Friday, March 27, 2015

Sejarah keji agama Syi’ah Rafidhah sepanjang zaman

Banyak kaum muslimin yang tertipu oleh ‘kegarangan’ negara Syiah Rafidhah Iran terhadap Barat. Mereka menyangka Syiah Rafidhah adalah bagian dari Islam, bahkan pahlawan yang membela kaum muslimin. Padahal Syiah Rafidhah adalah agama tersendiri di luar Islam. Syiah Rafidhah juga tidak membela kaum muslimin. Justru sejarah Syiah Rafidhah sejak pertama muncul hingga hari ini selalu bersekongkol dengan musuh-musuh Islam dalam memerangi kaum muslimin.
Syiah Rafidhah bersekongkol dengan pasukan salibis Eropa dalam menginvasi Palestina dan Syam pada masa perang Salib. Setelah itu Syiah Rafidhah bersekongkol dengan pasukan Mongol dalam menjatuhkan daulah Abbasiyah dan mencaplok wilayah Islam. Negara Syiah Rafidhah Shafawiyah Iran juga bersekongkol dengan Inggris, Perancis, Spanyol, Portugis, dan Barat dalam memerangi daulah Utsmaniyah.
Kini, Syiah Rafidhah Iran bersekongkol dengan Syiah Yaman dan Syiah Nushairiyahdalam membantai kaum muslimin. Untuk menutupi kedoknya, Syiah Rafidhah Iran menampakkan diri seakan-akan memusuhi Israel dan AS. Padahal banyak bukti menunjukkan persekongkolan mereka di belakang layar demi memerangi kaum muslimin.
Berikut ini ringkasan sejarah agama Syiah Rafidhah, kanker umat dan penyakitnya yang ganas. Dengan izin Allah, kami menjelaskan peristiwa-peristiwa paling penting yang memiliki kaitan langsung dengan sejarah Syiah Rafidhah dalam memerangi kaum muslimin. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin secara umum.
Dengan nama Allah, saya memulai:
14 H: Tahun ini merupakan asal muasal cekikan kelompok Rafidhah terhadap Islam dan kaum muslimin. Hal itu dikarenakan pada tahun ini terjadi perang Qadisiyah, di mana kaum muslimin meraih kemenangan telak atas nenek moyang kelompok Rafidhah, yaitu bangsa Persia Majusi. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khathab RA.
16 H: Ibukota imperium Persia, Madain, jatuh ke tangan kaum muslimin. Peristiwa ini meninggalkan kekecewaan, kemarahan, dan kebencian yang mendalam dalam hati kelompok Rafidhah.
23 H: Abu Lu’luah al-Majusi membunuh khalifah Umar bin Khatab RA. Kelompok Rafidhah memberi Abu Lu’luah gelar Baba Alauddin, sebagai symbol dan tokoh penting mereka dalam memerangi Islam.
34 H:  Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi dari Shan’a yang bergelar Ibnu Sauda’ muncul dan menampakkan dirinya masuk Islam secara lahir meski dalam hatinya memendam kekafiran. Ia mulai menggerakkan kelompok-kelompok untuk melawan khalifah Utsman bin Affan. Provokasinya berhasil dan orang-orang yang menjadi pengikutnya membunuh khalifah Ustman bin Affan pada tahun 35 H.
Aqidah Abdullah bin Saba’ memiliki akar pada ajaran Yahudi, Nasrani, dan Majusi yaitu penuhanan Ali bin Abi Thalib, pewasiatan kepemimpinan baginya, raj’ah (Ali akan hidup kembali di akhir zaman untuk menghukum lawan-lawan politiknya), wilayah, imam, bada’, dan lain-lain.
36 H: Satu malam sebelum terjadinya perang Jamal, kedua belah pihak sahabat berdamai dan bermalam dengan tenang. Adapun Abdullah bin Saba’ dan para pengikutnya tidak tinggal diam. Mereka melakukan kekacauan di kedua belah barisan sehingga mereka berhasil menyebabkan kesalah pahaman dan peperangan di antara kedua belah pihak. Pada masa kekhalifah Ali bin Abi Thalib, para pengikut Abdullah bin Saba’ (Saba’iyah) mendatangi Ali dan menyatakan secara terus terang bahwa Ali adalah Tuhan yang menciptakan dan memberi rizki mereka. Ali meminta mereka untuk bertaubat namun mereka tidak mau bertaubat, maka Ali menghukum mati mereka dengan hukuman bakar.
41 H: Tahun yang paling dibenci oleh kelompok Rafidhah, di mana kaum muslimin bersepakat untuk mengakui satu khalifah yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan RA. Hasan bin Ali mengundurkan dirinya dari jabatan khalifah dan tahun tersebut dikenal dengan nama tahun jama’ah. Makar Rafidhah untuk memecah belah kaum muslimin gagal.
61 H: Husain bin Ali RA terbunuh pada tanggal 10 Muharam setelah para pengikutnya mengkhianatinya dan membiarkannya sendirian menghadapi pasukan daulah Umawiyah.
260 H: wafatnya Hasan Al-Askari yang dianggap sebagai imam ke-11 kelompok Rafidhah. Maka muncul kelompo Rafidhah Itsna Asyariyah yang meyakini imam mereka adalah imam yang ditunggu-tunggu karena masih bersembunyi di sebuah gua di Samira, yaitu Muhammad bin Hasan al-Askari. Padahal Hasan al-Askari meninggal tanpa memiliki anak. Rafidhah Itsna Asyariyah meyakini imam Muhammad bin Hasan al-Askari adalah imam Mahdi yang akan keluar untuk menegakkan kerajaan Rafidhah dan menghukum lawan-lawan politiknya.
277 H: Di kota Kufah muncul kelompok Qaramithah Rafidhah, dipimpin oleh Hamdan bin Asy’ats yang bergelar Qarmith.
278 H: Di Ahsa’ dan Bahrain muncul kelompok Qaramithah Rafidhah di bawah pimpinan Abu Sa’id al-Janabi ar-Rafidhi.
280 H: berdiri kerajaan Syiah Zaidiyah Rafidhah di Sha’dah dan Shan’a, Yaman, dengan pemimpinnya Husain bin Qasim ar-Rasi.
297 H: Berdiri kerajaan Ubaidiyah Rafidhah di Mesir dan Magrib (Maroko dan Afrika Utara), di bawah pimpinan Ubaidullah bin Muhammad al-Mahdi. Mereka menipu kaum muslimin dengan mengklaim sebagai keturunan ahlul bait dan mereka menamakan kerajaan mereka kerajaan Fathimiyah.
317 H: Pemimpin Qaramithah Rafidhah di Ahsa dan Bahrain, Abu Thahir ar-Rafidhi bersama kelompoknya berhasil menguasai kota Makkah pada hari Tarwiyah, 8 Dzulhijah. Mereka membantai jama’ah haji di masjidil haram, membuang mayat-mayat mereka ke sumur zam-sam, dan mencongkel Hajar Aswad kemudian mereka bawa ke Ahsa’. Hajar Aswad tetap mereka kuasai di Ahsa’ sampai tahun 335 H. Adapun kekuasaan mereka di Ahsa’ bertahan sampai tahun 466 H.
Pada tahun 317 H berdiri pula kerajaan Hamdaniyah Rafidhah di Maushil (Irak) dan Halb (Suriah). Kerajaan ini tumbang pada tahun 394 H.
329 H: Tahun ini oleh kelompok Rafidhah disebut tahun Ghaibah Kubra (persembunyian skala besar), di mana mereka mengklaim telah sampai kepada mereka sebuah surat dengan tanda tangan imam Mahdi yang mereka tunggu-tunggu. Menurut klaim mereka, dalam surat tersebut imam Mahdi menulis: “Telah terjadi ghaibah (persembunyian) secara sempurna maka tidak akan muncul kecuali setelah mendapat izin Allah. Maka barangsiapa mengklaim melihat aku niscaya ia adalah seorang pendusta yang mengada-ada.” Surat palsu tersebut mereka buat karena para ‘dukun’mereka kewalahan menghadapi pertanyaan pengikut awam mereka tentang kapan waktu kemunculan imam Mahdi yang mereka tunggu-tunggu.
