Sunday, August 24, 2014

Peristiwa-Peristiwa Penting Menjelang Keruntuhan Khilafah Bani Abbâsiyah


Peristiwa-Peristiwa Penting Menjelang Keruntuhan Khilafah Bani Abbâsiyah
Oleh Ustadz Abu Ihsan al-Atsary
http://abunamira.wordpress.com/2014/02/05/peristiwa-peristiwa-penting-menjelang-keruntuhan-khilafah-bani-abbasiyah/

Bani Abbâsiyah atau kekhalifahan Abbâsiyah adalah kekhalifahan Islam kedua yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbâsiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termuda, yaitu Abbâs bin Abdul Muththalib (566 H – 652 H). Oleh karena itu mereka juga termasuk Bani Hâsyim. Kekhilafahan ini berkuasa mulai tahun 750 M dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan sebutan Mamlûk. Selama 150 tahun berkuasa, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amîr atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Marocco dan Africa kepada Aghlabid dan Fathimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 M disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Bani Abbâsiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 M kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya bangsa Turki (kemudian diikuti oleh Mamlûk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Khilafah Abbâsiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullâh bin al-Abbâs rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbâsiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, ahli sejarah membagi masa pemerintahan Daulah Abbâsiyah menjadi lima periode :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbâsiyyah mencapai masa keemasan. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbâs, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja’far al-Manshûr (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syi’ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingannya disingkirkan satu persatu. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya. al-Manshûr memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hâsyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshûr memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbâs berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshûr melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazîr (Perdana Menteri) sebagai koordinator dari kementrian yang ada. Wazîr pertama yang diangkat adalah Khâlid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshûr, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshûr berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Byzantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.
Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbâsiyah diletakkan dan dibangun oleh Abul Abbâs as-Saffah dan al-Manshûr, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi (775- 786 M), Harun ar-Rasyîd (786-809 M), al-Ma’mûn (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Watsîq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas Daulah Abbâsiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun ar-Rasyîd t (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mûn (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyîd untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
DIAMBANG KERUNTUHAN
Faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbâsiyyah menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbâsiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), Daulah Abbâsiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi’ah.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbâsiyah pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah :
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2. Profesionalisasi angkatan bersenjata membuat ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
4. Posisi-posisi penting negara dipercayakan kepada ahli bid’ah, khususnya jabatan wazîr (perdana menteri) dan penasihat yang diserahkan kepada Syi’ah.
5. Penyakit wahan (cinta dunia dan takut mati) yang menguasai para penguasa dan jajarannya.
KEMEROSOTAN EKONOMI
Khilafah Abbâsiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbâsiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
MUNCULNYA ALIRAN-ALIRAN SESAT DAN FANATISME KESUKUAN
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. al-Manshûr berusaha keras memberantasnya, bahkan al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Konflik antara ahlus Sunnah dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran yang berlawanan dengan paham Ahlussunnah.
ANCAMAN DARI LUAR
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbâsiyah lemah dan akhirnya hancur.
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulaghu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.
SERANGAN BANGSA MONGOL DAN KERUNTUHAN BAGHDAD
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah al-Musta’shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 – 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung “topan” tentara Hulaghu Khan.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbâsiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Berikut ini detik-detik runtuhnya Khilafah Abbâsiyah dan jatuhnya Baghdad seperti yang direkam oleh Ibnu Katsîr rahimahullah :
“Runtuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol (Tatar) tidak lepas dari pengkhianatan yang dilakukan oleh wazîr (perdana menteri) Muhammad bin al-Alqami, seorang penganut paham Syi’ah yang sangat dendam terhadap Ahlussunnah. Ia menjabat wazîr (Perdana Menteri) bagi Khalifah al-Musta’shim billah, khalifah terakhir Bani Abbas di Iraq,
Ini terjadi pada tanggal 12 Muharram 656 H. Hulaghu Khan, cucu Jengghis Khan mengepung Baghdad dengan seluruh bala tentaranya yang berjumlah lebih kurang 200.000 personil. Mereka mengepung istana Khalifah dan menghujaninya dengan anak panah dari segala penjuru, hingga menewaskan seorang budak wanita yang sedang menari di hadapan Khalifah untuk menghiburnya. Budak wanita itu adalah seorang selir yang bernama Arafah. Sebilah anak panah datang dari arah jendela menembus tubuhnya pada saat ia menari di hadapan Khalifah. Hal itu membuat cemas Khalifah dan ia amat terkejut. Pada anak panah yang menewaskan selirnya itu mereka dapati tulisan, “Jika Tuhan hendak melaksanakan ketentuan-Nya maka Dia akan melenyapkan akal waras orang yang berakal.” Setelah kejadian itu Khalifah memerintahkan agar memperketat keamanan.
Pengkhianatan Ibnul al-Alqami yang begitu dendam terhadap Ahlussunnah ini disebabkan pada tahun sebelumnya (655 H) pecah peperangan hebat antara kaum Sunni dan Syi’ah yang berakhir dengan direbutnya kota al-Karkh yang merupakan pusat kaum Syi’ah Rafidhah, beberapa rumah milik sanak famili Ibnu al-Alqami sempat kena jarah.
Sebelum runtuhnya Baghdad, Ibnul al-Alqami secara diam-diam mengurangi jumlah tentara, yaitu dengan memecat sebagian besar tentara dan mencoret mereka dari dinas kemiliteran. Sebelumnya, jumlah tentara pada masa kekhalifahan al-Mustanshir mencapai 100.000 personil. Jumlah ini terus dikurangi oleh Ibnu al-Alqami hingga menjadi 10.000 personil saja.
Kemudian setelah itu, barulah ia mengirim surat rahasia kepada bangsa Mongol dan memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Dalam surat tersebut dia beberkan kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbâsiyah. Ini merupakan salah satu sebab begitu mudahnya pasukan Mongol menguasai Baghdad.
Semua itu dilakukan oleh Ibnu al-Alqami untuk melampiaskan dendam kesumatnya dan ambisinya untuk melenyapkan sunnah dan memunculkan bid’ah syi’ah Rafidhah, wallahul musta’an.
Tatkala pasukan Mongol mengepung benteng kota Baghdad pada tanggal 12 Muharram 656 H, mulailah wazir Ibnu al-Alqami menunjukkan pengkhianatannya yang kedua, yaitu dialah orang yang pertama kali menemui pasukan Mongol. Dia keluar bersama keluarga, pembantu dan pengikutnya menemui Hulaghu Khan untuk meminta perlindungan kepadanya. Kemudian dia kembali ke Baghdad lalu membujuk Khalifah agar keluar bersamanya untuk menemui Hulaghu Khan dengan alasan bahwa Hulaghu ingin berdamai dengannya dan mengawinkan puterinya dengan putera Khalifah serta pembagian hasil devisa setengah untuk Khalifah dan setengah untuk Hulaghu.
