Thursday, August 28, 2014

Hubungan kekerabatan antara ahlul bait dan sahabat nabi


Oleh Ustadz Abu Fuad Haryanto Abdul Hadi
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad itu adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka [al-Fath/48: 29]
Imam al-Baghawi rahimahullah menafsirkan makna رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ dengan, “Lemah lembut dan saling berkasih-sayang sebagian mereka kepada sebagian yang lain, layaknya hubungan anak dengan orang tuanya.”[1]
Syaikh ‘Abdurrahmân as Sa’di rahimahullah mengatakan: “Mereka saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi layaknya satu tubuh, sebagian mereka mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”[2]
Ayat ini – dan ayat-ayat al-Qur`ân lainnya- yang disebutkan oleh al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah mengandung semua sifat yang mulia dan pujian bagi para Sahabat Nabi.[3]
Keadaan dan sifat yang demikian itu senantiasa melekat pada mereka hingga hari Kiamat, tidak ada seorang pun juga yang dapat melepaskannya. Sehingga semua yang ada dan yang pernah terjadi di kalangan mereka tidak menggugurkan sifat-sifat mulia tersebut dan tidak pula menodai kehormatan dan keutamaan mereka.
HUBUNGAN KEKERABATAN ANTARA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DENGAN KHULAFA RASYIDIN
Keutamaan yang dimiliki oleh Khulafa’ Râsyidîn –Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Ali Radhiyallahu anhum – sangat banyak. Semua nash al-Qur`ân dan Hadits yang berbicara tentang keutamaan para Shahabat Nabi Radhiyallahu anhum merekalah yang pertama kali layak untuk menyandangnya, terlebih lagi karena kedekatan mereka dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hubungan kekerabatan.
Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, putri Abu Bakr as-Shiddîq, merupakan wanita yang paling dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[4] . Wanita mulia ini adalah isteri beliau yang banyak meriwayatkan hadits dengan jumlah mencapai 2210 hadits[5] . Seringkali para Sahabat bertanya kepada beliau dalam masalah fatwa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih kediamannya sebagai tempat peristirahatannya ketika sakit yang menghantarkan beliau menuju ar-Rafîq al A’lâ. Atas dasar inilah, Abu Bakr as-Shiddiq Radhiyallahu anhu sebagai bapak mertua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sekaligus menjadi Sahabat setia dan sejati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga ajal menjemputnya dimakamkan di samping pusara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Pada tahun 3 Hijriyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhuma. Seorang wanita yang gemar berpuasa lagi kuat menanggung kewajiban. Dikenal sebagai amînatul ummah (wanita terpercaya ummat) dalam menjaga dan memelihara Mushaf al-Qur`ân yang telah dikumpulkan pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakr as-Shiddîq Radhiyallahu anhu. Sedangkan ayahandanya, ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu, seorang lelaki yang senantiasa menemani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak permulaan agama Islam hingga hari ini, bahkan hingga hari dibangkaitkannya umat manusia di padang mahsyar. Ia pun dimakamkan di samping sahabat dan kekasihnya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Adapun Amiril Mukminin ‘Utsman bin ‘Affân Radhiyallahu anhu, Khalifah ketiga, salah seorang yang mendapatkan kabar gembira dengan surga, dan yang generasi pertama yang memeluk Islam. Sahabat ini turut serta dalam dua hijrah –ke Habasyah dan Madinah-, seorang pemuka kaumnya pada masa jahiliyah dan Islam. Karena dirinyalah terjadi Bai’at Ridwan. Kedekatannya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat dari garis keturunan (nasab)nya yang bertemu dengan nasab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada urutan kakek ketiga, ‘Abdu Manaf bin Qushai. Ia adalah ‘Utsman bin Affân bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manaf. Sementara nasab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim bin ‘Abdu Manaf. Sedangkan Ibunda ‘Utsman, Arwâ binti Kuraiz adalah anak dari pernikahan Kuraiz dengan al Baidha’ binti Abdul Muthallib adalah saudara kandung perempuan ‘Abdullah, ayahanda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Tidak hanya itu, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan puterinya, Ruqayyah Radhiyallahu anhuma dengan ‘Utsmân sebelum Hijrah ke Habasyah. Ketika Ruqayyah meninggal dunia, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkannya dengan putrinya yang lain, Ummu Kultsum Radhiyallahu anhuma. Dengan demikian, ‘Utsman bin ‘Affân Radhiyallahu anhu adalah anak menantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sedangkan ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu adalah suami dari putri kesayangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Fâtimah Radhiyallahu anhuma, yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya: “Fatimah adalah bagian dari diriku.[6]” Dalam riwayat lain disebutkan: “Dan aku membenci orang yang menyakitinya.”[7] Dalam riwayat lainnya: “Siapa yang membencinya berarti ia membenci aku.”[8] Ditempat lainnya disebutkan: “Menyakitiku apa yang menyakitinya.”[9]
