat imam.
Tahun 2010
Kejadian pertama yang menimpa Sheikh Ali Hudzaifi terjadi pada tahun 2010 lalu, dimana seseorang yang berada di shaf kedua mencoba menyerang Sheikh Ali Hudzaifi yang saat itu menjadi imam Masjid Nabawi.
Dalam pemeriksaan petugas keamanan mendapati 2 buah pisau yang dibawa oleh pelaku yang dibawanya di dalam pakaian.
Tahun 2008
Ditahun 2008 seorang pria berkulit hitam tiba-tiba berdiri menyerang Sheikh Abdul Rahman Al-Sudais yang saat itu menjadi imam di Masjidil Haram.
Petugas yang berada di sekitar segera mengamankan pelaku dan membawanya kantor kepolisian setempat untuk menjalani pemeriksaan. (Alarabiya/Ram)


[ Menangis Membaca Artikel Ini ] Ibarat Kaum Anshar Dan Muhajirin, “Warga Aceh Tak Berhitung Untung-Rugi Menolong Rohingya”

Dikutip dari Atjehcyber.net. Tepat sehari setelah ditolongnya pencari suaka oleh nelayan Desa Pusong Teulaga Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa, ‘Pos Kemanusiaan’ ACT (Aksi Cepat tanggap) di Langsa sudah menerima aliran amanah berupa dana dan barang untuk membantu para pencari suaka.

Sutaryo dan Apiko Joko Mulyono, Tim ACT Pusat yang diterjunkan sebagai ACTion Team fo Rohingya-II, memutuskan melakukan perjalanan darat dari Medan-Langsa.

“Dengan begitu, kami bisa segera menyiapkan pos kemanusiaan, karena Tim pertama sudah men-set up pos kemanusiaan di Lhoksukon,” jelas Sutaryo.

Simultan dengan aktivitas belanja logistik bantuan, pos kemanusiaan ini baru berdiri pukul 12 siang.

“Kami mendapat dukungan berbagai instansi di Langsa, antara lain BPBD yang memfasilitas tenda untuk pos kemanusiaan. Sembari menanti tim yang berbelanja, pos ACT sudah didatangi warga Aceh yang mengamanahkan bantuan kemanusiaan,” ungkap Sutaryo, melaporkan ke ACT Pusat.

Informasi aliran bantuan ini, baik berupa uang tunai maupun barang – terutama logistik, masuk di sela briefing harian dipimpin langsung Ahyudin, Presiden ACT. Semua dilibas haru.

Ibarat Kaum Muhajirin dan Anshar

Mengomentari fakta kuatnya emosi warga Aceh menolong Muslim Rohingya, tanpa menekankan eksklusivitas, Vice President ACT Ibnu Khajar spontan memandang fenomena Rohingya-Aceh laksana Muhajirin-Anshar.

“Kejadian ini persis kedatangan Muslim Mekah hijrah ke Madinah. Muhajirin, kaum yang datang tak membawa apa-apa, disambut penduduk Mekah atau kaum Anshar, yang lebih dulu hijrah dan membangun kehidupan. Kejadian ini Allah abadikan dalam Al-Qurˈan Surah Al-Hasyr, ‘Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman – atau kaum Anshâr - sebelum mereka – atau Muhajirin, mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka – atau orang Muhajirin, yang hijrah ini; dan mereka mengutamakan – maksudnya orang-orang Muhajirin itu - atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan itu’. Yang dimaksud, apa pun yang mereka berikan kepada kaum yang berhijrah kepada mereka,” ungkap Ibnu. Sesaat Ibnu terdiam menahan perasaan.

“Saya tak sanggup melanjutkan,” katanya singkat.

Semua sepakat, warga Aceh tak berhitung untung-rugi menolong Rohingya. Mereka bagai pembawa rahmat, karena semua meyakini, adalah kewajiban, menolong sesama manusia yang berlari mencari perlindungan.

Doa kaum teraniaya, tak terhalang apapun, langsung diterima Sang Maha Kuasa. Maka tak heran, aliran dukungan, empati dan bantuan nyata mengalir untuk Rohingya ketika mereka muncul di Aceh.

