Friday, August 29, 2014

Hanya Sebagian Shahabat yang Dijanjikan Surga ? [QS. Al-Fath : 29]


Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 00.14 
Label: Al-Qur'an dan TafsirSyi'ah

Pertanyaan : “Orang Syi’ah mengatakan bahwa yang dijanjikan ampunan dan pahalan yang besar (surga) dalam QS. Al-Fath ayat 29 hanyalah sebagian shahabat saja, karena Allah memakai kata ‘minhum’ yang bermakna ‘sebagian’. Benarkah perkataan ini ?”.
Jawab : Terima kasih atas pertanyaannya. Allah taalaberfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih ‘dari mereka’ ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Fath : 29].
Kata ‘min’ dalam kalimat ‘wa’adallahul-ladziina aamanuu wa ‘amilush-shaalihaati minhummaghfiratan wa ajran ‘adhiiman’ maknanya bukanlah ‘tab’iidl’ (yang menunjukkan sebagian). Para ulama telah menjelaskan bahwa kata ‘min’ di situ maknanya ada dua, yaitu :
1.     Min jinsihim wa amtsalihim (min yang menunjukkan dari jenisnya dan yang semisalnya), sebagaimana firman Allah ta’ala :
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الأنْعَامُ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَالأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” [QS. Al-Hajj : 30].
Min dalam ayat di atas bukanlah tab’iidliyyah sehingga bermakna ‘hanya sebagian berhala saja yang dijauhi’. Akan tetapi maknanya adalah ‘min jinsihim wa amtsalihim’ sehingga yang diperintahkan untuk dijauhi adalah kenajisan dari semua macam jenis berhala.
2.     Min muakkidah (min yang menunjukkan makna penekanan), sebagaimana firman Allahta’ala :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang lalim selain kerugian” [QS. Al-Israa’ : 82].
Min dalam ayat itu maknanya bukan ‘sebagian’, sehingga hanya ‘sebagian’ Al-Qur’an saja yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman. Akan tetapi min di situ menunjukkan penekanan bahwa Al-Qur’an keseluruhannya menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman.
Inilah yang dijelaskan para ulama[1] saat membahas QS. Al-Fath ayat 29.
Selain itu, dapat kita lihat bahwa konteks QS. Al-Fath ayat 29 secara keseluruhan membicarakan tentang pujian dengan sifat:
a.     keras terhadap orang-orang kafir;
b.     berkasih sayang sesama mereka;
c.      rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya;
d.     tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
Sifat-sifat ini adalah sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang bersama Muhammadshallallaahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan di awal ayat:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ....
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka……”.
Sangat aneh jika kemudian minhum yang ada di akhir ayat dimaknai tab’iidliyyah.
Kesimpulan : Perkataan orang Syi’ah itu salah.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 09031435/11012014 – 00:15 – baca juga artikel : Mencela Shahabat].


[1]      Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
"من" هذه لبيان الجنس
’Min’ dalam ayat ini adalah untuk menjelaskan jenisnya (li-bayaanil-jins)” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 7/363].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
وليست {من} في قوله: {منهم} مبعضة لقوم من الصحابة دون قوم، ولكنها عامة مجنسة، مثل قوله تعالى: {فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ} [الحج: 30]
Min’ dalam firman-Nya ‘minhum’ bukanlah untuk menunjukkan sebagian orang dari kalangan shahabat dan tidak sebagian yang lain. Akan tetapi min di situ adalah menunjukkan umum untuk jenisnya, seperti firman-Nya ta’ala : ‘maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu’ (QS. Al-Hajj : 30)” [Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 16/295-296].

Definisi Sahabat
29 June 2012
Jika Anda baru berkunjung, jangan lupa untuk Berlangganan Gratis(via email/RSS). Terima kasih atas kunjungannya!
 “Mereka mengajarkan kepada kita sunnah Rasulullullah, mereka adalah orang – orang yang secara langsung menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasulullah “/ Imam Syafi’ie Rahimahullah.
Abu bakar Shiddiq radiyallahu ‘anhu,’Umar bin khatabb Radiyallahu ‘anhu ,’Ustman bin ‘Affan radiyallahu ‘anhu ,’Ali Radiyallahu ‘anhu, Mu’awiyah radiyallahu ‘anhu, Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma.
Melihat nama nama di atas, tentu terlintas sesuatu di benak yang mengatakan adanya hubungan antar satu nama dengan lainnya, ..aha.. anda benar “sahabat Nabi !” , deretan nama diatas hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan sahabat Nabi .
“Sahabat Nabi “, ketika terdengung di telinga tak ayal pikiran mengawang menuju masa 14 abad yang lalu dimana gurun pasir terbentang luas di tanah Arab lengkap dengan pedang – pedang yang digenggam para sahabat Nabi  ketika berperang.
Atau terlintas di pikiran kita yaitu orang – orang yang selalu di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan manusia – manusia ahli ibadah. namun sejatinya apakah definisi sahabat ini? Apakah hewan – hewan yang bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di zaman beliau merupakan sahabat? Bagaimana pula dengan Najasyi yang beriman di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , namun tidak pernah bertemu dengan beliau, di sebut sahabatkah? Untuk mengetahui itu semua ada baiknya kita menyelami tulisan tulisan para ulama tentang definisi sahabat, kedudukan mereka dan sebagainya.
DEFINISI SAHABAT
Ibnu Hajar Al-asqolanie -seorang ulama hadist abad ke 9- berkata tentang definisi Sahabat :
“من لقي النبي صلى الله عليه و اله و سلم مؤمنا به و مات على الإسلام”
(Man laqiya an-Nabi yya shollallahu a’laihi wa alihi wa sallam mu’minan bihi wa maata ‘ala al-islam)
“Siapa saja yang berjumpa dengan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beriman kepadanya dan wafat dalam keadaan Islam” (lihat : Al- Isobah fie tamyiezi as-sohabah,ibnu hajar 1/10 . Dinukil dari : Ruwat al-Hadist ,DR.’Awwad Ar-ruwaisyie, hal : 26)
Melihat Definisi di atas maka tergambar jelas siapa saja yang masuk dalam kategori sahabat dan yang bukan.
Yang termasuk dalam definisi Sahabat di atas adalah :
[a] Pria Dan Wanita
Definisi di atas menggunakan kata “man” yang ditunjukkan untuk sesuatu yang berakal, berarti “siapa saja baik laki –laki maupun perempuan yang berakal” termasuk dalam kata ini.
[b] Orang yg bertemu dgn Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam baik lama atau sebentar, baik meriwayatkan hadits dari beliau atau tidak, baik ikut berperang bersama beliau atau tidak. Demikian juga orang yang pernah melihat beliau sekalipun tidak duduk dalam majelis beliau, atau orang yang pernah berjumpa dengan beliau walaupun tidak melihat karena buta
[c] Masuk dalam definisi ini pula orang yg beriman lalu murtad kemudian kembali lagi kedalam Islam dan wafat dalam keadaan Islam seperti Asy’ats bin Qais.
Yang Tidak Termasuk Definisi di Atas :
[a] Orang gila, hewan,batu,tumbuh – tumbuhan dan sebagainya yang tidak berakal.
[b] Orang yang bertemu Rasul ‘alaihissholatu wassalam dalam keadaan kafir meskipun dia masuk Islam sesudah itu (yakni sesudah beliau wafat ).
[c] Orang – orang yang beriman di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wafat dalam keadaan islam namun tidak pernah sama sekali berjumpa dengan beliau , seperti raja An-Najasyie.
[d] Orang yang beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihiwasallam kemudian murtad dan wafat dalam keadaan murtad. Wal’iyaadzu billah
BAGAIMANA BISA DIKETAHUI SESEORANG ITU DIKATAKAN SHAHABAT ?
