Tuesday, June 2, 2015

Hadis al-Kisa’

Hadis al-Kisa’:
Syi‘ah menggunakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh majoriti ahli hadis Ahl al-Sunnah untuk menguatkan hujah bahawa para isteri Rasulullah tidak termasuk dalam ayat 33 surah al-Ahzab. Hadis tersebut berasal daripada Umm Salamah radhiallahu ‘anha, beliau berkata:
Diturunkan ayat ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud hendak menghilangkan dosa kamu wahai Ahl al-Bait dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya [al-Ahzab 33:33] di dalamrumah Umm Salamah.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Fathimah, Hasan dan Husain dan menyelimuti mereka dengan kain (Kisa’) manakala ‘Ali berada di belakangnya, lalu diselimuti juga dengan kain.
Kemudian Nabi berdoa: “Ya Allah ! mereka adalah Ahl al-Bait aku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka dengan sebersih-bersihnya.”
Berkata Umm Salamah: “Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?” Rasulullah menjawab: “Engkau tetap pada kedudukan engkau dan engkau selalu dalam kebaikan.”
Syi‘ah menamakan hadis di atas sebagai Hadis al-Kisa’, merujuk kepada kain yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyelimuti ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhum. Bagi Syi‘ah hadis di atas merupakan petunjuk terbaik bahawa para isteri Rasulullah, sama ada Umm Salamah atau selainnya, terkecuali daripada istilah Ahl al-Bait dalam ayat 33 surah al-Ahzab.
Ikuti sentuhan Maulana Asri mengenainya :


Ust Ismail Omar : Perpecahan Golongan Syiah Dalam Menentukan Siapa Imam

Al-Fadhil Ust Ismail Omar dikenali juga sebahgai Ibnu Umar dalam Buk beliau Hukum Ulamak-Ulamak Islam Terhadap Syiah  telah memberi gambarrajah perpecahan golongan Syiah mengenai siapakah Imam mereka :

                                                 
                                    


Mustahil Terjadinya Pendekatan Antara Islam dan Syi’ah

Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Sekte Syi’ah Al Imamiyyah Mustahil Terjadi Pendekatan Antaranya Dengan Prinsip-prinsip Islam Dengan Berbagai Aliran dan Kelompoknya
Mendekatkan pemikiran, kepercayaan, metodologi dan tekad umat Islam merupakan salah satu tujuan syariat Islam, dan termasuk salah satu sarana bagi terwujudnya kekuatan, kebangkitan dan perbaikan mereka. Sebagaimana hal itu merupakan kebaikan bagi tatanan masyarakat dan persatuan umat Islam di setiap masa dan negara. Setiap seruan kepada pendekatan semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, dan pada perinciannya tidak berdampak buruk yang lebih besar dibanding kemaslahatan yang diharapkan- maka wajib hukumnya atas setiap muslim untuk memenuhinya, serta bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.
Beberapa tahun terakhir, seruan semacam ini ramai dibicarakan orang. Kemudian berkembang hingga sebagian mereka terpengaruh dengannya, hingga pengaruhnya sampai ke Universitas Al Azhar -suatu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan terbesar yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat Mazhab Fikih (yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Oleh karenanya Al Azhar mengemban misi “pendekatan” tersebut dalam lingkup yang lebih luas daripada misi yang ia emban dengan tak kenal lelah sejak masa Sholahuddin Al Ayyubi hingga sekarang ini. Oleh karenanya Universitas Al Azhar keluar dari lingkup tersebut kepada upaya mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama Mazhab “Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariyah”. Dalam hal ini, Al Azhar masih berada di awal perjalanan. Oleh karenanya, permasalahan penting ini amatlah perlu untuk dikaji, dipelajari, dipaparkan oleh setiap muslim yang memiliki pengetahuan tentangnya, dan digali segala hal yang berkaitan dengannya serta segala dampak dan risiko yang mungkin terjadi.
Dikarenakan berbagai permasalahan dalam agama amatlah rumit, maka penyelesaiannya pun haruslah dengan cara yang bijak, cerdas dan tepat. Dan hendaknya orang yang mengkajinya pun benar-benar menguasai segala aspeknya, menguasai ilmu agama, bersifat obyektif dalam setiap pengkajian dan kesimpulan, agar solusi yang ditempuh -dengan izin Allah- benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai dampak positif. Hal pertama yang menjadi catatan kami pada perkara ini -juga dalam setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai pihak- ialah: bahwa salah satu faktor terkuat bagi keberhasilannya ialah adanya interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh pihak terkait.
Kita contohkan dengan perkara pendekatan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah, telah dicatat bahwa guna merealisasikan seruan kepada pendekatan antara kedua paham ini didirikanlah suatu lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja negara yang berpaham Syi’ah. Negara dengan paham Syi’ah ini telah memberikan bantuan resmi tersebut hanya kepada kita, padahal mereka tidak pernah memberikan hal tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah memberikan bantuan ini guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di kota Teheran, atau Kum, atau Najef atau Jabal ‘Amil, atau tempat-tempat lain yang merupakan pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah[1].
Dan dari berbagai pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah tersebut -pada beberapa tahun terakhir ini- beredar berbagai buku yang meruntuhkan gagasan solidaritas dan pendekatan, sampai-sampai menjadikan bulu roma berdiri. Di antara buku-buku tersebut adalah buku (Az Zahra) dalam tiga jilid, yang diedarkan oleh ulama’ kota Najef. Pada buku tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan selain dengan air mani kaum laki-laki!!? Buku tersebut berhasil didapatkan oleh Ustadz Al Basyir Al Ibrahimi, ketua ulama’ Al Jazair pada kunjungan pertamanya ke Irak. Kebutuhan jiwa najis yang telah mencetuskan kekejian mazhab semacam ini kepada “Seruan Pendekatan” lebih mendesak dibanding kebutuhan kita sebagai Ahlusunnahkepada seruan semacam ini.
Bila perbedaan paling mendasar antara kita dengan mereka berkisar seputar dakwaan mereka bahwa mereka lebih loyal kepada Ahlul Bait (Ahlul Bait ialah karib kerabat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam -pent) dibanding kita, dan tentang anggapan bahwa mereka menyembunyikan -bahkan-menampakkan- kebencian dan permusuhan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak. Sampai-sampai mereka berani mengucapkan perkataan kotor semacam ini tentang Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Maka obyektivitas sikap mengharuskan agar mereka lebih dahulu mengurangi kebencian dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam dan agar mereka bersyukur kepada Ahlusunnah atas sikap terpuji mereka kepada para Ahlul Bait, dan atas sikap mereka yang tidak pernah lalai dari menunaikan kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (Ahlul Bait), kecuali kelalaian kita dari penghormatan kepada Ahlul Bait yang berupa menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana yang dapat kita saksikan pada berbagai kuburan mereka yang berada di tengah-tengah penganut paham Syi’ah yang hendak diadakan pendekatan antara kita dan mereka.
Interaksi haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak yang hendak dibangun toleransi dan pendekatan antara keduanya. Tidaklah ada interaksi melainkan bila antara positif dan negatif (pro dan kontra) dapat dipertemukan, dan bila berbagai gerak dakwah dan upaya pewujudannya tidak hanya terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Kritikan kami tentang keberadaan lembaga pendekatan tunggal yang berpusatkan di ibu kota negeri Ahlusunnah, yaitu Mesir ini, dan yang tidak diiringi oleh pusat-pusat kota negeri Mazhab Syi’ah, padahal berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah gencar mengajarkannya, dan memusuhi paham lain, berlaku pula pada upaya memasukkan permasalahan ini sebagai mata kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak dilakukan di berbagai perguruan Syi’ah.
Adapun bila upaya ini -sebagaimana yang sekarang terjadi- hanya dilakukan pada satu pihak dari kedua belah pihak atau berbagai pihak terkait, maka tidak akan pernah berhasil, dan tidak menutup kemungkinan malah menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.
Termasuk cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan ialah dimulai dari permasalahan furu’ sebelum membahas berbagai permasalahan ushul (prinsip)!. Ilmu Fikih Ahlusunnah dan Ilmu Fikih Syi’ah tidaklah bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara kedua kelompok. Syariat fikih menurut empat Imam MazhabAhlusunnah tegak di atas dasar-dasar yang berbeda dengan dasar-dasar syariat fikih menurut Syi’ah. Dan selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar hukum ini sebelum menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan furu’, dan selama tidak ada interaktif antara kedua belah pihak dalam hal ini, pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki, maka tidak ada gunanya kita menyia-nyiakan waktu dalam permasalahan furu’ sebelum terjadi kesepakatan dalam permasalahan ushul. Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu ushul fikih, akan tetapi ushul/dasar-dasar agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya yang paling mendasar.
Dipetik dari:
Mungkinkah Syi’ah dan Sunnah Bersatu ?
Penulis: Syaikh Muhibbuddin Al Khatiib
Alih Bahasa: Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA
______________________
[1] Bantuan semacam ini sepanjang sejarah telah mereka lakukan berulang kali, dan berkat para da’i yang mereka utus dengan misi inilah, selatan Irak berubah dari negeri Sunni yang terdapat padanya minoritas Syi’ah menjadi negeri Syi’ah yang padanya terdapat minoritas kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As Suyuthi, ada seorang da’i Syi’ah yang datang dari Iran ke Mesir, dan orang inilah yang diisyaratkan oleh As Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul “Al Hawi Lil Fatawi”, cet Percetakan Al Muniriyyah jilid 1 Hal. 330. Disebabkan oleh da’i asal Iran tersebutlah As Suyuthi menuliskan karyanya yang berjudul “Miftahul Jannah Fil I’itisham Bissunnah.”


