Thursday, August 21, 2014

‘Ali Khalifah Setelah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ( klaim kaum syi'ah ) ?????

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/07/ali-khalifah-setelah-nabi-shallallaahu.html
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 08.34 
Label: Syi'ah
Disebutkan hadits sebagai berikut :
ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي : أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hammaad, dari Abu ‘Awwaanah, dari Yahya bin Sulaim Abu Balj, dari ‘Amr bin Maimuun, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aliy : “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun engkau bukanlah seorang nabi. Tidak sepantasnya aku pergi kecuali engkau sebagai “khalifah”-ku bagi setiap mukmin setelahku”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (bersama Dhilaalul-Jannah) hal. 565 no. 1188. Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah berkata :
إسناده حسن ورجاله ثقات رجال الشيخين غير أبي بلج واسمه يحيى بن سليم بن بلج قال الحافظ صدوق ربما أخطأ
“Sanadnya hasan, rijalnya tsiqah, termasuk rijal Syaikhain (Al-Bukhariy dan Muslim), kecuali Abu Balj. Namanya adalah Yahya bin Sulaim bin Balj. Al-Haafidh berkata : “Jujur(shaduuq), namun terkadang keliru”.
Penilaian beliau tersebut disepakati oleh Dr. Faishal bin Baashim Al-Jawaabirah atastakhrij-nya terhadap kitab As-Sunnah.
Hadits di atas dipergunakan dalil oleh kaum Syi’ah sebagai legalitas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu (yang seharusnya menjadi khalifah setelah Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam – bukan Abu Bakr Ash-Shaiddiq radliyallaahu ‘anhu).
Sungguh dugaan mereka keliru. Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut. Dalam memahami satu hadits tentu saja harus dipahami berbarengan dengan hadits lain yang semakna agar menghasilkan satu pemahaman yang komprehensif. Sa’d bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam Ash-Shahiihain :
عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي
Dari Sa’d bin Abi Waqqaash ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas ‘Ali bin Abi Thaalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). ‘Ali pun berkata : ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’. Maka beliau menjawab : ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4416 dan Muslim no. 2404].
Dari hadits ini kita dapat mengetahui apa makna “khalifah” sebagaimana dimaksud pada hadits pertama. Makna “khalifah” di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Konteks hadits dan peristiwanya menyatakan demikian.
Jika mereka (kaum Syi’ah) menyangka dengan hadits ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepemimpinan (khilaafah) kaum muslimin kepada ‘Ali secara khusus setelah wafat beliau, niscaya akan banyak khalifah di kalangan shahabat yang ditunjuk beliau – jika kita mengqiyaskannya sesuai dengan ‘illat haditsnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas serupa kepada ‘Utsman bin ‘Affaan, Ibnu Ummi Maktum, Sa’d bin ‘Ubaadah, dan yang lainnya.
Jika ada yang bertanya :
Mengapa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan redaksi yang sama kepada para shahabat lain saat mereka menjadi pengganti/wakil beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurus wanita dan anak-anak ?.
Dijawab :
Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali : “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun engkau bukanlah seorang nabi….dst.” adalah untuk menghibur sekaligus pembelaan terhadap ‘Ali atas cercaan kaum munafiq. Juga, untuk menegaskan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu di sisi beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja, sebuah penegasan keutamaan merupakan jalan yang paling ampuh untuk menangkal cercaan kaum munafiqin tersebut. Adz-Dzahabiy berkata :
“……..Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menugaskan ‘Aliy bin Abi Thaalib menjaga keluarganya dan mengurus segala keperluannya. Kaum munafiqin pun menyebarkan berita buruk karena penugasan tersebut dan berkata : ‘Tidaklah beliau menugaskannya (untuk tinggal di Madinah/tidak ikut berperang) kecuali karena ia (‘Ali) merasa berat untuk berangkat (jihad) dan kemudian diberikan keringanan (oleh beliau). Ketika kaum munafiqin mengatakan hal itu, ‘Ali bergegas mengambil senjatanya dan kemudian keluar untuk menyusul Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Jarf. ‘Ali berkata : “Wahai Rasulullah, kaum munafiqin mengatakan bahwa engkau menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan kemudian memberikan keringanan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mereka telah berdusta ! Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Maka ‘Ali pun akhirnya kembali ke Madinah” [Taariikhul-Islaam, 1/232].
