Tuesday, April 21, 2015

Siapa yang menyatakan beda antara Ahlus Sunnah dan Syiah termasuk masalah furu' dan Tidak Semua Syi’ah Sesat, maka Dia… Syi’ah !

Habib adalah sebutan indah untuk anak-keturunan Nabi. ia bisa diartikan "kekasih" karena dikasihi oleh Nabi; boleh juga dipahami sebagai "kekasih" karena Ummat ini mengasihinya. Sebutan habib adalah sebuah prasasti sejarah yang mengabadikan para pembela Islam dari kalangan Bani Hasyim. Mereka itu ciri-cirinya begini:
1. Mendalam ilmunya,
2. Besar pengorbanannya bagi agama,
3.Tulus cintanya kepada Syariat, rendah hati wataknya, besar dermanya di jalan Islam, serta selalu menjaga agama hingga saat datangnya Yaumul Qiyamah. Bisa disebut karakter para Pahlawan Islam.
Tapi kalau ada "Habib" yang jelas-jelas membela kaum Syi'ah Rafidhah, yakni kaum sesat keturunan majusi, apapun alasan dan maksudnya; maka dia tak layak mendapat gelar sebagai Habib.!! ( lihat artikel dibawah )
Kenapa bisa begitu? ?
ya. Karena ciri utama Habib adalah MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM, dengan semurni-murni cintanya. Mereka meletakkan cinta kepada Rasul persis di bawah cintanya kepada Allah Rabbul 'alamiin.
Sedangkan kaum Syi'ah Rafidhah adalah sekumpulan manusia yang AMAT SANGAT BENCI kepada Rasulullah dan para Sahabatnya.
Kok bisa begitu? Bagaimana ceritanya?
1. Rasulullah mencintai semua isteri-isterinya, termasuk di dalamnya Aisyah dan Hafshah. Tapi Syiah Rafidhah selalu mecela, memaki, dan menodai kehormatan dua wanita yang dicintai Nabi itu.
2. Rasulullah sangat mencintai anak-anaknya, yang hidup sampai dewasa maupun yang wafat di kala kecil. Tapi Syi'ah Rafidhah mengeluarkan Sayyidah Ruqayyah dan Ummu Kultsum dari jajaran puteri Rasulullah; padahal keduanya benar-benar putri Nabi. Syiah menyebut keduanya sebagai "anak tiri" Nabi.
3. Rasulullah mencitai tiga Shahabat Nabi yang paling utama: Abu Bakar, Umar, dan Utsman -Karramallahu Wujuuhahum- , Ketiganya mendapat gelar kehormatan dari Nabi. Bahkan di jamin Ridho oleh Allah Jalla wa 'Ala, tapi Syi'ah Rafidhah selalu menjadikan ketiganya sebagai sasaran olok-olok, penghinaan, pelaknatan, dan permusuhan.
4. Rasulullah mencintai mayoritas para Sahabatnya. Beliau sebutkan kabar gembira surga bagi sebagian dari mereka. Tapi Syi'ah Rafidhah menghujat, melaknat, dan menuduh mayoritas para Sahabat murtad; kecuali Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Miqdad Ibnul Aswad Radhiyallahu 'anhum.
5. Rasulullah adalah sosok manusia yang kelak akan PERTAMA kali masuk surga. Tapi Syiah Rafidhah meyakini bahwa kelak kemaluan Nabi akan dibakar di neraka karena telah di gunakan menggauli 'Aisyah dan Hafshah. yang mereka anggap sebagai dua wanita pelacur yang terlaknat. sebegitu kejinya omongan orang-orang Rafidhah ini, sampai mereka berusaha menghalangi Nabi masuk surga dengan selamat.

Dengan sedikit alasan ini, maka seorang HABIB sejati akan menjauhkan diri dari mendukung Syi'ah Rafidhah; baik dukungan langsung atau tidak; baik dengan "menyindir" Wahabi atau tidak. Dan "Habib" semacam itu tak perlu dihargai, tak perlu dihormati, karena dia memang "bukan Habib". bahkan kalau bisa dia disadarkan dengan hujah-hujah yang sarih/berdalil. Karena ia mendukung orang-orang yang memerangi Rasulullah dan para Sahabat.
HABIB adalah istilah indah yang menjalinkan cinta kasih, rahmat dan loyalitas antara Nabi, sanak keluarga beliau, serta Ummatnya. Bila rasa CINTA ini telah terbakar, lalu berganti caci-maki, kebohongan, dan laknatan pada salah satu saja dari keluarga Nabi; maka gelar Habib itu pun gugur.
Antum wahai Ummat, jika memiliki ketulusan cinta, kemurnian loyalitas, dan kesucian hati kepada Rasulullah dan sanak-keluarga beliau semuanya Radhiyallahu 'Anhum Ajma'in; maka Antum LEBIH BERHAK mendapat gelar Habib ( Insya Allah ).
Jika ada Habib atau siapapun yang mengatakan bahwa perbedaan USHUL MADZHAB antara Ahlus Sunnah dan Syiah Imamiyah (Rafidhah) dalam konteks hukum adalah perbedaan FURU' (cabang), bukan ushul, dan tak boleh saling mengkafirkan, serta menyatakan Tidak Semua Syi’ah Sesat maka ketahuilah bahwa orang tersebut Syi’ah !!!

