Thursday, September 4, 2014

Pembebasan Jerusalem di Masa Umar bin Khattab

BY HADI · NOVEMBER 17, 2013
Jerusalem6
Jerusalem adalah kota suci bagi tiga agama besar di dunia –Islam, Yahudi, dan Kristen-. Karena latar belakang sejrah yang panjang, ratusan atau mungkin ribuan tahun, kota ini memiliki beberapa nama Jerusalem, al-Quds, Yerushaláyim, Aelia (Umar bin Khattba menyebut dengan nama ini dalam surat perjanjiannya), dll. semua nama tersebut mencirikan karakter dan warisan yang beragam. Kota ini juga merupakan tempat tinggal beberapa nabi, seperti: dari Nabi Sulaiman dan Nabi Daud hingga Nabi Isa ‘alahimussalam.
Di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau pun pernah menginjakkan kaki di tanah para nabi ini. Dalam suatu perjalanan dari Mekah menuju Jerusalem, kemudian dari Jerusalem menuju Sidratul Muntaha, perjalanan ini kita kenal dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Jerusalem tidak pernah menjadi bagian dari negeri Islam di masa hidup Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, negeri penuh berkah tersebut baru masuk menjadi wilayah Islam pada masa Umar bin Khattab.
Perjalalan Menuju Suriah
Kekaisarabn Bizantium membuat sebuah relasi yang jelas dengan umat Islam di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak menginginkan agama yang baru saja berkembang di Selatan kekaisaran mereka ini masuk dan berkembang di teritorial Bizantium. Ketegangan dimulai pada Oktober 630 M, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 30.000 pasukannya menuju Tabuk, daerah perbatasan Kekaisaran Bizantium. Walaupun kontak fisik gagal terjadi, namun ekspedisi Rasulullah untuk menyambut serangan Bizantium di Tabuk menunjukkan era baru hubungan Madinah dan Bizantium.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (632-634 M), tidak terjadi kontak dengan wilayah kekuasaan Bizantium. Barulah pada masa Umar bin Khattab, Madinah mulai serius mengekspansi ke wilayah Utara menuju area kekuasaan Bizantium. Umar mengirim pasukan yang terdiri dari jawara-jawara Arab seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash menuju Kekaisaran Romawi Timur ini. Perang ini dikenal dengan perang Yarmuk, perang yang terjadi tahun 636 M. Perang ini merupakan pukulan telak bagi Bizantium, sejumlah kota di Suriah berhasil jatuh ke tangan umat Islam, termasuk kota utama Damaskus.
Kedatangan umat Islam ke daerah tersebut disambut dengan baik oleh penduduk lokal, baik Yahudi atau Kristen, termasuk aliran yang ortodok yang meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan bukan hanya anak Tuhan. Mereka semua menyabut kehadiran dan era kepeminpinan Islam di wilayah mereka walaupun banyak perbedaan secara teologi.
Memasuki Jerusalem
Pada tahun 637 M, pasukan Islam sudah mendekati wilayah Jerusalem. Saat itu Jerusalem dibawah tanggung jawab Uskup Sophronius sebagai perwakilan Bizantium dan kepala gereja Kristen Jerusalem. Ketika pasukan Islam di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash mengepung kota suci tersebut Sophronius tetap menolak untuk menyerahkan Jerusalem kepada umat Islam kecuali jika Khalifah Umar bin Khattab yang datang langsung menerima penyerahan darinya.
Masjid Umar bin Khattab yang saat ini terletak bersebrangan dengan Gereja Makam Suci
Mendengar kabar tersebut, Umar langsung berangkat dari Madinah menuju Jerusalem. Sang khalifah berangkat dengan hanya berkendara keledai dengan ditemani satu orang pengawal. Setibanya di Jerusalem, Umar disambut oleh Sophronius yang benar-benar merasa takjub dan kagum dengan sosok pemimpin muslim satu ini. Salah seorang yang paling berkuasa di muka bumi kala itu, hanya menyandang pakaian sederhana yang tidak jauh berbeda dengan pengawalnya.
Umar diajak mengelilingi Jerusalem, termasuk mengunjungi Gereja Makam Suci (menurut keyakinan Kristen, Nabi Isa dimakamkan di
gereja ini). Ketika waktu shalat tiba, Sophronius mempersilahkan Umar untuk shalat di gereja namun Umar menolaknya. Umar khawatir kalau seandainya ia shalat di gereja tersebut, nanti umat Islam akan merubah gereja ini menjadi masjid dengan dalih Umar pernah shalat disitu sehingga menzalimi hak umat Nasrani. Umar shlat di luar gereja, lalu tempat Umar shalat itu dibangun Masjid Umar bin Khattab.
Perjanjian Umar bin Khattab
Sebagaimana kebiasaan umat Islam ketika menaklukkan suatu daerah, mereka membuat perjanjian tertulis dengan penduduk setempat yang mengatur hak dan kewajiban antara umat Islam Jerusalem dan penduduk non-Islam. Perjanjian ini ditandatangani oleh Umar bin Khattab, Uskup Sophronius, dan beberapa panglima perang Islam. Teks perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada penduduk Jerusalem. Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka tidak dipakasa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Jerusalem. Dan orang-orang Yahudi tidak akan tinggal bersama mereka di Jerusalem. (Ini adalah permintaan penduduk Jerusalem, karena penduduk Jerusalem sangat membenci orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia. Sampai ada riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak ada Yahudi yang lewat dan bermalam di Jerusalem).
Penduduk Jerusalem diwajibkan membayar pajak sebagaimana penduduk kota-kota lainnya, mereka juga harus mengeluarkan orang-orang Bizantium, dan para perampok. Orang-orang Jerusalem yang tetap ingin tinggal di wilayah Bizantium, mereka boleh membawa barang-barang dan salib-salib mereka. Mereka dijamin aman sampai mereka tiba di wilayah Bizantium. Setelah itu mereka pun masih diperbolehkan kembali lagi ke Jerusalem jika ingin berkumpul dengan keluarga mereka, namun mereka wajib membayar pajak sebagaimana penduduk lainnya.
Apabila mereka membayar pajak sesuai dengan kewajiban, maka persyaratan yang tercantum dalam surat ini adalah di bawah perjanjian Allah, Rasul-Nya, Khalifah, dan umat Islam. (Tarikh at-Thabari).
Pada waktu itu, apa yang dilakukan Umar bin Khattab adalah langkah yang benar-benar maju dalam masalah pakta (perjanjian). Sebagai perbandingan, 23 tahun sebelum Jerusalem ditaklukkan umat Islam, wilayah Bizantium ini pernah ditaklukkan oleh Persia saat itu Persia memerintahkan melakukan pembantaian terhadap masayarakat sipil Jerusalem. Kejadian serupa terjadi ketika Jerusalem yang dikuasai umat Islam ditaklukkan pasukan salib pada tahun 1099 M.
Perjanjian yang dilakukan oleh Umar membebaskan penduduk Jerusalem beribadah sesuai dengan keyakinan mereka adalah pakta pertama dan sangat berpengaruh dalam hal menjamin kebebasan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan. Meskipun ada klausul dalam perjanjian yang mengusir Yahudi dari Jerusalem, klausul ini masih diperdebatkan (keshahihannya). Karena salah seorang pemandu Umar di Jerusalem adalah seorang Yahudi yang bernama Kaab al-Ahbar, Umar juga mengizinkan orang-orang Yahudi untuk beribadah di reruntuhan Kuil Sulaiman dan Tembok Ratapan, padahal sebelumnya Bizantium melarang orang-orang Yahudi melakukan ritual tersebut. Oleh karena itulah, klausul yang melarang orang Yahudi ini masih diperdebatkan.
Perjanjian tersebut menjadi acuan dalam hubungan umat Islam dan Kristren di seluruh bekas wilayah Bizantium. Orang-orang Kristen di wilayah Bizantium akan dilindungi hak-hak mereka dalam segala kondisi dan orang-orang yang memaksa mereka untuk mengubah keyakinan menjadi Islam atau selainnya akan dikenakan sangsi.
Menata Kembali Jerusalem
Setelah Jerusalem dikuasai oleh umat Islam, Khalifah Umar bin Khattab segera menata kembali kota suci ini dan menjadikannya kota penting bagi umat Islam. Umar memerintahkan agar area Kuil Sulaiman –area tempat Nabi berangkat menuju sidratul muntaha- dibersihkan dari sampah-sampah yang dibuang orang-orang Kristen untuk menghina orang Yahudi. Bersama para tentaranya dan dibantu beberapa orang Yahudi, Umar membersihkan wilayah tersebut 
kemudian merenovasi komplek Masjid al-Aqsha.



