Monday, September 1, 2014

Sejarah Berdarah Daulah Shafawi Rafidhi (Cikal Bakal Republik Syi’ah Iran)

Mei 20, 2014
Sejarah Berdarah DaulahShafawi Rafidhi
Memaksa Muslimin Menjadi Rafidhah & Bersekutu Dengan Salibis Memerangi Daulah Islam Turki Utsmani
Dalam perjalanan sejarah Islam terdapat beberapa negeri yang memiliki pemikiran yang menyimpang dan melakukan kekerasan terhadap umat Islam untuk memaksakan pemikiran mereka. Seperti yang dilakukan negeri-negeri berpaham Syiah semisal; Daulah Fatimiyah, Qaramithah, Buwaihiyah, dan Shafawiyah. Cara negeri-negeri ini bergaul dengan masyarakat Islam yaitu dengan cara permusuhan, menolak pemikiran-pemikiran pihak lain dengan kekerasan dan terorisme, siapa saja yang menolak pemikiran mereka, maka kematian adalah jawaban yang tak terbantahkan. Selain itu, negara-negara ini tidak malu-malu menjalin aliansi dengan negara-negara Salib saat Perang Salib antara muslim dan Kristen sedang berkecamuk.
Oleh karena itu, apa yang hendak kami sampaikan ini sangat penting untuk kita petik hikmahnya agar kita bisa memahami realitas kekinian dengan membandingkan apa yang terjadi pada sejarah kita. Tidak diragukan lagi, dan kita melihat dengan mata kepala kita bahwa apa yang terjadi di masa lampau terulang kembali di era modern ini. Sulit bagi kita memahami apa yang terjadi saat ini, kecuali dengan membandikannya dengan peristiwa-peristiwa di masa lalu yang mirip keadaannya dengan masa kini.
Jika kita mendalami sejarah, maka kita bisa menentukan sikap dimana kita akan meletakkan kaki kita. Dengan memahami sejarah Daulah Shafawi, maka kita bisa melihat negara mana di era modern ini yang rekam jejaknya mirip dengan Daulah Shafawi.
Siapakah Yang Disebut Shafawi?
Nasab orang-orang Shafawi merujuk kepadaShafiyuddin Ishaq al-Arbadili (650-735 H/1251-1334 M), ia adalah kakek kelima dari Syah Ismail as-Shafawi, pendiri Daulah Shawafiyah di Iran. Ardabil adalah sebuah wilayah yang terletak di Azerbaijan. Wilayah itu banyak dihuni oleh orang-orang Turki dan Armenia atau secara umum bangsa Turk menghuni daerah tersebut.
Sebagian orang menyatakan bahwa nasab Shafiyuddin Ishaq al-Arbadili sampai kepada salah seorang putra ahlul bait, Musa bin Ja’far rahimahullah, orang Syiah menyebut beliau dengan Imam Musa al-Kazhim. Namun pendapat ini disanggah oleh para sejarawan dengan beberapa alasan:
- Istri dari Shafiyuddin Ishaq al-Ardabili, yang merupakan kerabatnya yang paling dekat tidak mengetahui nasab suaminya sampai kepada Musa al-Kazhim ‘alaihissalam(Tarikh ash-Shafawiyin wa Hadharatihim, Hal: 29).
- Para sejarawan Syiah di masa hidup Shafiyuddin Ishaq al-ardabili, tidak pernah menuliskan bahwa ia termasuk ahlul bait dari keturunan Musa bin Ja’far (Shilatun baina Tasawwuf wa Tasyyau’, Hal: 140.).
- Penulis-penulis pada masa Daulah Shafawi menisbatkan nasab Shafiyuddin Ishaq kepada Husein bin Ali bin Abi Thalib, namun anaknya, Musa bin Shafiyuddin Ishaq, tidak tahu nasab ayahnya ini terhubung ke Husein atau Hasan.
- Pengakuan nasab tersebut hanya bertujuan politis untuk menjadi penguasa dan mendapat simpatik rakyat.
Berdirinya Kerajaan Shafawi, Rakyat Dipaksa Menjadi Syiah
Sebelum Daulah Syiah Shafawi berkuasa di Iran, wilayah tersebut dikuasai oleh orang-orang Mongol Dinasti Ilkhan. Madzhab resmi negeri ini adalah Ahlussunnah namun sudah terkontaminasi dengan paham tasawwuf.