Adapun keutamaan ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu sangatlah banyak. Pada perang Khaibar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Niscaya aku akan berikan panji perang ini esok hari kepada seorang laki-laki, Allâh memberikan kemenangan melalui tangannya, ia mencintai Allâh dan Rasul-Nya, Allâh dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Diberikanlah panji itu kepada ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu.[10]
Di samping itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada ‘Ali: “Kamu adalah bagian diriku, dan aku adalah bagian dari dirimu.”[11] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah berkata kepadanya: “Tidakkah engkau ridha menjadi bagian diriku seperti kedudukan Harun di hadapan Musa?!”[12] ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ridha kepada ‘Ali. Dan Ali Radhiyallahu anhu adalah orang yang paling mirip dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam fisik dan akhlaknya.[13]
JALINAN KASIH SAYANG DI ANTARA AHLUL BAIT DAN SAHABAT NABI
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para Mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allâh telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [al-Anfâl/8: 62-63]
Syaikh ‘Abdul Karîm al-Harâni hafizhahullah memberikan catatannya terkait dengan firman Allâh Azza wa Jalla di atas : “Semua hati Ahlul Bait dan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul di atas satu kalimat yang sama, yaitu di atas kalimat Tauhid, Islam dan Kecintaan. Ayat ini dan yang lainnya adalah prinsip utama yang dijadikan sebagai rujukan (dalam menjelaskan hubungan antara Ahlul Bait dan Sahabat Nabi-pen).”[14]
Prinsip ini dibuktikan dengan jelas oleh pernyataan ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu terkait dengan kebijakan ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu :“Wahai manusia, janganlah kalian berlebih-lebihan (dalam mencela) ‘Utsmân, dan janganlah kalian mengatakan tentang dirinya kecuali perkataan yang baik. Demi Allâh, apa yang telah beliau lakukan –mengumpulkan al-Qur`ân dalam satu mushaf kecuali sesudah adanya persetujuan dari kami semuanya, para Sahabat Nabi. Demi Allâh, sekiranya aku yang ditunjuk sebagai pemimpin, niscaya aku pun akan melakukan seperti apa yang dilakukannya.”[15]
Riwayat ‘Ali Radhiyallahu anhu di atas dengan tegas menggambarkan kepada kita bagaimana Ahlul Bait berkasih-sayang dan mencintai para Sahabat Nabi yang lainnya, tidak ada kebencian dan permusuhan sama sekali diantara mereka. Manakala kita hendak menengok sejarah perjalanan hidup Ahlul Bait, akan kita dapati sekian banyak fakta yang membuktikan pernyataan tulus yang disampaikan oleh ‘Ali Radhiyallahu anhu di atas.
KEKERABATAN ANTARA AHLUL BAIT DENGAN KELUARGA ABU BAKR AS-SHIDDIQ RADHIYALLAHU ANHU
Setelah ikatan kekerabatan yang terjalin antara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keluarga Abu Bakr as-Shiddîq Radhiyallahu anhu melalui pernikahan beliau dengan ‘Aisyah binti Abu Bakr Radhiyallahu anhuma sebelum peristiwa Hijrah ke Madinah, hubungan Ahlul Bait dengan Abu Bakr Radhiyallahu anhu terus berlanjut.
Hasan bin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhuma, cucu kesayangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan cucu Abu Bakr as-Shiddîq ; Hafshah binti ‘Abdurrahmân bin Abu Bakr as-Shiddîq sebelum tahun 49 H. Kemudian dari cucu Hasan, Musa al-Jaun bin ‘Abdillâh al-Mahadh bin Hasan al-Mutsannâ bin Hasan as-Sibth bin ‘Ali bin Abi Thâlib menikah dengan cucu ‘Abdurrahmân, Ummu Salamah binti Muhammad bin Thalhah bin ‘Abdillâh bin ‘Abdirrahmân bin Abu Bakr as-Shiddîq pada tahun 154 H.
Sedang dari garis keturunan Husain Radhiyallahu anhuma, Muhammad al-Bâqir bin ‘Ali Zaenal ‘Abidîn bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thâlib menikah dengan Ummu Farwah binti Qâsim al-Faqîh bin Muhammad bin Abi Bakr as-Shiddîq pada tahun 80 H.
Semua jalinan pernikahan tersebut penuh dengan keberkahan dan kemuliaan, terjadi setelah wafatnya Khalifah Abu Bakr as-Shiddîq Radhiyallahu anhu, yang tidak mungkin terjadi lantaran konspirasi politik ataupun ekonomi di antara mereka. Semua itu didasari semata-mata oleh kecintaan dan kasih-sayang yang ada pada kalbu mereka yang bersih lagi mulia. Semua pihak laki-laki berasal dari kalangan Ahlul Bait, sedang pihak perempuan semua berasal dari keluarga mulia Abu Bakr as-Shiddîq Radhiyallahu anhu. Semua itu merupakan bukti yang sangat jelas dan gamblang bahwa pihak laki-lakilah yang memiliki keinginan yang mendalam dan kecintaan yang besar kepada keluarga pihak perempuan. Di samping, semua itu terjadi setelah sekian banyak fitnah terjadi di kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam –setelah peristiwa Bani Tsaqifah, perang Shiffîn, perang Jamal, peristiwa Karbala dan seterusnya-.