Selanjutnya, di masa pemerintahan Umar dan masa kekhalifahan Bani Umayyah Jerusalem menjadi kota pusat ziarah keagamaan dan perdagangan. Pada tahun 691 M, Dome of Rock (Qubatu Shakhrah) dibangun di komplek tersebut untuk melengkapi pembangunan al-haram asy-syarif. Lalu menyusul dibangun masjid-masjid lainnya dan institusi-instusi publik di penjuru kota suci ini.
Penaklukkan Jerusalem pada masa pemerintahan Umar bin Khattab di tahun 637 M benar-benar peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam. Selama 462 tahun ke depan wilayah ini terus menjadi daerah kekuasaan Islam dengan jaminan keamanan memeluk agama dan perlindungan terhadap kelompok minoritas berdasarkan pakta yang dibuat Umar ketika menaklukkan kota tersebut. Bahkan pada tahun 2012, ketika konflik Palestina kian memuncak, banyak umat Islam, Yahudi, dan Kristen menuntut diberlakukannya kembali pakta tersebut dan membuat poin-poin perdamaian yang merujuk pada pakta itu untuk sebagai solusi konflik antara umat bergama di sana.
Sumber: Lostislamichistory.com dan islamstory.com
Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel KisahMuslim.com


Revolusi Abbasiyah

BY HADI · AUGUST 21, 2013

Setelah berakhirnya masa khulafaur rasyidin; Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, kepemimpinan dunia Islam dipegang oleh Bani Umayyah pada tahun 661 M. Muawiyah dibaiat sebagai khalifah pertama memimpin dunia Islam dari ibu kota Damaskus. Setelah itu, ia menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Yazid tahun 680 M. Saat itulah pertama kali terjadi sistem dinasti di dalam Islam dan terus berlangsung hingga tahun 1924 M.
Selama 1292 tahun kekhalifahan, beberapa dinasti silih berganti memimpin umat Islam dunia. Pergantian dinasti yang pertama adalah tatkala Bani Abbasiyah mengadakan pemberontakan terhadap Bani Umayyah sekitar tahun 740-an. Lalu mereka membangun sebuah kerajaan muslim yang terkuat sepanjang masa.
Dinasti Umayyah
Memerintah selama lebih kurang 89 tahun, banyak sekali prestasi yang dicapai oleh Bani Umayyah, baik dalam geograpi, militer, dan ekonomi. Wilayah teritorial kerajaan Islam di masa Bani Umayyah terbentang hingga menyentuh India sebagai batas Timur kerajaan dan Spanyol serta Prancis sebagai batas baratnya. Perekonomian kian menguat yang menjadikan kerajaan ini sangat kaya dan kondisi sosial pun menjadi stabil.
Meskipun prestasi Bani Umayyah ini cukup mentereng, namun tetap ada pihak-pihak yang tidak menyukai daulah ini dan tetap saja ada masalah yang berpotensi merusak stabilitas negara. Masalah pertama muncul dari orang-orang non-Arab. Bani Umayyah yang merupakan orang Arab asli –dari keturunan Qurasy- menguasai wilayah non-Arab yang amat luas dengan penduduk non-Arab yang memiliki karakter yang berbeda bahkan ideologi yang berbeda pula.
Orang-orang non-Arab yang tidak beragama Islam, mereka diwajibkan membayar pajak sebagaimana orang-orang non-Islam lainnya. Dan pajak yang dipungut oleh pemerintah Umayyah jauh lebih ringan dibandingkan pajak yang dipungut oleh kerajaan Bizantium atau Sasaniah yang menguasai mereka sebelum Umayyah. Adapun umat Islam, mereka tidak dikenakan pajak sama sekali, namun mereka diwajibkan membayar zakat yang lebih rendah nilainya dibanding pajak yang berlaku bagi orang-orang non-Islam.
Hal ini membuat orang-orang non-Islam mulai masuk ke dalam agama Islam dengan motivasi beban ekonomi yang lebih rendah akan mereka dapatkan jika memeluk Islam ditambah lagi mereka juga mendapatkan dana “santunan” setelah memeluk Islam. Seiring waktu semakin banyak orang-orang non-Islam yang berpikiran serupa, mereka pun masuk Islam secara berbondong-bondong. Dari peristiwa ini ada yang menyatakan, hal ini membuat ekonomi Daulah Umayyah mulai limbung. Lalu mereka pun mengubah kebijakan ekonomi dengan tetap memberlakukan pajak bagi orang-orang yang baru masuk Islam. Ternyata dampak dari kebijakan ini sangat besar terhadap stabilitas Daulah Umayyah.
Pertama, menyalahi tuntunan syariat karena Islam tidak mengikat seorang muslim untuk membayar pajak. Kedua, perlakuan yang tidak adil antara sesama umat Islam. Pihak yang lebih awal dibebaskan dari pajak sementara mereka yang masuk Islam belakangan dikenakan pajak sebagai tambahan kas negara. Hal ini sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam dan tuntunan Nabi Muhammad yang mengajarkan keadilan. Ketiga, kebijakan ini juga dihubungkan dengan sikap rasis, karena orang-orang yang baru masuk Islam itu adalah orang-orang non-Arab. Dari sini mulai kondisi tidak stabil terjadi di lingkungan sosial Daulah Umayyah. Orang-orang Arab muslim terkesan mendapat perlakuan lebih sedangkan non-Arab muslim adalah masyarakat kelas dua (inferior).
Permasalahan ini berhasil diselesaikan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717 – 720 M). Walaupun kebijakannya ini ditentang oleh keluarga kerajaan, khususnya dari keturunan Khalifah Abdul Malik, karena fasilitas-fasilitas mereka mulai dikurangi oleh Umar bin Abdul Aziz untuk menstabilkan kas negara. Setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, kebijakan sebelumnya dikembalikan sebagaimana sedia kala; keluarga kerajaan mendapatkan perlakuan yang istimewa bahkan menzalimi rakyat kelas bawah. Sampai akhirnya mucul usaha serius dari rakyat untuk menggulingkan kekuasaan Dinasti Umayyah.
Pemberontakan
Sebagaimana yang telah masyhur dalam sejarah, Daulah Bani Umayyah ini runtuh karena pemberontakan orang-orang Abbasiyah. Namun, sebelum itu juga pernah terjadi beberapa pemberontakan bahkan di awal-awal pemerintahan dinasti ini. Diantaranya keinginan penduduk Kufah mengangkat cucu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai khalifah yang berujung dengan tewasnya beliau karena penghianatan orang-orang Kufah sendiri. Kemudian dakwah serupa yang juga didukung oleh orang-orang Syiah yang mengatasnamakan cucu Husein bin Ali, yakni Zaid bin Ali bin Husein. Kemudian juga gerakan al-Hanafiyah yang mengatasnamakan salah seorang ahlul bait, Muhammad bin al-Hanafiyah.
Sejak saat itu isu keluarga Nabi Muhammad yang lebih berhak menjadi pemimpin dibanding orang-orang Umayyah terus digulirkan. Setelah kelompok Syiah yang mengusung keturunan Ali terus-menerus berusaha mengganggu stabilitas negara, muncul juga kelompok lain dari anak keturunan paman Nabi, al-Abbas bin Abdul Muthalib. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan Bani Abbasiyah.
Pada tahun 700-an, keluarga Abbasiyah ini lebih banyak bermukim di sebuah daerah yang bernama Humayma, wilayah gurun di Jordania sekarang, dekat dengan pusat pemerintahan Umayyah yang berada di Damaskus. Oleh karena itu, mereka tahu persis keadaan kerajaan karena dapat mengamatinya dari dekat. Mereka juga tahu kapan terjadi ketidakstabilan dalam kerajaan dan menciptakan peluang untuk mengambil alih kekuasaan.
Untuk mewujudkan cita-cita menggulingkan Dinasti Umayyah, orang-orang Abbasiyah melobi umat Islam yang berada di propinsi bekas kerajaan Persia. Mereka dipilih karena mereka orang-orang non-Arab, mereka juga mengusung isu keluarga Nabi yang berhak untuk memimpin umat Islam, dan orang-orang Abbasiyah mempengaruhi mereka dengan klaim bahwa keluarga Ali telah mempusakakan kepemimpinan dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Isu ini pun mendapat sambutan baik dari orang-orang Persia dan revolusi pun tinggal menunggu waktu.
Revolusi
Pada tahun 747 M, orang-orang Abbasiyah merasa saat untuk revolusi pun telah tiba. Propinsi pertama yang dikuasai Abbasiyah adalah propinsi Merv, karena banyak pendukung mereka di sana sehingga mudah melengserkan amir kota Merv dari kepemimpinannya. Kemudian mereka beranjak menuju Kufah, salah satu kota basis pendukung mereka juga.