Pada masa Shafiyuddin Ishaq, situasi politik di Iran dan sekitarnya dalam kondisi tidak stabil, rakyat merasa tidak puas terhadap pemerintahnya, perbuatan keji tersebar di kalangan penguasa, dll. Syiah membaca hal ini sebagai peluang mereka. Pada awalnya Syiah hanya sebagai gerakan keagamaan, namun pada masa al-Junaid –cucu Shafiyuddin Ishaq- gerakan madzhab ini berubah menjadi gerakan politik dan Sultan Haidar menetapkan bahwa nasab keluarga Shafawi bersambung dengan Musa bin Ja’far al-Kazhim (Tarikh ad-Daulah ash-Shafawiyah fi Iran, Hal: 38).
Deklarasi Syiah sebagai gerakan politik atau pengakuan masuknya kader Syiah dalam ranah politik bertujuan untuk memperluas pengaruh mereka dan sebagai sinyal perlawanan terhadap Dinasti Ilkhan yang mulai sakit. Gerakan perlawanan mereka dimulai pada masa Fairuz Syah yang memimpin revolusi perlawanan terhadap Ilkhan dan puncaknya dicapai pada masa Syah Ismail ash-Shafawi dengan berdirinya Daulah Syiah ash-Shafawi tahun 1501. Saat itulah madzhab resmi Iran berganti menjadi Syiah, dan rakyat dipaksa untuk memeluk pemahaman ini. Syah Ismail tidak peduli bahwa mayoritas rakyatnya adalah orang-orang berpaham Ahlussunnah. Ia mengerahkan seluruh kemampuan dan pengaruhnya untuk memaksa warga beralih madzhab menjadi Syiah.
Tidak berhenti memberlakukan kebijakan tersebut di dalam negerinya, Syah Ismail juga berupaya menyebarkan paham Syiah di Daulah Ahlussunnah seperti Daulah Utsmaniyah. Masyarakat Utsmani menolak keras ajaran Syiah yang pokok pemikirannya adalah mengkafirkan para sahabat Nabi, melaknat generasi awal Islam, meyakini adanya perubahan di dalam Alquran, dll. Ketika Syah Ismail memasuki wilayah Irak, ia membunuhi umat Islam Ahlussunnah, menghancurkan masjid-masjid, dan merusak pekuburan.
Pemimpin Utsmaniyah, Sultan Salim, menanggapi serius upaya yang dilakukan oleh Syah Ismail terhadap rakyatnya. Pada tahun 920 H/1514 M, Sultan Salim membuat keputusan resmi tentang bahaya pemerintah Iran ash-Shafawi. Ia memperingatkan para ulama, para pejabat, dan rakyatnya bahwa Iran dengan pemerintah mereka ash-Shafawi adalah bahaya nyata, tidak hanya bagi Turki Utsmani bahkan bagi masyarakat Islam secara keseluruhan. Atas masukan dari para ulama, Sultan Salim mengumumkan jihad melawan Daulah Shafawiyah. Sultan Salim memerintahkan agar para simpatisan dan pengikut Kerajaan Shafawi yang berada di wilayahnya ditangkap dan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat dijatuhi sangsi hukuman mati (Juhud al-Utsmaniyin li Inqadz al-Andalus).
Persekutuan Daulah Shafawiyah dengan Pasukan Salib Melawan Umat Islam
Peperangan antara Daulah Syiah Shafawi dengan umat Islam yang diwakili Turki Utsmani pun benar-benar terjadi. Sadar bahwa Turki Utsmani begitu besar untuk ditaklukkan, ash-Shafawi menjalin sekutu dengan orang-orang kafir Eropa yakni orang Kristen Portugal kemudian Kerajaan Inggris. Di antara poin kesepatakan kedua kelompok ini adalah Portugal membantu Shafawi dalam perang terhadap Bahrain, Qathif, dan Turki Utsmani.
Panglima Portugal, Alfonso de Albuquerque, mengatakan, “Saya sangat menghormati kalian atas apa yang kalian lakukan terhadap orang-orang Nasrani di negeri kalian. Sebagai balas jasa, saya persiapkan armada dan tentara saya untuk kalian dalam menghadapi Turki Utsmani di India. Jika kalian juga ingin menyerang negeri-negeri Arab atau Mekah, saya pastikan pasukan Portugal ada di sisi kalian, baik itu di Laut Merah, Teluk Aden, Bahrain, Qathif, atau di Bashrah, Syah Ismail akan melihat saya di Pantai Persia dan saya akan melakukan apa yang dia inginkan.” (Qira-ah Jadidah di Tarikh al-Utsmaniyin).