334 H: berdiri kerajaan Buwaihiyah Rafidhah di Dailam dengan pemimpinnya Abu Syuja’ ad-Dailami. Mereka melakukan perusakan di Baghdad dan pada masa mereka caci makian terhadap generasi sahabat beredar luas.
339 H: Hajar Aswad dikembalikan oleh pemimpin Qaramithah Rafidhah di Ahsa’ keMakkah atas perantaraan raja Ubaidiyah Rafidhah Mesir.
352 H: Penguasa kerajaan Buawihiyah yang mendominasi kerajaan Abbasiyahmemerintahkan rakyat untuk menutup pasar-pasar pada hari Asyura, melarang jual beli, menyalakan lilin, para wanita keluar rumah dengan rambut terurai dan menampar pipi di pasar-pasar. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, di Baghdad dilaksanakan peringatan ratapan atas terbunuhnya Husain bin Ali.
358 H: Kelompok Ubaidiyah Rafidhah menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan Ubaidiyah. Rajanya yang paling menonjol adalah Al-Hakim bi-Amrillah yang mengklaim dirinya sebagai Tuhan dan mempropagandakan ajaran reinkernasi. Dengan runtuhnya kerajaan Ubaidiyah ini pada tahun 568 H, berdirilah kelompok Druz Bathiniyah.
402 H:  Para ulama, pejabat, dan tokoh masyarakat di Baghdad berkumpul dan sepakat mengeluarkan fatwa tentang kepalsuan nasab penguasa Ubaidiyah Rafidhah Mesir, kecacatan akidah mereka, mereka adalah orang-orang zindiq dan kafir. Fatwa tersebut ditanda tangani oleh ulama, pejabat, dan tokoh masyarakat dari kalangan ahlus sunnah dan Syiah sendiri.
 408 H: Penguasa Ubaidiyah Rafidhah Mesir, Al-Hakim bi-Amrillah mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Ia dua kali berencana membongkar makam Nabi SAW dan memindahkan jenazah beliau ke Mesir. Rencana pertama ditentang masyarakat Mesir. Rencana kedua, ia mengirim orang-orangnya dengan menyewa rumah di dekat masjid nabawi. Mereka mulai menggali terowongan ke arah makam Nabi SAW, namun usaha mereka terbongkar dan penduduk Madinah membunuh mereka.
483 H: Berdiri kelompok Hasyasyiyin yang mempropagandakan kekuasaan politik kerajaan Ubaidiyah Rafidhah Mesir. Pemimpinnya adalah Hasan ash-Shabah, yang memulai gerakannya dari propinsi Faris tahun 473 H.
500 H: Penguasa Ubaidiyah Rafidhah membangun bangunan makam di Mesir yang mereka namakan Tajul Husain (mahkota Husain). Mereka mengklaim di dalamnya ada kepala Husain bin Ali. Mereka berziarah ke bangunan makam tersebut sampai hari ini.
656 H: Pengkhianatan terbesar kelompom Rafidhah melalui pemimpinnya, Nashiruddin ath-Thusi dan Ibnu Alqami, yang bersekongkol dengan pasukan Mongol sehingga pasukan Mongol dipimpin Hulakho Khan berhasil meruntuhkan kerajaan Abbasiyah dan menghancur leburkan ibukota Baghdad. Pasukan Mongol membantai dua juta muslim, termasuk kalangan ahlul bait yang kelompok Rafidhah mengklaim secara dusta sebagai pecinta dan pembela mereka. Pada tahun ini pula muncul kelompok Nushairiyah Rafidhah di bawah pimpinan Muhammad bin Nuhsair ar-Rafidhi.
907 H: Berdiri kerajaan Shafawiyah Rafidhah di Iran di bawah pimpinan Shah Ismail bin Haidar ash-Shafawi ar-Rafidhi. Ia membantai satu juta lebih muslim ahlus sunnah di Iran karena mereka tidak mau dipaksa memeluk agama Rafidhah. Ketika ia mendatangi Baghdad, ia mencaci maki secara terang-terangan khulafa’ rasyidin, membantai warga mulsim yang tidak mau memeluk agama Rafidhah, dan membongkar banyak makam ahlus sunnah, di antaranya makam imam Abu Hanifah.
Di antara peristiwa yang menonjol dalam sejarah kerajaan Shafawiyah Rafidhah adalah pemimpinnya, Shah Abbas al-Kabir as-Shafawi memulai program haji ke Mashad Iran sebagai ganti dari berhaji ke Makkah. Pada masa Shafawiyah, muncul Shadruddin ash-Shairazi ar-Rafidhi yang membentuk agama Bahaiyah. Pengikutnya, Mirza Ali Muhammad ash-Shairazi ar-Rafidhi mengklaim bahwa Allah telah bersatu dengan jasadnya (manunggaling kawula lan gusti). Ia digantikan oleh muridnya, Bahaullah.
Jejaknya ditiru oleh Mirza Ghulam Ahmad di India, seorang boneka Inggris yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru, menerima kitab suci baru, dan mendirikan agama Qadiyaniyah. Kerajaan Shafawiyah runtuh pada tahun 1149 H.
1218 H: Seorang Rafidhah yang keji datang dari Irak ke Dir’iyah (pusat pemerintahan kerajaan Arab Saudi waktu itu) dan menampakkan dirinya sebagai ahli ibadah yang hidup zuhud. Seperti halnya Abu Lu’luah al-Majusi yang pura-pura ikut shalat untuk membunuh khalifah Umar bin Khatab, orang Rafidhah Irak ini juga pura-pura ikut shalat Ashar di masjid Tharif di kota Dir’iyah. Saat raja Abdul Aziz bin Muhammad bin Sa’ud yang mengimami shalat sedang sujud, orang Rafidhah ini mencabut belati yang telah disembunyikan di balik bajunya dan menusukkannya kepada raja Abdul Aziz. Raja Abdul Aziz meninggal akibat peristiwa itu. Orang Rafidhah ini membunuh raja Abdul Aziz karena ia dan pasukannya meratakan bangunan makam Husain bin Ali di Karbala ketika menundukkan wilayah tersebut.
1289 H: Iran mencetak dan menerbitkan buku ‘Fashlul Khithab fi Itsbat tahrif Kitab Rabb al-Arbab karya ulama Rafidhah dari Nejef, Irak bernama haji Mirza Husain bin Muhammad Nuri ath-Thibrisi. Dalam buku tersebut, ia mengumpulkan seluruh pernyataan ulama Rafidhah yang menyatakan Al-Qur’an yang berada di tangan kaum muslimin adalah Al-Qur’an yang telah ditambah dan dikurangi, dan Rafidhah memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Mushaf Fatimah, yang menurut pernyataan mereka tidak satu huruf pun dalam Al-Qur’an yang sama dengan isi mushaf Fatimah. Isi (jumlah surat dan ayat) mushaf Fatimah menurut keyakinan mereka tiga kali lipat dari isi Al-Qur’an.
1366 H: Terbit koran Rafidhah bernama Barjamul Islam, yang menyatakan Karbala’ lebih mulia daripada Makkah. Shalat dan thawaf mengelilingi makam Husain di Karbala’ menurut mereka lebih mulia daripada shalat di masjidil Haram dan thawaf mengelilingi Ka’bah di Makkah.
