Tuesday, August 12, 2014

Peringatan Pengurus Besar Nahdlatul-Ulama (NU) akan Bahaya Syi'ah



http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/08/peringatan-pengurus-besar-akan-bahaya.html
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 10.05 
Label: Syi'ah



Jangan terkecoh oleh manuver-manuver pribadi Sa'id Agil Siradj yang mengatasnamakan NU dalam memuji dan merekomendasikan agama Syi'ah. Pendirian NU masih tetap dengan menganggap Syi'ah adalah agama/pemahaman SESAT.


Mr. J Algar or Secondprince Syiahkah?

[ web syi’ah militan : http://secondprince.wordpress.com ]

Posted on  by cek&ricek
Begitu cepatnya informasi dunia maya itu menyebar, sampai-sampai virus cikungunya pun kalah cepat, sehingga tidak lama kemudian, acuan yang tidak menyertakan link blog pun terbaca oleh si tertuduh. Sekarang giliran J Algar yang berkedok Secondprince. Selanjutnya Tim C&R akan memanggilnya Mr. J untuk mempermudah tulisan.
Mr. J keberatan terhadap hasil investigasi kami pada beberapa waktu lalu, yang intinya mengelompokkan dia dalam lingkaran syiah, yaitu penganut agama syiah atau minimal pemandu soraknya. Mr. J membuat statemen terhadap kami dengan beberapa hal:

Quraish Shihab, Tokoh Tafsir yang Akrab Dengan Kontroversi

KIBLAT.NET – Prof. DR. Quraish Shihab kembali mendapat sorotan dari umat Islam di Indonesia atas komentarnya yang kontroversial dalam program “Tafsir Al-Misbah” yang disiatkan di Metro TV pada 12 Juli 2014 lalu. Namun, bagi Quraish Shihab kontroversi bukanlah barang baru. Ulama lulusan Universitas Al-Azhar Kairo ini kerap mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan jumhur ulama umat Islam dalam urusan syari’at.
Misalnya sekitar tahun 2006 lalu, pengarang Tafsir Al-Misbah ini mengeluarkan buku berjudul “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah”. Prof. Quraish Shihab memaparkan pandangannya yang ‘kontroversial’ tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa jilbab adalah masalah khilafiah – satu pendapat yang ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka.
Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: “ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia katakan: “bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.”
Masih menurut Quraish, “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas.

Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan. (hal. 165-167). Dalam bukunya yang lain, “Wawasan Al-Quran”, (cetakan ke-11, tahun 2000), hal. 179), Quraish juga sudah menulis: “Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda
pendapat.”
Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki, doktor bidang fiqh yang juga lulusan Al-Azhar, Kairo. Membahas QS 24:31 dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka.
Salah seorang ulama lain yang sama-sama lulusan dari Universitas Al-Azhar, Kairo, DR. Ahmad Zain An-Najah bahkan membantah buku karangan Quraish Shihab dengan judul, “Jilbab Menurut Syariat Islam (Meluruskan Pandangan Quraish Shihab). Doktor bidang fiqh tersebut menguraikan dengan gamblang sejumlah kelemahan ilmiah Quraish Shihab, diantaranya ialah tidak cerman dan teliti dalam penukilan, sangat sedikit menggunakan referensi fiqh, tidak merujuk pada referensi primer, pengaburan terhadap pendapat para ulama, dan seabreg kurangnya pemenuhan amanah ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum. Untuk mendalami masalah ini anda bisa melihat tulisan DR. Ahmad Zain dan merujuknya ke situs ahmadzain.com.

Quraish Shihab dan Syiah
Prof. Dr. Quraish Shihab, juga pernah dikecam karena secara halus memberikan pembelaannya terhadap kaum Syi’ah dengan menulis buku berjudul “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati pada Maret 2007.
Namun, pembelaan Prof. Dr. Quraish Shihab tersebut mendapat kritikan tajam dari Tim Penulis Buku Pustaka Pondok Pesantren Sidogiri. Tim penulis ini menulis buku sanggahan pembelaan Quraish Shihab terhadap Syiah yang berjudul “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” pada September 2007.
Kedekatan Quraish Shihab dengan  pemikiran Syiah juga terlihat ketika ia meluncurkan buku berjudul Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya, yang diterbitkan oleh Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal bekerjasama dengan Yayasan Bimantara (2007).
Salah satu indikasinya, dalam Ensiklopedi itu kerap menggunakan kitab tafsir yang populer di kalangan Syi’ah berjudul “Al-Mizan” karangan At-Thabathaba’i sebagai referensi dalam penulisan entri. Bahkan dapat dikatakan, rujukan utama Ensiklopedi ini adalah tafsir Syi’ah yang memberikan penafsiran terhadap Al-Qur’an sesuai dengan pemahaman aliran Syi’ah yang memusuhi sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula dalam karyanya Tafsir-Al-Misbah, banyak di antara kutipannya yang merujuk pada kitab tafsir Al-Mizan yang sangat dipuja kalangan syi’ah.
Namun, seperti dikutip dari Republika Online, Quraish Shihab menampik tudingan bahwa dirinya adalah pengikut syi’ah.
“Nabi SAW saja difitnah, apalagi cuma Quraish Shihab,” ujarnya sambil tertawa ringan. Dia menjelaskan, prinsip syiah sangat jelas seperti percaya kepada imamah. Tak hanya itu, terdapat ritual khas yang kerap dijalankan penganut syiah seperti shalat di batu karbala dan menangguhkan puasa.
“Orang-orang yang menuding saya Syiah, apakah pernah melihat saya shalat di atas batu Karbala? Apakah, ketika Ramadhan, pernah melihat saya tangguhkan buka puasa 10 hingga 15 menit, sebagaimana keyakinan Syiah,” ujar Quraish seperti dikutip dari Republika pada Senin, 17 Februari 2014.
Meski Quraish Shihab menampik dituduh Syiah, namun kedekatannya dengan kelompok Syiah di Indonesia tak bisa dipungkiri lagi. Di Indonesia, Iran memiliki lembaga pusat kebudayaan Republik Iran bernama, ICC (Islamic Cultural Center). Lembaga ini telah berdiri sejak 2003 di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan.
Menurut Majalah Hidayatullah yang mewawancarai pihak ICC, di antara orang-orang yang mengajar di ICC itu adalah kakak beradik: Umar Shihab (salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat) dan Prof. Quraish Shihab. Ia mengajar di lingkungan Syiah bersama tokoh-tokoh syiah di Indonesia seperti Dr Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir, O. Hashem dan sejumlah keturunan alawiyin atau habaib dari kalangan syiah, seperti Agus Abu Bakar al-Habsyi dan Hasan Daliel al-Idrus.
Ditulis Oleh: Fajar Shadiq



Kritik Atas Tafsir Al-Mishba [bagian 1 ]

Kritik Atas Tafsir Al-Mishba
artikel lain :
Quraish Shihab, Tokoh Tafsir yang Akrab Dengan Kontroversi