Tawaran kerja sama Portugal ini bukanlah sesuatu yang tanpa pamrih, mereka menginginkan membangun sebuah pangkalan di Teluk Arab. Bantuan kerja sama militer ini juga menjanjikan pembagian wilayah taklukkan; Shafawi mendapatkan Mesir dan Portugal diiming-imingi dengan tanah Palestina (Qira-ah Jadidah di Tarikh al-Utsmaniyin). Pasukan Salib Portugal mengtahui, bekerja sama dengan negeri-negeri muslim Teluk atau mengadakan kontak senjata dengan mereka akan berbuah kegagalan terhadap misi mereka. Shafawi adalah pilihan tepat bagi mereka untuk masuk memuluskan misi mereka di dunia Arab.
Selain bekerjasama dengan Portugal, Shafawi juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Inggris untuk memerangi umat Islam di Irak. Di Irak mereka membunuh 7000 warga Ahlussunnah dari Suku Kurdi, melarang mereka menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan memaksa umat Islam di sana untuk berhaji ke Kota Masyhad, Iran, kota yang mereka yakini tempat kelahiran imam mereka, Imam Ali bin Musa ar-Ridha.
Inilah fakta yang terjadi, dibalik slogan-slogan persatuan ternyata ada tikaman dari belakang. Di balik kesan pahlawan, Syiah bagaikan serigala yang mengindati domba-domba yang akan dimangsa.
Pelajaran:
Sejarah mengajarkan kepada kita sebuah pengalaman berharga, betapa orang-orang Syiah melalui Daulah Shafawiyah (dan Daulah Fatimiyah, Qaramithah, dll) menaruh kebencian terhadap umat Islam. Mereka tidak pernah mengumandangkan jihad terhadap tentara salib berbeda halnya dengan umat Islam, mereka benar-benar menunjukkan permusuhan, melakukan pembunuhan dan pengrusakan, serta mengumandangkan peperangan. Sebaliknya mereka menjalin hubungan yang harmonis dengan pasukan salib dan Yahudi, bahkan terhadap orang-orang majusi penyembah api.
Hal serupa kita dapatkan di era modern ini, dimana kerajaan Shafawi modern, Republik Syiah Iran, melakukan hal yang sama dengan pendahulunya. Mereka berteriak-teriak lantang memerangi Amerika dan Israel, tapi tidak pernah kita dapati mereka berperang melawan Amerika dan Yahudi di Palestina. Sementara ribuan bahkan jutaan Ahlussunnah mereka bunuh. Dengan kekuatan media, mereka putar balikkan fakta bahwa negara-negara Ahlussunnah lah yang menjadi kaki tangan Barat Amerika dan pelindung Israel.
Pelajaran lainnya adalah Syiah selalu memanfaatkan instabilitas politik di suatu negeri untuk mencuri kekuasaan. Mereka memanfaatkan status ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahnya dengan iming-iming perubahan dan janji manis, namun kenyataannya jauh lebih parah dari yang kita bayangkan. Semoga Allah senantiasa melindungi negeri kita dari maker-makar yang dibuat oleh orang-orang Syiah..
Sumber:
– Tarikh ad-Daulah ash-Shafawiyah di Iran
– Majalah al-Furqon al-Kuwaitiyah, dll.
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel KisahMuslim.com


Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Besar Islam, Penumpas Syi’ah Penakluk Jerusalem

Mei 13, 2014
Kali ini kita akan bercerita tentang seorang laki-laki mulia dan memiliki peranan yang besar dalam sejarah Islam, seorang panglima Islam, serta kebanggaan suku Kurdi, ia adalah Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin al-Ayyubi atau juga Saladin. Ia adalah seorang laki-laki yang mungkin sebanding dengan seribu laki-laki lainnya.
Asal dan Masa Pertumbuhannya

tikrit
Shalahuddin al-Ayyubi adalah laki-laki dari kalangan ‘ajam (non-Arab), tidak seperti yang disangkakan oleh sebagian orang bahwa Shalahuddin adalah orang Arab, ia berasal dari suku Kurdi. Ia lahir pada tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, kota yang terletak antara Baghdad dan Mosul. Ia melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam yang bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan lain-lain.