Bertemulah dua kelompok pasukan di Irak; pasukan Daulah Umayyah dengan membawa bendera putih sebagai representasi orang-orang Arab dan pasukan gabungan Abbasiyah, Syiah, dan orang-orang Persia dengan membawa bendera hitam sebagai representasi orang-orang non-Arab. Pertempuran ini terjadi pada 25 Januari tahun 750 di daerah dekat sungai Zab, Irak. Peperangan ini dimenangkan oleh orang-orang Abbasiyah dan pendukungnya, meskipun jumlah mereka lebih sedikit dari pasukan Daulah Umayyah.
Kemenangan ini menandai jatuhnya Daulah Umayyah setelah beberapa kekalahan dalam perang-perang sebelumnya. Khalifah Marwan II melarikan diri ke Mesir lalu ditangkap dan dieksekusi. Saat-saat itu merupakan masa paling mengerikan bagi keturunan Umayyah. Mereka semua ditangkapi dan dibunuh, kecuali Abdurrahman al-Umawi yang berhasil melarikan diri ke Andalusia, Spanyol, lalu mendirikan kerajaan Bani Umayyah II. Setelah itu ia dikenal dengan nama Abrurrahman ad-Dakhil.
Dinasti Abbasiyah pun berdiri menggantikan Dinasti Umayyah memimpin dunia Islam. Khalifah pertama mereka adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib atau yang dikenal dengan Abul Abbas as-Safah. Ia disebut dengan as-Safah yang berarti menumpahkan banyak darah karena ia banyak membunuh manusia sehingga dapat duduk di kursi khalifah.
Kerajaan ini berdiri selama 508 tahun, dan Baghdad sebagai ibu kotanya. Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan Islam yang terkuat sepanjang masa dan berhasil menjadikan umat Islam merasakan zaman keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun berhasil memberikan nilai-nilai keadilan terhadap orang-orang non-Arab dan lebih memberikan peran kepada mereka di masyarakat, namun Dinasti Abbasiyah gagal memenuhi janji mereka untuk mengembalikan era kekhalifahan khulafaur rasyidin di masa pemerintahan mereka.
Penutup
Dari sini dapat kita ketahui bahwa setiap masa kepemimpinan umat ini ada hal-hal yang baik dan ada hal-hal yang buruk dengan kata lain setiap pemerintahan ada nilai lebih dan kurangnya kecuali kepemimpinan Rasulullah dan khulafaur rasyidun. Oleh karena itu, kita syukuri nilai lebihnya dan kita salign menasihati dalam hal-hal yang kurang bukan malah melakukan tindakan-tindakan yang merugikan.
Ditulis oleh Nurfitri Hadi, S.S.,M.A.
Artikel KisahMuslim.com
Sumber:
‘Ashru ad-Daulatain al-Umawiyah wal Abasiyah wa Zhuhuru Fikri al-Khowarij
Al-Bidayah wa an-Nihayah
lostislamichistory.com


Ahlul Bait Nabi Mengecam Penghianatan Syiah di Karbala

BY HADI · NOVEMBER 12, 2013

Setiap tanggal 10 Muharram, masyarakat dunia akan disajikan sebuah ritual berdarah yang mengerikan. Ritual tersebut dilakukan oleh kelompok yang menyebut diri mereka Syiah, penolong keluarga Nabi. Mereka lakukan ritual tersebut sebagai bentuk ratapan dan “duka” yang mendalam atas kematian Husein‘alaihissalam, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
ليس منا من ضرب الخدود أو شق الجيوب أو دعا بدعوى الجاهلية
“Bukan termasuk golongan kami mereka yang (meratapi kematian dengan) menampar-nampar pipi, merobek-robek saku baju, dan mengucapkan kalimat-kalimat ala jahiliyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam adalah agama yang penuh rahmat yang tidak mengajarkan kecuali kebaikan, Islam melarang meratapi kematian -yang merupakan bagian dari takdir Allah- dengan menampar-nampar pipi, merobek saku baju, dan mengucapkan kalimat-kalimat yang buruk sebagai pelampiasan emosi, apalagi memukul kepala dengan pisau dan pedang, mencambuki badan dengan rantai, dan mengucapkan kalimat kekufuran.
Lalu bagaimana ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenanggapi ritual ini. Berikut kami kutipkan perkataan keluarga Nabi terkait peristiwa ini dari buku-buku Syiah.
Ali bin Husein (putra Husein bin Ali)
Ali bin Husein menyaksikan langsung bagaimana ayahnya, Husein bin Ali, tewas di Karbala. Ketika memasuki kota Kufah setelah ayahnya tewas, ia mengatakan, “Wahai orang-orang Kufah, aku bersumpah kepada Allah, sadarkah kalian bahwa kalian telah menulis surat (janji berbaiat pen.) kepada ayahku namun kalian menipunya?! Kalian memberinya janji dan baiat, tapi kalian sendiri membunuhnya?! Celakalah kalian! Apa yang akan kalian perbuat dan apa yang ada di benak kalian ketika kalian dipertemukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (di akhirat)?! Ketika beliau mengatakan, ‘Kalian bunuh darah dagingku! Kalian nodai kehormatanku! Kalian bukanlah umatku!’ (al-Ihtijaj oleh ath-Thabrasi, Hal. 32)
Suatu hari, Ali bin Husein melwati sekelompok orang yang menangisi dan meratapi kematian Husein dan keluarganya. Lalu ia mengatakan, “Kalian meratapi dan menangisi kami (ahlul bait)? Siapakah yang membunuhi kami?” (al-Malhuf, Hal. 68). Pembunuh Husein telah penulis jelaskan di kisah syahidnya Husein.
Ummu Qultsum binti Ali (saudara perempuan Husein)
Ummu Qultsum mengatakan, “Wahai penduduk Kufah, keburukan bagi kalian. Mengapa kalian berkhianat kepada Husein lalu membunuhnya?!” (Nafasu al-Mahmum, Hal. 363)
Zainab bin Ali (saudara perempuan Husein)
Ketika melihat penduduk Kufah (Irak) menangis dan meratap, ia mengatakan, “Diamlah kalian wahai penduduk Kufah! Laki-laki dari kalangan kalian yang membunuh namun perempuan-perempuan kalian yang menangisi?! Pemberi keputusan di hari urusan-urasan diselesaikan (hari kiamat pen.) antara kami (ahlul bait) dan kalian adalah Allah.” (Nafasu al-Mahmum, Hal. 365)
Ulama-ulama Syiah Berbicara Tentang Pembunuh Husein

Murtadha al-Muthahhiri -seorang filosof Syiah- mengatakan, “Tidak diragukan lagi, bahwasanya penduduk Kufah adalah Syiah-nya Ali dan orang-orang yang membunuh Imam Husein adalah Syiah-nya sendiri.” (Malhamatu al-Huseiniyah, Jilid: 1, Hal. 126). Ia juga mengatakan, “Husein itu terbunuh di tangan umat Islam sendiri, yakni di tangan orang-orang Syiah. Hanya berselang 50 tahun saja setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Malhamatu al-Huseiniyah, Jilid: 3 Hal. 64)
Husein bin Ahmad al-Buraqi an-Najafi mengatakan, “Diantara kejahatan penduduk Kufah adalah, mereka menghina Hasan bin Ali‘alaihissalam dan membunuh Husein ‘alaihissalam, setelah mereka mengundang Husein (ke Kufah).” (Tarikh Kufah, Hal. 113)
Mereka mengkalim mencintai keluarga Nabi dan menanamkan doktrin permushan kepada masyarakat awam, Ahlussunnah adalah orang-orang yang tidak memuliakan keluarga Nabi bahkan berbuat zalim terhadap mereka. Namun ternyata mereka sendiri yang membunuh keluarga Nabi, membunuh Husein dan 18 orang ahlul bait yang wafat bersama Husein, shalawat dan salam untuk mereka semua.
Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku tergabung dalam pasukan yang membunuh Husein, kemudian aku masuk ke dalam surga, niscaya aku sangat malu untuk bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Mu’jam al-Kabir, 3: 112).
Inilah yang selalu digembar-gemborkan oleh orang-orang yang mengaku pengikut ahlul bait (baca: Syiah) pada hari ini. Mereka katakan Ahlussunnah telah merampas hak keluarga Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Bani Umayyah, mereka semua merampas hak kepemimpinan dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal apa yang telah dilakukan oleh generasi awal Syiah? Mereka mengundang Husein ke Kufah (salah satu kota di Irak) untuk “memberikan” hak kepemimpinan padanya, namun ternyata mereka menghianatinya dan membunuhnya. Inikah yang mereka ratapi di peringatan Karbala, setiap 10 Muharram?!
Allahummaa shallai wa sallam ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aali baitihi ajma’iin
Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel KisahMuslim.com