Majalah Al-Furqon terbitan Ma’had Al-Furqon, Sidayu, Gresik, Jawa Timur, memuat tulisan Kritik Atas Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Kritikan itu dimuat pada edisi 09 tahun ke-8, Rabi’uts Tsani 1430H/ April 2009M halaman 41-44, dengan cover berjudul Di Balik Istilah Pemikiran Islam.
Masalah Quraish Shihab menyebarkan pendapat bolehnya katup jantung babi dijadikan pengganti katup jantung manusia dikritik pula dalam majalah ini. Krikitkan selengkapnya sebagai berikut:
Kritik Atas Tafsir Al-Mishbah
Oleh Ustadz Abu Ahmad as-Salafi hafidhahullah
Telah masuk kepada kami pertanyaan dari sebagian pembaca AL-FURQON perihal buku Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab.
 Atas kehendak Alloh telah sampai kepada kami volume yang ketiga daripada Tafsir tersebut yang berisi tafsir Surat Al-Ma’idah. Setelah kami telaah ternyata ada hal-hal yang perlu kami luruskan dan ada syubhat-syubhat yang perlu kami jelaskan.
Sebab itu, dalam pembahasan kali ini insya Alloh kami berusaha melakukan telaah kritis terhadap Volume Ketiga daripada Tafsir ini sebagai awal telaah terhadap Tafsir ini secara keseluruhan.
Penulis dan Penerbit Buku Ini
Buku ini ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA dan diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati Ciputat Tangerang cetakan kelima Februari 2006M/ Muharrom 1427H.
Katup Jantung Babi Pengganti Katup Jantung Manusia
Penulis berkata dalam halaman 16 pada tafsir Surat al-Ma’idah ayat 3:
Atas dasar ini pula agaknya kita dapat berkata bahwa penggunaan katup jantung babi sebagai pengganti katup jantung manusia yang sakit dapat dibenarkan, karena tidak digunakan untuk dimakan. (halaman 16).
Kami katakan:
Imam Al-Qurthubi berkata dalam Al-Jami’li Ahkamil Qur’an 2/ 222:
{ ولحم الخنزير } خص الله تعالى ذكر اللحم من الخنزير ليدل على تحريم عينه ذكي أو لم يذك
“Dan ‘daging babi’ Allah khususkan penyebutan ‘daging’ dari babi untuk menunjukkan atas keharamanzatnya dalam keadaan disembelih atau tidak disembelih.”
Beliau juga berkata di dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 2/223: “Tidak ada khilaf (beda pendapat) bahwaseluruh tubuh babi haram kecuali bulunya maka sesungguhnya boleh digunakan untuk menjahit kulit.”
Nukilan di atas menunjukkan bahwa para ulama sepakat atas haramnya seluruh tubuh babi –termasuk katup jantungnya— selain bulunya. Tentang bulu babi atau babi hutan, Imam Al-Khoththobirahimahullah berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang menggunakan bulu babi. Sekelompok ulama memakruhkannya. Di anara yang melarangnya adalah Ibnu Sirin, Al-Hakam, Hammad, As-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Ahmad dan Ishaq berkata: ‘Sabut lebih kami sukai’. Sedangkan Hasan, Al-Auza’i, Malik, dan Ashabur Ra’yi memberi keringanan padanya.” (Aunul Ma’bud: 9/ 273).
Masalah Tawassul
Penulis berkata dalam halaman 88 di dalam tafsir ayat 35 dari Surat Al-Maidah:
Ayat ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai dalil yang membenarkan apa yang diistilahkan dengan tawassul –yakni mendekatkan diri kepada Allah dengan menyebut nama Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam dan para wali (orang-orang yang dekat kepadanya), yakni berdoa kepada Allah guna meraih harapan demi Nabi dan atau para wali yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala. Sementara orang – tulis As-Sy’rawi— mengkafirkan orang-orang yang bertawassul. Tentu saja, bila ia percaya bahwa sang wali memberinya apa yang tidak diizinkan Allah atau apa yang tidak wajar diperolehnya, maka hal ini terlarang. Tetapi, jika ia bermohon kepada Allah dengan didasari kecintaannya kepada siapa yang ia yakini lebih dekat kepada Allah daripada dirinya, maka ketika itu cintanya yang berperanan bermohon, dan dalam saat yang sama ia yakin tidak akan memperoleh dari Allah sesuatu yang tidak wajar diperolehnya. Setelah menjelaskan hal di atas, Mutawalli As-Sya’rawi, ulama Mesir kontemporer kenamaan itu, mengemukakan sebuah hadits yang juga seringkali dijadikan oleh para ulama sebagai alasan pembenaran wasilah/ tawassul. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai bahwa Umar bin Khaththab berkata: “Pada masa Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam, jika kami kekeringan karena hujan tak turun, kami bertawassul dengan (menyebut nama) Nabi kiranya hujan turun. Setelah Nabi wafat, kami betwasassul dengan menyebut nama Al-‘Abbas paman Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam.
Kami katakan:
 Penulis menukil perkataan Mutawalli As-Sya’rawi di atas dan tidak memberikan sanggahan terhadapnya, adalah sekurang-kurangnya ada dua poin yang menjadi catatan bagi perkataan Mutawalli As-Sya’rawi di atas:
Pertama: Definisi tawassaul menurut As-Sya’rawi adalah: “mendekatkan diri kepada Allah dengan menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para wali (orang-orang yang dekat dengan-Nya), yakni berdoa kepada Alloh guna meraih harapan demi Nabi dan atau para wali yang dicintai oleh AllohSubhanahu wa Ta’ala.” Definisi ini definisi yang sempit karena seakan-akan yang disebut tawassulhanyalah hal itu saja. Yang benar, tawassul adalah “melakukan hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah” sebagaimana dikatakan oleh Mujahid, Abu Wail, Hasan Al-Bashri, Abdullah bin Katsir, As-Suddi, Ibnu Zaid dan lain-lain. Al-Hafidh Ibnu Katsir menukil perkataan para imam tersebut kemudian berkata: “Yang dikatakan oleh para imam di atas tidak menimbulkan beda pendapat di kalangan ahli tafsir.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2:52-53).
Kemudian yang perlu diketahui, tidak semua tawassul dibolehkan..Tawassul ada yang disyari’atkan dan ada yang dilarang.
Tawassul yang disyari’atkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Qur’an, diteladankan oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipraktekkan oleh para sahabat. Di antara tawassul yang disyari’atkan:
1. Tawassul dengan nama-nama Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
وَلِلّهِ اْلأَسْمَاءُ اْلحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا
Hanya milik Allah Asmaa-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaa-ul Husna itu…. (QS Al-A’raf / 7: 180).
2. Tawassul dengan sifat-sifat Allah sebagaimana do’a Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam:
« يَا حَىُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ».
Wahai Dzat yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluq-Nya), dengan rahmatMu aku mohon pertolongan.” (HR At-Tirmidzi dalam Jami’nya: 5/ 539 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalamShohihul Jami’ : 4777).
3. Tawassul dengan amal sholih, sebagaimana tersebut dalam kitab Shohih Muslim (4/2099) sebuah riwayat mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam guwa. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal sholihnya. Orang pertama bertawassul dengan amal sholihnya berupa memelihara hak buruh. Orang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tua. Orang yang ketiga bertawassul dengan takutnya kepada Alloh, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan. Akhirnya Alloh membukakan pintu guwa itu dari batu besar yang menghalanginya, hingga mereka bertiga selamat. Imam Muslim mebawakan riwayat tersebut di bawah judul: Bab Kisah Tiga Orang yang Terperangkap dalam Guwa dan Tawassul dengan Amal yang Sholih.
4. Tawassul dengan memohon do’a kepada para nabi dan orang-orang shalih yang masih hidup, sebagaimana tersebut dalam riwayat, bahwa seorang buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang itu berkata: “Ya Rosululloh, berdoalah kepada Alloh agar menyembuhkanku (sehingga bisa melihat kembali).” Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jika engkau menghendaki aku akan berdoa untukmu dan jika engkau menghendaki bersabar adalah lebih baik bagimu.” Ia (tetap) berkata: “Doakanlah.” Lalu Rosululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna, lalu sholat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan mengatakan:
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك وَأَتَوَجَّهُ إلَيْك بِنَبِيِّك مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إنِّي أَتَوَجَّهُ بِك إلَى اللَّهِ فِي حَاجَتِي هَذِهِ فَتُقْضَى لِي وَتُشَفِّعُنِي فِيهِ وَتُشَفِّعُهُ فِيَّ قَالَ فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرِئَ
“Ya Alloh seungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadap kepadaMu dengan (perantara) NabiMu, seorang Nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan (perantara)mu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar dipenuhi-Nya untukku. Ya Alloh jadikanlah ia pemberi syafa’at kepadaku, dan berilah aku syafaat (pertolongan) di dalamnya.” Ia (rowi hadits) berkata: “Laki-laki itu kemudian melakukannya sehingga ia sembuh. (HR Ahmad dalam Musnadnya: 4/ 138 dan At-Tirmidzi dalam Jami’nya, dan dia berkata: “hasan shohih ghorib”, dan dishohihkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrok: 1/ 458, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani dalam Shahihul Jami’: 1279).
Adapun Tawassul yang dilarang adalah tawassul yang tidak ada dasarnya dalam agama Islam, seperti: tawassul dengan orang-orang mati (sebagaimana disebutkan oleh As-Sya’rawi tadi), meminta hajat dan memohon pertolongan kepada mereka, tawassul dengan jah (kemuliaan) Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya, ucapan mereka: “Wahai Tuhanku, dengan kemuliaan Muhammad, sembuhkanlah aku” adalah perbuatan bid’ah. Sebab para sahabat tidak melakukan hal tersebut.
Tawassul bid’ah ini bisa menyebabkan kemusyrikan. Yaitu jika ia mempercayai bahwa Alloh membutuhkan perantara sebagaimana yang berlaku pada seorang pemimpin atau penguasa. Sebab kalau demikian, ia menyamakan Tuhan dengan makhluq-Nya. Para imam banyak yang mengingkari tawassul-tawassul bid’ah ini. Imam Abu Hanifah rahimahulloh berkata: “Tidak selayaknya bagi seorang pun berdoa kepada Alloh kecuali dengan-Nya, aku membenci jika dikatakan: ‘Dengan ikatan-ikatan kemuliaan dari arsy-Mu, atau dengan hak makhluq-Mu’.” Hal senada juga dikatakan oleh Imam Abu Yusuf. (Lihat Fatawa Hindiyyah: 5/ 280).
Kedua: Hadits tentang tawassul Umar, teksnya adalah begini:
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا – صلى الله عليه وسلم – فَتَسْقِينَا ، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا . قَالَ فَيُسْقَوْنَ .