Karena suatu alasan, kelahiran Shalahuddin memaksa ayahnya untuk meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa kelahiran anaknya ini menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu ada orang yang menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”
Dari Tikrit, keluarga Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah, Najmuddin Ayyub tinggal bersama seorang pemimpin besar lainnya yakni Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki memuliakan keluarga ini, dan Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar menunggang kuda, menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran, menghafal hadis-hadis Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.
Diangkat Menjadi Mentri di Mesir
Sebelum kedatangan Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah. Kemudian pada masa berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai digoncang pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan, dan Maroko menginginkan adanya revolusi. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman Shalahuddin, melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini, ia berpandangan penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib.
Nuruddin benar-benar merealisasikan cita-citanya, ia mengirim pasukan dari Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin Syirkuh untuk membantu keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir. Mengetahui kedatangan pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di Mesir pun lari kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan Shalahuddin hanyalah orang-orang Fathimyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir. Namun tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian Shalahuddin diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.
Selama dua bulan memerintah Mesir, Shalahuddin membuat kebijakan-kebijakan progresif yang visioner. Ia membangun dua sekolah besar berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ia tujukan untuk memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah Mesir. Hasilnya bisa kita rasakan hingga saat ini, Mesir menjadi salah satu negeri pilar dakwah Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Kebijakan lainnya yang ia lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah Fathimiyah dengan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat.
Menaklukkan Jerusalem
Persiapan Shalahuddin untuk menggempur Pasukan Salib di Jerusalem benar-benar matang. Ia menggabungkan persiapan keimanan (non-materi) dan persiapan materi yang luar biasa. Persiapan keimanan ia bangun dengan membersihkan akidah Syiah bathiniyah dari dada-dada kaum muslimin dengan membangun madrasah dan menyemarakkakn dakwah, persatuan dan kesatuan umat ditanamkan dan dibangkitkan kesadaran mereka menghadapi Pasukan Salib. Dengan kampanyenya ini ia berhasil menyatukan penduduk Syam, Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari persiapan non-materi ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama dan memiliki landasan keimanan yang kokoh.

Dari segi fisik Shalahuddin mengadakan pembangunan makas militer, benteng-benteng perbatasan, menambah jumlah pasukan, memperbaiki kapal-kapal perang, membangun rumah sakit, dll.
Pada tahun 580 H, Shalahuddin menderita penyakit yang cukup berat, namun dari situ tekadnya untuk membebaskan Jerusalem semakin membara. Ia bertekad apabila sembuh dari sakitnya, ia akan menaklukkan Pasukan Salib di Jerusalem, membersihkan tanah para nabi tersebut dari kesyirikan trinitas.
Dengan karunia Allah, Shalahuddin pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai mewujudkan janjinya untuk membebaskan Jerusalem. Pembebasan Jerusalem bukanlah hal yang mudah, Shalahuddin dan pasukannya harus menghadapi Pasukan Salib di Hathin terlebih dahulu, perang ini dinamakan Perang Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk menaklukkan Jerusalem. Dalam perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000 pasukan yang terdiri dari para ulama dan orang-orang shaleh, mereka berhasil membunuh 30.000 Pasukan Salib dan menawan 30.000 lainnya.
Setelah menguras energy di Hathin, akhirnya kaum muslimin tiba di al-Quds, Jerusalem, dengan jumlah pasukan yang besar tentara-tentara Allah ini mengepung kota suci itu. Perang pun berkecamuk, Pasukan Salib sekuat tenaga mempertahankan diri, beberapa pemimpin muslim pun menemui syahid mereka –insya Allah- dalam peperangan ini. Melihat keadaan ini, kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera menaklukkan Pasukan Salib.
Untuk memancing emosi kaum muslimin, Pasukan Salib memancangkan salib besar di atas Kubatu Shakhrakh. Shalahuddin dan beberapa pasukannya segera bergerak cepat ke sisi terdekat dengan Kubbatu Shakhrakh untuk menghentikan kelancangan Pasukan Salib. Kemudian kaum muslimin berhasil menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.