“Andai kita tak berbuat sungguh-sungguh memolong mereka, alangkah malunya kita di hadapan Allah sebagai manusia. Tahun 2012, ACT sudah mengambil risiko berat mendatangi Myanmar dan Bangladesh demi menolong Muslim yang dianiaya di sana. Sekarang, mereka sudah di negeri kita, tak ada alasan untuk menolak panggilan langit ini, menyelamatkan nyawa mereka. Serius menyelamatkan Rohingya, itu harga diri kita,” pungkas Ibnu.
Mufti Perlis Bangga Sikap Aceh, Sebut Telah Selamatkan Martabat Agama
Rabu, 20 Mei 2015 - 09:26 WIB
Membandingkan sikap negara Eropa yang dikenal tidak Muslim tapi justru mencoba menyelamatkan para pengungsi Rohingya di lautan
Mufti Perlis, Datuk Dr Mohd Asri Zainul Abidin menyatakan sedih atas sikap pemerintah Malaysia membiarkan saudara Muslim mereka mati kehausan dan kelaparan di tengah lautan.
“Setelah umat Islam Rohingya dibunuh dengan kejam oleh para Buddha di bumi mereka, mereka bermigrasi mencari perlindungan di negara-negara Muslim seperti kita, “ ujarnya dikutip Harakahdaily.net, mengambil dari akun Facebook-nya. Sayangnya, mereka diperlakukan tidak manusiawi.
Menurutnya, perlakuan terhadap pengungsi Rohingnya tanpa ada belas kemanusiaan, apalagi ukhuwwah keagamaan, ” tulisnya melalui Facebook dengan judul Rohingya Yang Ditangisi.
Menurutnya, kita sudah melihat ribuan Muslim Rohingya dibunuh kelompok Buddha di Myanmar, namun suara negara ini (Malaysia, red) tidak begitu lantang membela. Kali ini, ujarnya sanggup pula melihat mereka mati dan tersiksa.
Katanya, jika musibah tidak menimpa mereka, tentu mereka juga tidak bergadai nyawa membelah badai (lautan, red).
“Namun, atas keserakahan kita, khawatir rezeki kita bersama orang, kita halau mereka bersabung nyawa di lautan.”
Menurutnya banyak orang lupa, jika Allah menghendaki rezeki yang di tangan pun bisa hilang.
“Mayat pesawat yang jatuh di lautan yang hampir yakin mati masih kita cari, sedangkan yang masih hidup di lautan kita coba biarkan mati. Di manakah kemanusiaan kita ini?” ujarnya lagi.
Dr Mohd Asri mengomentari laporan media sebelumnya yang mengatakan ada lebih 8.000 pengungsi Rohingya dari Myanmar serta Bangladesh terdeteksi berada di tengah laut dalam upaya mereka untuk memasuki Malaysia secara ilegal.
Sebagian dari pengungsi terdeteksi hanyut ke Indonesia, menyebabkan otoritas kedua negara mengambil langkah pengetatan kontrol di perairan masing-masing.
Melihat ini, ia membandingkan sikap negara-negara Eropa yang dikenal tidak Muslim tapi justru mencoba menyelamatkan para pengungsi di lautan.
“Kita yang disebut sakan ‘shalawat perdana’ dengan ratusan ribu harga biaya, sanggup melihat manusia mati di lautan demikian rupa karena khawatir rezeki kita bersama orang . Kemudian, kita beritahu kita Muslim terbaik. Kita sangat khawatir, kerakusan dan keserakahan kita ini akan mengundang bala’ Tuhan yang menakutkan,” katanya.
Jika sebelum ini beberapa pertanda bala’ demi bala’ datang ke administrasi negara, atas sebab musabab yang hanya Tuhan Maha tahu apa yang telah terjadi internal mereka yang berkuasa. Namun, ujar Dr Asri lagi kehilangan kemanusiaan ini dikhawatirkan menjemput kemurkaan Allah di lautan dan di daratan.
“Pohon perlindungan Allah untuk sekalian rakyat yang tidak bersalah,” ujarnya.
Ia tak lupa mengucapkan selamat kepada masyarakat Aceh atas sikap kemunusiaan mereka membela pengungsi Rohingya.
“Anda telah menyelamatkan martabat agama di mata dunia. Ketika dunia senyum; ‘Lihat Muslim, mereka sendiri sanggup melihat sesama mereka mati, kesanggupan Aceh itu telah melindungi martabat umat ini, “ujarnya lagi.*



[ Masya Allah Berjarak 9000 Km ] PM Turki : Pemerintah Kami Telah Mengeluarkan Intruksi Untuk Membantu Muslim Rohingya

