Saturday, March 21, 2015

Hindari Berdebat dengan Orang Jahil

Imam Syafi’i adalah adalah seorang ulama besar yang banyak melakukan dialog dan pandai dalam berdebat. Sampai2 Harun bin Sa’id berkata :

“Seandainya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapat bahwa tiang yang pada aslinya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu niscaya dia akan menang, karena kepandainnya dalam berdebat”. (Manaqib Aimmah Arbaah hlm. 109 oleh Ibnu Abdil Hadi).

Boleh saja berdebat, baik dengan lawan ataupun kawan, namun semuanya harus dalam rangka nasehat dan mencari kebenaran, bukan kemenangan. Inilah salah satu adab mulia dalam dialog atau debat yang seharusnya kita perhatikan bersama, apalagi akhir-akhir ini semakin marak dialog dan debat di sana sini.

Imam Syafi’i berkata :

مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ عَلَى الْغَلَبَةِ

“Aku tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan” [Tawali Ta’sis hlm.113 oleh Ibnu Hajar]

Namun, jika yang kita hadapi ternyata adalah orang2 jahil, maka lain perkaranya. Bahkan Imam Syafi'i rahimahullah berkata :

"Aku MAMPU BERHUJAH dengan 10 orang yang BERILMU, tetapi aku PASTI KALAH dengan SEORANG YANG JAHIL, karena orang yang jahil itu TIDAK PERNAH FAHAM LANDASAN ILMU."

Maka dari itu, kita mending MENGALAH saja dengan orang yang jahil. Jika tidak, maka kita akan sama2 TURUT JAHIL. Maka DIAM saja itu PENYELAMAT, daripada diteruskan saling berbantahan yang TIADA KESUDAHAN.

Lengkapnya dari Imam Syafi'i Rahimahullah dalam SIKAP MENGHADAPI ORANG-ORANG JAHIL :

ﺍِﺫَﺍ ﻧَﻄَﻖَ ﺍﻟﺴَّﻔِﻴْﻪُ ﻭَﺗُﺠِﻴْﺒُﻬُﻔَﺦٌﺮْﻳَ ﻣِﻦْ ﺍِﺟَﺎﺑَﺘِﻪِ ﺍﻟﺴُّﻜُﻮْﺕُ

"Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi"

ﻓَﺎِﻥْ ﻛَﻠِﻤَﺘَﻪُ ﻓَﺮَّﺟْﺖَ ﻋَﻨْﻬُﻮَﺍِﻥْ ﺧَﻠَّﻴْﺘُﻪُ ﻛَﻤَﺪًﺍ ﻳَﻤُﻮْﺕُ

"Apabila kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila kamu berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati"

ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﺳَﻜَﺖَّ ﻭَﻗَﺪْ ﺧُﻮْﺻِﻤَﺖْ ﻗُﻠْﺖُ ﻟَﻬُﻤْﺎِﻥَّ ﺍﻟْﺠَﻮَﺍﺏَ ﻟِﺒَﺎﺏِ ﺍﻟﺸَّﺮِ ﻣِﻔْﺘَﺎﺡُ

"Apabila ada orang bertanya kepadaku,“jika ditantang oleh musuh, apakah engkau diam ??”

Jawabku kepadanya : “Sesungguhnya untuk menangkal pintu-pintu kejahatan itu ada kuncinya.”

ﻭَﺍﻟﺼُّﻤْﺖُ ﻋَﻦْ ﺟَﺎﻫِﻞٍ ﺃَﻭْ ﺃَﺣْﻤَﻖٍ ﺷَﺮَﻓٌﻮَﻓِﻴْﻪِ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻟِﺼَﻮْﻥِ ﺍﻟْﻌِﺮْﺽِ ﺍِﺻْﻠَﺎﺡُ

"Sikap diam terhadap orang yang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan"

Lalu Imam Syafi'i berkata :

ﻭَﺍﻟﻜَﻠﺐُ ﻳُﺨْﺴَﻰ ﻟَﻌَﻤْﺮِﻯْ ﻭَﻫُﻮَ ﻧَﺒَّﺎﺡُ

"Apakah kamu tidak melihat bahwa seekor singa itu ditakuti lantaran ia pendiam ?? Sedangkan seekor anjing dibuat permainan karena ia suka menggonggong ??"


[“Diwan As-Syafi’i” karya Yusuf Asy-Syekh Muhammad Al-Baqa’i]

Beliau rahimahullah menambahkan :

"Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek
Maka aku tidak ingin untuk menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah lembut, seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi" [Diwan Asy-Syafi’i hal. 156]

Maka : Tidak perlu kita berdebat dengan orang2 yang nantinya hanya akan menghinakan diri kita sendiri, bahkan bisa jadi juga menghinakan para ulama.

Untuk itu Imam Syafi'i berkata kepada orang jahil yang menantangnya berdebat :

"Berkatalah sekehendakmu untuk menghina kehormatanku, toh diamku dari orang hina adalah suatu jawaban. Bukanlah artinya aku tidak mempunyai jawaban, tetapi tidak pantas bagi Singa meladeni anjing"

Dan Nabi Muhammad shållallåhu ‘alayhi wa sallam juga telah bersabda :

“Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” [HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah].


Sudaraku.. Berdebat tidaklah terlarang secara mutlak, karena terkadang untuk meluruskan sebuah syubhat memang harus dilalui dengan berdebat. Dan debat itu terkadang terpuji, terkadang tercela, terkadang membawa mafsadat (kerusakan), dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan), terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil. Namun jika debat dilakukan orang jahil, maka jelas hanya mafsadat-lah yang akan tertampil sebagai hasil.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :

خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْنَ

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang jahil" (QS. Al-A’raf: 199)


Semoga bermanfaat. Hanya pada Allaah kita memohon petunjuk.

Wallahu Ta'ala A'lam bish showaab..



Mungkinkah Membela Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Tapi Tidak Mentaati Beliau ??