Syaikhul Azhar Sayyid Dr. Muhammad Thanthawi ( Dan Lainnya ) : Penghina Istri Dan Sahabat Nabi Keluar dari Islam

Para ulama sepakat, siapa saja yang dengan sengaja menghina dan menjelekkan sahabat Rasulullah maka dia telah dianggap keluar dari Islam.
Seluruh ulama yang hadir dalam kajian Islam ke-14 di Al-Azhar, Kairo, menyepakati pernyataan Syaikhul Azhar Sayyid Dr. Muhammad Thanthawi bahwa siapa saja yang menghina dan menjelekkan sahabat Rasulullah, berarti keluar dari Islam. Pernyataan ini dikemukakan Syeikh Thanthawi pada saat kajian yang mengambil topik “Para Sahabat Rasulullah.”
“Barangsiapa dengan sengaja menghina dan menjelekkan sahabat Rasulullah, maka dia telah dianggap keluar dari Islam. Islam melarang penghinaan semacam itu,” katanya seperti dikutip di Harian Asyarqul Awsath (Arab Saudi) edisi Selasa, (2/3) lalu.
“Para sahabat Rasulullah itu adalah tokoh yang dipuji oleh Allah dan Rasulullah, yang tak layak dicaci dan dihina siapa pun,” lanjutnya.
Dalam makalahnya, Dr. Abdus Salam Al-Ibadi, Menteri Wakaf Yordania sangat pihatin dengan ketegangan yang terjadi antara Syiah dan Suni, khususnya di wilayah negara-negara Teluk. Ia menginginkan adanya pendekatan baru terhadap dua kelompok ini untuk menciptakan perdamaian Islam yang hakiki.
Hal senada dikemukakan Sayid Ali Al-Hasyimi, Ketua Mahkamah Agung Uni Emirat Arab.
Menurutnya, dua kelompok Syiah dan Sunni ini sudah lama hidup berdampingan di Emirat. Selama ini antara Sunnah dan Syiah terjadi perbedaan dalam soal siapa yang lebih utama (mufadhalah) dalam sahabat.
“Masalah ini adalah masalah dzanniyah, bukan qath’i menurut faham ahlussunnah wal jamaah,” katanya, seraya menyitir pendapat yang mengukuhkan pendapat itu, antara lain Imam Baqillani, Imam Haramain, Al-Ghazali, Al-Mawardi, Al-Maziri, Syarif Al-Jurjani, Al-Qurthubi, At-Taftazani, Syahrawardi, Ibnu Hajar Al-Haytsami, dan lain sebagainya.
Syeikh Yahya Ar-Rafi’i, Qadli Besar Libanon yang mewakili Mufti Libanon Syaikh Muhammad Rasyid Al-Qabbani, menyatakan bahwa dialog antara Sunnah dan Syiah hanya mercu suar saja yang tak memiliki dampak apa pun. [Sumber:hidayatullah.com]

Dewan Ulama Senior Saudi: Yang Menghina Istri dan Sahabat Nabi, Kafir!