Dari Anas bahwasanya Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu jika terjadi kekeringan maka bertawassul dengan (do’a) al-Abbas bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Umar berkata: “Ya Alloh, dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan pamannya Nabi kami, maka turunkan hujan kepada kami!” kemudian turunlah hujan.(HR. Bukhari: 4/ 99 no. 954 dan lain-lain).
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan “bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“ sebagaimana disebutkan oleh penulis (M. Quraish Shihab) di atas atau dengan kedudukannya. Akan tetapi, maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana di dalam riwayat Mustakhraj al-Ismaili (dalam Fathul Bari: 2/495) terhadap hadits ini dengan lafazh;
” كَانُوا إِذَا قَحَطُوا عَلَى عَهْد النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَسْقَوْا بِهِ ، فَيَسْتَسْقِي لَهُمْ فَيُسْقَوْنَ فَلَمَّا كَانَ فِي إِمَارَة عُمَر ” فَذَكَرَ الْحَدِيث .
Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat meminta hujan dengan perantaraan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengalami kekeringan (kemarau panjang ), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan hujan kepada Alloh untuk mereka. Kemudian mereka diberi hujan . Pada zaman pemerintahan Umar …….. (dan menyebut hadits di atas ).
 Demikian juga bertawassul dengan al – ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu juga bukan menyebut namanya atau dengan jah (kemuliaan) al – ‘Abbas melainkan dengan do’anya sebagaimana dikatakannya oleh al- Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fatahul Bari 2/497 ; “ Zubair bin Bakkar dalam al- Ansab telah menjelaskan sifat do’a al-‘Abbas dalam kejadian ini.” Kemudian beliau sebutkan do’a al-Abbas pada waktu itu .
Manusia Bebas Menganut Keyakinan ?
Penulis berkata di dalam hlm .112 di bawah tafsir ayat 48 dari Surat al- Ma’idah:
Melalui tuntunan syari’at itu, kamu semua berlomba–lombalah dengan sungguh-sungguh berbuat aneka kebajikan, dan jangan menghabiskan waktu atau tenaga untuk memperdebatkan perbedaan dan perselisihan yang terjadi antara kamu dan selain kamu, karena pada akhirnya,hanya kepada Allahlah tidak kepada siapapun selainNya kembali kamu semuanya wahai manusia , lalu Dia memberi tahukan kepada kamu pemberitahuan yang jelas serta pasti apa yang kamu telahterus menerus berselisih dalam menghadapinya, apapun perselisihan itu, termasuk perselisihanmenyangkut kebenaran keyakinan dan praktek–praktek agama masing–masing.
Kami katakan:
Pernyataan penulis di atas mengesankan bahwa Alloh memberikan kebebasan kepada manusia untuk berkeyakinan karena toh semuanya akan kembali kepada Alloh. Padahal tidak demikian karena ada kalimat di dalam ayat yang ditinggalkan oleh penulis yaitu وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ (Tetapi Dia hendak menguji kalian terhadap apa yang diberikan–NYA kepada kalian). al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan: “Bahwasanya Alloh Ta’ala menjadikan sayari’at-syari’at yang bermacam–macam untuk menguji hamba–hamba–Nya pada apa yang Alloh syari’atkan atas mereka dan memberikan pahala kepada mereka atas ketaatannya kepada-Nya atau menghukum mereka atas kemaksiatan kepada-Nya .” (Tafsir Ibnu Katsir : 2/84 )
Kemudian pada hlm . 114 penulis berkata :
Kata لَوْ lauw/ sekiranya dalam firmanNYA : لَوْ شَاءَ اللَّهُ lauw sya’a Allah / sekiranya Allah menghendaki, menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dikehendakiNya, karena kata lauw, tidak digunakan kecuali untuk mengandaikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, yakni mustahil . Ini berarti, Allah tidak menghendaki menjadikan manusia semua sejak dahulu hingga kini satu umat saja, yakni satu pendapat, satu kencenderungan, bahkan satu agama dalam segala prinsip dan rinciannya. Karena jika Allah swt menghendaki demikian, Dia tidak akan memberi manusia kebebasan memilah dan memilih, termasuk kebebasan memilih agama dan kepercayaan. Kebebasan memilah dan memilih itu, dimaksudkan agar manusia dapat berlomba-lomba dalam kebajikan, dan dengan demikian akan terjadi kreativitas dan peningkatan kualitas, karena hanya dengan perbedaan dan perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan tercapai.
Kami katakan:
Alloh memerintahkan kepada hamba-hamba–Nya untuk memilih jalan yang satu yaitu yang haq, dan bukan memberi kebebasan kepada mereka untuk memilih semua jalan, Syaikh Muhammad bin Sholih al–Utsaimin berkata: “Barang siapa berkeyakinan bahwa boleh hukumnya bagi seseorang untuk menganut agama apa saja yang dia kehendaki dan bahwa dia bebas di dalam memilih agamanya; maka dia telah kafir karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
( وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ ) [ آل عمران: 85]
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. ( QS , Ali Imron [ 3 ] :85 )
Dan firman –NYA:
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمِ
Sesungguhnya agama ( yang diridhoi ) di sisi Alloh hanya lah Islam …….( QS . Ali Imron [3] : 85 )
Oleh karena itu, tidak boleh seseorang berkeyakinan bahwa agama selain Islam adalah boleh, bagi manusia boleh beribadah melaluinya. Bahkan bila dia berkeyakinan seperti ini, maka para ulama telah secara jelas–jelas menyatakan bahwa dia telah kafir yang mengeluarkan dari agama ini (Islam) . ( lihat Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Fadhilah asy-Syaikh Ibn Utsaimin juz 3 hlm . 99-100)
Mentakwil Sifat Mahabbah
Penulis berkata di dalam hlm. 130:
Cinta Allah kepada hamba-Nya, dipahami oleh pakar-pakar Al – Qur’an dan Sunnah dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya.
Kami katakan:
Penulis telah melakukan penolakan (ta’ thil ) sifat mahabbah (kecintaan) bagi Alloh dan memalingkannya kepada limpahan kebaikan dan anugrah–Nya, karena yang benar sebagaimana dipahami oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa Alloh memiliki sifat mahabbah ( kecintaan ) sesuai dengan keagungan-Nya tidak sama dengan sifat kecintaan dari para makhluk-Nya .
Penulis Tafsir Fathul Qodir (1/333) menafsirkan mahabbah di atas dengan anugerah nikmat dan ampunan. Namun, penafsiran ini dikomentari oleh Syaikh Muhammad al- Khummais: “Ini adalah tafsir dengan lazim (keharus)nya . Yang benar adalah jalan yang ditempuh oleh salaful ummah (pendahulu umat) dengan menetapkan sifat mahabbah bagi Alloh sesuai dengan keagungan–Nya . “ (‘Adzbul Ghodir fi Bayani Takwilat fi Kitab Fathul Qodir halaman 8.)
Penutup
 Demikianlah penjelasan atas sebagian kesalahan – kesalahan dan syubhat – syubhat buku ini yang bisa kami paparkan. Sebetulnya masih banyak hal – hal lainya belum kami bahas mengingat keterbatasan tempat. Semoga sedikit yang kami paparkan di atas bisa menjadi pelita bagi kita dari kesamaran syubhat – syubhat buku ini dan semoga Alloh selalu menunjukkan kita ke jalan – Nya yang lurus dan dijauhkan dari jalan –jalan kesesatan . Aamiin. Wallohu A’lamu bish – showab. (Majalah al-Furqon, Edisi 9 tahun kedelapan, Robbi’uts Tsani 1430/ April ’09, halaman 41-44).
Tergelincirnya Orang Alim
Setelah kita cermati, ternyata banyak masalah mengenai Islam yang ditimbulkan oleh Quraish Shihab. Kalau mengikuti Quraish Shihab, maka sikap seorang muslim kurang lebihnya bisa digambarkan:
-  Bolehkah katup jantung babi untuk manusia? Boleh karena tidak digunakan untuk dimakan.
-  Wajibkah Muslimah pakai jilbab? Tidak.
-  Bolehkah ikut atau bahkan aktif di aliran sangat sesat bernama Syi’ah? Boleh.
-  Bolehkah manusia menganut keyakinan apapun? Boleh
nBolehkah menolak sebagian sifat Allah? Boleh
Bagaimana jadinya, kalau yang seharusnya tidak boleh –seperti katup jantung babi– malah dikatakan boleh. Sebaliknya, yang seharusnya wajib –seperti jilbab bagi Muslimah— malah jadi tidak wajib. Kalau sudah seperti itu, maka apa bedanya dengan kaum sepilis (sekulerisme, pluralisme agama, dan liberalisme) yang dinyatakan sesat dan haram oleh Munas MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005?
Imam Ibnu Taimiyah memperingatkan:
قَالَ ابْنُ مُجَاهِدٍ وَالْحَكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ وَمَالِكٌ وَغَيْرُهُمْ : لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ إلَّا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إلَّا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ إنْ أَخَذْت بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اجْتَمَعَ فِيك الشَّرُّ كُلُّهُ قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ هَذَا إجْمَاعٌ لَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا
Telah berkata Ibnu Mujahid, Al-Hakam bin ‘Utaibah, Malik dan lainnya: Tidak ada seorang pun dari makhluq Allah kecuali (ada yang) diambil dari perkataannya dan (ada yang) ditinggalkan kecuali (perkataan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah berkata Sulaiman At-Taimi, apabila kamu memegangi rukhshoh (keringanan) setiap orang alim (ulama) maka terkumpullah padamu seluruh keburukan. Ibnu Abdil Barr berkata, ini adalah ijma’ (kesepakatan) tidak ada di dalamnya suatu perbedaan (pendapat).
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengutip perkataan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقَالَ زِيَادُ بْنُ حُدَيْرٍ : قَالَ عُمَرُ : ثَلَاثٌ يَهْدِمْنَ الدِّينَ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ وَأَئِمَّةٌ مُضِلُّونَ .
Ziyad bin Hudair berkata, Umar telah berkata: Tiga perkara yang merusak agama adalah tergelincirnya orang alim (ulama), bantahan orang munafiq dengan Al-Qur’an, dan pemimpin-pemimpin (imam-imam) yang menyesatkan.
وَقَالَ الْحَسَنُ : قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ : إنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ زَلَّةَ الْعَالِمِ وَجِدَالَ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ,…) الفتاوى الكبرى – (ج 9 / ص 108)(
Al-Hasan berkata, telah berkata Abu Darda’: “Sesungguhnya di antara hal yang aku khawatirkan atas kamu sekalian adalah tergelincirnya orang alim (ulama), dan bantahan orang munafiq dengan Al-Qur’an… (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa Al-Kubro, juz 9 halaman 108).
Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah menegaskan:
وَلِهَذَا قِيلَ : احْذَرُوا زَلَّةَ الْعَالِمِ فَإِنَّهُ إذَا زَلَّ زَلَّ بِزَلَّتِهِ عَالَمٌ . مجموع فتاوى ابن تيمية - (ج 4 / ص 296)
Oleh karena itu dikatakan: Awas hati-hati (hindarilah) tergelincirnya orang alim (ulama), karena sesungguhnya ketika ia tergelincir maka tergelincirlah dunia karena tergelincirnya (ulama itu). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 4 halaman 296). (haji). (Selesai, alhamdulillah).