Kecintaan itu terus terjalim erat dan tidak putus, hingga Ahlul Bait menamakan anak-anak cucu mereka dengan nama-nama para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, seperti Abu Bakr bin Hasan bin ‘Ali bin Abi Thâlib, juga dengan saudara laki-lakinya, ‘Umar bin Hasan bin ‘Ali bin Abi Thâlib.
Bahkan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menamakan anak-anak dari istri-istrinya –setelah wafatnya Fatimah Radhiyallahu anhuma – dengan nama-nama para tokoh pendahulu Islam: Abu Bakr bin ‘Ali bin Abi Thalib dari istri bernama Lailâ binti Mas’ûd al Jundal, ‘Utsmân bin Ali bin Abi Thâlib dari istri bernama Ummul Banin binti Hizâm ar Rabî’ah.[16]
‘Ali Zaenal ‘Abidîn bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu pun menamakan anak-anaknya dengan nama ‘Umar, ‘Utsmân dan Khadîjah. Begitu pula salah seorang putri Muhammad al-Bâqir bernama Khadîjah. Ja’far ash- Shâdiq memiliki seorang putri yang dinamakan ‘Aisyah. Demikian pula dengan Musa al-Kâzhim menamakan anak-anaknya dengan nama Abu Bakr, ‘Umar, Hamzah, Khadîjah, al-‘Abbâs, ‘Aisyah dan cucunya bernama ‘Aisyah binti Ja’far bin Musa al-Kâzhim.
Semua itu membuktikan bahwasanya fitnah yang dihembuskan oleh ‘segelintir’ manusia yang picik pandangan dan hatinya diliputi oleh kebencian kepada para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menyatakan bahwa Ahlul Bait tidak sejalan dengan para Sahabat Nabi adalah sebuah kedustaan nyata dan penyimpangan terhadap fakta sejarah.
Akan tetapi, fakta yang sebenarnya ialah adanya jalinan kasih-sayang dan kecintaan yang terus terikat dan melekat erat di antara Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum , tidak ada yang memisahkan hubungan mereka di dunia hingga di akhirat. Karena hubungan tersebut di bangun di atas keimanan kepada Allâh Azza wa Jalla dan kecintaan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
PENUTUP
Melalui paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan adanya kedekatan yang erat antara Khulafâ Râsyidîn –Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Ali Radhiyallahu anhum- dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terbangun di atas tali keimanan dan sekaligus tali kekeluargaan. Memuliakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti mengharuskan kita untuk memuliakan para Sahabatnya, dan membenci para Sahabat Radhiyallahu anhum sama saja dengan membenci Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Orang-orang yang berpandangan telah terjadi permusuhan antara Sahabat dengan Ahlul Bait, mereka hanyalah orang-orang yang memiliki permusuhan terhadap Islam. Wallâhu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA:
1. Ma’âlimut Tanzîl, Imam al-Baghawi
2. Tafsîr al Qur`ânul ‘Azhîm , al-Hâfizh Ibnu Katsîr
3. Taisîr al-Karimur Rahmân, Syaikh ‘Abdurrahmân as Sa’di
4. Kaifa Naqra`u Târikh al-Al wa al-Ashhâb, Syaikh al-Harrâni
5.
Al-Al wa al-Ashhâb, Mahabbatan wa Qarâbatan, ‘Ali at-Tamîmi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Ma’âlimut Tanzîl 7/323-324
[2]. Taisîr al-Karimur Rahmân 1/795
[3]. Tafsîr al Qur`ânul ‘Azhîm (7/360)
[4]. HR. at-Tirmidzi no. 3890. Syaikh al-Albâni menshahihkannya
[5]. Qawâ’id at-Tahdîts, Jamâluddin al-Qâsimi 1/25
[6]. HR. al-Bukhâri no. 3110 dan Muslim no. 6462
[7]. HR. al-Bukhâri no. 3729
[8]. HR. al-Bukhâri no. 3767
[9]. HR. Muslim no. 6461
[10]. HR. al-Bukhâri no. 4210 dan Muslim no. 6370
[11]. HR. al-Bukhâri 12/467/9
[12]. HR. al-Bukhari no. 3760
[13]. HR. al-Bukhâri 12/475/10
[14]. Kaifa Naqra’ Tarikh al Aal wa al-Ashhâb hlm. 28
[15]. Fathul Bâri 18/9
[16].
Târîkh ath-Thabari 4/358