Dewan Ulama Senior Saudi Sabtu lalu telah mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan barang siapa yang menghina istri-istri Nabi Muhammad atau sahabat Nabi sebagai “orang kafir” dan menegaskan larangan menghinakan tokoh-tokoh umat Islam yang dimuliakan.
Pernyataan, ditandatangani oleh semua anggota dewan, dipimpin oleh Mufti besar kerajaan Syaikh Abdul Aziz Al al-Syaikh, dan memperingatkan bahwa menghina istri nabi atau sahabat nabi adalah serangan langsung tentang Islam.
“Menghormati keluarga nabi dan sahabat nabi merupakan bagian dari Islam dan mereka yang tidak mematuhi ini bukan muslim,” kata pernyataan tersebut.
Pernyataan itu mengutip ayat-ayat dari AlQuran yang menunjukkan kewajiban menghormati istri-istri Nabi Muhammad.
Karena ada beberapa ayat dalam Al-Quran menceritakan tentang istri nabi ummul mukminin Aisyah, dan dirinya patut untuk dihormati dan “siapa pun yang menghina istri nabi berarti telah melanggar perintah Al-Quran dan dengan demikian mereka telah menjadi orang kafir,” menurut pernyataan itu.
Pernyataan itu menambahkan bahwa hal serupa berlaku untuk sahabat nabi karena kedekatan mereka dengan Nabi Muhammad SAW dan wajib umat Islam untuk menghormati sahabat Nabi.
Pernyataan tersebut mengutip sebuah insiden ketika Nabi ditanya tentang perempuan yang paling dekat dalam hatinya dan ia menjawab, Aisyah. Ketika ditanya tentang laki-laki yang terdekat, Nabi menjawab “Ayahnya Aisyah (Abu Bakar).”
Pernyataan dewan ulama senior Saudi ini datang setelah beberapa insiden di mana ulama Syi’ah semakin memperlihatkan ketidakhormatan mereka terhadap Aisyah, Ra dan sahabat nabi. Yang paling terakhir ini adalah kasus ulama Syi’ah Yassir Habib yang kewarganegaraan Kuwaitnya telah dicabut.
Pernyataan tersebut juga menunjuk Aisyah sebagai “Ummul Mukminin,” karena dirinya memiliki pengetahuan yang mendalam dalam urusan agama, dan dalam sejarah Aisyah, Ra dianggap sebagai salah satu yang paling berpengetahuan di mana para sahabat nabi sering meminta nasehatnya.
“Jumlah hadits nabi yang disampaikan oleh Aisyah, Ra adalah yang terbesar di antara seluruh istri nabi,” kata pernyataan itu.
Pernyataan itu juga menyebutkan kejadian di mana Aisyah, Ra telah dituduh berzina sehingga turun beberapa ayat Al-Quran ke atas Nabi Muhammad untuk mengkonfirmasi bahwa Aisyah, ra tidak bersalah serta menetapkan aturan untuk membuktikan kasus seperti itu, harus memiliki empat orang saksi.(fq/aby)


Al Quran Memuliakan Sahabat-sahabt Nabi s.a.w Sedang Syiah Mencelanya ….

Al Quran Memuliakan Sahabat-sahabt Nabi s.a.w
Dr Mohd Asri Zainul Abidin di dalam bukunya Pertelingkahan Para Sahabat Nabi SAW  Antara Ketulinan Fakta dengan Pembohongan sejarah menganalisa tajuk diatas menulis menyangah hujah Syiah yang mencela para sahabat Nabi s.a.w. Berikut ini tulisan beliau :
Sejak kebelakangan ini, beberapa pemikiran yang gawat tentang agama telah mula menyerap secara terang atau senyap ke dalam kefahaman umat Islam di Malaysia. Antaranya pemikiran golongan anti-hadith dan golongan Syi’ah. Kedua-dua puak ini bertemu pada suatu noktah, iaitu menolak kemuliaan dan nilai kebaikan yang dimiliki oleh para sahabat Rasulullah s.a.w. Mereka menyatakan bahawa penolakan mereka terhadap para sahabat kerana berpegangnya mereka kepada al- Quran. Al-Quran bagi mereka, kononnya, menolak para sahabat bahkan memusuhi mereka.
Bagi mengetahui pendirian sebenar Islam terhadap para sahabat Nabi s.a.w., mestilah dirujuk kepada sumber tertinggi dalam al-Din ini. Sumber tertinggi Islam ialah al-Quran dan selepasnya ialah al-Sunnah. Justeru, dalam menilai para sahabat Nabi s.a.w., kita mestilah merujuk al-Quran dan al-Sunnah sebelum melihat sumber yang lain. Namun apakah benar dakwaan yang menyatakan bahawa al-Quran menem- pel$k dan memusuhi para sahabat? Bagi menjawab persoalan ini, di- senaraikan dalil daripada al-Quran yang memperkata tentang martabat dan kedudukan para sahabat Rasullullah s.a.w. Dalam al-Quran dalil- dalil tersebut terlalu banyak, namun bersesuaian dengan ruang yang terbatas ini maka memadailah disenaraikan beberapa dalil yang penting sahaja.
Antaranya saya kutip secara ringkas sahaja tanpa saya masukan huraian kepada ayat-ayat tersebut:
18. Demi sesungguhnya! Allah reda akan orang-orang Yang beriman, ketika mereka memberikan pengakuan taat setia kepadamu (Wahai Muhammad) di bawah naungan pohon (yang termaklum di Hudaibiyah); maka (dengan itu) ternyata apa Yang sedia diketahuiNya tentang (kebenaran iman dan taat setia) Yang ada Dalam hati mereka, lalu ia menurunkan semangat tenang tenteram kepada mereka, dan membalas mereka Dengan kemenangan Yang dekat masa datangnya;
-Al Fath 18
29. Nabi Muhammad (s.a.w) ialah Rasul Allah; dan orang-orang Yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir Yang (memusuhi Islam), dan sebaiknya bersikap kasih sayang serta belas kasihan kasihan sesama sendiri (umat Islam). Engkau melihat mereka tetap beribadat rukuk dan sujud, Dengan mengharapkan limpah kurnia (pahala) dari Tuhan mereka serta mengharapkan keredaanNya. tanda Yang menunjukkan mereka (sebagai orang-orang Yang soleh) terdapat muka mereka – dari kesan sujud (dan Ibadat mereka Yang ikhlas). Demikianlah sifat mereka Yang tersebut di Dalam Kitab Taurat; dan sifat mereka di Dalam Kitab Injil pula ialah: (bahawa mereka diibaratkan) sebagai pokok tanaman Yang mengeluarkan anak dan tunasnya, lalu anak dan tunasnya itu menyuburkannya, sehingga ia menjadi Kuat, lalu ia tegap berdiri di atas (pangkal) batangnya Dengan keadaan Yang mengkagumkan orang-orang Yang menanamnya. (Allah menjadikan sahabat-sahabat Nabi Muhammad, s.a.w dan pengikut-pengikutnya kembang biak serta kuat gagah sedemikian itu) kerana ia hendak menjadikan orang-orang kafir merana Dengan perasaan marah dan hasad dengki – Dengan kembang biaknya umat Islam itu. (dan selain itu) Allah telah menjanjikan orang-orang Yang beriman dan beramal soleh dari mereka, keampunan dan pahala Yang besar.
-Al-Fath 29
10. ……… tidaklah sama di antara kamu, orang-orang Yang membelanjakan hartanya serta turut berperang sebelum kemenangan (Nabi Menguasai Makkah). mereka itu lebih besar darjatnya daripada orang-orang Yang membelanjakan hartanya serta turut berperang sesudah itu. dan tiap-tiap satu puak dari keduanya, Allah janjikan (balasan) Yang sebaik-baiknya. dan (ingatlah), Allah Maha mendalam pengetahuannya akan apa Yang kamu kerjakan.
-Al Hadid 10
100. dan orang-orang Yang terdahulu – Yang mula-mula (berhijrah dan memberi bantuan) dari orang-orang “Muhajirin” dan “Ansar”, dan orang-orang Yang menurut (jejak langkah) mereka Dengan kebaikan (iman dan taat), Allah reda akan mereka dan mereka pula reda akan Dia, serta ia menyediakan untuk mereka Syurga-syurga Yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; itulah kemenangan Yang besar.
-At Taubah 100
8. (pemberian itu hendaklah diuntukkan) kepada orang-orang fakir Yang berhijrah, Yang telah diusir keluar dari kampung halamannya dan harta bendanya (kerana berpegang teguh kepada ajaran Islam), untuk mencari limpah kurnia dari Allah dan keredaanNya, serta menolong (ugama) Allah dan RasulNya; mereka itulah orang-orang Yang benar (imannya dan amalnya).
9. dan orang-orang (Ansar) Yang mendiami negeri (Madinah) serta beriman sebelum mereka, mengasihi orang-orang Yang berhijrah ke negeri mereka, dan tidak ada pula Dalam hati mereka perasaan berhajatkan apa Yang telah diberi kepada orang-orang Yang berhijrah itu; dan mereka juga mengutamakan orang-orang Yang berhijrah itu lebih daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka Dalam keadaan kekurangan dan amat berhajat. dan (ingatlah), sesiapa Yang menjaga serta memelihara dirinya daripada dipengaruhi oleh tabiat bakhilnya, maka merekalah orang-orang Yang berjaya.
10. dan orang-orang (Islam) Yang datang kemudian daripada mereka (berdoa dengan) berkata: “Wahai Tuhan kami! ampunkanlah dosa Kami dan dosa saudara-saudara Kami Yang mendahului Kami Dalam iman, dan janganlah Engkau jadikan Dalam hati perasaan hasad dengki dan dendam terhadap orang-orang Yang beriman. Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya Engkau amat melimpah belas kasihan dan RahmatMu”.
-Al Hasyr 8-10
Dr Mohd Asri Zainul Abidin kemudian menulis:
Justeru, seorang penulis yang bernama Muhammad Salah Muhammad al-Sawi telah mengumpul dalil-dalil al-Quran yang jelas menunjukkan tingginya kedudukan para sahabat di sisi Allah S.W.T. lantas beliau membuat kesimpulan dengan menyatakan:
Kita telah melihat semua ayat al-Quran al-Karim, menerusinya kita mendengar penyaksian Allah Jalla wa Ala untuk para sahabat Rasulullah tentang hakikat iman yang tersimpan di dalam hati mereka dan betapa mereka itu ikhlas dalam ketaatan dan kesung- guhan beribadat. Allah juga memuji mereka kerana hijrah, jihad, menolong Islam, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari- pada yang munkar dan berlumba-lumba melakukan kebaikan.
(Al-Sawi, Manzilah al-Sahabah ft al-Quran, him. 53)
Daripada ayat-ayat al-Quran berserta huraiannya di atas, dapat difahami betapa al-Quran telah menempatkan para sahabat pada satu kedudukan yang sangat tinggi dan terpuji. Allah S.W.T. adalah segala- galanya dalam ajaran Islam, apabila Allah S.W.T. telah memutuskan satu keputusan maka tiada sesuatu pun boleh menyanggahinya. Al- Quran adalah benar, ia tidak disentuh oleh sebarang keraguan. Tidak ada yang lebih benar daripada berita al-Quran. Tiada satu sumber yang lebih terpelihara di dalam alam ini selain al-Quran. Justeru, apabila wujudnya maklumat atau khabar yang bertentangan dengan al-Quran, maka sumber maklumat tersebutlah yang wajar dipertikaikan, bukannya al-Quran.
Catitan:
Buku Pertelingkahan Para Sahabat Nabi SAW  Antara Ketulinan Fakta dengan Pembohongan Sejarah adalah terbitan Pustaka Yamien  cetakan 2003 , setebal 167 mukasurat berharga RM15.00 . Buku ini mengupas dan menilai serta memberi  sangahan terhadap pembohongan sejarah terutama oleh puak Syiah. Buku ini sangat baik bagi peminat sejarah