Pasukan Salib mulai terpojok, merek tercerai-berai, dan mengajak berunding untuk menyerah. Namun Shalahuddin menjawab, “Aku tidak akan menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani, sebagaimana mereka dahulu tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika menaklukkan Jerusalem)”. Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran, mengancam “Jika kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami, maka kami akan bunuh semua tahanan dari kalangan umat Islam yang jumlahnya hampir mencapai 4000 orang, kami juga akan membunuh anak-anak dan istri-istri kami, menghancurkan bangunan-bangunan, membakar harta benda, menghancurkan Kubatu Shakhrakh, membakar apapun yang bisa kami bakar, dan setelah itu kami akan hadapi kalian sampai darah penghabisan! Satu orang dari kami akan membunuh satu orang dari kalian! Kebaikan apalagi yang bisa engkau harapkan!” Inilah ancaman yang diberikan Pasukan Salib kepada Shalahuddin dan pasukannya.

Shalahuddin pun mendengarkan dan menuruti kehendak Pasukan Salib dengan syarat setiap laki-laki dari mereka membayar 10 dinar, untuk perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Pasukan Salib pergi meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum muslimin berhasil membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.
Shalahuddin memasuki Jerusalem pada hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2 Oktober 1187, kota tersebut kembali ke pangkuan umat Islam setelah selama 88 tahun dikuasai oleh orang-orang Nasrani. Kemudian ia mengeluarkan salib-salib yang terdapat di Masjid al-Aqsha, membersihkannya dari segala najis dan kotoran, dan mengembalikan kehormatan masjid tersebut.

Wafatnya Sang Pahlawan
Sebagaimana manusia sebelumnya, baik dari kalangan nabi, rasul, ulama, panglima perang dan yang lainnya, Shalahuddin pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini. Ia wafat pada usia 55 tahun, pada 16 Shafar 589 H bertepatan dengan 21 Febuari 1193 di Kota Damaskus. Ia meninggal karena mengalami sakit demam selama 12 hari. Orang-orang ramai menyalati jenazahnya, anak-anaknya Ali, Utsman, dan Ghazi turut hadir menghantarkan sang ayah ke peristirahatannya. Semoga Allah meridhai, merahmati, dan  membalas jasa-jasa engkau wahai pahlawan Islam, sang pembebas Jerusalem.
Sumber:
Shalahuddin al-Ayyubi Bathalu al-Hathin oleh Abdullah Nashir Unwan
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Basim al-Usaili
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Abu al-Hasan an-Nadawi
Islamstroy.com
Ditulis oleh Nurfitri Hadi

Dendam Syi’ah Kepada Shalahuddin al-Ayyubi
Mei 13, 2014
Orang-orang Syiah belum lupa bahwa Shalahuddin al-Ayyubi adalah orang yang telah melenyapkan Daulah Fathimiyah (kerajaan Syiah) di Mesir, dan kembali memberikan tempat bagi Ahlussunnah wal Jamaah. Karena itulah mereka berulang kali berusaha untuk membunuhnya, untuk mendirikan Daulah Fathimiyah yang baru. Dan dalam semua konspirasi ini mereka meminta bantuan kepada orang-orang asing serta berkirim surat kepada mereka.
Al-Maqrizi berkata dalam as-Suluk, “Pada tahun 559 H, sekelompok penduduk Mesir berkumpul untuk mengangkat salah seorang anak al-Adhid –khalifah terakhir Fathimiyah – dan membunuh Shalahuddin al-Ayyubi, serta mengirimkan surat kepada orang-orang asing guna meminta bantuan dari mereka. Di antara mereka adalah; al-Qadhi al-Mufaddhal Dhiya’uddin Nasrullah bin Abdullah bin Kamil al-Qadhi, Syarif al-Julais, Najah al-Hamami, al-Faqih Imarah bin Ali al-Yamani, Abdusshamad al-Katib, al-Qadhi al-A’az Salamah al-Uwairis seorang ketua pelaksan Dewan Konsiderasi dan Kehakiman, dai terkenal Abdul Jabir bin Islamil bin Abdul Qowi, dan Wa’iz Zainuddin bin Naja. Wa’iz melaporkan mereka kepada sultan (Shalahuddin) dan meminta padanya untuk memberikan semua yang ada pada Ibnu Kamil ad-Da’i berupa jabatan dan semua fasilitas. Permintaannya itu dikabulkan, kemudian orang-orang tersebut dikepung dan semuanya dihukum gantung. Shalahuddin mulai mengawasi setiap orang yang mempunyai ambisi untuk membangun kembali Daulah Fathimiyah.