Ya kita lihat dulu beda Ushul Mazhab-nya dalam hal apa? Kalau dikatakan Ushul Madzhab, pastilah ini menyangkut beda-beda fikih atau pemikiran, bukan beda AQIDAH. Seperti beda Madzhab Maliki, Hanafi, Syafi'i, Hanbali, Zhahiri, dan madzhab fikih Ahlus Sunnah lainnya (kalau masih eksis).

Tapi beda antara Ahlus Sunnah dan Syiah kan termasuk beda USHULUDDIN, bukan beda masalah furu'. Para ulama sepakat bahwa yang namanya Ahlus Sunnah atau Sunni itu adalah "maa 'aada ar-rafidhah" (pokoknya yang selain Rafidhah). Dari sini saja sudah jelas perbedaan itu dalam tema Ushuluddin, bukan Furu'uddin. demikian pula yang dinyatakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat bahwa beda Sunni (sebagai agama Islam) dengan Syiah (sebagai sekte neo majusi) adalah BEDA USHUL, BUKAN FURU'.
Tak mungkinlah, beda antara kaum yang "memuliakan isteri-isteri Nabi" akan bisa bertemu dengan kaum "yang menghina dan melaknat isteri-isteri Nabi". Sampai Yaumul Akhir pun tak akan bertemu wahai habib. cepatlah antum bertaubat !!
Disis lain, orang tersebut sangat kencang dalam menyerang Ahmadiyah dan JIL. Itu sangat terkenal. Terkenal sekali. Malah seolah,"Ahmadiyah lebih nista dari Iblis".

Kalau mau jujur, Syiah Rafidhah itu LEBIH PARAH dari Ahmadiyah dan JIL. Sejahat-jahatnya Ahmadiyah, mereka masih mengakui Al-Qur`an di tangan kita ini. Hanya penafsiran mereka yang sesat dan menyesatkan. Sejahat-jahatnya JIL, mereka tidak memalsukan Al-Qur`an dan Hadits Nabi. Ahmadiyah dan JIL juga tidak terlibat dalam perang membumi-hanguskan negeri-negeri Ahlus Sunnah.
Maka itu, konsep "ushul madzhab" yang mau di promosikan Habib untuk membuat ruang toleransi antara Ahlus Sunnah dan Syiah Imamiyah itu bagaimana ceritanya?!
Dalam banyak kesempatan, orang tersebut sangat galak sekali ke Ahmadiyah dan JIL Bukan berarti kami mendukung Ahmadiyah dan JIL, tapi sebatas menanyakan KONSISTENSI anda saja. na'am, Allaahu Yahdik...
Dan satu lagi pertanyaan: Kenapa orang tersebut kok kelihatan geram sekali kepada Wahabi? Seolah dia tak suka kalau Wahabi berdamai dengan NU dan Muslim tradisionalis. ?!! apakah orang tersebut  ingin mengadu domba sesama kaum muslimin namun bersamaan dengan itu anda bergendeng tangan dengan Syiah Raafidhah yang telah membantai dan menumpahkan darah kaum muslimin dinegeri-negeri timur tengah?? Allahu A'lam.

Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa Habib itu masih sunni, hanya saja karena sungkan atau segan dengan keluarganya yang bermarga (ber-fam) "Shihab" yang juga banyak Rafidhahnya,.
Maka kami jawab, kalau dia sunni tentu omongannya tidak ngawur seperti itu. terang-terangan mengatakan "sunni-syiah itu beda furu' dan bukan ushul". tentu ini ngawur. ! perkataan ini bisa mengarah kepada kekafiran. sebab Imam Malik Rahimahullah mengatakan,"Syiah Rafidhah itu kafir dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan syiah rafidhah maka dia KAAFIRR!"
Nah, daripada jadi kafir lebih baik  segera bertaubat kepada Allah. Bagi kami, pernyataan "Sunni-Syiah itu beda furu' bukan ushul" adalah merupakan cara halus melegitimasi Ajaran Syi'ah yang kotor itu. Kalau dia betul-betul Sunni, maka tak kan terucap kata-kata najis itu dari lisannya. 
"Sunni-Syi'ah itu beda Furu' bukan Ushul". disadari atau tidak, sama saja dia katakan "Syi'ah dan Islam itu sama" atau "Syiah dan Sunni itu sama-sama Islam". ma'adzallah .. !!
Islam beribadah dengan menghomati Sahabat dan Istri Nabi, bahkan mendoakan mereka dengan ucapan "Radhiyallahu'anhum", Sedangkan Syi'ah beribadah dengan melaknat dan mencaci maki sahabat dan istri Nabi, dan mendo'akan mereka dengan uacapan "Allahummal'an Shonamay Quraisy".

Apakah bisa disamakan ????
Billahil 'Adzim, dengan nama Allah yang telah menikahkan Muhammad putra Abdullah dan Aisyah putra Ibnu Abi Quhaafah, KAMI TIDAK AKAN PERNAH SUDI DISAMAKAN DENGAN SYI'AH MAJUSIYAH MI'AH BIL-MI'AH ILAA QIYAAMIS-SAA'AH !! 
Banyak kyai dan Habib NU yang justru anti dengan syiah bahkan siap mati dalam jihad melawan syi'ah anak cucu majusi, diantaranya Habib Ahmad Bin Zein Al Kaff.
sekian dan terimakasih, Allahu A'lam wal 'Ilmu 'Indallah.
Dikutip dari sumber :