Benarkah Sahabat Bersengketa?

OLEH: MUHAMMAD ASRIE AL-MADANI

Telah masyhur dalam sejarah Islam bahawa selepas kewafatan baginda Rasulullah s.a.w dan selepas terbunuhnya Khalifah al-Rasyidin yang ketiga; Usman bin Affan r.h, umat Islam berada dalam keadaan perpecahan dan perbezaan pendapat yang membawa kepada pertumpahan darah.
Sering diwar-warkan di merata ceruk bahawa persengketaan yang berlaku dalam peperangan Jamal dan Siffin adalah persengketaan antara Sahabat-sahabat Rasulullah r.hum dan mereka ini berperang sesama sendiri.
Namun, berapakah jumlah Sahabat yang berperang sesama sendiri ini? Adakah semua Sahabat yang hidup ketika itu terlibat dalam persengekataan sesama sendiri ini? Syiah Rafidah mendakwa semua Sahabat menjadi kafir kecuali beberapa kerat kerana mereka semua terlibat dalam pertumpahan darah ini. Benarkah sedemikian rupa?
Jawapan yang tepat dan tidak teragak-agak adalah dakwaan dan tohmahan jijik Rafidah ini adalah dusta sama sekali kerana para Sahabat ridwanullahi ‘alaihim majoriti mereka langsung tidak terlibat dalam pertempuran sesama sendiri ini.
Imam Muhammad bin Sirin r.h, salah seorang Tabiin yang menyaksikan persengketaan ini dengan dua matanya berkata:
هاجت الفتنة، وأصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عشرة آلاف، فما حضرها منهم مائة، بل لم يبلغوا ثلاثين
Maksudnya: “Berlaku fitnah sedangkan jumlah para Sahabat Rasulullah s.a.w semuanya (yang masih hidup) ketika itu 10,000 (sepuluh ribu) orang, tidak ikut serta dalam fitnah itu daripada mereka kecuali 100 (seratus) orang bahkan mungkin tidak sampai 30 (tiga puluh) orang sekalipun”. [al-Bidayah wan Nihayah, 7/281].
Hal ini juga dapat dilihat dalam kitab-kitab sejarah Islam yang muktabar seperti al-Bidayah wan Nihayah oleh Ibn Kasir dan Tarikh al-Islam Imam al-Zahabi. Al-Imam Ibn Kasir r.h ketika menyenarikan nama-nama pembesar Sahabat yang terbunuh semasa peperangan Jamal menyebut hanya dua orang iaitu Talhah r.a dan al-Zubair r.a sedangkan kata Ibn Kasir r.h jumlah keseluruhan yang terbunuh dalam peperangan Jamal adalah 10,000 orang.
Bandingkan jumlah korban keseluruhan dengan jumlah Sahabat yang terkorban dalam peperangan Jamal ini, menunjukkan betapa sedikitnya Sahabat yang terlibat dalam peperangan ini.
Bahkan lebih menarik, Al-Zubair r.a tidaklah dibunuh di medan peperangan namun seorang Rafidah yang terlibat dalam pembunuhan Usman r.a mengekori beliau semasa beliau meninggalkan medan peperangan lalu si celaka ini membunuh beliau secara tipu muslihat ketika beliau sedang tidur reda Allah sebanyak-banyaknya atas beliau-Hawari Rasulillah s.a.w-.
Ketika berlaku peperangan Jamal ini, Saidina Al-Zubair r.a sebuah hadis Nabi s.a.w kepada beliau ketika Nabi s.a.w menemui beliau sedang duduk bersama Ali r.a lantas Nabi s.a.w bersabda: “Adakah kamu mencintainya wahai Zubair?” Jawab Zubair:“Apakah yang menghalangi aku untuk mencintainya?” Lalu Nabi s.a.w bersabda:“Maka bagaimana pula keadaan kamu nanti ketika kamu memeranginya sedangkan kamu berlaku zalim kepadanya?”
Apabila beliau teringat akan hadis ini, maka Saidina Zubair r.a segera beredar daripada pertempuran dan bersumpah tidak akan memerangi Ali r.a. [al-Bidayah wan Nihayah, 7/268-269].
Demikian juga telah tsabit semua Sahabat ridwanullahi ‘alaihim yang terlibat dalam peperangan Jamal ini menyesal dan mengaku mereka bersalah dalam tindakan mereka dan terjadi perdamaian antara mereka sebaik sahaja selesai peperangan.
Imam al-Sya’bi r.h begitu mengingkari ramainya Sahabat yang terlibat dalam peperangan Jamal sehingga beliau berkata:
لم يشهدها إلا علي، وعمار، وطلحة، والزبير من الصحابة
Maksudnya: “Tidak turut serta dalamnya (perang Jamal) melainkan Ali, Ammar, Talhah, dan al-Zubair daripada Sahabat”. [Tarikh al-Islam, 3/484]
Malah riwayat-riwayat sejarah lainnya menyatakan para Sahabat yang turut serta bersama Ali r.a dalam peperangan Jamal ini tidak lebih daripada 1000 sahabat sahaja sedangkan seperti kata Ibn Sirin r.h jumlah Sahabat yang masih hidup ketika itu adalah 10,000 orang. Bayangkan terdapat 9000 lagi sahabat ridwanullahi ‘alaihim tidak menyertai fitnah yang terjadi ini. [Ibid]
Sudahlah bilangan Sahabat yang turut serta ini sedikit, peperangan yang berlaku pula bukan berpunca daripada mereka ridwanullahi ‘alaihim sebagaimana yang ditegaskan para sejarawan Islam. Berkata Imam al-Zahabi r.h menyatakan pendapat para Ahli Sejarah:
اصطف الفريقان، وليس لطلحة ولا لعلي رأسي الفريقين قصد في القتال، بل ليتكلموا في اجتماع الكلمة، فترامى أوباش الطائفتين بالنبل، وشبت نار الحرب، وثارت النفوس
Maksudnya: “Kedua-dua pasukan berada dalam barisan dan tiada niat dalam diri Talhan dan Ali, ketua kedua-dua pasukan untuk berperang bahkan untuk berbincang untuk menyatukan suara lalu sekelompok orang daripada kedua-dua pihak mula melontarkan lembing maka menyala lah api peperangan dan berkobarlah jiwa…”.[Tarikh al-Islam, 3/486].