((Tulisan ini dikutip dari makalah Penulis (Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra MA.) berjudul Taqwimul Mafahi al-Khathi’ah Indal Ghulati wal Jufati fid Difa’i’anin Nabbiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dipresentasikan dalam muktamar bertema Nabiyyir Rahmati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diadakan oleh Jum’iyyah al-Ilmiyyah as-Sa’udiyyah lis Sunnati wa Ulumiha di kota Riyadh Saudi Arabia))
Kemarahan yang meledak dari umat Islam di bumi belahan timur dan barat kepada orang-orang yang melecehkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyisakan pertanyaan, “Sejauh manakah kita taat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Umat Islam telah berpecah-belah menjadi sekian kelompok dan golongan. Setiap golongan merasa mantap dengan apa yang diyakininya. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan bahaya perpecahan. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Mâjah, dari Auf bin Mâlik bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ
Demi Dzat yang aku berada di tangan-Nya. Umatku akan benar-benar terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Satu golongan di surga dan tujuh puluh dua golongan di neraka.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka (yang berada di surga)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “al-jamâ’ah.”[1]
Persatuan umat yang terbentuk di hadapan musuh ketika membela kehormatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mestinya dijadikan momen untuk mengajak kaum Muslimin seluruh dunia agar meninggalkan perpecahan dan silang-pendapat untuk selanjutnya bersatu di bawah naungan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman Salaful Ummah, serta ber’gabung’ bersama para Ulama pemegang panji tauhid dan pembela kehormatan dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketaatan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekuensi dan tuntutan dari syahadat (persaksian) kita bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh Azza wa Jalla. Sebab persaksian bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allâh maknanya adalah mentaati perintahnya, membenarkan berita yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan, menjauhi larangan dan peringatannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta tidak beribadah kepada Allâh kecuali dengan syariatnya.
Demikianlah bentuk pengagungan yang sempurna kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta penghormatan yang tertinggi. Pengagungan model apakah yang bisa diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamoleh orang yang meragukan atau enggan taat kepada beliau atau mengadakan bid’ah dalam agama beliau dan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan cara yang tidak sesuai dengan cara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?! Karena itu, begitu keras pengingkaran Allâh kepada orang-orang yang melakukan ibadah dengan cara-cara yang tidak pernah disyariatkan. Allâh berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ? [as-Syûra/42:21]
Nabi bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak [HR. Bukhari, no. 2550 dan Muslim, no. 4590]
Bukti pembelaan yang serius terhadap (kehormatan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengagungkan syari’ah (risalah) yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dalam al-Qur`ân dan Sunnah (Hadîts) dengan pemahaman Salaful ummah. Yaitu dengan cara mengikuti dan berpegung teguh dengannya secara lahir dan batin, selanjutnya dengan menjadikan syari’ah ini sebagai hakim (penengah) dalam segenap sisi kehidupan dan urusan-urusan yang khusus maupun umum. Sungguh mustahil, keimanan akan sempurna tanpa itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا أُولَٰئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
Dan mereka berkata, “Kami telah beriman kepada Allâh dan rasul, dan kami mentaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. [an-Nûr/24:47]
Sikap ini jelas merupakan bentuk pembelaan yang hakiki dan penghormatan yang sejati. Pasalnya, standar penilaian dalam segala urusan adalah kenyataan yang dibuktikan, bukan sekedar penampilan lahiriah atau simbol-simbol kosong atau pernyataan hampa. Karenanya, Allâh mengedepankan adab ini dari adab-adab lain yang mesti dilakukan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla melarang mendahului keputusan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keputusan yang tidak sejalan dengan keputusan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernyataan yang tidak sesuai dengan sabda beliau. Akan tetapi, mestinya mereka mengikuti segala perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tunduk kepada beliau dan menjauhi larangan beliau. Allâh berfirman di permulaan surat al-Hujurât :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allâh dan Rasûlnya dan bertaqwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Hujurât/49:1]
Termasuk sikap تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ (lancang mendahului Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) yaitu sikap lebih memperioritaskan pemakaian undang-undang dan peraturan produk manusia daripada syari’at yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau lebih mengutamakan hukum lain daripada hukum (ketetapan hukum) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menyamakan hukum produk manusia tersebut dengan ketetapan hukum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamatau berkomitmen untuk tetap berpegang teguh dengan ketentuan yang jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ/4:65]
Orang yang paling berkomitmen dengan sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling besar kansnya untuk menenggak air dari telaga Rasulullah adalah ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Karena mereka menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti syari’at dan petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sebagian orang ada yang menampakkan bahwa dirinya sedang melakukan pembelaan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ironisnya, ia justru tidak menaati perintahnya atau tidak menjauhi larangan dan tidak menghiraukan peringatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, terkadang kita temukan, sebagian dari mereka bermalasan dalam menjalankan shalat fardhu, mencukur jenggot, isbâl (memanjangkan celana sampai menutupi mata kaki) dan berbuat berbagai macam maksiat dan kemungkaran.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pengagungan kepada para utusan Allâh diwujudkan dengan cara membenarkan berita yang mereka kabarkan dari Allâh, menaati perintah mereka, mengikuti, mencintai dan berwala kepada mereka, bukan (sebaliknya,) malah mendustakan risalah yang mereka emban, menomorduakan mereka atau berbuat melampaui batas dalam mengagungkan mereka. Justru ini adalah bentuk kekufuran terhadap mereka, pelecehan dan permusuhan terhadap mereka.”
Jadi, Ittiba’ (mengikuti) rasul adalah barometer untuk mengukur sejauh mana kejujuran orang yang mengaku-aku mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, tidak masuk di akal atau tidak dapat dibayangkan, ada orang mengklaim mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghormati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tapi (pada saat yang sama, dia) tidak berpegang teguh dengan perintah atau larangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak memberikan perhatian dan memperhitungkan apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allâh telah menjadikan ittibâ (mengikuti) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pertanda kecintaan kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali Imrân/3:31]
Bahkan lebih dari itu, Allâh Azza wa Jalla menjadikannya sebagai syarat keimanaan dimana pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammeupakan bagian dari keimanan itu. Allâh berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[an-Nisâ/4:65]
Ittibâ juga merupakan sifat kaum Mukminin, sebagaiman tertuang dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban oran-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allâh dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh”. dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. [an-Nûr/24:51]
Juga dalam firman-Nya :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allâh dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. [al-Ahzâb/33:36]
Kesimpulannya, tidak ada orang yang mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya orang-orang yang berpegang teguh dengan petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berjalan di atasnya serta mengikuti petunjuk beliau.[2]
Para Sahabat telah memperlihatkan praktek nyata yang sangat istimewa dan tindakan yang sangat jujur dalam membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan mengorbankan jiwa, harta dan anak untuk menebus beliau dalam kondisi senang atau tidak, seperti yang disebutkan oleh Allâh dalam firman-Nya :
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar. [al-Hasyr/59:8]
Barangsiapa ingin mencintai dan membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hendaknya ia mengagungkan perkataan dan sunnah beliau melebihi pengagungannya terhadap perkataan selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Manakala pengagungan kepada Nabi telah meresap di hati, terpahat di dalamnya dalam kondisi apapun, maka pasti pengaruh positifnya akan tampak nyata pada anggota badannya.
Saat itulah, akan terlihat lisannya terus memuji dan menyanjung beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menyebut-nyebut sisi kebaikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sementara organ tubuh lainnya juga terlihat mengikuti syari’at yang dibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjalankan apa yang menjadi hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berwujud pengagungan dan penghormatan. Dan bukti pengagungan yang benar tulus ialah mengagungkan petunjuk yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa berupa syari’at yang terkandung dalam al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, yaitu dengan mengikuti dan berpegang-teguh dengannya secara lahir dan batin serta menetapkannya sebagai hakim dalam seluruh aspek kehidupan dan segala urusan. Tidak mungkin keimanan akan sempurna tanpa itu. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1432H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Artikel Almanhaj.Or.Id
_______
Footnote
[1]. HR. Abu Dâwud no. 1299, Ibnu Mâjah no. 3992, dishahihkan al-Albâni rahimahullah.
[2]. Huqûqun Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam ‘ala Ummatihi, 2/475



Ada Apa Dengan Saudi? Kok Ada Sebagian ORMAS ISLAM Yang Membencinya ??