Maka berangkatlah Khalifah bersama para qadhi, ahli fiqh, kaum sufi, tokoh-tokoh negara, masyarakat dan petinggi-petinggi negara dengan 700 kendaraan. Tatkala mereka hampir mendekati markas Hulaghu mereka ditahan oleh pasukan Mongol dan tidak diizinkan bertemu Hulaghu kecuali Khalifah bersama 17 orang saja.
Lalu Khalifah pun menemui Hulaghu Khan bersama 17 orang tersebut sedangkan yang lain menunggu di atas tunggangan mereka. Sepeninggal Khalifah, mereka dirampok dan dibunuh oleh pasukan Mongol. Selanjutnya, Khalifah dibawa ke hadapan Hulaghu dan disandera bersama 17 orang yang ikut dengannya. Mereka diteror, diancam dan diintimidasi serta dipaksa agar menyetujui apa yang diinginkan oleh Hulaghu.
Kemudian Khalifah kembali ke Baghdad bersama Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi yang semadzhab dengan Ibnul al-Alqami. Dan dibawah rasa takut dan tekanan yang hebat Khalifah pun mengeluarkan emas, perak, perhiasan, permata dan barang-barang berharga lainnya yang jumlahnya sangat banyak untuk diserahkan kepada Hulaghu. Akan tetapi sebelumnya Ibnu al-Alqami bersama Nashiruddin ath-Thusi sudah membisiki Hulaghu agar tidak menerima tawaran perdamaian dari Khalifah. Mereka berhasil mempengaruhi Hulaghu bahwa perdamaian itu hanya bertahan 1 atau 2 tahun saja. Mereka pun mendorong Hulaghu agar menghabisi Khalifah.
Tatkala Khalifah kembali dengan membawa barang-barang yang banyak, Hulaghu justeru menginstruksikan agar mengeksekusi Khalifah. Maka pada hari Rabu tanggal 14 Shafar terbunuhlah Khalifah al-Musta’shim billahi. Dalang dibalik terbunuhnya Khalifah adalah Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi.
Bersamaan dengan gugurnya Khalifah maka pasukan Mongol pun menyerbu masuk ke Baghdad tanpa perlawanan yang berarti. Dengan demikian, jatuhlah Baghdad di tangan pasukan Mongol. Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas kala itu adalah 2 juta jiwa.Tak ada yang selamat kecuali Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang meminta perlindungan kepada pasukan Mongol atau berlindung di rumah Ibnu al-Alqami serta para konglomerat yang membagi-bagikan harta mereka kepada pasukan Mongol dengan jaminan keamanan pribadi…!
BELAJAR DARI SEJARAH
Ibnu Katsir dan Ibnul Atsir yang mengabadikan kisah pilu ini dalam kitab mereka (al-Bidayah wan Nihayah, juz 18 halaman 213-224) mengatakan, “Kalau bukan untuk memberikan pelajaran kepada generasi yang akan datang, kami malu menyantumkan kisah tragis ini dalam buku kami.”
Demikianlah, mengangkat orang kafir dan ahli bid’ah sebagai pemangku jabatan merupakan salah satu faktor penyebab kehancuran Daulah Bani Abbâsiyah. Disamping itu, jauhnya umat dari Islam dan sikap mereka yang memusuhi sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan salah satu sebab yang mempercepat kehancuran suatu negeri. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [an-Nûr/24:63]
.
Demikian pula, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
جُعِلَ الذُّلُّ وَ الصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي
Akan ditimpakan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyalahi perintahku [1]
Apa yang terjadi dahulu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.
Umat manusia sekarang ini, berada dalam jurang yang sangat terjal dan dalam. Belenggu-belenggu kebinasaan siap menghancurleburkan mereka. Realita ini merupakan akibat buruk yang dipetik oleh umat manusia karena telah menjauh dari al-haq. Mereka menjadi bulan-bulanan panah kebatilan. Kenyataan yang ada cukup menjadi bukti dan petunjuk yang jelas. Tanda-tanda kehancuran itu terpampang jelas di hadapan setiap orang yang masih punya pikiran waras dan punya pengetahuan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka akan terpecah belah dan terpuruk, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
إِنَّ اْلإِسْلاَمُ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam pada awalnya asing kemudian akan kembali asing maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing (ghurabaa’)[2]
Hadits ghuraba’ di atas merupakan gambaran global dari suatu perkara yang detail. Hadits di atas menegaskan bahwa Islam akan kembali asing di tengah kehidupan manusia. Keadaan itu berarti manusia secara keseluruhan telah keluar dari jalur Islam. Mereka menempuh jalur yang terjal dan curam lagi berat. Berbagai bentuk kehinaan dan keterpurukan terus menimpa mereka. Dan pada akhirnya mereka harus gigit jari seraya menyesali nasib diri, namun…….penyelasan tiada berguna![3]
Umat manusia berpaling dari Kitabullah, lalu menggantinya dengan undang-undang buatan manusia dan menjadikannya sebagai pedoman dalam berbagai bidang kehidupan.
Para penguasa menyedot kekayaan negara untuk dirinya sendiri dan menetapkan hukum secara sewenang-wenang terhadap masyarakat menurut selera mereka. Siapa saja yang menyanjung perbuatan mereka yang melanggar syariat pasti akan dinaikkan pangkatnya. Dan siapa saja yang menyelisihi atau mengingkari kemungkaran dan perbuatan buruk itu pasti akan dihancurkan haknya dan akan direndahkan kedudukannya. Itulah yang diisyaratkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits :
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Sepeninggalku nanti kalian akan melihat atsarah (lebih mementingkan urusan dunia-pent) dan perkara-perkara agama yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya: “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasûlullâh ?” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah hak-hak penguasa dan mintalah kepada Allâh Azza wa Jalla hak-hak kalian.”[4]
Seiring rusaknya kehidupan politik yang semakin terpuruk, pada akhirnya juga merusak kehidupan sosial hingga jatuh ke derajat yang paling hina dan rendah. Sebagaimana dimaklumi bahwa aspek-aspek kehidupan manusia saling terkait satu sama lainnya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa akan muncul nanti beberapa kaum yang tidak lagi menepati perjanjian dan melesat keluar dari agama. Mereka melakukan apa yang tidak diperintahkan, memberikan persaksian sedangkan mereka tidak diminta untuk bersaksi.
