Monday, April 6, 2015

Mencintai Ahlul Bait Dan Sahabat Nabi Secara Proporsional



بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh:
Muhyiddin Abdusshomad[1]

Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, salah satu kewajiban Umat Islam adalah mencintai Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhammad r. Yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ahlul Kisa’ (beberapa orang yang pernah diselimuti oleh Rasulullah SAW) yakni Sayyidah Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, (dan seluruh keturunan)nya y (Hadits Tirmidzi 2139) dan para istri Nabi r yang kemudian disebut dengan Ummahatul Mukminin (QS. Al-Ahzab: 6 ).
Kecintaan yang dimaksud tetap berpedoman pada prinsip seimbang (tawazun), tengah-tengah (tawassuth), tegak lurus (i’tidal), serta tidak berlebih-lebihan. Karena menanamkan fanatisme buta kepada Ahlul Bait Nabi r dapat menimbulkan citra negatif tentang pribadi mereka. Bahkan pada tingkat tertentu tanpa disadari justru menistakan Ahlul Bait Nabi r sebagai orang-orang yang ambisius, suka berpura-pura, dan penakut (taqiyyah). Padahal Ahlul Bait adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah I dari perilaku yang kotor dan tercela (QS. Al-Ahzab: 33).
Telah maklum bagi seluruh umat Islam bahwa Sayyidina Ali t itu dijuluki"Laitsu Bani Ghalib" pendekar yang tak terkalahkan dalam setiap pertempuran, sangatlah tidak mungkin jika beliau bersikap taqiyyah apalagi menganjurkannya.
Salah satu contoh adalah sikap kelompok yang terlalu berlebihan kecintaannya terhadap Sayyidina Ali t. Dalam keyakinan mereka, ketika Sayyidina Ali t tidak terpilih menjadi khalifah pertama oleh mayoritas sahabat, Sayyidina Ali t marah dan menyuruh para pengikutnya untuk memberontak dan menyebarkan caci maki, dan kelak di akhir zaman, orang-orang yang dianggap merampas jabatannya akan dihidupkan kembali untuk dipukuli, disiksa, disalib dan dikeroyok oleh Sayyidina Alit beserta para putra dan pengikutnya untuk melampiaskan dendam kesumatnya yang berkobar sejak lama, sebagaimana dalam i’tiqad adanya raj’ah.
Kepercayaan ini memang berawal dari kecintaan yang berlebihan kepada Sayyidina Ali t, Namun dampak yang diakibatkan cukup merisaukan, karena hal ini justru menggambarkan potret buram Ahlul Bait Nabi r yang suci dengan gambaran orang-orang yang selalu menyimpan dendam kesumat, gila jabatan, dan tidak berperikemanusiaan.
Dalam keyakinan  Ahlussunnah Wal Jama’ah, hal itu mustahil akan terjadi pada Ahlul Bait Nabi Muhammad r. Karena mereka bagaikan mutiara-mutiara yang berkilauan nan bersih dari sikap dan perilaku yang mengotorinya.
Memang sejarah telah mencatat ada perselisihan antara sebagian Ahlul Bait dan para sahabatnya, tetapi hal tersebut tidak sampai pada tingkat menebarkan dendam kesumat sepanjang zaman. Allah I telah memberikan jaminan-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ. (الاية) الفتح :29.
”Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi senantiasa memelihara kasih sayang diantara sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29).
Keyakinan ini bukan sekedar isapan jempol semata, tetapi didasarkan pada fakta sejarah (dari berbagai literatur baik dari sumber Ahlussunnah maupun Syi’ah) yang menyatakan bahwa di antara Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhammad rada kemesraan yang terjalin, saling mencintai karena Allah I, tidak ada permusuhan dan dendam kesumat. Diantaranya adalah pernyataan Sayyidina Abu Bakar ttentang kecintaan beliau kepada Ahlul Bait Nabi r:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا .قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي. (صحيح البخاري، رقم 3730).
“Dari ‘Aisyah R.A., sesungguhnya Abu bakar berkata, “Sungguh kerabat-kerabat Rasulullah SAW lebih aku cintai dari pada Ahlul Baitku sendiri. (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 3730).
Sayyidina Umar t juga merupakan salah seorang sahabat yang selalu memperhatikan dan memuliakan Ahlul Bait Nabi r. Simak hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ خَطَبَنَا عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عَلِيٌّ أَقْضَانَا وَأُبَيٌّ أَقْرَؤُنَا (صحيح البخاري، 4121).
“Dari Ibn Abbas, ia bercerita, “Sayyidina Umar pernah berkhutbah kepada kami di atas mimbar Rasulullah r, Ia berkata, “Sayyidina Ali adalah orang yang paling ahli di bidang hukum, dan Ubay adalah orang yang paling fasih bacaannya.” (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 4121) .
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ صَلَّى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْعَصْرَ ثُمَّ خَرَجَ يَمْشِي فَرَأَى الْحَسَنَ يَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ فَحَمَلَهُ عَلَى عَاتِقِهِ وَقَالَ بِأَبِي شَبِيهٌ بِالنَّبِيِّ لا شَبِيهٌ بِعَلِيٍّ وَعَلِيٌّ يَضْحَكُ (صحيح البخاري، 3278).
”Dari Uqbah bin Harits ia berkata, ”Suatu ketika Abu Bakar melaksanakan shalat Ashar. Setelah itu berjalan pulang dan melihat Hasan bin Ali sedang bermain dengan anak-anak sebaya. Abu Bakar kemudian menggendongnya seraya berkata, ”Sungguh, anak ini sangat mirip dengan Nabi, tidak mirip Ali”. Mendengar pernyataan ini, Ali tertawa.” (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 3278).
Senda gurau tersebut tentu tidak akan terjadi jika diantara keduanya ada permusuhan. Rasa hormat dan kecintaan Ahlul Bait kepada para sahabat Nabi Muhammad r itu bagaikan kata berjawab gayung bersambut, sebagaimana tergambarkan dalam ungkapan Sayyidina Ali t:
عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ قَالَ ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ أَقُولَ ثُمَّ مَنْ فَيَقُولُ عُثْمَانُ فَقُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ يَا أَبَتِ قَالَ مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ (سنن ابي داود، 4013).
“Dari Muhammad bin Hanafiyyah, ia berkata, “Saya bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi Thalib t), “Siapakah manusia paling mulia setelah Rasulullah r?”,  Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina Abu Bakar t”. Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?”  Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina Umar bin Khattab t.”. Dengan sedikit ragu-ragu aku bertanya lagi, ”Kemudian siapa lagi?”, Sayyidina Ali menjawab, ” Sayyidina Utsman bin Affan t.” Lalu aku berkata, ”Kemudian Engkau wahai ayahku.”  Sayyidina Ali t menjawab (seraya merendahkan diri), ”Tidak, aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya.”(Sunan Abi Dawud, nomor hadits. 4013).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ وُضِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بَيْنَ الْمِنْبَرِ وَالْقَبْرِ فَجَاءَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حَتَّى قَامَ بَيْنَ يَدَيْ الصُّفُوفِ فَقَالَ هُوَ هَذَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْكَ مَا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَلْقَاهُ بِصَحِيفَتِهِ بَعْدَ صَحِيفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى عَلَيْهِ ثَوْبُهُ (مسند أحمد، 823).
“Dari Ibn Umar t ia  berkata, “Ketika jenazah Sayyidina Umar diletakkan di antara mimbar dan makam Rasulullah r, Sayyidina Ali t datang dan berdiri di shaf terdepan, seraya mengatakan, “Inilah orangnya, inilah orangnya, inilah orangnya. Mudah-mudahan Allah Imemberikan rahmat-Nya kepadamu. Tidak seorangpun hamba Allah SWT yang paling aku cintai untuk bertemu Allah I (dengan membawa buku catatan yang baik), setelah buku catatan Nabi r, selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar).” (Musnad Ahmad, nomor hadits. 823).
Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari ungkapan Sayyidina Ali ttersebut. Pertama, penghormatan Sayyidina Ali t yang begitu tinggi kepada para sahabat, khususnya tiga khalifah sebelum beliau. Tidak ada rasa dendam atau merasa tersaingi apalagi didholimi. Kedua, kerendahan hati Sayyidina Ali t. Dalam kapasitas beliau sebagai Ahlul Bait, tidak ada perasaan lebih mulia dari yang lain, seraya mengatakan, ”Aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya”. Ketiga, mustahil beliau melakukan taqiyyah (pura-pura) dalam ucapannya itu, sebab pujian Sayyidina Ali t diungkapkan pada saat orang yang disanjung tesebut telah meninggal dunia (hadits riwayat Ahmad), bahkan ketika beliau sedang menjadi khalifah seperti dalam hadits riwayat Abu Daud di muka. Data tersebut tidak hanya dicatat dalam kitab-kitab Ahlussunnah, dapat ditemukan juga dalam kitab-kitab Syi’ah, misalnya dalam kitab Talkhis Asy-Syafi (Juz. II, Hal. 48), Asy-Syafi (hal. 428), dan lain-lain.
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
عَنْ جَمِيْعِ بْنِ عُمَيْرَ التَّيْمِي قَالَ: دَخَلْتُ وَمَعِي عَمَّتِي عَلَى عَا ئِشَةَ فَسَأَلْتُ: أَيُّ النَّاسِ كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَتْ فَاطِمَةُ فَقِيْلَ: مَنِ الرِّجَالُ؟ فَقَالَتْ: زَوْجُهَا إِنْ كَانَ مَاعَلِمْتُ صَوَّاماً قَوَّا ماً (رواه الترمذي).
“Jami’ bin Umair al-Taymi berkata, Suatu saat aku bersama bibiku menemui ‘Aisyah dan aku bertanya kepada beliau: Siapakah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah r, Sayyidah ‘Aisyah menjawab: ialah Fatimah: ditanyakan lagi kepada beliau, kalau dari kalangan laki-laki? Jawab Sayyidah ‘Aisyah: Ialah suaminya (Sayyidina Ali) karena aku tahu dia itu rajin berpuasa dan sebagai laki-laki yang penuh tanggung jawab.” (HR. Tirmidzi, nomor hadits 3873).
Mungkinkah Sayyidah ‘Aisyah RA. menyampaikan hadits tersebut jika di lubuk hatinya ada dendam dan iri hati kepada Sayyidah Fatimah RA atau kepada Sayyidina Ali t? Jawabnya: Tentu tidak mungkin, karena hadits tersebut menginformasikan keutamaan Sayyidina Ali t dan Sayyidah Fatimah.  
Tidak hanya sampai di sini, kecintaan dan rasa persaudaraan itu berlangsung terus hingga sampai pada keturunan mereka. Bahkan kecintaan yang mendalam diantara para sahabat dengan Ahlul Bait Nabi Muhammad r tidak cukup dengan pernyataan semata, tetapi sampai pada pembuktian yang nyata seperti memberikan nama putra mereka dengan nama para sahabat besar itu.
Jika ditelusuri nama seseorang dapat menunjukkan siapa dirinya. Nama merupakan pembeda, yang membedakan seseorang dengan yang lain. Hal ini berlaku bagi seluruh manusia. Orang yang berakal tidak pernah ragu akan pentingnya nama. Sebab, melalui nama orang yang dilahirkan akan dikenal dan dibedakan dari saudara-saudaranya sendiri atau orang lain. Nama itu akan menjadi tanda bagi diri yang bersangkutan dan bagi putra-putrinya kelak. Ketika seseorang sudah mati, namanya akan tetap hidup sepeninggalnya.
Nama dalam bahasa arabnya "Al-Ismu", dari akar kata "As-Sumuw" yang bermaka mulia dan tinggi. Atau berasal dari kata: "Al-Wasmu" yang berarti tanda. Kedua makna tersebut menegaskan akan pentingnya nama bagi seseorang. Nama seseorang melambangkan agama dan tingkatan akalnya. Fakta pemberian nama-nama tersebut bisa dilihat dalam contoh nama-nama dibawah ini.
Misalnya Sayyidina Ali t di antara tiga puluh tiga putra-putri beliau ada yang diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 9). Umar al-Athraf bin Ali, beliau diantara orang yang menjadi korban sebagai syahid di medan Karbala. (al-Fushul al-Muhimmah, hal. 143).
Untuk lebih jelasnya, setelah wafatnya Sayyidah Fathimah RA., Sayyidina Ali RA. menikah dengan sejumlah wanita yang melahirkan beberapa putra dan putri, diantaranya: Abbas bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Ali bin Abi Thalib, Ja’far bin Ali bin Abi Thalib,  Ibu mereka adalah Umm Al-Banin binti Hizam bin Darim.
Ubaidullah bin Ali bin Abi Thalib , Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib . Ibu keduanya adalah Laila binti Mas’ud Al-Darimiyyah.
Yahya bin Ali bin Abi Thalib, Muhammad Al-Ashghar bin Ali bin Abi Thalib, ’Aun bin Ali bin Abi Thalib. Ibu mereka adalah Asma’ binti Umais.
Ruqayyah binti Ali bin Abi Thalib, Umar bin Ali bin Abi Thalib-yang meninggal dunia pada usia 35 tahun. Ibu Keduanya adalah Ummu Habib binti Rabi’ah.
Dan masih ada beberapa putra-putri lagi dari ibu yang lain (Kasyful Ghummah fi Ma’rifah al-A’immah, juz. 2, hal. 66. Ali al-Arbili)
Sayyidina Hasan memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 14 putra-putrinya. Sedangkan Umar bin Al-Hasan termasuk yang wafat secara syahid di medan Karbala (Maqatil Al-Thalibiyyin, hal. 119). Sayyidina Husain juga memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 9 putra putrinya (Muqaddimah Allimu Auladakum Mahabbata Ali baitin Nabi). Abu Bakar bin Husain Al-Syahid termasuk diantara salah satu Syuhada’ di medan Karbala. (Al-Tanbih wal Isyraf, hal. 263). Imam Ali Zainal Abidin t menunjukkan kecintaannya kepada para sahabat Nabi r juga dengan memberi nama salah seorang putranya dengan nama Umar. Begitu pula Imam Musa Al-Kadzim memberi nama salah satu putranya dengan nama Abu Bakar (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 217), Imam Ali Al-Ridla t memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 237), dan Imam Ali al-Hadi t juga memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah. (Al-Fushuulul Muhimmah, hal. 238).
Siapapun tahu bahwa orang yang memberikan nama pada putra-putrinya, tentu memilih nama-nama yang paling disukai sembari tersirat sebuah harapan semoga anak yang dimaksud dapat meneladani dan memiliki kualitas individu seperti orang yang ditiru namanya. Sudah pasti hal itu tidak akan terjadi bilamana di hati mereka ada permusuhan dan dendam kesumat. Ini sebagai bukti bahwa Allah Imelindungi Ahlul Bait Nabi Muhammad r dari berbagai penyakit hati.
Isteri Sayyidina Husain yang bernama Syahrbanu adalah puteri dari Yazdajird, raja terakhir dari kerajaan Persia. Semula beliau adalah tawanan perang bersama dayang-dayang kerajaan yang diboyong ke Madinah. Kemudian beliau dihadapkan kepada Sayyidina Umar bin Al-Khaththab t. Semua orang menduga bahwa beliau akan dinikahi oleh Sayyidina Umar bin Al-Khaththab t sendiri atau paling tidak akan dinikahkan dengan putra beliau sendiri, Abdullah bin Umar t. Akan tetapi di luar dugaan justru Sayyidina Umar t menyerahkan putri Yazdajird tersebut kepada Sayyidina Husain t sembari berkata:
يَا أَباَ عَبْدِ الله لَتَلِدَنَّ لَكَ مِنْهَا خَيْرَ أَ هْلِ اْلأَ رْضِ.
“Wahai Aba Abdillah (nama panggilan Sayyidina Husain t)! Pernikahan engkau dengan Syahrbanu kelak akan melahirkan sebaik-baik manusia di atas bumi.
Maka kemudian puteri Yazdajird tersebut dinikahi oleh Sayyidina Husain, dari pernikahan ini lahir seorang putra bernama Ali bin Husain yang dikenal dengan gelar Zainal Abidin (Al-Kafi, juz. 1, hal466-467). Riwayat tersebut tampak jelas bahwa Sayyidina Umar t sangat menghormati dan mencintai Sayyidina Husain t baik dengan ucapan maupun tindakan.