                                                  SaudiArabia
1. Apa karena satu-satunya negara yang menerapkan hukum hadd dan ta’ziir di zaman ini ??
2. Apa karena mewajibkan toko-toko tutup di waktu sholat ??
3. Apa karena melarang Musik di Mall dan kawasan-kawasan umum ??
4. Apa karena menyebarkan dakwah tauhid dan sunnah ??
5. Apa karena melarang praktek perdukunan serta ajaran kesyirikan dan bid’ah di seluruh negerinya ??
6. Apa karena negara yg tidak ada tempat kemusyrikannya ??
7. Apa karena seluruh wanitanya memakai hijab dan cadar ??
8. Apa karena melarang industri per-film-an dan sinetron bagi warganya ??
9. Apa karena negeri yang tidak ada premanisme dan kekerasan di jalanannya ??
10. Apa karena telah meratakan kuburan dan tidak mengizinkan untuk membangun kubah-kubah di atasnya ??
11. Apa karena telah sukses memberikan pendidikan gratis dari SD-Kuliah untuk seluruh penduduknya ??
12. Apa karena merupakan negara yang telah memberikan donasi besar-besaran untuk kaum muslimin Palestina,Suriah,Bosnia dan korban tsunami Aceh ??
13. Apa karena satu-satunya negara yg telah memberikan izin tinggal untuk para aktifis IM yg menjadi buronan presiden Jamal Abdun Nashir ??
14. Apa karena telah memberikan bea siswa kepada kaum muslimin seluruh dunia untuk bisa mencicipi kuliah di LIPIA, Ummul Qura mekkah, Jamia’ah Islamiyah Madinah dan King Saud Riyadh ??
15. Apa karena negara yg telah membangun jutaan Masjid dan Madrasah di seluruh dunia ??
16. Apa karena negara yang telah mencetak dan menerjemahkan Al-qur’an ke lebih dari 25 bahasa untuk dibagikan secara GRATIS ke seluruh dunia ??
17. Apa karena negara yang telah melarang paham liberal ??
18. Apa karena negara yg tidak menjalankan sistem demokrasi ??
19. Apa karena telah mengirimkan mujahidin untuk mengusir pasukan Uni soviet dari Afghanistan ??
20. Apa karena telah menyewa tentara amerika untuk menghadang pasukan Irak yg berpaham komunis ba’tsiyyah demi keamanan dua tanah suci Makkah dan Madinah ??
21. Apa karena telah membebaskan ka’bah dan masjidil Harom dari pembajakan kelompok takfiir Juhaymaan yang membantai jama’ah umroh dan haji ??
22. Apa karena telah mengucurkan keringat demi melayani jama’ah haji dan umroh dari seluruh dunia setiap harinya ??
23. Apa karena telah mengajak para Milyardernya untuk bershodaqoh pada musim Haji ??
24. Apa karena telah menganjurkan lembaga-lembaga islam untuk membagikan kitab-kitab Ibnu taimiyyah dan Ibnul Qayyim secara gratis ??
25. Apa karena telah melarang praktek perjudian,bar,diskotik,dan perzinaan di seluruh negerinya ??
26. Apa karena 170 Ribu Warga Rohingya Dapat Izin Tinggal di Saudi ?
Sungguh kekurangan dan kesalahan pastilah ada,karena Kesempurnaan mutlak hanya milik Allah, namun hanya mata yang pincang sajalah yang selalu mentakwil kebaikan menjadi keburukan. Ingatlah bahwa kayu gaharu yang wangipun tidak bisa memberikan wanginya kecuali dengan asap.
lantas setelah membeberkan semua ini, masih ada yang berkata kepada saya,”
DIGAPLOK BERAPA RIYAL SIH KAMU BUAT MUJI-MUJI SAUDI ??.”
Allahul musta’aan walaa haula wa laa quwwata illa billah…
( Copas dengan sedikit perubahan dari ustadz Mukhlis Biridlo – Hafidzahullah- )
Monggo ditambahi !!
http://khansa.heck.in/ada-apa-dengan-saudi-kok-ada-sebagian-or.xhtml

Saudi lagi... Saudi lagi...
Walo sedang puasa, tetaplah semangat dalam bekerja mencari nafkah untuk keluarga.. Syukur2 kalo bisa nabung buat umroh dan ibadah haji..
Hhmm.. Walo (mungkin) kita belum pernah ke Saudi, tapi rasanya kangeeennn banget sama negrinya Wahhabi biggrin
" Ssst.... (ada yang bisik2) mereka yang benci banget sama Saudi itu kalo Umroh dan ibadah haji kamana ya ??? "

_____________
By the way niy.. Kenapa ya Saudi atau orang2 Saudi selalu jadi sorotan negatif bahkan dibenci ????
- Jika terjadi musibah di negara muslim atau pada kaum muslimin, maka negara Saudi dan org2nya yg di sorot.. Mereka katakan bhw Saudi diam saja, tidak mau nyumbang, tak mau bantu, pro amerika, dsb. Kenapa mereka tidak mengatakan seperti itu kepada diri mrk sendiri atw negara mrk sendiri ???
- Jika terjadi kasus penganiayaan TKI di Saudi atau hukuman mati, maka langsung di ekspos besar2an, melebihi kasus yg terjadi di negara2 lain atau negaranya sendiri. Padahal jumlah kasus tsb jauh lebih sedikit dibanding negara2 lainnya..
- Jika berdebat dengan org kafir, atau debat sama pelaku kesyirikan dan pelaku bid’ah, maka mereka selalu menjurus kepada kejelekan2 di Saudi dan orang2nya. Apakah Islam dan Sunnah itu hanya ada di Saudi saja ???
Jika...
Jika...
Jika...
Dst, dst...

Gak nyadar atau pura2 gak nyadar ???
Gak malu atau pura2 gak tau malu ???
Habis2an menjelekkan dan membenci, tapi diwaktu yang sama justru butuh sama Saudi..
Apakah mereka yang benci Saudi itu, berani menentang dan manantang Saudi ????
Mereka berani memutuskan kerjasama atau hubungan dengan Saudi ???
Nekaddddd ????
Benarlah seorang shohib yang berkata :
" Kalau Saudi memutuskan hubungan dengan kita, apa mau kita haji atau thawafnya di Monas ??? "Kuota haji dibatasi aja kita sudah kebingungan.. Apalagi kalo sampe terputus hubungan diplomatik dengan Saudi ?____________
Kesempurnaan hanya milik Allaah, meskipun Saudi memiliki kekurangan, kesalahan, dan berbagai ketidak sempurnaan lainnya.. Namun tidaklah bijak jika hal tsb dijadikan alasan untuk membeci dan menjelekkan, apalagi kebanyakan yang membenci tidaklah punya alasan, tapi hanya sekedar ikut2an..
Dan bukankah sebagai sesama muslim seharusnya kita saling menyayangi ??? Bukannya malah menebar benci.. Wallahul Musta'an.
Diposting oleh Abdullah Khansa pada 16:15, 21-Jul-13