Karakter yang paling tepat bagi zaman kita sekarang ini adalah firman Allah:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan. [Maryam/19:59]
Ini merupakan kondisi umum manusia sekarang. Manusia telah menjadi hamba nafsu syahwatnya bagaikan seekor anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Mereka tega menjual kehormatan dan amanat dengan harga yang murah di pasar murahan dan hina. Mereka rela mempersembahkan diri sebagai tumbal syahwat. Mereka ini tidak mengingkari kemungkaran dan tidak mengenal perkara kebajikan (kecuali segelintir orang yang dirahmati Allâh dan itupun jumlahnya sangat sedikit). Bahkan sebaliknya, mereka menyuruh kepada perkara mungkar dan melarang dari perkara yang ma’ruf dengan meneriakkan slogan-slogan yang gemerlap lagi menipu, dengan kata-kata yang penuh hiasan dan kiasan, lewat mulut-mulut penuh dusta dan lisan-lisan para kaum munafik.
Sebagai akibat langsung keterpurukan politik dan keganjilan sosial masyarakat maka yang menjadi penentu segala sikap dan kebijakan adalah dinar dan dirham (uang). Uang begitu mendominasi kehidupan manusia sehingga menjadi sangat diagungkan dan didewakan. Manusia pun menyungkur sujud menyembah uang di samping menyembah Allâh Azza wa Jalla . Sampai-sampai yang menjadi semboyan manusia sekarang ini adalah, “Siapa yang tidak punya uang tidak akan dipandang. Harga seorang manusia dilihat dari harta yang dimilikinya!”
Sehingga demi meraih kebahagian hidup yang diiming-imingi oleh iblis dan bala tentaranya, maka merekapun menghalalkan segala cara.
Para penguasa yang berkuasa di negeri-negeri Islam menjauhkan generasi Muslim dari nilai-nilai Islam yang merupakan keistimewaan dan menjadi kebanggaan setiap muslim serta menjadi penggerak bagi jiwa menuju kemuliaan. Lalu mereka menggantinya dengan budaya rendahan, sia-sia dan penuh dusta. Maka lahirlah generasi yang minim pengetahuan, tidak memiliki pengetahuan agama dan tidak pernah merasakan cita rasa ilmu. Lantas mereka mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Apabila mereka dimintai fatwa oleh masyarakat, mereka berfatwa tanpa ilmu, akibatnya mereka sesat lagi menyesatkan.
Realita di atas menimbulkan dampak munculnya kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang saling bermusuhan dan bertentangan. Sehingga umat Islam menjadi terpecah belah berkeping-keping tak karuan.
Fenomena kelompok tersebut memicu pertentangan dan menyebabkan tercerai berainya barisan. Dan juga menebar benih perpecahan dan permusuhan di tubuh umat yang satu. Sehingga dengan mudah musuh dapat memporakporandakan negeri-negeri kaum Muslimin, menjajah dan menjarah harta kekayaan mereka, wallâhul musta’ân.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatlah kepada Allâh dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allâh beserta orang-orang yang sabar. [al-Anfâl/8:46]
Kita harus belajar dari sejarah, mengambil ibrah dari apa yang telah dialami oleh para pendahulu kita. Merupakan karakter umat ini adalah tidak jatuh dalam satu lobang dua kali, apalagi berkali-kali. Keruntuhan khilafah Abbâsiyah bukanlah terjadi begitu saja, tetapi ada sebab-sebab yang memicunya. Bila kita tidak belajar dari sejarah umat terdahulu maka bukan tidak mungkin kita akan mengalami apa yang sudah mereka alami.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ (2831).
[2]. HR. Muslim.
[3]. Al-Jamâ’ah al-Islâmiyah fi Dhauil Kitâb was Sunnah, tulisan Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli.
[4]. HR. al-Bukhâri
Sumber : al-Manhaj.or.id


Menjawab Tuduhan Dusta yang Mengatakan Bahwa Ahlussunnah Membunuh Al-Imam Husain

Menjawab Tuduhan Dusta yang Mengatakan Bahwa Ahlussunnah Membunuh Al-Imam Husain
Posted on 25 Desember 2010 by abunamirahasna 
http://abunamira.wordpress.com/2010/12/25/menjawab-tuduhan-dusta-yang-mengatakan-bahwa-ahlussunnah-membunuh-al-imam-husain/

 

Lagi-lagi sebuah tuduhan palsu kembali dilontarkan kepada saudara kita orang syi’ah Malaysia ini http://profiles.friendster.com/47504334old page menurut apa yang dituliskan di bulletinnya itu bahwa Yazid bin Muawiyah adalah seorang Ahlussunnah yang membunuh Imam Husain. Atas dasar ini kemudian dia menyimpulkan sekaligus memfitnah bahwa golongan Ahlussunnah wal jama’ah (ASWJ) lah yang membunuh Imam Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Bagaimana ini bisa terjadi padahal kami sangat mencintai Ahlul Bait.
Masya Allah betapa jahat dan bencinya orang syi’ah ini kepada golongan Ahlussunnah. Saya ingatkan kembali kepada Syi’ah janganlah kalian menuduh sesama muslim dengan tuduhan tanpa bukti, dan jika tuduhan itu salah (orang yang dituduh tidak pernah melakukannya) maka tuduhan itu akan kembali kepada orang yang menuduh.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma., ia mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. bersabda: “Seorang laki-laki yang menuduh laki-laki lain itu jahat atau menuduhnya kafir, maka tuduhannya itu berbalik kepada dirinya, seandainya orang yang dituduhnya itu tidak seperti itu.” (HR Muslim I – 33, 49)
Ikhwafiddin Rahimakumullah, saya menghimbau bagi yang telah membaca tulisan-tulisannya di bulletin ini hendaknya jangan mempercayainya sedikitpun walau dia membawakan artikel tauhid sekalipun, ketahuilah orang ini batil manhajnya jangan diambil ilmu darinya.
Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh as-Salafus shalih Al-Imam Ibnu Sirin Rahimahullah, beliau mengatakan:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka hendaklah kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Muqaddimah Shahiih Muslim)
Beliau juga mengatakan: “Mereka (para shahabat dan tabi’in) pada awalnya tidaklah menanyakan tentang sanad hadits. Maka ketika terjadi fitnah (munculnya berbagai firqah sesat seperti Khawarij, Syi’ah-Rafidhah dan lainnya), mereka berkata: “Sebutkan kepada kami sanad kalian. Maka dilihat apabila datang dari ahlus sunnah maka diterima haditsnya dan apabila datang dari ahli bid’ah maka ditolak haditsnya.” (Ibid.)