Sahabat Dapat diketahui dengan beberapa cara :
[1] Kabar Mutawatir.
hafidz ‘iraqie berkata: “seperti abu bakar,’umar, dan sepuluh orang ahli surga” rhadiyallahu ‘anhum (kepastian mereka termasuk sahabat Nabi  shallallahu ‘alihi wasallam melalui kabar mutawatir)
[2] Kabar yang masyhur yg hampir mencapai derajat mutawatir seperti Dhamam bin Tsa’labah dan ‘Ukkaasyah bin Mihsan rhadiyallahu ‘anhuma
[3] Kesaksian oleh seorang shahabat lain atau oleh Tabi’in Tsiqat (terpercaya) bahwa si fulan itu seorang shahabat, seperti Hamamah bin Abi Hamamah Ad-Dausiy wafat di Ashfahan. Abu Musa Al-Asy’ari menyaksikan bahwa ia (Hamamah) mendengar hadits dari Nabi  shallallahu‘alaihiwasallam. [4].Seseorang yang mengaku ia seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi waasallam. Namun hal ini diterima dengan dua syarat :
Pertama : Orang tersebut merupakan seseorang yang terpercaya
Kedua : Memungkinkan bahwa ia bertemu dengan Rasulullah Shalla llahu ‘alaihi wa sallam , dan ulama mensyaratkan wafatnya tidak melebihi tahun 110H
Meminjam pribahasa “tak kenal maka tak sayang’, semoga dengan definisi sahabat di atas dan bagaimana cara mengetahui seseorang dapat dikatakan sahabat atau bukan bisa membuat diri ini semakin sayang dan cinta terhadap mereka.
Bukti cinta yang benar terhadap Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat adalah dengan mengikuti jalan yang mereka tempuh. Ridha ilahi ditambah surga adalah hadiah yang Allah ta’ala berikan kepada orang – orang yang mengikuti para sahabat dengan baik.
Sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١٠٠)
“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [At-Taubah : 100]
Wallahu ta’ala a’lam.
Madinah, 6 jumadil tsanie 1433 h/ 27 april 2012
Oleh : Rizqo Kamil Ibrahim
Referensi :
- Ruwat al-Hadist,DR.’Awwad ar-ruwaitsi,mudzakkiroh li tullab kulliyat al-hadist mustawa ats-tsanie.
Last modified on Thursday, 10 May 2012 21:28Written by  Rizqo Kamil Ibrahim


Muawiyah Dan Keutamaannya, Beliau Adalah Juru Tulis Rasulullah, Bahkan Dijanjikan Masuk Surg


Muawwiyah bin Abi Sofyan (20 SH – 60 H)
29 June 2012

Mu’awwiyah bin Abu Sofyan bin Harb bin Umaiah Al Qurasyi Al Umawi adalah pendiri Daulat Umaiah di Suriah. Beliau lahir di Mekah dan sempat memusuhi Islam dan akhirnya memeluk Islam ketika penaklukan kota Mekah (8 H). Beliau sempat belajar baca tulis dan matematika, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkatnya menjadi juru tulisnya. Beliau bertugas di Suriah di masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Beliau menentanag Ali dan berkonfrontasi dengan Ali dalam perang Shiffin (37 H/657 M) yang berakhir dengan sebuah arbitrase. Beliau dinobatkan menjadi khalifah (40-60 H/661-680 M) di mana ibu kota pemerintahan dia pindahkan ke Damaskus. Beliau termasuk tokoh penakluk ternama dalam sejarah Islam, di mana penaklukannya sampai ke daerah di Lautan Atlantik.
Dia meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak seratus enam puluh tiga hadits. Beberapa sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan hadits darinya antara lain : Abdullah bin Abbas, Abdulah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Darda’, Jarir aI-Bajali, Nu’man bin Basyir dan yang lain. Sedangkan dari kalangan tabiin antara lain : Sa’id bin al-­Musayyib, Hamid bin Abdur Rahman dan lain-lain.
Dia termasuk salah seorang yang memiliki kepintaran dan kesabaran. Banyak hadits yang menyatakan keutamaan pribadinya, namun dari hadits-hadits tersebut hanya sedikit yang bisa diterima.
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan (dia mengatakan bahwa hadits ini hasan) dari Abdur Rahman bin Abi Umairah (seorang sahabat Rasulullah) dari Rasulullah bahwa dia bersabda kepada Mu’awiyah, “Ya Allah, jadikanlah dia orang yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk.”
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari al-Mirbadh bin Sariyyah dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Ya Allah ajarilah Mu’awiyah al-Qur’an dan hisab serta lindungilah dia dari adzab.”
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya dan Imam ath-Thabarani dalam kitabnya al-Kabir meriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair dia berkata: Mu’awiyyah berkata : Sejak Rasulullah bersabda kepada saya. “Wahai Mu’awiyah, jika kamu menjadi raja, maka berbuat baiklah!” saya selalu menginginkan jabatan kekhilafahan.
Mua’wiyyah adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi berkulit putih dan tampan serta karismatik. Suatu ketika Umar bin Khaththab melihat kepadanya dan berkata, “Dia adalah kaisar Arab.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib dia berkata, “Janganlah kalian membenci pemerintahan Mu’awiyah. Sebab andai kalian kehilangan dia, niscaya akan kalian lihat beberapa kepala lepas dari lehernya.”
Al-Maqbari berkata : “Kalian sangat kagum kepada kaisar Persia dan Romawi namun kalian tidak mempedulikan Mu’awiyah! Kesabarannya dijadikan sebuah pepatah. Bahkan Ibnu Abid Dunya dan Abu Bakar bin ‘Ashim mengarang buku khusus tentang kesabarannya.”
Ibnu ‘Aun berkata, “Ada seorang lelaki berkata kepada Mu’awiyah: Demi Allah hendaknya kamu menegakkan hukum dengan lurus wahai Mu’awiyah. Jika tidak, maka kamilah yang akan meluruskan kamu!”
Mu’awiyah berkata, “Dengan apa kalian akan meluruskan kami?”
Dia menjawab, “Dengan pentungan kayu!”
Muawiyyah menjawab, “Jika begitu kami akan berlaku lurus.”
Qubaishah bin Jabir berkata : Saya menemani Mu’awiyah beberapa lama, ternyata dia adalah seorang yang sangat sabar. Tidak saya temui seorang pun yang sesabar dia, tidak ada orang yang lebih bisa berpura-pura bodoh darinya, sebagaimana tidak ada orang yang lebih hati-hati daripadanya.
Tatkala Abu Bakar mengutus pasukan ke Syam, dia dan saudaranya Yazid bin Abu Sufyan berangkat ke sana. Tatkala Yazid meninggal dia ditugaskan untuk menggantikan saudaranya di Syam untuk menjadi gubernur. Umar mengokohkan apa yang ditetapkan Abu Bakar dan Utsman menetapkan apa yang ditetapkan oleh Umar. Utsman menjadikan Syam seluruhnya berada di bawah kekuasaannya. Dia menjadi gubernur di Syam selama dua puluh tahun dan menjadi khalifah juga selama dua puluh tahun.
Muawwiyah Bin Abu Sofyan adalah juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat turunnya wahyu.
Dan sungguh telah meriwayatkan Imam Muslim di dalam Sohihnya dari hadits Ikrimah bin Ammar, dari Abi Zamil Sammak bin Walid dari Ibnu Abbas bahwasanya Abu sofyan Berkata : “Wahai Rasulullah berikanlah tiga perkara kepadaku?” Rasulullah menjawab: “ya”. Beliau berkata : “perintahkanlah aku supaya memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu aku memerangi orang-orang Islam.” Rasulullah menjawab: “ya”, Beliau berkata lagi : “dan Muawiyah engkau jadikan sebagai penulis disisimu?” Rasulullah menjawab: “ya”.