1389 H: Pemimpin agama tertinggi Rafidhah Iran, Ayatollah Khameini menerbitkan bukunya Wilayatul Faqih al-Hukumah al-Islamiyah. Di antara kekafirannya dalam bukunya tersebut terdapat pada hal. 35, Khameini menulis: “Sesungguhnya di antara perkara yang pasti dalam madzhab kami adalah keyakinan bahwa para imam kami memiliki kedudukan yang tidak mampu digapai oleh seorang malaikat yang dekat dengan Allah maupun seorang nabi yang diutus oleh Allah.”
1399 H: Berdiri Republik Rafidhah Iran dengan pemimpin pertamanya Khameini setelah menggulingkan pemerintahan Shah Pahlevi. Di antara ciri khasnya adalah melakukan demonstrasi dan perusakan di kota suci Makkah pada musim haji setiap tahun dengan mengatas namakan revolusi Islam.
1400 H: Pada tanggal 15 Sya’ban Khameini menyampaikan khutbah dalam peringatan yang disebut ‘maulid imam al-mahdi’. Di antara isi khutbahnya saat itu adalah perkataannya, “Seluruh nabi datang untuk membina pondasi-pondasi keadilan di dunia namun mereka tidak berhasil. Bahkan Nabi SAW penutup para nabi yang datang untuk memperbaiki kondisi manusia dan merealisasikan keadilan, juga tidak berhasil melakukan hal itu pada masa hidupnya…sosok yang akan sukses dalam tugas itu dan membina pondasi-pondasi keadilan di seluruh penjur dunia serta meluruskan penyimpangan-penyimpangan adalah imam al-Mahdi al-muntazhar.”
1407 H: Orang-orang Rafidhah yang berafiliasi ke negara Rafidhah Iran melakukan kekacauan dan perusakan di kota Makkah pada musim haji. Ribuan orang Rafidhah menyamar sebagai jama’ah haji Iran, melakukan demonstrasi pada hari Jum’at, melakukan penyerbuan, pembunuhan, dan perusakan di kota suci Makkah. Dalam peristiwa itu, mereka membunuh 402 orang, sebanyak 85 orang korban adalah polisi dan warga Saudi. Sisanya adalah jama’ah haji dari berbagai negara. Mereka juga menyerbu, menghancurkan, dan membakar toko-toko dan kendaraan-kendaraan beserta orang di dalamnya di Makkah. Tindakan biadab tersebut mencontoh jejak nenek moyang mereka, Qaramithah Rafidhah.
1408 H: Konferensi Islam III yang diadakan oleh Rabithah Alam Islami di Makkah mengeluarkan fatwa kafirnya Ayatollah Khameini.
1409 H: Orang-orang Rafidhah menyamar sebagai jama’ah haji memasukkan bahan peledak secara sembunyi-sembunyi ke wilayah Makkah. Pda sore tanggal 7 Dzulhijah, mereka meledakkan bom di sekitar masjidil Haram. Seorang jama’ah haji dari Pakistan meninggal akibat ledakan tersebut, sedangkan 16 jama’ah haji lainnya mengalami luka-luka parah. Investigasi aparat keamanan Saudi pada tahun 1410 H membuahkan hasil penangkapan, pengadilan, dan pelaksanaan hukuman mati terhadap 16 orang Rafidhah yang terlibat dalam peledakan tersebut.
1410 H: Pemimpin tertinggi Rafidhah Iran, Ayatollah Khameini meninggal. Rafidhah Iran telah membangun di atas makamnya bangunan dan ‘Ka’bah’ yang menyerupai Ka’bah di Makkah. Mereka berthawaf di sekeliling Ka’bah Khameini tersebut.

Abu Daud al-Filasthini 
(muhib al-majdi/arrahmah.com)

Pengkhiatan Syiah di balik runtuhnya kekhilafahan Islam


Oleh: Artawijaya*
Jejak kelam Syiah dalam sejarah runtuhnya kekhilafahan Islam menjadi pelajaran penting, bahwa mereka adalah para pengkhianat yang menikam kaum muslimin dan meruntuhkan kekuasaan Islam.
Baghdad baru saja ditaklukkan oleh pasukan Tartar. Pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan situs-situs peradaban Islam diluluhlantakkan. Pasukan yang dipimpin oleh Hulagu Khan dari ras Mongolia itu berhasil menaklukkan salah satu kota yang menjadi simbol gemilangnya peradaban Islam pada 656 Hijriyah. Sejarah menceritakan, sungai di Baghdad yang jernih berubah pekat menghitam akibat ribuan, bahkan jutaan buku yang ditenggelamkan. Sebagian lagi terbakar oleh keganasan invasi pasukan kafir tersebut. Takluknya Baghdad menandai runtuhnya imperium Khilafah Abbasiyah yang dikenal sebagai salah satu pusat peradan Islam.
Mengenai keruntuhan Baghdad dan penyerangan pasukan Tartar, sejarawan Dr. Raghib As-Sirjani menceritakan kisah ini dalam bukunya “Qishah At-Tatar min Al-Bidayah ila ‘Ain Jalut” (hlm. 129-170). Sedangkan sejarawan lainnya, Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi menceritakan dengan apik dalam bukunya “Al-Moghul Baina Al-Intisyar wa Al-Inkisyar”(hlm.310-312). Kedua sejarawan tersebut sangat mumpuni dalam bidangnya, karena disamping sebagai sejarawan (mu’arrikh), mereka juga ahli hadits (muhaddits), yang bisa memilah mana kisah-kisah palsu dan mana yang mu’tabar.
Kejatuhan Daulah Abbasiyah ke tangan pasukan Tartar tak lepas dari pengkhianatan tokoh Syiah Rafidhah bernama Alauddin Ibnu Alqami. Dalam keterangan lain, kejatuhan Baghdad karena adanya konspirasi antara pasukan Tartar dan kelompok Syiah Qaramithah yang mempunyai hasrat menjatuhkan pemerintahan Daulah Abbasiyah, kemudian menggantikannya dengan Daulah Fathimiyah.
Ia diangkat sebagai perdana menteri oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah. Namun Ibnu Alqani memendam hasrat untuk merampas kekhilafahan Abbasiyah agar jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Ibnu Alqani berkorespondensi dengan pimpinan bangsa Tartar dan mendukung pasukan kafir tersebut masuk dan menyerang kota Baghdad. Ibnu Katsir menceritakan, “Ibnu Alqani menulis surat kepada pasukan Tartar yang intinya mendukung mereka menguasai Baghdad dan siap melicinkan jalan bagi mereka (Tartar). Ia membeberkan kepada mereka kondisi terakhir Khilafah Abbasiyah, termasuk kelemahan pasukan Al-Mu’tashim. Itu semua tiada lain karena pada tahun tersebut ia ingin melihat Khalifah Abbasiyah, Al-Mu’tashim, tumbang, dan bid’ah aliran sesat Syiah Rafidhah berkembang pesat. Khalifah diambil oleh Dinasti Fathimiyah, para ulama dan mufti sunnah musnah.” (Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah, XIII/202)
Baghdad berhasil takluk. Khalifah Al-Mu’tashim Billah wafat terbunuh pada 14 Shafar 656 H/1258 M. Pembunuhan Al-Mu’tashim tak lepas dari pengkhianatan Ibnu Alqani dan Nashiruddin Ath-Thusi, yang menjalin hubungan dengan Hulagu Khan. Pengkhianatan itu mengakibatkan banyaknya ulama yang terbunuh, sekolah-sekolah dan masjid yang hancur, perpustakaan sebagai gudang ilmu luluhlantak, dan kekejaman lainnya yang luar biasa. Baghdad yang indah dan megah bersimbah darah. Kaum muslimin ketika itu berduka. Pusat peradaban Islam yang gemilang, tinggal kenangan.