Habib Zain al-Kaff: Habib yang Menjadi Syiah adalah Pengkhianat Ahlut Bait

Habib yang mengikuti syiah itu adalah pengkhianat Ahlul Bait. Mereka bukan habib tetapi mantan Habib. Hal ini disampaikan oleh Ust. Habib Ahmad Zain Alkaff, Pengurus Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) Jawa Timur dan Majelis Tinggi NU Jawa Timur, saat acara kajian ilmiah “Mengapa Syiah Bukan Islam?” di Gedung Al Irsyad, Surakarta, Ahad (2/2).
Habin Zain menegaskan, merupakan kesalahan kalau orang mengatakan Habib itu syiah. Karena dalam literature kehabibab, ahlu bait yang menjadi Syi’ah tidak digolongkan habib.
Tokoh NU yang lantang menasehati Sa’id Agil Siraj, Ketum PBNU yang mendukung Syi’ah, ini menambahkan, bahkan Ketua Habaib, yang hijrah dari Bashrah negeri yang subur menuju Hadramaut negeri yang kurang subur dalam rangka menyelamatkan anak turunannya dari fitnah syiah yang berkembang di Bashrah.
Menurutnya, kalau ada habib yang menjadi syiah itu maka telah berhianat kepada datuknya. “Kalau ada habib tidak berjalan diatas jalan habib dia bukan habib, tetapi mereka mantan habib” tegasnya, seperti dilansir An-najah.net
Syiah itu telah melakukan kedustaan. “Syiah mengaku menciantai ahlul bait padahal tidak mencintai mereka” pungkasnya


Dalam literature kehabiban, ahlu bait yang menjadi Syi’ah tidak digolongkan habib.
“Syiah yang ada di Indonesia adalah Syiah Imamiyah, atau Ja’fariyah, atau khomeiniyah atau biasa mengatasnamakan madzhab ahlul bait”
Aliran sesat yang paling berbahaya adalah Syiah karena mereka didukung Negara kaya Iran. “Negara Iran menggelontorkan dana ada yang dihubungi langsung atau ada juga yang diundang ke Iran kemudian ditunjukkan keberhasilan mereka.”
Banyak tokoh Islam ditipu oleh Syi’ah. Syi’ah menawarkan pendekatan atau ukhuwah antara Sunni dan Syi’ah. Namun di sisi lain, tokoh-tokoh kita tidak dikasih tahu bagaimana ulama-ulama ahlus sunnah dibunuh, dipenjara dan masjid ahlus sunnah dirobohkan di Teheran padahal disana sinagong dan gereja saja boleh berdiri disana.
“Di Teheran itu banyak sinagong dan gereja, tetapi masjid ahlus sunnah dirobohkan”
Inilah beritanya.