Jelas kalimah أوباش  menunjukkan yang memulakan peperangan adalah kaum yang tidak diketahui dan bukanlah daripada kalangan Sahabat sendiri bahkan mereka itu sangat berusaha untuk menyatukan kaum muslimin, bahkan Aisyah r.ha Ummul Mukmini sendiri ketika memujuk Kaab bin Sur keluar bersamanya ke Jamal berkata:“Sesungguhnya tujuanku hanyalah untuk memperbaiki antara manusia”.[Ibid]
Bahkan Kaab bin Sur al-Azdi r.h (Abu Nuaim r.h memasukkan beliau dalam kalangan Sahabat) keluar sebagai pemegang tali unta Ummul Mukminin membawa Mushaf dan perisai sahaja dan sepanjang peperangan beliau mengajak manusia supaya berdamai namun dia terbunuh terkena panah sesat (dan kita tidak meragui kemungkinan besar kaum Sabaiah –Rafidah- yang memanah beliau kerana tidak mahu peperangan dihentikan).
Demikian juga Muslim al-Juhani r.h daripada pihak Ali r.a diarahkan oleh Ali r.a untuk mengarak Mushaf dan menyeru supaya mereka berhenti berperang dan kembali kepada hukum al-Quran namun dia juga dibunuh bahkan dikatakan orang pertama yang terbunuh.[ibid, m.s 490].
Lihat, para Sahabat dalam peperangan Jamal ini sentiasa berusaha untuk menghentikan peperangan yang bukan mereka mulakan. Maka Laknat Allah atas tangan-tangan tersembunyi di sebalik kejadian ini yang tidak lain tidak bukan pengikut Abdullah bin Saba’, pengasas ajaran Syiah.
Berpindah pula kepada fitnah yang kedua iaitu peristiwa Siffin yang berlaku antara Saidina Ali r.a dan Saidina Muawiyah r.a.
Berkata al-Imam Ahmad bin Hanbal r.h: Menceritakan kepada kami Umayyah bin Khalid, dikatakan kepada Syu’bah: Ibn Abi Syaibah telah meriwayatkan daripada al-Hakam daripada Abdul Rahman bin Abi Laila berkata: “Turut serta dalam peperangan Siffin daripada Ahli Badar 70 (tujuh puluh) orang”. Berkata Syu’bah: “Abu Syaibah salah, kami telah berdiskusi dengan al-Hakam berkenaan perkara ini dan kami tidak dapati Ahli Badar yang menyertai Siffin kecuali Khuzaimah bin Tsabit[1]”. Dikatakan juga turut serta dalam Siffin daripada Ahli Badar, Sahl bin Hunaif r.a dan Abu Ayyub al-Ansari r.a. [al-Bidayah wan Nihayah, 7/281].
Al-Zahabi r.h menukil daripada Khalifah bahawa Sahabat Ahli Badar yang menyertai Siffin bersama Ali r.a adalah: ‘Ammar bin Yasir, Khawat bin Jabir, Sahl bin Hunaif, Abu Saad al-Sa’idi, Abul Yusr, Abu Rifa’ah al-Ansari dan Abu Ayyub al-Ansari.
Sahabat yang bukan Ahli Badar pula adalah: Khuzaimah bin Tsabit[2], Qais bin Saad bin Ubadah, Abu Qatadah, Sahl bin Saad al-Sa’idi, Qurzah bin Kaab, Jabir bin Abdullah, Ibn Abbas, al-Hasan, al-Husein, Abdullah bin Jaafar bin Abi Talib, Uqbah bin ‘Amir, Abu ‘Ayyash al-Razki, ‘Adi bin Hatim, al-Asy’as bin Qais, Sulaiman bin Surad, Jundub bin Abdullah, dan Jariah bin Qudamah”.
Lihat jumlah Sahabat yang menyertai peperangan Siffin ini boleh dibilang dengan jari sahaja wahai kaum Muslimin sekalian, masih terdapat beribu-ribu Sahabat lain lagi yang tidak turut serta dalam peperangan ini.
Adapun riwayat daripada Abdul Rahman bin Abza r.a:
شهدنا مع علي ثمانمائة ممن بايع بيعة الرضوان، قتل منهم ثلاثة وستون رجلاً، منهم عمار
Maksudnya: “Kami menyertai Ali bersama 800 orang yang berbaiat dalam Baiat al-Ridwan, terbunuh antara mereka 360 lelaki antaranya Ammar”. [Tarikh al-Islam, 3/545].
Riwayat ini munkar kerana perawinya: Yazid bin Abdul Rahman adalah Abu Khalid al-Dalani kerana dia sahaja bernama Yazid bin Abdul Rahman yang mempunyai riwayat yang diriwayatkan oleh Abdul Salam bin Harb.
Yazid ini dihukum Layyin oleh Ibn Adi dalam al-Kamil fid Dhu’afa’ dan cukuplah menjelaskan kedaifannya dengan disenaraikan dalam al-Kamil, kitab yang khusus menceritakan perawi yang daif sahaja dan Syuraik berkata: “Dia seorang Murjiah, kami berlindung dengan Allah daripadanya”. [Lihat al-Kamil, 7/277-278 dan al-Tarikh al-Kabir , al-Bukhari, 8/346-347].
Maka jelas kepada kita jumlah Sahabat yang terlibat dalam peperangan Siffin tidak sampai beberapa kerat sahaja, maka di manakah kesahihan tohmahan Rafidah bahawa ‘SEMUA SAHABAT KECUALI BEBERAPA KERAT’ kafir mereka kerana berperang sesama sendiri??
Kemudian, adakah mereka yang terlibat dalam peperangan Kafir? Demi Allah, sama sekali tidak kerana Nabi s.a.w telah menamakan mereka sebagai MUSLIMIN sebagaimana dalam sabda baginda:
إنَّ ابني هذا سَيِّدٌ ، ولعَلَّ اللهَ أَنْ يُصلِحَ به بَيْنَ فِئتَينِ عَظِيمَتَينِ من المسلمين
Maksudnya: “Sesungguhnya anak ku ini (yakni al-Hasan bin Ali r.hma) adalah Sayyid (penghulu), mudah-mudahan Allah akan membaikkan dengannya dua puak yang besar daripada Muslimin”. [al-Bukhari].
Hadis ini mengisyaratkan islah yang dilakukan oleh Saidina al-Hasan r.a dengan menyerahkan jawatan Khalifah kepada Saidina Muawiyah r.a yang dengan itu kaum muslimin berkumpul semula di bawah satu Khilafah dan dinamakan tahun itu sebagai ‘Tahun Jamaah’.
Jelas dan terang lagi bersuluh Nabi s.a.w menamakan kedua-dua kumpulan yang menyokong Ali r.a dan Muawiyah r.a sebagai MUSLIMIN, maka siapakah Rafidah sehingga berani-berani sahaja mengkafirkan para Sahabat Nabi s.a.w. Sungguh rahmat dan reda Allah tidak putus-putus mencurah ke atas para Sahabat Rasulullah s.a.w dan tidak putus-putus pula laknatNya atas kaum Rafidah yang zalim dan fasiq ini.