Bahkan lebih jauh, kecintaan antara para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Muhammad r tidak hanya terbatas pada pemberian nama pada putra-putranya saja, tetapi berlanjut sampai tingkatan pernikahan dan perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar t menikah dengan Ummi  Kultsum t putri Sayyidina Ali t. (Al-Kafi, juz. 5, hal346). Zaid bin Amr  bin Utsman bin Affan t. menikah dengan Sukainah binti Al-Husain  bin Ali bin Abi Thalib t Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan menikah dengan Fathimah binti Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib t yang kemudian berputra Muhammad al-Diibaaj t  (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, juz. IV, hal. 114 dan 120) Perlu diketahui pula bahwa Sayyidina Utsman t adalah keponakan sepupu dari Sayyidina Ali t dari jalur ibunya yang bernama Arwa binti Baidla’ binti Abdul Muththalib. (Muruj al-Dzahab li al-Mas’udi, juz. 2, hal. 340). Dengan demikian di tubuh Sayyidina Utsman t juga mengalir darah Bani Abdul Muththalib.
Imam Muhammad Al-Baqir, ayahanda dari Imam Ja’far Al-Shadiq t menikah dengan cucu Sayyidina Abu Bakar t, yakni Ummu Farwah putri Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar t Ibu dari Ummu Farwah tersebut ialah Asma’ binti Abdurrahman bin Abu Bakar yang saudara sekandung dengan ’Aisyah t (Al-Kafi, juz. I, hal. 472). Dan dalam konteks inilah Imam Ja’far al-Shadiq t menyatakan:
وَلَدَنِيْ أَبُوْ بَكْرٍ مَرَّتَيْنِ  (ابن عنبة, عمدة الطالب : 195)
“Abu Bakar telah melahirkan aku dua kali (yakni dari jalur kakek dan nenek dari ibunya).(Ibn ‘Anbah, Umdat al-Thalib, hal. 195).
            Jadi sangat tidak masuk akal jika Imam Ja’far Al-Shadiq yang mulia mengajarkan caci maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari akhlaqul karimah. Simaklah baik-baik apa yang dikatakan oleh Imam Ja'far Al-Shadiq t kepada muridnya yang bernama Salim bin Abi Hafshah:
عَنْ سَالِمْ بنُ أَبِي حَفْصَة, قَالَ لَهُ جَعْفَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا سَالِمُ! أَيَسُبُّ الرُّجُلُ جَدَّهُ؟ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ جَدِّيْ. وَمَا أَرْجُو مِنْ شَفَاعَةِ عَلِيٍّ شَيْئًا, إِلاَّ وَأَرْجُوْ مِنْ شَفَاعَةِ أَبِي بَكْرٍ مِثْلَهُ. (عُقُوْدُ الاَلْمَاسِ, ص 97).
"Wahai Salim adakah seorang cucu akan memaki kakeknya sendiri? Abu Bakar adalah kakekku, jika aku mengharapkan syafaat dari Ali t tentu aku mengharapkan syafaat yang sama dari Abu Bakar t. " (Uqud Al-Almas, hal. 97).
Last but not least, Sayyidina Ali t menikah dengan Asma’ binti Umais (janda Sayyidina Abu Bakar t) yang dalam catatan buku-buku Syi’ah, Asma’ binti Umais tersebut adalah perawat yang setia menemani Sayyidah Fatimah t selama sakit di akhir hayatnya, padahal Asma' binti Umais tersebut pada waktu itu masih menjadi istri dari Abu Bakar t (Al-Amali, juz. I, hal. 107). Al-Irbili mengatakan bahwa Asma’ binti Umais adalah orang yang turut memandikan jenazah Sayyidah Fathimah t(Kasyful Ghummah, juz. I, hal. 237). Al-Majlisi mengokohkan bahwa Sayyidah Fathimaht berwasiat agar Asma’ binti Umais turut mengkafani dan mengantarkan jenazah Sayyidah Fathimah t, kemudian Asma’ melaksanakan wasiat tersebut  (Jila’ul Uyun, hal. 235 dan 242). Hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa seizin Abu Bakar t sebagai suaminya. Sebab, seorang istri yang shalehah, tidak mungkin keluar rumah tanpa izin sang suami. Jika Asma' bukan wanita yang salehah, tentu sayyidina Ali t tidak akan menikahinya. Sebagaimana firman Allah SWT:
اَلخَبِيْثَاتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثَاتِ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِ أُوْلَئِۤكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيْـمٌ.
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan  oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (syurga).” (QS. al-Nuur: 26)
Fakta-fakta tersebut menambah keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Sayyidina Ali t tidak memiliki masalah dengan Sayyidina Abu Bakar t, bahkan Sayyidina Ali t sejak awal turut membai’at Sayyidina Abu Bakar t sebagai Khalifah pertama sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban (Irsyad As-Sari, juz. VI, hal. 377) dan Ibn al-Atsir (Al-Kamil, juz. II, hal. 220). Yang dikuatkan oleh pernyataan Sayyidina Ali t ketika membaiat Sayyidina Abu Bakar t, beliau mengatakan:
وَاِنَّا لَنَرَى أَبَا بَكْرٍ أَحَقَّ النَّاسِ بِهَا
“Kami melihat Abu Bakar t memang orang yang paling berhak menjadi khalifah”. (Syarh Nahj al-Balaghah, juz I hal 132)
Bahkan, ketika Sayyidina Ali t diminta kesanggupannya untuk menjadi khalifah, beliau berkomentar sebagai berikut:
دَعُوْنِي وَالْتَمِسُوْا غَيْرِي فَأَنْ أَكُوْنَ لَكُمْ وَزِيْرًا خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ أَكُوْنَ عَلَيْكُمْ أَمِيْرًا.
“Tinggalkan aku, dan cari orang lain. Bagiku, menjadi wazir (menteri) lebih baik daripada menjadi Amir (khalifah) bagi kalian”. (Nahj Al-Balaghah, hal 181-182)
Selanjutnya, ketika Sayyidina Ali t didesak agar menjadi khalifah pasca terbunuhnya Sayyidina Utsman t, beliau menolak. Dan ketika desakan itu tidak mampu beliau bendung, beliau menerimanya dan menyatakan demikian:
وَاللهِ مَا كَانَتْ لِي فِي الْخِلَافَةِ رَغْبَةٌ وَلَا فِي الْوِلَايَةِ إِرْبَةٌ, وَلَكِنَّكُمْ دَعَوْتُمُوْنِي إِلَيْهَا, وَحَمَلْتُمُوْنِي عَلَيْهَا.
“Demi Allah! Aku sama sekali tidak menghendaki khilafah, dan tidak ada hasrat hati untuk menduduki wilayah, hanya saja kalian mengajakku dan membawaku padanya (kekhilafahan)”.(Nahj Al-Balaghah, hal 322)
Berbagai pernyataan tersebut merupakan indikator yang jelas bahwa Sayyidina Ali t benar-benar tidak mendapatkan wasiat dari Rasulullah SAW untuk menjadi khalifah. Dengan bukti beliau menyatakan: "hanya saja kalian mengajakku dan membawaku padanya (kekhilafahan)". Artinya yang menyuruh menjadi khalifah itu para sahabat dan bukan Rasulullah SAW.
Dengan demikian antara Sayyidina Ali t dan Sayyidina Abu Bakar t pada hakikatnya telah terjalin tautan kasih dan tambatan sayang yang kokoh bak karang di tengah lautan yang tak pernah goyah oleh deburan ombak yang dahsyat sekalipun. Begitu juga dengan Sayyidina Umar t, Sayyidina Utsman t dan para sahabat y lainnya. Ini adalah bukti kesuksesan Nabi Muhammad r dalam membimbing Ahlul Bait dan para sahabatnya.
Sejatinya, kalau dipikirkan dengan sederhana semua umat Islam mengetahui bahwa Sayyidina Abu Bakar t dan Sayyidina Umar t adalah mertua dari Rasulullahr. Sayyidah ’Aisyah binti Abu Bakar dan Sayyidah Hafshah binti Umar dinikahi Rasulullah r. Sementara dua puteri Rasulullah Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah Ummu Kultsum dinikahi oleh Sayyidina Utsman t secara berurutan. Sedangkan Sayyidah Fatimah adalah isteri Sayyidina Ali t. Nabi r tentu tidak salah dalam memilih mertua dan menantu karena beliau terjaga dari berbuat kesalahan (ma’shum).
Jika kita benar-benar mencintai Ahlul Bait dan sahabat Nabi Muhammad r, tentu kita harus mencontoh sikap santun dan kerendahan hati mereka. Sebagai orang terdekat Nabi Muhammad r, yang bersih hati dan lidahnya, mereka jauh dari hal-hal yang mengotorinya, semisal umpatan dan caci maki, apalagi hasut dan dengki. Semua itu jauh dari mereka, sejauh panggang dari api, walaupun di sisi lain tanpa harus menumbuhkan fanatisme buta yang berujung pada kultus yang dilarang agama. Begitu pula sebaliknya, sikap anti pati, memusuhi apalagi mengkafirkan generasi terbaik Islam itu harus dijauhkan dari dalam dada kita.
Inilah cerminan sikap tawassuthtawazun dan i’tidal  golongan Aswaja kepada Ahlul Bait dan sahabat Nabi r. Dan dengan cara inilah kita mencintai ahlul bait dan sahabat Nabi r secara proporsional.