Quraish Shihab, Tokoh Tafsir yang Akrab Dengan Kontroversi
1 bulan lalu 

KIBLAT.NET – Prof. DR. Quraish Shihab kembali mendapat sorotan dari umat Islam di Indonesia atas komentarnya yang kontroversial dalam program “Tafsir Al-Misbah” yang disiatkan di Metro TV pada 12 Juli 2014 lalu. Namun, bagi Quraish Shihab kontroversi bukanlah barang baru. Ulama lulusan Universitas Al-Azhar Kairo ini kerap mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan jumhur ulama umat Islam dalam urusan syari’at.
Misalnya sekitar tahun 2006 lalu, pengarang Tafsir Al-Misbah ini mengeluarkan buku berjudul “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah”. Prof. Quraish Shihab memaparkan pandangannya yang ‘kontroversial’ tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa jilbab adalah masalah khilafiah – satu pendapat yang ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka.
Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: “ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia katakan: “bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.”
Masih menurut Quraish, “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas.
Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan. (hal. 165-167). Dalam bukunya yang lain, “Wawasan Al-Quran”, (cetakan ke-11, tahun 2000), hal. 179), Quraish juga sudah menulis: “Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda
pendapat.”
Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki, doktor bidang fiqh yang juga lulusan Al-Azhar, Kairo. Membahas QS 24:31 dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka.
Salah seorang ulama lain yang sama-sama lulusan dari Universitas Al-Azhar, Kairo, DR. Ahmad Zain An-Najah bahkan membantah buku karangan Quraish Shihab dengan judul, “Jilbab Menurut Syariat Islam (Meluruskan Pandangan Quraish Shihab). Doktor bidang fiqh tersebut menguraikan dengan gamblang sejumlah kelemahan ilmiah Quraish Shihab, diantaranya ialah tidak cerman dan teliti dalam penukilan, sangat sedikit menggunakan referensi fiqh, tidak merujuk pada referensi primer, pengaburan terhadap pendapat para ulama, dan seabreg kurangnya pemenuhan amanah ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum. Untuk mendalami masalah ini anda bisa melihat tulisan DR. Ahmad Zain dan merujuknya ke situs ahmadzain.com.

Quraish Shihab
Quraish Shihab dan Syiah
Prof. Dr. Quraish Shihab, juga pernah dikecam karena secara halus memberikan pembelaannya terhadap kaum Syi’ah dengan menulis buku berjudul “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati pada Maret 2007.
Namun, pembelaan Prof. Dr. Quraish Shihab tersebut mendapat kritikan tajam dari Tim Penulis Buku Pustaka Pondok Pesantren Sidogiri. Tim penulis ini menulis buku sanggahan pembelaan Quraish Shihab terhadap Syiah yang berjudul “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” pada September 2007.
Kedekatan Quraish Shihab dengan  pemikiran Syiah juga terlihat ketika ia meluncurkan buku berjudul Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya, yang diterbitkan oleh Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal bekerjasama dengan Yayasan Bimantara (2007).
Salah satu indikasinya, dalam Ensiklopedi itu kerap menggunakan kitab tafsir yang populer di kalangan Syi’ah berjudul “Al-Mizan” karangan At-Thabathaba’i sebagai referensi dalam penulisan entri. Bahkan dapat dikatakan, rujukan utama Ensiklopedi ini adalah tafsir Syi’ah yang memberikan penafsiran terhadap Al-Qur’an sesuai dengan pemahaman aliran Syi’ah yang memusuhi sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula dalam karyanya Tafsir-Al-Misbah, banyak di antara kutipannya yang merujuk pada kitab tafsir Al-Mizan yang sangat dipuja kalangan syi’ah.
Namun, seperti dikutip dari Republika Online, Quraish Shihab menampik tudingan bahwa dirinya adalah pengikut syi’ah.
“Nabi SAW saja difitnah, apalagi cuma Quraish Shihab,” ujarnya sambil tertawa ringan. Dia menjelaskan, prinsip syiah sangat jelas seperti percaya kepada imamah. Tak hanya itu, terdapat ritual khas yang kerap dijalankan penganut syiah seperti shalat di batu karbala dan menangguhkan puasa.
“Orang-orang yang menuding saya Syiah, apakah pernah melihat saya shalat di atas batu Karbala? Apakah, ketika Ramadhan, pernah melihat saya tangguhkan buka puasa 10 hingga 15 menit, sebagaimana keyakinan Syiah,” ujar Quraish seperti dikutip dari Republika pada Senin, 17 Februari 2014.
Meski Quraish Shihab menampik dituduh Syiah, namun kedekatannya dengan kelompok Syiah di Indonesia tak bisa dipungkiri lagi. Di Indonesia, Iran memiliki lembaga pusat kebudayaan Republik Iran bernama, ICC (Islamic Cultural Center). Lembaga ini telah berdiri sejak 2003 di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan.
Menurut Majalah Hidayatullah yang mewawancarai pihak ICC, di antara orang-orang yang mengajar di ICC itu adalah kakak beradik: Umar Shihab (salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat) dan Prof. Quraish Shihab. Ia mengajar di lingkungan Syiah bersama tokoh-tokoh syiah di Indonesia seperti Dr Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir, O. Hashem dan sejumlah keturunan alawiyin atau habaib dari kalangan syiah, seperti Agus Abu Bakar al-Habsyi dan Hasan Daliel al-Idrus.

Ditulis Oleh: Fajar Shadiq

Orang beriman share informasi yang benar
6 Responses to “Quraish Shihab, Tokoh Tafsir yang Akrab Dengan Kontroversi”
Mr.B004 says:
MUI apa yang kalian lakukan ?
Pemerintah apa yang lakukan ??
Saudaraq apa dapat kita lakukan???
boy rafly says:
gak pantes disebut prof. dicabut aja gelarnya 004
siswa says:
SUDAH WAJAR KALO DIA BILANG GITU KARNA ORANG SYI’AH PUNYA CARA UNTUK BISA DI IYAKAN ORANG AWAM, APALAGI MEDIA AWAM SEPERTI METRO TV. DIA GAK TAU APA ITU SYI’AH APA ITU ISLAM, ATURAN KALO ACARA ISLAM YANG DI PAKE ORANG ISLAM DONG, JANGAN ORANG SYI’AH JADI BIKIN RESAH UMAT ISLAM, KARNA SYI’AH DENGAN TAQIYAHNYA DIA NGAKU ISLAM, PADAHAL DIA KAFIR ….
maze says:
Bagiku Agamaku, Bagimu agamamu..
Mulailah dari keluarga, Percayalah sama apa yg kita yakini, dan abaikan yg menurut kita menyimpang, jangan ragu untuk tidak menonton ato menghapus saluran TV yg kita anggap kurang pantas bagi diri dan keluarga, Tidak usah diperdebatkan lagi. nanti merujuk ghibah.
Paulus says:
Jangan mengganggap diri kita sempurna, karena hanya Allah hakim yang menentukan kita masuk Surga atau Neraka. Karena Imam dan perbuatan kita lah yang dapat membuat kita ke Surga. Karena Surga hanya ada di dalam Allah.
hariyantotheng says:
Jangan mengganggap diri kita sempurna, karena hanya Allah hakim yang menentukan kita masuk Surga atau Neraka. Karena Imam dan perbuatan kita lah yang dapat membuat kita ke Surga. Karena Surga hanya ada di dalam Allah.