Habib Zain: Alasan Mengapa Syiah Bukan Islam

Surakarta (An-najah.net) – Bahaya yang mengancam umat Islam Indonesia saat ini adalah Syiah. Syiah alIran sesat dan menyesatkan serta Syiah itu bukan Islam. Hal ini disampaikan Ust. Habid Ahmad Zain Alkaff, Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur dan Majelis Tinggin NU Jawa Timur saat acara kajian ilmiah “Mengapa Syiah Bukan Islam?” di Gedung Al-Irsyad, Surakarta, Ahad (2/1).
Habin Zain menjelaskan Syiah yang berkembang di dunia ini ada tiga. Pertama, Syiah Zaidiyah. Syiah zaidiyah ini berkembang di Yaman Utara, hanya saja Syi’ah Zaidiyah tidak berkembang, bahkan banyak kelompok Zaidiyah yang akhirnya memberikan loyalitas kepada Iran. Hal ini tidak lepas dari bujuk rayu dan dana besar dari Negara Persia ini. Kedua, Syiah Isma’iliyah ini berkembang di India dan Pakistan. Dan pecahan dari Syiah jenis ini adalah Syiah Nushairiyah dan Druzziah. Ketiga, Syiah Imamiyah atau Ja’fariyah, Komeiniyah atau biasa mengatasnamakan madzhab ahlul bait. Syiah ini berpusat di Iran. Setelah revolusi 1979 mereka melakukan eksport ajarannya ke negeri-negeri kaum muslimin termasuk Indonesia.
“Syiah yang ada di Indonesia adalah Syiah Imamiyah, atau Ja’fariyah, atau khomeiniyah atau biasa mengatasnamakan madzhab ahlul bait” katanya.
Menurutnya, aliran sesat yang paling berbahaya adalah Syiah karena mereka didukung Negara kaya Iran. “Negara Iran menggelontorkan dana ada yang dihubungi langsung atau ada juga yang diundang ke Iran kemudian ditunjukkan keberhasilan mereka.” Jelasnya.
Banyak tokoh Islam ditipu oleh Syi’ah. Syi’ah menawarkan pendekatan atau ukhuwah antara Sunni dan Syi’ah. Namun di sisi lain, tokoh-tokoh kita tidak dikasih tahu bagaimana ulama-ulama ahlus sunnah dibunuh, dipenjara dan masjid ahlus sunnah dirobohkan di Teheran padahal disana sinagong dan gereja saja boleh berdiri disana.
“Di Teheran itu banyak sinagong dan gereja, tetapi masjid ahlus sunnah dirobohkan” tegasnya.
Habib juga menjelaskan,Iran suka memberikan beasiswa. Apalagi kebanyakan orang berebut beasiswa ini tanpa melihat itu Syiah atau bukan, Sehingga banyak alumni Iran ketika kembali ke Indonesia jadi murtad dari ajaran Islam. Menjadi missionaries Syi’ah.
Selanjutnya, Pengurus Yayasan Al Bayyinat ini menambahkan, Syiah itu biasanya mengajak ahlus sunnah untuk menjaga ukhuwah Islamiyah. Cara ini digunakan oleh mereka ketika kondisi mereka minoritas, Hal ini tidak berlaku jika mereka mayoritas, sepertiyang terjadi di Iran. Di sana, ahlu sunnah justeru diintimidasi, didzalimi bahkan dibunuh.
“Ukhuwah Islamiyah itu bagus bisa dilakukan jika sesama Islam seperti NU dengan Muhammadiyah, madzhab Syafi’I dengan madzhab hanafi karena perbedaan mereka didalam furu’ bukan ushul.” Ujarnya.
Namun, ini berbeda dengan Syiah. Antara ahlus sunnah dengan Syiah tidak bisa bersatu karena mereka itu berbeda dalam ushul. “Kalau Muhammadiyah, NU, Al Irsyad itu masih satu rumah, berbeda dengan Syiah” tegasnya.
Ia menambahkan Syiah juga menggunakan tokoh-tokoh yang telah dicuci otaknya untuk mengajak metode takrib (pendekatan sunni dan Syiah). “Takrib ini mereka pakai tatkala mereka jadi minoritas hal ini tidak terjadi di Iran” tambahnya.
Ia menegaskan untuk mengetahui kesesatan Syiah maka kita harus merujuk kepada kitab-kitab mereka. Sebagaimana kalau kita ingin mengkaji ahlus sunnah maka harus mengakai kitab-kitab ahlus sunnah, demikian pula kalau kita ingin mengkaji kristenisasi, komunimisme maka juga harus menggunakan kitab-kitab mereka.
Habib zain menjelaskan mengapa alasan Syiah bukan Islam karena aqidah mereka itu bertentangan dengan Al Qur’an dan Al Hadits. Pertama, karena rukun imannya berbeda dengan Islam. Rukun iman Syiah ada 5 sedangkan rukum Iman umat Islam ada 6. “Konsekunsi dari keimanan ini maka saling mengkafirkan, Syiah mengkafirkan ahlus sunnah dan ahlus sunnah mengkafirkan Syiah” ungkapnya.
Kedua, perbedaan dalam rukun Islam. Kalau rukun Islamnya orang Syiah itu shalat, shaum, zakat, haji dan wilayah. Sedangkan rukun Islamnya ahlus sunnah itu syahadatain, shalat, puasa, zakat, dan haji. Sama konsekuensinya saling mengkafirkan.
Ketiga, Al Qur’an yang dibaca kaum muslim sudah mengalami muharraf (perubahan), bisa ditambah dan dikurangi. Padahal Allah secara tegas telah mengatakan sesungguhkan kami yang telah menurunkan al qur’an dan kami pula yang menjagannya. Hal ini tidak sebagaimana orang Syiah mereka itu mengatakan al qur’an telah berubah baik ditambah maupun dikurangi. Bahkan al qur’an menurut mereka itu 17.000 ayat tiga kali lipat al qur’an yang ada.
Keempat, mereka mengklaim imam-imam mereka lebih mulia daripada Rasulullah SAW. Menurut Syiah Imam kami punya kedudukan diatas Rasulullah Saw. “Seseorang yang mengaku lebih afdhol dari para rasul telah keluar dari Islam, inilah aqidah Islam” tegasnya.
Kelima, mereka mencaci para sahabat bahkan mereka mengkafirkan para sahabat kecuali yang empat orang saja. “Padahal Allah telah menegaskan dalam al Qur’an Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha Allah sebagai rabb mereka” ujarnya.
Ulama NU kelahiran 1941 ini mengingatkan untuk menghadang perkembangan Syiah di Indonesia karena jika tidak diwaspadai maka apa yang terjadi di Irak, Iran, Yaman, Bahrain akan juga bisa terjadi di bumi ahlus sunnah Indonesia ini.
Untuk mengingatkan bahaya Syi’ah beliau mengutip hadits Rasulullah SAW : “Apabila timbul fitnah atau bid’ah, dimana sahabat-sahabatku dicaci maki, maka setiap orang yang berilmu diperintahkan untuk menyampaikan ilmunya (menyampaikan apa yang ia ketahui kesesatan Syiah). Dan barang siapa tidak melaksanakan perintah tersebut, maka dia akan mendapat laknat dari Allah dan dari Malaikat serta dari seluruh manusia. Semua amal kebajikannya, baik yang berupa amalan wajib maupun amalan sunnah tidak akan diterima Allah”.
Umat Islam dituntut pembelaannya manakala Rasulullah SAW, para sahabatnya, istri-istrinya yang dicacimaki oleh siapapun, termasuk Syi’ah. “Kalau seandainya kita tidak marah ketika istri-istri Rasulullah SAW, mertua Rasulullah SAW, menantu Rasulullah dan juga para sahabatnya dicacimaki dan dikafirkan maka diragukan kecintaannya kepada Rasulullah Saw. Jangan mengaku cinta, jika tidak ada buktinya.” Pungkasnya. (Anwar/annajah) Publikasi: Senin, 2 Rabiul Akhir 1435 H / 3 Februari 2014 13:03
(nahimunkar.com)

