Tuesday, August 26, 2014

Hasan bin Ali bin Abu Talib (3-50 H.)



Dia adalah putra sulung Ali bin Abu Talib dengan Fatimah Postur dan paras mukanya mirip dengan Rasulullah. Dia diangkat sebagai khalifah sepeninggal ayahnya. Dia lebih mengutamakan tidak berperang, menghindari pertumpahan darah sesama muslim, untuk itu dia menyerahkan kursi ke khalifahan kepada Muawiah sampai dia meninggal dunia di Madinah.

Riwayat Hidup Al-Hasan dan Wafatnya
Oleh: Ustadz Muhammad Umar Sewed
Beliau dilahirkan pada bulan Ramadlan tahun ke-3 Hijriyah menurut kebanyakan para ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. (lihat Fathul Bari juz VII, hal. 464)
Setelah ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiya­llahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syaikh Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz ke-1 hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh- mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Maka beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” Dan disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah ini. (Lihat Ta’liq kitab Al-’Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal. 198-199). Tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah untuk mencegah pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin Ali telah menghadap Mu’awiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda ibarat gunung, maka berkatalah ‘Amr bin ‘Ash: “Sungguh aku berpen­dapat bahwa pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling melainkan setelah membunuh pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata kepadanya Mu’awiyah -dan dia demi Allah yang terbaik di antara dua orang-: “Wahai ‘Amr! Jika mereka sa­ling membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia? Siapa yang akan menjaga wanita-­wanita mereka? Dan siapa yang akan menguasai tanah mereka?” Maka ia mengutus kepadanya (Al-­Hasan) dua orang utusan dari Quraisy dari Bani ‘Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia berkata: “Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya serta mintalah kepadanya (perdamaian -peny.)” Maka keduanya mendatangi­nya, berbicara dengannya dan memohon pada­nya…) kemudian di akhir hadits Al-Hasan bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata:
إِنَّ ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخارى مع الفتح ۷/٦٤۷ رقم ٢۷٠٤)
Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704)
Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: “….Al-Husein menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas pendapat ini, tetapi beliau tidak mau mene­rimanya. Dan kebenaran ada pada Al-Hasan sebagaimana dalil yang akan datang….” (lihat Al­Bidayah wan Nihayah, juz VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang sudah kita sebutkan di atas yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.
Yang mengherankan justru kaum Syi’ah Rafidlah menyesali kejadian ini dan menjuluki Al-­Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian mereka menganggapnya fasik sedangkan sebagian lagi bahkan mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syaikh Muhibbudin Al-Khatib mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: “Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan yang paling utama- adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sem­bilan keturunannya adalah maksum. Dan dari kon­sekwensi kemaksuman mereka, bahwa mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang ber­sumber dari mereka berarti hak yang tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al­-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma yang paling besar adalah pembai’atan terhadap amiril mukminin Mu’awiyah, maka mestinya mereka pun masuk dalam bai’at ini dan beriman bahwa ini adalah hak karena ini adalah amalan seorang yang maksum menurut mereka. (Lihat catatan kaki kitab Al-­Awashim minal Qawashim hal. 197-198).
Tetapi kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka sendiri yang maksum bahkan menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengka­firkannya. Sehingga terdapat dua kemungkinan:
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).
Kedua, mereka meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para peng­khianat yang menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran. Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Adapun Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian menganggap Al­Hasan yang memutihkan wajah kaum mukminin.
Demikianlah khilafah Mu’awiyah berlang­sung dengan persatuan kaum muslimin karena Al­lah Subhanahu wa Ta ‘ala dengan sebab pengor­banan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang besar yang dia -demi Allah- lebih berhak terhadap khilafah daripada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dan para ulama. Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada tahun ke 10 masa khilafah Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu `anhu pada umur 47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan yang masyhur adalah 49 tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika beliau diperiksa oleh dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggal karena racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam sejarah siapa yang membunuh­nya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh pihak Mu’awiyah sebagai pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi dengan ucapannya: “Kami mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin karena dua hal: pertama, bahwa dia (Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan kejelekan apapun dari Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada Mu’awiyah. Yang kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada salah seorang makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang kita tidak dapat mudah percaya dengan nukilan seorang penukil dari kalangan pengikut hawa nafsu (Syi’ ah). Dalam keadaan fitnah dan Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh lawannya dengan tuduhan yang tidak semestinya, maka tidak mungkin diterima kecuali dari seorang yang bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan.” (Lihat Al-Awashim minal Qawashim hal. 213-214)
Demikian pula dikatakan oleh Syaikhul Is­lam Ibnu Taimiyyah bahwa tuduhan Syi’ah tersebut tidak benar dan tidak didatangkan dengan bukti syar’i serta tidak pula ada persaksian yang dapat diterima dan tidak ada pula penukilan yang tegas tentangnya. (Lihat Minhajus Sunnah juz 2 hal. 225)
Semoga Allah merahmati Al-Hasan bin Ali dan meridlainya dan melipatgandakan pahala amal dan jasa-jasanya. Dan semoga Allah menerimanya sebagai syahid. Amiin.

Pengkhianatan Syi’ah Kepada Al Hasan Dan Al Husain
(Dirangkum dari buku Pengkianatan-Pengkhianatan Syi’ah karya Dr. Imad Ali Abdus Sami’)