Berikut lengkap bulletinnya:
=====================
Subject:
Yazid bin Muawiyah yang membunuh al-Hussain putra Rasulullah adalah dari golongan ASWJ? huh!
Message:
Apabila penduduk Kufah meminta beliau ke sana untuk memimpin mereka, jemputan itu diketahui Yazid yang kemudian menghantar pasukan tenteranya bagi menghalang Saidina Hussein sehingga berlakunya pertempuran meragut nyawa putera Saidina Ali bin Abi Talib dan Fatimah binti Rasulullah.
Kegembiraan Yazid atas kematian Saidina Hussein menunjukkan cita bencana dalam dirinya apabila beliau meletakkan kepala Saidina Hussein yang dipenggal di atas tombak serta diarak keliling kota Baghdad. – Ketua Jabatan Pengajian Melayu Universiti Singapura, Prof Madya Dr Syed Farid Alatas
=====================
Berikut bantahan saya atas syubhat dari tulisannya tersebut:
Imam Husain ada di hati kami
Diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah adalah mencintai Ahlul Bait. Kami mencintai Ahlul bait Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, menjadikan mereka wali dan selalu menjaga hak-hak mereka yang pernah diwasiatkan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalla: “Sesungguhnya aku mengingatkan kalian kepada Allah atas ahli Bait-ku (keluargaku), sesungguhnya aku mengingatkan kepada Allah atas ahli Bait-ku (keluargaku).” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2408 (36)
Maka Ahlussunnah sangat mencintai dan memuliakan mereka, karena hal itu adalah bagian dari kecintaan dan pemuliaan kepada nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, dengan syarat: mereka (Ahlul bait) harus berpegang teguh dengan sunnah (bimbingan nabi) dan berada diatas jalan yang lurus. Sebagaimana pendahulu mereka, seperti: Abbas dan anaknya, Ali dan anaknya. Adapun orang-orang yang menyelisihi bimbingan nabi dan tidak berada di jalan yang lurus maka kami tidak menjadikan mereka wali walaupun dari kalangan Ahlul bait.
Sebagaimana yang diceritakan dalam Al Qur’an:
“Cekalalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. (QS. Al-Lahab: 1)”
Maka sikap Ahlussunnah terhadap Ahlul bait adalah sikap yang adil dan inshaf: Ahlussunnah menjadikan wali setiap Ahlul bait yang istiqamah diatas jalan yang lurus dan berlepas diri dari setiap Ahlul bait yang menyimpang.
Demikian pula (Ahlussunnah) berlepas diri dari Ahlul bid’ah dan Khurafiyyin, yaitu orang-orang yang bertawasul dengan Ahlul bait (yakni tawasul yang tidak benar) dan menjadikan mereka Tuhan selain Allah.
Ahlul bait berlepas diri dari Syi’ah
Maka manhaj Ahlussunnah dalam perkara ini dan selainnya adalah tengah-tengah tidak berlebihan dan tidak pula bermudah-mudahan.
Ahlul bait yang berjalan diatas agama yang lurus juga mengingkari sikap berlebihan terhadap mereka serta belepas diri dari mereka. (sebagai contoh) Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah membakar orang-orang yang berlebihan terhadap dirinya dengan api. Ibnu Abbas juga sepakat membunuh mereka akan tetapi dengan cara di penggal bukan dibakar.
Dan Ali bin Abi Thalib pun ketika itu ingin membunuh Abdullah bin Saba’, gembong ghulah (pendiri syi’ah rafidhah) akan tetapi ia lari dan bersembunyi…….
(diterjemahkan dari kitabut tauhid, karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Hal.71-73 cetakan I Maktabah Ibnu ‘Abbas)
Syi’ah bukanlah ahlul bait dan ahlul bait berlepas diri dari syi’ah keduanya terdapat perbedaan yang jauh bagaikan timur dan barat bahkan lebih jauh lagi
Barangsiapa yang mengaku-ngaku mencintai dan mengikuti jejak Ahlul Bait namun ternyata mereka berlepas diri dari orang-orang yang dicintai Ahlul Bait, maka yang ada hanya kedustaan belaka. Lalu Ahlul Bait mana yang mereka ikuti?
Sangat tepatlah ucapan seorang penyair:
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى
وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَبِذَاكَ
Setiap lelaki mengaku kekasih Laila
Namun Laila tidak pernah mengakuinya
Yang Ahlussunnah ketahui tentang Imam Husain, bahwa beliau adalah cucu Nabi dan belahan jiwanya, juga yang paling mirip wajahnya dengan Nabi. Beliau sering mencium cucunya yang satu ini. Imam Husain dan saudaranya Imam Hasan, adalah penghulu pemuda penghuni syurga. Mereka berdua adalah anak dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, orang yang mencintai dan dicintai Allah dan RasulNya. Ali adalah seorang yang harus dicintai oleh setiap mereka yang mengaku beriman.
Ahlussunnah menganggap bahwa mencintai Ali adalah bagian dari iman, dan sebaliknya, membenci dan memusuhi Ali adalah bagian dari kemunafikan, salah satu sifat tercela yang harus dijauhi. Imam Husain adalah anak dari penghulu wanita penghuni syurga, belahan hati Rasulullah, Fatimah Azzahra, juga termasuk Ahlul Bait yang dibersihkan oleh Allah sebersih-bersihnya. Nabi berwasiat pada kita supaya menjaga Ahlul Bait ketika berkhotbah siang hari di tengah terik matahari Ghadir Khum : “Aku ingatkan kalian atas Ahlul Baitku”.
Imam Husain adalah penghulu Ahlussunnah, dan cucu Nabi kami, Ahlussunnah mencintai Imam Husain dan yakin bahwa cinta padanya adalah ikatan tali iman. Mencintai Imam Husain termasuk amal terbaik yang dapat dipersembahkan oleh orang beriman pada Allah, dalam rangka melaksanakan sabda Nabi : “seseorang akan bersama dengan yang dicintainya”. Barang siapa mencintai Imam Husain berarti dia telah mencintai Nabi dan sebaliknya, yang membenci Imam Husain berarti telah membenci Nabi.
Kami Ahlussunnah beranggapan mengenai Imam Husain sama seperti anggapan Umar bin Khottob tentang beliau : “siapa yang menumbuhkan rambut di kepala kami kalau bukan Allah lalu kalian wahai Ahlul Bait?”