Syiah Zaidiyah tidak mengkafirkan sahabat? Adakah mereka taqiyyah?

website syiah malaysia http://www.oneahlulbait.com/ iaitu berfahaman Syiah Imamiyah / mazhab Ja`fari. Pecinta ahlul baitMalaysia dan juga ahlul bait Malaysia terasa dihormati bila bersama Syiah kerana hanya Syiah yang menyayangi ahlul bait lebih dari as-syairah+wahabi Malaysia. Akhirnya mereka berfahaman Syiah walaupun mereka tak tahu Syiah dahbanyak menyeleweng. Tapi ada sesetengah ulama berkata, hanya Syiah Zaidiyah sahaja belum sesat. Di mana pula negara yang mengamalkan Syiah zaidiyah? –Di negaraYaman.


Kenapa masih ada yang menganut agama Syiah? Kerana mereka terpedaya dengan satu hadis. Berikut saya sampaikan.

BERITA TERKINI DISEMBER 2012: Pelajar Malaysia di Darul Hadis, Yaman telah syahid. Madrasah Darul Hadis diserang dan dibom oleh Syiah dari Houthi atau secara rincinya, mereka adalah Syiah Zaidiyyah. Ini kerana Syiah Zaidiah berang apabila ulama salaf dan ulama khalaf mula bergabung di Yaman. Dengan penjelasan ringkas ini, tahulah kita bahawa Syiah Zaidiyyah terkeluar dari firqah ahlu sunnah dan mereka tetap tergolong dalam agama Syiah.
Ammar Ad Duhni yaitu Ammar bin Muawiyah Ad Duhni dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Abu Hatim dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 7 no 662]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 1/708] tetapi ternyata pernyataan ini keliru dan telah dibetulkan dalam Tahrir At Taqrib bahawa Ammar Ad Duhni adalah seorang yang tsiqat [ Tahrir At Taqrib no 4833]


Umarah binti Af’a termasuk dalam thabaqat tabiin wanita penduduk kufah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 5 no 4880]. Hanya saja Ibnu Hibban salah menuliskan nasabnya. Umarah juga dikenali dengan sebutan Umarah Al Hamdaniyah [seperti yang diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykil Al Atsar]. Al Ajli menyatakan ia tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqah no 2345].

عن أم سلمه رضي الله عنها قالت نزلت هذه الاية في بيتي إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قلت يارسول الله ألست من أهل البيت قال إنك إلى خير إنك من أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم قالت وأهل البيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم أجمعين
Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Aku berkata “wahai Rasulullah apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?. Beliau SAW menjawab “kamu dalam kebaikan kamu termasuk istri Rasulullah SAW”. Aku berkata “Ahlul Bait adalah Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radiallahuanhum ajma’in”.[Al Arba’in Fi Manaqib Ummahatul Mukminin Ibnu Asakir hal 106]

Ibnu Asakir setelah meriwayatkan hadis ini, telah menyatakan bahawa hadis ini shahih. Hadis ini juga menjadi bukti bahawa Ummu Salamah sendiri mengakui bahwa Ahlul Bait yang dimaksudkan dalam Al Ahzab 33 firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.

Seperti yang kita ketahui, kenyataan Ahlul Kisa sendiri mengakui bahawa merekalah Ahlulbait yang mana kepada mereka ayatul Tathir.

ياأهل العراق اتقوا الله فينا, فإِنا أمراؤكم وضيفانكم, ونحن أهل البيت الذي قال الله تعالى: {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيراً} قال فما زال يقولها حتى ما بقي أحد في المسجد إِلا وهو يحن بكاءً
Wahai penduduk Iraq bertakwalah kepada Allah tentang kami, kerana kami adalah pemimpin kalian dan tamu kalian dan kami adalah Ahlul Bait yang difirmankan oleh Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Beliau terus mengingatkan mereka sehingga tidak ada satu orangpun di dalam masjid yang tidak menangis [Tafsir Ibnu Katsir 3/495]

Riwayat Imam Hasan ini memiliki sanad yang shahih. Ibnu Katsir membawakan sanad berikut

قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي, حدثنا أبو الوليد, حدثنا أبو عوانة عن حصين بن عبد الرحمن عن أبي جميلة قال: إِن الحسن بن علي
Ibnu Abi Hatim berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Hushain bin Abdurrahman dari Abi Jamilah bahwa Hasan bin Ali berkata [Tafsir Ibnu Katsir 3/495]

Ibnu Abi Hatim dan Abu Hatim telah terkenal sebagai ulama yang terpercaya dan hujjahm manakla perawi lainnya adalah perawi tsiqah

Abu Walid adalah Hisyam bin Abdul Malik seorang Hafizh Imam Hujjah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [2/267]. Adz Dzahabi m

Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yaskuri. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 6049].

Hushain bin Abdurrahman adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqah [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124]

Abu Jamilah adalah Maisarah bin Yaqub seorang tabiin yang melihat Ali dan meriwayatkan dari Ali dan Hasan bin Ali. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 693]. Ibnu Hajar menyatakan ia maqbul [At Taqrib 2/233]. Pernyataan Ibnu Hajar keliru kerana Abu Jamilah adalah seorang tabiin dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqah bahkan Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats Tsiqat maka dia adalah seorang yang shaduq hasanul hadis seperti yang dibetulkan dalam Tahrir At Taqrib [Tahrir At Taqrib no 7039].

Syiah Zaidiyyah atau Al-Hadawiyah atau Syiah Houthi


Syiah Zaidiyyah atau disebut Al-Hadawiyah merupakan salah satu firqah daripada firqah Al-`Adliyah Al-Qadariyah yang berpegang dengan akidah Al`Adl,iaitu mereka menafikan khalq (ciptaan) Allah Ta`ala pada af`alul `ibad( perbuatan hamba) kononnya atas dakwaan mereka ingin menafikan al-Jabr( -pegangan Jabariyah- bahawa hamba dipaksa oleh Allah dalam perbuatan mereka ) sebagaimana mereka menafikan nas-nas sifat-sifat Zatiyah dan Fi`liyyah.

Namun begitu mereka dianggap oleh sebahagian Ulama` firaq sebagai firqah Syiah yang paling hampir dengan Ahli Sunnah wal Jamaah, di mana mereka menyifatkan mazhab mereka sangat jauh daripada sikap ghuluw(melampau) Syiah Imam Dua Belas(Imamiah) sebagaimana sikap mereka yang disandarkan kepada pengasas mereka iaitu Zaid bin `Ali Zainul `Abdin (wft 80-122H) yang mengiktiraf keimaman Abu Bakar,`Umar dan Uthman  dan mereka tidak mengkafirkan para sahabat Nabi kecuali setelah beberapa lama telah berlaku penyelewengan iaitu mereka menyeleweng daripada prinsip-prinsip serta asas-asas yang telah dibina oleh pengasas mereka Zaid bin `Ali, mereka menolak Khalifah Abu Bakar dan `Umar  mereka berlepas diri daripada Uthman  dan mereka ber`itiqad dengan akidah Raj`ah(kebangkitan semula sebelum kiamat), Kemaksuman Imam-imam dan mereka dalam hal ini akhirnya menyamai Rafidhah (Imamiah).

Syiah Zaidiyyah lebih dikenali dengan houthi/al-hutsiyyun (الحوثيون) di Yemen. Mereka sering menyerang pondok/pesantren Dammaj di Sa'adah. Penempatan mereka di Sha'adah (‏صعدة), Shana'a (صنعاء), Hajjah (حجة), Al-Mahwit (المحويت), 'Amran (عمران) dan majoriti di Al-Jauf (الجوف).

Pada asalnya, Syiah Zaidiyyah tidak mencela para sahabat. Namun begitu, aliran ini telah terpengaruh dengan Imamiah mengakibatkan sebahagian besar dari pengikut fahaman ini berfahaman seperti Syiah Imamiah, malah menentang habis-habis mazhab Hanbali (Salafi) di utara Yemen.