Setelah Ali bin Abi Tholib terbunuh,Al Hasan lebih  memilih berdamai dengan Muawiyah,namun orang-orang syi’ah terus menerus mendesak Al Hasan untuk berperang melawan Muawiyah.
Dan pada akhirnya Al Hasan menyutujui desakan mereka ini dan mengutus Qais bin Ubaidah untuk memimpin dua belas ribu pasukan melawan pasukan Muawiyah.
Ketika Al Hasan sedang berada di Al Madain,datanglah seorang penduduk Iraq dan berteriak,bahwa Qais telah terbunuh.Timbulah kekacauan diantara orang-orang syi’ah Iraq,watak asli mereka muncul (berkhianat),mereka tidak sabra dan justru menyerbu kemah Al Hasan,dan merampas barang-barangnya.
Salah seorang syi’ah Iraq,Mukhtar bin Ubaid Ats Tsaqofi memiliki rencana busuk ,yaitu mengikat Al Hasan dan menyerahkannya kepada pamannya Saad bin Mas’ud Ats Tsaqofi,dengan imbalan harta dan kedudukan karena tamaknya dia.
Sa’ad adalah salah seorang pendukung Ali yang menjadi gubernur Al Madain,namun dia juga mengkhianati putra Ali yaitu Al Hasan dengan menghinakannya dan menyerahkannya kepada Muawiyah.
Sampai-sampai Al Hasan berkata : “Aku memandang Muawiyah lebih baik kepadaku,dibanding orang-orang yang mengaku sebagai pendukungku,mereka malah ingin mencelakakanku dan merampas hartaku…”
Inilah bentuk pengkhianatan orang syi’ah kepada Al Hasan,yang mana mereka mengklaim cinta kepada Ahlul bait.
Adapun pengkhianatan syi’ah kepada Al Husain adalah apa yang terjadi di karbala,yang mengakibatkan Al Husain terbunuh.
Jadi setelah Muawiyah wafat,orang-orang Iraq mendesak Al Husain untuk menjadi kholifah.Dibawah tekanan mereka ini,Husain terpaksa mengirim Muslim bin Aqil untuk  memantau kondisi yang terjadi pasca wafatnya Muawiyah.
Ia tidak mengetahui kedatangan penduduk Iraq yang meminta berbaiat kepada Al Husain yang berjumlah sekitar dua belas ribu orang,kemudian mereka mengirim perwakilan kepada Al Husain untuk membaiatnya.
Akan tetapi Al Husain tertipu dengan pengkhianatan mereka.Husain pergi menemui mereka padahal sudah diperingatkan oleh orang-orang terdekatnya untuk tidak menemui mereka,karena rekam jejak mereka yang sering berkhianat.
Sampai Ibnu Abbas pun menasehati  Al Husain : “Apakah engkau akan pergi ke kaum yang telah membunuh pemimpin mereka,merampas negeri mereka.Sekalipun mereka berbuat demikian apakah engkau tetap menemui mereka? Mereka mengajakmu ke sana,sedang penguasa mereka bersikap tiran kepada mereka.Apa yang mereka  lakukan,hanya untuk negara mereka saja.Mereka hanya mengajak engkau menuju medan perang dan pembantaian,dan engkau tidak akan aman bersama mereka.Mereka akan berkhianat,menipu,dan menyerangmu dan nanti mereka akan menjadi orang yang paling keras memusuhimu…”
Secara jelas pengkhianatan Syi’ah Kufah tampak ketika Muslim bin Aqil terbunuh ditangan pasukan bani Umayyah,dan orang-orang syi’ah diam membisu tidak memberikan bantuan apa-apa,karena mereka telah menerima sejumlah uang dari bani Umayyah.
Ketika Husain keluar bersama keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 70 orang,setelah terjalin kesepakatan dan perjanjian,kemudian penguasa bani Umayyah  Ubaidillah bin Ziyad masuk untuk menghancurkannya di medan peperangan,maka terbunuhlah Al Husain dan seluruh orang yang menyertainya.
Kata-kata terakhirnya sebelum wafat adalah : “Ya Allah,berilah putusan di antara kami dan diantara orang-orang yang mengajak kami untuk menolong kami,namun justru mereka membunuh kami”.
Bahkan Al Husain mendoa’akan keburukan untuk mereka : “Ya Allah,apabila Engkau memberi mereka kenikmatan,maka cerai beraikanlah mereka,buatlah mereka menempuh jalan yang berbeda-beda,dan janganlah restui pemimpin mereka selamanya…”
 Jika orang-orang syi’ah saja berkhianat kepada Ahlul bait apalagi terhadap umat Islam ini.


‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu Mempunyai Ilmu yang Lebih Tinggi daripada Semua Shahabat [ ?????? ]