Lantas : “Apa makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ?” – sebagaimana riwayat Ibnu Abi ‘Aashim. Bukankah ia menunjukkan lafadh mutlak yang menunjukkan ‘Ali merupakan pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau ? Dan lafadh mukmin ini meliputi seluruh shahabat yang hidup pada waktu itu ?
Bahkan hal itu telah terjawab pada penjelasan sebelumnya.
Makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ; ini mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah sebagaimana perkataan mereka (Syi’ah) – yaitu menjadi pengganti beliau secara mutlak setelah beliau wafat; sedangkan kemungkinan kedua bahwa perkataan itu menunjukkan ‘Ali menjadi pengganti beliau bagi seluruh orang mukmin (para shahabat) hanya saat setelah kepergian beliau menuju Tabuk. Kemungkinan kedua inilah yang kuat.
Kalimat ‘min ba’dii’ (setelahku) di sini maknanya bukan mencakup setelah wafat beliau. Namun ia muqayyad (terikat) pada ‘illat hadits yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari. Yaitu : ‘Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan wanita dan anak-anak di Madinah. Karena kalimat sebelumnya berbunyi : “Tidak sepantasnya aku pergi” – yaitu kepergian beliau menuju Tabuk.
Sungguh sangat aneh (jika tidak boleh dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan Arab atas perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak sepantasnya aku pergi (menuju Tabuk) kecuali engkau sebagai “khalifah”-ku bagi setiap mukmin setelahku” – mencakup setelah wafat beliau. Apalagi hal itu dikuatkan dengan alasan :
Penyamaan ‘Ali bin Abi Thaalib dengan Harun dalam hadits semakin membatalkan klaim mereka. Sebagaimana diketahui bahwa Harun tidak pernah menggantikan Musa‘alaihimas-salaam sebagai khalifah memimpin Bani Israil. Ia wafat ketika Musa masih hidup, dan hanya menggantikan untuk sementara waktu dalam pengurusan (memimpin) Bani Israil saat Musa pergi untuk bermunajat kepada Rabbnya. Tidak ada riwayat sama sekali yang menjelaskan bahwa Harun ‘alaihis-salaam menjadi khilafah/pemimpin bagi Bani Israil sepeninggal (wafat) Musa, melainkan hanya waktu itu saja. Yang menggantikan Musa setelah wafatnya dalam memimpin Bani Israel adalah Nabi Yusya’ bin Nuun ‘alaihis-salaam.[1]
Berkata An-Nawawi rahimahullah :
وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما قال هذا لعلي رضي الله عنه حين استخلفه على المدينة في غزوة تبوك ويؤيد هذا أن هارون المشبه به لم يكن خليفة بعد موسى بل توفي في حياة موسى قبل وفاة موسى نحو أربعين سنة على ما هو المشهور عند أهل الأخبار والقصص
“Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallaqm hanya bersabda kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu saat menjadikannya sebagai pengganti di Madinah pada waktu (beliau berangkat menuju) Perang Tabuk. Dan ini diperkuat bahwasannya Harun ‘alaihis-salaam yang diserupakan/disamakan dengan ‘Aliy, tidak pernah menjadi khalifah sepeninggal Musa. Bahkan ia meninggal saat Musa masih hidup sekitar 40 tahun sebelum wafatnya Musa – berdasarkan hal yang masyhur menurut para ahli sejarah” [selesai].[2]
Harun ‘alaihis-salaam adalah seorang waziir bagi Musa dalam memimpin Bani Israail sebagaimana ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya :
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي * هَارُونَ أَخِي * اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي * وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي
“Dan jadikanlah untukku seorang wazir (pembantu) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku” [QS. Thaha : 29-32].