[1] Kedudukan Khuzaimah bin Tsabit r.a sebagai Ahli Badar terdapat pertikaian.
[2] Atas pendapat beliau bukan Badri

Mengapa Syiah Terus Berkembang Biak dan Semakin Subur Di Malaysia [ Pelajaran Untuk Indonesia ]

Mengapa Syiah Terus Berkembang Biak dan Semakin Subur Di Malaysia:
Umum mengetahi pengaruh Syiah semakin menular dalam masyarakat Malaysia. Banyak hauzah (markas pengajian) mereka diujudkan, salah satu yang terkenal ialah di Gombak. Paparan di dalam You Tube membuktikan banyak Siah Melayu di Malaysia. Kita biasa dengar tindakan keraajaan dalam menghalang ajaran sesat , tetapi kita tidak pula dengar tindakan keraajaan keatas Syiah. Sedangkan JAKIM menghukum Syiah sebagai SESAT, rujuk di  http://www.islam.gov.my/e-rujukan/syiah.html
Berikut adalah pandangan Ustaz Hafiz Firdaus Abdullah Mengapa Syiah Terus Berkembang Biak dan Semakin Subur Di Malaysia yang di sampaikan pada kursusTa’lim Sunnah (Siri 2) yang dianjurkan oleh Intis Consultant & Training, bertempat di Surah al-Muhajirin, Taman Sri Ukay, Kuala Lumpur, pada 20 September 2008.

Beliau memberi 5 faktor :
1. Kejahilan umat Islam terhadap aliranSyi‘ah.
Mereka menganggap Syi‘ah adalah salah satu dari mazhab Islam seumpama Mazhab al-Syafi’e, Hanafi, Maliki dan Hambali. Maka perlu diterangkan bahawa Syi‘ah ialah satu aliran yang menyangkut dasar-dasar agama manakala mazhab yang empat hanyalah berkaitan hukum fiqh, di mana dasar-dasar agama bagi keempat-empat mazhab tersebut adalah tetap sama.

2. Sikap manusia apabila berhadapan dengan sesuatu yang baru.
Apabila berhadapan dengan sesuatu yang baru, manusia terbahagi kepada tiga sikap.
Pertama ialah mereka yang terus menolaknya, menutup pintu hati serta fikiran mereka darinya.
Kedua ialah mereka yang terus menerimanya, membuka seluas-luas hati serta fikiran mereka kepadanya.

Ketiga ialah mereka yang menganalisa perkara yang baru itu sama ada ia bertepatan dan al-Qur’an, al-Sunnah dan ilmu yang sahih. Jika bertepatan ia diterima, jika bertentangan ia ditolak.
Sikap pertama dan kedua adalah tercela manakala sikap yang ketiga adalah terpuji. Kebanyakan yang terikut dengan aliran Syi‘ah terdiri dari mereka yang memiliki sikap kedua.

3. Kelekaan pihak berwajib.
Fokus pihak berwajib kelihatan hanya tertumpu kepada membasmi aliran yang mereka sebut-sebut sebagai “Wahhabi”. Ada pun aliran lain yang jelas menyeleweng sepertiSyi‘ah, Anti-Hadis, Islam Liberal dan sebagainya, ia dibiarkan sahaja atau hanya diberi fokus yang minimum. Di sini pihak berwajib perlu menyusun semula keutamaan fokus mereka (Fiqh al-Awlawiyat) agar bertindak ke atas aliran yang jelas menyeleweng bak matahari, bukan aliran yang hanya wujud secara bayang-bayangan… entah wujud atau tidak.