Mengapa Harus Manhaj Salaf

Oleh : Salim Al-Hilali
Sebenarnya orang-orang yang berkiprah dalam dunia dakwah Islamiyah banyak sekali dan yang menantikan para pemuda “aktivis dakwah” lebih banyak lagi. Mereka semua sungguh-sungguh bekeja keras untuk memulai kehidupan yang Islami. Di tengah-tangah luapan gelombang dakwah yang sedang pasang ini, akan kita temukan adanya dua kelompok, yaitu kaum tua dan kaum muda. Kaum tua telah puas degan hasil dakwah mereka. Mereka sendiri tidak ikut terjun ke medan dakwah. Adapun kaum muda, mereka menyingsingkan lengan, mengencangkan sarung dan meghentakkan kaki mereka di atas kendaraannya. Namun, yang disayangkan, kedua kelompok ini berada dalam kebingungan dan kebimbangan. Sehingga, adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi untuk segera ditampilkan gambaran Manhaj Salaf guna menyiapkan kehidupan Islami yag kokoh di atas Manhaj Nubuwwah.
Penyaringan terhadap segala hal yang bukan berasal dari Islam, baik dalam hal aqidah, ahkam (hukum-hukum) maupun akhlak adalah agar Islam kembali berseri, murni dalam naungan risalah sebagaimana keaslian risalah yang telah diturunkan kepada Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam. Ini untuk mendidik generasi muslim di atas Islam yang murni dengan tarbiyah imaniyyah (pendidikan keimanan) yang akan memberikan bekas yang mendalam. Yang demikian itulah manhaj dakwah salafiyyah yang selamat dan Ath-Thaifah Al-Atsariyah (yaitu kelompok yang berpegang dengan pemahaman Rasulullah beserta para shahabatnya) yang mendapatkan pertolongan dalam mengadakan perubahan.
Masalah pertama yang perlu kita bahas adalah : Mengapa harus mahaj salaf ? Menjadi suatu keharusan mutlak bagi setiap muslim yang menginginkan kesuksesan dan merindukan kehidupan yang mulia, serta kemenangan di dunia dan akhirat, bahwa dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih harus dengan pemahaman
manusia terbaik yaitu para shahabat dan tabi’in, serta siapapun yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga hari kiamat. Ini karena tidak pernah tergambarkan sama sekali adanya sebuah fikrah, pemahaman dan manhaj Salaus Shalih. Oleh karena itu tidak akan pernah bisa baik kehidupan umat yang akhir ini kecuali dengan apa yang telah mejadikan baik generasi awal.
Apbila kita teliti dengan seksama dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah serta ijma’ dan qiyas maka bisa disimpulkan dari dalil-dalil tesebut tentang wajibnya memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam bimbingan manhaj Salafus Shalih, karena ini merupakan pemahaman yang disepakati kebenarannya sepanjang abad perjalanan dakwah ini. Oleh karena itu tidak boleh bagi siapa saja sehebat apapun kedudukannya memahami Islam ini dengan selain pemahaman salaf. Dan siapapun juga yang membenci pemahaman salaf lalu menggantinya dengan bid’ah-bid’ahnya orang belakangan (orang-orang sesudah generasi salaf) yang diracuni dengan berbagai pemahaman yang membahayakan dan yang tidak selamat dari pemahaman asing, akan mengakibatkan tercerai-berainya kaum muslimin. Ini adalah hal yang pasti terjadi dan tak bisa diingkari. Maka siapa saja yang mengikatkan diri dengan pemahaman bid’ahnya orang belakangan, dia bagaikan seseorang yang mendirikan bangunan di tepi tebing keruntuhan, di tepi jurang kehancuran, dan di lereng kebinasaan. Cobalah simak penjelasan dari dalil dan hujjah-hujjah berikut ini :
1. Sesungguhnya salafus sholih radhiallahu ‘anhu telah nyata kebaikan mereka baik dalam nash maupun istimbath:
“Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-selamanya. Itulah kemenangan yang agung.”(AtTaubah:100)
Dengan dalil ayat ini dapat diambil pemahaman bahwa Allah Sang Pencipta telah memuji terhadap mereka yang mengikut kepada sebaik-baik manusia. Telah diketahui bahwa apabila sebaik-baik manusia itu mengatakan suatu perkataan, kemudian ada seseorang yang mengikuti mereka , maka dia wajib untuk mendapatkan pujian dan berhak untuk mendapatkan keridhaan. Kalau seandainya sikap ittiba’ mereka tidak membedakan dengan selain mereka (yang tidak ittiba’) maka dia tidaklah berhak mendapatkan pujian keridhaan. Siapakah sebaik-baik manusia itu? Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih merekalah sebaik-baik manusia.”(Al-Bayyinah : 7)
2. Allah berfirman :
“Kalian adalah umat terbaik yang telah ditampilkan untuk manusia, kalian telah beramar makruf dan bernahi munkar dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Dari sini kita mendapatkan petunjuk bahwa Allah telah menetapkan keutamaan mereka atas segala umat, dan gelar seutama-utama umat ini mengharuskan mereka istiqamah dalam segala hal. Disamping itu mereka sesungguhnya memang tidak pernah menyimpang dari cahaya yang terang bernderang (Al-Haq) ini. Sungguh Allah telah menyaksikan bahwa mereka telah beramar makruf dan bernahi munkar dengan penuh kemianan serta mengharap pahala-Nya. Keadaan seperti ini mengharuskan permahaman mereka menjadi hujjah bagi orang yang datang sesudahnya hingga Allah mewarisi bumi ini beserta apa yang ada di atasnya (hari kiamat,pen). Apabila konsekuensi tidak seperti itu, berarti amar ma’ruf dan nahi munkar yang mereka lakukan keliru (tidak dipuji dan diterima Allah). Cobalah fikir dan renungkan.
Maka jika ada yang berkata :”Ini (gelar sebaik-baik umat,pen) bersifat umum dalam umat ini, tidak hanya terbatas pada generasi shahabat saja,” saya katakan bahwa mereka (para shahabat) adalah obyek pembicaraan yang pertama, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak masuk dalam pembicaraan di atas, kecuali jika ada penjelasan dengan qiyas atau dalil lain sebagaimana dalam dalil pertama. Secara umum-dan ini yang benar- shahabat adalah yang pertama kali masuk dalam obyek pembicaraan karena merkelah yang pertama kali mengambil ilmu dan amal langsung dari Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam salallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara, dan merekalah yang mendapat kabar gembira dengan wahyu ini. Oleh karena itu, merekalah yang pertama masuk dalam pembicaraan ayat ini dibanding yang lain disebabkan sifat-sifat yang telah diberikan Allah kepada merkea secara sempurna yang tidak diberikan kecuali kepada mereka (para shahabat). Pun kecocokan sifat dengan pensifatan Allah adalah merupakan bukti bahwa mereka lebih berhak mendapat pujian dari pada yang lain.
3. Maka dari itu Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah genersiku, kemudian oran-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka. Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”(HR Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185, Ahmad I/424 dll)
Apakah kebaikan yang diterapkan kepada para sahahabat yang dimaksud adalah dalam hal warna kulit mereka? Atau jasad mereka, harta mereka, tempat inggal mereka, atau…? Tidak diragukan lagi bagi orang yang memiliki akal yang sempurna, yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan benar, bahwa bukan itu semua yang dimaksudkan di sini, sama sekali bukan, karena Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk tubuh kalian namun Dia hanya melihat kepada hati-hati dan amal-amal kalian.”(HR Muslim, lihat syarah Nawawi XVI/121)