Kami Ahlussunnah meyakini bahwa Imam Husain telah mati dibunuh musuh-musuh yang menzaliminya, kami berlepas diri dari seluruh orang celaka yang telah membunuhnya atau bantu-membantu dalam membunuh Imam Husain, atau mereka yang ridho atas kezaliman yang menimpanya. Kami meyakini bahwa kezaliman yang menimpa Imam Husain adalah curahan karunia dari Allah pada beliau, untuk meninggikan derajatnya, memuliakan pangkatnya, seperti sabda kakeknya : “para Nabi adalah orang yang paling berat ujiannya, lalu orang yang terbaik di setelah mereka dan seterusnya”. Dengan perantaraan ujian yang berat ini Allah mengaruniakan padanya pangkat mulia sebagai seorang syahid. Dengan ujian ini Allah mengangkatnya ke derajat para pendahulu ahlul bait yang sabar ditimpa cobaan di masa awal Islam, begitulah, Imam Husain juga bersabar dalam menghadapi ujian berat yang menimpa dirinya, sehingga Allah menyempurnakan nikmatnya dengan karunia syahadah. Perlu diketahui, bahwa karunia sebagai syahid tidak pernah diberikan kecuali pada orang yang sabar dalam menghadapi cobaan, ternyata Imam Husain termasuk mereka yang layak mendapatkannya. Kami yakin, sejak itu, kaum muslimin tidak pernah ditimpa musibah lebih besar dari syahidnya Imam Husain.
Setiap kami mengingat musibah itu, kami selalu mengucapkan perkataan yang diajarkan oleh Fatimah binti Husain, yang ikut hadir saat ayahnya syahid, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Rasulullah, bahwa beliau bersabda : “barang siapa ditimpa musibah dan ingat akan musibah itu, lalu ber istirja’ (mengucapkan Inna lillahi…dst) maka Allah akan memberinya pahala sama seperti pahala musibah itu ketika menimpanya walaupun musibah itu sudah lama terjadi.” Maka kami mengucapkan  “Inna lillahi wa inna ilaihi Roji’un”, karena kami ingin mendapat berita gembira dari Allah : “berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu mereka yang mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ketika ditimpa musibah. Mereka akan mendapat pujian dan rahmat dari Allah, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”
Walaupun kami mencintai Imam Husain, tapi kami tidak akan melanggar batas yang telah ditetapkan oleh kakeknya, Rasulullah, yang telah bersabda : “ janganlah kalian berlebihan dalam memujiku seperti kaum nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam, tapi cukup katakanlah : Muhammad adalah Hamba Allah dan RasulNya”
Ahlussunnah tidak berdoa dan meminta pertolongan pada Imam Husain dengan alasan menghormatinya [Ahlussunnah tidak mengatakan: Ya Husain… adrikni, atau Ya Sohibazzaman… Adrikni] , karena Allah melarang kami berbuat demikian.
Ahlussunnah tidak memperlakukan Nabi dan Ahlulbaitnya seperti memperlakukan Allah, sebagaimana kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan Isa dan Maryam yang akhirnya menjadikan mereka berdua sebagai tuhan selain Allah.
Ahlussunnah beranggapan bahwa Ahlul Bait tidak memiliki posisi dan kewenangan yang hanya dimiliki para Nabi, seperti kemaksuman dan kewenangan membuat syari’at baru, yang hanya dimiliki oleh para Nabi sebagai penyampai Risalah Allah. Ahlussunnah meyakini bahwa Ahlul Bait adalah pengikut Nabi yang terbaik dan penyampai dakwah Nabi Muhammad, kita semua mengetahui bahwa Ahlul Bait adalah manusia biasa, tapi mereka adalah manusia-manusia terbaik. Namun ahlul bait tidak pernah merasa bahwa menjadi kerabat Nabi adalah jaminan keselamatan di akherat, seperti anggapan sebagian orang yang mengaku keturunan Nabi saat ini.
Ahlul Bait adalah mereka yang paling keras membela Islam dan paling depan dalam melaksanakan ajaran Islam, seperti dijelaskan Imam Ali Zainal Abidin : Aku berharap Allah akan memberi pahala dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat baik, namun takut Allah akan memberi dosa dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat dosa.
Ahlussunnah tidak melanggar perintah kakek Imam Husain, Rasulullah, yang melarang ummatnya meratap, memukul badan dan menobek pakaian ketika ditimpa musibah. Rasulullah menerangkan bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan jahiliyah. Bahkan Hamzah, paman Nabi, telah dibunuh dan dirusak mayatnya, Nabi pun bersedih, beliau tidak pernah ditimpa musibah seberat ketika pamannya dibunuh dan dirusak mayatnya di perang uhud. Namun tidak pernah menjadikan hari terbunuhnya Hamzah sebagai hari duka cita yang penuh dengan tangis ratapan. Begitu juga Ali, tidak pernah berbuat demikian saat memperingati wafatnya Nabi, juga Imam Hasan dan Imam Husain tidak pernah mengadakan acara duka cita dan ratapan pada hari peringatan wafatnya Ali. Maka Ahlussunnah tidak menjadikan hari peringatan wafatnya Imam Husain sebagai hari duka cita, kami meniru hal itu dari petunjuk Nabi yang diikuti oleh Ali dan kedua puteranya, Hasan dan Husain.
Hari Asyura adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dari ancaman dan kejaran Fir’aun, Rasulullah berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan syukur pada Allah, Ahlussunnah berpuasa pada hari itu mencontoh Nabi yang telah berpuasa pada hari itu. Pada hari itu cucu Rasulullah jatuh syahid menemui Allah, menyusul kakek, ayah, ibu dan kakaknya. Kami bersabar dan mengharap pahala Allah atas kesedihan kami terhadap musibah itu. Pada hari itu Ahlussunnah melaksanakan dua amalan besar, yaitu bersyukur atas selamatnya Nabi Musa dan bersabar atas musibah yang menimpa, yaitu syahidnya Imam Husain. Sama dengan tanggal 17 Ramadhan, Ahlussunnah bersyukur memperingati kemenangan Nabi dan para sahabatnya di perang Badar, sekaligus bersedih memperingati syahidnya Ali bin Abi Thalib. Juga hari Senin, dimana pada hari itu Nabi Muhammad lahir dan wafat. Kami berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur atas selamatnya Nabi Musa, kami juga bersedih dan bersabar, serta tak lupa mengucapkan istirja’ Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun atas musibah syahidnya cucu baginda Nabi, Imam Husain, dengan hati yang penuh pengharapan, kiranya dapat masuk ke golongan mereka yang diberi kabar gembira.
(Dr. Abdul Wahhab Al Turairi )
Siapa yang membunuh Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma ?