Setelah berhasil menaklukkan Baghdad, pada 22 Shafar 657 Hijriyah pasukan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan kemudian bergerak menuju Syam, wilayah yang menjadi pusat kekuasaan Islam pada masa itu. Mereka melakukan invasi dengan menyeberangi sungai Furat dan mengepung pintu masuk Syam selama tujuh hari. Pengepungan berhasil, bangsa Tartar kemudian masuk menyerbu kota. Sejarawan Ali Muhammad Ash-Shalabi mengatakan, Aleppo (halb) adalah kota pertama yang menjadi tujuan penaklukan Hulagu dan pasukannya, yang ketika itu dipimpin oleh Al-Malik Al-Mu’zham Tauran Syah, wakil dari Malik An-Nashir. Sebelum memasuki Aleppo, sebagaimana kebiasaan Hulagu, ia memberi peringatan penguasa agar tunduk dan menyerah. Namun, peringatan Hulagu Khan ditanggapi oleh Al-Malik Al-Mu’zham Tauran Syah dengan mengatakan, “Tidak ada yang pantas bagi kalian dari kami, kecuali pedang…!”
Hulagu Khan kemudian mengirim panglimanya yang bernama Katabgha untuk menaklukkan kota Damaskus pada akhir bulan Rajab, tahun 658 Hijriyah. Penaklukan berlangsung tanpa perlawanan, hingga akhirnya Damaskus yang merupakan kota terbesar di Suriah selain Aleppo, berhasil tunduk pada kekuasaan Tartar.
Negeri Syam yang dikenal sebagai tanah yang berkah, saat itu terkotori dengan ulah pasukan Tartar. Kemenangan pasukan Tartar kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang Nashrani untuk mendekati Hulagu Khan. Mereka membujuknya agar Hulagu membiarkan umat Nashrani menyiarkan agamanya. Setelah mendapat persetujuan, umat Nashrani berkeliling kota mengangkat salib-salib mereka di atas kepala, sambil berteriak mengatakan, “Agama yang benar adalah agama Al-Masih..”. Mereka mengarak salib-salib besar mereka keliling kota, kemudian memaksa para penduduk untuk berdiri menghormati salib tersebut. Tartar ketika itu mengangkat seorang pemimpin di Damaskus yang bernama Ibil Siyan, pemimpin yang dikenal sangat melindungi kaum Nashrani.
Kota Damaskus dan Aleppo berhasil ditaklukkan. Kota yang bersejarah dan menyimpan peradaban Islam itu harus menyerah pada kekuatan pasukan Tartar. Jika Baghdad berhasil ditaklukkan oleh bangsa Tartar karena pengkhianatan Syiah Rafidhah, maka diantara faktor yang melemahkan semangat jihad umat Islam di negeri Syam saat itu adalah pengkhianatan kelompok Syiah Nushairiyah. Melalui para pemimpinnya, mereka berusaha merapat pada Hulagu Khan, dengan iming-iming yang ditawarkan pada pimpinan pasukan Tartar itu berupa harta milik kaum Muslimin yang berhasil dilumpuhkan. Diantara pemimpin Syiah yang berkhianat terhadap umat Islam adalah Syaikh Al-Fahr Muhammad bin Yusuf bin Muhammad Al-Kanji. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menceritakan hal ini dalam buku monumentalnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah, dengan menulis, “Ia adalah tokoh Syiah yang telah membujuk bangsa Tartar dengan harta kaum Muslimin. Ia sosok berhati busuk, orientalistik, dan meminta bantuan mereka (Tartar) dengan harta kaum muslimin…”
Dr. Imad Ali Abdus Sami Husain dalam bukunya “Khianaat Asy-Syiah wa Atsaruha fi Hazaimi Al-Ummah Al-Islamiyah” menceritakan bahwa ketika pasukan Tartar masuk ke kota Aleppo pada 658 Hijriyah, merampas dan mencuri harta dan tanah kaum muslimin di kota itu, pimpinan Syiah yang bernama Zainuddin Al-Hafizhi justru mengagung-agungkan Hulagu Khan dan meminta kepada umat Islam untuk tunduk menyerah dan tidak mengobarkan api perlawanan terhadap pasukan penjajah tersebut
Padahal Ketika itu, Raja An-Nashir yang berasal dari kalangan sunni sudah berkirim surat kepada Raja Al-Mughits di Kurk dan Al-Muzhaffar Qutuz di Mesir untuk mengirimkan bala bantuan kepada kaum muslimin di Aleppo. Namun sayang, kondisi mereka yang ketika itu juga dalam keadaan lemah, tidak mampu memenuhi permintaan Raja An-Nashir.
Sikap pemimpin Syiah Nushairiyah, Zainuddin Al-Hafizhi, memantik kemarahan Malik Az-Zhahir Ruknuddin Baybars Al-Bunduqdari. Ia begitu marah kepada pemimpin Syiah itu, kemudian memukulnya sambil mengatakan, “Kalianlah penyebab kehancuran kaum Muslimin!” Baybars adalah tokoh pejuang Muslim asal Kazakhstan yang kemudian berjihad melawan bangsa Tartar dan kaum Kristen, dan wafat di Damaskus. Namanya begitu dikenal sebagai pahlawan Islam yang cukup ditakuti dan disegani musuh. (Mausu’ah At-Tarikh Al-Islamiy: Al-Ashr Al-Muluki, Amman: Dar Usamah li An-Nasyr, 2003, hlm. 24-36)
Seorang ulama bernama Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul Salam bin Taimiyah Al-Harrani atau biasa disebut Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berjuluk hujjatul Islam, termasuk orang yang berjuang melawan pasukan Tartar. Ia juga mengetahui bagaimana kelompok Syiah Nushairiyah berkhianat terhadap kaum muslimin. Karenanya, Ibnu Taimiyah yang tahu persis bagaimana sepak terjang kelompok Syiah ekstrem ini, menyatakan bahwa mereka adalah kaum kafir dan non muslim yang harus diperangi. Ketika orang-orang Tartar mengepung kota Damaskus, Ibnu Taimiyah dengan lantang mengatakan,”Jangan kalian serahkan benteng ini, meskipun tinggal satu batu bata saja, karena benteng ini adalah untuk kepentingan kaum muslimin. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjaga benteng ini untuk kaum muslimin, sebagai perisai bagi penduduk Syam yang menjadi pusat iman dan sunnah, sampai Isa Ibnu Maryam Alaihissalam turun di sana.”
Dalam buku Tarikh Al-Alawiyyin yang ditulis penganut Syiah Nushairiyah, Muhammad Amin Ghalib Ath-Thawil dijelaskan bahwa sikap kooperatif mereka dengan bangsa Tartar adalah bagian dari siasat untuk mengembalikan kekuasaan mereka, yang menurutnya telah dirampas oleh kaum Sunni.
Tarikh Al-Alawiyyin juga menjelaskan bagaimana kerjasama tokoh Syiah di Aleppo, Thamur Thusi, yang bekerjasama dengan Timur Lenk untuk menguasai kota tersebut. Timur Lenk membunuh kaum muslimin sunni dan membiarkan mereka yang menjadi pengikut Alawiyah. Timur Lenk adalah penganut Syiah Rafidhah yang wafat pada 808 Hijriyah. Anak keturunannya pun mengikuti jejak keyakinan Timur Lenk sebagai penganut ajaran Syiah. Karenanya, di setiap wilayah kekuasannya, Syiah banyak terlibat dalam pemerintahan, termasuk di negeri Persia (Iran). (Lihat: Tarikh Alawiyyin, hlm. 407)
Negeri Syam, termasuk wilayah Damaskus, berhasil kembali ke tangan kaum muslimin, setelah pasukan Syaifuddin Quthuz dan panglima Malik Azh-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari berhasil mengalahkan pasukan Tartar dalam Perang Ain Jalut, sebuah wilayah di Palestina. Perang yang berlangsung pada 25 Ramadhan 659 H/September 1260 M itu berhasil memukul mundul pasukan Tartar dan membuat mereka lari tunggang langgang menyebar ke beberapa wilayah. Pasukan yang dipimpin oleh Syaifuddin Quthuz dan panglima Baibars, berhasil membunuh seorang pemimpin dari sekte Syiah Rafidhah di Damaskus, karena keberpihakan tokoh tersebut kepada pasukan Tartar dalam merampas dan menjarah harta kaum muslimin. Dengan kemenangan di Perang Ain Jalut ini, Syaifuddin Quthuz yang berasal dari Kerajaan Mamalik Bahriyah (kerajaan wilayah maritim yang dibangun oleh para budak) kemudian menggabungkan negeri Syam dengan Mesir, sehingga kekuasaannya semakin luas.