Walau bagaimanapun mereka tetap dikategorikan sesat oleh para Ulama` Islam kerana antara usul Akidah dan furu`mereka, antaranya:

1) Condong kepada akidah muktazilah dalam masalah berkaitan zat Allah,dan pilihan dalam amalan,serta hukum berkenaan pelaku dosa besar, dan mereka menyamai pendapat muktazilah dalam masalah Manzilah baina manzilatain.

2) Mereka membolehkan al-Imamah pada kesemua anak-anak Fatimah,sama ada daripada keturunan Al-Imam Al-Hasan atau Al-Hussain.

3) Tetapi 'kebanyakan' mereka mengakui akan keimaman Abu Bakar dan `Umar, mereka tidak melaknat keduanya sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah.

4) Mereka tidak membenarkan nikah Mut`ah dan mereka mengingkarinya.

5) Mereka berpandangan sama dengan Syiah Rafidhah dalam zakat Al-khumus dan bolehnya Taqiyyah dalam keadaan terpaksa.

6) Dalam azan mereka ditambah dengan kalimah "Hayya `ala khairil `amal" yang menyamai Syiah Rafidhah.

7) Mereka berpandangan Solat Tarawih adalah bid`ah dan hal ini menyamai Syiah Rafidhah.

8) Mereka menolak solat dibelakang imam yang fajir (zalim).

9) Mereka tidak mengimani akidah Mahdi Al-Muntazar.

10) Mereka berpandangan bahawa wajibnya keluar memberontak ke atas imam yang zalim dan tidak wajib taat kepada mereka.

Rujukan: Al-Mausu`ah Al-Muyassarah Fi Al-Adyan Wal Mazahib Wal Ahzab Al-Mu`asarah, jilid 1 hlm 76

Syiah Zaidiyah memiliki persamaan dengan Ahlu Sunnah. Persamaan tersebut disebabkan kerana sebahagian dari pecahan Syiah Zaidiyah seperti “Shalihiyah dan Batriyah” berpendapat bahawa kepemimpinan itu hendaklah dilakukan secara kontrak dan seleksi (pemilihan umum). Dan mereka menganggap sah kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Alasannya, sebab imam Ali sendiri telah melepaskan jabatan tersebut dan menyerahkannya kepada mereka berdua. Di samping itu, tidak pernah terdengar kalau imam Ali menuntut mereka berdua. Itulah sebabnya, Syiah Zaidiyah dianggap sebagai golongan Syiah yang terdekat dengan Ahlu Sunnah, khususnya pada era awal kemunculannya. Pandangan Syiah Zaidiyah sama seperti pandangan ulama salaf, iaitu mengamalkan seutuh-utuhnya sumber hukum asal iaitu: Al-Quran dan Sunnah. Hal ini ditegaskan oleh Dr. Ibrahim Madkur, dalam pandangannya, Syiah Zaidiyah pada masalah ketuhanan (Uluhiyah) sebenarnya pada era awal pendirian golongan tersebut sangat dekat dengan pandangan Salaf, namun pada perkembangannya -khususnya pengikut Zaidi yahdi Yaman- mereka lebih dekat kepada pandangan golongan Muktazilah.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan,bahawa Syiah Zaidiyah pada era awal lebih dekat kepada Ahlu Sunnah, namun dalam perkembangannya terjadi perubahan dan pergeseran, di mana Syiah Zaidiyah lebih dekat kepada golongan Muktazilah. Oleh kerana itu, Syiah Zaidiyah pada era kebelakangan memiliki perbezaan dengan Ahlu Sunnah pada dua hal, iaitu:

Pertama:
Adanya Kecenderungan Syiah Zaidiyah kepada aqidah Muktazilah. Syahrastani menyatakan bahawa hal ini disebabkan kerana imam Zaid pernah berguru dengan pendiri Muktazilah, iaitu Washil bin ‘Atha. Namun perkara belajarnya imam Zaid kepada Washil di bantah oleh salah seorang ulama Zaidiyah, iaitu Ibnu al-Wazir al-Yamani, ia mengkritik keras pernyataan Syahrastani dan berkata: “Adapun pernyataan Muhammad bin Abdul Karim bin AbiBakar, yang dikenal “Syahrastani” dalam bukunya (al-Milal wa an-Nihal), bahawa imam Zaid mengikuti pandangan Washil bi ‘Atha, dan bahkan ia berguru padanya tentang ajaran Muktazilah, dan ia ikuti ajaran tersebut, ditambah dengan isuterjadinya debat antara imam Zaid dengan saudaranya imam al-Baqir, kesemua hal tersebut adalah tidak terjadi dan merupakan bohong belaka. Dan hal ini diperkirakan hasil penipuan dan kebohongan Rafidhah (imamiyah)".

Sebenarnya perkara bergurunya imam Zaidkepada Washil memang terjadi, namun hal ini tidak patut dijadikan tuduhan bahawa imam Zaid mengikut pandangan Washil, seperti dalam masalah sifat-sifat Tuhan. Ditambah lagi, tidak ditemukannya bukti bahawa imam Zaid berideologikan mazhab Muktazilah. Bahkan sebaliknya, imam Zaid berideologikan mazhab Ahlu Sunnah, dan pengikutnyalah yang berpedomankan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Hal ini ditegaskan sendiri oleh imam Ibnu Taimiyah, dan ia meyakinkan kita bahawa imam Zaid menganut ajaran Ahlu Sunnah, sebagaimana ucapannya: "Tidak semua keturunan Fatimah itu diharamkan dari api Neraka, sebab di antara mereka ada yang baik dan ada pula yang buruk, dan nampaknya kebanyakannya yang buruk dari keturunan Fatimah adalah dari kalangan Syiah Rafidah (Imamiyah). Adapun Syiah Zaidiyah yang dipelopori oleh imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib danketurunan Fatimah yang baik-baik, mereka ini adalah Ahlu Sunnah dan mereka mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, sebab mereka tidak bermasalah (tidak mengkafirkan) khalifah Abu Bakar dan Umar".

Senada dengan pandangan ibnu Taimiyah, Syeikh Mahmud Syukri al-Alusi juga menegaskan: "Sesungguhnya imam-imam Ahlu Bait termasuk imam Zaid hakikatnya adalah beraqidah Ahlu Sunnah. Sebab mereka mengikut jejak Ahlu Sunnah dan respek kepada dakwah mereka. Dan para imam Syiahpun sejalan dengan Ahlu Sunnah, bagaimana tidak, imam Abu Hanifah dan imam Malik dan imam lainnya, mereka pun belajar dari para imam mereka" .

Kecenderungan pengikut Syiah Zaidiyah kepada corak pemikiran Muktazilah berlarutan dari era imam Zaid sampai kepada era akhir imam Shaleh al-Muqbali (1108H). Dan imam Shaleh al-Muqbali sendiri berpendapat bahawa pengikut Zaidiyah di Yaman adalah pengikut Muktazilah dalam segala masalah kecuali masalah imamah (politik). Masalah politik sebenarnya masalah fiqh (furu’yah) bukan masalah aqidah, namun dianggap sebagai masalah aqidah (usuliyyah) oleh para ulama teologi Islam, akibat sengitnya permusuhan yang terjadi di antara mereka.

Di lain tempat, imam Shaleh al-Muqbali menunjukkkan adanya kesesuaian aqidah antara Syiah Zaidiyah dengan Muktazilah. Adapun dalam masalah fiqh (furu’iyah), sebenarnya Syiah Zaidiyah berselisih faham antara satu dengan lainnya. Di antara mereka ada yang cenderung kepada mazhab Hanafi, dan ada yang lebih berat kepada mazhab Syafii. Namun dengancatatan, kecenderungan mereka terjadi hanya kerana mereka menemukan kesesuaian dalam salah satu mazhab tersebut bukan kerana taklid kepada imam lain. Dan ada juga di antara mereka yang tidak cenderung ke salah satu mazhab, ini merupakan perkara biasa. Sebagaimana halnya para mujahidinnya, mereka sentiasa melakukan ijtihad sendiri.

Dan fenomena keterbukaan di atas menjadikan Syiah Zaidiyah mazhab yang elastik dan fleksibel. Maka tak hairanlah kalau didapati beberapa ulama Syiah Zaidiyah mengarah kepada Ahlu Sunnah,seperti: Imam Muhammad Ibnu al-Wazir al-Yamani (w 840H), Imam Shalih al-Muqbali(w 1108H), Imam al-Amir as-Shan’ani (w 1182H) dan Imam as-Syaukani (w 1250H),dan perlu diingatkan bahawa kenderungan Syiah Zaidiyah beralih ke mazhab Ahlu Sunnah sangat disayangkan oleh Syeikh Ja’far Subhani (tokoh kontemporari Syiah Imamiyah), di samping itu ada juga yang cenderung kepada Muktazilah, seperti:Imam Yahya bin Hamzah al-‘Alawi (w 749H) dan Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha(w 840H), dan sebahagian dari mereka cenderung kepada Syiah Imamiyah, seperti:Imam al-Qasim ar-Rasy (w 246H), Imam Yahya bin Husain ar-Rasy (w 298H), ImamAhmad bin Yahya bin Husain (w325H), Imam Humaidan bin Yahya (w 656H) dan Imam Ahmad bin Sulaiman (w 566H).