Jika pada hari Asyura (10 Muharram), Kami Ahlussunnah wal jama’ah berpuasa atas perintah dari Rasulullah Shalallahu ‘layhi wasallam, ketika beliau Shalallahu ‘layhi wasallam bersabda, artinya, “Ia (puasa) ‘Asyura, menghapus dosa tahun lalu.” (HR. Muslim). Maka orang-orang Syi’ah menjadikan 10 Muharram untuk memperingati hari Karbala, yaitu hari terbunuhnya Al Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
Mereka memperingatinya dengan meratap, melukai kepala dan badan mereka dengan senjata tajam. Bahkan balita yang masih dalam gendongan ibunya sekalipun, harus meneteskan darah demi “menyemarakkan” hari Karbala. Seperti itulah orang-orang Syi’ah mengekspresikan kecintaan mereka kepada Al Husain , salah seorang Ahlu Bait Rasulullah .
Tapi, jika saja mereka mau menapaktilasi sejarah, maka tentu mereka akan sadar bahwa sebenarnya, secara tidak langsung orang-orang Syi’ah juga terlibat dalam peristiwa pembunuhan Al Husain .
Orang-orang Syi’ah di Kufah Iraq yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah rutin mengirim surat kepada Al Husain . Mereka mengajaknya untuk menentang Yazid. Mereka mengirim utusan demi utusan yang membawa ratusan surat dari orang-orang yang mengaku sebagai pendukung dan pembela Ahlul Bait.
Isi surat mereka hampir sama, yaitu menyampaikan bahwa mereka tidak bergabung bersama pimpinan mereka, Nu’man bin Basyir. Mereka juga tidak mau shalat Jumat bersamanya. Dan meminta Al Husain untuk datang kepada mereka, kemudian mengusir gubernur mereka, lalu berangkat bersama-sama menuju negeri Syam menemui Yazid.
Namun, ketika Al Husain datang memenuhi panggilan mereka, dan ketika pasukan ‘Ubaidillah bin Ziyad membantai Al Husain dan 17 orang Ahlul Bait di suatu daerah yang disebut Karbala, tak seorang pun dari orang-orang Syi’ah itu yang membela beliau.
Kemana perginya para pengirim ratusan surat itu? Mana 12.000 orang yang katanya akan berbaiat rela mati bersama Al Husain ?
Mereka tidak memberikan pertolongan kepada Muslim bin Uqail, utusan Al Husain yang beliau utus dari Makkah ke Kufah. Tidak pula berperang membantu Al Husain melawan pasukan Ibnu Ziyad. Maka tak heran jika sekarang orang-orang Syi’ah meratap dan menyiksa diri mereka setiap 10 Muharram, sebagai bentuk penyesalan dan permohonan ampun atas dosa-dosa para pendahulu mereka terhadap Al Husain .
Dalam tragedi mengenaskan ini, di antara Ahlul Bait yang gugur bersama Al Husain adalah putera Ali bin Abi Thalib lainnya; Abu Bakar bin Ali, Umar bin Ali, dan Utsman bin Ali.
Demikian pula putera Al Hasan, Abu Bakar bin Al Hasan. Namun anehnya, ketika Anda mendengar kaset-kaset, ataupun membaca buku-buku Syi’ah yang menceritakan kisah pembunuhan Al Husain , nama keempat Ahlul Bait tersebut tidak pernah diungkit. Tentu saja, agar orang tidak berkata bahwa Ali memberi nama anak-anak beliau dengan nama-nama sahabat Rasulullah ; Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman. Tiga nama yang paling dibenci orang-orang Syi’ah.
Ternyata Syi’ah sendirilah yang membunuh Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma di Karbala.
Dengan adanya bukti-bukti utama ini, tidak ada satu penelitianpun yang dibangun untuk mencari kebenaran dan mendapatkan keadilan yang memutuskan bahwaYazid bin Muawiyah sebagai terdakwa yang dituduh bertanggungjawab di dalam rencana jahat pembunuhan Sayyidina Husain. Bahkan Yazid bin Muawiyah akan dibebaskan dengan penuh penghormatan dan terbongkarlah rahsia yang selama ini menutupi pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya di Karbala.
Bukti pertamanya adalah pengakuan Syi’ah Kufah sendiri bahawa merekalah yang membunuh Sayyidina Husain. Golongan Syi’ah Kufah yang mengaku telah membunuh Sayyidina Husain itu kemudian muncul sebagai golongan “At Tawwaabun” yang konon menyesali tindakan mereka membunuh Sayyidina Husain. Sebagai cara bertaubat, mereka telah berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti yang pernah dilakukan oleh orang – orang Yahudi sebagai pernyataan taubatnya kepada Allah karena kesalahan mereka menyembah anak sapi sepeninggalan Nabi Musa ke Thur Sina .
Air mata darah yang dicurahkan oleh golongan “At Tawaabun” itu masih kelihatan dengan jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak hilang walaupun coba dihapuskan oleh mereka dengan beribu-ribu cara .
Pengakuan Syi’ah pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain ini diabadikan oleh ulama – ulama Syi’ah yang merupakan tonggak dalam agama mereka seperti Baaqir Majlisi, Nurullah Syustri dan lain – lain di dalam buku mereka masing – masing.  Baaqir Majlisi menulis :
“Sekumpulan orang – orang Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, ” Demi Tuhan! Apa yang telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain . Kita telah membunuh “Ketua Pemuda Ahli Syurga” karena Ibn Ziad anak haram itu . Di sini mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak terhadap Ibn Ziad tetapi tidak berguna apa – apa”. ( Jilaau Al’Uyun , m.s. 430 )
Qadhi Nurullah Syustri juga menulis di dalam bukunya Majalisu Al’Mu’minin bahawa setelah sekian lama ( kurang lebih 4 atau 5 tahun ) Sayyidina Husain terbunuh, pemimpin orang – orang Syi’ah mengumpulkan orang – orang Syi’ah dan berkata , ” Kita telah memanggil Sayyidina Husain dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya , kemudian kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini tidak akan diampuni kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita “. Dengan itu berkumpulah sekian banyak orang – orang Syi’ah di tepi Sungai Furat sambil mereka membaca ayat yang artinya, ” Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu “. ( Al Baqarah :54 ). Kemudian mereka saling membunuh sesama diri mereka sendiri. Inilah golongan yang dikenali dalam sejarah Islam dengan gelaran “At Tawaabun”.