Mengenal Putra dan Putri Rasulullah


BY HADI · MARCH 13, 2014
Pembicaraan tentang putra dan putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk pembicaraan yang jarang diangkat. Tidak heran, sebagian umat Islam tidak mengetahui berapa jumlah putra dan putri beliau atau siapa saja nama anak-anaknya.
Enam dari tujuh anak Rasulullah terlahir dari ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha. Rasulullah memuji Khadijah dengan sabdanya,
قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ
“Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allah telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allah tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain.” (HR Ahmad no.24864)
Saat beliau mengucapkan kalimat ini, beliau belum menikah dengan Maria al-Qibtiyah.
Anak-anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Rasulullah memiliki tiga orang putra; yang pertama Qasim, namanya menjadi kunyah Rasulullah (Abul Qashim). Qashim dilahirkan sebelum kenabian dan wafat saat berusia 2 tahun. Yang kedua Abdullah, disebut juga ath-Thayyib atau ath-Tahir karena lahir setelah kenabian. Putra yang ketiga adalah Ibrahim, dilahirkan di Madinah tahun 8 H dan wafat saat berusia 17 atau 18 bulan.
Adapun putrinya berjumlah 4 orang; Zainab yang menikah dengan Abu al-Ash bin al-Rabi’, keponakan Rasulullah dari jalur Khadijah, kemudian Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib, lalu Ruqayyah dan Ummu Qultsum menikah dengan Utsman bin Affan.
Rinciannya adalah sebagai berikut:
Putri-putri Rasulullah
Para ulama sepakat bahwa jumlah putri Rasulullah ada 4 orang, semuanya terlahir dari rahim ummul mukminin Khadijahradhiallahu ‘anha.
Pertama, putri pertama Rasulullah adalah Zainab binti Rasulullah.
Zainab radhiallahu ‘anha menikah dengan anak bibinya, Halah binti Khuwailid, yang bernama Abu al-Ash bin al-Rabi’. Pernikahan ini berlangsung sebelum sang ayah diangkat menjadi rasul. Zainab dan ketiga saudarinya masuk Islam sebagaimana ibunya Khadijah menerima Islam, akan tetapi sang suami, Abu al-Ash, tetap dalam agama jahiliyah. Hal ini menyebabkan Zainab tidak ikut hijrah ke Madinah bersama ayah dan saudari-saudarinya, karena ikatannya dengan sang suami.
Beberapa lama kemudian, barulah Zainab hijrah dari Mekah ke Madinah menyelamatkan agamanya dan berjumpa dengan sang ayah tercinta, lalu menyusullah suaminya, Abu al-Ash. Abu al-Ash pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk agama mertua dan istrinya. Keluarga kecil yang bahagia ini pun bersatu kembali dalam Islam dan iman. Tidak lama kebahagiaan tersebut berlangsung, pada tahun 8 H, Zainab wafat meninggalkan Abu al-Ash dan putri mereka Umamah.
Setelah itu, terkadang Umamah diasuh oleh kakeknya, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dalam hadis disebutkan beliau menggendong cucunya, Umamah, ketika shalat, apabila beliau sujud, beliau meletakkan Umamah dari gendongannya.
Kedua, Ruqayyah binti Rasulullah.
Ruqayyah radhiallahu ‘anha dinikahkan oleh Rasulullah dengan sahabat yang mulia Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Keduanya turut serta berhijrah ke Habasyah ketika musyrikin Mekah sudah sangat keterlaluan dalam menyiksa dan menyakiti orang-orang yang beriman. Di Habasyah, pasangan yang mulia ini dianugerahi seorang putra yang dinamai Abdullah.
Ruqayyah dan Utsman juga turut serta dalam hijrah yang kedua dari Mekah menuju Madinah. Ketika tinggal di Madinah mereka dihadapkan dengan ujian wafatnya putra tunggal mereka yang sudah berusia 6 tahun.
Tidak lama kemudian, Ruqoyyah juga menderita sakit demam yang tinggi. Utsman bin Affan setia merawat istrinya dan senantiasa mengawasi keadaannya. Saat itu bersamaan dengan terjadinya Perang Badar, atas permintaan Rasulullah untuk mejaga putrinya, Utsman pun tidak bisa turut serta dalam perang ini. Wafatlah ruqayyah  bersamaan dengan kedatangan Zaid bin Haritsah yang mengabarkan kemenangan umat Islam di Badar.
Ketiga, Ummu Kultsum binti Rasulullah.
Setelah Ruqayyah wafat, Rasulullah menikahkan Utsman dengan putrinya yang lain, Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha. Oleh karena itulah Utsman dijuluki dzu nurain (pemilik dua cahaya) karena menikahi dua putri Rasulullah, sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki sahabat lainnya.
Utsman dan Ummu Kultsum bersama-sama membangun rumah tangga hingga wafatnya Ummu Kultsum pada bulan Sya’ban tahun 9 H. Keduanya tidak dianugerahi putra ataupun putri. Ummu Kultsum dimakamkan bersebelahan dengan saudarinya Ruqayyahradhiallahu ‘anhuma.
Keempat, Fatimah binti Rasulullah.
Fatimah radhiallahu ‘anha adalah putri bungsu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia dilahirkan lima tahun sebelum kenabian. Pada tahun kedua hijriyah, Rasulullah menikahkannya dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Pasangan ini dikaruniai putra pertama pada tahun ketiga hijriyah, dan anak tersebut dinamai Hasan. Kemudian anak kedua lahir pada bulan Rajab satu tahun berikutnya, dan dinamai Husein. Anak ketiga mereka, Zainab, dilahirkan pada tahun keempat hijriyah dan dua tahun berselang lahirlah putri mereka Ummu Kultsum.
Fatimah adalah anak yang paling mirip dengan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dari gaya bicara dan gaya berjalannya. Apabila Fatimah datang ke rumah sang ayah, ayahnya selalu menyambutnya dengan menciumnya dan duduk bersamanya. Kecintaan Rasulullah terhadap Fatimah tergambar dalam sabdanya,
فاطمة بضعة منى -جزء مِني- فمن أغضبها أغضبني” رواه البخاري
“Fatimah adalah bagian dariku. Barangsiapa membuatnya marah, maka dia juga telah membuatku marah.” (HR. Bukhari)
Beliau juga bersabda,
أفضل نساء أهل الجنة خديجة بنت خويلد، وفاطمة بنت محمد، ومريم بنت عمران، وآسية بنت مُزاحمٍ امرأة فرعون” رواه الإمام أحمد
“Sebaik-baik wanita penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, Asiah bin Muzahim, istri Firaun.” (HR. Ahmad).
Satu-satunya anak Rasulullah yang hidup saat beliau wafat adalah Fatimah, kemudian ia pula keluarga Rasulullah yang pertama yang menyusul beliau. Fatimah radhiallahu ‘anha wafat enam bulan setelah sang ayah tercinta wafat meninggalkan dunia. Ia wafat pada 2 Ramadhan tahun 11 H, dan dimakamkan di Baqi’.
Putra-putra Rasulullah
Pertama, al-Qashim bin Rasulullah. Rasulullah berkunyah dengan namanya, beliau disebut Abu al-Qashim (bapaknya Qashim). Qashim lahir sebelum masa kenabian dan wafat saat usia dua tahun.
Kedua, Abdullah bin Rasulullah. Abdullah dinamai juga dengan ath-Thayyib atau ath-Thahir. Ia dilahirkan pada masa kenabian.
Ketiga, Ibrahim bin Rasulullah.
Ibrahim dilahirkan pada tahun 8 H di Kota Madinah. Dia adalah anak terakhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dilahirkan dari rahim Maria al-Qibthiyah radhiallahu ‘anha. Maria adalah seorang budak yang diberikan Muqauqis, penguasa Mesir, kepada Rasulullah. Lalu Maria mengucapkan syahadat dan dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Usia Ibrahim tidak panjang, ia wafat pada tahun 10 H saat berusia 17 atau 18 bulan. Rasulullah sangat bersedih dengan kepergian putra kecilnya yang menjadi penyejuk hatinya ini. Ketika Ibrahim wafat, Rasulullah bersabda,
“إن العين تدمع، والقلب يحزن، ولا نقول إلا ما يُرْضِى ربنا، وإنا بفراقك يا إبراهيم لمحزونون” رواه البخاري
“Sesungguhnya mata ini menitikkan air mata dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Rab kami. Sesungguhnya kami bersedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari).
Kalau kita perhatikan perjalanan hidup Rasulullah bersama anak-anaknya, niscaya kita dapati pelajaran dan hikmah yang banyak. Allah Ta’ala mengaruniakan beliau putra dan putri yang merupakan tanda kesempurnaan beliau sebagai manusia. Namun Allah juga mencoba beliau dengan mengambil satu per satu anaknya sebagaiman dahulu mengambil satu per satu orang tuanya tatkala beliau membutuhkan mereka; ayah, ibu, kakek, dan pamannya. Hanya anaknya Fatimah yang wafat setelah Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah juga tidak memperpanjang usia putra-putra beliau, salah satu hikmahnya adalah agar orang-orang tidak mengkultuskan putra-putranya atau mengangkatnya menjadi Nabi setelah beliau. Bisa kita lihat, cucu beliau Hasan dan Husein saja sudah membuat orang-orang yang lemah terfitnah. Mereka mengagungkan kedua cucu beliau melebih yang sepantasnya, bagaimana kiranya kalau putra-putra beliau dipanjangkan usianya dan memiliki keturunan? Tentu akan menimbulkan fitnah yang lebih besar.
Hikmah dari wafatnya putra dan putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sebagai teladan bagi orang-orang yang kehilangan salah satu putra atau putri mereka. saat kehilangan anaknya, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabar dan tidak mengucapkan perkataan yang tidak diridhai Allah. Ketika seseorang kehilangan salah satu anaknya, maka Rasulullah telah kehilangan hampir semua anaknya.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya..
Sumber: Islamweb.net
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com