Habib Zein Al-Kaff: Kalau Wahabi Masih Ahlussunnah, Sedangkan Syiah Bukan

Pengikut Syiah dan pendukungnya sering kali menuduh pihak yang menuding Syiah sesat adalah agen zionis, pemecah belah umat dan terakhir dituduh Wahabi. Hampir selalu Wahabi yang menjadi kambing hitam jika terkait isu gerakan yang membongkar kesesatan Syiah.
Menariknya justru kalangan yang sering diposisikan sangat berseberangan dengan kelompok yang dituduh Wahabi, menyatakan hal sebaliknya. Hal itu terungkap dalam konferensi pers setelah acara tabligh akbar bertajuk “Mengokohkan Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia”, yang digelar Ahad kemarin (16/9) di masjid Al-Furqan Dewan Dakwah Jakarta.
Sewaktu ditanya soal kenapa setiap ada upaya membongkar kesesatan Syiah, kalangan Syiah sering menyerang balik dengan menyatakan bahwa Wahabi dibelakang aksi yang menuduh Syiah sesat, Habib Zein Al Kaff mengatakan: “wahabi sama-sama Ahlussunnah, kalau mereka (Syiah) bukan. Kalau wahabi kitab rujukannya sama, rukun Iman, rukun Islamnya juga sama, sedangkan Syiah berbeda,” tegas Habib yang memimpin Yayasan Al-Bayyinat Jawa Timur dan anggota dewan Syuriah PWNU Jawa Timur tersebut.
Habib Zein dalam acara tabligh akbar “Mengokohkan Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia”, juga kembali mengulang pernyataanya pada November tahun lalu bahwa Habib yang masuk Syiah sudah bukan habib lagi. “Saya katakan tidak ada Habib yang masuk Syiah, Habib yang masuk Syiah bukan Habib lagi, tapi sudah mantan Habib. (Dia) bukan habib lagi.”(fq)

Artikel terkait :