Mu’awwiyah dijamin masuk Surga
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan di dalam Sohihnya dari Kholid bin Ma’dan dan bahwasanya Umair bin Mas’ud telah menceritakan kepadanya bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Pasukan pertama daripada kalangan umatku yang berperang di laut, telah dipastikan bagi mereka (tempat di syurga).”
Fakta sejarah mencatat bahawa armada laut yang pertama bagi umat Islam dipimpin oleh Muawiyah pada zaman pemerintahan Amirul Mukminin Usman ibn Affan Radhiallahu.
عَنْ ‏‏خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ ‏أَنَّ ‏عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ ‏حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى ‏عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ ،‏ ‏وَهُوَ نَازِلٌ فِي سَاحَةِ ‏ ‏حِمْصَ ،‏ ‏وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ ،‏ ‏أُمُّ حَرَامٍ ،‏ ‏قَالَ ‏عُمَيْرٌ :‏ ‏فَحَدَّثَتْنَا ‏‏أُمُّ حَرَامٍ ‏‏أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏‏يَقُولُ :‏ ‏أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ ‏‏أَوْجَبُوا ،‏ ‏قَالَتْ ‏‏أُمُّ حَرَامٍ :‏ ‏قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ ، قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ، ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :‏ ‏أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ ‏‏قَيْصَرَ ‏‏مَغْفُورٌ لَهُمْ ، فَقُلْتُ : أَنَا فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : لَا . رواه البخاري (2924) .
Dari Khalid bin Ma’dan bahwa ‘Umair bin Al Aswad Al ‘Ansiy bercerita kepadanya bahwa dia menjumpai ‘Ubadah bin ash-Shomit ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia sedang berada di rumahnya dan bersama dengan Ummu Haram. ‘Umair berkata; \”Maka Ummu Haram bercerita kepada kami bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: \”Pasukan dari ummatku yang pertama kali akan berperang dengan mengarungi lautan pasti akan diberi pahala dan surga\”. Ummu Haram berkata; Aku katakan: \”Wahai Rasulullah, aku termasuk diantara mereka?\” Beliau berkata; \”Ya, kamu termasuk dari mereka\”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi: \”Pasukan dari ummatku yang pertama kali akan memerangi kota Qaishar (Romawi) pasti mereka akan diampuni\”. Aku katakan: \”Aku termasuk diantara mereka, wahai Rasulullah?\” Beliau menjawab: ‘Tidak\”. (HR Al-Bukhari)
قال الحافظ ابن حجر في ” الفتح ” (6/120) : قَالَ الْمُهَلَّب : فِي هَذَا الْحَدِيثِ مَنْقَبَة لِمُعَاوِيَة لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ غَزَا الْبَحْرَ وَمَنْقَبَةٌ لِوَلَدِهِ يَزِيد لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ غَزَا مَدِينَةَ قَيْصَرَ .ا.هـ.
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam “Al-Fath” 120/6: al-Muhallab berkata: Dalam hadits ini  defile/ parade (perarakan barisan tentara) bagi Mu’awiyah karena dia adalah orang pertama yang berperang di laut, dan manqabah/ parade bagi anaknya, Yazid, karena dia orang pertama yang menyerang kota Kaisar. Selesai.
Mu’awwiyah adalah Orang yang Faqih
Pada zaman pemerintahan Umar bin khottob Radiallahu anhu pernah seorang mengadu kepada Ibn Abbas radhiallahu ‘anh bahwa Muawiyah melaksanakan solat witir dengan hanya satu rakaat. Ibn Abbas menjawab : “(Biarkan), sesungguhnya dia seorang yang faqih (faham agama).” [Shahih al-Bukhari – hadis no: 3765]
Muawwiyah adalah orang yang didoakan untuk mendapat hidayah
Dalam sebuah hadis yang dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendoakan Muawiyah : “Ya Allah! Jadikanlah beliau orang yang memimpin kepada hidayah dan berikanlah kepada beliau hidayah.” [Silsilah al-Ahadits al-Shahihah (Maktabah al-Ma`arif, Riyadh, 1995), hadits no: 1969]
Pujian Para Sahabat Kepada Mu’awwiyah
Sahabat besar Saad bin Abi Waqqas radhiallahu ‘anhu berkata : “Tak pernah saya melihat seorang yang lebih pandai memutuskan hukum selepas Sayyidina Utsman daripada tuan pintu ini (beliau maksudkan Mu’awiyah)”. (Al-Bidayah Wa an-Nihayah jilid 8 m.s. 133)
Seorang lagi sahabat Qabishah bin Jabir berkata : “Tak pernah saya melihat seorang yang lebih penyantun, lebih layak memerintah, lebih hebat, lebih lembut hati dan lebih luas tangan di dalam melakukan kebaikan daripada Mu’awiyah”. (Al-Bidayah Wa an-Nihayah jilid 8 m.s. 135)
Abdullah bin Mubarak, seorang tabi’in terkenal pernah ditanya : “ Apa pendapat anda tentang Mua’awiyah dan Umar bin Abdul Aziz, siapakah di antara mereka yang lebih utama?”. Mendengar pertanyaan itu Abdullah Ibnu al-Mubarak naik Pitam lalu berkata: “Kamu bertanya tentang perbandingan keutamaan antara mereka berdua. Demi Allah! Debu yang masuk ke dalam lubang hidung Mu’awiyah karena berjihad bersama-sama Rasulullah itu saja lebih baik dari Umar bin Abdul Aziz”. (Al-Bidayah Wa an-Nihayah jilid 8 m.s. 139)
Pujian para Ulama kepada Mu’awwiyah
Imam Adz-Dzahabi berkata bahwa hadist-haidist riwayat Muawiyah berjumlah 163 hadist dalam Musnad Baqiyi (bin Makhlad). Al Ahwazi telah menyusun Musnad Muawiyah dalam satu jilid kitab. Hadisnya (Muawiyah) yang disepakati Bukhari-Muslim sebanyak 4 hadist, dan yang diriwatkan oleh Imam Bukhari sebanyak 4 hadist dan Imam Muslim sebanyak 5 hadist (Siyar A’lam Nubala 3/162)
Dari Irbadh bin Sariyah berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Ya Allah, ajarkanlah Muawiyah ilmu tulis dan hitung dan lindungilah dia dari siksa.” (Hasan Lighairihi Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1938, Ibnu Hibban 2278, Ahmad 4/127, dan Fadhail Ash-Shahihah 1748, Al-Bazzar 2723, Al Fai dalam Tarikh 2/345, Ath-Thabrani dalam Al Mu’jam 18/252/628)
Dari Abdur Rahman bin Abi Umairah Al-Muzanni, berkata Said dan dia termasuk sahabat Nabi dari Nabi bahwa beliau berdo’a untuk Muawiyah, ”Ya Allah, jadikanlah dia penunjuk dan yang memberi petunjuk, tunjukilah ia dan berilah manusia petunjuk karenanya.” (Hasan Shahih Diriwayatkan Bukhari dalam Tarikh 4/1/327, Tirmidzi 2/316, Ibnu Asakir 16/684-686, dan Adz-Dzahabi dalam Siyar 8/38)
Umar bin Khattab berkata tatkala mengangkatnya sebagai Gubernur Syam, ”Janganlah kalian menyebut Muawiyah kecuali dengan kebaikan”. (Al-Bidayah 8/125)
Ali bin Abi Thalib berkata sepulangnya dari perang Shiffin,” Wahai manusia, janganlah kalian membenci kepemimpinan Muawiyah, seandainya kalian kehilangan dia, niscaya kalian akan melihat kepala kepala bergelantungan dari badannya (banyak pembunuhan)”. (Al-Bidayah 8/134)
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, ”Saya tidak melihat setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam orang yang lebih pandai memimpin manusia daripada Muawiyah.”