Dan juga, karena kebaikan dalam Islam ukurannya adalah takwanya hati dan ammal shalih, sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya yang termulia di antara kalian adalah yang paling takwa.” (AlHujurat: 13)
Allah telah melihat kepad hati-hati para shahabat radhiallahu anhum, maka Allah temukan hati mereka adalah sebaik-baik hati-hati para hamba-Nya setelah hati Rasul-Nya salallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Mas’ud mengatakan:
“Sesungguhnya Allah telah melihat kepada hati-hati para hamba-Nya maka Allah temukan hati Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati terbaik diantara hamba-hamba-Nya. Maka Dia memilihnya dan diutus-Nya dengan risalah, kemudian Dia melihat kepada hati-hati para hamba-Nya setelah nabi-Nya. Maka Dia dapatkan hati-hati para sahabatlah hati-hati terbaik di antara para hamba-Nya. Maka Dia jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang merkea berperang di atas agama-Nya (Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Dishahihkan oleh Hakim dan disepakati Imam Ad-Dzahabi).
Maka Allah berikan kepada para sahabat ini pemahaman dan ilmu yang benar, yang ilmu tersebut tidak didapatkan pada generasi sesudahnya.
Dari Abu Juhifah, dia berkata: “Aku berkata kepada Ali: ‘Apakah kamu memiliki kitab? Atau pemahaman yang diberikan seorang muslim (selain nabi), atau apa yang ada di lembaran-lembaran ini…?’ Jawab Ali :’Tidak kecuali yang kumiliki adalah Kitabullah’.”(HR Bukhari /I-204 Fathul Bari)
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa kebaikan yang dipuji dalam sabda Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebaikan dalam hal pemahaman dan manhaj. Oleh karena itu pemahaman shahabat terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah hujjah bagi orang-orang yang datang sesudah mereka hingga akhir umat ini.
4. Akan lebih jelas lagi, Allah berfirman :
“Dan demikianlah kami telah menjadian kamu sebagai umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi bagi manusia dan Rasul juga menjadi saksi atas kalian.”(Al-Baqarah:143)
Sungguh Allah Azza wa Jalla telah menjadikan mereka manusia terbaik dan adil (jujur). Mereka adalah semuila-mulia umat, paling jujur perkataan , perbuatan serta niatnya. Dengan demikian mereka berhak menjadi saksi bagi manusia. Allah mempopulerkan, meninggikan derajat, memuji mereka dan menerima mereka dengan baik, dan karena kesaksian yang diterima oleh Allah adalah kesaksian dengan ilmu dan kejujuran, maka Allah kabarkan dengan Al-Haq yang disandarkan kepada ilmu-Nya. Allah berfirman:
“Kecuali yang bersaksi dengan Al-Haq dan mereka mengetahui.”(Az-Zukhruf: 86)
Apabila syahadah mereka diterima di sisi Allah maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka terhadap Dien ini adalah hujjah bagi orang yang sesudah mereka, sebab kalau tidak sebagai hujjah berarti persaksian mereka tidak benar. Padahal ayat ini telah menetapkannya secara mutlak. Dan umat ini tidaklah memberikan katebelece (kepercayaan) kejujuran terhadap suatu generasi secara mutlak kecuali terhadap generasi para shahabat.
Sesungguhnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang mengikuti manhaj salaf serta ahlul hadits telah memberi kesaksian tentang kejujuran mereka secara mutlak dan umum. Oleh sebab itu, mereka mengambil riwayat dan sekaligus penjelasan makna hadits dari mereka (para shahabat) tanpa kecuali. Pada orang selain shahabat, tidak diberikan kesaksian tentang kejujuran mereka kecuali bagi yang memang benar-benar diakui kepemimpinannya dan kejujurannya, dan keduanya (kepemimpinan dan kejujuran) tidak diberikan kepada seseorang kecuali apabila dia berjalan di atas jejak para shahabat radhiallahu anhum.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pemahaman shahabat adalah hujjah bagi selain mereka dalam mengarahkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dari sinilah perintah Allah Ta’ala untuk mengikuti jalan mereka.
5. Allah berfirman :
“Dan ikutilah jalannya orang-orang yng kembali kepada-Ku”(Luqman:15)
Semua sahabat radhiallahu anhum adalah orang-orang yang kembali (dengan ikhlas dan taat) kepada-Nya dan Allah telah memberi hidayah pada baiknya perkataan dan shalihnya amal perbuatan mereka dengan firman-Nya :
“Yang mendengarkan perkataan lalu mereka mengikuti apa yang paling baik dantaranya (Al-Qur’an). Mereka itulah orang-orang yan telah diberi Allah petunjuk dan merekalah orang-orang yang berakal.”(Az-Zumar:18)
Dari sini, wajib bagi kita untuk mengikuti jalan mereka dalam memahami Dienullah, baik dalam memahami Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Allah mengancam orang-orang yang mengikuti selain jalannya para shahabat dengan neraka Jahannam dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.
6. Allah berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum mukminin, Kami biarkan dia leluasa bergelimang dalam kesesatan Jahannam dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.”(An-Nisa:115)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah mengancam kepada orang yang mengikuti selain jalannya kaum mukminin (yaitu para sahabat, karena mereka adalah orang mukminin yang haq). Maka mengikuti jalannya kam mkminin (para sahabat) dalam memahami syari’ah adalah hal yang wajib dan menyelisihnya adalah merupakan kesesatan.
7. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dia berkata :
“Kami shalat Maghrib bersama Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kami berpendapat: “Kita duduk saja hingga shalat Isya bersama Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam” maka kamipun duduk. Kemudian keuarlah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Kalian masih di sini?”, maka kami mengatakan:”Ya wahai Rasulullah, kami telah shalat (Maghrib) bersamamu kemudian kami berpendapat untuk duduk hingga kami shalat Isya bersamamu,” maka dia berkata: “Kalian memang baik dan kalian benar,”dia (Abu Musa) berkata: “kemudian dia (Rasulullah) menengadahkan wajahnya ke langit dan lama sekali dia seperti itu lalu mengatakan: “Bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit, apabila bintang-bintang itu sirna maka kehancuran akan menimpanya, dan aku adalah pengaman bagi para sahabatku, dan para sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Apabila mereka telah pergi maka akan datang sesuatu yang telah dijanjikan kepada umatku.”(Dikeluarkan oleh Muslim, lihat syarh Nawawi XVI/82)
Sungguh Rasulullah telah membuat perumpamaan bagi para shahabatnya radhiallahu ‘anhum untuk orang-orang Islam setelah mereka seperti kedudukan dia kepada para shahabatnya dan seperti kedudukan bintang-bintang terhadap langit.
Permisalan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam ini memberi pengertian yang sangat jelas tentang wajibnya mengikuti pemahaman para shahabat radhiallahu anhum dalam memahami Din ini seperti kembalinya umat ini kepada Nabi mereka salallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi telah mejelaskan Al-Qur’an dan para shahabat radhialllahu anhum pun telah menukil penjelasannya secara utuh untuk disampaikan kepada umat ini.
Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berbicara dengan hawa nafsunya. Apa saja yang berasal darinya adalah Ar-Rusyd (Al-Haq) dan Al-Huda (petunjuk). Para shahabat semuanya adil (jujur). Mereka tidak berbicara kecuali dengan jujur dari tidak beramal kecuali dengan haq. Dan demikian juga bintang-bintang telah Allah ciptakan sebagai senjata pelempar bagi para setan ketika mereka mencuri berita, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan yaitu bintang-gemintang. Dan kami telah memelihara (dengan sebenar-benarnya) dari setiap setan yang sangat durhaka, setan-setan itu tak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru untuk mengusir mereka dan bagi merekalah siksaan yang abadi, namun barangsiapa (diantara mereka yang mencuri-curi pembicaraan), maka ia akan dikejar oleh suluh api yang sangat menyala.”(Ash-Shafat:6-10)
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Dan sungguh Kami telah menghiasi langit dunia dengan pelita-pelita (bintang-bintang) dan Kami jadikan bintang-bintang itu sebagai alat pelempar bagi setan dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang meyala-nyala.”(Al-Mulk:5)
Demikian juga para shahabat radhialllahu anhum, mereka adalah hiasan umat ini. Pemahaman, ilmu dan amal mereka adalah benteng dari takwilnya orang-orang bodoh dan benteng dari berbagai aliran Ahlul Batil serta tahrifnya (penyelewengannya) orang-orang yang ghuluw (berlebih-lebihan).
Seperti itu pula, sesungguhnya bintang-bintang itu adalah menara bagi penduduk bumi untuk memberi petunjuk kepada mereka dalam kegelapan, baik di laut maupun di darat. Allah berfirman :
“..dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan), dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapatkan petunjuk.”(An-Nahl:16), dan Allah berfirman:
“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.”(Al-An’am:97) demikian pula keadaan para shahabat. Mengikuti mereka akan memberi kesalamatan dari kegelapan syahwat (kebrutalan hawa nafsu) dan syubhat (bahaya pengkaburan), dan siapapun yang berpaling dari pemahaman shahabat maka dia berada dalam kesesatan dimana kegelapan demi kegelapan semakin melilitnya sehingga kalau dia mengulurkan tangannya hampir tidak akan terlihat.
Dengan pemahaman shahabat, kita membentengi Al-Qur’an dan As-Sunnah dari berbagai bid’ah setan dari jenis manusia ataupun jin. Mereka hanya menginginkan timbulnya fitnah dan menghendaki takwilnya untuk merusak apa yang dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya. Maka pemahaman shahabat radhiallahu anhum adalah benteng dari segala keburukan dan benteng dari sebab-sebab yang menimbulkannya. Kalau pemahaman para sahabat tidak bisa dijadikan hujjah maka mustahil pemahaman gernerasi setelah para sahabat menjaga pemahaman para shahabat dan menjadi benteng baginya.
Apabila pengkhususan dan pembatasan ini ditolak yaitu wajibnya memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih dengan pemahaman -maka akan semakin jauhlah seorang muslim dari “kebenaran yang mutlak” dan (yang lebih buruk lagi) berbagai firqah dan partai akan menjadi terhalang untuk kembali ke jalan yang benar.
Sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan penangkal berbagai pemahaman yang menyimpang seperti : Muta’zilah, Murji’ah, Jahmiyah, Syi’ah, Tassawuf, Sufi, Khawarij, Bathiniyah,dan selain mereka, maka tidak bisa tidak harus ada pemisah. Maka jika ada yang bertanya: “Memang tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasul salallahu ‘alaihi wa sallam dan pemhaman para sahabat adalah manhaj yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan darimanapun datangnya, namun apa dalilnya bahwa manhaj salafi adalah merupakan pemahaman Rasul salallahu ‘alaihi wa sallam beserta para shahabatnya?”
Saya katakan bahwa jawabannya ada beberapa sisi : (a). Sesungguhnya berbagai pemahaman (firqah-firqah) yang telah saya sebutkan di atas, munculnya adalah setelah masa kenabian dan Khulafaur Rasyidin dan tidak ada satupun dari mereka (firqah-firqah) yang menyandarkan permahamannya kepada para sahabat, bahkan mereka menentang para sahabat. Maka jelaslah bahwa kelompok yang tidak berjalan di atas jalan (pemahaman) kelompok-kelompok di atas dan tidak mengikuti thariqah mereka, maka dia berada pada pokok yang asli (di atas pemahaman Rasul dan para sahabat). (b). Tidak akan kita temukan dalam berbagai kelompok tadi yang sesuai dengan pemahaman shahabat radhiallahu anhum kecuali hanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan dari para pengikut Salafus Shalih dan Ahlul Hadits. Coba perhatikan!
Muta’zilah : Bagaimana mungkin mereka sesuai dengan pemahaman para shahabat radhiallahu anhum padahal tokoh-tokoh mereka telah mencerca dan mencela banyak sahabat yang mulia. Bahkan mereka menolak keadilan (kejujuran) para shabat dan menganggap para shahabat telah sesat, sebagaimana perkataan tokoh mereka Washil bin Atha yang mengatakan:
“Seandainya Ali, Thalhah atau Zubair atau dari pengikut rombongan onta (Aisyah radhiallahu anha), mereka syahid di atas segenggam bunga kol. Maka aku tidak akan meyakini keyakinan mereka!!!” (lihat Al-Farqu bainal Firaq hal.119-120)
Syi’ah : Mereka telah menuduh para shahabat murtad setelah wafatnya Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya tiga orang saja (lihat ‘Al Kafi oleh Al-Kilani hal.115 dan di ‘Rijaul Kassi hal. 12-13). Padahal orang yang mengkafirkan para shahabat tidak bisa dihadikan sebagai panutan dan teladan serta tidak ada kemuliaan baginya.
Khawaij : Mereka telah menyempal dari dien dan telah menyempal pula dari jama’ah kaum muslimin. Di antara pokok pemikiran madzhabnya adalah mengkafirkan Ali, anaknya, Ibnu Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah, Muawwiyah. Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang tidak mengambil sahabat sebagai hujjah (ilmu dan amal) bahkan mengkafirkan mereka, bukanlah orang yang berjalan di atas jalannya para shahabat.
Sufiyah/Tassawuf : Mereka telah istihza’ (mempermainkan) dan menginjak-injak warisan para nabi. Mereka juga telah menggugurkan dan tidak mau mengambil ilmu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan mensifatinya dengan sesuatu yang sudah mati. Tokoh-tokoh mereka mengatakan : “Kalian mengambil ilmu secara mati dari orang yang mati, sedangkan kami mengambil ilmu kami dengan “hatiku yang telah mengilhamkan kepadaku dari Rabbku” (suara batin)!?
Murji’ah : Mereka meyakini bahwa imannya orang munafiqin sama dengan imannya para sahabat As-Sabiqul Awwalun.
Pada prinsipnya, semua firqah menginginkan batalnya kesaksian kita terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dan bahkan mengkritik dan mencelanya. Padahal sebaliknya justru merekalah yang lebih pantas untuk dicela, dicerca dan dicaci. Dengan demikian jelas dan gamblanglah bagi kita bahwa pemahaman salafi adalah merupakan manhaj Al-Firqatun Najiyah dan At-Thaifah Al-Manshurah dalam pemahaman, pengambilan ilmu dan dalil. Kalau begitu, maka siapakah sebenarnya Al-Firqatun Najiyah dan At-Thoifah Al-Manshurah itu?