http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/09/ali-bin-abi-thaalib-radliyallaahu-anhu.html
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 08.35 
Label: Syi'ah
Dari ‘Amr bin Hubsyiy ia berkata : Al-Hasan bin ‘Aliy pernah berkhutbah kepada kami setelah terbunuhnya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma. Ia pun berkata :
لقد فارقكم رجل بالأمس ما سبقه الأولون بعلم ولا أدركه الآخرون ان كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليبعثه ويعطيه الراية فلا ينصرف حتى يفتح له وما ترك من صفراء ولا بيضاء الا سبعمائة درهم من عطائه كان يرصدها لخادم لأهله
“Sungguh kemarin telah meninggal seorang laki-laki yang tidak didahului orang-orang terdahulu dan kemudian dalam hal ilmu. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammemberinya bendera (kepemimpinan), maka ia tidaklah kembali hingga diberikan kemenangan baginya. Dan tidaklah ia meninggalkan dinar dan dirham kecuali 700 dirham yang berasal dari pemberian (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) yang ia persiapkan untuk pembantu keluarganya”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/199, Fadlaailush-Shahaabah no. 922 danAz-Zuhd hal. 133; serta Ibnu Abi Syaibah 12/75. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 1/199, Ath-Thabaraniy no. 2717-2725, Ibnu Abi Syaibah 12/73-74, Ibnu Hibbaan no. 6936, Ibnu Sa’d 3/38-39, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 8408, dan yang lainnya dari jalan Ibnu Hubairah.
Atsar ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Asy-Syaikh Dr. Wasiyullah ‘Abbas. Dan kedudukannya adalah sebagaimana yang mereka sebutkan (maqbul).
Sebagian orang Syi’ah menggunakan atsar ini untuk menyatakan keilmuan ‘Aliy berada di atas semua shahabat tanpa terkecuali. Tidak Abu Bakr, tidak ‘Umar, dan tidak juga ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum. Tentu saja enggapan ini keliru lagi tertolak.
Tanggapan :
Perlu diketahui bahwa riwayat di atas[1] bukan merupakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun merupakan perkataan Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma. Jadi statusnya adalah mauquf.
Sanjungan tersebut dikatakan Al-Hasan bin ‘Aliy saat terjadi fitnah beberapa saat setelah terbunuhnya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu secara dhalim oleh ‘Abdurrahman bin Muljam – semoga Allah memberikan balasan setimpal atas dosa-dosanya. Banyak orang terfitnah sehingga membenci ‘Aliy dan merendahkan kedudukannya. Kemudian, Al-Hasan bin ‘Aliy tampil di atas mimbar untuk mengingkari mereka dan menegaskan keutamaan ‘Aliy di sisinya dan di sisi shahabat secara umum. Dan memang, ‘Aliy bin Abi Thaalib merupakan shahabat yang paling afdlal saat itu[2].
Apa yang dikatakan Al-Hasan bukan dimaksudkan untuk mengunggulkan ‘Aliy di atas Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Uslub yang dipakai oleh Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma ini mirip dengan yang dilakukan kakeknya, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya saja saat beliau menyebutkan keutamaan Usamah bin Zaid dan ayahnya (Zaid bin Haritsah) radliyallaahu ‘anhumasaat orang-orang tidak menerima keputusan beliau yang telah mengangkat Usamah menjadi panglima perang dan cenderung merendahkan kedudukannya :
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: بعث النبي صلى الله عليه وسلم بعثا، وأمر عليهم أسامة بن زيد، فطعن بعض الناس في إمارته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن تطعنوا في إمارته، فقد كنتم تطعنون في إمارة أبيه من قبل، وايم الله إن كان لخليقا للإمارة، وإن وكان لمن أحب الناس إلي، وإن هذا لمن أحب الناس إلي بعده).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberangkatkan pasukan dengan menunjuk Usamah bin Zaid sebagai panglima. Kemudian ada sejumlah orang yang mencela/mengkritik tentang kepemimpinannya tersebut. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian mencela penunjukkan Usamah sebagai panglima berarti kalian juga mencela penunjukkan ayahnya sebagai panglima pada masa sebelumnya. Demi Allah, Zaid memang layak memimpin pasukan, dan dia tergolong orang yang paling aku cintai. Sedangkan anaknya ini (Usamah) juga termasuk orang yang paling aku cintai”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3730, Muslim no. 2426, At-Tirmidziy no. 3816, Ahmad dalam Al-Musnad 2/110 dan Fadlaailush-Shahaabah no. 1525].
Tentu saja perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dimaksudkan untuk mengunggulkan Zaid dan Usamah di atas Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Aliyradliyallaahu ‘anhum. Inilah keyakinan Ahlus-Sunnah.
Kalaupun toh kita pahami tanpa memandang ‘illat riwayat, maka pujian atau sanjungan serupa (yaitu pujian satu shahabat terhadap yang shahabat lainnya) semisal di atas adalah banyak. Misalnya sanjungan Ibnu Mas’ud terhadap Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum :
لو أن ابن عباس أدرك أسناننا ما عاشره منا أحدٌ. قال وكان يقول : نعم ترجمان القرآن ابن عباس رضي الله عنه.
“Apabila Ibnu ‘Abbas menjumpai jaman kita, niscaya tidak ada seorang pun di antara kami yang dapat menandingi (ilmu)-nya. Sebaik-baik penerjemah/penafsir Al-Qur’an adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalamAl-‘Ilmu no. 49; Ahmad dalam Fadlaailush-Shahabah no. 1860, 1861, 1863; Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 2/366; dan yang lainnya - shahih].
Sanjungan Qabiishah bin Jaabir terhadap ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhuma :
عن قبيصة بن جابر، قال : ما رأيت رجلا قط أعلم بالله ولا أقرأ لكتاب الله ولا أفقه في دين الله من عمر.
Dari Qabiishah bin Jaabir, ia berkata : “Tidaklah aku melihat seorang laki-laki pun yang lebih mengetahui (berilmu) terhadap Allah, lebih bagus bacaannya terhadap Kitabullah, dan lebih paham terhadap agama dibandingkan ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 472 dengan sanad shahih].
Atau bahkan sanjungan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adzradliyallaahu ‘anhu :
وأعلمهم بالحلال والحرام معاذ بن جبل
“Dan orang yang paling mengerti tentang halal dan haram di antara mereka, (yaitu) Mu’adz bin Jabal” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3790, Ahmad 3/281, Ibnu Sa’d 2/341 dll., An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 8242, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Atsar 808, Al-Baihaqiy 6/210, Ath-Thayalisiy no. 2096, dan lainnya. Sanadnya shahih, sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaniy dan Al-Arna’uth].
Tiga riwayat yang ‘sebanding’ di atas sudah barang tentu memberatkan orang Syi’ah untuk menukilnya.
Pujian-pujian mereka (para shahabat) kepada yang lain menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tawadlu’ yang mengerti siapa saja yang harus ditinggikan dan siapa saja yang harus direndahkan (yaitu orang-orang munafik dan kafir). Setiap shahabat mempunyai keutamaan. Dan di antara keutamaan-keutamaan yang dimiliki, mereka semua telah berijma’ (sepakat) untuk mengutamakan Abu Bakr dan ‘Umar dibandingkan shahabat yang lain – dalam keutamaan yang bersifat global/umum (bukan keutamaan yang bersifat parsial).
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata :
كنا نفاضل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر ثم عمر ثم عثمان ثم نسكت
“Kami mengutamakan di jaman Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam : Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian kami diam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 7251, Ibnu Abi Syaibah 12/9, Ahmad 2/14, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1195, dan Ath-Thabaraniy no. 13301; shahih].
Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sendiri yang menegaskan keutamaan mereka berdua.
عن عمرو بن حريث، قال : سمعت عليا وهو يخطب على المنبر وهو يقول : ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها، أبو بكر، ألا أخبركم بالثاني فإن الثاني عمر.
Dari ‘Amr bin Hariits, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Aliy berkhutbah di atas mimbar. Ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sebaik-baik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? yaitu Abu Bakr. Maukah aku beritahukan kepada kalian yang kedua ? yaitu ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 398 dengan sanad hasan].
عن علي بن ربيعة الوالبي عن علي قال : إني لأعرف أخيار هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وعمر، ولو شئت أن أسمي الثالث لفعلت.
Dari ‘Aliy bin Rabii’ah Al-Waalabiy, dari ‘Aliy, ia berkata : “Sesungguhnya aku mengetahui sebaik-sebaik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Yaitu) Abu Bakr dan ‘Umar. Jika saja aku ingin untuk menyebutkan yang ketiga, niscaya aku lakukan” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 428 dengan sanad hasan].
عن أبي جحيفة قال : كنت أرى أن عليا أفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم. قلت : يا أمير المؤمنين، إني لم أكن أرى أن أحدا من المسلمين من بعد رسول الله أفضل منك. قال : أولا أحدثك يا أنا جحيفة بأفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ قلت : بلى ! قال : أبو بكر، قال : أفلا أخبرك بخير الناس بعد رسول الله وأبي بكر ؟ قال : قلت : بلى فديتك ! قال : عمر.
Dari Abu Juhaifah, ia berkata : “Aku dulu berpendapat bahwa ‘Aliy adalah orang yang paling utama setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Aku berkata : “Wahai Amiirul-Mukminin, sesungguhnya aku tidak berpandangan ada seseorang dari kalangan kaum muslimin setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada engkau”. Ia (‘Ali bin Abi Thaalib) berkata : “Tidakkah engkau mau aku beritahukan kepadamu wahai Abu Juhaifah tentang orang yang paling utama setelah Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Aku berkata : “Tentu”. ‘Ali berkata : “Abu Bakr”. Kemudian ia melanjutkan : “Tidakkah engkau mau aku beritahukan kepadamu orang yang paling baik setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr ?”. Aku menjawab : “Tentu, berilah kami penjelasan”. ‘Aliy berkata : “Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 404; shahih li-ghairihi).
عن محمد بن الحنفية قال: قلت لأبي: أيُّ الناس خير بعد رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم؟ قال: أبو بكر، قال: قلت: ثم من؟ قال: ثم عمر، قال: ثم خشيت أن أقول ثم من؟ فيقول عثمان، فقلت: ثم أنت يا أبتِ؟ قال: ما أنا إلا رجل من المسلمين.
Dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (yaitu ‘Ali bin Abi Thaalib radliyalaahu ‘anhu) : “Siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Abu Bakr”. Aku bertanya : “Kemudian siapa ?”. Ia menjawab : “Kemudian ‘Umar”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : “Kemudian aku khawatir untuk menanyakan 'kemudian siapa' (setelah ‘Umar), lalu menjawab : 'Utsmaan. Aku kembali bertanya : “Kemudian setelah itu engkau wahai ayahku ?”. Ia menjawab : “Aku hanyalah seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3671, Abu Daawud no. 4629, dan yang lainnya].
Kalaupun misal kita pertentangkan – (dan sebenarnya kita tidak pernah mempertentangkannya) – antara perkataan Al-Hasan bin ‘Aliy dengan ‘Aliy yang dua-duanya membicarakan tentang diri ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma; siapakah yang lebih pantas untuk didahulukan ? Tentu saja perkataan ‘Aliy tentang dirinya-lah yang lebih didahulukan daripada selainnya, sebagaimana ma'ruf dalam kaidah-kaidah tarjih ilmu ushul.
Bila kita ikuti logika bathil kaum Syi’ah Rafidlah yang berdalil dengan riwayat Al-Hasan bin ‘Aliy di atas bahwa ‘Aliy itu adalah orang yang paling berilmu dibandingkan seluruh shahabat, maka kita akan menemui beberapa ‘kesulitan’ sebagai berikut :
1. Hadits ditunjuknya Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu sebagai imam shalat pengganti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafatnya.
عن عبيدالله بن عبدالله؛ قال: دخلت على عائشة فقلت لها: ألا تحدثيني عن مرض رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت: بلى. ثقل النبي صلى الله عليه وسلم. فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! قال "ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! فقال "ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق. فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! فقال" ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق فقال "أصلى الناس؟" فقلنا: لا. وهم ينتظرونك، يا رسول الله! قالت والناس عكوف في المسجد ينتظرون رسول الله صلى الله عليه وسلم لصلاة العشاء الآخرة. قالت فأرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي بكر، أن يصلي بالناس. فأتاه الرسول فقال: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرك أن تصلي بالناس. فقال أبو بكر، وكان رجلا رقيقا: يا عمر! صل بالناس. قال فقال عمر: أنت أحق بذلك. قالت فصلى بهم أبو بكر تلك الأيام. ثم إن رسول الله صلى الله عليه وسلم وجد من نفسه خفة فخرج بين رجلين. أحدهما العباس، لصلاة الظهر. وأبو بكر يصلي بالناس. فلما رآه أبو بكر ذهب ليتأخر. فأومأ إليه النبي صلى الله عليه وسلم أن لا يتأخر. وقال لهما "أجلساني إلى جنبه" فأجلساه إلى جنب أبو بكر. وكان أبو بكر يصلي وهو قائم بصلاة النبي صلى الله عليه وسلم. والناس يصلون بصلاة أبي بكر. والنبي صلى الله عليه السلام قاعد.
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku pernah masuk ke tempat ‘Aisyahradliyallaahu ‘anhaa, lalu aku bertanya kepadanya : “Tidakkah engkau sudi memberitahuku tentang sakit Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Tentu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sakit berat. Beliau bertanya :‘Apakah orang-orang telah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambilkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Beliau mandi, lalu keluar hendak menuju pintu masjid, kemudian beliau pingsan. Setelah sadar beliau bertanya : ‘Apakah orang-orang sudah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambillkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Kemudian beliau mandi, lalu keluar menuju masjid, namun beliau pingsan lagi. Setelah sadar, beliau bertanya : ‘Apakah orang-orang sudah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. ‘Aisyah berkata : “Ketika itu orang-orang beri’tikaf dimasjid sambil menunggu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat ‘Isya’. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada Abu Bakr untuk mengimami shalat. Utusan itu menemui Abu Bakr, lalu berkata : ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruhmu untuk menjadi imam shalat’. Abu Bakr – dan dia adalah orang yang sangat halus perasaannya – berkata : ‘Wahai ‘Umar, imamilah orang-orang shalat !’. ‘Umar menjawab : ‘Engkau lebih berhak menjadi imam’. Maka Abu Bakr menjadi mam shalat selama beberapa hari. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam merasa tubuhnya agak sehat. Lalu beliau keluar untuk shalat Dhuhur dengan dipapah oleh dua orang, salah satunya adalah Al-‘Abbasradliyalaahu ‘anhu. Pada saat Abu Bakr akan menjadi imam shalat, ia melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu mundur. Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya isyarat agar ia jangan mundur. Nabi berkata kepada kedua orang yang memapah beliau : Dudukkan aku di samping Abu Bakr’. Abu Bakr shalat dengan berdiri mengikuti shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan orang-orang mengikuti shalat Abu bakr. Dan Nabi (ketika itu) shalat sambil duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 713 dan Muslim no. 418].
Dalam hadits di atas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Abu Bakrradliyallaahu ‘anhu sebagai pengganti beliau menjadi imam shalat. Padahal di situ ada ‘Umar, ‘Utsman, dan tentu saja ‘Ali bin Abi Thaalib – bersama para shahabat lainnya radliyallaahu ‘anhum. Jika saja memang ilmu ‘Ali bin Abi Thaalib itu adalah paling tinggi di antara shahabat, mengapa beliau tidak menunjuknya sebagai pengganti imam shalat. Padahal, dalam syari’at, hukum secara umum menyatakan seorang imam diangkat atau ditunjuk berdasarkan keutamaan yang ia miliki. Ia ditunjuk berdasarkan kriteria orang yang paling bagus/hapal dan faqih dalam Al-Qur’an-nya.
عن أبي مسعود الأنصاري؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله. فإن كانوا في القراءة سواء. فأعلمهم بالسنة. فإن كانوا في السنة سواء. فأقدمهم هجرة. فإن كانوا في الهجرة سواء، فأقدمهم سلما. ولا يؤمن الرجل الرجل في سلطانه. ولا يقعد في بيته على تكرمته إلا بإذنه"
Dari Abu Mas’uud Al-Anshaariy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus/banyak hafalan/faqih Al-Qur’an-nya. Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang As-Sunnah. Kalau dalam As-Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 673].
Penunjukkan beliau di sini bukanlah penunjukkan yang bersifat kebetulan. Tentu saja beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memikirkan dengan matang penunjukan ini. Tidaklah beliau memilih Abu, kecuali dengan pertimbangan keutamaannya dan ilmu yang ia miliki. Pertanyaannya : ‘Mengapa beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuk ‘Ali bin Abi Thaalib jika memang ia memiliki keutamaan dan ilmu yang paling tinggi tinggi di antara shahabat ? Tidak ada yang menghalangi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menunjuk ‘Aliy jika memang beliau menghendakinya dan lebih layak dibanding lainnya
Kita di sini tidak akan pernah beralasan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu membelot tidak hadir dalam shalat berjama’ah. Jika alasan itu dipakai, sama saja kita menuduh ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu menjadi bagian orang-orang munafiq. Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :
لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ أَوْ مَرِيضٌ إِنْ كَانَ الْمَرِيضُ لَيَمْشِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ حَتَّى يَأْتِيَ الصَّلَاةَ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ
”Sungguh aku telah melihat keadaan kami (yaitu keadaan para shahabat)! Tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjama’ah (di masjid) kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya; atau orang yang yang sakit. Jika ia seorang yang sakit, tentu ia bisa berjalan dengan dipapah oleh dua orang sehingga dia bisa mendatangi shalat berjama’ah. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita ’sunnah-sunnah huda’ (= ajaran agama). Dan di antara sunnah-sunnah huda tersebut adalah shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 654].
Na’uudzubillahi min dzaalik !! Sungguh jauh beliau (‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu) dari kemunafikan.
2. Hadits tentang wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menemui Abu Bakrradliyallaahu ‘anhu sepeninggal beliau.
عن محمد بن جبير بن مطعم، عن أبيه؛ أن امرأة سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا. فأمرها أن ترجع إليه. فقالت: يا رسول الله! أرأيت إن جئت فلم أجدك؟ - قال أبي: كأنها تعني الموت - "فإن لم تجديني فأتي أبا بكر".
Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya : Bahwasannya ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu perkara. Maka beliau memerintahkannya untuk kembali lagi (di lain waktu). Maka wanita itu berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku datang namun aku tidak dapat menemuimu ?” – Ayahku (Jubair bin Muth’im) berkata : ‘Sepertinya yang ia maksudkan jika beliau wafat’ - . Maka beliau bersabda :“Apabila engkau tidak dapat menemuiku, maka temuilah Abu Bakr” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3659, Muslim no. 2386, dan yang lainnya].
Perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menemui Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu bukanlah berkaitan dengan hutang-piutang atau sejenisnya. Jika memang ini yang dimaksud, tentu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk menemui ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu karena ia merupakan keluarga beliau yang terdekat.
Perintah ini adalah berkaitan dengan permasalahan yang ditanyakan oleh si wanita tadi. Dan objek yang dijadikan pengganti beliau sbagai tempat bertanya, tentu mempunyai kapasitas ilmu untuk menyelesaikannya. Tidaklah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewariskan sesuatu yang lebih berharga dibandingkan ilmu. Dan ilmu itulah yang telah terwarisi oleh Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu untuk menyelesaikan permasalahan sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesunguhnya ulama itu pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan dirham, namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang sempurna” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/196, At-Tirmidzi no. 2682, Ad-Daarimiy no. 349, Abu Dawud no. 3641, Ibnu majah no. 223, dan yang lainnya – shahih].
Tidak mungkin beliau menunjuk seseorang jika tidak punya alasan bukan ?
Pertanyaannya : “Jika memang ‘Aliy bin Abi Thaalb dinyatakan sebagai orang yang paling berilmu seantero shahabat, mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak menunjuknya untuk menyelesaikan perkara sepeninggal beliau ?”. Logikanya, jika memang beliau meyakini apa yang diinginkan Syi’ah, tentu beliau akan menunjuk ‘Aliy. Apalagi sifat penunjukkan ini adalah satu hal yang longgar, dapat dipikirkan dan diputuskan melalui pertimbangan, sebagaimana kasus yang pertama. Bukan merupakan keadaan tergesa-gesa, khusus, atau darurat yang membolehkan meninggalkan sesuatu lebih utama kepada yang kurang utama. Tentu saja beliau memikirkan yang terbaik bagi umatnya sepeninggal beliau nanti.
Maka, teranglah bagi kita bahwa pemahaman Syi’ah dengan menggunakan atsar Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma di atas adalah salah.
[Abu Al-Jauzaa’ – 9 Syawwal 1430 H].