Dikatakan padanya, ”Sekalipun Ayahmu?” katanya, ”Ayahku Umar lebih baik daripada Muawiyah, tetapi Muawiyah lebih pandai berpolitik darinya.” (As-Sunnah I/443 Al-Khallal, Siyar A’lam Nubala 3/152, Al-Bidayah 8/138)
Ibnu Abbas berkata, ”Saya tidak melihat seorang yang lebih arif tentang kenegaraan daripada Muawiyah” (Al-Bidayah 8/138) Beliau juga mensifati Muawiyah dengan “faqih” (Shahih Bukhari 3765)
Mujahid berkata, ”Seandainya kalian melihat Muawiyah, niscaya kalian akan mengatakan : Inilah Al Mahdi.” Ucapan senada juga dikatakan Qatadah (As-Sunnah I/438 Al-Khallal)
Zuhri berkata, ”Muawiyah bekerja dalam pemerintahan Umar bin Khattab bertahun-tahun tiada cela sedikit pun darinya.” (As-Sunnah I/444 Al-Khallal).
Suatu kali pernah diceritakan kepada A’masy tentang keadlian Muawiyah, maka dia berkata, ”Bagaimana kiranya seandainya kalian mendapati Muawiyah?” Mereka berkata, ”Wahai Abu Muhammad apakah dalam kelembutannya?” Dia menjawab, ”Tidak, demi Allah, bahkan dalam keadilannya.” (As-Sunnah I/437)
Al-Muafa bin Amran pernah ditanya, ”Wahai Abu Mas’ud, siapakah yang lebih utama: Umar bin Abdul Aziz atau Muawiyah?” Beliau langsung marah sekali seraya berkata,” Seorang sahabat tidak dibandingkan dengan seorang pun. Muawiyah adalah sahabat Nabi, iparnya, penulis wahyunya.” (Tarikh Dimasyq 59/208)
Ibrahim bin Maisarah berkata, ”Saya tidak melihat Umar bin Abdul Aziz memukul sesorang kecuali seorang yang mencela Muawiyah, beliau mencambuknya dengan beberapa cambukan.” (Tarikh Dimasyq 59/211)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang Muawiyah dan Amr bin Ash, “Apakah dia Rafidhah?” Katanya,” Tak seorang pun berani mencela keduanya kecuali mempunyai tujuan jelek.” (Tarikh Dimasyq 59/210)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, ”Muawaiyah adalah paman kaum mukminin, penulis wahyu Alloh, salah seorang khalifah muslimin- semoga Allah meridhai mereka.” (Lum’atul I’tiqad hal 33)
Ibnu Taimiyah berkata,” Para ulama sepakat bahwa Muawiyah adalah raja terbaik dalam umat, karena 4 pemimpin sebelumnya adalah para khalifah nubuwwah, adapun dia adalah awal raja dan kepemimpinannya adalah rahmat.” (Majmu’ Fatawa 4/478, Minhaj Sunnah 6/232)
Ibnu Abil Izzi Al Hanafi berkata, ”Raja pertama kaum muslimin adalah Muawiyah, dan dia adalah sebaik-baiknya raja kaum muslimin.” (syarh Aqidah Thahawiyah hal 722)
Adz-Dzahabi berkata dalam biografinya, ”Amirul mukminin, raja Islam. Muawiyah adalah raja pilihan yang keadilannya mengalahkan kezhaliman.” (Siyar 3/120, 259) …
Ka’ab al-Ahbar berkata : “Tidak ada orang yang akan berkuasa sebagaimana berkuasanya Mu’awiyah.”
Adz-Dzahabi berkata : “Ka’ab meninggal sebelum Mu’awiyah menjadi khalifah, maka benarlah apa yang dikatakan Ka’ab. Sebab Mu’awiyah menjadi khalifah selama dua puluh tahun, tidak ada pemberontakan dan tidak ada yang menandinginya dalam kekuasaannya. Tidak seperti para khalifah yang datang setelahnya. Mereka banyak yang menentang, bahkan ada sebagian wilayah yang menyatakan melepaskan diri.”
Mu’awiyah melakukan pemberontakan kepada Ali sebagaimana yang telah disinggung di muka, dan dia menyatakan dirinya sebagai khalifah. Kemudian dia juga melakukan pemberontakan kepada al­-Hasan. Al-Hasan akhirnya mengundurkan diri. Kemudian Mu’awiyah menjadi khalifah pada bulan Rabiul Awal atau Jumadil Ula, tahun 41 H. Tahun ini disebut sebagai ‘Aam Jama’ah (Tahun Kesatuan), sebab pada tahun inilah umat Islam bersatu dalam menentukan satu khalifah. Pada tahun itu pula Mu’awiyah mengangkat Marwan bin Hakam sebagai gubernur Madinah.
Pada tahun 43 H, kota Rukhkhaj dan beberapa kota lainnya di Sajistan ditaklukkan. Waddan di Barqah dan Kur di Sudan juga ditaklukkan. Pada tahun itu pulalah Mu’awiyah menetapkan Ziyad anak ayahnya. Ini -menurut ats-Tsa’labi- merupakan keputusan pertama yang dianggap mengubah hukum yang ditetapkan Rasulullah.
Pada tahun 45 H, Qaiqan dibuka.
Pada tahun 50 H, Qauhustan dibuka lewat peperangan. Pada tahun 50 H, Mu’awiyah menyerukan untuk membaiat anaknya Yazid sebagai putra mahkota dan khalifah setelahnya jika dia meninggal.
Mu’awiyah meninggal pada bulan Rajab tahun 60 H. Dia dimakamkan di antara Bab al-Jabiyyah dan Bab ash-Shaghir. Disebutkan bahwa usianya mencapai tujuh puluh tujuh tahun. Dia memiliki beberapa helai rambut Rasulullah dan sebagian potongan kukunya. Dia mewasiatkan agar dua benda itu di diletakkan di mulut dan kedua matanya pada saat kematiannya. Dia berkata, “Kerjakan itu, dan biarkan saya menemui Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang!”.
Diposting oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim, diambil dari ‘Biografi Ahlul Hadits’,

Hadits dalam artikel berjudul “ HAmengkafirkan Mua’wiyah?”
8 January 2013

Dalam artikel berjudul  “HA mengkafirkan Mua’wiyah?” dimuat hadits  Muslim tentang Muawiyah jadi katib (juru tulis) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artikel itu dapat disimak kembali pada link inihttp://nahimunkar.com/16095/ha-mengkafirkan-muawiyah/#comment-23788
Di antara pembaca ada yang meminta agar terjemahan haditsnya dilengkapi.
Untuk itu, kini dicantumkan hadits dimaksud dan dilengkapi terjemahnya.
Berikut ini hadits yang dimaksud.