Shalahuddin menghukum mati dan menahan banyak orang hingga ia disarankan agar memberangkatkan seluruh pasukan dan pegawai istana serta panglima tentara Sudan ke wilayah dataran paling tinggi. Ia juga menangkap seorang laki-laki beranama Qadid pada tanggal 15 Ramadhan. Qadid adalah salah seorang propagandis Daulah Fathimiyah di Alexandria.” (as-Suluk li Ma’rifati Duwal al-Muluk, 1: 53-54).
Meskipun para penghianat yang telah mengadakan konspirasi telah dihukum mati, tetapi orang-orang asing tetap datang sesuai dengan hasil korespondensi yang telah dilakukan di antara mereka sebelumnya.
Al-Maqrizi berkata, “Pada bulan Dzulhijjah di tahun yang sama, armada tentara asing (Imarah al-Yamani) tiba-tiba berlabuh di Shaqaliah melalui pelabuhan Alexandria. Orang yang telah mempersiapkan armada ini adalah Ghalyalam bin Rajar, penguasa Shaqaliyah yang berkuasa pada tahun 560 H. Ketika armada pasukan ini berlabuh di dermaga, mereka menurunkan 1500 kavaleri dari kapal-kapal perang mereka. Jumlah mereka adalah 30.000 prajurit, terdiri dari pasukan berkuda dan pejalan kaki. Jumlah kapal yang mengangkut peralatan perang dan blokade sebanyak enam kapal, dan yang mengangkut logistik dan para personil sebanyak empat puluh kapal perang, jumlah mereka kira-kira 50.000 pejalan kaki.
Mereka berlabuh dekat mercusuar dan menyerang kaum muslimin sampai mendesak mereka ke as-Sur. Jumlah kaum muslimin yang terbunuh sangat banyak. Kapal-kapal perang asing bergerak secara perlahan-lahan ke pelabuhan, sementara di sana terdapat kapal-kapal kaum muslimin, kemudian mereka menenggelamkannya. Mereka berhasil menguasai pantai dan membuat perkemahan di sana. Jumlah perkemahan mereka mencapai 300 buah kemah, mereka terus bergerak untuk mengepung seluruh negeri, dan memasang tiga buah manjanik untuk menghancurkan benteng. Saat itu Shalahuddin sedang berada di wilayah Faqus dan baru mendapat berita tentang penyerangan musuh ini setelah tiga hari. Ia mulai menyiapkan pasukan dan membuka pintu gerbang. Kaum muslimin menyerang orang-orang asing dan membakar peralatan perang mereka. Allah menolong kaum muslimin dengan perantara bantuan Shalahuddin.

Orang-orang asing banyak terbunuh dan kaum muslimin mengambil peralatan perang mereka sebagai ghanimah. Sebagian dari mereka yang selamat kembali berlayar melarikan diri.
Seandainya Allah tidak memberikan pertolongan-Nya kepada Shalahuddin dan kaum muslimin yang bersamanya tentulah akan semakin banyak jiwa yang dikorbankan dan darah yang mengalir. Semua ini tidak lain adalah upaya balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang Syiah terhadap Shalahuddin yang menghancurkan kerajaan mereka, Daulah Fathimiyah.
Al-Maqrizi mengatakan, “Pada tahun 570 H, Kanzuddaulah pemimpin Uswan mengumpulkan orang-orang Arab dan Sudan menuju Kairo. Ia berencana mengembalikan eksistensi Daulah Fathimiyah. Demi mengumpulkan orang-orang tersebut, Kanzuddaulah rela mengeluarkan uang yang banyak. Orang-orang yang bersamanya adalah orang-orang Syiah yang mempunyai cita-cita yang sama dengannya. Mereka pun berhasil membunuh beberapa orang pejabat Shalahuddin.
Di Desa Thud, muncul seorang laki-laki yang bernama Abbas bin Syadi, dia berhasil merebut wilayah Qush dan merampas harta kekayaannya. Shalahuddin menyiapkan saudaranya Sulta Adil dengan pasukan yang besar untuk menghancurkan gerakan Abbas bin Syadi (as-Suluk li Ma’rifati Duwal al-Muluk, 1: 57-58).