Ada yang menarik dalam buku “Al-Maushu’ah Al-Muyassarah fi At-Tarikh Al-Islamiy”. Tim Riset dan Studi Islam sebagai penyusun buku itu, membuat sub bab berjudul “Baybars dan Sekte Bathiniyah”. Buku yang diberi kata pengantar oleh ahli sejarah dari Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani ini menulis, “Baibars berhasil menundukkan Sekte Bathiniyah, cabang dari Sekte Ismailiyah di Syam. Orang-orang Eropa menyebut sekte ini Al-Hasyasyin. Sebelumnya mereka adalah ancaman bagi raja-raja Mesir, sejak masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi.” (Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I(terj), Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013, hlm.478)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pada masa lalu, Syiah Rafidhah, baik itu Sekte Ismailiyah, Nushairiyah, Qaramithah, dan Syiah ekstrem lainnya telah melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam di Syam. Sejarah juga mencatat, mereka kemudian diperangi oleh para pemimpin Islam. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai penakluk Baitul Maqdis, semasa berkuasa terus berusaha mengikis habis pengaruh Syiah Rafidhah, baik pengaruh dari buku-buku, maupun pengaruh dari para pemimpin mereka. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi berusaha memerangi kelompok Syiah Rafidhah yang bercokol di Mesir, Yaman, dan Syam. (Lihat: Dr. Ali Muhamamd Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa juhduhu fi Al-Qadha Ad-Daulah Al-Fathimiyah wa Tahrir Bait Al-Muqaddas,Mesir: Daar Ibnu Al-Jauzi, 2007, hlm. 257-258
Pengkhianatan Selanjutnya
Ketika Daulah Utsmaniyah berusaha menguasai Syam dan merebutnya dari penjajahan bangsa Eropa; Perancis dan Inggris, pengkhianatan kelompok Syiah Nushairiyah juga terus berlangsung. Jumlah mereka yang minoritas, selalu menyimpan ketakutan akan sikap diskriminasi kelompok Sunni yang menjadi warga mayoritas di Syam. Karenanya, Tokoh Syiah Nushairiyah Shaleh Al-Alawi bahkan menjalin hubungan dan menandatangani nota kesepahaman dengan tokoh sekular Yahudi Dunamah Turki, Mustafa Kamal Attaturk pada tahun 1920. Nota kesepahamaman ini tentu saja bertujuan membendung pengaruh imperium Utsmani di Syam, khususnya di wilayah Suriah yang juga menjadi musuh kaum sekularis seperti Attaturk. Karenanya, Attaturk dengan organisasinya Ittihad wa At-Taraqi (Partai Persatuan dan Kemajuan) berhasil menumbangkan Khilafah Utsmaniyah pada 1924.
Kelompok Syiah Nushairiyah tentu mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan entitasnya jika Daulah Utsmaniyah tetap bercokol di Syam. Mereka khawatir, Daulah Utsmaniyah yang Sunni akan memposisikan mereka secara diskriminatif. Kekhawaturan inilah yang kemudian terus terpelihara sehingga mereka merasa perlu melakukan berbagai pengkhianatan terhadap umat Islam dengan berkolaborasi pada musuh-musuhnya. Padahal sesungguhnya sikap khianat mereka adalah ambisi untuk merebut kekuasaan sehingga terbentuk rezim Syiah. Belakangan terbukti, rezim Syiah Nushairiyah yang minoritas, justru melakukan berbagai aksi diskriminasi dan kekejaman terhadap kaum muslimin di Suriah.
Sebuah dokumen luar negeri Perancis, Nomor 3547 tertanggal 15 Juni 1936 melansir adanya surat dari tokoh-tokoh Alawiyah/Nushairiyah kepada pemerintah Perancis, yang diantaranya ditandatangani oleh Sulaiman Al-Asad, kakek dari Hafizh Asad. Surat tersebut berisi permohonan agar Perancis tetap bersedia berada di wilayah Suriah, karena mereka khawatir, jika Perancis hengkang, keberadaan mereka terancam. Surat tersebut berbunyi:
“Presiden Perancis yang terhormat,
Sesungguhnya bangsa Alawiyah yang mempertahankan kemerdekaannya dari tahun ke tahun dengan penuh semangat dan pengorbanan banyak nyawa. Mereka adalah masyarakat yang berbeda dengan masyarakat Muslim (Sunni), dalam hal keyakinan beragama, adat istiadat, dan sejarahnya. Mereka tidak pernah tunduk pada penguasa dalam negeri.
Sekarang kami lihat bagaimana penduduk Damaskus memaksa warga Yahudi yang tinggal bersama mereka untuk tidak mengirim bahan pangan kepada saudara-saudara mereka kaum Yahudi yang tertimpa bencana di Palestina! Kaum Yahudi yang baik, yang datang ke negeri Arab yang Muslim dengan membawa peradaban dan perdamaian, serta menebarkan emas dan kesejahteraan di negeri Palestina, tanpa menyakiti seorang pun, tak pernah mengambil sesuatupun dengan paksa. Namun demikian, kaum muslimin menyerukan “Perang Suci” untuk melawan mereka, meskipun ada Inggris di Palestina dan Perancis di Suriah.
Kita menghargai kemuliaan bangsa yang membawa kalian membela rakyat Suriah dan keinginannya untuk merealisasikan kemerdekaannya. Akan tetapi Suriah masih jauh dari tujuan yang mulia. Ia masih tunduk pada ruh feodalisme agama terhadap kaum muslimin.
Kami sebagai rakyat Alawiyah yang diwakili oleh orang-orang yang bertandatangan di surat ini berharap, pemerintah Perancis bisa menjamin kebebasan dan kemerdekaannya, dan menyerahkan nasib dan masa depannya kepadanya (Alawiyah, pen). Kami yakin bahwa harapan kami pasti mendapaykan dukungan yang kuat dari mereka untuk rakyat Alawiyah, teman yang telah memberikan pelayanan besar untuk Perancis.”
Demikian surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Syiah Nushairiyah, yang membujuk Perancis untuk tetap menjamin dan mendukung keberadaan mereka. Surat tersebut ditandatangani oleh Sulaiman Asad (kakek Hafizh Asad), Muhammad Sulaiman Ahmad, Mahmud Agha Hadid, Aziz Agha Hawwasy, Sulaiman Mursyid, dan Muhammad Beik Junaid. (Lihat:Syaikh Abu Mus’ab As-Suri, Rezim Nushairiyah: Sejarah, Aqidah dan Kekejaman Terhadap Ahlu Sunnah di Syiria (terj), Solo: Jazeera, 2013, hlm. 65-66)
Pada saat ini, keberadaan rezim Syiah Nushairiyah di Suriah mendapat dukungan yang kuat dari kelompok Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah di Libanon dan Iran. Mereka mempunyai kesamaan ajaran, ideologi, bahkan cita-cita, untuk mewujudkan dendam mereka merebut kekuasaan dari kelompok Sunni. Mereka yang hidup minoritas di Suriah, kemudian berkolaborasi dengan bantuan Syiah di Libanon, melalui kelompok militer Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nashrullah, untuk bertahan dan survive, serta mengamankan kekuasaan mereka yang direpresentasikan dalam kekuasaan Rezim Bashar Al-Asad. Dimanapun, kelompok minoritas akan selalu waspada, struggle, dan berjuang habis-habisan untuk mengamankan eksistensinya. Bahkan, dalam kasus Suriah saat ini, mereka berusaha mengamankan kekuasaan yang sudah sejak tahun 70-an mereka pegang. Mereka khawatir, jika umat Islam berkuasa, maka keberadaan mereka akan terusik. Padahal, mereka sesungguhnya adalah pengkhianat yang tak bisa hidup berdampingan dengan kaum muslimin, selama akidah mereka melecehkan para sahabat, dan mengganggap Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu sebagai tuhan atau menyatu dengan Tuhan.