[1] Terutama perkataan : “tidak didahului orang-orang terdahulu dan kemudian dalam hal ilmu”.
[2] Yaitu di jaman ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
COMMENTS
Anonim mengatakan...
Ustadz,
Ada yang membantah balik tulisan ini ternyata.
http://second*******
Ada banyak syubhat di situ.
Jazakallahu khairan.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya sudah melihat bantahan itu. Dan jawaban atas bantahan itu adalah tulisan di atas. Dengan kata lain, orang Syi’ah tersebut sebenarnya tidak menjawab apa-apa atas tulisan di atas. Jika saya rangkum dari tulisan saya di atas, maka ada beberapa point pokok (dan silakan antum bandingkan dengan keluaran jawaban dari orang Syi’ah tersebut) :
1. Status riwayat tersebut adalah mauquf. Adapun riwayat-riwayat
 semisal yang berisi pujian kepada shahabat tertentu adalah banyak. Sudah saya sebutkan tiga riwayat : pujian shahabat kepada shahabat (Ibnu Mas’ud kepada Ibnu ‘Abbas), pujian tabi’in kepada shahabat (Qabiishah bin Jaabir kepada ‘Umar), dan pujian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat (Mu’adz). 
2. ‘Aliy bin Abi Thaalib mengakui keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum ajma’iin di atas dirinya – karena sebenarnya orang Syi’ah tersebut ingin menonjolkan hal sebaliknya secara ekspilisit.
3. Kenyataan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Abu Bakr sebagai imam shalat menggugurkan anggapan orang Syi’ah, karema imam shalat secara asal dipilih berdasarkan keutamaan dan keilmuan (paling utama dan berilmu). Juga ditunjuknya Abu Bakr dalam menyelesaikan persoalan sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Jika melihat argumentasinya, kita melihat bahwa hujjah-nya berporos pada status Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma sebagai ahlul-bait - yang sesuai aqidah Syi’ah ia adalah hujjah secara mutlak (berdasar hadits tsaqalain). Itu saja. Kemudian ia kembangkan dan berputar-putar kesana dan kemari….sampai akhir pembahasan (yang kita tidak tahu apa sebenarnya inti yang ia bantah kecuali penegasan bahwa Al-Hasan adalah hujjah karena termasuk Ahlul-Bait –
 that’s all).
Adapun ‘aqidah Ahlus-Sunnah terhadap ahlul-bait adalah bahwa kita menghormati ahlul-bait dengan penghormatan lebih/istimewa (namun tanpa ghulluw terhadap mereka) dimana penghormatan kita kepadanya disesuaikan seberapa jauh mereka menetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah. Tentu saja kita menolak ‘aqidah Syi’ah yang semacam itu. Padahal dalam praktek, mereka pun menerapkan hal yang ‘sama’ dengan kita (yaitu Ahlul-Bait itu tidak mempunyai kebenaran secara mutlak). Bukankah mereka mendalilkan bahwa Ahlul-Bait itu adalah ‘Aliy, Fathimah, Al-Hasan, dam Al-Husain berdasarkan hadits
 kisa’ ?. Namun pada kenyataannya mereka mengeluarkan keturunan Al-Hasan bin ‘Aliy sebagai ahlul-bait dan menganggap mereka bukan ‘sumber keselamatan’. Juga, mereka mengeluarkan Zaid bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy dari Ahlul-Bait karena prinsip yang ia pakai tidak sesuai dengan ‘aqidah mereka. Iya apa iya ? Ini membuktikan bahwa Ahlul-Bait pun bukan merupakan kebenaran yang mutlak. Jadi, ini bukan karena Ahlus-Sunnah tidak pernah bisa memahami hadits Tsaqalain.
Kalau pun toh hadits ini boleh kita pahami sebagaimana yang mereka pahami, maka ada hadits serupa yang level keshahihannya sebanding dengan hadits tsaqalain.
 