[1] Rois Syuriyah PCNU Jember, Pengasuh PP. Nurul Islam Jl.Pangandaran 48 Antirogo Jember.

Mengenal Syi’ah dari Kitab-Kitab Syi’ah

Oleh: H. Misbahus Salam, S.Ag M.Pd.I[1]

Definisi Syi’ah
Kata Syi’ah menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syi’ah Ali adalah pendukung Ali atau pembela Ali. Syi’ah Muawiyyah adalah pendukung Muawiyyah. Istilah ini belum dikenal pada masa Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam arti suatu kelompok.
Al-Mufid, seorang tokoh Syi’ah abad ke 5 H (w. 413 H/1022 M) mendefinisikan Syi’ah sebagai:
الشِّيْعَةُ أَتْبَاعُ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَى سَبِيْلِ الْولاَءِ وَالْاِعْتِقَادِ بِإِمَامَتِهِ بَعْدَ الرَّسُوْلِ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِ وَأَلِهِ بِلاَ فَصْلٍ, وَنَفَي الاِمَامَةَ عَمَّنْ تَقَدَّمَهُ فِي مَقَامِ الخِلاَفَةِ, وَجَعَلَهُ فِي الاِعْتِقَادِ مَتْبُوْعًا لَهُ غَيْرَ تَابِعٍ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ عَلىَ وَجْهِ الاِقْتِدَاءِ (اوائل المقالات :2-4).
“Syi’ah adalah pengikut Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib) shalawatullah ‘alaih atas dasar mencintai dan meyakini kepemimpinannya (imamah) sesudah Rasul SAW tanpa terputus (oleh orang lain seperti Abu Bakar dan lainnya). Tidak mengakui keimamahan imamah orang sebelumnya (Ali) sebagai pewaris kedudukan khalifah dan hanya meyakini Ali sebagai pemimpin, bukan mengikuti salah satu dari orang-orang sebelumnya (Abu Bakar, Umar dan Utsman).” (Al-Mufid, Awa’il al-Maqalat, hal. 2-4).
Definisi Al-Mufid di atas secara tegas menunjukkan bahwa dia tidak mengakui kekhalifahan sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman. Keyakinan tersebut sangat berbeda dengan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman secara utuh dan tertib sesuai urutannya.

Syi’ah dan Abdullah bin Saba’
Terkait masalah awal munculnya sikap fanatik kepada sayyidina Ali terjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Bahkan di kalangan Syi’ah sendiri juga terjadi perbedaan dalam hal ini. Muhammad Husain Ali Kasyif al-Ghitha’, tokoh Syi’ah kontemporer, mengemukakan bahwa orang yang pertama kali memunculkan benih-benih keberpihakan terhadap Ali adalah pembawa syari’at Islam sendiri (Nabi Muhammad). Artinya, munculnya benih-benih Syi’ah adalah bersamaan dengan munculnya benih-benih ajaran Islam (Ashl al-Syi’ah wa Ushuliha, hal. 43). Pendapat senada juga diungkapkan oleh Muhammad Jawwad Mughniyyah dalam kitabnya al-Syi’ah fi al-Mizan (hal. 17).
Dengan asumsi demikian, maka secara tidak langsung para tokoh Syi’ah berusaha untuk menafikan peran Abdullah bin Saba’ dalam sejarah kemunculan Syi’ah. Abdullah bin Saba’ dianggap sebagai sutradara fitnah terhadap khalifah Utsman hingga mengantarkan kepada terbunuhnya beliau. Dia adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang pura-pura masuk Islam pada akhir masa khilafah Utsman.
Abdullah bin Saba’ berusaha dan berjuang mengobarkan fitnah di kalangan kaum muslimin pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ berhasil menyebarkan akidah-akidah menyimpang yang diadopsinya dari ajaran Yahudi, seperti raj’ahbada’, para Nabi pasti mempunyai washi dan sebagainya. Menurutnya, para Nabi pasti mempunyai washi, dan Ali adalah washi-nya Nabi Muhammad. Setelah berhasil menyebarkan akidah-akidah tersebut, selanjutnya ia beralih menyebarkan sikap anti-Utsman dengan cara mencemarkan nama baik beliau yang dituduh merampas kursi kekhalifahan Ali tanpa hak. Selanjutnya, provokasi Abdullah bin Saba’ yang sangat rapi berujung pada terbunuhhya khalifah Utsman (al-Thabari,Tarihk al-Umam wa al-Muluk, 4/340-341).
Pasca perang Jamal dan perang Shiffin yang kemudian disusul dengan terbunuhnya Ali menjadi salah satu faktor yang menyebabkan semakin suburnya doktrin-doktrin sesat Abdullah bin Saba’ hingga menyebabkan terbunuhnya Sayyidina Husain RA.
Memang, ada beberapa tokoh Syi’ah yang mengingkari keberadaan Abdullah bin Saba’, tokoh Yahudi yang digembar-gemborkan sebagai proklamator pecinta keluarga Nabi, seperti Murtadha al-‘Askari, Ali al-Wardi, Mushthafa al-Syaibi dan lain sebagainya.
Akan tetapi, jika kita membaca kitab-kitab sejarah yang otoritatif, maka kita akan mendapatkan suatu bukti bahwa keberadaan Abdullah bin Saba’ tidak bisa dipungkiri. Bahkan tokoh-tokoh Syi’ah sendiripun banyak yang menerima eksistensi Abdullah bin Saba’ tersebut. Seperti Sa’ad al-Qummi, tokoh Syi’ah abad ke 3, al-Nubakhthi, al-Kasyi, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, mengingkari keberadaan Abdullah bin Saba’ sama dengan mendustakan sekian banyak ulama Syi’ah dan membatalkan buku-buku Syi’ah tentang rawi-rawi hadits, sekaligus mengakui bahwa buku-buku Syi’ah tentang rijalbukan rujukan yang bisa dipercaya.