Seorang wazir mempunyai tugas untuk membantu dan memberi dukungan terhadap imam. Begitu pula dengan Nabi Harun yang menjadi waziir bagi Nabi Musa ‘alaihimas-salaam.[3] Jika Syi’ah hendak menyamakan kedudukan ‘Ali dengan Harun, maka cukuplah mereka berpendapat ‘Ali berkedudukan sebagai waziir bagi Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sebagai imam/khalifah yang ditunjuk. Oleh karena itu, klaim Syi’ah tentang keimamahan ‘Ali bin Abi Thaalib melalui hadits ini sungguh sangat tidak tepat.
Semoga risalah kecil ini bermanfaat.
Wallaahu a’lam.
NB : Kita tidak mengingkari bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Namun membawanya kepada makna ‘Ali adalah orang yang ditunjuk sebagai khalifah/amirul-mukminin sepeninggal Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah yang tidak kita sepakati. Tidaklah setiap lafadh yang menunjukkan keutamaan itu selalu berimplikasi kepada kepemimpinan – walau tidak kita pungkiri kepemimpinan juga ditentukan berdasarkan faktor keutamaan. Dan Ahlus-Sunnah telah bersepakat tentang pengutamaan Abu Bakr dan ‘Umar di atas ‘Utsman dan ‘Aliradliyallaahu ‘anhum ajma’in (semoga Allah meridlai mereka semuanya).
Aboel-Jaoezaa’ – 1430 H.


[1] Yusya’ bin Nuun adalah pemuda yang menemani Nabi Musa saat akan menemui Nabi Khidlr‘alaihimus-salaam sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا * قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا
“Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." [QS. Al-Kahfiy : 62-63].
Al-Bukhari membawakan riwayat yang menjelaskan identitas pemuda/murid Nabi Musa tersebut dalam Shahih-nya :
قام موسى النبي خطيبا في بني إسرائيل فسئل: أي الناس أعلم؟ فقال: أنا أعلم، فعتب الله عليه، إذ لم يرد العلم إليه، فأوحى الله إليه: إن عبدا من عبادي بمجمع البحرين، هو أعلم منك. قال: يا رب، وكيف به؟ فقيل له: احمل حوتا في مكتل، فإذا فقدته فهو ثم، فانطلق وانطلق بفتاه يوشع بن نون، وحمل حوتا في مكتل، حتى كانا عند الصخرة وضعا رؤوسهما وناما، فانسل الحوت من المكتل فاتخذ سبيله في البحر سربا، وكان لموسى وفتاه عجبا،
“Suatu ketika Nabi Musa berkhutbah di hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya : ‘Siapa orang yang paling banyak ilmunya ?’. Nabi Musa menjawab : ‘Akulah orang yang paling banyak ilmunya’. Allah menegurnya karena ia mengembalikan ilmu kepada-Nya (= yaitu ia tidak memberi jawaban bahwa Allah-lah Yang Maha Mengetahui). Kemudian Allah berfirman kepada Nabi Musa : ‘Di pertemuan dua laut sana ada hamba-Ku yang yang lebih banyak ilmunya daripada kamu’. Nabi Musa bertanya : ‘Ya Rabbku, bagaimana aku bisa bertemu dengannya ?’. Allah berfirman : ‘Bawalah seekor ikan di dalam keranjang. Jika ikan itu lepas, di situlah hamba-Ku berada’. Kemudian Nabi Musa pergi dengan ditemani oleh pelayannya yang bernama Yusya’ bin Nuun. Keduanya membawa seekor ikan di dalam keranjang. Sesampainya di sebuah batu karang, mereka berdua berbaring dan tidur. Maka ikan yang mereka bawa itu lepas dari keranjang, kemudian berenang di laut. Hal itu membuat Nabi Musa dan pelayannya heran…” [HR. Al-Bukhari no. 122 dan Muslim no. 2380].
Dan dialah yang kemudian memimpin Bani Israil dalam penaklukan Baitul-Maqdis.