Pemerintah Turki melalui Angkatan Laut-nya mengirimkan kapal-kapal ke perairan lepas pantai Thailand dan Malaysia guna membantu menyelamatkan para pengungsi muslim Rohingya.
Bekerja sama dengan Organisasi Migrasi Internasional, Turki akan melakukan yang terbaik agar secepatnya mencapai Laut Andaman dan Perairan Malaysia, serta Thailand dan Indonesia.
“Pemerintah telah mengeluarkan instruksi dengan mengirim kapal-kapal dan berpartisipasi dalam upaya internasional demi membantu muslim Rohingya,” kata PM Turki, Ahmet Davutoglu seperti dikutip dari islammemo, Rabu (20/5/2015).
Dilaporkan bahwa, sekitar 7.000 sampai 8.000 Muslim Rohingya dan migran Bangladesh diyakini terkatung-katung di tengah laut, setelah ditolak merapat di pantai Malaysia, dan diintimidasi akan ditenggelamkan AL Thailand.
Kabar terakhir menyebutkan 370 Muslim Rohingya dan migran Bangladesh diselamatkan nelayan Aceh dan didaratkan di Langsa, Aceh Timur. Hampir seluruh migran kelaparan, lelah, dan dehidrasi.
Sementara itu, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi menyebut bahwa selama tiga bulan terakhir, lebih dari 25 ribu warga Rohingya telah melarikan diri dari daerah asal mereka.
Seperti diketahui muslim Rohingya menderita selama berpuluh-puluh tahun akibat penindasan yang dilakukan oleh pemerintah negaranya sendiri dan mayoritas Budha di Myanmar.Kini, banyak dari muslim Rohingya yang memilih keluar dari Myanmar dan berusaha mencari penghidupan baru di luar tanah leluhur.

Turki Kirim Angkatan Lautnya Bantu Cari Pengungsi Muslim Rohingya
Rabu, 20 Mei 2015 - 22:36 WIB
Ahmet Davutoglu bersama Emine Erdogan (Istri Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan) pernah mengunjungi Muslim Rohingya di kamp pengungsian Banduba, negara bagian Arakan (Rakhine), Myanmar
Berbeda dengan sikap Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melarang membantu pengungsi Rohingya, pemerintah Turki justru memerintahkan Angkatan Laut Tentara Nasional nya untuk melakukan upaya pencarian imigran Muslim Rohingya yang diperkirakan terdampar di perairan Thailand dan Malaysia.
Angkatan Laut Turki sedang melakukan upaya untuk mencapai kapal etnis Muslim Rohingya yang terdampar di lepas pantai Thailand dan Malaysia, demikian disampaikan Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu, demikian dikutip Turki Hurriyet Daily News Selasa (19/05/2015).
Dalam pertemuan di Istana Cankaya pada Selasa, 19 Mei 2015 kemarin, Perdana Menteri Ahmed Davutoglu mengatakan Turki berusaha melakukan yang terbaik untuk membantu Muslim Rohingya yang saat ini berada di lautan dengan berkoordinasi dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), dengan bantuan kapal Angkatan Bersenjata Turki yang sudah berlayar di wilayah tersebut.
Diperkirakan, tujuh sampai delapan ribu Rohingya dan imigran Bangladesh saat ini berada di perairan Selat Malaka. Tujuan mereka adalah Thailand dan Malaysia namun mendapat penolakan dari negara itu.
Malaysia dan Indonesia hari Rabu (20/05/2015) menyatakan siap menerima pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di tengah laut di daerah perairannya. Hal itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri kedua negara setelah melakukan konsultasi dengan menlu Thailand di Putrajaya, Malaysia.
Seperti diketahui, etnis Muslim Rohingya terdampar di Aceh sejak 10 Mei 2015 lalu hingga menjadi perhatian berbagai kalangan.
Muslim Rohingya selama berpuluh-puluh tahun mendapat perlakuan diskriminasi dari Myanmar termasuk pembatasan melahirkan dan menikah. Serangan terhadap minoritas Muslim ini selama tiga tahun terakhir telah mengakibatkan terjadinya eksodus besar-besaran sejak Perang Vietnam.
PBB memperkirakan bahwa 120.000 telah meninggalkan negara dengan perahu dalam tiga tahun terakhir, mereka melarikan diri dengan kondisi putus asa dan ancaman kekerasan sewenang-wenang oleh umat Buddha Rakhine dan pasukan keamanan.[Baca: Emine Erdogan Tak Kuasa Menahan Tangis di Myanmar]
Sebelumnya, pada bulan Agustus 2012, saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu bersama Emine Erdogan (Istri Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan) pernah mengunjungi Muslim Rohingya di kamp pengungsian Banduba, negara bagian Arakan (Rakhine), Myanmar.
Ahmet Davutoglu bersama Emine Erdogan menyerahkan sejumlah bantuan pada warga,  yang dinilai bantuan dari negara asing pertama yang sampai kepada etnis Rohingya, lansir Today’s Zaman.*

TNI dan pemerintah Indonesia dibuat Tercengang dengan Tindakan 'aneh' Turki ini

Di saat Tentara Nasional Indonesia (TNI) diperintahkan untuk menghadang kapal-kapal pengungsi umat Islam Rohingya agar tidak masuk ke wilayah Indonesia, Turki malah sebaliknya.