Rukun Iman Syi’ah
Pada dasarnya, dalam hal kepercayaan kepada Allah, Syi’ah tidak berbeda dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Syi’ah juga percaya bahwa Allah adalah Esa, tidak beranak dan diperanakkan. Mereka juga meyakini bahwa Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun, dan mereka menghukumi kafir terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah.
Akan tetapi yang membuat doktrin Syi’ah dan Ahlussunnah berbeda tentanguluhiyyah (ketuhanan) adalah penambahan Syi’ah terhadap doktrin tersebut. Menurut mereka siapapun yang beriman kepada Allah namun tidak beriman terhadap kepemimpinan Sayyidina Ali setelah Nabi SAW dan para imam keturunan beliau, maka hukumnya sama dengan musyrik.
Muhammad Jawad al-Amili berkata:
الإِيْمَانُ عِنْدَنَا إِنَّمَا يَتَحَقَّقُ بِالاِعْتِرَافِ بِإِمَامَةِ الأَئِمَّةِ الاِثْنيَ عَشَرَ عَلَيْهِمْ السَّلاَمُ, إِلاَّ مَنْ مَاتَ فِي عَهْدِ أَحَدِهِمْ فَلاَ يُشْتَرَطُ فِي إِيْمانِهِ إلاَّ مَعْرِفَةُ إمَامِ زَمَانِهِ وَمِنْ قَبْلِهِ.
“Iman menurut kami hanya terwujudkan dengan cara mengakui keimamahan Imam yang dua belas, kecuali bagi orang yang mati pada zaman salah satu dari mereka maka tidak disyaratkan beriman kecuali mengetahui Imam pada masanya dan masa sebelumnya.” (Ushul Madzhab al-Syi’ah, hal. 693).
Al-Kulaini dalam kitabnya menyebutkan suatu riwayat, sebagai berikut:
وعن أبي جعفر قال : "..... لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ عِنْدَ المَوْتِ شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَالْوِلاَيَةَ.
“Tuntunlah orang yang sedang sakratul maut bacaan syahadat (persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah) dan wilayah (pengakuan atas kepemimpina Ali).” (Furu’ al-Kafi,1/34).
Demikianlah, konsep imamah menjadi sentral doktrin kaum syi’ah. Mereka menjadikan imamah sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun agama Islam. Bahkan, mereka tidak segan untuk mengkafirkan kelompok lain yang tidak mengakui keimamahan Ali dan imam-imam keturunannya. Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Wasa’il karangan al-Mufid yang menjelaskan tentang kesepakatan kaum syi’ah dalam mengkafirkan umat Islam:
اِتَّفَقَتْ الإِمَامِيَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ أَنْكَرَ إِمَامَةَ أَحَدٍ مِنَ الأَئِمَّةِ وَجَحَدَ مَا أَوْجَبَهُ اللهُ تعالى لَهُ مِنْ فَرْضِ الطَّاعَةِ فَهُوَ كَافِرٌ ضَالٌّ مُسْتَحِقٌّ لِلْخُلُوْدِ فِي النَّارِ.
“Syi’ah Imamiyyah sepakat bahwa orang yang tidak meyakini keimamahan salah satu dari para imam dan mengingkari apa yang telah diwajibkan Allah SWT kepadanya dari kewajiban taat (kepada para imam), maka dia kafir, sesat dan layak kekal di neraka.”(Ushul Madzhab al-Syi’ah, hal. 867). Riwayat tersebut juga dikutip oleh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar (8/366).
Adapun dalam hal nubuwwah (kenabian), Syi’ah tidak berbeda denganAhlussunnah. Mereka juga mengakui eksistensi nubuwwah. Namun demikian, mereka tetap menjadikan imamah sebagai sentral dari doktrin mereka. Al-Thusi, salah satu ulama Syi’ah, menganggap bahwa orang yang menolak keyakinan imamah ini sama halnya dengan menolak nubuwwah, sebagaimana perkataannya:
وَدَفْعُ الاِمَامَةِ كُفْرٌ, كَمَا أَنَ دَفْعَ النُّبُوَّةِ كُفْرٌ, لِاَنَّ الجَهْلَ بِهِمِا عَلَى حَدٍّ وَاحِدٍ.
Menyangkal keimaman adalah kafir, seperti halnya menyangkal kenabian. Sebab (hukum)  tidak tahu pada keduanya berada pada taraf yang sama.” (al-Thusi, Talkhis al-Syafi, 4/131).
Lebih ekstrim lagi, al-Majlisi dalam kitabnya menegaskan bahwa para Rasul Ulul Azmi bisa sampai pada derajat yang tinggi disebabkan mereka mencintai imam Ahlul Bait. Seandainya para Rasul Ulul Azmi tersebut tidak meyakini wilayah ahlul bait, tentu mereka tidak akan mendapat gelar Ulul Azmi serta tidak akan mendapatkan derajat dan keutamaan yang tinggi. Al-Majlisi berkata:
“Bab mengenai mengutamakan para Imam di atas para Nabi dan semua makhluk yang lain, serta pengambilan sumpah setia dari para Nabi, malaikat dan makhluk yang lain untuk para imam. Dan sesungguhnya Ulul Azmi menjadi Ulul Azmi sebab mencintai para imam.” (Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, hal. 297-298).
Konsep imamah menjadi salah satu doktrin utama dalam keyakinan Syi’ah. Imamahadalah sebuah konsep kepemimpinan Syi’ah yang merupakan teori absolut. Konsep inilah sebenarnya menjadi dasar paling asasi dari doktrin-doktriSyi’ah yang lain.
Dalam Syi’ah, imamah tidak hanya merupakan kepemimpinan duniawi saja, akan tetapi juga mencakup urusan ukhrawi. Bagi Syi’ah, imamah merupakan penerus kenabian yang dasar-dasarnya berada pada dalil-dalil syara’ (nash ilahiy).
Syi’ah meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk sayyidina Ali secara langsung sebagai imam pengganti beliau dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan sayyidina Abu Bakar, Umar maupun Utsman dan menuding ketiga khalifah tersebut telah merampas hak sayyidina Ali.

Rujukan Primer Syi’ah
Sekte Syi’ah memiliki empat kitab hadits yang mereka jadikan rujukan utama dalam hal aqidah-aqidah mereka. Empat kitab tersebut adalah al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar. Keempat kitab hadits tersebut merupakan referensi primer Syi’ah setelah al-Qur’an.
Diantara kitab yang sangat populer di kalangan Syi’ah dalam memasarkan ajarannya adalah al-Muraja’at yang ditulis oleh Imam Abd Husein Syarafuddin al-Musawi, kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Dialog Sunnah-Syi’ah” diterbitkan oleh Mizan. Al-Musawi berkata:
“Empat kitab pegangan kaum Syi’ah Imamiyyah dalam ushul dan furu’ sejak generasi pertama sampai dengan masa kita sekarang adalah al-Kafi, al-Tahdzib, al-Istibshar, dan Man La Yahdhuruhu Faqih. Kitab-kitab ini telah sampai kepada kita dengan cara mutawatir sedangkan isi yang dikandungnya adalah shahih dan bisa dipertanggungjawabkan tanpa keraguan sedikitpun. Diantara keempatnya, kitab al-Kafi adalah yang paling terdahulu, paling besar, paling baik dan rapi. Di dalamnya terdapat 16.199 hadits.”
Kitab al-Kafi menempati urutan pertama dari empat kitab Syi’ah di atas. Al-Kafiadalah kitab yang disusun oleh Syaikh al-Kulaini. Kitab ini tidak hanya memuat tentang hadits-hadits mengenai fiqih, akan tetapi juga mencakup hadits-hadits tentang aqidah, sejarah para ma’shumin (orang-orang yang ma’shum menurut Syi’ah) dan empat belas orang-orang suci, yakni Nabi, Fathimah al-Zahra’, dan dua belas Imam.
Kitab yang disusun oleh al-Kulaini tersebut menempati posisi paling istimewa diantara ketiga kitab lainnya. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
a.      Penyusunannya terjadi pada masa kegaiban sementara atau al-ghaibah al-shughra, yang berarti bahwa ada kemungkinan penyusunnya bertemu dengan Imam Mahdi melalui wakil-wakilnya.
b.      Penyusunannya dilakukan selama 20 tahun, melalui pengembaraan yang panjang dari satu negeri ke negeri yang lain.
c.       Kitab ini disusun dengan cara yang teratur, sistematis, jeli, jauh dari hadits bi al-ma’na (periwayatan secara makna) dan tidak ada campur tangan pihak luar dalam hadits-haditsnya.
d.     Penyusunnya adalah seorang yang dalam pandangan Syi’ah diakui, baik oleh kawan maupun lawan, sebagai orang yang ahli dalam bidangnya, dihormati semua pihak karena ketinggian ilmu dan takwanya.
Para tokoh Syi’ah sangat menjunjung tinggi dan memberikan pujian selangit kepada kitab yang disusun oleh al-Kulaini tersebut. Syaikh al-Mufid misalnya menyebutkan, “Kitab al-Kafi adalah kitab Syi’ah yang paling agung dan paling banyak kegunaannya.” Al-Maula al-Istirabadi menegaskan, “Sepanjang yang kami dengar dari guru dan para ulam, belum ada sebuah kitab pun yang pernah ditulis dalam Islam yang dapat menyamai kitab al-Kafi.”