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الشمس لم تحبس على بشر إلا ليوشع ليالي سار إلى بيت المقدس
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya matahari tidak pernah tertahan tidak terbenam hanya karena seseorang, kecuali untuk Yusya’. Yaitu pada malam–malam dia berjalan ke Baitul-Maqdis (untuk berjihad)” [HR. Ahmad 2/325 no. 8298; shahih].
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : غزا نبي من الأنبياء فقال لقومه لا يتبعني رجل قد ملك بضع امرأة وهو يريد ان يبنى بها ولم يبن ولا أحد قد بنى بنيانا ولما يرفع سقفها ولا أحد قد اشترى غنما أو خلفات وهو ينتظر أولادها فغزا فدنا من القرية حين صلاة العصر أو قريبا من ذلك فقال للشمس أنت مأمورة وأنا مأمور اللهم احبسها على شيئا فحبست عليه حتى فتح الله عليه فجمعوا ما غنموا فأقبلت النار لتأكله فأبت ان تطعم فقال فيكم غلول
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada seorang Nabi di antara Nabi-Nabi Allah yang akan berangkat berperang. Ia berkata kepada kaumnya (yaitu Bani Israail) : ‘Tidak boleh ikut denganku seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari satu sedangkan ia ingin menggaulinya namun belum menggaulinya. Tidak pula orang yang sedang membangun rumah namun belum memasang atapnya. Tidak pula orang yang telah membeli kambing atau onta yang tengah bunting sedangkan ia menunggu kelahirannya’. Maka ia pun berangkat berperang melewati sebuah perkampungan pada waktu shalat ‘Ashar telah tiba atau sekitar waktu itu. Maka ia berkata kepada matahari : ‘Engkau diperintah dan akupun diperintah. Ya Allah, tahanlah ia (matahari) untukku. Maka matahari pun ditahan untuknya, hingga akhirnya Allah memberikan kemenangan kepadanya. Kemudian mereka mengumpulkan ghanimah. Lalu datanglah api untuk memakannya, namun ia enggan memakannya. Lalu ia berkata (setelah melihat hal itu) : ‘Ada diantara kalian yang melakukan ghuluul (mencuri ghanimah) …..” [HR. Ahmad 2/318 no. 8221; shahih].
Keterangan : Tidak ada seorang yang memimpin pasukan, mempunyai hak dalam pengurusan ghanimah, dan menghukum orang yang melakukan kesalahan melainkan ia seorang pemimpin. Hal itu menunjukkan bahwa Nabi Yusya’ bin Nuun adalah pemimpin Bani Israail sepeninggal Nabi Musa ‘alaihimas-salaam. Wallaahu a’lam.
[2] Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata :
وقد تقدم بيان نسب يوشع في أحاديث الأنبياء وأنه الذي قام في بني إسرائيل بعد موت موسى
“Telah berlalu penjelasan penjelasan nasab Yuusya’ dalam ahaadiistul-anbiyaa’, dan bahwasannya ia adalah orang yang memerintah (menjadi imam) Bani Israail setelah wafatnya Musa” [Fathul-Baariy, 8/415].
Apa yang dijelaskan oleh Al-Haafidh tentang Yusya’ yang menjadi pengganti Musa setelah wafatnya adalah sangat masyhur. Hampir ditemui pada mayoritas kitab tafsir dan taariikh. Disebutkan baik oleh Ahlul-Kitab ataupun kaum muslimin.
[3] Bahkan Nabi Musa pernah marah kepada Nabi Harun ‘alaihimas-salaam sepulang dari bukit Thursina karena mendapatkan Bani Israail yang melakukan kesyirikan (membuat patung anak lembu), sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala :
قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا * أَلا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي * قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي
“Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?". Harun menjawab: "Hai putra ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israel dan kamu tidak memelihara amanatku" [QS. Thaha : 92-94].
COMMENTS
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ada yang sangat memaksakan kehendak dengan menafikkan akal sehat yang padahal sangat mudah untuk memahaminya.
Mereka katakan bahwa Harun itu akan menggantikan Musa jika Harun masih hidup sepeninggal Musa. Begitulah kata mereka.