6565 – حَدَّثَنِى عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِىُّ وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا النَّضْرُ – وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِىُّ – حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ حَدَّثَنِى ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ لاَ يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِى سُفْيَانَ وَلاَ يُقَاعِدُونَهُ فَقَالَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا نَبِىَّ اللَّهِ ثَلاَثٌ أَعْطِنِيهِنَّ قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ عِنْدِى أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِى سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ. قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ وَتُؤَمِّرُنِى حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ. قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ وَلَوْلاَ أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ لأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْئَلُ شَيْئًا إِلاَّ قَالَ « نَعَمْ ». صحيح مسلم ـ مشكول وموافق للمطبوع – (7 / 171)صحيح مسلم ـ تح عبد الباقي – (4 / 1945)
Telah menceritakan kepadaku ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiriy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami An-Nadlr bin Muhammad Al-Yamaamiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah : Telah menceritakan kepada kami Abuu Zumail : Telah menceritakan kepadaku Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabi Allah, penuhilah tiga permintaanku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata : “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata : “Dan agar Anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata : “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang Islam”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Zumail berkata : “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentu beliau tidak akan memberinya, karena jika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimintai sesuatu, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menjawab selain ‘ya’”. [Shahih Muslim, 4/1945 no 2501, Bab Keutamaan Abu Sufyan bin Harb tahqiqMuhammad Fuad Abdul Baqi].
Rupanya sebagian orang menganggap bahwa hadits itu palsu padahal riwayat Muslim. Maka perlu dijelaskan duduk soalnya, untuk menjawab anggapan palsunya hadits itu.
Pembahasan untuk menjawab masalah itu dapat dibaca di bagian bawah, kutipan dari tulisan  Abu Al-Jauzaa’. Di antaranya beliau tegaskan:
Para ulama hanyalah mengkritik seputar lafadh permintaan pernikahan dari Abu Sufyaan saja. Seandainya lafadh itu kita hukumi syaadz, maka lafadh yang lain tidak. Tetap dipakai dan dijadikan hujjah. Ini adalah ma’ruf di kalangan ulama hadits.
Tidak ada petunjuk yang mengindikasikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dalam Shahiih Muslim di atas palsu. Tapi jika memang niatnya ‘membonceng’ perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, itu lain perkara.
Beda halnya dengan keadaan ‘peneliti’ Syi’ah Raafidlah yang sedang kebingungan dalam mencari jalan melemahkan riwayat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya.
Seandainya ada orang Syi’ah ‘mendompleng’ perkataan Ibnu Hazm akan penghukumannya atas kepalsuan riwayat, Anda tentu paham karena lafadh hadits Ibnu ‘Abbaas itu tidaklah menguntungkan posisi ‘aqidah Syi’ah Raafidlah yang penuh umpatan dan caci maki terhadap Abu Sufyaan dan anaknya (Mu’aawiyyah) radliyallaahu ‘anhumaa. Kebetulan ada celah yang dapat dimanfaatkan, maka dipakailah ia.
Demikian tulis Abu Al-Jauzaa’.
Selanjutnya mari kita simak kutipan selengkapnya pembahasan tentang hadits ini.
***
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa’ : di 23:49
Label: Syi’ah
Al-Imaam Muslim bin Hajjaaj rahimahullah berkata :
حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِيُّ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: ” كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ: وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا، قَالَ: نَعَمْ “
Telah menceritakan kepadaku ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiriy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami An-Nadlr bin Muhammad Al-Yamaamiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah : Telah menceritakan kepada kami Abuu Zumail : Telah menceritakan kepadaku Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabi Allah, penuhilah tiga permintaanku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata : “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata : “Dan agar Anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallammenjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata : “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang Islam”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Zumail berkata : “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentu beliau tidak akan memberinya, karena jika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimintai sesuatu, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menjawab selain ‘ya’”. [Shahih Muslim, 4/1945 no 2501, Bab Keutamaan Abu Sufyan bin Harb tahqiqMuhammad Fuad Abdul Baqi].
Ada hal yang menarik dalam bahasan hadits di atas, yaitu perkataan Ibnu Hazmrahimahullah. Saat mengomentari hadits di atas, ia berkata :
هَذَا حَدِيثٌ مَوْضُوعٌ لا شَكَّ فِي وَضْعِهِ , وَالآفَةُ فِيهِ مِنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ , وَلا يَخْتَلِفُ اثْنَانِ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالأَخْبَارِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَتَزَوَّجْ أُمَّ حَبِيبَةَ إِلا قَبْلَ الْفَتْحِ بِدَهْرٍ وَهِيَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ وَقِيلَ : هَذَا لا يَكُونُ خَطَأَ إِمْلَاءٍ ، وَلا يَكُونُ إِلا قَصْدًا ، فَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْبَلاءِ
“Hadits ini maudluu’ (palsu), dan tidak lagi diragukan akan kepalsuannya. Dan penyebabnya adalah dari ‘Ikrimah bin ‘Ammaar. Para ulama tidak berselisih pendapat tentang khabar bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menikahi Ummu Habiibah kecuali sebelum peristiwa Fathu Makkah, yaitu pada saat ia berada di negeri habasyah. Dan dikatakan : Hal ini tidaklah terjadi karena kekeliruan penyalinan (penulisan) dan tidak pula terjadi kecuali karena kesengajaan. Kita berlindung kepada Allah dari balaa’ (yang akan menimpa)” [Al-Mishbaah fii ‘Uyuunish-Shihaah – lihat di sini].
Ini adalah sikap berlebih-lebihannya Ibnu Hazm rahimahullah dalam penilaian hadits dan perawi. Para ulama, dulu dan sekarang, telah banyak memberikan kritikan kepada Ibnu Hazm rahimahullah ini.
Ibnu Hajar Al-‘Asqaalaniy ketika menyebutkan biografi Ibnu Hazm rahimahumallah berkata : “Ia adalah orang yang sangat luas hapalannya. Hanya saja, bersamaan dengan ketisqahan dan hapalannya, ia sangat ofensif dalam perkataan jarh dan ta’diil, serta penjelasan nama-nama perawi, sehingga ia jatuh karenanya dalam banyak kekeliruan yang buruk” [Lisaanul-Miizaan, 4/198 no. 531 – biografi Ibnu Hazm].
Perkataan Ibnu Hazm rahimahullah ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang senang memanfaatkan situasi untuk menjatuhkan kredibilitas hadits dan/atau perawinya, seperti kalangan kuffar orientalis. Juga Syi’ah Raafidlah, karena keduanya memang kakak beradik yang beda warna kulit.
Tentang ‘Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahullah, berikut keterangan para ulama tentangnya :
‘Ikrimah bin ‘Ammaar Al-‘Ijliy Abu ‘Ammaar Al-Yamaamiy (عكرمة بن عمار العجلي ، أبو عمار اليمامي). Termasuk  thabaqah ke-5, dan wafat tahun 159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secaramu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah.
Ahmad bin Hanbal berkata : “Mudltharibul-hadiits dari Yahyaa bin Abi Katsiir”. Ia juga berkata : “Mudltharibul-hadits dari selain Iyaas bin Salamah. Adapun haditsnya yang berasal dari Iyaas bin Salamah shaalih (baik)”. Dalam riwayat lain : “Orang yang paling menguasai hadits Iyaas bin Salamah, yaitu ‘Ikrimah bin ‘Ammaar”. Abu Zur’ah berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hanbal melemahkan riwayat Ayyuub bin ‘Utbah dan ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dan ia berkata : ‘’Ikrimah paling tsiqah dari keduanya (yaitu antara ‘Ikrimah dan Ayyuub)”. Dalam riwayat lain dari Al-Fadhl bin Ziyaad, Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ‘Ikrimah kedudukannya di atas Ayyuub bin ‘Utbah, Muzaazim bin ‘Amru, dan yang lainnya dari penduduk Yamaamah.
Yahyaa bin Ma’in berkata : “Tsiqah”. Di riwayat lain: “Tsabat”. Di lain riwayat : Shaduuq, tidak mengapa dengannya”. Di riwayat lain: “Ia seorang buta huruf (ummiy), namun haafidh”. Di riwayat lain ia mengatakan bahwa ’Ikrimah lebih ia cintai daripada Ayyuub bin ‘Utbah.
‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata : “Hadits-hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dari Yahyaa bin Abi Katsiir tidaklah seperti itu. Ia diingkari. Adapun Yahyaa bin Sa’iid mendla’ifkan keduanya”. Di lain riwayat : “Yahyaa (bin Sa’iid) melemahkan riwayat penduduk Yamaamah seperti ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dan membuangnya”. Di lain riwayat ia (Ibnul-Madiiniy) berkata : “’Ikrimah bin ‘Amaar di sisi shahabat kami seorang yang tsiqah lagi tsabat”.
Ahmad bin ‘Abdilah Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, telah meriwayatkan darinya An-Nadlr bin Muhammad seribu hadits”. Al-Bukhaariy berkata : “Mudltharib dalam hadits Yahyaa bin Abi Katsiir, dan ia (‘Ikrimah) tidak mempunyai kitab (catatan)”. Al-Aajurriy berkata : “Aku pernah bertanya kepada Abu Daawud tentang ‘Ikrimah in ‘Amaar, maka ia berkata : ‘Tsiqah, dan dalam hadits Yahyaa bin Katsiir idlthiraab (goncang)”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya, kecuali haditsnya yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir”. Abu Haatim berkata : “Ia seorang yang shaaduq, kadangkala ragu dalam haditsnya, kadangkala pula melakukan tadlis. Sedangkan haditsnya yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir sebagiannya terdapat beberapa kekeliruan”.
Zakariyyaa bin Yahyaa As-Saajiy berkata : “’Ikrimah bin ‘Ammaar, shaduuq. Telah meriwayatkan darinya Syu’bah, Ats-tsauriy, dan Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan. Ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’iin dan Ahmad bin Hanbal. Hanya saja, Yahyaa Al-Qaththaan melemahkan hadits-haditsnya yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dan ia mendahulukan Mulaazim daripada ‘Ikrimah bin ‘Ammaar”.
Muhammad bin ‘Abdillah Al-Muushiliy berkata : “’Ikrimah bin ‘Ammaar tsiqah di sisi mereka. Telah meriwayatkan darinya Ibnu Mahdiy. Dan tidaklah aku mendengar tentangnya kecuali hanya kebaikan”. ‘Aliy bin Muhammad Ath-Thanaafisiy berkata : “Tsiqah”. Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy berkata : “Ia sering bertafarrud dalam hadits-hadits yang panjang tanpa ada penyertanya….. Ia seorang yang shaduuq, kecuali dalam haditsnya terdapat sesuatu”. Ishaaq bin Ahmad bin Khalaf Al-Bukhaariy Al-Haafidh berkata : “Tsiqah. Telah meriwayatkan darinya Sufyaan Ats-Tsauriy dan ia menyebutkan tentang keutamaannya. Akan tetapi ia banyak keliru, bertafarrud dalam riwayat Iyyaas tanpa ada penyertanya seorangpun”.
Ibnu Khiraasy berkata : “Shaduuq, dan dalam haditsnya terdapat nakarah”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Mustaqiimul-hadiits, apabila meriwayatkan darinya perawi tsiqah”.  Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Dalam riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir idlthiraab. Ia meriwayatkan dari selain jurusan kitabnya”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah lagi tsabat”. Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : Telah berkata Ahmad bin Shaalih : “Aku katakan bahwa ia seorang yang tsiqah, dan aku berhujjah dengannya dan perkataannya”. Ayyuub pernah ditanya tentangnya, lalu ia berkata : “Seandainya ia bukan seorang yang tsiqah, niscaya aku tidak menulis hadits darinya. Abu Ahmad Al-Haakim berkata : “Haditsnya sangat banyak dari Yahyaa, namun ia tidak tegak dalam periwayatan (darinya)” [selengkapnya lihat : Tahdziibul-Kamaal, 20/256-264 no. 4008, Tahdziibut-Tahdziib, 7/261-263 no. 475, danMausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad 3/23-25 no. 1843].
Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah, kecuali riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir, maka mudltharib” [Al-Kaasyif, 2/33 no. 3866].
Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, sering keliru. Dan riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir idlthiraab” [At-Taqriib, hal. 687 no. 4706].
Dengan melihat jarh dan ta’diil para imam di atas, maka ‘Ikrimah ini adalah seorang yang mempunyai beberapa kekeliruan dalam periwayatan sehingga menurunkan kredibilitasnya pada level shaduuq, tidak lebih rendah dari itu. Dan khusus riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir, maka terdapat idlthiraab.
Kita kembali pada pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah tentang penghukuman ‘palsu’ hadits di atas.
Definisi hadits palsu adalah :
هُوَ الخَبْرُ الْمَكْذُوبُ الْمَنْسُوبُ إِلى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتِرَاءً عَلَيْهِ . فَلاَ يَجُوزُ عَزْوُهُ إِلى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ بِيَانٍ
“Ia adalah khabar dusta yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagai bentuk kebohongan terhadap beliau. Maka tidak diperbolehkan menisbatkannya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa adanya penjelasan”[Al-Fushuul oleh Haafidh Tsanaaullah Az-Zaahidiy hafidhahullah].
Kedustaan dalam definisi di atas, maksudnya kedustaan murni yang dilakukan dengan sengaja (al-mukhtalaq al-mashnuu’) [Al-Muqaddimah oleh Ibnu Shalaah, hal. 130]. Adz-Dzahabiy rahimahullah menjelaskan persyaratan hadits maudluu’, bahwa matannya menyelisihi kaedah-kaedah (yang telah ma’ruf), dan perawinya adalah pendusta (kadzdzaab)” [Syarh Al-Muuqidhah, hal. 60].
Jika demikian, bisakah dibenarkan perkataan Ibnu Hazm – dan orang yang memanfaatkan perkataannya – bahwa ‘Ikrimah bin ‘Ammaar adalah pendusta yang melakukan pemalsuan riwayat ?. Anda dapat lihat perkataan para imam di atas. Banyak ulama yang mengatakan ‘Ikrimah seorang yang tsiqah, yang artinya : menetapkan kejujuran padanya dan tidak melakukan kedustaan secara sengaja (dalam riwayat). Ia dikritik dalam jurusan hapalannya saja.
Jika ada yang mengatakan : kepalsuannya benar tetapi pernyataan bahwa yang bertanggung-jawab adalah Ikrimah bin Ammar layak diberikan catatan. Ikrimah bin Ammar disebutkan dalam kitab biografi perawi hadis adalah perawi yang tsiqat, mereka yang mempermasalahkan Ikrimah hanya mempersoalkan hadis Ikrimah dari Yahya bin Abi Katsir; maka ini adalah pernyataan yang ambigu.
Pura-pura ‘membela’ ‘Ikrimah bin ‘Ammaar tidaklah banyak menolong, karena kemungkinan yang ada dalam perkataan di atas ada dua :
a.     Tidak tahu definisi hadits palsu (maudluu’).
b.     Pura-pura tidak tahu definisi hadits palsu dengan ‘mendompleng’ perkataan Ibnu Hazm.[1]
Hadits dinyatakan palsu tentu dikembalikan pada syarat-syaratnya yang dikenal dalam ilmu hadits. Dan itu tidak terpenuhi dalam hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammaar di atas.