Untuk mempertahankan keberadaanya, Syiah Nushairiyah sampai hari ini tak segan-segan untuk berkhianat, bahkan berkolaborasi dengan musuh-musuh Islam sekalipun. Sebagai kelompok minoritas di Suriah, mereka menerapkan prinsip, “Sebaik-baik pertahanan adalah menyerang!”
*Editor Pustaka Al-Kautsar dan Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta (samirmusa/arrahmah.com).

Kuburan Harul al-Rasyid, Sebuah Tamparan di Wajah Syi’ah

                                                      
Al-khalifah Harun al-Rasyid meninggal dalam keadaan berperang. Beliau wafat di kota Thus. Kota Thus Lama adalah Kota Masyhad sekarang di Iran, berjarak 924 km dari ibu kota Teheran. Beliau wafat pada 3 Jumada at-Tsaniyah 193 H pada usia empat puluh lima tahun. Kekhilafahannya berlangsung selama dua puluh tiga tahun dan dia dikenal berhaji setahun dan berjihad setahun. Tidak sebagaimana desas-desus batil yang disebarkan oleh musuh-musuh islam tentangnya. Ketika Khalifah Harun al-Rasyid mati syahid –insyaallah- di Kota Thus, maka itu adalah karena jihad beliau melawan para pengacau terhadap kekhalifahan Bani Abbasiyah di masanya.
Syi’ah ketika melaknat dan mencaci maki Harun al-Rasyid, maka itu karena beliau adalah seorang sunni yang bertauhid, yang cinta keada para sahabat dan ahlul bait. Dia menghukum setiap orang yang mencela para sahabat Rasulullah. Para imam ahlul bait di zamannya sangat mencintainya.
Sekarang, kami persembahkan sebuah tamparan keras lagi menyakitkan bagi Syi’ah, yaitu bahwa al-Imam Ali bin Musa ar-Ridha telah memberikan wasiat agar dikuburkan di sisi Harun al-Rasyid!! Maka pada yang demikian terdapat kebajikan bagi Khalifah yang shalih ini.
Sungguh, Syi’ah sendiri telah mengakui hakikat ini. al-Majlisi dalam kitabnya, Biharul Anwar (IIV/324) telah menyebut,’Dan di dalam al-Khara’ij, telah diriwayatkan dari al-Hasan bin Abbad, dan dia adalah juru tulis ar-Ridha, dia (al-Hasan ibn Abbad) berkata: ‘Aku masuk menemuinya, dan sungguh al-Ma’mun telah bertekad untuk berangkat berjalan menuju Baghdad. Maka dia berkata,’Wahai Ibnu Abbas, kita tidak memasuki Iraq, dan tidak juga melihatnya.’ Maka akupun menangis, lalu aku berkata, ‘Anda telah membuat saya putus asa dari mendatangi istri dan anak-anak saya.’ Maka dia berkata, ‘Adapun kamu, maka kamu akan memasukinya, akan tetapi tiada lain yang kumaksud adalah diriku sendiri.’ Maka beliau pun jatuh sakit di sebuah desa di kota Thus. Kala itu dia menyebutkan dalam wasiatnya untuk kuburannya di gali di depan tembok antara dia dengan kuburan Harun al-Rasyid jarak 3 hasta.’
Ini adalah sebuah pengakuan terang-terangan dari ulama besar Syi’ah. Maka tidak mungkin seorang laki-laki memberikan wasiat untuk dikuburkan di sisi jenazah seseorang, melainkan jika jenazah tersebut termasuk golongan orang-orang shalih lagi bertakwa…dan inilah yang dilakukan oleh al-Imam Ali bin Musa ar-Ridha rahimahullah.
Maka kuburan Harus al-Rasyid melekat dengan kuburan al-Imam Ali bin Musa ar-Ridha. Dan keduanya ditidurkan di bawah kubah yang sama dalam pemakaman yang sama, di dalam masjid yang sama yang berada di kota Masyhad, Iran.
Pemakaman ini, yang disembah oleh berjuta-juta Syi’ah, yang mereka berhaji kepadanya, dan meminta segala kebutuhan darinya, dan segala jalan keluar dari segala kesusahan, maka itu sendiri adalah pemakaman dan kubur musuh bebuyutan mereka dari para Khalifah, yaitu Amirul Mukminin Harun Al-Rasyid –rahimahullah-.
Sejak lama Syi’ah telah mengetahui perkara ini. seorang pengelana terkenal, Ibnu Bathuthah meriwayatkan dalam kitabnya, ‘Tuhfatun Nazhar’, tentang sifat kuburan al-Imam al-Ridha –rahimahullah-, ‘Dan di hadapan kuburan ini adalah kuburan Harun al-Rasyid, Amirul Mukminin, dan jika seorang Rafidhi masuk untuk ziarah, maka dia memukul kuburan ar-Rasyid dengan kakinya, dan mengucapkan salam ataas ar-Ridha.’ (hal. 257) ini adalah bukti akan kadar kedengkian Syi’ah atas para Khalifah dari Ahlussunnah.
Di sini kami bertanya kepada Syi’ah, mengapa al-Imam al-Ridha berwasiat untuk dikuburkan di sisi Harun al-Rasyid?! Bahkan kami bertanya, ‘Mengapa beiau tidak berwasiat untuk dikuburkan di sisi para ulama Syi’ah, sementara beliau berada di bumi Persia dan dekat dengan mereka?! kami juga bertanya, sang imam mereka berwasiat untuk dikuburkan di sisi Harun al-Rasyid, namun seorang yang mengaku pengikut beliau malah memukul kubur al-Rasyid dengan kakinya? Maka ini adalah kontradiksi besar dari Syi’ah terhadap al-Imam ar-Ridha.
Di hadapan musibah yang mengenai para tokoh Syi’ah ini, terdapat dua pilihan, yang paling manispun pahit rasanya;
Bisa jadi al-Imam Ali bin Musa ar-Ridha adalah seorang Sunni, dan pecinta Harun ar-Rasyid, maka dengan ini gugurlah agama Imamiyah; dan bisa jadi al-Imam ar-Ridha tidak tahu bahwa Harun al-Rasyid dikuburkan di tempat tersebut. Maka dia dikuburkan dengan takdir Allah di sisi kuburan Harun al-Rasyid tanpa diketahui oleh al-Imam ar-Ridha. Maka berdasarkan kemungkinan keduanya ini para imam tidak mengetahui perkara ghaib. Jika tidak, tentunya al-Imam ar-Ridha telah memerintahkan untuk dikuburkan di sisi orang fasiq!!! Ini mustahil secara akal dan naql. Karena tidak mungkin seorang mukmin, seukuran al-Imam ar-Ridha memerintahkan agar dia dikuburkan di sisi orang kafir munafiq lagi murtad sebagaimana yang diyakini oleh Syi’ah terhadap Harun ar-Rasyid dan terhadap setiap ahlus sunnah!