Kejahatan Syiah di Tanah Haram Dalam Kurun Sejarah

BY HADI · JUNE 28, 2014
Saat ini, terkadang sulit bagi kita membedakan mana pihak yang benar dan mana pihak yang salah. Terkadang pihak yang salah, melakukan penghianatan dan kejahatan, melemparkan ungkapan-ungkapan yang menjelek-jelekkan orang lain sehingga kita menangkap orang yang salah ini adalah orang yang benar dan pihak yang benar adalah mereka yang melakukan kesalahan. Hal ini telah dikabarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب و يكذب فيها الصادق و يؤتمن فيها الخائن و يخون فيها الأمين
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, dimana pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah dan orang yang amanah dikhianati,…” (HR. Hakim).
Hal itu juga terjadi pada klaim-klaim kebenaran yang dilemparkan oleh salah satu kelompok yang memiliki sejarah berdarah dalam Islam, yaitu kelompok Syiah. Orang-orang Syiah pada hari ini menuding Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni sebagai kelompok yang tidak mencintai keluarga Nabi, kelompok yang radikal, teroris, dan ekstrimis. Setelah itu, mereka menambahkan kebohongan-kebohongan untuk menguatkan pendapat mereka.
Jika kita membaca sejarah, maka akan kita dapati bahwa Syiah merupakan suatu sekte yang banyak menebarkan kebencian dan peperangan di tengah umat Islam. Tentang hancurnya Baghdad, lalu bagaimana Dinasti Fatmiyah berkuasa, dll. kali ini kita akan mengangkat sejarah tentang kejahatan Syiah di tanah Haram. Sebelum masuk pembahasan, kita ketahui terlebih dahulu bagaimana kedudukan Mekah dan Madinah bagi orang Syiah.
Kedudukan Karbala Setara Kedudukan Mekah
Di dalam kitab referensi utama Syiah seperti Biharul Anwar diriwayatkan,
قال جعفر …”فأوحى الله إليها أن كفي وقري، ما فضل ما فضلت به فيما أعطيت كربلاء إلا بمنزلة الإبرة غرست في البحر فحملت من ماء البحر، ولولا تربة كربلاء ما فضلتك، ولولا من تضمنه أرض كربلاء ما خلقتك ولا خلقت البيت الذي به افتخرت، فقري واستقري وكوني ذنبًا متواضعًا ذليلاً مهينًا غير مستنكف ولا مستكبر لأرض كربلاء، وإلا سخت بك وهويت بك في نار جهنم”
Ja’far berkata, “…Sesungguhnya Allah telah mewahyukan ke Kabah; kalaulah tidak karena tanah Karbala, maka Aku tidak akan mengutamakanmu, dan kalaulah tidak karena orang yang dipeluk oleh bumi Karbala (Husain), maka Aku tidak akan menciptakanmu, dan tidaklah Aku meciptakan rumah yang mana engkau berbangga dengannya, maka tetap dan berdiamlah kamu, dan jadilah kamu sebagai dosa yang rendah, hina, dina, dan tidak congkak dan sombong terhadap bumi Karbala, kalau tidak, pasti Aku telah buang dan lemparkan kamu ke dalam Jahanam”.
Datang ke Karbala Lebih Mulia dari Haji
Masih merujuk kitab-kitab referensi utama Syiah, tercantum sebuah riwayat tentang keutamaan ziarah ke tanah Karbala di Irak lebih dari ibadah haji ke Mekah.
إن زيارة قبر الحسين تعدل عشرين حجة، وأفضل من عشرين عمرة وحجة
“Sesungguhnya ziarah (berkunjung) ke kubur Husein sebanding dengan (pahala) haji sebanyak 20 kali. Dan lebih utama dari 20 kali umrah dan 1 kali haji.” (Furu’ al-Kafi, 1: 324).
Salah seorang penganut Syiah menyatakan,
إني حججت تسع عشرة حجة، وتسع عشرة عمرة”، أجابه الإمام بأسلوب يشبه السخرية قائلاً: “حج حجة أخرى، واعتمر عمرة أخرى، تكتب لك زيارة قبر الحسين عليه السلام
“Sungguh saya telah menunaikan haji sebanyak 19 kali dan umrah juga 19 kali.” Lalu imam menjawabnya dengan perumpamaan yg mengejek, “Berhajilah sekali lagi dan umrahlah sekali juga, maka akan dicatatkan untukmu (pahala yang sama) dengan berziarah ke kubur Husein ‘alaihissalam”. (Biharul Anwar, 38: 101).
Perdana mentri Irak, penganut Syiah 12 Imam, menyatakan bahwa tanah Karbala lebih berkah untuk menjadi kiblat umat Islam dunia. Ia beralasan, karena di Karbala terdapat Husein radhiallahu ‘anhu. Dan ia akan berusaha mewujudkan hal itu.
Berikut pernyataannya: 

Nah.. setelah mengetahui kedudukan Mekah bagi orang-orang Syiah, kita pun mengetahui mengapa mereka melakukan pengrusakan dan perbuatan onar di tanah Haram. Kita juga menyadari potensi kecemburuan mereka terhadap Mekah ini akan senantiasa muncul. Sekarang akan kita lihat sejarah prilaku teror orang-orang Syiah di tanah haram.
1. Kejahatan Syiah di Masa Silam
Pertama: Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah mencatatkan suatu peristiwa pembantaian jamaah haji oleh orang-orang Syiah Qaramithah. Pada tahun 312 H, orang-orang Syiah Qaramithah yang dipimpin oleh Abu Thahir, Husein bin Abi Said al-Janabi menyerang jamaah haji yang baru saja pulang dari Baitullah al-Haram selesai melaksanakan kewajiban mereka menunaikan ibadah haji. Mereka membunuh sejumlah besar jamaah, mengambil harta yang mereka inginkan, memilih para wanita dan anak-anak untuk mereka tawan, kemudian mereka tinggalkan orang-orang yang tersisa dengan mengambil onta-onta sebagai rampasan.
Kedua: masih dalam al-Bidayah wa an-Nihayah. Imam Ibnu Katsir juga mencatat kejadian pada tahun 317 H. Orang-orang Qaramithah dengan pemimpin mereka Abu Thahir, Husein bin Abi Said al-Janabi, memasuki Masjidil Haram dan membunuh jamaah haji yang sedang beribadah di sana. Peristiwa itu terjadi pada hari tarwiyah 8 di bulan haram, bulan Dzul Hijjah, dan tanah haram, Mekah al-Mukaramah. Para jamaah haji sampai berlindung di  kiswah Ka’bah, namun orang-orang Syiah ini tidak peduli dan tetap menumpahkan darah mereka. Mengapa hal ini terjadi? Karena mereka tidak memuliakan tanah haram sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Kemudian dengan sombongnya Abu Thahir memerintahkan jasad-jasad jamaah haji yang tewas di masukkan ke dalam sumur zam-zam, melepas kiswah dan pintu Ka’bah, dan yang keterlaluan ia mencongkel hajar aswad dan membawanya ke tempat mereka. Imam Ibnu Katsir menyebutkan pada tahun 339 H barulah mereka mengembalikannya lagi ke Mekah.
2. Kejahatan Syiah di Zaman Modern.
Pertama: Pada tahun 1406 H/1986 M, pihak keamanan Arab Saudi berhasil mengamankan bahan peledak yang dibawa jamaah haji Iran memasuki Mekah.
Kedua: Di tahun berikutnya, 1407 H/1987 M, kembali jamaah haji Syiah Iran mengadakan kerusuhan di tanah haram. Mereke berdomonstrasi anti Amerika di tanah suci dan di bulan suci dengan membawa senjata tajam.
Video: 
Ketiga: Pada tahun 1414 H/1994 M orang-orang Syiah mengadakan pengrusakan di dekat Masjid al-Haram. Mereka juga membunuh beberapa jamaah haji. Mereka adalah orang-orang Syiah dari Kuwait dan satu orang dari Arab Saudi sendiri. Saat itu, Allah bukakan kebusukan yang mereka tutupi dengan istilah toleransi atau persaudaraan Sunni-Syiah, di hadapan jamaah haji dari seluruh dunia.
Salah satu petinggi Hizbullah Lebanon menyatakan akan menyerang Mekah:

Sebenarnya masih sangat banyak sekali kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang Syiah di tanah haram, baik secara perorangan atau kelompok yang terorganisir. Mereka melakukan pencurian terhadap jamaah haji, membunuh jamaah yang berada antara shafa dan marwa, dll.
Penulis serahkan kepada pembaca sendiri yang menilai slogan-slogan persatuan yang digembar-gemborkan oleh orang-orang Syiah di negeri ini, apakah itu sebuah bualan atau memang sebuah kebenaran.
Siapa yang tidak membaca sejarah, maka ia akan dihukum dengan melakukan kesalahan yang sama dengan kesalahan di masa lalu.
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com


Fitnah Terhadap Daulah Bani Umayyah

BY HADI · MARCH 4, 2014
Fitnah Terhadap Daulah Bani Umayyah4
Sejarah Bani Umayyah adalah sebuah fase sejarah yang paling banyak diselipi berita-berita bohong dan pengubahan. Oleh karena itu, kita dapati banyak tulisan-tulisan yang memberikan kesan negatif dan kurang baik, padahal banyak sekali jasa Bani Umayyah yang semestinya bisa ditonjolkan, seperti: penyebaran Islam secara besar-besaran terjadi di berbagai belahan dunia: Islam mencapai Eropa melalui Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad, di wilayah Timur hingga ke Cina, Qutaibah bin Muslim membuat jutaan hati manusia mencintai Islam, orang-orang Hindustan yang akrab dengan berhala dan keyakinan-keyakinan animismenya dibuat mengenal tauhid melalui Muhammad bin Qashim ats-Tsaqafi. Kemudian perkembangan dasar-dasar ilmu pengetahuan, ilmu fikih, dll. Sangat banyak sekali perkembangan progresif terjadi di masa ini, namun tampaknya sebagian penulis lebih senang menampilkan sisi-sisi negatifnya.
Penonjolan poin-poin negatif tersesebut antara lain disebabkan: penulisan sejarah yang banyak terjadi di masa Abbasiyah, tersebarnya tulisan-tulisan sejarah yang dibuat oleh orang-orang Syiah yang membenci Bani Umayyah, dan para orientalis turut memanaskan suasana agar umat Islam membenci sejarah mereka dan menanamkan keraguan terhadap pendahulu-pendahulu mereka.
Daulah Bani Umayyah sama seperti daulah-daulah Islam lainnya, memiliki catatan putih dan hitam. Mereka memiliki jasa-jasa yang besar terhadap kaum muslimin, namun juga memiliki kesalahan. Di antara jasa besar Bani Umayyah adalah pada masa pemerintahan mereka jumlah orang-orang yang memeluk agama Islam terbilang fantastis. Dan dari sini saja, rasanya cukup membantah anggapan negatif terhadap daulah ini. Hal ini menunjukkan keberhasilan Bani Umayyah mewujudkan nilai-nilai Islam yang luhur di wilayah taklukkannya sehingga orang-orang non-Islam tertarik dan berbondong-bondong memeluk Islam.
Jika diringkas, penyebaran Islam yang dilakukan oleh Bani Umayyah mencakup empat wilayah besar. Arah Barat yang berakhir di Eropa, Andalusia, Hindustan wilayah Pakistan dan sebagian wilayah India, wilayah Cina di Timur, dan wilayah Kaukasus di Selatan Afrika.
Buah dari penaklukkan negeri-negeri ini, lahirlah tokoh-tokoh besar umat Islam dalam bidang fikih, tafsir, sastra, kedokteran, geografi, teknik, kimia dan ilmu-ilmu lainnya. Sebut saja Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi, an-Nasai, ath-Thabari, Ibnu Khaldun, adz-Dzahabi, dan lainnya, mereka semua adalah buah dari dakwah Islam Bani Umayyah.
Pendapat Ulama Tentang Bani Umayyah
Syaikhul Islam dalam kitabnya Minhaju as-Sunnah mengkritik perkataan orang-orang Syiah dan Mu’tazilah yang menganggap jeleknya keislaman Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah Umayyah secara umum. Beliau menyatakan, secara umum, para khalifah Bani Umayyah tidak disifati dengan celaan. Secara umum, keislaman mereka baik, mereka adalah orang-orang terpilih dari kalangan umat Islam. Muawiyah, kemudian ayahnya Abu Sufyan dan ibunya Hindun binti Utbah adalah orang-orang yang baik keislamannya (Minhaju as-Sunnah, 4:328). Kemudian Ibnu Taimiyah mendudukkan perihal persitiwa terbunuhnya Husein bin Aliradhiallahu ‘anhu dan riwayat-riwayat bohong dan berlebihan yang dibuat-buat oleh orang-orang Syiah tentang peristiwa tersebut.
Menurut Ibnu al-Arabi, catatan sejarah tentang Bani Umayyah banyak disusupi syubhat yang merusak sejarah itu sendiri. Khalifah pertama Bani Umayyah yakni Muawiyah bin Abi Sufyanradhiallahu ‘anhu adalah orang yang istimewa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayainya sebagai penulis wahyu Alquran, kemudian Abu Bakar mengangkat saudaranya Yazid bin Abu Sufyan sebagai gubernur Syam (al-‘Awashim min al-Qawashim, Hal. 234).
Ketika membahas Muawiyah mengangkat Yazid menjadi khalifah, Ibnu al-Arabi menyebutkan bahwa Yazid adalah seorang yang adil dan memang memiliki kapasitas sebagai khalifah (al-‘Awashim min al-Qawashim, Hal. 224-234). Ia juga mengingkari fitnah bahwa Yazid adalah seorang peminum khamr, “Katanya Yazid adalah seoarang peminum khamr. Saya katakana, tidak halal mengatakan yang demikian kecuali dengan dua orang saksi. Diriwayatkan bahwa al-Laits bin Saad (ulama tabiut tabi’in) mengatakan, ‘Amirul mukminin Yazid bin Muawiyah wafat pada tahun…’al-Laits menyebut Yazid dengan amirul mukminin (al-‘Awashim min al-Qawashim, Hal. 227-228).
Ibnu al-Arabi tidak hanya membahas generasi awal Bani Umayyah, bahkan lebih dari itu, Ibnu al-Arabi pun meriwayatkan permasalahan fiqih dari khalifah Umayyah Abdul Malik bin Marwan (al-‘Awashim min al-Qawashim, 249-251).
Sikap pertengahan para ulama dalam menyifati Daulah Bani Umayyah tidaklah lantaran mereka cinta terhadap Bani Umayyah melebihi hak mereka. Para ulama ini hanya berusaha mendudukkan permasalahan pada tempatnya, menyanjung perbuatan baik mereka dan memperingatkan dari kekeliruan mereka. Di antara mereka ada yang mengalami masa pemerintahan Umayyah seperti Imam Ibnu Hazm dan Ibnul Arabi. Dua tokoh ulama ini menyaksikan bagaimana jasa-jasa Bani Umayyah di Andalusia.
Bersamaan dengan kebaikan yang mereka miliki, tentu saja Bani Umayyah memiliki kesalahan sebagaimana orang lain memiliki kesalahan. Namun apabila dibandingkan dengan jasa mereka terhadap umat Islam, maka tidak pantas kita katakan –secara umum- Daulah Bani Umayyah adalah masa kegelapan atau kemunduran Islam, lebih pantas kita katakana –secara umum- dakwah Islam kian tersebar di masa Daulah Bani Umayyah.
Oleh karena itu, janganlah kita termakan isu-isu dusta yang dibuat oleh orang-orang Syiah, Mu’tazilah, dan para orientalis sehingga kita membenci sejarah emas pendahulu kita. Yang buruk dari bagian sejarah mereka, kita katakana itu buruk, namun kita tidak melupakan jasa-jasa baik mereka.
Disusun oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com


Trilogi Kisah Iran dan Daulah Shafawi: Republik Syiah Iran, Daulah Shafawi Modern [ bagian 3 ]