Pertanyaannya : Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menyamakan kedudukan 'Ali radliyallaahu 'anhu dengan Harun; apakah beliau shalallaahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa Harun telah meninggal sebelum Nabi Musa meninggal dan tidak pernah memegang tampuk khalifah/imam memimpin Bani Israel sepeninggal Musa ?
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa Harun hanyalah menjadi pengganti (khalifah) bagi Musa untuk mengurus Bani Israel hanya saat Musa pergi ke Bukit Tursina.
Oleh karena itu, beliau mengqiyaskan kedudukan mulia Harun ini kepada 'Ali yang beliau tugaskan untuk mengurus orang-orang yang tinggal di Madinah saat beliau tinggalkan berperang menuju Tabuk.
Namun karena Syi'ah hendak memaksakan untuk membawa pengertian ini kepada penunjukan Khalifah sepeninggal Nabi, datanglah tafsir-tafsir aneh mengenai hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Anonim mengatakan...
Salam
Sekadar bertanya... Apa pandangan Saudara Jauzaa tentang Abu Thalib (Bapa saudara Nabi saw)?
Apakah benar bapa saudara Nabi saw akan memakai terompah neraka?
wasSalam


Apa Kata ‘Ammaar bin Yaasir tentang Pasukan Mu’aawiyyah ?

Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 12.33 
Label: Syi'ah


Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ رِيَاحِ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: كُنْتُ إِلَى جَنْبِ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ بِصِفِّينَ، وَرُكْبَتِي تَمَسُّ رُكْبَتَهُ، فَقَالَ رَجُلٌ: كَفَرَ أَهْلُ الشَّامِ، فَقَالَ عَمَّارٌ: " لَا تَقُولُوا ذَلِكَ، نَبِيُّنَا وَنَبِيُّهُمْ وَاحِدٌ، وَقِبْلَتُنَا وَقِبْلَتُهُمْ وَاحِدَةٌ، وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ مَفْتُونُونَ جَارُوا عَنِ الْحَقِّ، فَحَقّ عَلَيْنَا أَنْ نُقَاتِلَهُمْ حَتَّى يَرْجِعُوا إِلَيْهِ "
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, dari Al-Hasan bin Al-Hakam, dari Ziyaad bin Al-Haarits, ia berkata : Aku pernah berada di samping ‘Ammaar bin Yaasir waktu perang Shiffiin, dimana lututku bersentuhan dengan lututnya. Lalu ada seseorang yang berkata : “Orang-orang Syaam telah kafir. ‘Ammaar berkata : “Jangan kalian katakan itu. Nabi kita dan nabi mereka satu. Begitu pula kiblat kita dan kiblat mereka satu. Akan tetapi mereka adalah kaum yang terfitnah yang menyimpang dari kebenaran. Dan kebenaran ada pada pihak kita, yang menuntut kita untuk memerangi mereka hingga mereka kembali kepadanya (kebenaran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 15/290 no. 38996].

Keterangan para perawinya :
1.     Yaziid bin Haaruun bin Zaadzaan As-Sulamiy, Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 206 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842].
2.     Al-Hasan bin Al-Hakam An-Nakha’iy, Abul-Hakam Al-Kuufiy; seorang yang dikatakan oleh Ibnu Hajar : ‘shaduuq, tapi banyak salahnya’. Namun yang benar ia seorang yang shaduuq (bahkan dekat kepada tsiqah). Ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’iin dan Ahmad. Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits”. Adapun Ibnu Hibbaan menyendiri dalam jarh-nya dengan mengatakan : “Banyaknya salah dan ragu. Tidaklah membuatku kagum untuk berhujjah dengan haditsnya apabila ia bersendirian dalam periwayatan”. Termasukthabaqah ke-6, dan wafat sebelum tahun 150 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dalam Musnad ‘Aliy, dan Ibnu Maajah [lihat : Tahdziibut-Tahdziib 2/271 dan Taqriibut-Tahdziib hal. 236 no. 1239].
3.     Riyaah bin Al-Haarits An-Nakha’iy, Abul-Mutsannaa Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 330 no. 1983].