Dan agar para pembaca mengenal siapa itu al-Imam Ali bin Musa ar-Ridha, maka kami menjelaskan untuk mereka, bahwa beliau adalah Imam kedelapan di sisi Syi’ah. Beliau adalah putra al-Imam Musa al-Kazhim, dan kuniyahnya adalah abul Hasan, dan julukannya adalah ar-Ridha, dilahirkan pada 11 Dzulqa’dah 148 H, di Madinah. adapun wafat beliau adalah pada 17 Shafar tahun 203 H, dan dijuluki dengan Gharibul Ghuraba’, karena kematian dan penguburan beliau di negeri Persia, jauh dari tanah kelahiran nenek moyang beliau, bangsa Arab.
Perhatikanlah julukan al-Imam ar-Ridha, yaitu Gharibul Ghuraba’, yang para pecintanya menyebutnya demikian. Sesungguhnya julukan tersebut mengundang keanehan, yaitu jika al-Imam ar-Ridha berada di tengah para pecintanya, pengikutnya, dan orang yang mereka berada di atas agama dan madzhabnya, maka pastilah bukan ini julukan beliau! Banyak sekali pribadi-pribadi Islam yang meninggal dan dikuburkan jauh dari keluarganya, akan tetapi tidak seorangpun dari mereka yang dijuluki dengan julukan Gharibul Ghuraba’.
Agar tidak seorangpun menyangka bahwa keseluruhan tamparan ini hanya berasal dari kami, maka sesungguhnya al-Imam Ali ar-Ridha sendiri telah mengarahkan tamparan-tamparan kuat terhadap syi’ah. Maka apa yang akan kami singkap sekarang adalah terhitung sebagai sebuah musibah agung yang akan mengenai para toko Syi’ah.
Musibahnya adalah bahwa istri al-Imam Ali ar-Ridha adalah Ummu Habibah binti al-Ma’mun. sedangkan al-Ma’mun adalah putra Harun al-Rasyid. Dan tidaklah berhenti tamparan al-Imam ar-Ridha bagi syi’ah pada batasan ini saja, bahkan saat beliau mempunyai anak dari Ummu Habibah, yaitu seorang putri, maka beliau memberinya nama….! Tahukah Anda, apa namanya? Maka sungguh al-Imam ar-Ridha telah memberinya nama ‘Aisyah, sebagai bentuk optimisme dengan nama Ummul Mukminin Aisyah –radhiyallahu anha-, (Kasyful Gummah (III/60)) oleh karena itulah, ini termasuk di antara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Syi’ah tidak mengikuti imam-imam mereka, di mana mereka tidak pernah memberi nama putri-putri mereka dengan nama ‘Aisyah.
Bahkan sumber-sumber rujukan Syi’ah telah menyebut bahwa al-Imam Ali ar-Ridha diberi kuniyah Abu Bakar. (Muqatilut Thalibin, hal. 561-562).
Setelah tamparan bertubi-tubi ini, kami kembali sekali lagi berbicara tentang pemakaman tersebut:
Ibnu Bathuthah telah menyebutkan dalam kunjungannya ke kota Thus dalam sumber yang sama, ‘Padanya terdapat dua kuburan bersebelahan di bawah satu kubah, yaitu kuburan al-Khalifah Harun al-Rasyid dan kuburan al-Imam Ali bin Musa ar-ridha.”
Apa yang meluncur dari ucapan Ibnu Bathuthah adalah bahwa tempat yang mengumpulkan dua kuburan tersebut, sekarang menjadi satu kuburan, yaitu untuk Ali ar-ridha. Dan dihilangkanlah bekas kuburan Harun Al-Rasyid, kemudian ditanam di bawah aspal setelah perluasan tempat. Dan menjadi tempat sandal bagi para peziarah ke kubur lain. Sebelum menjadi tempat sandal, maka kubur tersebut sebelumnya sebagai tempat pembuangan kotoran yang ditinggikan dekat darinya dengan mencolok dan bisa dikenal. Para peziarah berdiam padanya kemudian melakukan apa yang mudah mereka lakukan berupa cacian, makian, dan peludahan.
Itulah mereka Syi’ah, dan inilah akhlak mereka yang seharusnya adalah akhlak ahlul bait, dan sekali-kali tidak demikian buruk akhlak ahlul bait.
Merekalah syi’ah yang telah mengklaim dengan dusta bahwa mereka mengikuti para imam mereka. Maka di manakah keikutan mereka terhadap imam mereka ar-Ridha yang seharusnya mereka memuliakan Harun al-rasyid, minimal demi memuliakan imam mereka, dan sebagai bentuk pemuliaan terhadap Harun al-Rasyid sebagai kakek dari putri imam mereka. akan tetapi telah pasti bahwa tidak ada hubungan antara mereka dengan ahlul bait dan akhlak mereka, akan tetapi hubungan mereka adalah dengan agama Persia, dan Majusi.
Sesungguhnya saya berbicara kepada setiap Syiah yang berakal, apa pendapat Anda, sementara Anda menyingkap hakikat menyedihkan ini dari agama Anda? Sesungguhnya saya mengajak Anda untuk terjaga, karena khawatir Anda meninggal sementara demikian ini adanya kondisi Anda. Saya memohon kepada Allah hidayah bagi saya dan Anda semua.
Wahai para pembaca yang budiman, sesungguhnya Khalifah Harun al-Rasyid adalah seorang alim lagi zuhud. Dan karena banyaknya penaklukan khalifah yang ahli ibadah dan berjihad ini, dia berkata kepada awan jika melihatnya, ‘Hujanlah di mana saja engkau mau, maka akan datang kepadaku hasilmu.’
Sungguh, khalifah Harun al-Rasyid jika beliau berhaji, maka beliau disertai oleh para ulama fiqih dan hadits. Jika masuk menemuinya seorang penyair, yaitu Abu al-Athahiyah, dan menasehatinya, diapun menangis keras hingga pingsan.
Para penulis sejarah beliau mensifati, bahwa beliau tiap hari shalat sebanyak seratus rakaat hingga meninggal dunia, dan beliau berinfak kepada para faqir miskin dari harta pribadinya.
Dia telah menyiapkan kuburannya beberapa waktu sebelum kematiannya, di ibu kota kekhilafahannya, di Baghdad, dan beliau senantiasa menziarahi kuburan tersebut, dan dia berdo’a kepada Allah seraya menangis sambil berkata, ‘Wahai Dzat yang tidak akan bergeser kerajaan-Nya, rahmatilah orang yang kerajaannya akan bergeser.’ Dan ketika kematian menghampirinya di Thus, dia berkata, ‘Galilah untukku sebuah kuburan, lalu dia melihat kepada kuburan seraya berkata, ‘Tidak berguna bagiku hartaku, binasalah dariku kekuasaanku.’
Harun al-Rasyid adalah Khalifah Bani Abbasiyah yang paling banyak berjihad, berperang dan zuhud, serta yang paling ahli ibadah kepada Allah, yang paling banyak perhatian terhadap ilmu dan ulama. Hingga masa kepemimpinannya adalah zaman keemasan bagi umat islam. Dan teruslah masa kejayaannya dengan menikahkan antara jihad dan haji hingga kematian beliau. Sejarah yang kemilau dari sejarah umat kita yang agung ini, dengan yakin tidak diridhai oleh para musuh Allah, maka mereka pun menyebarkan desas desus batil, dan berbagai kedustaan yang menyesatkan tentang beliau.
Maka mudah-mudahan Allah merahmati Amirul Mukminin, Khalifah Harun ar-Rasyid…dan benar-benar wajib atas setiap orang yang membaca sirah harum khalifah ini untuk mendo’akan rahmat dan ampunan bagi beliau.
Inilah tamparan keras terhadap wajah-wajah Syi’ah dari serial tamparan-tamparan yang akan datang dengan izin Allah….