Trilogi Kisah Iran dan Daulah Shafawi: Republik Syiah Iran, Daulah Shafawi Modern (3/3)
BY HADI · APRIL 15, 2014
Trilogi Kisah Iran dan Daulah Shafawi, Republik Syiah Iran, Daulah Shafawi Modern (3.3)0
Telah kita simak di tulisan-tulisan sebelumnya bagaimana Daulah Shafawiyah didirikan, ideologi yang mereka sebarkan, dan kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan terhadap umat Islam di negaranya maupun di dunia secara umum. Di era modern ini, ada sebuah negara yang mengusung ideologi sama dengan Daulah Shafawi yakni ideologi Syiah, negara tersebut menamakan diri mereka dengan Republik Islam Iran.
Terletak di geografi yang sama dengan pusat pemeritanhan Daulah Shafawi, Iran berusaha menggantikan peranan kerajaan Syiah di abad pertengahan itu dengan mengaplikasikan kebijakan keluarga Shafawi di era modern ini. Pada tulisan ketiga ini, topik utamanya adalah tentang siapakah yang memerintah Iran. Dengan mengetahui siapakah yang memerintah Iran, akhirnya penulis serahkan kepada para pembaca menggeliat dalam daya kritisnya mendudukkan posisi Iran di dunia Islam atau bahkan politik internasional.
Khomeini Pemimpin Revolusi
Pada tahun 1979, Khomeini memimpin revolusi Syiah di Iran yang menggulingkan diktator Syah Pahlevi. Dengan jatuhnya Syah Pahlevi, tokoh utama Syiah ini menduduki posisi tertinggi di tanah Persia tersebut. Khomeini memiliki kekuasaan sebagai tokoh politik dan juga memegang otoritas penuh dalam permasalahan agama, bisa Anda bayangkan betapa besarnya kekuasaan yang dipegang Khomeini. Namun ternyata kekuasaan yang dimilikinya tidak membuatnya lebih baik dari Syah Pahlevi, bahkan Khomeini lebih diktator dibanding pendahulunya ini.
Pada masa pemerintahannya, Khomeini memunculkan sebuah konsep baru dalam tatanan negara Iran, ia menamakan konsep dengan wilayatul faqih. Wilayatul faqih adalah sebuah otoritas yang semestinya disandang oleh imam ma’shum (yang terjaga dari dosa). Orang-orang Syiah meyakini kema’shuman Ali bin Abi Thalib, kedua putranya Hasan dan Husein, kemudian para imam dari keturunan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma yang mereka sebut dengan imam yang dua belas. Namun, pada masa imam ke-11, Imam Hasan al-Askari wafat pada tahun 260 H, ia wafat dalam keadaan tidak ada seorang yang disebut imam ma’shum. Syiah pun berpecah menjadi banyak kelompok karena permasalahan ini. Di antara kelompok tersebut adalah Syiah Itsna Asyariyah (Syiah 12 imam).
Syiah Itsna Asyariyah meyakini bahwa Imam al-Askari menunjuk anaknya yang masih kecil, yang usianya belum genap 5 tahun, sebagai imam ma’shum penerusnya. Kemudian imam ke-12 memasuki sebuah ruangan bawah tanah dan menghilang. Orang-orang Syiah 12 imam meyakini bahwa sang imam masih berada di tempatnya dan akan keluar di akhir zaman kelak. Dialah yang disebut Mahdi al-Muntazhar (sang Mahdi yang ditunggu). Menurut keyakinan Syiah tidak diperbolehkan mendirikan negara, menunjuk pemimpin, menegakkan syiar-syiar agama, berjihad, dll. tanpa adanya komando dari Imam Mahdi yang masih ditunggu kehadirannya. Nah di sinilah wilayatul faqih hasil ijtihad dari Khomeini memainkan peranannya.
Wilayatul Faqih
Khomeini membuat wilayatul faqih yang ia anggap memiliki fungsi yang sama dengan funsi imamah (kepemimpinan para imam) di saat mereka ada –mendirikan negara, mengangkat pemimpin, dll.-. Imamah juga memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kenabian. Kenabian terbatas oleh waktu-waktu tertentu sedangkan imamah terus belangsung hingga sekarang. Dari sini, muncul klaim yang lancang dari Khomeini dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyah, ia mengatakan, “Salah satu hal yang penting dalam madzhab kami bahwa para imam memiliki kedudukan yang tidak dicapai oleh seorang malaikat yang paling mulia dan nabi-nabi yang diutus.”. Maksudnya imam kami lebih mulia dari malaikat yang paling mulia sekalipun semisal Jibril dan lebih mulia dari para nabi-nabi termasuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, ketaatan kepada wilayatul faqih adalah ketaatan yang mutlak. Doktrin ini benar-benar menjadikan kekuasaan Khomeini adalah kekuasaan yang absolut lebih dari diktator Syah Pahlevi bahkan lebih diktator dari diktator-diktator Arab semisal Husni Mubarak, Muamar Kadafi, Sadam Husein, dll. karena kebijakan wilayatul faqih adalah kebijakan para imam ma’shum atau bahkan kebijakan Tuhan, melanggarnya berarti melanggar perintah imam ma’shum atau perintah Tuhan. Tidak ada seorang diktator pun semisal nama-nama di atas menyebutkan bahwa melanggar perintah mereka berarti melanggar perintah Tuhan. Tidak heran, ulama-ulama Syiah yang menjabat di wilayatul faqih termasuk Khomeini digelari “ayatollah” sebagai legalisasi kebijakan-kebijakan dan image di mata rakyat. Agar kediktatoran wilayatul faqih sedikit tertutupi, maka ditunjuklah seorang presiden yang dikesankan sebagai pemimpin Negara Iran.
Sebagai contoh bahwa presiden Iran tidak memiliki otoritas terhadap negaranya dan wilayahtul faqih lah yang memiliki peranan. Pasca revolusi, Iran dipimpin oleh Presiden Bani Sadr. Ia memenangkan pemilu dengan mendapatkan 78,9 %. Ia bukanlah seorang mullah (pemuka agama), ia seoarang ekonom lulusan dari Universitas Sorbone, Paris, Perancis. Dengan suara yang begitu besar Bani Sadr mengira ia akan begitu leluasa menenutkan kabinetnya. Namun suara kemenangan yang begitu besar itu tidak berarti apa-apa, Sadr tidak memiliki daya dan upaya sedikit pun menentukan kebijakan pemerintahannya. Setiap permasalahan kecil maupun besar haruslah sesuai dengan yang digariskan oleh Khomeini sang pemimpin revolusi. Satu tahun menjabat sebagai presiden Iran, Bani Sadr pun dilengserkan oleh parlemen. Ini nasib seorang presiden yang tidak sejalan dengan Khomeini dan wialyatul faqihnya walaupun suaranya pendukungnya luar biasa besar, 78,9%.
Ahlussunnah di Masa Republik Syiah Iran
Ahlussunnah di Iran memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan Ahlussunnah di masa Daulah Shafawi. Mereka mengalami penyiksaan, dijebloskan ke penjara, dan dibunuh, mereka yang bebas pun hidup layaknya di penjara tidak memiliki kebebasan. Semua itu dengan sebab mereka seorang Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni.
Di Teheran, ibu kota Iran, tidak ada satu pun masjid Ahlussunnah yang diperkenankan untuk didirikan, padahal ada 7 juta orang Sunni yang berdomisili di kota ini. Sedangkan orang-orang Nasrani saja memiliki 12 gereja dan Yahudi diizinkan membangun 4 tempat ibadah di ibu kota negeri para mullah ini (Ahwal Ahlussunnah fi Iran, Hal. 45-73).
Demikianlah ketika ideologi Daulah Shafawi dan Iran saat ini sama, maka kebijakan yang dilakukan pun akan sama yang membedakan hanyalah cara penerapannya karena menyesuaikan perkembangan zaman.
Sumber: islamstory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com


Trilogi Kisah Iran dan Daulah Shafawi: Bersama Kristen Eropa Memerangi Turki Utsmani [ bagian 2]

Trilogi Kisah Iran dan Daulah Shafawi: Bersama Kristen Eropa Memerangi Turki Utsmani (2/3)
BY HADI · APRIL 12, 2014