Dan yang menarik perhatian dari fenomena diatas, terdapat beberapa pengikut Muktazilah di Baghdad seperti Muhammad Abdullah al-Iskafi dan lainnya, menamakan diri sebagai penganut atau pengikut Syiah Zaidiyah.

Dari keterangan di atas, nampak jelas betapa eratnya hubungan persahabatan antara Syiah Zaidiyah dengan Muktazilah. Secara peribadi terjalin ikatan hubungan persaudaraan antara imam Zaid danWashil bin 'Atha. Dan hal tersebut dikomen oleh DR. Sulaiman as-Syawasyi dalam bukunya (Washil bin ‘Atha wa Aaraa,uhu al-Kalamiyah), di mana beliau menyebutkan bahawa Washil bin 'Ata sebagai pendiri Muktazilah sebenarnya mempunyai kecenderungan kepada Syiah, namun kecenderungan tersebut hanyalah rasa simpati dan kesetiaan terhadap Ahlu Bait. Dan rasa simpatinya itu tidak sampai kepada tahap ekstrem Syiah (Ghulat Syiah), seperti aliran Rafidhah, Sabaiyah, Kaisaniyah, atau golongan Syiah ekstrem lainnya. Dan sebenarnya rasa simpati kepada Syiah, bukan hanya datang dari kalangan Muktazilah atau Washil berserta pengikutnya saja, tetapi rasa simpati juga datang dari beberapa tokoh Ahlu Sunnah, seperti imam al-Hasan al-Bashri, imam Abu Hanifah, imam Malik dan imam-imam Ahlu Sunnah lainnya. Mereka semua dikenal bersimpati kepada Ahlul Bait dan tak setuju dengan perlakuan pemerintahan Umawiyah terhadap golongan Syiah.Akan tetapi, rasa simpati yang nampak dari diri Washil bin 'Atha tercermin pada sikap antipatinya kepada pemerintah Umawiyah.

Jadi, dengan adanya ikatan persaudaraan yang terjalin antara imam Zaid dan Washil bin 'Atha membuktikan adanya hubungan erat Ahlu Bait dengannya. Kecuali hubungannya dengan imam Ja’far Sadiq yang tidak terjalin dengan baik.

Kedua:
Masalah Imamah (politik). Ia merupakanpusat perhatian dari semua golongan Syiah (Zaidiyah, Imamiyah Itsna ’asyariyah, Isma’ilyah Bathiniyah). kesemua golongan Syiah menumpukan perhatian kepada imam yang dianggap sebagai ideologi politik mereka. Hal ini terjadi kerana beberapa faktor utama munculnya gerakan Syiah adalah: keyakinan bahawa imam Ali adalah sebaik-baiknya sahabat Rasulullah, berpegang teguh kepada kepemimpinan Rasulullah dari kalangan Ahlu Bait, dan dalam keadaan dan perkara apa pun haruslah berkiblat kepada Ahlu Bait.

Dalam perkembangannya, Syiah Zaidiyah sebagai salah satu golongan Syiah terbesar, telah melalui beberapa perpecahan,peperangan dan revolusi, namun mereka masih lagi mengikuti teori Imamah, Tapi yang menarik ideologi politik Syiah Zaidiyah terlihat sangat berlainan dengan ideologi politik Syiah Imamiyah dan Isma’iliyah. Di mana Syiah Zaidiyah membangun kembali ideologi politiknya dengan merumuskan beberapa rumusan,seperti: Boleh mengangkat seorang imam sekalipun ada yang lebih baik darinya, berlaku ijtihad, mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, pengangkatan imam bukan dengan petunjuk ilahi (nash). Dan yang terpenting lagi adalah, mereka mengingkari beberapa prinsip dasar Syiah Imamiyah dan Isma’ilyah, iaitu:keyakinan bahawa para imam adalah maksum (terhindar dari maksiat dan kesalahan), Raj’ah (kebangkitan kembali), Taqiyyah (berdakwah dengan jalan rahsia atau sifat berpura-pura di hadapan para Ahlu Sunnah), dan imam Ghaib.

Untuk lebih jelasnya, Imam Yahya binHamzah (749H) menjelaskan dasar-dasar mazhab Syiah Zaidiyah, ia menegaskan, perbezaan Syiah Zaidiyah dengan mazhab Islam lainnya adalah: “barang siapa dalam aqidahnya mengakui masalah ketuhanan, hikmah, janji (alwa’d) dan ancaman(al-Wa’id), membatasi imamah pada keturunan Fatimah, imamah melalui penunjukan ilahi (an-Nash) terhadap tiga imam, iaitu: imam Ali dan kedua anaknya Hasan dan Husein, imamah ditegakkan atas dasar revolusi (al-Khuruj), maka siapa saja yang mengakui kesemua dasar-dasar di atas maka ketahuilah sesesungguhnya ia layak menjadi Syiah Zaidiyah”.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan,bahawa Syiah Zaidiyah pada era awal lebih dekat kepada Ahlu Sunnah, namun dalam perkembangannya terjadi perubahan dan pergeseran, di mana Syiah Zaidiyah lebih dekat kepada golongan Muktazilah. Oleh kerana itu, Syiah Zaidiyah pada era kebelakangan memiliki perbezaan dengan Ahlu Sunnah pada dua hal, iaitu:

SYIAH ZAIDIYAH BERPECAH
Syiah Zaidiyah terpecah ke beberapa pecahan. Majoriti pecahan tersebut telah pun punah. Dan yang tinggal hanyalah beberapa kumpulan Zaidiyah di utara dan selatan Yaman, Hijaz (Saudi Arabia), dan Emirat Arab (UEA). Imam Ibrahim Tababa bin Ismail bin Ibrahim bin Hasan at-Tsani adalah pendiri pertama kepemimpinan Zaidiyah di Yaman, dan diakhiri oleh imam terakhir Zaidiyah, iaitu imam Badar Ahmad bin Yahya bin Hamiduddin. Ia berasal dari keluarga Zaidiyah dari keturunan Hamiduddin. Beliau memangku penguasa keagamaan dan politik di Yaman utara. Dan ia diselesaikan setelah terjadinya peristiwa rampasan kuasa tentera. Dan dengan kejadian itu, ia terpaksa meninggalkan Yaman menuju Arab Saudi, dan kemudian ia sekeluarga pindah ke Inggeris dan menetap di sana.

Para sejarawan berbeza pendapat dalam menentukan jumlah pecahan-pecahan Syiah Zaidiyah, seperti di bawah ini:

1) Menurut Imam Ahmad bin Yahyaal-Murtadha (w. 840 H), Zaidiyah terbahagi kepada dua pecahan, iaitu: Garudia dan Batriah.

2) Al-Razi membahagi Zaidiyah kepada tiga pecahan,iaitu: Garudia, Sulaimaniyah dan Shalihiyyah.

3) al-Noboukhti al-Itsna 'asyariyah (w. 332H) membahagi Syiah Zaidiyah kepada empat pecahan, iaitu: al-Sarhobiyyah(Garudia), al-‘Ajliyyah, al-Butriyyah dan al-Husainiyyah .

4) Imam Yahya bin Hamzah (w. 749 H), membahagi Syiah Zaidiyah kepada lima pecahan, iaitu: Garudia, Shalihiyyah, Butriyyah,‘Aqbiyyah dan Shahabiyyah.

5) Imam Asy'ari membagi pecahan Syiah Zaidiyyah kepada enam, iaitu: Garudia, Sulaimaniyyah, Batriyyah, Nu’aimiyyah, Ya’qubiyyah, dan ia tidak menyebutkan nama pecahan yang keenam.

6) Imam al-Isfarayeni setuju dengan pembahagian imam Asy’ari pada pembagian tiga pertama saja, dan penamaan di ubahnya dengan:Jaririyyah dan Batriyah.

7) Imam Syahrastani setuju dengan ketiga pembahagian tersebut, namun ia menggabungkan pecahan Shalihiyyah dan Batriyyah dalam satu pecahan.

8) Qadhi Abdul Jabbar menyetujui pembagian imam Asy’ari pada ketiga pembahagian pertama iaitu: Garudiyyah, Sulaimaniyah dan Batriyyah, dan sisanya adalah pecahan Yamaniyyah, Shahibiyyah dan‘Aqbiyyah.