Mengapa Mereka Menyerang Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab?

Oleh: Ganna Pryadha
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
من أبرز مؤلفات الشيخ محمد بن عبد الوهاب،
- أحاديث في الفتن و الحوادث .
- أحكام الصلاة.
- آداب المشي إلى الصلاة.
- أربع قواعد تدور الأحكام عليها.
- أصول الإيمان.
- أصول الدين الإسلامي مع قواعده الأربع.
- الجواهر المضية.
- الخطب المنبرية.
- الرسائل الشخصية.
- الرسالة المفيدة.
- الطهارة.
- القواعد الأربعة.
- الكبائر.
- مسائل الجاهلية.
- بعض فوائد صلح الحديبية.
- تفسير آيات من القرآن الكريم.
- ثلاثة أصول.
- حاشية الأصول الثلاثة.
- رسالة في الرد على الرافضة.
- شروط الصلاة وأركانها وواجباتها.
- فتاوى ومسائل.
- فضائل القرآن.
- فضل الإسلام.
- كتاب التوحيد.
- كشف الشبهات.
- مبحث الاجتهاد والخلاف.
- مجموعة رسائل في التوحيد والإيمان.
- مختصر الإنصاف والشرح الكبير.
- مختصر تفسير سورة الأنفال.
- مختصر زاد المعاد لابن قيم الجوزية.
- مختصر سيرة الرسول صلى الله عليه وسلم.
- مسائل لخصها الشيخ محمد بن عبد الوهاب من كلام ابن تيمية.
- مفيد المستفيد في كفر تارك التوحيد.
Sejak awal kemunculannya, dakwah yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab senantiasa mendapatkan serangan menohok dan selalu berhadapan dengan musuh-musuh keji, baik dari pihak penguasa, kalangan yang mengklaim berafiliasi kepada ilmu (baca: ulama jahat), kelompok-kelompok sesat, ataupun orang-orang kafir.
Beragam metode dan konsep diterapkan mereka guna membendung dakwah Ahlussunnah yang dikembangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mulai dari penulisan dan pendistribusian buku-buku yang menyerang dakwah ‘salafiyyah’reformis itu, semisal buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi yang ditulis oleh Syaikh Idahram (Marhadi Muhayyar); lalu agitasi, provokasi, dan intimidasi para penguasa kafir terhadap para pengikut dakwah Syaikh Ibnu Abdul Wahhab, dan bahkan dengan kekerasan fisik (senjata).
Bahkan musuh-musuh itu tidak segan-segan memberikan stigma negatif-ofensif kepada dakwah yang mengajak manusia untuk bertauhid secara lurus dan purfikatif itu. Mereka mencap para pengikut dakwah Syaikh yang tumbuh-besar di Nejed itu sebagai teroris, ekstremis, radikalis, kelompok eksklusif, dan sederet terminologi buruk lainnya. Mereka mengistilahkan “Wahhabi” untuk setiap pengikut dakwah Syaikh. Para pengikut dakwah tauhid disebut sebagai orang-orang yang melanggar tradisi dan kepercayaan, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur‘an Al-Karim dan hadits-hadits shahih.
…Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan ‘Wahhabi’. Semua tak sesuai dengan realitanya…
Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan ‘Wahhabi’. Tak ayal, yang lahir adalah citra buruk dan keji tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini, menuntut kaum muslimin untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau para pelaku bid’ah.
Mengomentari serangan seperti itu, di dalam Majmu’ah Mu‘allafat Asy-Syaikh Muhammad ibni Abdil Wahhab (26/5), Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menceritakan, “Tatkala aku muncul ke permukaan untuk membenarkan dakwah Rasulullah, orang-orang mencaciku dengan keji. Mereka mengira bahwa aku telah mengafirkan semua orang Islam dan menganggap halal harta-harta mereka.”
Dalam surat korespondensinya kepada As-Suwaidi –seorang ulama asal Irak— sebagai jawaban atas surat As-Suwaidi kepadanya, Syaikh Ibnu Abdul Wahhab mengutarakan kebencian dan fitnah dusta yang dilayangkan musuh-musuh mereka. Syaikh berkata:
“Bermacam-macam tuduhan telah dilontarkan kepada kami, fitnah pun makin menjadi-jadi, mereka mengerahkan pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki dari kalangan iblis untuk menyerang kami. Dan di antara kebohongan yang mereka sebarkan, adalah tuduhan bahwa aku mengkafirkan seluruh kaum muslimin kecuali pengikutku, dan menikah dengan mereka hukumnya tidak sah. Untuk menukil tuduhan tersebut saja orang yang berakal merasa malu, apalagi untuk mempercayainya.
Bagaimana mungkin orang yang berakal memiliki keyakinan seperti itu? Apakah mungkin seorang muslim meyakini keyakinan demikian? Aku berlepas diri dari tuduhan itu. Tuduhan itu tidaklah dilontarkan melainkan dari orang yang tidak waras dan linglung. Semoga Allah Ta’ala memerangi orang-orang yang bermaksud jelek.” (Kitab Ad-Durar As-Saniyyah, I/80)
Jika kita meneliti kitab-kitab dan tulisan-tulisan yang menyerang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, maka kita bisa mendapatkan fakta bahwa kebanyakan mereka berasal dari kelompok Syi’ah Rafidhah, kelompok Sufi ekstrim, kaum sekular-liberalis, orang-orang kafir, Para ulama su‘ yang memandang kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran, dan yang lainnya. Kelompok Syiah Rafidhah melancarkan serangan kepada dakwah Syaikh Ibnu Abdul Wahhab demi membela akidah dan imam-imam mereka.
Akidah Syi’ah menyatakan bahwa kelompok Ahlussunnah telah murtad dari Islam, dikarenakan tidak mendahulukan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khatthab. Tak aneh jika Syi’ah sampai menyatakan halal atas darah dan harta Ahlussunnah. Dalam akidah Syi’ah, mencaci dan menghina sahabat mempunyai keutamaan besar, sehingga termasuk tindakan yang diganjar hadiah surga.
Kebencian Syi’ah kepada para sahabat Nabi Muhammad, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, dan lainnya sungguh mengurat-akar. Tidak sedikit ulama Ahlussunnah yang membantah ajaran-ajaran sesat Syi’ah melalui kitab-kitab dan tulisan-tulisan. Termasuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Melalui Risalah fi Ar-Radd ‘ala Ar-Rafidhah (Risalah untuk Membantah Syi’ah Rafidhah), Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah sejumlah prinsip dan ajaran Syi’ah melalui argumentasi singkat dan dalil-dalil yang meyakinkan. Belum lagi kemarahan mereka semakin menghebat, karena para ksatria dakwah tauhid telah menghancurkan bangunan kubah di atas kuburan Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Semua ini mendorong mereka untuk memusuhi dakwah tauhid, dan menebarkan kedustaan-kedustaan tentangnya.
Pun demikian dengan golongan Sufi yang melakukan hal-hal bid’ah dalam agama. Prinsip-prinsip kelompok tasawuf banyak bertentangan dengan ajaran Islam sesuai pemahaman Rasulullah dan para sahabat beliau. Sehingga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta para muridnya merasa perlu untuk meluruskan pemikiran kelompok Sufi dengan hujjah-hujjah yang gamblang dan tegas.
Satu persatu syubhat dan kerancuan kaum Sufi pun terbantahkan. Seluruh bid’ah dan amalan-amalan keagamaan yang bernuansa kesyirikan dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah lambat-laun menghilang dari bumi Najed dan Hijaz. Tak pelak lagi, hal tersebut membuat murka kalangan Sufi, sehingga pengikut mereka semakin susut. Kemudian mereka menghalalkan segala cara untuk membendung dakwah tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sementara orang-orang sekular dan liberalis –serta orang-orang yang mengaku reformis-moderat– sengaja menyerang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab demi mempreteli prinsip-prinsip syariat Islam, berlepas diri darinya, serta memarjinalkan Islam dari sendi-sendi kehidupan masyarakat demi kepuasan hedonistik dan kehidupan permisif.
Ditambah lagi pihak-pihak yang mencoba untuk memprovokasi orang-orang agar menyerang dakwah tauhid, dikarenakan prinsip-prinsip dakwahnya –semisal jihad fi sabilillah dan al-wala‘ wa al-barra‘ (loyalitas dan anti-loyalitas dalam Islam)—  menghalangi syahwat keduniaan mereka. Sehingga mereka, misalnya, terhalang untuk bisa bermesraan dengan orang-orang kafir dan terhalang meraup keuntungan materialistik. Tujuan para pengusung akal adalah kehidupan dunia; makan enak, tidur nyenyak, dan harta banyak, meskipun harus mengorbankan prinsip-prinsip akidah dan hukum-hukum syariat.