Tidak berlebihan jika kita katakan berdirinya Daulah Shafawi di Iran merupakan bencana bagi umat Islam secara umum dan Iran secara khusus. Iran yang selama 900 tahun merupakan wilayah Sunni yang banyak menyumbang nilai-nilai peradaban Islam dan mencetak imam-imam besar Ahlussunnah wal Jamaah semisal Imam Bukhari dan Muslim dalam ilmu hadist, Imam Syibaweih dan al-Farahidi dalam ilmu gramatika bahasa Arab, al-Biruni dalam ilmu-ilmu eksak, dll. Namun, dengan berdirinya Daulah Syiah Shafawi di Iran, jejak-jejak kemajuan yang sudah digariskan oleh ilmuan-ilmuan Islam berubah arah. Arah kemajuan yang selama ini telah dicapai, berubah menjadi ketidakstabilan karena gejolak permusuhan dan konflik.
Pemaksaan doktrin Syiah oleh anak keturanan Shafiyuddin Ishaq al-Ardabili di wilayah Iran yang tatkala itu mayoritas Sunni membuahkan ketidak-adilan, pertumpahan darah, dan pembantaian.
Jadi, perhatikanlah sejarah Syiah di Iran selama masa pemerintahan Daulah Shafawiyah (907-1148 H/1507-1735 M). Kebijakan mereka adalah menindas Ahlussunnah wal Jamaah di wilayah mereka, menampakkan permusuhan dan peperangan terhadap Turki Utsmani, dan menjalin kerja sama dengan negara-negara Salib Eropa.
Kebijakan Terhadap Ahlussunnah wal Jamaah
Kebijakan Daulah Shafawi terhadap umat Islam dapat kita ketahui dengan melihat muamalah mereka terhadap penduduk Kota Tabriz, kota besar yang mayoritas penduduknya adalah Ahlussunnah wal Jamaah. Ketika pendiri Daulah Shafawi, Ismail ash-Shafawi, masuk ke Kota Tabriz, maka bagi siapa yang menyelisihi dan menolak ajaran Syiah, ia akan berhadapan dengan kematian. Diriwayatkan bahwa jumlah penduduk Tabriz yang terbunuh saat itu lebih dari 20.000 orang dalam keadaan dirusak anggota tubuhnya (al-Khouli, 1981: 51).
Pembantaian terhadap umat Islam oleh Daulah Shafawi tidak hanya berhenti di Tabriz, setelah menderita kekalahan dari Uzbek di Kota Mahmud Abad –sebuah daerah dekat dengan Kota Mour-, Ismail ash-Shafawi melampiaskan kekesalannya dengan membantai penduduk Kota Mour. Ia mengumumkan ideologi resmi daerah tersebut adalah Syiah dan memaksa penduduk setempat yang mayoritas Sunni berubah menjadi Syiah. Untuk itu ia mengganti kurikulum di sekolah-sekolah dengan akidah Syiah dan menyebarkannya di kalangan masyarakat (Fauzi, ash-Shafawiyun, akhbaraka.net).
Pada masa Syah Abbas I, ia melarang penduduk Iran untuk menunaikan haji ke Mekah al-Mukaromah dan memaksa penduduknya untuk berziarah ke makam Imam Ali bin Musa ar-Ridha di kota suci Syiah, Kota Masyhad di Iran. Kebijakan ini dilakukan agar penduduk Iran tidak masuk ke wilayah Kerajaan Sunni Turki Utsmani dan membayar visa perjalanan ke kerajaan Sunni tersebut (Jum’ah, 1980: 101).
Terlalu banyak kisah-kisah intimidasi, pembunuhan, dan pelanggaran hak-hak asasi yang dilakukan oleh Daulah ash-Shafawi terhadap umat Islam untuk kita tuliskan satu per satu harus di artikel yang singkat ini. Cukuplah tiga contoh di atas menjadi pelajaran bagi kita betapa keras permusuhan Syiah terhadap umat Islam terlebih ketika mereka memegang kekuasaan.
Kerja Sama Daulah Shafawi dengan Eropa
Persekongkolan Daulah Syiah Shafawi dengan orang-orang Salib telah terjadi sejak mula. Khalifah pertama mereka, Ismail ash-Shafawi telah menjalin kontak kerja sama militer dengan pemerintah Portugal melalui Alfonso de Alburqueque. Kerja sama itu berlanjut pada masa Syah Abbas I, bahkan kerja sama ini memasuki ranah yang lebih sensitif yakni masalah keyakinan. Syah Abbas I adalah khalifah Shafawi yang pertama yang mengizinkan pembangunan gereja di wilayahnya, ia juga mengundang para misionaris dari kalangan pendeta dan biarawan untuk mendakwahkan agama Kristen di wilayahnya. Syah Abbas I benar-benar memuliakan semua orang Eropa yang datang ke negerinya, termasuk para pedagang Eropa. Para pedagang ini mendapat perlakuan khusus dengan dibebaskan dari pajak (Makarios, 2003: 154-156). Sejak saat itu, datanglah berduyun-duyun para penguasa dan pedagang Kristen Eropa ke tanah Iran.
Ketika dua orang utusan Inggris; Antonio Sherly dan Robert Sherly, datang ke Iran, Syah Abbas I sangat memuliakannya dan memerintahkan semua orang di kerjaan Shafawi untuk memuliakan dua orang tamu dari Inggris ini. Utusan Inggris ini datang ke Iran dalam rangka menjalin kerja sama militer antara kedua kerajaan ini. Inggris bersedia melatih militer Shafawi untuk berperang melawan Utsmani. Selain itu Inggris juga menggalang suara negara-negara Eropa untuk bersekutu dengan Shafawi memerangi Utsmani (Makarios, 2003: 154-156). Bahkan Iran sendiri mengadakan pendekatan dengan Paus Roma untuk mencari simpatik negara-negara Kristen Eropa dalam membantu misinya menghancurkan Turki Utsmani.
Paus Paul V pun mengirim surat kepada Syah Abbas I sebagai jawaban dan sambutannya atas keinginan Syah Abbas I menaklukkan Turki Utsmani. Dalam suratnya Paus Paul V menyatakan:
- Betapa inginnya Paus Paul V turut andil dalam melemahkan Turki Utsmani, dan betapa ia menginginkan mewujudkan hal tersebut. Paus akan berusha menyatukan raja-raja Kristen agar menjadi satu aliansi dalam memerangi Turki Utsmani dari arah Barat dan Syah Abbas dari arah Timur.
- Paus akan mengirimkan para insinyur dan ahli militer ke Iran untuk memperkuat militer Iran.
- Paus meminta agar Iran dan Roma aktif saling mengirimkan duta-duta mereka terkait permasalahan ini.
- Paus meminta agar Syah Abbas I bersikap lemah lembut terhadap umat Nasrani di Iran dan selain Iran, tidak menghukum orang Islam yang murtad ke agama Kristen, dan tidak memaksa orang Kristen masuk ke dalam Islam (Jum’ah, 1980: 271-272).
Inilah beberapa kerja sama yang dilakukan orang-orang Syiah Shafawi dengan orang-orang non-Islam untuk menghancurkan simbolisasi Islam Ahlussunnah wal Jamaah pada abad pertengahan Turki Utsmani. Demikian juga halnya pada era modern ini, betapa giatnya Iran sebagai simbolisasi Syiah di dunia menghancurkan simbolisasi Ahlussunnah yaitu Kerajaan Arab Saudi. Mereka menghancurkan image negeri sunnah ini melalui pemberitaan-pemberitaan negatif yang membuat umat Islam tidak simpatik bahkan benci terhadap negara Ahlussunnah ini. Iran juga melakukan tipu daya, tampil seolah-olah merekalah pahlawan Islam di era modern saat ini dengan lantang melawan Amerika dan Israel walaupun kenyataannya negara Syiah ini sama sekali belum pernah menuntaskan retorika mereka dengan peperangan.
Ibnu Taimiyah memberikan paradigma yang baik sekali tentang sikap Syiah terhadap umat Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Ia mengatakan, “Rafidhah (Syiah) itu menjadikan orang-orang yang memerangi Ahlussunnah sebagai teman; mereka bekerja sama dengan Tatar dan Nasrani. Mereka juga menjalin perdamaian dengan orang-orang Eropa… …Apabila umat Islam menang atas Tatar, mereka (Syiah) pun berduka dan bersedih. Sebaliknya, kalau Tatar yang menang, mereka bersuka cita dan bahagia…” (Ibnu Taimiyah, 28: 336-337).
Di tengah bencana dan musibah yang diberikan oleh Syah Abbas I terhadap dunia Islam, Republik Syiah Iran sekarang ini malah menganggap tokoh antagonis ini sebagai pahlawan nasional mereka, mengangkat derajat negara mereka, mewujudkan harapan, dan symbol perlawanan terhadap muslim Sunni.
Penutup
Syiah kembali mengulangi seajrah mereka, bekerja sama dengan orang-orang yang memusuhi Islam untuk menghancurkan umat Islam. Contoh nyata adalah apa yang dilakukan oleh negara Irak saat ini dengan pemimpin Syiah mereka Presiden Nouri al-Maliki.
Pemerintah Irak bersekutu dengan penjajah Amerika melakukan kejahatan terhadap muslim Sunni di negeri 1001 malam tersebut. Mereka menghapus pemahaman Sunni di Irak dan memaksakan penduduknya untuk menerima akidah Syiah, sama persisi seperti yang dilakukan oleh orang-orang Shafawi terdahulu.
Semoga Allah melindungi negeri kita Indonesia dari kejahatan orang-orang Syiah, semoga umat ini tidak mudah ditipu dengan slogan-slogan persatuan yang pada akhirnya adalah penyesalan.
Sumber:
Jum’ah, Badi’ Muhammad. Syah Abbas al-Kabir. Dar an-Nahdhah al-Arabiyah li Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1980
Khouli, Ahmad. Ad-Daulah Ash-Shafawiyah: Tarikhuha as-Siyasi wa al-Ijtima’I ‘Alaqotuha bi al-Utsmaniyyin. Maktabah al-Anjalu al-Mishriyah, 1981
Makariyos, Syahin. Tarikh Iran. Kairo: Dar al-Afaq al-Arabiyah, 2003
http://www.albayan-magazine.com
http://www. akhbaraka.net
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com