Membongkar Pemikiran Menyimpang Ulama Metro TV Quraish Shihab

Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadits semakin tampak, ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ‘alas Sunnah al-Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah r.a. Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul akan status dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadits.” (hal. 322-323, Buku Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”).
1. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri: “Mungkin saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”
Inilah sorotannya.
PANJIMAS.COM – AHAD, 29 JUMADIL TSANIYAH 1436H / APRIL 19, 2015
Jauh sebelum orang-orang ramai meributkan ketidakberesan pemikiran ulama Metro TV Prof. Dr. Quraish Shihab di kalangan liberal di Indonesia, Sudah jamak diketahui beliau sebagai seorang yang bermasalah.
“Jilbab tidak wajib” dan “Tak ada jaminan Rasulullah SAW masuk surga”hanyalah dua hal kontroversi beliau yang mengemuka ke publik. Dan terakhir adalah kajian tafsir di Metro TV membolehkan “ucapan selamat natal”.
Beliau pernah menulis buku, “Sunnah -Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati pada Maret 2007.Di antara yang ditegaskan QS di buku ini bahwa perbedaan sunni dan syi’ah bukan pada ushul. QS juga menyanggah keberadaan Abdullah bin Saba’. Beliau menyebut Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh fiktif. Dalam buku ini QS juga ingin mendegradasi posisi Abu Hurairah RA sebagai sahabat Rasulullah SAW yang paling banyak meriwayatkan hadis.
Menanggapi buku tersebut, teman-teman santri Pondok Pesantren Sidogiri (Jawa Timur) menulis buku bantahan, “Mungkinkah Sunnah Syiah Bersatu Dalam Ukhuwah?” Semua pembelaan Quraish Shihab terhadap Syiah telah dimentahkan santri-santri Sidogiri di buku ini.
Dari Jakarta, QS mengirim pesan ketidaksukaannya terhadap buku yang telah membantah bukunya. Santri (pelajar) gitu loh, membantah bukunya profesor. Dari pelosok Pasuruan, teman-teman Sidogiri pun merespon, “Kalau memang sanggahan kami ada yang perlu disanggah balik, silakan saja. Atau mari kita ketemu, kita duduk dalam satu majelis, kita bedah bareng buku kita masing-masing!”
Namun ajakan para santri ini sampai sekarang belum dipenuhi oleh Sang Profesor. Pada Haul Habib Muhammad bin Salim al Aththas di Masjid Baalawi, Singapura, Quraish Shihab pernah berceramah. Dalam ceramahnya, beliau mengkritisi kitab maulid, Diba’. Tepatnya pada bait: “Mauliduhu bi Makkah, wa hijratuhu bil Madinah wa shulthonuhu bis-Syam.”
Salah seorang yang hadir ketika itu adalah Habib Umar bin Muhsin Al Aththas, Lawang. Habib Umar sebenarnya bermaksud mendebat QS. Namun Habib Hasan Al Aththas sebagai tuan rumah mencegah beliau.
Berikut Pengakuan Dr Adian Husaini Terhadap Buku Pesantren Sidogiri
Di tengah malasnya tradisi ilmiah, buku terbitan Pesantren Sidogiri tentang “ukhuwah” Sunni-Syiah patut diacungi jempol.Belum lama ini saya menerima kiriman berupa sebuah buku terbitan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Judulnya cukup panjang: “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)”. Penulisnya adalah Tim Penulis Buku Pustaka Sidogiri, Pondok Pesantren Sidogiri, yang dipimpin seorang anak muda bernama Ahmad Qusyairi Ismail.
Membaca buku ini halaman demi halaman, muncul rasa syukur yang sangat mendalam. Bahwa, dari sebuah pesantren yang berlokasi di pelosok Jawa Timur, terlahir sebuah buku ilmiah yang bermutu tinggi, yang kualitas ilmiahnya mampu menandingi buku karya Prof. Dr. Quraish Shihab yang dikritik oleh buku ini. Buku dari Pesantren Sidogiri ini terbilang cukup cepat terbitnya. Cetakan pertamanya keluar pada September 2007. Padahal, cetakan pertama buku Quraish Shihab terbit pada Maret 2007. Mengingat banyaknya rujukan primer yang dikutip dalam buku ini, kita patut mengacungi jempol untuk para penulis dari Pesantren tersebut.
Salah satu kesimpulan Quraish Shihab dalam bukunya ialah, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. “Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.” (Cetakan II, hal. 265).
Berbeda dengan Quraish Shihab, pada bagian sampul belakang buku terbitan Pesantren Sidogiri, dikutip sambutan KH. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri yang menegaskan: “Mungkin saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”
Sebagian kritik dari Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab
Berikut ini kita kutip sebagian kritik dari Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab (selanjutnya Quraish Shihab disingkat “QS” dan Pondok Pesantren Sidogiri disingkat “PPS”). Kutipan dan pendapat QS dan PPS diambil dari buku mereka masing-masing.
1.      Tentang Abdullah bin Saba‘.
QS: “Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Ia (Abdullah bin Saba’) adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain – ilmuwan kenamaan Mesir – adalah salah seorang yang menegaskan ketiadaan Ibnu Saba’ itu dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.” (hal. 65).
PPS: Bukan hanya sejarawan Sunni yang mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’. Sejumlah tokoh Syiah yang diakui ke-tsiqah-annya oleh kaum Syiah juga mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’. Sa’ad al-Qummi, pakar fiqih Syiah abad ke-3, misalnya, malah menyebutkan dengan rinci para pengikut Abdullah bin Saba’, yang dikenal dengan sekte Saba’iyah. Dalam bukunya, al-Maqalat wa al-Firaq, (hal. 20), al-Qummi menyebutkan, bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang memunculkan ide untuk mencintai Sayyidina Ali secara berlebihan dan mencaci maki para sahabat Nabi lainnya, khususnya Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. Kisah tentang Abdullah bin Saba’ juga dikutip oleh guru besar Syiah, An-Nukhbati dan al-Kasyi, yang menyatakan, bahwa, para pakar ilmu menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang Yahudi yang kemudian masuk Islam. Atas dasar keyahudiannya, ia menggambarkan Ali r.a. setelah wafatnya Rasulullah saw sebagai Yusya’ bin Nun yang mendapatkan wasiat dari Nabi Musa a.s. Kisah Abdullah bin Saba’ juga ditulis oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, Tarikh Ibn Khaldun. (hal. 44-46).
2.      Tentang hadits Nabi saw dan Abu Hurairah r.a.:
QS: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan. Disamping itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan Abu Hurairah r.a. menyangkut Nabi saw berada di bawah kemampuan sahabat-sahabat besar Nabi saw, atau istri Nabi, Aisyah r.a.” (hal. 160).
QS: “Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadits Ahlusunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu hadits pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal hadits-haditsnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.” (hal. 150).
PPS: “Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka hadits sekaliber Abu Hurairah r.a. dengan menggunakan pendekatan apa pun, tidak akan pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau, sebab sudah pasti akan bertentangan dengan dalil-dalil hadits, pengakuan para pemuka sahabat dan pemuka ulama serta realitas sejarah. Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu Hurairah r.a. sejatinya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan rasional. Banyak buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah tudingan miring terhadap sahabat senior Nabi saw tersebut, diantaranya adalah al-Burhan fi Tabri’at Abi Hurairah min al-Buhtan yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abu Hurairah fi Dhau’i Marwiyatih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abu Hurairah fi al-Mizan, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dengan bukunya Abu Hurairah Riwayat al-Islam dan lain-lain.”
Dalam Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir mengatakan, bahwa Abu Hurairah r.a. merupakan sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau bukan yang paling utama. Imam Syafii juga menyatakan, “Abu Hurairah r.a. adalah orang yang memiliki hafalan paling cemerlang dalam meriwayatkan hadits pada masanya.” (hal. 320-322).