Ibnu Abi Syaibah mempunyai mutaaba’ah dari Ahmad bin Manshuur Abu Bakr; sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Duulabiy rahimahullah dalam Al-Kunaa 2/480-481 no. 870 : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manshuur Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah memberitakanAl-Hakam bin Al-Hakam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Riyaah bin Al-Haarits, ia berkata : “....”.
Penyebutan Al-Hakam bin Al-Hakam di atas keliru, karena yang benar adalah Al-Hasan bin Al-Hakam sebagaimana riwayat di atas, dan juga riwayat-riwayat di bawah. Ahmad bin Manshuur bin Sayyaar bin Al-Mubaarak Al-Baghdaadiy Ar-Ramaadiy, Abu Bakr; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 182, dan wafat tahun 265. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 100 no. 114].
Yaziid bin Haaruun mempunyai mutaba’ah dari :
1.     Sufyaan Ats-Tsauriy; sebagaimana diriwayatkan oleh oleh Al-Marwadziyrahimahullah dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah hal. 546 no. 599 : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Qabiishah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Al-Hasan bin Al-Hakam, dari Riyaah bin Al-Haarits, dari ‘Ammaar bin Yaasir, ia berkata : “....”.
Keterangan perawinya :
a.      Muhammad bin Yahyaa bin ‘Abdillah bin Khaalid bin Faaris bin Dzuaib Adz-Dzuhliy, Abu ‘Abdillah An-Naisaabuuriy; seorang yang tsiqahhaafidh, lagi jaliil. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 172 H, dan wafat tahun 258 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 907 no. 6427].
b.      Qabiishah bin ‘Uqbah bin Muhammad bin Sufyaan As-Siwaa’iy, Abu ‘Aamir Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun kadang menyelisihi. Termasuk thabaqahke-9, dan wafat tahun 215 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 797 no. 5548]. Para ulama mengkritik riwayat Qabiishah yang berasal dari Ats-Tsauriy, karena ia bertemu dengan Ats-Tsauriy masih kecil.
c.      Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 97 H, dan wafat tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].
2.     Muhammad bin ‘Ubaid bin Abi Umayyah; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Marwadziy rahimahullah dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah hal. 546 no. 598 : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Al-Hakam An-Nakha’iy, dari Riyaah bin Al-Haarits, ia berkata : “......”.
Muhammad bin ‘Ubaid bin Abi Umayyah Ath-Thanaafisiy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Ahdab; seorang yang tsiqah lagi hapal riwayat. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 124 H, dan wafat tahun 204 H di Kuufah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 875 no. 6154].
Al-Hasan bin Al-Hakam mempunyai mutaba’ah dari :
1.     ‘Abdullah bin Riyaah; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ash-Shalaah hal. 546 no. 600 :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا يَعْلَى، ثنا مِسْعَرٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رِيَاحٍ، عَنْ رِيَاحِ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: قَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ: " لا تَقُولُوا كَفَرَ أَهْلُ الشَّامِ، قُولُوا: فَسَقُوا، قُولُوا: ظَلَمُوا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Ya’laa : Telah menceritakan kepada kami Mis’ar, dari ‘Abdullah bin Riyaah, dari Riyaah bin Al-Haarits, ia berkata : Telah berkata ‘Ammaar bin Yaasir : “Janganlah kalian berkata orang-orang Syaam telah kafir. Akan tetapi katakanlah : Mereka telah berbuat kefasikan atau kedhaliman”.
Keterangan perawi :
a.      Ya’laa bin ‘Ubaid bin Abi Umayyah Al-Iyaadiy, Abu Yuusuf Ath-Thanaafisiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, kecuali dalam periwayatan dari Ats-Tsauriy terdapat kelemahan. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 117 H, dan wafat tahun 209 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1091 no. 7898].
b.      Mis’ar bin Kidaam bin Dhahiir bin ‘Ubaidah bin Al-Haarits bin Hilaal bin ‘Aamir bin Sha’sha’ah Al-Hilaaliy Al-‘Aamiriy, Abu Salamah Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 153 H/155 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 936 no. 6649].
c.      ‘Abdullah bin Riyaah, saya belum menemukan biografinya.[1]
2.     Hanasy bin Al-Haarits; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 15/290 no. 38997 : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dan Hanasy bin Al-Haarits, dari syaikhnya yang bernama Riyaah, ia berkata : Telah berkata ‘Ammaar : “...(dengan lafadh yang sama dengan di atas)...”.