Dari beberapa fakta di atas, ditambah huraian sejarawan dan ulama, maka dapat disimpulkan bahawa pecahan terpopular Syiah Zaidiyah ada tiga. Hal ini dipaparkan oleh salah satu ulama Zaidiyyah, iaituImam Ahmad as-Syarafiy (w. 1055 H). Ia menegaskan bahawa: "Syiah Zaidiyah terpecah kepada tiga golongan, iaitu: Batriyah, Jaririyah, dan Garudiyah. Dankonon ada yang membagi pecahan Zaidiyah kepada: Shalihiyah, Sulaimaniyah dan Jarudiyah. Dan pandangan Shalihiyah pada dasarnya sama dengan pandangan Batriyyah. Dan pecahan Sulaimaniyah sebenarnya adalah Jarririyah. Jadi ketiga pecahan tersebut merupakan golongan-golongan Syiah Zaidiyyah pada era awa. Dan ketiga pecahan ini pun tidak berkaitan langsung kepada keturunan Ahlu Bait sama sekali. Dan mereka hanyalah sekadar penyokong berat imam Zaid ketika terjadi revolusi melawan Bani Umayah, dan mereka ikut berperang bersama imam Zaid".

Menurut pendapat Dr. Samira Mukhtaral-Laitsi dalam bukunya (Jihad as-Syiah), ketiga pecahan tersebut merupakan golongan Syiah Zaidiyyah di masa pemerintahan Abbasiah. Dan majoriti dari mereka ikut serta dalam revolusi imam Zaid. Dan ketiga pecahan tersebut dianggap paling progresif dan popular serta berkembang pesat pada masa itu. Dan setelah abad kedua, gerakan Syiah Zaidiyah yang nampak di permukaan hanyalah pecahan Garudiyah. Hal ini disebabkan kerana tidak ditemukannya pandangan-pandangan yang dinisbahkan kepada pecahan Syiah Zaidiyah lainnya. Adapun dalam perkembangannya, para pengikut Zaidiyah Yaman terpecah kepada dua golongan, iaitu:Husainiyah dan Mukhtari’ah Matrafiyah. Sementara Syiah Zaidiyah pada abad keempat hijriah yang berdomisili di wiliyah Jail dan Daylam berpecah juga kepada dua golongan, iaitu: Qasimiyah dan Nashiriyah. Dan penamaan keduanya mengikut kepada dua imam mereka masing-masing iaitu: al-Qasim ar-Rasy danan-Nashir al-Atrusy.

Demikianlah paparan para sejarawan islam tentang denominasi pecahan-pecahan Syiah Zaidiyah yang pada garis besarnya terdiri dari:

1) Zaidiyah Garudiyah.
2) Zaidiyah Batriyah.
3) Zaidiyah Sulaimaniyah atau dikenal sebagai Zaidiyah Jaririyah.

Dan penulis menegaskan kembali bahawa Syiah Zaidiyah merupakan golongan Syiah yang sangat moderat dan terbuka bagi aliran-aliran lain dalam Islam, di mana Zaidiyah menganggap perlunya kesinambungan ijtihad. Dalam kata lain, pintu ijtihad harus dibuka selebar-lebarnya. Sebab menurut imam Syaukani: "Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli iaitu “Al-Quran dan Hadis”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikategorikan sebagai Muqallid (pengikut)". Berdasarkan atas pentingnya ijitihad, maka bagi Syiah Zaidiyah bertaqlid hukumnya haram bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid, sebab ia diwajibkan untuk melakukan ijtihad demi mencari nilai kebenaran.

Dalam penilaian Syeikh Abu Zuhrah, SyiahZaidiyah pada hakikatnya memberikan pilihan bebas kepada penganutnya untuk memakai pandangan mazhab-mazhab islam lainnya, dengan cara memilih pandangan yang sesuai dengan bukti atau dalil. Dan dalil tersebut tidak bertentangan dengan pegangan umum yang disepakati oleh Syiah Zaidiyah. Dan sikap mereka sebenarnya merealisasikan ucapan para imam-imam mazhab yang mengatakan: “Tidak sah bagi seseorang memakai pendapat kami, kecuali ia tahu sendiri sumber aslinya (Al-Quran dan Sunah)“. Dengan konsep keterbukaan ijtihad inilah yang membuat Syiah Zaidiyah kaya akan pandangan dan pemikiran agama. sehingga ada sebahagian dari ulama mereka yang ditemukan menganut corak berfikir golongan lain.

Di samping itu, perlu dicatat bahawa Syiah secara umum tercatat dalam sejarah politik Islam senantiasa memasang sikap oposisi terhadap pemerintah. Dan cara oposisinya berubah-ubah antara satu dengan yang lainnya. Kalau Syiah Zaidiyah, sikap oposisi mereka secara terang-terangan,atau dalam istilah mereka dikenal dengan “al-Khuruj”. atau hadapan, dan bila perlu melakukan revolusi secara besar-besaran. Namun berbeda dengan golongan Syiah lainnya (Imamiyah dan Isma’ilyah). Mereka memilih pembangkang dengan cara rahsia,gerakan bawah tanah (tersembunyi), atau dalam istilah mereka dikenal sebagai“Taqiyah”, atau diam-diam, tak mengisytiharkan diri dan identiti asal.

Jadi, dengan adanya ikatan persaudaraan yang terjalin antara imam Zaid dan Washil bin 'Atha membuktikan adanya hubungan erat Ahlu Bait dengannya. Kecuali hubungannya dengan imam Ja’far Sadiq yang tidak terjalin dengan baik.

Kedua:
Masalah Imamah (politik). Ia merupakan pusat perhatian dari semua golongan Syiah (Zaidiyah, Imamiyah Itsna ’asyariyah, Isma’ilyah Bathiniyah). Kesemua golongan Syiah menumpukan perhatian kepada imam yang dianggap sebagai ideologi politik mereka. Hal ini terjadi kerana beberapa faktor utama munculnya gerakan Syiah adalah: keyakinan bahawa imam Ali adalah sebaik-baiknya sahabat Rasulullah, berpegang teguh kepada kepemimpinan Rasulullah dari kalangan Ahlu Bait, dan dalam keadaan dan perkara apa pun haruslah berkiblat kepada Ahlu Bait.

Dalam perkembangannya, Syiah Zaydiyah sebagai salah satu golongan Syiah terbesar, telah melalui beberapa perpecahan, peperangan dan revolusi, namun mereka masih lagi mengikuti teori Imamah, Tapiyang menarik ideologi politik Syiah Zaidiyah terlihat sangat berlainan dengan ideologi politik Syiah Imamiyah dan Isma’iliyah. Di mana Syiah Zaidiyah membangun kembali ideologi politiknya dengan merumuskan beberapa rumusan,seperti: Boleh mengangkat seorang imam sekalipun ada yang lebih baik darinya, berlaku ijtihad, mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, pengangkatan imambukan dengan penunjukan ilahi (nash). Dan yang terpenting lagi adalah, mereka mengingkari beberapa prinsip dasar Syiah Imamiyah dan Isma’ilyah, iaitu:keyakinan bahawa para imam adalah ma’sum (terhindar dari ma’siat dan kesalahan), Raj’ah (kebangkitan kembali), Taqiyah (berdakwah dengan jalan rahsia),dan imam Ghaib.

Untuk lebih jelasnya, Imam Yahya binHamzah (749H) menjelaskan dasar-dasar mazhab Syiah Zaidiyah, ia menegaskan, perbezaan Syiah Zaidiyah dengan mazhab Islam lainnya adalah: “barang siapa dalam aqidahnya mengakui masalah ketuhanan, hikmah, janji (alwa’d) dan ancaman(al-Wa’id), membatasi imamah pada keturunan Fatimah, imamah melalui penunjukanilahi (an-Nash) terhadap tiga imam, iaitu: imam Ali dan kedua anaknya Hasan dan Husein, imamah ditegakkan atas dasar revolusi (al-Khuruj), maka siapa saja yang mengakui kesemua dasar-dasar di atas maka ketahuilah sesesungguhnya ia layakmenjadi Syiah Zaidiyah”.

Kesimpulannya Syiah Zaidiyyah termasuk daripada firqah yang terkeluar daripada Ahli Sunnah kerana perbezaannya dengan ahli Sunnah dalam masalah Akidah dan condongnya mereka kepada akidah muktazilah,namun mereka jika dibandingkan dengan Imamiah lebih dekat dengan Ahli Sunnah.Ulama` Hadith Yaman Syeikhuna Yahya Al-Hajurri hafizahullah juga pernah menyatakan bahawa kebanyakan Syiah hari ini yang mendakwa dan menisbahkan diri mereka adalah Zaidiyyah sebenarnya sudah terpengaruh dengan Akidah Imamiah Rafidhah,hal ini terbukti dengan realiti yang berlaku di Yaman, namun kita tidak menafikan masih ada mereka yang berpegang dengan Zaidiyyah terutama di Yaman, namun kebanyakannya sudah terpengaruh dengan akidah Syiah Imamiah atau Rafidhah atau dikenali juga dengan Al-Jarudiyyah.