Karena kuatnya bukti-bukti keutamaan Abu Hurairah, maka PPS menegaskan: “Dengan demikian, maka keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah tidak perlu disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di bidang hadits demikian tinggi tak tertandingi. Yang perlu disangsikan justru kesangsian terhadap Abu Hurairah r.a. seperti ditulis Dr. Quraish Shihab: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan.” (hal. 322).
“Pernyataan seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut sebetulnya hanya muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali. Sebab jelas sekali jika beliau telah mengabaikan dalil-dalil tentang keutamaan Abu Hurairah dalam hadits-hadits Nabi saw, data-data sejarah dan penelitian sekaligus penilaian ulama yang mumpuni di bidangnya (hadits dan sejarah). Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadits semakin tampak, ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ‘alas Sunnah al-Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah r.a. Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul akan status dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadits.” (hal. 322-323).
Tentang banyaknya hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a., Dr. al-A’zhami melakukan penelitian, bahwa jumlah 5.000 hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah adalah jika dihitung hadits yang substansinya diulang-ulang. Jika penghitungan dilakukan dengan mengabaikan hadits-hadits yang diulang-ulang substansinya, maka hadits dari Abu Hurairah yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal 1336 saja. “Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu Hurairah, yang merupakan bagian dari mu’jizat kenabian?” (hal. 324).
Memang dalam pandangan Syiah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’ (tokoh Syiah kontemporer yang menjadi salah satu rujukan kaum Syiah masa kini), yang juga dikutip oleh QS: “Syiah tidak menerima hadits-hadits Nabi saw kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlul bait. Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan sesamanya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun.” (hal. 313).
PPS juga menjawab tuduhan bahwa Ahlusunnah diskriminatif, karena tidak mau meriwayatkan hadits dari Imam-imam Syiah. Pernyataan semacam itu hanyalah suatu prasangka belaka dan tidak didasari penelitian ilmiah apa pun. Dalam kitab-kitab Ahlusunnah, riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Imam Bukhari memang tidak meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dengan berbagai alasan, terutama karena banyaknya hadits palsu yang disandarkan kaum Syiah kepada Ja’far ash-Shadiq. Bukan karena Imam Bukhari membencinya. Bukhari juga tidak meriwayatkan hadits dari Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal, bukan karena beliau membenci mereka. (hal. 324-330).
3.      Tentang pengkafiran Ahlusunnah:
QS: “Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan kenyataan yang terlihat, antara lain di Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut aliran Syiah Imamiyah yang shalat mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh Imam yang menganut mazhab Sunni yang tentunya tidak mempercayai imamah versi Syiah itu. Seandainya mereka menilai orang-orang yang memimpin shalat itu kafir, maka tentu saja shalat mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu mereka ikuti.” (hal. 120).
PPS: “Memperhatikan tulisan Dr. Quraish Shihab di atas, seakan-akan Syiah yang sesungguhnya memang seperti apa yang digambarkannya (tidak menganggap Ahlusunnah kafir dan najis). Akan tetapi siapa mengira bahwa faktanya tidak seperti penggambaran Dr. Quraish Shihab? Jika kita merujuk langsung pada fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab hendak mengelabui pemahaman umat Islam akan hakikat Syiah. Bahwa sejatinya, Syiah tetap Syiah. Apa yang mereka yakini hari ini tidak berbeda dengan keyakinan para pendahulu mereka. Dalam banyak literatur Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang Syiah yang shalat di belakang (menjadi makmum) imam Sunni tetap dihukumi batal, kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah… “Suatu ketika, tokoh Syiah terkemuka, Muhammad al-Uzhma Husain Fadhlullah, dalam al-Masa’il Fiqhiyyah, ditanya: “Bolehkah kami (Syiah) shalat bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab dengan kami, dengan memperhatikan perbedaa-perbedaan di sebagian hukum antar shalat kita dan shalat mereka?” Muhammad Husain Fadhlullah menjawab: “Boleh, asalkan dengan menggunakan taqiyyah.” (348-349).
Seorang dai Syiah, Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa “Mereka (orang-orang Syiah) seringkali shalat bersama Ahlusunnah wal Jama’ah dengan menggunakan taqiyyah dan bergegas menyelesaikan shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka mengulangi shalatnya ketika pulang.” (hal. 350-351).
Banyak sekali buku-buku referensi utama kaum Syiah yang dirujuk dalam buku terbitan PPS ini. Karena itu, mereka juga menolak pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa yang mengkafirkan Ahlusunnah hanyalah pernyataan orang awam kaum Syiah. PPS juga mengimbau agar umat Islam berhati-hati dalam menerima wacana “Persatuan umat Islam” dari kaum Syiah. Sebab, mereka yang mengusung persatuan, ternyata dalam kajiannya justru memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya di posisi zalim, sementara Syiah diposisikan sebagai “yang terzalimi”.
Buku terbitan PPS ini memang banyak memuat fakta dan data tentang ajaran Syiah, baik klasik maupun kontemporer. Terhadap Imam mazhab yang empat, misalnya, dikutip pendapat dalam Kitab Kadzdzabu ‘ala as-Syiah, “Andai para dai Islam dan Sunnah mencintai Ahlul Bait, niscaya mereka mengikuti jejak langkah Ahlul Bait dan tidak akan mengambil hukum-hukum agama mereka dari para penyeleweng, seperti Abu Hanifah, asy-Syafii, Imam Malik dan Ibnu Hanbal.” (hal. 366).
Terlepas dari fakta tentang Syiah dan kritik terhadap Quraish Shihab, terbitnya buku ini telah menjadi momen penting bagi PPS untuk turut berkiprah dalam peningkatan khazanah keilmuan Islam di Indonesia. PPS memang telah didirikan pada tahun 1745. Jadi, usianya kini telah mencapai lebih dari 260 tahun. Jumlah muridnya kini lebih dari 5000 orang. Sejumlah prestasi ilmiah tingkat nasional juga pernah diraihnya. Diantaranya, pada Ramadhan 1425 H, PPS berhasil meraih juara I dan III lomba karya ilmiah berbahasa Arab yang diselenggarakan oleh Depdiknas RI.
Dalam Jurnal Laporan Tahunan 1425/1426 H, disebutkan bahwa PPS juga cukup sering mendapat kunjungan tamu-tamu dari luar negeri. Termasuk dari kedutaan Australia dan Amerika Serikat. Mereka selalu menerima tamunya dengan baik. Tetapi, dengan sangat berhati-hati, selama ini, PPS senantiasa menolak dana bantuan dan hibah dari Australia dan Amerika.
PPS juga termasuk salah satu pesantren di Jawa Timur yang sangat gigih dalam melawan penyebaran paham Liberal. Ditulis dalam Laporan Tahunan tersebut: “Tahun ini, PPS menggerakkan piranti dunia maya untuk melestarikan dan menyelamatkan ajaran Ahlusunnah dari serbuan berbagai aliran sesat. Di website www.sidogiri.com secara khusus disediakan rubrik “Islam Kontra Liberal”. Rubrik ini digunakan oleh Pondok Pesantren Sidogiri untuk meng-counter wacana-wacana pendangkalan akidah yang ramai berkembang saat ini. Liberalisme, humanisme, rasionalisme, pluralisme, feminisme, sekularisme, dekonstruksi syariah dan paham-paham destruktif modern lainnya, menjadi bidikan yang terus ditangkal dengan wacana-wacana salaf yang dipegang Pondok Pesantren Sidogiri.”
Kita berdoa, mudah-mudahan akan terus lahir karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi dari PPS. Begitu juga dari berbagai pesantren lainnya.
JUDUL BUKU: MUNGKINKAH SUNAH SYIAH DALAM UKHUWAH?
Tak ada maksud lain dari kehadiran buku ini, selain sebagai upaya mendudukkan dua faham yang memang berbeda ini (Sunni-Syiah) secara proporsional. Menegaskan perbedaan, tidak berarti menutup ruang untuk saling menghormati dan bertoleransi. Justru adalah absurd, jika mimpi persatuan itu diharapkan muncul dari ranah yang memang berhadap-hadapan secara diametral.
Ajakan untuk menjalin ukhuwah adalah baik, namun jika harus mengorbankan akidah, maka itu akan menjadi musibah. Mari kita bangun ukhuwah, dengan tanpa mengorbankan akidah. [AW/NU Garis Lurus]/ PANJIMAS.COM
(nahimunkar.com)