Keterangan perawinya :
a.      Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy, Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqahhaafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 196/197 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1037 no. 7464].
b.      Hanasy bin Al-Haarits bin Laqiith An-Nakha’iy Al-Kuufiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “Tidak mengapa dengannya”. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad [Taqriibut-Tahdziib, hal. 278 no. 1584].
Kesimpulannya, riwayat ini adalah shahih.
‘Ammaar bin Yaasir adalah salah seorang shahabat yang kuat pembelaannya kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib, dalam perang Shiffiin melawan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaanradliyallaahu ‘anhum. Betapapun hebat pertempuran mereka, namun ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu tidak pernah berkeyakinan akan kekafiran Mu’aawiyyah dan pasukannya – seperti keyakinan para penganut cinta palsu pada Ahlul-Bait.
Apa yang diyakini ‘Ammaar inilah yang beredar di kalangan shahabat-shahabat ‘Aliyradliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا أَحْمَدُ بْنُ خَالِدٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ رَاشِدٍ، عَنْ مَكْحُولٍ، أَنَّ أَصْحَابَ عَلِيٍّ سَأَلُوهُ عَنْ مَنْ، قُتِلَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاوِيَةَ مَا هُمْ؟ قَالَ: " هُمُ الْمُؤْمِنُونَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Khaalid : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Raasyid, dari Mak-huul : Bahwasannya para shahabat ‘Aliy ditanya tentang orang-orang yang meninggal dari kalangan shahabat-shahabat Mu’aawiyyah, apa status mereka ?”. Mereka menjawab : “Mereka adalah orang-orang beriman” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ash-Shalaah, hal. 545 no. 595; sanadnya shahih, semua perawinyatsiqaat].
Selaras pula dengan ucapan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sendiri :
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، قَالَ: سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ، فَقَالَ: " قَتْلَانَا وَقَتَلَاهُمْ فِي الْجَنَّةِ، وَيَصِيرُ الْأَمْرُ إِلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayyuub Al-Maushiliy, dari Ja’far bin Burqaan, dari Yaziid bin Al-Asham, ia berkata : ‘Aliy pernah ditanya tentang orang-orang yang terbunuh di perang Shiffiin, maka ia berkata : “Orang yang terbunuh dari kami dan dari mereka ada di surga". Dan perkara tersebut akan ada antara aku dan Mu’aawiyyah [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 15/302; shahih – selengkapnya bisa dibaca di sini].
Tak banyak ulasan, biar riwayat yang berbicara......
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri – 05042012].

[1]      Dalam riwayat lain yang dibawakan Al-Khathiib dalam At-Talkhiish no. 280, disebutkan dengan nama ‘Abdullah bin Rabaah. 
COMMENTS
Rohis Facebook mengatakan...
ust. mau nanya, Al Khathib Al Baghdadi pngarang buku Tarikh Baghdad apakah beliau juga yg mengarang buku Al-Farqu Baina Al-Firoq..????, syukran..
Anonim mengatakan...
assalamualaikum..sheikh boleh ana dapat email enta?barakallahufik
Anonim mengatakan...
tolong diralat akhi
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ رِيَاحِ بْنِ الْحَارِثِ
terjemahannya :
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, dari Al-Hasan bin Al-Hakam, dari Ziyaad bin Al-Haarits...
seharusnya Riyaah bin Al-Haarits
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ok. Terima kasih. Jazaakallaahu khairan.
NB : Sebenarnya awal tulisan Arabic-nya adalah Ziyaad bin Al-Haarits. Kemudian saya sesuaikan dengan koreksian muhaqqiq kitab, namun kelupaan belum mengoreksi terjemahannya.