Akidah-Akidah Syi’ah      
  1. Semua Sahabat Murtad
Dalam keyakian Syi’ah, mayoritas sahabat telah murtad setelah wafatnya Rasulullah. Mereka juga menganggap bahwa Ahlussunnah adalah orang-orang kafir. Terkait dengan hal ini, dalam hadits Syi’ah dikatakan:
عن ابي جعفر قال: كَانَ النَّاسُ عَلَى أَهْلِ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الا ثَلَاثَةً. فَقُلْتُ : وَمَنْ الثَّلاَثَةُ؟ فَقَالَ : المِقْدَادُ بن الاَسْوَدِ وَاَبُوْ ذَرٍّ الغِفَارِي وَسَلْمَانُ الفَارِسِي رحمة الله  وبركاته عليهم.
Dari Abu Jakfar, ia berkata: “Pasca wafatnya Nabi, orang-orang menjadi murtad semua, kecuali tiga.” Aku bertanya, siapa yang tiga itu? Beliau menjawab, “Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi.” (al-Kulaini, Ushul al-Kafi, 8/245).
Kaum Syi’ah mengkafirkan para sahabat Nabi dan semua orang Islam yang mengikuti mereka. Dalam hal ini, salah satu imam Syi’ah, Al-Majlisi berkata:
“Bahwa mereka (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah perampok-perampok yang curang dan murtad, keluar dari agama, semoga Allah melaknat mereka dan semua orang yang mengikuti mereka dalam bertindak jahat terhadap keluarga Nabi, baik orang-orang dahulu maupun orang-orang belakangan.” (al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 4/385).
Dalam kitabnya, al-Kulaini menafsiri ayat:
( إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى ) [سورة محمد: 25]
Yakni, Abu Bakar, Umar dan Utsman telah keluar (murtad) dari iman, karena tidak mau mengangkat Ali menjadi khalifah setelah Rasulullah wafat. (al-Kulaini,Ushul al-Kafi, 1/488).

b.     Sikap Syi’ah terhadap ‘Aisyah RA
Sebagaimana telah dijelaskan, Syi’ah mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi, termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman, begitu pula istri Nabi, ‘Aisyah. Mereka sangat membenci ‘Aisyah. Dalam kitab-kitab Syi’ah terdapat banyak riwayat yang mencaci, menghina dan merendahkan istri kesayangan Nabi tersebut. Diantaranya adalah sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Shirath al-Mustaqim, mereka menjuluki ‘Aisyah dengan al-Syaithanah (III/135). Begitu pula al-Kulaini mengatakan dalam kitabnya bahwa julukan humaira’ yang diberikan Nabi kepadanya adalah termasuk julukan yang dibenci Allah (Ushul al-Kafi, I/247).
Itulah diantara bentuk kebencian Syi’ah kepada istri Nabi, ‘Aisyah. Dalam makalah ini tidak perlu disebutkan secara detail mengenai keutamaan-keutamaan ‘Aisyah, karena banyak riwayat-riwayat shahih yang menjelaskan masalah ini dalam kitab-kitab hadits. Diantaranya, Nabi pernah ditanya oleh para sahabat, “Siapa orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, ‘Aisyah.” (Shahih al-Bukhari, V/68).

c.       Akidah Syi’ah terhadap Para Imam
Syi’ah meyakini bahwa Imam mereka ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa). Dalam hal ini, Ibnu Babawaih berkata :
اِعْتِقَادُنَا فِي الْاَئِمَّةِ اِنَّهُم مَعْصُوْمُوْن مُطَهَّرُوْنَ مِنْ كُلِّ دَنَسٍ وَاِنَّهُمْ لَا يَذْنُبُوْنَ ذَنْبًا صَغِيْرًا وَلَا كَبِيْرًا, وَلَا يَعْصُوْنَ اللهَ مَا اَمَرَهُمْ ويَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ وَمَنْ نَفَى عَنْهُمْ العِصْمَةَ فِي شَيْءٍ مِنْ اَحْوَالِهِمْ فَقَدْ جَهِلَهُمْ وَمَنْ جَهِلَهُمْ فَهُوَ كَافِرٌ.
Keyakinan kami bahwa para imam itu ma’shum (terjaga dari dosa) suci dari setiap kesalahan, tidak pernah berbuat dosa kecil ataupun besar. Dan tidak durhaka kepada Allah SWT dan selalu melaksanakan apa yang diperintah-Nya. Siapa saja yang mengingkari sifat ishmah bagi para imam berarti mereka bodoh dan kafir. (al-I’tiqadat, 108-109)
Lebih ekstrim lagi kaum Syi’ah meyakini bahwa para imam mereka derajatnya lebih tinggi dari pada nabi dan rasul yang termasuk didalamnya Nabi SAW, dalam kitab al-Hukumat al-Islamiyyah, al-Khumaini berkata:
إنَّ لِلْاِمَامِ مَقَامًا مَحْمُوْدًا وَدَرَجَةً سَامِيَةً وَخِلَافَةً تَكْوِيْنِيَّةً تَخْضَعُ لِوِلَايَتِهَا وَسَيْطَرَتِهَا جَمِيْعُ ذَرَّاتِ هَذَا الكَوْنِ، وَإِنَّ مِنْ ضَرُوْرِيَّاتِ مَذْهَبِنَا أَنَّ لِأَئِمَّتِنَا مَقَامًا لَمْ يَبْلُغْهُ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَانَبِيٌّ مُرْسَلٌ...
“Sesungguhnya Imam mempunyai kedudukan yang terpuji, derajat yang mulia dan kepemimpian mendunia, di mana seisi alam ini tunduk di bawah wilayah dan kekuasaannya. Dan termasuk hal yang aksiomatis adalah bahwa para Imam kita mempunyai kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat muqarrabin atau pun nabi yang diutus... (Ayatullah Khumaini, al-Hukumat al-Islamiyyah, hal. 52).
Adapun Ahlussunnah hanya meyakini bahwa para Nabi dan Rasul saja terjaga dari kesalahan dan dosa (ma’shum). Sedangkan selain nabi dan rasul itu masih memungkinkan untuk berbuat kesalahan yakni tidak ma’shum. Sayyid Ahmad Al-Marzuqi mengatakan:
عِصْمَتُهُمْ كَسَائِرِ الْمَلَائِكَة        وَاجِبَةٌ وَفَاضَلُوا الْمَلَائِكَة
Mereka wajib terpelihara dari perbuatan dosa (ma’shum) seperti halnya Malaikat dan keutamaan mereka melebihi para Malaikat. (Aqidatul Awam)
Para Nabi dan Rasul itu seperti para malaikat, yang selalu patuh kepada perintah Allah SWT, dan tidak pernah sekalipun melanggar larangan Allah SWT.

d.     Al-Qur’an Mengalami Tahrif
Dalam keyakinan Syi’ah, al-Qur’an yang ada sekarang telah mengalami perubahan (tahrif), baik penambahan atau pengurangan yang dilakukan oleh para sahabat. Adapun al-Qur’an yang asli ada di tangan Ali yang kemudian diwariskan kepada putera-puteranya dan sekarang ada di tangan Imam Mahdi al-Muntazhar. (Ushul Madzhab al-Syi’ah, 1/202).
Abu Abdillah berkata bahwa, “al-Qur’an yang dibawa oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad adalah 17.000 ayat.” (al-Kulaini, Ushul al-Kafi, 2/634). Pernyataan ini berarti tuduhan kepada para sahabat bahwa mereka telah membuang sekitar 10.000 ayat.
Terkait dengan adanya tahrif dalam al-Qur’an, seorang tokoh Syi’ah, al-Nuri al-Thabarsi menulis kitab yang berjudul Fashlul Khithab Fi Tahrif Kitab Rabb al-Arbab.Sebagai contoh, dalam kitab tersebut al-Thabarsi menyebutkan bahwa para sahabat membuang satu ayat yang terdapat dalam surat al-Insyirah, yakni :
وَجَعَلْنَا عَلِيًّا صِهْرَكَ.
“Dan kami jadikan Ali sebagai menantumu.”
Padahal jika kita mau mengkaji dan berpikir dengan jernih, surat al-Insyirah tersebut termasuk surat Makkiyyah, sementara ketika berada di Makkah (sebelum hijrah) Ali masih belum menjadi menantu Nabi.
Adapun Ahlussunnah meyakini bahwa al-Qur’an yang ada saat ini sama dengan al-Qur’an yang ada pada zaman Nabi. Orang yang meragukan keaslian satu kalimat saja atau satu ayat saja dari al-Qur’an maka dia sudah menjadi kafir. Karena hal ini berarti mendustakan firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ.
Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan kami pula yang akan menjaganya.(QS. Al-Hirj : 9).