Angkatan Laut Tentara Nasional Turki diperintahkan oleh Panglima, Perdana Menteri, dan Presidennya untuk membantu melindungi, mengarahkan, memberi bantuan makanan dan bahan bakar agar tiba dengan selamat di Turki kemudian diberikan tempat tinggal yang layak bagi mereka.

Seperti diberitakan media Turki Hurriyet Daily News (19/5/2015), Angkatan Laut Turki sedang melakukan upaya untuk mencapai kapal Muslim Rohingya yang terdampar di lepas pantai Thailand dan Malaysia, ujar Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu.

Pada pertemuan dengan sekelompok anak muda di Istana Negara, 19 Mei, PM Davutoglu mengatakan bahwa Turki telah melakukan yang terbaik untuk membantu Muslim Rohingya bekerjasama dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), dengan bantuan kapal dari Angkatan Bersenjata Turki yang sudah berlayar menuju lokasi.

Beberapa dari 7.000-8.000 pengunsi Rohingya dan Bangladesh saat ini diduga berada di Selat Malaka, mereka tidak dapat turun karena tindakan keras pada jaringan perdagangan di Thailand dan Malaysia, tujuan utama mereka.

Kapal yang membawa sekitar 500 Muslim Rohingya Myanmar terdampar di barat Indonesia pada 10 Mei, dengan beberapa orang yang membutuhkan perhatian medis, seorang pejabat migrasi dan advokat hak asasi manusia mengatakan.

Para pria, wanita dan anak-anak tiba di dua kapal terpisah, dengan jumlah 430 orang dan 70 orang, kata Steve Hamilton, wakil kepala misi di IOM di Jakarta, ibukota Indonesia.

Muslim Rohingya telah menderita selama beberapa dekade akibat diskriminasi negara di Myanmar.

Serangan terhadap minoritas Muslim Rohingya oleh massa Buddha dalam tiga tahun terakhir telah memicu salah satu eksodus terbesar manusia perahu sejak Perang Vietnam, dengan 100.000 orang melarikan diri, menurut Chris Lewa, Direktur Proyek Arakan. Proyek ini telah memantau pergerakan Rohingya untuk lebih dari satu dekade. Demikian tulis Hurriyet Daily News.

Sekali lagi dunia (termasuk TNI dan pemerintah Indonesia) dibuat tercengang dengan tindakan 'aneh' Turki ini. Mereka (Turki) berada jauh diantara benua Eropa, tapi mereka sengat dekat dan sigap dengan saudara-saudara Muslim.

ASTAGHFIRULLAH, PANGLIMA TNI TOLAK PENGUNGSI MUSLIM ROHINGYA

Seperti yang dikutip dari Arrahmah.com. Ratusan pengungsi dari Myanmar dan Bangladesh resah ketika mereka diusir pergi oleh Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia. Tak disangka, mereka justru selamat karena kebaikan hati para nelayan Aceh yang membawa mereka ke darat dan memberi mereka makan.
Marzuki Ramli (45), nelayan asal Kuala Langsa, saat itu sedang bersama 30 nelayan lainnya menangkap ikan menggunakan pukat pada Kamis malam (14/5/2015). Ia berada di perahu miliknya yang berukuran 26 x 6 meter, sekitar 35 mil dari pinggir pantai.
Sebuah kapal nelayan kecil tiba-tiba melintas, dan meminta bantuan. Diketahui mereka sudah tiga bulan tarkatung-katung di lautan lepas.
 “Woi, cepat pergi ke sana, ada orang yang mengapung-apung di laut. Kalau kalian terlambat datang, bisa mati semua,” kata orang itu seperti dituturkan Marzuki, dikutip Rappler, Jum’at (15/5).