أوصيكُمْ بتَقوى الله ، والسَّمْعِ والطَّاعةِ ، وإنْ تَأَمَّرَ عَليكُم عَبْدٌ ، وإنَّه من يَعِشْ مِنْكُم بعدي فَسَيرى اختلافاً كَثيراً ، فَعَلَيكُمْ بِسُنَّتِي وسُنَّةِ 
الخُلفاء الرَّاشدينَ المهديِّينَ ، عَضُّوا عليها بالنَّواجِذِ ، وإيَّاكُم ومُحْدَثاتِ الأمور ، فإنَّ كُلَّ بِدعَةٍ ضَلالةٌ
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan.
 Wajib atas kalian berpegang teguh terhadap sunnah-ku dansunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat” [shahih – walau sebagian orang Syi’ah telah berdaya upaya melemahkan hadits ini].
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan dikotomi keistimewaan terhadap Khulafaur-Rasyidin. Bahkan, beliau shallallaahu ‘alaihi w asallam sendiri mengatakan wajib hukumnya (dengan mengunakan kata : fa’alaikum – yang maknanya wajib). Namun kita tidak ghulluw, ….. pada mereka. Ada beberapa ijtihad dari individu Khulafaur-Raasyidin yang tidak kita terima karena diselisihi shahabat lain (tidak terjadi ijma’) dan berselisihan dengan As-Sunnah Ash-Shahiihah. 
Kembali pada permasalahan awal, orang Syi’ah tersebut tidak memahami (- lebih tepatnya : tidak mau tahu) ‘illat perkataan Al-Hasan (dari peristiwa yang melatarbelakanginya), sama seperti kasus hadits manzilah beberapa waktu lalu. Ya karena mereka ingin memaksakan pendapat mereka bahwa ‘Aliy adalah shahabat yang paling berilmu yang tidak akan pernah dicapai generasi awal dan generasi akhir umat manusia.
 