Penghianatan ini bukan hanya sekedar berusaha membunuh Shalahuddin saja, tetapi juga berakibat semakin berbahayanya orang-orang asing yang berada di wilayah Syam. Ibnu Katsir berkata, “Tahun 570 H telah tiba, Shalahuddin al-Ayyubi berencana datang ke wilayah Syam untuk melindungi daerah tersebut dari serangan orang-orang asing, namun ternyata ia mendapatkan suatu permasalahan yang mengakibatkan keinginannya berubah. Alasannya karena orang-orang asing telah datang ke pesisir Mesir dengan armada yang sangat banyak, peralatan perang yang lengkap, dan pasukan yang besar.
Alasan lainnya yang menghalangi keberangkatan Shalahuddin menuju Syam adalah seorang laki-laki yang dikenal dengan al-Kanz, sebagian orang lainnya menyebutnya dengan Abbas bin Syadi, seorang panglima militer Daulah Fathimiyah. Dia dihubungkan dengan suatu wilayah yang bernama Aswan, di sana ia berhasil mempengaruhi masa untuk turut mendukungnya. Abbas bin Syadi sangat yakin bahwa ia akan berhasil mengembalikan eksistensi Daulah Fathimiyah (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 287-288).
Ketika negara telah tenang kembali dan tidak ada pemimpin dari Daulah Fathimiyah di sana, Shalahuddin muncul bersama pasukan Truki menuju wilayah Syam. Kedatangannya ke Syam bertujuan menguatkan persaatuan, berbuat baik kepada penduduknya, melawan orang-orang yang zalim, menegakkan syiar Islam di bumi Syam, mengembalikan keagungan Alquran, dan memberantas aliran dan sekte yang menyimpang, yang mana hal ini mulai menurun kualitasnya setelah Nuruddin Mahmud bin Zanki wafat.
Pada tanggal 14 Dzulhijjah 571 H, beberapa orang Syiah Ismailiyah berusaha melawan Shalahuddin. Setelah orang-orang ini melukai beberapa pejabat, Shalahuddin berhasil mengalahkan mereka (as-Suluk li Ma’rifati Dual al-Muluk, 1: 61).
Pada tahun 584 H, dua belas orang Syiah memberontak di malam hari. Mereka berteriak-teriak dengan mengatakan, “Wahai keturunan Ali! Wahai keturunan Ali!” Mereka melewati jalan-jalan sambil berteriak seperti itu, dengan melakukan itu mereka mengira pejabat negara akan memenuhi ajakan mereka. Cita-cita mereka satu, agar Daulah Fathimiyah tegak kembali. Untuk membuat suasana mencekam dan merusak stabilitas keamanan, mereka mengeluarkan orang-orang yang ada di penjara (as-Suluk li Ma’rifati Dual al-Muluk, 1: 101).
Sumber: Pengkhianatan-Pengkhianatan Syiah oleh Imad Ali Abdu Sami’.
Artikel KisahMuslim.Com

Benarkah Syi’ah Rafidhah (Iran dan Sekutunya) Peduli Pada Palestina? [Inilah Faktanya]

Juli 18, 2014
Selama ini para agamawan Syiah di Iran terlihat menggebu-gebu dan penuh semangat membahas konflik di Palestina, demikian juga media-media Syiah membesar-besarkan peran Iran sebagai negara yang serius untuk memerdekakan tanah Palestina dan mensucikan Masjid Al Aqsha dari tangan-tangan kotor Yahudi.
Untuk menunjukkan tujuan mulia ini Iran mempersenjatai sebagian faksi-faksi pejuang Palestina, dan setiap tahunnya mengadakan peringatan solidaritasn“Hari Al Quds Internasional”, semua ini untuk menunjukkan betapa pedulinya mereka terhadap konflik Palestina.
Di Indonesia sendiri Syiah melalui organisasi Voice Of Palestina gencar melakukan penggalangan dana dan demonstrasi mendukung kemerdekaan Palestina…  namun apa sebenarnya hakekat dari semua klaim yang diumbar Syiah ini?
-Ironis, Masjid Al Aqsha Ternyata Bukan di Al Quds
Mustahil bagi Syiah untuk membebaskan masjid Al Aqsha karena sebab yang sepele, mereka meyakini bahwa masjid Al Aqsha berada di langit, bukan di Al Quds As Syarif.