4. Kecuaian ahli ilmu.
Hakikat pertama, Syi‘ah menyampaikan dakyah mereka dengan dalil dan hujah. Hakikat kedua, kebanyakan ahli ilmu Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah enggan berusaha menjawab dalil dan hujah tersebut. Paling-paling yang dijawab hanyalah dengan slogan murah: “Syi‘ah sesat, abaikan mereka.” Padahal dalam suasana tahap keilmuan umat Islam yang semakin meningkat sekarang ini, yang diambil kira bukanlah slogan murahan tetapi dalil dan hujah. Justeru ahli ilmu perlu beralih dari kemalasan kepada kecergasan, dari sijil kelulusan kepada aksi ilmiah, dari semakan kertas tesis kepada semakan aqidah umat, agar dalil dan hujah dipatahkan dengan dalil dan hujah juga.

5. Pencarian wira dan pasukannya.
Umat Islam sekarang ini dalam dilema mencari seorang wira dan pasukan pejuang yang berani bangkit menentang kezaliman zionis dan polis dunia. Dalam pencarian tersebut, yang ditemui ialah wira yang beraliran Syi‘ah dan pasukan pejuang yang beraliran Syi‘ah. Secara bawah sedar, ia memberi kesan bahawa aliran yang benar ialah Syi‘ah. Kecelaruan ini dijawab, bahawa kebenaran agama tidak ditentukan oleh agama sang wira dan pasukan pejuangnya. Seandainya itulah ukuran kebenaran, nescaya agama pasukan pejuang Vietnam yang menghancurkan pasukan tentera Amerika Syarikat pada tahun 70an yang lalu adalah jauh lebih benar dari agama Syi‘ah. Ketahuilah, kebenaran terletak pada agama Islam manakala kelemahan terletak pada orang Muslim kerana tidak menghayati Islam dengan cara yang benar, iaitu cara Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.



Inilah Paham Takfir Syiah

Kata “kekafiran” dapat dipahami dengan mudah sebagai lawan kata dari “keimanan”. Baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan keyakinan, sama dengan keimanan itu sendiri. Inilah yang disebutkan oleh Syaikh Alawi bin Abdul Qadir Ats-Tsaqaf dalam Al-Mausu’ah Al-Aqdiyah.
Ibnul Hazm sendiri mengatakan bahwa kekafiran dalam agama adalah mengingkari suatu hal yang telah diwajibkan Allah ta’ala yang wajib untuk diimani, setelah hujjah dan kebenaran tersampaikan. Baik dengan lisan, hati, ataupun dengan keduanya. Atau mengamalkan perbuatan yang menurut nash syar’i sudah mengeluarkannya dari keimanan.” (Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam 1/49)
Sedangkan kata takfir sendiri adalah bentuk mashdar dari kaffara-yukaffaru yang bermakna menisbatkan seseorang dari ahlu kiblat (kaum muslimin) kepada kekafiran. Makna tersebut diungkapkan oleh Dr. Muhammad bin Abdul Ghaffar As-Sarif. Dari sini dapat dipahami bahwa takfir adalah kata kerja yang digunakan untuk menyematkan kekafiran pada diri seorang Muslim.
Telah diketahui bersama bahwa takfir adalah perkara besar yang penting untuk diketahui seorang Muslim. Sehingga, seseorang dapat adil dalam bersikap dan paham akan kebenaran. Karena jikatakfir ini diberlakukan sembarangan, akan membuat tertumpahnya darah kaum muslimin lantaran tidak berpegang pada manhaj yang benar. Inilah yang diamalkan oleh kaum Khawarij.
 large-دراسة-شاملة-حول-الشيعة-في-بلادنا-هكـــذا-اختــــرق-الشيعـــــة-المجتمــع-الســـني-في-الجزائــر-1bebc
Sebaliknya jika terlalu meremehkan perkara ini –kekufuran dan kemaksiatan— akan membawa seseorang terjerumus kepada golongan kaum Murji’ah. Lebih jauh daripada itu adalah mereka yang lancang dengan hal ini, sampai-sampai mengkafirkan orang-orang yang mulia. Padahal dengan mengafirkannya, sesungguhnya dapat menghilangkan sebagaian besar syariat Islam. Mereka itulah golongan kaum Syiah.
Takfir kepada Sahabat oleh Syiah
Kaum Syiah tidak main-main dalam masalah takfir. Tidak hanya mengafirkan umumnya para sahabat. Lebih dari itu, kalangan sahabat yang utama pun telah berani dikafirkan. Salah seorang “ulama” Syiah,  Ni’matullah Al-Jazairi menyebutkan, “…. Sesungguhnya terdapat riwayat khusus bahwa Abu Bakar shalat di belakang Rasulullah SAW dengan memakai berhala yang diikat di lehernya, ia juga sujud kepadanya…” (Al-Anwar An-Nu’maniyah Juz 1, hal. 53, Cetakan Beirut 1404)
Al-Kulaini menyebutkan sebuah riwayat. Yaitu dari Ahmad bin Muhammad, dari Wasya’, dari Dawud Al-Himar, dari Abu Ya’fur, dari Abu Abdillah AS berkata, “Aku mendengarnya mengatakan: Tiga golongan yang tidak diajak bicara Allah pada hari Kiamat, tidak disucikan dan bagi mereka adzab yang pedih yaitu mereka yang mengklaim imamah (kepemimpinan) dari Allah padahal tidak berhak atasnya, dan mereka yang mengingkari imamah dari Allah, juga mereka yang mengaku bahwa dua orang (Abu Bakar dan Umar) itu termasuk bagian dari Islam.” Al-Ushul min Al-Kafi Juz 1 hal. 373)
Tak luput, seorang sahabiyah mulia, istri Rasululllah SAW setelah Khadijah, yaitu Aisyah RA juga disebut sebagai wanita yang telah melepaskan keimanannya. Sebuah riwayat dalam Tafsir Al-‘Iyasyi, salah satu dari kitab tafsir yang menjadi rujukan Syiah menyebutkan tentang hal ini. Yaitu dari Abdurrahman bin Salim Al-Asyal AS berkata tentang ayat “Seorang wanita yang menguraikan benang yang sudah kuat menjadi cerai berai kembali (An-Nahl: 92)” bahwa wanita di dalam ayat itu adalah Aisyah RA yang telah melepaskan ikatan imannya. (Tafsir Al-‘Iyasyi Juz 3 hal. 22)
Takfir Syiah kepada Umat Islam
Berbagai riwayat dari kalangan Syiah mengatakan tentang kekafiran manusia selain golongan mereka. Ketika dikafirkan, maka hukum-hukum orang kafir berlaku kepadanya. Baik itu terkait dengan harta, nyawa, ataupun unsur-unsur penting lainnya.
Diantaranya adalah riwayat dari Imam Abu Ja’far (Al-Baqir), Imam Kelima dalam silsilah para imam yang mereka akui yaitu, “Manusia itu telah murtad kecuali tiga orang: Salman, Abu Dzar dan Miqdad. Dan setelah itu banyak orang yang bertaubat. Mereka yang pertama kali adalah Abu Sasan, Ammar, Abu Urwah, dan Syatirah. Merekalah tujuh orang. Tidak ada yang mengetahui hak Amirul Mukminin kecuali tujuh orang itu.” (Al-Kafi 2/244, 2/441; Rijal Al-Kasyi oleh At-Thusyi 1/26; Biharul Anwar oleh Al-Majlisi 22/333).
 Korban senjata kimia oleh pasukan Syiah Assad.
Korban senjata kimia oleh pasukan Syiah Assad.
Ya Allah Ya Rabb, Binasakanlah Syi'ah