Oleh: Syeikh Mamduh Farhan Al-Buhairi (Majalah Islam Internasional Qiblati, edisi 05 tahun VII [Rabiul AKhir 1433 H], hal 44-47)

Dosa-dosa Dinasti Syiah Fathimiyah

Dinasti fathimiyah atau dinasti Ubaidiyah adalah dinasti syiah yang berdiri pada tahun 296 H (909 M) di Afrika Utara (berpusat di Mesir). Pendirinya adalah Abu Abdillah Ubaidillah al-Mahdi. Mereka mengaku-ngaku sebagai keturunan Fathimah az-Zahra. Para sejarawan berbeda pendapat tentang nasab mereka. ada yang mengatakan bahwa mereka menisbatkan dirinya kepada Ismail bin Ja’far ash-Shadiq, oleh karena itu mereka disebut juga dengan Islamiliyah. Ada juga yang menyebutkan bahwa mereka menisbatkan dirinya pada seorang lelaki asal Persia bernama Abdullah bin Maymun al-Qaddah al-Ahwazi yang mengatakan bahwa tuhan itu ada dua, tuhan nur dan tuhan kegelapan. Dinasti ini berkuasa dari tahun 909 M-1171 M dan wilayah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah.
Dalam bukunya, Prof. Ali Muhammad ash-Shalabi menyebutkan beberapa penyimpangan orang-orang Syiah Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara, di antaranya sebagai berikut:
1.       Sikap da’i mereka yang berlebihan dalam memuji Ubaidillah al-Mahdi hingga menempatkannya seperti Tuhan. Dia dianggap mengetahui yang gaib, dan dipercaya sebagai nabi utusan Allah. Di antara para da’i tersebut ada yang mengatakan bahwa Ubadillah al-Mahdi adalah anak Rasulullah dan hujjatullah bagi segenap manusia. Bahkan ada pula yang mengatakan Ubaidillah al-Mahdi adalah Allah sang pemberi rezeki kepada manusia.[1]
2.       Para pengikut Ubaidillah sering menghukum gantung orang-orang yang menyelisihi akidah mereka. selain itu, sebagaimana yang disebutkan Al-Qadhi Iyadh, mereka sering mencela para sahabat Rasulullah, menggantung kepala-kepala kambing kemudian diberi nama dengan nama-nama para Sahabat Rasulullah dan perilaku-perilaku sangat keji lainnya yang mereka lakukan.[2]
Mereka juga sering memaksa orang lain agar mengikuti keyakinan mereka dan mengancam akan membunuhnya jika tidak menurut. Mereka menghukum gantung 4000 manusia hanya dalam sekali hukuman. Sejarawan al-Qabasi mengatakan, “Jumlah orang yang mati di penjara pemerintahan Ubaidillah di kota al-Mahdiyah sejak kedatangan Ubaidillah al-Mahdi sampai sekarang mencapai 4000 orang; dari golongan ulama, ahli ibadah, dan orang-orang shaleh. Jumlah sebanyak itu selain yang mati dibunuh di luar penjara. Mereka disiksa di jalan-jalan, sepanjang kota Qairawan.
3.       Mereka melarang dan mengharamkan fatwa mazhab Imam Malik. Bagi mereka yang mengeluarkan fatwa mengikuti pendapat Imam Malik dianggap sebagai kejahatan yang berhak dipenjara atau dibunuh, sebagaimana yang mereka lakukan kepada seorang ulama terkenal bernama Abu Abdillah Muhammad bin al-Abbas bin al-Walid yang meninggal pada tahun 329 H.
4.       Mereka menggugurkan keshahihan hadits-hadits Mutawatir. Terkadang mereka melakukan penambahan secara sepihak terhadap ajaran agama tanpa ada dalilnya, seperti penambahan pada lafaz adzan ‘hayya ala khairil amal’ (mari menuju suatu kebaikan). Mereka juga menggugurkan sunnah shalat tarawih sehingga kemudian manusia meninggalkan shalat di masjid. Sungguh berat hukuman bagi orang yang berani adzan tanpa mengucapkan kalimat ‘hayya ala khairil amal’, yaitu dipotong lidahnya, kemudian dicampakkan lidah itu di depan matanya. Setelah itu dia akan disiksa, lalu dibunuh.
5.       Pemerintah Dinasti Fathimiyah bersikap keras dalam melarang setiap bentuk pertemuan dan perkumpulan yang dilakukan kaum Muslimin. Mereka khawatir pertemuan dan perkumpulan itu dapat mengarah ke upaya revolusi dan gerakan pembangkangan terhadap akidah syiah.
6.       Menghancurkan karya-karya ulama dan cendekiawan ahlussunnah dan tidak mengizinkan penerbitan ulang karya-karya itu. Hal itu mereka lakukan terhadap karya-karya seorang ulama yang bernama Abu Muhammad Ibnu Abu Hasyim (364 H). Ketika meninggal dunia, beliau mewariskan buku sangat banyak yang semuanya ditulis dengan tangan sendiri. Buku-buku tersebut dilaporkan kepada penguasa Bani Ubaid sehingga akhirnya dirampas.
7.       Mereka memaksa melakukan pemaksaan kepada banyak orang yang berpuasa agar berbuka dan berhari raya meskipun hilal bulan syawal belum bisa dilihat. Bahkan mereka tak segan-segan membunuh ulama yang memfatwakan “jangan berbuka, kecuali setelah melihat hilal (syawal)” sebagaimana yang mereka lakkukan terhadap ulama ahli fikih bernama Ibnu Hubla, hakim Kota Burqah. Imam adz-Dzahabi menceritakan dalam buku biografinya, “imam asy-syahid adalah hakim kota Burqah. Ia pernah didatangi seorang gubernur kota Burqah kemudian mengatakan kepada dirinya, “Besok Hari Raya Idul Fitri” dia kemudian menjawab, “iya, hingga kita melihat hilal. Kami tidak akan menyuruh orang lain berbukan hingga hilal bisa dilihat. Kami tidak akan menanggung dosa orang lain.” kemudian gubernur itu mengatakan, “Demikian yang dinyatakan al-Manshur.” Menurut pendapat Ubaidillah, menentukan berbuka puasa hanya menggunakan hisab, tanpa mempertimbangkan ru’yah. Padahal ketika itu hilal benar-benar tidak nampak. Para gubernur Bani Ubaidillah ketika itu telah berhari raya.
Hakim Ibnu Hubla berkata,”Saya tidak akan keluar untuk shalat id.” Kemudian sang gubernur memerintahkan seseorang agar menjadi khatib shalat id pagi itu. lalu dia mengadukan apa yang terjadi kepada al-Manshur, sehingga Hakim Ibnu Hubla diperintahkan menghadap. Ibnu Hubla diperintahkan untuk meninggalkan pendapatnya tetapi beliau enggan. Akhirnya ia diikat dan dijemur di bawah terik matahari hingga syahid–insyaallah-. Sebelum itu dia sempat berteriak kehausan meminta minum, tetapi tidak diberi minum; tetapi justru disalib.[3]
8.       Pemerintah Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara sengaja melakukan upaya penghilangan berbagai peninggalan sejarah para pendahulu Khalifah ahlus sunnah. Ubaidillah pernah dengan sengaja mengeluarkan instruksi kepada bahwahannya agar menghapus nama-nama para khalifah ahlus sunnah yang telah membangun benteng-benteng dan masjid-masjid untuk kaum muslimin. Nama-nama mereka dalam catatan sejarah diganti dengan nama dirinya.
9.       Di antara kejahatan yang juga dilakukan oleh Ubaidillah al-Mahdi adalah sengaja membiarkan kuda-kudanya memasuki masjid. Suatu ketika hal itu pernah ditanyakan kepada seorang penjaga kudanya, “mengapa engkau membiarkan kuda-kuda itu masuk ke dalam masjid?” ia menjawab “kotoran dan air kencingnya suci. Karena ia kuda milik al-Mahdi.” Mendengar hal itu ada seorang yang tidak terima. Ia menghadap langsung kepada ubaidillah al-Mahdi tetapi justru orang itu malah dibunuh.
(Mahardy/lppimakassar.com)