Ahli hadits Syiah, Muhammad Baqir Al Majlisi mengatakan: “Dari Abi Abdillah Alaihi As Salam, dia berkata mengenai masjid-masjid yang memiliki keutamaan: Masjidil Haram, Masjid Ar Rasul Shollallahu Alaihi wa Sallam, aku pun bertanya: Apakah Masjid Al Aqsha dijadikan untukmu? Dia menjawab: Masjid Al Aqsha berada di langit, itulah masjid yang Rasul diisra’kan kepadanya, aku berkata: Manusia menyebutnya dengan sebutan Baitul Maqdis, Dia menjawab: Masjid Kufah (Irak) jauh lebih utama darinya.” (Biharul Anwar 405/97)
Sementara Marja’ Syiah Kontemporer, Ja’far Murtadho Al Amili menyatakan: “Bahwa ketika Umar memasuki Baitul Maqdis saat itu disana tidak terdapat masjid sama sekali, apalagi masjid Al Aqsha”. (Shohih Min Siroti An Nabi Al A’dhom 3/137).
Dia juga berkata: “Bahwa masjid Al Aqsha yang terjadi padanya peristiwa Isra’ Rasul, dan mendapatkan berkah dari Allah yang ada di sekitarnya, maka itu berada di langit”. (Shohih Min Siroti An Nabi Al A’dhom 3/106)
Al Amili sendiri mendapatkan penghargaan di Iran atas buku yang dia karang, presiden Iran langsung yang memberikan hadiah penghargaan tersebut  yaitu presiden Ahmadinejad.
Masih banyak dalil-dalil lainnya yang menafikan keberadaan Baitul Maqdis di Palestina menurut Syiah.
-Syiah Sangat Membenci Para Pahlawan Palestina
Semua tokoh besar Islam yang memiliki kaitan langsung dengan Palestina, penaklukan Palestina, dan pembebasan Palestina seperti Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khotthob, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Amru bin Al Ash, Nuruddin Mahmud Zanki dan Shalahuddin Al Ayyubi semoga Allah meridhoi mereka semua.. Semua tokoh ini amat dibenci oleh Syiah dan mereka memendam kedengkian yang mendalam!
-Pembantaian Warga Palestina di Lebanon
Jika mereka memang peduli dan berjuang untuk menolong dan membebaskan Palestina maka tidak mungkin membunuh dan menyembelih warga Palestina dengan sadis di kamp pengungsian Beirut, Lebanon dan juga di Baghdad.
Apakah anda ingat pembantaian Syiah terhadap pengungsi Palestina di Kamp Shabra Syatila dan Burj Al Barajinah di Beirut di bulan Mei 1985 M.
Para pengkhianat dari Gerakan Amal Syiah dengan bantuan dari saudara mereka Duruz dan Syiah Nushairiyah serta Nashrani melakukan pembantaian paling brutal dalam sejarah Lebanon modern, mereka membunuh laki-laki, wanita dan anak-anak, juga membumihanguskan rumah sakit serta panti jompo tanpa belas kasihan sama sekali. Ingatlah selalu tragedy ini!
*”Korban jiwa yang berjumlah besar dari warga Palestina terbunuh di rumah sakit Beirut, sebagian mayat Palestina tersebut dalam keadaan kepala terpenggal”. (Sunday Telegraf, 27 Mei 1985)
*”Pasukan dari gerakan Amal melakukan pembantaian pada salah satu kamp pengungsi yang berisi ratusan lansia, anak-anak, dan wanita dalam sebuah operasi pembantaian yang keji dan barbar. (Harian Kuwait Al Wathan, 27 Mei 1985)
*”Milisi Amal mengumpulkan puluhan korban luka dan warga sipil selama 8 hari dari pertempuran di kamp 3 dan membunuh mereka”. (Associated Press Agency, 28 Mei 1985)
Inilah kedengkian dan dendam Majusi (Syiah) terhadap Ahlus Sunnah wal Jama’ah sejak pengkhianatan Ibnu Al Alqami hingga Nabih Barri, kemudian mereka justru mengumandangkan: pembebasan Palestina!!
Belum lagi ditambah pembantaian warga Palestina yang berada di Irak selama ekspansi Amerika dan Iran terhadap Irak yang berlangsung dari 2003 – 2006.
Setelah semua fakta yang mengungkapkan bagaimana perlakuan Syiah terhadap Palestina masihkah anda percaya bahwa Syiah peduli Palestina?! (As Syiah wa Filisthin, Ar Rasail Al Bahrainiyah fil Masail As Syi’iyah (34)/iz)
Sumber : Koepas.Org