e.      Taqiyyah
Di antara doktrin Syi’ah yang lain adalah taqiyyah. Taqiyyah adalah menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan isi hati. Taqiyyah digunakan oleh orang Syi’ah ketika mereka berhadapan dengan kelompok Islam mayoritas, yakni Ahlussunnah yang tidak seakidah dengan mereka. Dalam keyakinan Syi’ah, menerapkan konsep taqiyyah merupakan suatu kewajiban. Bagi Syi’ah, taqiyyah bukan hanya sekedar anjuran atau dispensasi, akan tetapi dijadikan sebagai bagian dari rukun agama. Karena itu, barang siapa yang tidak menerapkan konsep taqiyyah, maka berarti dia telah merobohkan salah satu pilar agama. Dalam hal ini, Ibn Babawih al-Qummi berkata:
اِعْتِقَادُنَا فِي التَّقِيَّةِ اَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَنْ تَرَكَهَا بِمَنْزِلَةِ مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ.
“Keyakinan kita tentang hukum taqiyyah adalah wajib, barangsiapa yang meninggalkan taqiyyah sama halnya dengan meninggalkan shalat.” (Ibn Babawihal-I’tiqadat, hal. 114).
Kaum Syi’ah menganggap bahwa madzhab Syi’ah tidak akan tegak tanpa adanya taqiyyah. Karena taqiyyah merupakan pondasi keberagamaan mereka. Dalam hal ini, al-Kulaini berkata:
“Jagalah agama kalian, tutupilah dengan taqiyyah, tidak dianggap beriman seseorang sebelum bertaqiyyah.” (al-Kulaini, Ushul al-Kafi, hal. 482-483).

f.       Bada’
Bada’ artinya jelas. Maksudnya sesuatu yang awalnya masih samar kemudian menjadi jelas. Bada’ juga bisa bermakna munculnya pemikiran yang baru. Bada’ dengan dua pengertian ini berarti menetapkan kebodohan kepada Allah (jahl). Artinya, Allah pada awalnya tidak tahu kemudian menjadi tahu. Sifat ini jelas mustahil ada pada dzat Allah, namun Syi’ah meyakini bahwa Allah memiliki sifat bada’.
Dalam Ushul al-Kafi disebutkan suatu riwayat dari Rayyan bin al-Shalt, ia berkata:
سمعت الرضا يقول : مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ الْخَمْرِ وَأَنْ يُقِرَّ للهِ اْلبَدَاءَ.
“Aku pernah mendengar al-Ridha berkata, “Allah tidak mengutus Nabi kecuali diperintahkan untuk mengharamkan khamr dan menetapkan sifat bada’ kepada Allah.”(Ushul al-Kafi, hal. 40).
Padahal Allah telah berfirman dalam al-Qur’an:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللهُ [النمل:65]
“Katakanlah, tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah.” (QS. al-Naml : 65).
لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى [طه: 52]
Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa (QS.Thaha: 52)
Di satu sisi mereka menetapkan sifat ini kepada Allah, sementara di sisi lain mereka meyakini bahwa para imam mereka mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi dan telah terjadi dan tidak ada sedikitpun yang samar bagi mereka. Mereka juga mengetahui kapan mereka akan mati dan dapat memilih dimana mereka akan mati (Ushul al-Kafi, I/258). Na’udzubillah min dzalik.

g.      Raj’ah
Di antara doktrin Syi’ah yang lain adalah Raj’ah. Raj’ah artinya kembali hidup setelah mati sebelum datangnya hari kiamat. Dalam hal ini, tokoh Syi’ah al-Mufid berkata:
وَاتَّفَقَتْ الإِمَامِيَّةُ عَلَى وُجُوْبِ رَجْعَةِ كَثِيْرٍ مِنَ الأَمْوَاتِ.
“Syi’ah Imamiyyah sepakat akan keharusan kembali (raj’ah) bagi sejumlah orang yang sudah mati.” (Awa’il al-Maqalat, hal. 51).

Raj’ah ini akan dialami oleh imam mereka yang terakhir di akhir zaman kelak. Dia akan keluar dari tempat persembunyiannya dan akan menyembelih semua lawan politiknya (al-Khuthtuh al-‘Aridhah, hal. 51). Syi’ah menyakini bahwa di masa bangkitnya imam mereka kelak Abu Bakar dan Umar akan disalib di sebuah pohon (Awa’il al-Maqalat, hal. 75).
Al-Majlisi dalam Haqqul Yaqin (hal. 37) menyebutkan suatu riwayat bahwa ketika al-Mahdi muncul kelak akan menghidupkan ‘Aisyah untuk dihukum.
h.     Peringatan Asyura’
Pada tanggal 10 bulan Muharram, Kaum Syi’ah memiliki ritual rutin yang dikenal dengan nama peringatan hari ‘Asyura’. Acara itu mereka lakukan sebagai bentuk atas ekspresi kesedihan dan ratapan atas wafatnya sayyidina Husain. Mereka turun ke jalan-jalan dengan memakai pakaian serba hitam atau serba putih.
Dalam acara tersebut, mereka memukul-mukul pipi dengan tangan mereka, memukul dada dan punggung, menyobek-nyobek saku, menangis sambil berteriak histeris dengan menyebut nama, Ya Husain-Ya Husain!”bahkan lebih parah lagi, mereka memukul diri mereka sendiri dengan cemeti dan pedang, sebagaimana yang terjadi di berbagai tempat yang banyak pengikut syi’ahnya. (Al-Syi’ah Minhum ‘alaihim, hal 250)

i.        Mut’ah
Mut’ah memiliki keistimewaan besar dalam aqidah Syi’ah. Dalam hal ini, terdapat suatu riwayat dalam kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih, dari Abdullah bin Sinan, dari Abi Abdillah, ia berkata: “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang-orang Syi’ah segala minuman yang memabukkan dan menggantinya dengan mut’ah.” (Man La Yahdhuruhu al-Faqih, hal. 330).
Al-Majlisi berkata:
وَمِمَّا عُدَّ مِنْ ضَرُوْرِيَاتِ دِيْنِ الإِمَامِيَّةِ اِسْتِحْلاَلُ الْمُتْعَةِ, وَحَجَّ التَّمَتُّعِ, وَالْبَرَاءَةُ مِنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَمُعَاوِيَّةَ.
Termasuk hal-hal yang dianggap penting dalam agama (keyakinan) imamah adalah bolehnya mut’ah, hajji tamattu’, dan berlepas diri dari Abu Bakar, Umar, Utsman dan Muawiyyah. (Al-Majlisi, al-I’tiqadat, hal. 90-91).