Ibnul-Atsiir rahimahullah berkata :
لا اختلاف بين أهل السير وغيرهم في أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوج أم حبيبة وهي بالحبشة إلا ما رواه مسلم بن الحجاج في صحيحه ……. وهو وهم من بعض رواته 
“Tidak ada perselisihan di kalangan ahli sejarah dan yang lainnya bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habiibah saat ia (Ummu Habiibah) di Habasyah, kecualihadits yang diriwayatkan Muslim bin Al-Hajjaaj dalam Shahiih-nya…… dan itu merupakankekeliruan sebagian perawinya” [Usudul-Ghaabah, 7/304 no. 7409].
Ibnu Sayyidin-Naas rahimahullah berkata :
وَهَذَا مُخَالِفٌ لِمَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَرْبَابُ السِّيَرِ وَالْعِلْمِ بِالْخَبَرِ
“Dan hal ini[2] menyelisihi apa yang telah disepakati oleh para ahli sejarah dan ahli riwayat” [‘Uyuunul-Akhbaar – lihat : sini].
Al-‘Alaaiy rahimahullah berkata :
وهو خطأ فاحش، فإن أحدا لم ينسب عكرمة إلى الوضع، وقد وافقه جماعة، واحتج به مسلم كثيرا، ولكنه وهم فيه
“Hal itu[3] adalah kekeliruan yang sangat fatal, karena tidak ada ulama menisbatkan pada ‘Ikrimah memalsukan hadits. Sekelompok ulama telah menyepakatinya, dan Muslim banyak berhujjah dengannya, akan tetapi ia telah keliru (wahm) dalam riwayat tersebut” [lihat :At-Tanbiihaat, hal. 66-67].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وأما مسلم ففيه ألفاظ عرف أنها غلط…….. وفيه أن أبا سفيان سأله التزويج بأم حبيبة، وهذا غلط
“Dan adapun Muslim, maka padanya terdapat beberapa lafadh yang diketahui kekeliruannya….. dan padanya terdapat hadits bahwa Abu Sufyaan meminta Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habiibah. Ini keliru” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 18/43].
Dan yang lainnya.
Banyak ulama yang mengkritisi hadits Muslim tersebut, khususnya lafadh permintaan pernikahan dengan Ummu Habiibah radliyallaahu ‘anhaa. Ini menunjukkan para ulama Ahlus-Sunnah bersikap ‘adil, meskipun di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dalam menyikapi lafadh tersebut – dan itu biasa.
Sebagaimana disebutkan di atas, ada ulama yang mengatakan bahwa perawi telah keliru dalam membawakan sebagian lafadh hadits. Ada yang mengatakan bahwa seharusnya lafadh Ummu Habiibah tersebut adalah ‘Azzah bintu Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhaa. Ada juga ulama yang menempuh jalan takwil untuk menjamak hadits-hadits yang ada. Diantaranya ada yang mentakwil permintaan Abu Sufyaan itu agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperbaharui akad nikahnya. Diantaranya ada yang mentakwil permintaan itu adalah untuk melanggengkan pernikahannya (yaitu : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak menceraikan Ummu Habiibah). Diantaranya ada yang mentakwil permintaan Abu Sufyaan itu menunjukkan keridlaannya atas pernikahan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamtersebut, setelah sebelumnya (ketika masih kafir) tidak meridlai[4]. Dan yang lainnya.
Di sini saya tidak akan membahas lebih jauh tentang konklusi lafadh permintaan Abu Sufyaan agar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahi anaknya tersebut. Yang menjadi fokus di sini hanyalah cara pandang kepada hadits saja.
Seandainya lafadh tersebut keliru, maka itu pun tidak mengkonsekuensikan hadits menjadi palsu. Kekeliruan perawi tsiqah adalah sangat mungkin, karena mereka masih dinamakan manusia yang tidak ma’shuum. Tentu saja, kekeliruan itu mesti dibuktikan dengan metode-metode standar yang dikenal di kalangan ulama. Oleh karena itu, dalam ilmu hadits dikenal hadits syaadz, mudltharib, atau mudraj. Hadits-hadits ini merupakan jenis hadits lemah yang (bisa) terjadi pada perawi tsiqah. Bisa terjadi pada sanad ataupun matan hadits/riwayat.
Contoh 1 :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammenikahi Maimuunah dalam keadaan ihram [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1837 & 4259 & 5114, Muslim no. 1410, At-Tirmidziy no. 842-844, Abu Daawud no. 1844, dan yang lainnya].
Perkataan Ibnu ‘Abbaas ini diselisihi oleh Maimuunah sendiri sebagaimana hadits :
عَنْ مَيْمُونَةَ، قَالَتْ: ” تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ حَلَالَانِ بِسَرِفَ “
Dari Maimuunah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami dalam keadaan halal (selesai ihraam) di Sarif” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1411, Abu Daawud no. 1843, At-Tirmidziy no. 845, Ahmad 6/332 & 333 & 335, Ad-Daarimiy no. 1831, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Abu Daawud].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu telah keliru dalam membawakan hadits, karena ada bukti kuat bahwa memang ia telah keliru. Tapi apakah lantas bisa seenaknya dikatakan bahwa riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa di atas palsu (maudluu’) ?. Tentu tidak.
Contoh 2 :
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ النَّمَرِيُّ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ سَمُرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُدَمَّى “
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar An-Namariy : Telah menceritakan kepada kami Hammaam : Telah menceritakan kepada kami Qataadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambut kepalanya, dan kepalanya dilumuri darah (yudammaa)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2837].
Hammaam adalah seorang yang terpercaya. Namun ia telah menyelisihi beberapa orang dan lebih dlabth darinya dalam penyampaian khabar (periwayatan) dari Qataadah; dimana mereka menggunakan lafadh : yusammaa (diberikan nama) – bukan yudammaa. Mereka adalah : Sa’iid bin Abi ‘Aruubah (ia adalah orang yang paling tsabt periwayatannya di antara ashhaab Qataadah), Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar, Sallaam bin Abi Muthii’, dan Ghailaan bin Jaami’[5] [Irwaaul-Ghaliil oleh Al-Albaaniy 4/387-388 dan Taisiru ‘Uluumil-Hadits oleh ‘Amr bin ‘Abdil-Mun’im hal. 81].
Hadits Hammaam tidak lantas dikatakan palsu, dan Hammaam dituduh memalsukan riwayat.
Selain itu, ketika Hammaam dikatakan telah keliru dalam penyampaian sebagian lafadh riwayat, tidaklah berkonsekuensi membatalkan keseluruhan lafadh riwayat. Yang dikritik hanyalah sebatas lafadh wa yudammaa saja, karena ada qarinah kuat yang menunjukkan kekeliruannya. Riwayat Hammaam ini tetap dipakai dan dijadikan hujjah dengan pengkoreksian pada lafadh wa yudammaa saja.
Sama halnya dengan hadits Muslim yang sedang kita bahas. Para ulama hanyalah mengkritik seputar lafadh permintaan pernikahan dari Abu Sufyaan saja. Seandainya lafadh itu kita hukumi syaadz, maka lafadh yang lain tidak. Tetap dipakai dan dijadikan hujjah. Ini adalah ma’ruf di kalangan ulama hadits.[6]
Tidak ada petunjuk yang mengindikasikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dalam Shahiih Muslim di atas palsu. Tapi jika memang niatnya ‘membonceng’ perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, itu lain perkara.
Hadits tersebut menunjukkan keutamaan Abu Sufyaan radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana fiqh dari Muslim bin Al-Hajjaaj dalam judul Baab kitab Shahiih-nya.
Keutamaan lain dari Abu Sufyaan radliyallaahu ‘anhu antara lain terdapat dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat Fathu Makkah :
مَنْ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ أَلْقَى السِّلَاحَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ
“Barangsiapa yang masuk ke rumah Abi Sufyaan, maka ia aman. Barangsiapa yang meletakkan senjatanya, maka ia aman. Dan barangsiapa yang menutup pintunya, maka ia aman” [Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daawud, Ahmad, dan yang lainnya].