Coba deh bandingkan dengan perkataan Ibnu Mas’ud kepada Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum :
لو أن ابن عباس أدرك أسناننا ما عاشره منا أحدٌ. قال وكان يقول : نعم ترجمان القرآن ابن عباس رضي الله عنه.
“Apabila Ibnu ‘Abbas menjumpai jaman kita, niscaya tidak ada seorang pun di antara kami yang dapat menandingi (ilmu)-nya. Sebaik-baik penerjemah/penafsir Al-Qur’an adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalam Al-‘Ilmu no. 49; Ahmad dalam Fadlaailush-Shahabah no. 1860, 1861, 1863; Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 2/366; dan yang lainnya - shahih].
Perkataan punya dasar berkat oleh doa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma sebagaimana riwayat berikut :
عن ابن عباس قال : كنت في بيت ميمونة ابنة الحارث فوضعت لرسول الله صلى الله عليه وسلم طهوره فقال : من وضع هذا ؟ فقالت ميمونة : عبد الله ، فقال : " اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل "
Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata : “Aku pernah berada di rumah Maimunah binti Al-Haarits. Maka aku ambilkan untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (air) untuk bersuci (thaharah). Beliau pun bertanya : ‘Siapakah yang mengambilkan (air) ini ?’. Maimunah menjawab : ‘Abdullah’. Beliau bersabda : ‘Ya Allah, faqihkan ia dalam agama dan ajarkanlah ilmu ta’wil (tafsir) kepadanya”. [shahih].
Riwayat yang selevel ini pun tidak digubris ma Syi’ah dengan alasan orang yang menyanjung dan yang disanjung bukan Ahlul-Bait. Lha apa iya doa beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam ini gak maqbul ? padahal beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak berdoa semacam ini pada semua shahabat.
 
Dan pemahaman Ahlul-Bait Ahlus-Sunnah memang berbeda dengan Syi’ah Raafidlah (baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html).
 
Dan dengan ini sasaran tembak mereka adalah : ‘Aliy bin Abi Thaalib adalah shahabat yang paling utama – walau mereka malu-malu untuk mengatakan di tulisan tersebut. Padahal ini bertentangan dengan ijma’ konsensus dari para shahabat sendiri – yang tentunya ijma’ mereka didasarkan pada sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan aneh, mereka katakan ini tidak konsisten. Tentu saja, klaim in-konsisten ini mereka katakan dalam upaya mereka menggugurkan keafdlalan Abu Bakr dan ‘Umar di atas ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Telah disebutkan beberapa riwayat shahih perkataan ‘Aliy yang mengunggulkan Abu Bakr dan ‘Umar di atas dirinya. Bahkan disebutkan riwayat ini mutawatir (sebagiannya bisa dilihat di : http://www.alsrdaab.com/vb/showthread.php?t=47487). Hal yang mereka (Syi’ah) tolak mentah-mentah. Dalam beberapa referensi Syi’ah pun terdapat nukilan ‘Aliy bin Abi Thaalib terhadap Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum ajma’in :
إن خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وعمر
“Sesungguhnya sebaik-baik umat ini setelah Nabinya shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakr dan ‘Umar” [Kitaabusy-Syaafiy oleh As-Sayyid Al-Murtadlaa, 2/428].
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
لا أوتى برجل يفضلني على أبي بكر وعمر إلا جلدته حد المفتري
“Janganlah ada seorang laki-laki yang datang kepadaku dengan melebihkanku di atas Abu Bakr dan ‘Umar kecuali akan aku cambuk dia dengan cambukan pada seorang pendusta” [Al-Kisysyiy, biografi no. 257; Mu’jamul-Khuu’iy 8/153, 326; dan Al-Fushuul-Mukhtar hal. 127] – ini diucapkan di atas mimbar Kuffah.
Tapi seperti biasa, riwayat-riwayat itu ditolak oleh kaum Syi’ah Raafidlah dengan alasan : Tidak sesuai dengan keinginan (baca : hawa nafsu) mereka. Katanya, ini adalah riwayat dari orang-orang Ahlus-Sunnah.
Ada selipan dari perkataan orang Syi’ah tersebut bahwa yang dikatakan Ali (tentang keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar di atas dirinya) adalah karena ketawadlu-an semata (bukan hal yang sebenarnya) yang dengan itu orang Syi’ah itu membandingkannya dengan khutbah Abu Bakr; maka ini salah alamat lah. Abu Bakr mengatakan itu dalam konteks yang umum dimana ia berkata :
 
“Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian danbukanlah aku yang terbaik diantara kalian
 maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. 
Ini pembandingan yang bersifat umum. Dan sangat mudah diketahui uslub ini adalah uslub tawadlu’. Kan beda dengan perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalin kepada Abu Bakr dan ‘Umar (dengan segala lafadhnya) dimana penegasan keutamaan ini bersifat mu’ayyan (individu).
Coba antum cermati :
عن عمرو بن حريث، قال : سمعت عليا وهو يخطب على المنبر وهو يقول : ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها، أبو بكر، ألا أخبركم بالثاني فإن الثاني عمر.
Dari ‘Amr bin Hariits, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Aliy berkhutbah di atas mimbar. Ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sebaik-baik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? yaitu Abu Bakr. Maukah aku beritahukan kepada kalian yang kedua ? yaitu ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 398 dengan sanad hasan].
Selain itu, apakah iya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sampai mengancam untuk mencambuk jika hanya sekedar tawadlu’ saja ? Padahal cambuk merupakan bagian dari hukuman fisik (had ataupun ta’zir) yang harus tegak dengan bukti kesalahan. Bukan sekedar perasaan ketawadluan……
Dan juga hujjah keimaman Abu Bakr dalam shalat,……. sudah dituliskan :
 “Mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuk ‘Ali bin Abi Thaalib jika memang ia memiliki keutamaan dan ilmu yang paling tinggi tinggi di antara shahabat ? Tidak ada yang menghalangi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menunjuk ‘Aliy jika memang beliau menghendakinya dan lebih layak dibanding lainnya”.
Saya baca berulang kok nggak nemu jawabannya. Malah orang Syi’ah itu mengalihkan pembicaraan dengan klaim kesimpangsiuran riwayat – katanya. Padahal itu ada dalam Shahihain. Untuk menjelaskan ini tentu memerlukan ruang tersendiri. Jangan heran jika orang Syi’ah mengatakan ‘siampang-siur’ karena semangat yang mereka bawa adalah seperti itu. Beda dengan ahlus-sunnah yang berusaha memahaminya berdasarkan kesemua riwayat (baik dengan melakukan tarjih ataupun jamak).
Kita ambil benang merahnya saja…. bahwa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu dalam sejarah Ahlus-Sunnah dan Syi’ah adalah shahabat yang ditunjuk oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat berjama’ah menggantikan beliau. Cuma, sebagian orang Syi’ah muta’akhkhiriin mengklaim bahwa Abu Bakr maju menjadi imam tanpa seijin beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata :
و إنا نرى أبا بكر أحق الناس بها , إنه لصاحب الغار و ثاني أثنين , و إنا لنعرف له سنه , و لقد أمره رسول الله بالصلاة و هو حي
“Dan kami berpendapat bahwa Abu Bakr lebih berhak dengan kekhalifahan itu. Ia adalah shaahibul-ghaar, orang kedua di antara dua orang (bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Dan sungguh kami tahu akan perihal kehidupannya. Sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkannya untuk mengimami shalat sedangkan beliau waktu itu masih hidup” [Syarh Nahjil-Balaghah oleh Ibnu Abil-Hadiid, 1/332].
Jangan katakan bahwa Ibnu Abil-Hadiid bukan orang Syi’ah, tapi orang Mu’tazillah. Memang benar ia seorang Mu’tazillah. Tapi ia juga dikatakan oleh Al-Qummiy dalam kitab Al-Kunaa wal-Alqaab (1/185) sebagai seorang Syi’iy (yang ber-tasyayyu’). Dan kitabnya ini masyhur di kalangan Syi’ah, baik di dalam ataupun di luar negeri. Disebutkan juga dalam kitab Raudlaatul-Jannaat (5/19) bahwa ia seorang yang mempunyai keutamaan dan beberapa pujian lainnya. Adapun Syarh Nahjul-Balaghah sendiri, dalam situs imamreza (situsnya orang Syi’ah) disebut sebagai syarah paling lengkap tentang Nahjul-Balaghah.
Itu salah satunya saja…. masih ada nukilan sejarah lainnya yang punya inti sama bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Abu Bakr sebagai imam shalat (nantilah kapan-kapan kita bawakan kembali kalau gak males).
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kembali : Mengapa Nabi tidak menunjuk ‘Ali bin Abi Thaalib sebagai imam jika beliau meyakini beliau adalah orang yang paling berilmu ? Standar yang paling berilmu ini sebagai asal penunjukan imam tetap berlaku hingga sekarang. Tidak peduli apakah ia masih kecil atau lebih muda usia. Hal itu berdasarkan hadits ‘Amru bin Salamah :
كنا بماء ممرِّ الناس وكان يمرّ بنا الرّكبان فنسألهم ما للناس ما للناس؟ ما هذا الرجل؟ فيقولون: يزعم أن الله أرسله، أوحى إليه، أوحى الله بكذا، فكنت أحفظ ذاك الكلام، فكأنما يقرُّ في صدري، وكانت العرب تلوَّم بإسلامهم الفتح فيقولون اتركوه وقومه، فإن ظهر عليهم فهو نبي صادق، فلما كانت وقعة أهل الفتح بادر كل قوم بإسلامهم، وبدر أبي قومي بإسلامهم فلما قَدِمَ قال: ”جئتكم والله من عند النبي صلّى الله عليه وسلّم حقّاً، فقال: ”صلّوا صلاة كذا في حين كذا، وصلّوا صلاة كذا في حين كذا، فإذا حضرت الصّلاة فليؤذن أحدكم، ليؤمكم أكثركم قرآناً“ فنظروا فلم يكن أحد أكثر قرآناً منّي، لِمَا كنت أتلقَّى من الركبان، فقدّموني بين أيديهم، وأنا ابن ست أو سبع سنين، وكانت عليَّ بردة، كنت إذا سجدت تقلصت عني، فقالت امرأة من الحي: ألا تغطون عنا است قارئكم؟ فاشتروا فقطعوا لي قميصاً فما فرحت بشيء فرحي بذلك القميص
“Kami pernah berada di sumber air yang dilewati banyak orang.
Waktu itu para pengendara dalam perjalanan melewati sumber air kami. Kami bertanya pada mereka : “Ada apa dengan orang banyak ? Ada apa dengan orang banyak ? Siapakah laki-laki itu (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) ?”. Mereka menjawab : “Ia adalah seorang laki-laki yang mengaku diutus sebagai seorang Rasul dan mendapat wahyu begini dan begini”. Aku lalu menghafal betul ucapan tersebut sehingga seolah-olah terpatri dalam dadaku. Dan orang-orang Arab menunggu untuk masuk Islam bila terjadi penaklukkan kota Makkah. Mereka berkata : “Tinggalkan saja dia dan kaumnya. Kalau dia berhasil menaklukkan mereka, berarti dia seorang Nabi yang sebenarnya. Ketika terjadi penaklukkan kota Makkah, mereka berlomba-lomba masuk Islam. Ayahku sendiri mendahului kaumnya masuk Islam. Ketika dia (ayahku) datang dari kota Makkah, dia berkata : Sungguh kami datang dari sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Lakukanlah shalat ini di waktu ini, lakukanlah shalat itu di waktu itu. Bila datang waktu shalat, hendaknya salah seorang di antara kalian menjadi muadzin, dan yang menjadi imam adalah orang yang terbanyak hafalan Al-Qur’annya”. Lalu mereka saling meneliti. Ternyata, tidak ada seorang pun yang banyak hafalan Al-Qur’annya lebih banyak dariku, karena sudah banyak mendapatkan hafalan dari para pengendara dahulu.Mereka pun mengajukan diriku sebagai imam bagi mereka, padahal aku berumur enam atau tujuh tahun. Dan aku di waktu itu mengenakan burdah (semacam pakaian), yang bila aku sujud, kain burdahku itu tertarik ke atas. Ada seorang wanita dusun berkata kepadaku : “Kenapa kalian tidak menutupi pantat imam kalian itu ?”. Mereka pun membeli bahan pakaian sebagai gamis untukku. Belum pernah aku bergembira lebih dari kegembiraanku ketika mendapatkan gamis itu”.
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan tambahan :
فما شهدت مجمعاً من جرم إلا كنت إمامهم وكنت أصلي على جنائزهم إلى يومي هذا
“Setiap kali aku berkumpul dengan sekelompok kaum muslimin, pasti aku dipilih sebagai imam mereka. Dan aku terbiasa menshalatkan jenazah-jenazah sebagai imam hingga hari ini” [HR.
Al-Bukhari dalam kitab Al-Maghazi no. 4302. Tambahan dari Sunan Abi Dawud nomor 585 (lihat pula no. 587)].
Hadits di atas hanya memperjelas hadits ‘persyaratan’ imam shalat yang telah disebutkan dalam artikel di atas.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Selanjutnya dalam penunjukkan Abu Bakr dalam menyelesaikan permasalahan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kalau orang Syi’ah tersebut menolak bahwa penunjukkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakr adalah karena pertimbangan keutamaan dan keilmuannya, pertanyaan menggelitiknya adalah : ”Mengapa beliau tidak menunjuk ‘Aliy bin Abi Thaalib sepeninggal beliau jika memang ilmu ‘Aliy itu tidak tertandingi atas semua shahabat”.
Ini juga tidak kita temukan jawabannya dari orang Syi’ah tersebut.
Apalagi Abu Bakr – dalam riwayat tersebut - ghaib (tidak ada) di tempat itu. Jadi penunjukkan itu bukan sekedar penyanjungan semata, tapi memang bersifat seperti wasiat (dari orang meninggal kepada yang hidup). Dan justru ketika tidak disebut urusan apa yang wanita tersebut harus diselesaikan dengan Abu Bakr sepeninggal Nabi, maka dapat kita pahami bahwa urusan ini bersifat umum. Konsekuensinya, penunjukkan Abu Bakr pada urusan yang bersifat umum sepeninggal beliau menunjukkan bahwa Abu Bakr memiliki keutamaan dalam hal ilmu yang bersifat umum pula.
 