Sejarah tidak tidak akan melupakan peranan Syits bin Rab’ie di dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala . Tahukah anda siapa itu Syits bin Rab’ie? Dia adalah seorang Syi’ah tulen, pernah menjadi duta kepada Sayyidina Ali di dalam peperangan Siffin, sentiasa bersama Sayyidina Husain . Dia juga yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap kerajaan pimpinan Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?
Sejarah memaparkan bahawa dialah yang mengepalai 4.000 orang bala tentera untuk menentang Sayyidina Husain dan dialah orang yang pertama-tama turun dari kudanya untuk memenggal kepala Sayyidina Husain. ( Al’Uyun dan Khulashatu Al Mashaaib, hal. 37 )
Adakah masih ada orang yang ragu-ragu tentang Syi’ahnya Syits bin Rab’ie dan tidakkah orang yang menceritakan kejadian ini adalah Mulla Baaqir Majlisi , seorang tokoh Syi’ah terkenal ? Secara tidak langsung dia mengakui dari pihak Syi’ah sendiri tentang pembunuhan itu .
Lihatlah pula kepada Qais bin Asy’ats ipar Sayyidina Husain yang tidak diragui tentang Syi’ahnya tetapi apa kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah menunjukkan kepada kita bahawa itulah orang yang merampas selimut Sayyidina Husain dari tubuhnya seelah selesai pertempuran ? (Khulashatu Al Mashaaib ,hal. 192 )
Selain pengakuan mereka sendiri yang membuktikan merekalah sebenarnya pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain, ternyata saksi – saksi yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain sebagai saksi-saksi hidup di Karbala yang terus hidup setelah peristiwa ini juga membenarkan dakwaan ini termasuk kenyataan Sayyidina Husain sendiri yang sempat direkam oleh sejarah sebelum beliau terbunuh .
Sayyidina Husain berkata dengan menujukan kata-katanya kepada orang-orang Syi’ah Kufah yang siap sedia bertempur dengan beliau :
” Wahai orang – orang Kufah ! Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu. Wahai orang – orang yang curang, dzalim dan pengkhianat! Kamu telah menjemput kami untuk membela kamu di waktu sempit tetapi bila kami datang untuk memimpin dan membela kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu hunuskan pedang dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-mush di dalam menentang kami “. ( Jilaau Al’ Uyun, hal. 391 ).
Beliau juga berkata kepada Syi’ah :” Binasalah kamu ! Bagaimana bisa kamu menghunuskan perang dendammu dari sarung-sarungnya tanpa permusuhan dan perselisihan yang ada di antara kamu dengan kami ? Mengapa kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul Bait tanpa sebab? ” ( Ibid ).
Akhirnya beliau mendoakan keburukan untuk golongan Syi’ah yang sedang berhadapan untuk bertempur dengan beliau :
” Ya Allah! Tahanlah keberkatan bumi dari mereka dan selerakkanlah mereka . Jadikanlah hati-hati pemerintah terus membenci mereka karena mereka menjemput kami dengan maksud membela kami tetapi sekarang mereka menghunuskan pedang dendam terhadap kami “. ( Ibid )
Beliau juga diketahui telah mendoakan keburukan untuk mereka dengan kata-katanya: “Binasalah kamu ! Tuhan akan membalas bagi pihakku di dunia dan di akhirat……..Kamu akan menghukum diri kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu akan menumpahkan darahmu sendiri. Kamu tidak akan mendapat keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu. Apabila mati nanti sudah tersedia azab Tuhan untukmu di akhirat. Kamu akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang paling dahsyat kekufurannya”. ( Mulla Baqir Majlisi – Jilaau Al’Uyun, hal. 409 ).
Dari kata – kata Sayyidina Husain yang telah dipaparkan oleh sejarawan Syi’ah sendiri, Mulla Baqir Majlisi, dapat disimpulkan bahawa :
(i) Dendam yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam menelusuri penulisan sejarah bahawa pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan perbuatan balas dendam dari Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah yang kafir di dalam peperangan Badar , Uhud, Siffin dan lain – lain tidak lebih daripada propaganda kosong semata-mata karena pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syi’ah Kufah .
(ii) Keadaan Syi’ah yang sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang sejarah membuktikan dikabulkannya doa Sayyidina Husaindi medan Karbala akan adzab Syi’ah
(iii) Upacara menyiksa badan dengan cara memukul-mukul tubuhnya dengan rantai, pisau dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan Syi’ah itu sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa Sayyidina Husain dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di dalam masyarakat Syi’ah . Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah ada upacara yang seperti ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahawa merekalah golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.
(iv) Betapa kejam dan kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka menyembelih dan membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian banyak sanak keluarganya walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka yang dipanatkan oleh beliau. Itulah mereka golongan yang buta mata hatinya dan telah hilang kewarasan pemikirannya karena setelah mereka selesai membunuh, mereka melepaskan kuda Zuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil memukul-mukul tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah mereka upacara perkabungan pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di atas muka bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu golongan ini meneruskan upacara perkabungan ini setiap kali tiba tanggal 10 Muharram ?
Ali Zainal Abidin anak Sayyidina Husain yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah dan terus hidup setelah berlalunya peristiwa itu juga berkata kepada orang-orang Kufah lelaki dan perempuan yang meratap dengan mengoyak-ngoyakkan baju mereka sambil menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata kepada mereka, ” Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang lain yang membunuh kami selain mereka ?” ( At Thabarsi – Al Ihtijaj, hal. 156 ).
Pada halaman berikutnya Thabarsi menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada orang-orang Kufah. Beliau berkata:
” Wahai manusia (orang-orang Kufah)! Dengan Nama Allah aku bersumpah untuk bertanya kepada kamu , ceritakanlah! Tidakkah kamu sadar bahawasa kamu mengutuskan surat kepada ayahku (untuk menjemputnya), kemudian kamu menipunya?
Bukankah kamu telah memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya, membiarkannya dihina. Celakalah kamu karena amalan buruk yang telah kamu dahulukan untuk dirimu”.
Sayyidatina Zainab , saudara perempuan Sayyidina Husain yang terus hidup setelah peristiwa itu juga mendoakan keburukan untuk golongan Syi’ah Kufah. Beliau berkata:
” Wahai orang-orang Kufah yang khianat, penipu! Mengapa kalian menangisi kami sedangkan air mata kami belum lagi kering karena kedzalimanmu itu. Keluhan kami belum lagi terputus oleh kekejamanmu. Keadaan kalian tidak ubah seperti perempuan yang memintal benang kemudian dirombaknya kembali. Kalian juga telah merombak ikatan iman dan telah berbalik kepada kekufuran…Adakah kalian meratapi kami padahal kalian sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kalian pula menangisi kami. Demi Allah ! Kalian akan banyak menangis dan sedikit ketawa. Kalian telah membeli keaiban dan kehinaan untuk kamu. Tumpukkan kehinaan ini sama sekali tidak akan hilang walau dibasuh dengan air apapun”.(Jilaau Al ‘ Uyun, hal. 424 ).