Penyebutan secara khusus rumah Abu Sufyaan radliyallaahu ‘anhu merupakan satu keutamaan darinya yang diperhatikan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu juga menunjukkan keutamaan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhusebagai pencatat wahyu. Apakah mungkin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan menyerahkan amanah pencatatan wahyu yang suci kepada orang yang kafir atau orang yang akan mati kafir – sebagaimana kedengkian Raafidlah kepadanya – sementara di sisi beliau ada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang sebelumnya telah beliau tunjuk sebagai sekretaris beliau ?. Tidakkah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan dengan ‘Aliy saja ?. Tidakkah mereka (orang Raafidlah) mau sejenak berpikir ?.
Wallaahul-musta’aan.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta].


[1]      Cara ini sangatlah bermanfaat. Kalaupun toh nanti akan ketahuan sikap ‘kepura-puraannya’ itu, masih ada Ibnu Hazm rahimahullah yang akan menjadi bumper. Ini adalah metode yang lazim dipakai ‘peneliti’ berniat bengkong.
[2]      Yaitu tawaran Abu Sufyaan agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habiibah, dalam riwayat Muslim.
[3]      Yaitu perkataan Ibnu Hazm yang menghukumi palsu dan menisbatkan kepalsuan tersebut pada ‘Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahumallah.
[4]      Diantara yang mengatakannya adalah Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy rahimahullah dalam Al-Anwaarul-Kaasyifah,
[5]      Abu Daawud berkata :
وَهْمٌ مِنْ هَمَّامٍ وَيُدَمَّى، قَالَ أَبُو دَاوُد: خُولِفَ هَمَّامٌ فِي هَذَا الْكَلَامِ وَهُوَ وَهْمٌ مِنْ هَمَّامٍ، وَإِنَّمَا قَالُوا: يُسَمَّى، فَقَالَ هَمَّامٌ: يُدَمَّى،
“Kekeliruan (wahm) berasal dari Hammaam, yaitu lafadh : wa yudammaa. Hammaam telah diselisihi dalam perkataan tersebut, yaitu merupakan kekeliruan dari Hammaam. Mereka (para perawi lain) berkata : ‘yusammaa’ – lalu Hammaam berkata : ‘yudammaa’ [selesai].
[6]      Beda halnya dengan keadaan ‘peneliti’ Syi’ah Raafidlah yang sedang kebingungan dalam mencari jalan melemahkan riwayat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya.
Seandainya ada orang Syi’ah ‘mendompleng’ perkataan Ibnu Hazm akan penghukumannya atas kepalsuan riwayat, Anda tentu paham karena lafadh hadits Ibnu ‘Abbaas itu tidaklah menguntungkan posisi ‘aqidah Syi’ah Raafidlah yang penuh umpatan dan caci maki terhadap Abu Sufyaan dan anaknya (Mu’aawiyyah) radliyallaahu ‘anhumaa. Kebetulan ada celah yang dapat dimanfaatkan, maka dipakailah ia.
Bukan hanya sekali. Misal dalam kasus sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
يَا عَلِيُّ، هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَشَبَابُهَا بَعْدَ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ
“Wahai ‘Aliy, dua orang ini (yaitu Abu Bakr dan ‘Umar) adalah pemimpin bagi orang-orang dewasa penduduk surga dan para pemudanya (wa syabaabuhaa), selain para Nabi dan Rasul”.
Hadits ini diriwayatkan oleh  ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaidul-Musnad 1/80 dan Fadlaailush-Shahaabah no. 141, serta Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah 3/68-69 no. 1376; dari jalan Wahb bin Baqiyyah Al-Waasithiy, dari ‘Umar bin Yuunus Al-Yamaamiy, dari ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Yamaamiy, dari Al-Hasan bin Zaid bin Hasan, dari ayahnya, dari, kakeknya, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu secara marfu’ [lihat juga Ithraaful-Musnid oleh Ibnu Hajar, 4/395 no. 6198].
Sanad riwayat ini hasan, seluruh perawinya tsiqah lagi terkenal kecuali Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, kadang salah (shaduuq yahimu). Dan ia seorang yang mempunyai keutamaan” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1252]. Sedangkan ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Yamaamiy, ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad Al-Yamaamiy, dikenal sebagai Ibnu Ar-Ruumiy, termasuk rijaal Muslim.
[catatan : penghukuman Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth dalam Tahriirut-Taqriib no. 1242 yang melemahkan Al-Hasan bin Zaid adalah keliru – dan mendapatkan kritik oleh Dr. Maahir Al-Fahl dalam Kasyful-Iihaam, hal. 349. Al-Hasan bin Zaid ini telah ditsiqahkan oleh Ibnu Sa’d, Al-‘Ijliy, dan Ibnu Hibbaan. Ia juga merupakan syaikh dari Maalik bin Anas dimana telah diketahui bahwa Maalik tidaklah meriwayatkan dari seseorang (syaikh-nya) kecuali ia tsiqah di sisinya. Dan dikecualikan dua orang, yaitu : Ibnu Abil-Mukhtaar dan ‘Aashim bin ‘Ubaidillah. Maalik adalah orang yang paling ‘alim tentang penduduk Madiinah – sedangkan Al-Hasan bin Zaid termasuk dari kalangan mereka. Selain itu, Al-Hasan bin Zaid juga merupakan syaikh dari Ibnu Abi Dzi’b, dimana Ahmad bin Shaalih dan Ibnu Ma’iin mengatakan bahwa syuyuukh Ibnu Abi Dzi’b adalah tsiqaat, kecuali ‘Abdul-Kariim dan Abu Jaabir. Jadi, hadits Al-Hasan ini tidaklah jatuh di bawah derajat hasan – dengan adanyajarh dari Ibnu Ma’iin dan Ibnu ‘Adiy].
‘Peneliti’ Raafidlah ini bingung melemahkan riwayat ini, dan akhirnya berkata :
Nashibi ini maaf tidak memahami dengan baik letak kemungkaran hadis Hasan bin Zaid. Lafaz “dan para pemudanya” adalah lafaz yang mungkar dan bertentangan dengan kabar yang shahih. Asal kemungkaran ini hanya bisa dikembalikan pada Hasan bin Zaid karena ia diperbincangkan dan dikenal meriwayatkan hadis-hadis yang diingkari, Jarh Ibnu Ma’in dan Ibnu Ady sangat sesuai dari sisi ini. Jadi Hasan bin Zaid tertuduh dalam hadis ini dan jelas sekali hadis mungkar ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Taruhlah bahwa kita sependapat bahwa lafadh ‘dan para pemudanya’ adalah munkar dan kemunkaran itu disebabkan oleh Al-Hasan bin Zaid – seperti sangkaannya; maka itu tetap tidak menghapuskan eksistensi lafadh yang lainnya. Kemunkaran itu hanyalah terletak disebagian lafadh saja. Apalagi dalam riwayat Al-Aajurriy tidak disebutkan lafadh yang dipermasalahkan.
Membatalkan keseluruhan lafadh merupakan pilihan yang mesti diambil oleh orang Rafidlah tersebut. Jika tidak, sama saja dengan ‘bunuh diri’ dengan adanya pengakuan keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang diriwayatkan melalui jalan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum.

So, hadits tentang keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dari jalan Al-Hasan bin Zaid, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Aliy di atas adalah hasan lidzaatihi tanpa lafadh : ‘dan para pemudanya’.
Baca artikel :
Nah,… dari sini Anda akan kenal sedikit-demi sedikit metode ‘peneliti’ Raafidlah tersebut.