Selain itu, Imam Abu Ja’far juga mengatakan, “Aku sampaikan kepadamu peristiwa paling menherankan dari pada itu, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar yang mereka telah pergi (kufur), kecuali 3 orang (Salman, Abu Dzar, dan Miqdad). (Al-Kafi 2/244)
Dalam kitab Biharul Anwar disebutkan, “Syiah Imamiyah bersepakat bahwa mereka yang mengingkari salah satu dari para imam dan menolak apa yang diwajibkan Allah kepadanya terkait ketaatan, maka ia kafir dan sesat serta berhak atas neraka selama-lamanya.” (Al-Majlisi, Biharul Anwar juz 23 hal. 390)
Lebih jelas lagi, ulama-ulama kontemporer dari kalangan Syiah turut mengafirkan orang-orang selain golongan mereka. Dalam hal ini, orang-orang di luar Syiah dianggap sebagai “Nashibi”. Nashibiatau nashibah bentuk jamaknya adalah nawashib. Artinya adalah orang-orang yang membenci Ali radhiyallaallu ‘anhu dan menganggap kebenciannya sebagai ibadah. Ini disebabkan mereka “nashabuu lahu” yakni memusuhi beliau (Ali). Inilah asal katanya. Jadi, setiap orang yang membenci Ahlul Bait, maka ia tergolong sebagai nawashib. (Taajil ‘Arus min Jawaahiril Qamus 4/277)
Sayyid Al-Khau’i dalam kitabnya mengatakan bahwa yang tampak dari Nashib (orang di luar Syiah) dihukumi sebagai kafir, walaupun ia bersyahadat dan yakin dengan tempat kembali). (Al-Masail Al-Muntakhabah hal. 56)
Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr yaitu kakek moyang dari milisi Jaisyul Mahdi juga mengatakan bahwa Nashibi adalah Sunni. Mereka lebih buruk dari Yahudi, Nashrani dan Majusi. Bahkan lebih najis dari ketiga golongan itu.
Lebih dari itu, bagi mereka kalangan Syiah, golongan Nashibi dianggap najis yang lebih buruk dibandingkan anjing. Dari Abu Abdillah, ia berkata, “Hati-hatilah kamu jangan sampai mandi dari air sisa di kamar mandi. Karena itu sisa dari seorang Yahudi,  Nashrani, Majusi dan seorang An-Nashibah (ahlussunnah) dan (yang terakhir) ini adalah yang paling jelek di antara semuanya. Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan suatu makhluk yang lebih najis dibandingkan anjing dan seorang An-Nashibah (ahlussunnah) sebab ia lebih najis darinya. ” (Al-Fatawa Al-Wadhihah hal 227).
Manhaj Ahlus Sunnah Berbeda dengan Syiah
Ibnu Hazm menyebutkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah ahlul haq. Mereka yang memusuhinya adalah ahlul bid’ah. Ahlus Sunnah itu mereka para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari para tabi’in, para ahlul hadits, para fuqaha dari generasi ke generasi hingga saat ini. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan awam di belahan bumi manapun. (Al-Fashlu fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa An-Nihal 2/113)
 Cara menyeimbangkan hidup
Terhadap para sahabat Rasul SAW mereka bersikap tawashut(pertengahan) di antara orang-orang yang ghuluw dalam mengagungkan Ali RA, mengakui kemaksuman imam-imam sepeninggalnya, bahkan menganggapnya sebagai nabi ataupun tuhan. Kemudian lebih mengutamakan mereka dari Abu Bakar dan Umar RA dan menganggap para sahabat sebagai orang yang zhalim, fasik, juga mengafirkan umat setelahnya.
Ahlus Sunnah juga berbeda dengan orang-orang yang keras. Yaitu mengafirkan Ali dan Utsman RA, menghalalkan darah keduanya dan orang-orang yang mengikutinya. Juga membolehkan untuk mencela Ali, Utsman dan selain keduanya, serta mencela kekhilafahan dan kepemimpinan Ali RA.
Dalam berbagai perkara pun, Ahlus Sunnah bersikap pertengahan dengan berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW serta kalangan pendahulu dari Muhajirin dan Anshar yang sepakat dengan beliau, juga orang-orang yang senantiasa mengikuti jalan beliau dengan baik. (Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 3/373-375)
Ahlus Sunnah bersikap pertengahan terhadap para sahabat Rasulullah SAW. Mereka mengatakan bahwa seluruh sahabat Rasulullah SAW adalah adil. Mereka tidak terlepas dari dosa, kecuali dosa kekafiran. Mereka memiliki amalan-amalan baik yang dapat menutupi dosa-dosa tersebut. Mereka menempatkan para sahabat sesuai dengan kedudukan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak berlebihan dalam menghormati Ali RA dan tidak mengafirkan Abu Bakar dan Umar. Mereka mencintai para sahabat tanpa menurunkan derajat Ali dan Muawiyah. Mereka juga menempatkan Abu Bakar, Umar, kemudian Utsman dan Ali sebagai sebaik-baik umat. (Qadhiyah At-Takfir Baina Ahlus Sunnah wal Firaq Adh-Dhalal fi Dhau’i Al-Kitab wa As-Sunnah, Sa’d bin Ali bin Wahf Al-Qahtani hal. 56)
Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa kalangan Syiah memiliki keyakinan takfir yang batil. Dengan berbagai riwayat dari para ulama mereka, begitu mudahnya menganggap kafir para sahabat dan orang-orang yang mulia. Ini berbeda dari takfir yang diterapkan oleh Ahlus Sunnah. Bahwa mereka tidak mengafirkan seorang pun dari kaum muslimin kecuali setelah ditegakkan hujjah kepadanya. Juga telah terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan hilangnya penghalang-penghalangnya. Yaitu sebagaimana termuat dalam kitab Al-Wajiz Fi ‘Aqidatis Salaf Ash-Shalih karya Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsariy.
Penulis: M. Basyir