Doa anak Sayyidatina Fatimah ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syi’ah hingga ke hari ini .
Ummu Kulthum anak Sayyidatina Fatimah pula berkata sambil menangis di atas segedupnya:
” Wahai orang-oang Kufah! Semoga buruk keadaanmu. Semoga buruk rupamu. Kenapa kamu menjemput saudaraku Husain kemudian tidak membantunya bahkan membunuhnya, merampas harta bendanya dan menawan orang-orang perempuan dari rumahnya . Semoga Allah melaknat kamu dan semoga kutukan Allah mengenai mukamu”.
Beliau juga berkata: ” Wahai orang-orang Kufah ! Orang-orang laki-laki dari kalangan kamu membunuh kami sementara orang-orang perempuan pula menangisi kami. Tuhan akan memutuskan di antara kami dan kamu di hari kiamat nanti”. ( Ibid , hal. 426 – 428 )
Sementara Fatimah anak perempuan Sayyidina Husain berkata:
” Kalian telah membunuh kami dan merampas harta benda kami kemudian telah membunuh kakekku Ali ( Sayyidina Ali ). Senantiasa darah-darah kami menitis dari ujung-ujung pedangmu……Tidak lama lagi kalian akan menerima balasannya. Binasalah kalian! Tunggulah nanti azab dan kutukan Allah akan berterusan menghujani kalian. Siksaan dari langit akan pemusnahan kalian akibat perbuatan terkutukmu. Kalian akan memukul tubuhmu dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti kamu akan terkepung dengan azab yang pedih “.
Apa yang dikatakan oleh Sayyidatina Fatimah bt. Husain ini dapat dilihat dengan mata kepala kita sendiri di mana-mana Syi’ah berada .
Dua bukti utama yang telah kita kemukakan tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan siapakah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Dari keterangan dalam kedua-dua bukti yang lalu dapat kita simpulkan beberapa perkara :
1.      1. Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak adalah Syi’ah.
2.      2. Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di Karbala itu juga Syi’ah.
3.   3. Sayyidina Husain dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri dari saudara-saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syi’ahlah yang telah membunuh mereka .
4.      4. Golongan Syi’ah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung karena kematian orang-orang yang dibunuh oleh mereka .
Kaum muslimin di dunia ini menerima keempat-empat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kokoh dan jelas menunjukkan siapakah pembunuh sebenar di dalam sesuatu peristiwa pembunuhan, yaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu tempat, ada orang menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan. Orang yang terbunuh sendiri menyaksikan tentang pembunuhnya dan terakhir adalah pengakuan pembunuh itu sendiri.
Jika keempat-empat perkara ini sudah terbukti dengan jelas dan diterima oleh seluruh kaum muslimin sebagai peristiwa pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana mungkin diragui lagi tentang pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain itu ?

SIKAP YAZID TERHADAP TERBUNUHNYA AL HUSAIN
Berkata Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Al Husain . Hal ini berdasarkan kesepakatan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan kepada Ibnu Ziyad untuk mencegah Al Hasan menjadi penguasa negeri Iraq.”
Ketika kabar tentang terbunuhnya Al Husain sampai kepada Yazid, maka nampak terlihat kesedihan di wajahnya dan suara tangisan pun memenuhi rumahnya.
Kaum wanita rombongan Al Husain yang ditawan oleh pasukan Ibnu Ziyad pun diperlakukan secara hormat oleh Yazid hingga mereka dipulangkan ke negeri asal mereka.
Dalam buku-buku Syiah, mereka mengangkat riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa wanita-wanita Ahlul Bait yang tertawan diperlakukan secara tidak terhormat. Mereka dibuang ke negeri Syam dan dihinakan di sana sebagai bentuk celaan kepada mereka. Semua ini adalah riwayat yang batil dan dusta. Justru sebaliknya, Bani Umayyah memuliakan Bani Hasyim.
Disebutkan pula bahwa kepala Al Husain dihadapkan kepada Yazid. Tapi riwayat ini pun tidak benar, karena kepala Al Husain masih berada di sisi Ubaidillah bin Ziyad di Kufah.

SIKAP AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH TERHADAP YAZID BIN MU’AWIYAH
Sebagian membolehkan melaknat Yazid bin Mu’awiyah, namun adapula yang melarangnya. Bagi yang membolehkan melaknatnya, perlu untuk memerhatikan tiga hal berikut:
-Mengetahui dengan jelas bahwa Yazid bin Mu’awiyah adalah orang fasiq.
-Yakin bahwa Yazid tidak pernah bertaubat dari dosa-dosanya tersebut. Jika orang kafir yang bertaubat kepada Allah diampuni, maka bagaimana lagi dengan orang fasiq?
-Tahu dengan pasti hukum melaknat pribadi tertentu, bahwa itu dibolehkan.
Tapi yang benar justru sebaliknya, melaknat sosok pribadi tertentu yang Allah dan Rasul-Nya tidak melaknatnya dilarang. Beliau bersabda ketika orang-orang melaknat Abu Jahl,
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا
“Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka perbuat.” (HR. Bukhari).
Agama Islam tidak dibangun di atas celaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang Syiah. Tapi dibangun di atas akhlak mulia. Maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam. Rasulullah bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang Muslim adalah kefasiqan, dan membunuhnya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tidak seorang pun yang mengatakan bahwa Yazid bin Muawiyah kafir. Tapi, kebanyakan orang mengatakan bahwa ia fasiq. Dan Allahlah yang Mahamengetahui.
Rasulullah pernah bersabda,
أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ
“Pasukan yang paling pertama menyerang Romawi diampuni.” (HR. Bukhari).
Dan ternyata, pasukan ini dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah. Ikut dalam pasukan itu beberapa sahabat yang mulia; Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ibnu Abbas, dan Abu Ayyub. Penyerangan ini terjadi pada tahun 49 H.
Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Yazid telah bersalah besar dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan semua harta benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama tiga hari.
Demikian pula terbunuhnya sejumlah sahabat dan anak-anak mereka dalam peristiwa tersebut. Maka dalam menyikapi Yazid bin Muawiyah, kita serahkan urusannya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Adz-Dzahabi, “Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya.”
Wallahu A’laa wa A’lam