Marzuki dan nelayan lainnya segera mengarah ke kerumunan orang-orang yang mengapung tersebut. Jaraknya sekitar 5 mil atau 1 jam perjalanan dari tempat mereka menangkap ikan.
Ketika sampai, para nelayan langsung menarik satu demi satu para pengungsi tersebut dari laut. Perahu Marzuki hanya sanggup menampung 250 orang.
Marzuki segera mengontak nelayan yang lain, dan datanglah 5 perahu nelayan yang membantu Marzuki mengevakuasi para pengungsi. Totalnya ada 672 orang, terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak.
 “Begitu kapal nelayan merapat, para pengungsi langsung melompat ke perahu,” kata Marzuki.
Butuh dua jam bagi Marzuki dan 5 kapal lainnya untuk melakukan evakuasi tersebut, karena kondisi langit sangat gelap dan ombak yang tinggi.
Ada dua orang yang diduga preman ditinggal di tengah laut.
 “Ini dari pengakuan para pengungsi bahwa ada dua orang yang disebut sering memukul, daripada berkelahi maka kami tinggal,” katanya.
Ada lagi, satu orang yang sudah meninggal dengan kondisi tangan putus di kapal juga ditinggalkan.
Nelayan memasak untuk pengungsi yang kelaparan
Saat mereka ditemukan, para pengungsi hanya memakai celana pendek dan kaos singlet. “Kebanyakan dari mereka tidak pakai baju, dan tubuhnya lemas,” kata Marzuki.
Setelah menarik para pengungsi, nelayan mengeluarkan stok air minum dan bahan makanan. Gula dan kue langsung disantap habis oleh para pengungsi yang kelaparan.
Karena tak cukup, para nelayan memutuskan untuk mengeluarkan stok beras dan memasak untuk para pengungsi.
 “Butuh waktu sekitar 20-30 menit untuk memasak,” katanya. “Makannya pun di tangan, karena persediaan piring tak cukup.”
Ar Rahman, salah satu nelayan dari Langsa, mengatakan ia mendapatkan informasi dari radio komunikasi mengenai kapal yang hampir tenggelam di perairan Aceh Timur.
 “Lalu saya dan kawan-kawan menuju lokasi untuk menolong mereka. Ketika sampai di sana kami melihat ratusan orang, laki-laki dan anak-anak, perempuan dan orang lanjut usia. Ketika melihat kami laki-laki melompat ke laut dan berenang, sedih kami melihatnya,” jelas Ar Rahman.
 “Laki-laki melompat ke laut sambil histeris dan berteriak Allahu Akbar. Mereka meminta tolong dengan bahasa mereka,” jelas Ar Rahman, dilansir BBC Indonesia.
Proses evakuasi para pengungsi ke pelabuhan Kuala Langsa kala itu dilakukan oleh lebih dari enam kapal nelayan dari Langsa.
Mereka lalu dibawa ke Teluk Langsa dan ditangani kepolisian setempat serta pemerintah daerah.
Cerita mengenai kebaikan nelayan Aceh bagi pengungsi tak hanya sebatas menyelamatkan. Pada gelombang pengungsi sebelumnya, warga Aceh membantu dengan memberikan makanan ke tempat penampungan.
Bahkan ada beberapa warga Aceh yang ingin mengadopsi anak-anak pengungsi.
 “Saya benar-benar tulus ingin merawat anak Rohingya. Apalagi mereka adalah warga Muslim. Sesama Muslim, kita harus saling membantu. Apalagi dulu saat konflik Aceh, kita juga pernah merasakan bagaimana penderitaan akibat perang,” kata Ilyas, warga Aceh.

Mereka dihalau AL karena dalih ‘kedaulatan’

Para pengungsi yang ingin pergi ke Malaysia ini ditinggalkan kapten kapal terombang-ambing di tengah laut. Ketika mereka mendekati Indonesia, mereka mengatakan kapal TNI AL menghampiri, memberi makanan dan minuman, lalu menyuruh pergi.
Dalam keadaan resah karena mesin kapal mati dan terapung-apung beberapa hari di lautan, kapal milik angkatan laut Malaysia mendekat. Lagi-lagi, mereka hanya diberi bantuan makanan dan minuman. Perahu mereka lalu ditarik ke tengah laut oleh angkatan laut Malaysia.
 “Kami dilepas di tengah laut, dekat perairan Indonesia,” kata Sahidul, salah seorang pengungsi.
Panglima TNI Jenderal Moeldoko membenarkan penolakan tersebut.
 “Untuk suku Rohingya, sepanjang dia melintas Selat Malaka, kalau dia ada kesulitan di laut, maka wajib kita bantu. Kalau ada sulit air atau makanan, kita bantu, karena itu terkait human. Tapi kalau mereka memasuki wilayah kita, maka tugas TNI untuk menjaga kedaulatan,” dalih Moeldoko.
Menurut Moeldoko, bila para pengungsi dibiarkan masuk ke wilayah Indonesia, mereka akan memunculkan persoalan sosial.
 “Urus masyarakat Indonesia sendiri saja tidak mudah, jangan lagi dibebani persoalan ini,” katanya.

Saat ditanyakan bagaimana nasib para pengungsi Rohingya ini jika tak ada negara yang mau menampung, Moeldoko menolak berkomentar. Moeldoko mengatakan itu urusannya menteri Luar Negeri.