Sikap Para Ulama Sunni Terhadap Syi’ah
a.        Imam Malik
قَالَ اَشْهَب بِنْ عَبْدُ الْعَزِيز: سُئِلَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللهُ عَنِ الرَّافِضَةِ فَقَالَ: لَاتُكَلِّمْهُمْ وَلَا تَرْوِ عَنْهُمْ فَإِنَّهُمْ يَكْذِبُوْن.
Berkata Asyhab bin Abdul Aziz: ketika Imam Malik ditanyakan tentang sikapnya terhadap rafidhah/ syi’ah beliau menjawab: “janganlah kamu berbicara dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena mereka kebiasaannya itu berbohong” (Min Aqaid al-Syi’ah, hal 60)
b.       Imam Syafi’i
Imam Syafi’i RA sebagai panutan kaum ASWAJA, beliau sangat mencintai ahlul bait Nabi SAW. Namun didalam mencurahkan cintanya itu selalu dalam kendali syariat yakni tidak berlebih-lebihan sehingga melampaui batas apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Beliau juga mengingatkan agar umat Islam mewaspadai kaum Rafidhah/ Syiah. Sebagaimana diriwayatkan
وَقَالَ اَبُو حَاتِمِ: حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللهُ يَقُوْلُ: لَمْ اَرَ اَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّوْرِ مِنَ الرَّافَضَةَ.
Berkata abu hatim: Harmalah berkata, aku mendengar Imam Syafi’i RA berkata: tidak pernah saya melihat orang yang suka menjadi saksi palsu, seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang syi’ah. (Min Aqaid al-Syi’ah, hal 61)
Karena kecintaan Imam al-Syafi’i kepada ahlul bait yang sangat mendalam sehingga beliau sempat dituduh oleh sebagian kalangan sebagai orang yang memihak kepada Rafidhah terungkap dalam lantunan syairnya sebagai berikut:
قَالُوا تَرَفَّضْتَ قُلْتُ كَلَّا            مَا الرَّفْضُ دِيْنِي وَلَا اعْتِقَادِي (ديوان الإمام الشافعي, 35)
Mereka mengatakan (kepadaku), “Engkau termasuk golongan Rafidhah.” Aku jawab, “tidak”. Rafidhah bukan agamaku juga bukan keyakinannku. (Diwan al-Imam al-Syafi’i, 35)
Ungkapan syair tersebut memang sesuai dengan kenyataan, karena Imam Syafi’i RA walaupun mencintai ahlul bait tetapi tidak menolak kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar RA, Sayyidina Umar RA dan Sayyidina Utsman RA. Imam Syafi’i menyatakan
عَنِ الرَّبِيْعِ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ أَفْضَلُ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ J أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ ثُمَّ عَلِيٌّ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ. (البيهقى، مناقب الشافعي، ج 1 ص 433)
“Diriwayatkan dari al-rabi’ dari al-Syafi’i bahwa beliau berkata: Manusia yang paling utama setelah Rasulullah  adalah Abu Bakr, Umar, Utsman kemudian ‘Ali. Semoga keridhaan Allah I selalu tercurahkan kepada mereka” (Manaqib al-Syafi’i, Juz I, hal 433)
c.         Al-Baghdadi
Imam al-Hafizh Abd Qadir al-Baghdadi berkata:
وَأَمَّا أَهْلُ الْأَهْوَاءِ مِنَ الجَارُوْدِيَّةِ وَالهِشَامِيَّةِ وَالْجَهْمِيَّةِ, وَاْلإِمَامِيَّةِ الَّذِيْنَ أَكْفَرُوا خِيَارَ الصَّحَابَةِ. فَإِنَّا نُكَفِّرُهُمْ, وَلاَ تَجُوْزُ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمْ عِنْدَنَا وَلاَ الصَّلَاةُ خَلْفَهُمْ.
“Adapun kelompok yang senantiasa  mengikuti hawa nafsu, seperti Jarudiyyah, Hisyamiyyah, Jahmiyyah dan Syi’ah Imamiyyah yang telah mengkafirkan sahabat-sahabat, maka kami mengkafirkan mereka dan tidak boleh mendoakan mereka serta tidak boleh pula shalat di belakang mereka.” (Al-Baghdadi, al-Farq Bain al-Firaq, hal. 357).
d.       Al-Ghazali
Imam al-Ghazali berkata:
فَلَوْ صَرَّحَ مُصَرِّحٌ بِكُفْرِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ- رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- فَقَدْ خَالَفَ الْإِجْمَاعَ وَخَرَقَهُ, وَرَدَّ مَاجَاءَ فِي حَقِّهِمْ مِنَ الْوَعْدِ بِالْجَنَّةِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِمْ وَالْحُكْمِ بِصِحَّةِ دِيْنِهِمْ وَثَبَاتِ يَقِيْنِهِمْ وَتَقَدُّمِهِمْ عَلَى سَائِرِ الْخَلْقِ فِي أَخْبَارَ كَثِيْرَةٍ. . ثُمَّ قَالَ : " فَقَائِلُ ذَلِكَ إِنْ بَلَغَتْهُ الْأَخْبَارُ وَاعْتَقَدَ مَعَ ذَلِكَ كُفْرَهُمْ فَهُوَ كَافِرٌ. .بِتَكْذِيْبِهِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَمَنْ كَذَّبَهُ بِكَلِمَةِ مِنْ أَقَاوِيْلِهِ كَافِرٌ بِالْإِجْمَاعِ.
“Jika seseorang meyakini kekafiran Abu Bakar dan Umar, maka dia telah menyalahi ijma’, merobohkannya, menolak keterangan yang menjelaskan tentang janji surga untuk Abu Bakar dan Umar, pujian kepada mereka berdua.................. kemudian dia berkata: “Orang yang berkata demikian sementara dia tahu penjelasan dari hadits namun tetap meyakini kekafiran Abu Bakar dan Umar, maka dia kafir, sebab mendustai Rasulullah SAW. Adapun orang yang mendustai Rasulullah sekalipun itu satu kalimat dari sabda-sabda beliau, maka dia kafir berdasarkan ijma’. (Fadhaih al-Bathaniyyah, hal. 149).
e.        KH. Hasyim Asy’ari
Kyai Hasyim Asy’ari berkata:
وَمِنْهُمْ رَاِفضِيُّوْنَ يَسُبُّونَ سَيِّدَنَا اَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا, وَيَكْرَهُوْنَ الصَّحَابَةَ رَضِى اللهُ عَنْهُمْ, وَيُبَالِغُونَ هَوَى سَيِّدِنَا عَلِيٍّ وَاَهْلِ بَـيْتِهِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْن, قَالَ السَّيِّدُ مُحَمَّدٌ فِي شَرْحِ الْقَامُوسِ: وَبَعْضُهُمْ يَرْ تَقِى اِلَى الْكُفْرِ وَالزَّنْدَقَةِ اعَاذَنَا اللهُ  وَالْمُسْلِمِيْنَ مِنْهَا. قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم : فَمَنْ سَبَّهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ  وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْن, لَا يَقْبَلُ الله مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا. (رسالة أهل السنة والجماعة, ص 11)
Antara lain adalah golongan Rafidhah (Syi’ah) yang menghujat Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhuma-, mereka membenci para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan berlebih-lebihan dalam mencintai Sayidina Ali dan keluarganya radhiyallahu ‘anhum.” Rasulullah SAW bersabda barang siapa yang mengumpat para sahabat RA maka dia akan mendapatkan kutukan Allah, malaikat, dan ummat manusia dan tidak diterima  amalnya baik yang fardhu ataupun sunnah (KH. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah, hal. 11).
Demikianlah sekilas mengenai aliran Syi’ah yang dikutip dari kitab-kitab mereka sendiri. Setelah diketahui beberapa penyimpangan dari berbagai akidah mereka, maka tugas kita (Pengurus NU) dari semua level harus lebih intens lagi mengawal warganya agar tidak terperangkap pada jerat-jerat berbagai paham dan aliran yang berpotensi menggerogoti warga NU, baik Syi’ah, Wahabi, atau HTI dan lain-lain. Dan yang pasti, penulisan makalah ini tidak ada maksud untuk memojokkan atau mendiskriminasi kelompok di luar NU. Karena pengutipan dalam makalah ini berasal dari kitab-kitab Syi’ah yang otoritatif, tidak dilebihkan dan tidak dikurangi. Namun, semata-mata tujuannya ialah lebih memantapkan warga NU terhadap akidahnya sendiri. Semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada kita untuk mengemban dan menjalankan amanah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama sesuai dengan tujuan para pendirinya. Yaitu mengawal dan melestarikan akidah Ahlussunah wal Jama’ah. Amin.
Untuk mendalami kajian tentang Syiah, silahkan membuka website berikut ini:
1.        http://www.dd-sunnah.net
2.        http://www.fnoor.com
3.        http://www.albrhan.com
4.        http://www.wylsh.com
5.        http://www.khomainy.com
6.        http://www.dhr12.com
7.        http://www.albainah.net
8.        http://www.anshar.org
9.        http://www.almanhaj.com
12.    http://www.syiahindonesia.com
 



1.         شبكة  الدفاع عن السنة
2.         موقع فيصل نور
3.         موقع البرهان
4.         موقع مهتدون
5.         حقيقة الخميني
6.         دليل حقائق الرافضة
7.         موقع البينة
8.         موقع أنصار الحسين
9.         موقع المنهج
10.    رابطة اهل السنة في إيران
11.    موقع الإمام المهدي


[1] Sekertaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember; Pengasuh PP. Raudlah Darussalam Sukorejo Bangsalsari