Adapun permusuhan Barat kepada dakwah yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sudah jauh lebih lama menyeruak, sejak dakwah penuh keberkahan ini muncul. Jalal Abu Alrub, dalam Biography and Mission of Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb, menyebutkan bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan ‘Wahhabisme’, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ulama di India yang memeluk dan menyokong dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Dalam situs Wikipedia disebutkan, imperialis Inggris yang menjajah banyak negeri kaum muslimin kala itu pun khawatir terhadap dampak buruk penyebaran dakwah Syaikh Ibnu Abdul Wahhab terhadap eksistensi mereka.
Sebab Syaikh menghidupkan kembali ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik dan bid’ah, sedangkan Inggris justru mempertahankan hal-hal tersebut, karena di situlah titik kelemahan kaum muslimin.
Artinya, bila kaum muslimin kembali kepada tauhid dan meninggalkan semua bentuk syirik dan bid’ah, niscaya mereka akan angkat senjata melawan para penjajah. Karenanya, Inggris memunculkan istilah ‘Wahhabi’ dan merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka lekatkan pada pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sehingga banyak dari kaum muslimin di negeri-negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan serta merta membenci mereka.
Hal demikian senada dengan analisa W.W Hunter dalam bukunya yang berjudul The Indian Musalmans. Dia mencatat bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling menakuti kebangkitan muslim ‘Wahhâbi’ yang tengah bangkit menentang Inggris. Hunter menulis, “Tidak ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhabi, karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang Inggris dan mengagitasi (membangkitkan semangat) umat dengan atas nama jihad untuk memusnahkan penindasan akibat dari ketidaktundukan kepada Inggris dan kekuasaan mereka.”
…Barat begitu gigih menentang dakwah‘salafiyah’. Orang-orang Kristen Barat merupakan penganut trinitas dan melakukan kesyirikan kepada Allah…
Tidaklah mengherankan jika Barat begitu gigih menentang dakwah ‘salafiyah’ ini.
Orang-orang Kristen Barat merupakan penganut trinitas dan melakukan kesyirikan kepada Allah. Sedangkan dakwah yang dikomandoi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berdiri di atas prinsip pengesaan (tauhid) Allah SWT. Orang-orang Barat begitu menikmati hubungan mesra mereka dengan syahwat dunia, harta, tahta, dan wanita. Sementara dakwah tauhid menyeru orang-orang agar patuh kepada Allah, mau beribadah kepada-Nya tanpa dibarengi kemusyrikan, dan berpaling dari segala sesuatu selain-Nya.
Secara definitif, Syaikh Abdul Aziz Abdul Latif menerangkan faktor-faktor pemicu pertentangan orang-orang awam terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang diringkas ke dalam poin-poin berikut:
1. Ketidaktahuan akan agama Islam secara komprehensif dan terstruktur, berkembangnya penyimpangan-penyimpangan akidah yang dianut kebanyakan orang Islam, sikap fanatik terhadap pendapat-pendapat ulama yang tidak memiliki pemahaman lurus tentang Islam, taklid buta, pemujaan terhadap kuburan, berhukum kepada thaghut (segala sesuatu yang disembah dan ditaati selain Allah), condong dan merasa nyaman ‘bermesraan’ dengan orang-orang kafir. Semua fenomena di atas terlihat jelas dari kehidupan kaum muslimin kontemporer. Sementara dakwah tauhid meniscayakan ketundukan kepada teks-teks wahyu dan penyembahan kepada Allah semata.
Dakwah tauhid mengajarkan bahwa para ulama hanyalah sekadar sarana dan wasilah untuk memahami Islam. Jika para ulama itu menyimpang dari akidah yang benar, maka pendapat mereka tidak bisa diikuti. Islam menetapkan bahwa siapa saja yang menuhankan ulama atau penguasa dalam proses menghalalkan apa yang Allah haramkan, atau mengharamkan apa yang Allah halalkan, maka para ulama dan penguasa itu tak ubahnya tuhan-tuhan selain Allah. Islam juga melarang umatnya untuk loyal kepada orang-orang kafir. Siapa saja muslim yang membantu mereka untuk menyerang kaum muslimin, maka sesungguhnya dia telah keluar dari Islam. Wajar jika dakwah tauhid yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini muncul, maka para ulama su‘ (jahat) dan orang-orang awam beramai-ramai menentangnya. Ini mengingat, dakwah tauhid menyelisihi kebiasaan-kebiasaan syirik dan bid’ah yang biasa mereka lakukan.
…Segenap musuh beramai-ramai melakukan kedustaan atas nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Abdullah bin Suhaim menulis surat ke sejumlah ulama negeri muslim untuk memprovokasi mereka agar menentang dakwah Syaikh…
2. Faktor kedua yang memicu serangan bertubi-tubi kepada dakwah tauhid adalah stigma yang melekat pada dakwah dan tokoh-tokohnya. Tak terhitung lagi banyaknya distorsi, tuduhan dusta, dan kerancuan-kerancuan yang diarahkan musuh-musuh tauhid kepada dakwah dan tokoh-tokohnya.
Segenap musuh beramai-ramai melakukan kedustaan atas nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Sebagaimana dilakukan Abdullah bin Suhaim –salah seorang musuh Syaikh Ibnu Abdul Wahhab. Dia menulis surat ke sejumlah ulama negeri muslim untuk memprovokasi mereka agar menentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dalam surat yang ditulisnya terdapat berbagai kebohongan dan kedustaan. Tak heran jika kemudian orang-orang termakan hasutan dan kedustaan para ulama su‘ itu, sehingga mereka dengan sukarela melancarkan serangan.
3. Pertikaian-pertikaian politik dan peperangan yang terjadi antara para pengikut dakwah tauhid dengan orang-orang Turki Utsmani, serta antara para pengikut dakwah tauhid dengan para penguasa. Pertikaian-pertikaian ini masih menyisakan bekas hingga saat ini. Di majalah Al-Manar, Muhammad Rasyid Ridha pernah menulis, “Sesungguhnya penyebab munculnya tuduhan bahwa Wahhabiyah melakukan ‘bid’ah’ dan ‘kekafiran’ adalah murni karena persoalan politik an-sich, agar kaum muslimin yang telah menguasai daerah Hijaz menghindar darinya. Orang-orang Turki Utsmani merasa ketakutan bahwa kaum muslimin akan mendirikan sebuah Negara Arab. Sejatinya, apabila badai politik mereda, maka orang-orang Turki Utsmani tidak akan mengotak-atik para ‘Wahhabis’.
…Orang-orang yang mau bersikap adil akan mengetahui betapa istimewanya dakwah tauhid yang diusung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Istimewa dari segi pengambilan-pengambilan hukum, kemurnian akidah, dan keabsahan manhajnya…
4. Termasuk ke dalam faktor yang membuat musuh-musuh menentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ketidaktahuan mereka tentang hakikat dakwah tauhid dan keengganan mereka untuk menelaah karya-karya dan tulisan-tulisan tokoh-tokoh dakwah tauhid.
Disebabkan kedengkian dan sikap apriori, mereka enggan untuk mau meneliti karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau tokoh-tokoh lainnya, secara fair dan dengan hati serta pikiran terbuka. Adakah dari mereka yang secara tulus mau menelaah kitab Ushul Al-ImanAl-Qawa’id Al-Arba’ahTsalatsah UshulKitab At-TauhidKasyfu Asy-Syubuhat, dan lain sebagainya? Jika memang mereka merasa keberatan dengan dakwah yang diusung Syaikh, maka silahkan kritisi dan bantah dengan dalil-dalil yang kuat dan mu’tabar (kredibel). Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur’an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya. Mayoritas intelektual dan ‘ulama’ mengetahui dakwah yang diusung Syaikh Ibnu Abdul Wahhab melalui kitab-kitab dan tulisan-tulisan musuh-musuhnya. Sebagaimana dinyatakan sebuah ungkapan: “Manusia selalu memusuhi sesuatu yang tidak diketahuinya.”
Bagi orang-orang yang mau bersikap adil, mereka akan mengetahui betapa istimewanya dakwah tauhid yang diusung  Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Istimewa dari segi pengambilan-pengambilan hukum dan prinsip melalui sumber-sumber primer Islam yang purifikatif, kemurnian akidah, dan keabsahan manhajnya.
Membela dakwah tauhid bukan sekadar membela para ulama dan tokohnya semata, namun juga membela prinsip-prinsip dan hukum-hukum Allah dan manhaj salafush-shalih. Akhirnya, semoga kita semua bisa mengambil manfaat dari upaya-upaya ilmiah dan khazanah intelektual berharga yang diwariskan para ulama dan tokoh dakwah tauhid. Sebagaimana juga mengambil manfaat dari kehidupan dan pengalaman mereka. Wallahu A’lam.
[voa-islam.com] Rabu, 21 Dec 2011.