Kenapa Syiah Berpusat di Iran?

Seperti yang kita ketahui, Iran adalah salah satu negara Syiah terbesar di dunia. Iran terkenal dengan sejarahnya yaitu ‘Revolusi Islam Iran’ yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, seorang pemimpin besar Syiah. Namun, pernahkah kita bertanya, “mengapa Syiah itu berpusat di Iran dan tidak di negara lain?” Untuk menjawab masalah yang berkenaan dengan ini, maka adalah seharusnya kita kembali kebelakang, mengkaji sejarah masa lalu.

Iran merupakan negara yang dahulunya dikenali dengan nama Parsi. Parsi merupakan sebuah kerajaan yang besar dimana mayoritas penduduknya menganut agama Majusi (penyembah api, atau lebih dikenal sebagai Zoroasterisme). Kehidupan mereka mewah dengan harta benda, karena tak heran kota-kota di Parsi itu indah dan subur, serta peradabannya cukup maju pada masa itu.

Pada abad ke-7 Masihi, ketika cahaya Islam baru saja menjadi satu kuasa besar dalam percaturan kekuasaan di dunia, Islam tampil sebagai ‘rising star’ dibawah pimpinan Umar Al- Khattab. Ketika itu, Umar mengembangkan wilayah Islam sehingga ke Parsi, dimana pada ketika itu Parsi bernama Sassania. Pertempuran tentara Islam melawan tentara Parsi yang dikenali dengan nama peperangan Qadisiyah, diantara Saad bin Abi Waqqash melawan panglima Parsi, Rustum. Parsi akhirnya kalah. Peperangan demi peperangan melemahkan kekaisaran Parsi sekaligus membawa Kaisar Parsi di ambang kehancuran. Akhirnya kekaisaran Parsi benar-benar runtuh dalam Perang Madain pada tahun 651 Masehi.

Pada masa itu, banyak kaum Majusi yang berpura-pura memeluk agama Islam. Niat mereka hanyalah satu : untuk menghancurkan Islam dari dalam. Mereka menyusun rencana demi meruntuhkan kekuasaan kaum muslimin dengan cara menyelewengkan ajaran Islam dengan mencampur adukkan aqidah Majusi dan Yahudi. Dan di antara rencana lain yang termasuk dalam strategi melemahkan Islam adalah dengan pembunuhan Umar Al-Khattab, Khalifah Islam yang telah meruntuhkan kekaisaran Majusi Kaisar Parsi. Hal itulah yang menjadikan Syiah benar-benar benci kepada Umar Al-Khattab. Kebencian yang terlalu tinggi itu digambarkan kembali apabila mengagungkan Abu Lu’luah (pembunuh Khalifah Umar) dengan gelaran ‘Bapak Pembela Agama’

Sementara salah seorang puteri kaisar terakhir mereka, yaitu Yazdegerd III telah menjadi tawanan kaum Muslimin seiring kejatuhan Kaisar Parsi. Puteri Kaisar itu akhirnya dinikahkan dengan Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Jadi, karena ini jugalah mereka begitu fanatik dan cenderung ‘mendewakan’ Hussein bin Ali, ekoran Hussein memiliki keturunan dari puteri Sassania yang mereka anggap sebagai keramat.

Disini terjawablah sudah mengapa Syiah berpusat di Iran. Syiah adalah agama yang ‘dilahirkan’ untuk membalas dendam kekalahan Kaisar Parsi terhadap Islam. Syiah adalah simbol hasad dan kemarahan kaum Parsi kepada bangsa Arab umumnya dan kaum Muslimin khususnya.
http://networkedblogs.com/O7lWK
(nahimunkar.com)