Itu saja yang dapat saya jawab secara singkat (walau gak kerasa panjang juga). Saya gak jawab kalimat demi kalimat orang Syi’ah tersebut, namun saya hanya menanggapi inti pokok dan benang merahnya saja. Wallaahu a’lam.
imem mengatakan...
Mantab Ustadz, anehnya orang syi'ah itu suka marah kalau dirinya disebut syi'ah padahal orang awwam spt saya saja dengan mudah bisa menilai bahwa dia itu syi'i sejati hahaha. kalau sekedar bilang di mulut "saya bukan syi'ah" mah gampang, tapi dlm prakteknya dia seringkali telah mengungkap jati dirinya sendiri dg totally sampai hal sekecil-kecilnya.. lihat saja ustadz artikel dia yg berjudul "kepalsuan pasien terakhir" jelas sekali dia pro ama nikah mut'ah dan artikel2nya yg laen sangat sangat membela hampir semua keyakinan syi'ah.. lha kok msh juga ga mau disebut syi'ah tho.. hahaha lucu & konyol bener.
kembali pada jawaban dia thd artikel ustadz, ttg Abu Bakar Radhiyallahu Anhu yang memimpin sholat menggantikan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, dia jelas ga bisa membantah soal keshahihan hadits2 tsb, makanya dia cari2 alasan untuk melemahkan dg mengatakan bahwa riwayat2 mengenai hal tsb "simpang siur" bener kata ustadz, itu mmg perlu tmpt trsendiri utk membahasnya, tetapi yang jelas jawaban orang syi'ah tsb tidak bisa menafikan sedikitpun bahwa Abu Bakar lah yang ditunjuk menjadi Imam Shalat, yang menunjukkan bahwa beliau ilmunya di atas sahabat yang lain. hahaha.
Barokallahu fiik ustadz.
Anonim mengatakan...
Assalamualaikum ustadz,
Sesungguhnya saya adalah orang pengetahuan agamanya masih rendah.
 
kalau membaca al bidayah kulafaurrasyidin, kita akan tahu kecenderungan buruknya pemerintahan uthman saat beliau berangkat tua. Dan saat itu imam aliy kelihatan lebih baik.
Mohon pencerahan atas kebodohan saya ini.
Anonim mengatakan...
kalo ini gmn ust, mohon tanggapan :
Rasulullah saw berkata kepada Sayidah Fatimah az-Zahra as: “wahai Fatimah, apakah kamu tidak rela kalau suamimu adalah sebaik-baiknya umatku, yang masuk islam terlebih dahulu,
 paling banyak ilmunya, dan paling bijak dan sabar dari umatku.”{al-Khatib al-Khawarizumi didalam al-Manaqib halaman 106 hadis 111)
Anonim mengatakan...
Benarkah Ali lahir di dalam ka'bah ?? seperti banyak di sebut-sebut sebagian umat ini .
Jawab ya stadz .....
Anonim mengatakan...
kayanya ilmu ali sama abu bakar dan umar sebanding, tapi kan kalo semuanya sebanding yang paling tua di dahulukan