Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahberkata:
و المرجئة أربع طوائف :
الطائفة الأولى :غلاةالمرجئة ، و هم هؤلاء الجهمية الذينيقولون الإيمان مجرد المعرفة .
الطائفة الثانية :الأشاعرة وهم الذين يقولون : الإيمان هوالتصديق بالقلب فقط و لو لم ينطق بلسانه لا مجردالمعرفة .
الطائفة الثالة :الكرَّامية الذين يقولون : إن الإيمان هو النطقباللسان و لو لم يعتقد بقلبه .
الطائفة الرابعة :مرجئةالفقهاء الذين يقولون : إن الإيمان قول باللسان و اعتقاد بالقلب و لا تدخل الأعمالفي حقيقة الإيمان .
و هناك فرقة خامسة ظهرت الآن و هم الذين يقولون : إن الأعمال شرط في كمال الإيمان الواجب أوالكمال المستحب
“Murji’ah berpecah menjadi
4 kelompok:
Kelompok pertama; Ghullatul
Murji’ah, mereka adalah Jahmiyyah yang
menyatakan bahwa iman hanyalah ma’rifah (pengenalan)
Kelompok kedua; Al-Asya’irah, mereka menyatakan bahwa iman hanyalahtashdiq (pembenaran)
dalam hati, meskipun ia tidak mengucapkan syahadat di lisannya. Mereka tidak
hanya mencukupkan dengan ma’rifah
Kelompok ketiga; Al-Karraamiyyah, mereka menyatakan bahwa iman adalah ucapan lisan, meskipun
hatinya tidak meyakini.
Kelompok keempat; Murji’atul
Fuqaha’, mereka menyatakan bahwa iman adalah ucapan
lisan dan i’tiqad dalam hati, sedangkan amal tidak termasuk hakikat iman.
Di sana terdapat kelompok
kelima yang baru muncul sekarang, mereka
menyatakan bahwa amal adalah syarat kesempurnaan iman wajib atau syarat
kesempurnaan iman mustahhab” [At-Ta’liq Al-Mukhtashar ‘alal Qashidah
An-Nuniyah, 2/647]
Mereka sangat getol
menukilkan perkataan ulama Asya’irah untuk mendukung keyakinan mereka, sebab
Murji’ah dan Asya’irah sedikit banyak memiliki kesamaan dalam masalah iman.
Namun mereka tidak sedikitpun mengingatkan para pembaca tentang penyimpangan
aqidah ulama yang mereka nukil, barangkali alasannya karena kebetulan perkataan
ulama tersebut mencocoki keyakinan mereka.
Bagaimanakah aqidah
Abul-Hasan Al-Asy’ari dalam permasalahan iman?
Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata:
الإيمان هو التصديق بالجنان، وأما القول باللسان والعمل بالأركان ففروعه، فمن صدق بالقلب، أي أقربوحدانية الله تعالى، واعترف بالرسل تصديقا لهم فيما جاءوا به من عند الله صح إيمانه، حتى لو ماتعليه في الحال كان مؤمنا ناجيا، ولا يخرج من الإيمان إلا بإنكار شيء من ذلك
“Iman adalah tashdiiq (pembenaran) dalam hati.
Adapun perkataan dan amal jawarih, keduanya hanyalah cabang-cabangnya.
Barangsiapa yangmembenarkan dalam hati yaitu mengakui keesaan
Allah ta’ala dan meyakini kebenaran ajaran yang dibawa oleh
para rasul dari sisi Allah, maka sah imannya. Jika ia mati dalam
keadaan tersebut, maka ia adalah seorang mukmin yang selamat. Tidak boleh
mengeluarkan seseorang dari iman kecuali dengan mengingkari hal tersebut.” [Al-Milal
wa An-Nihal karya Asy-Syihristani, hal. 101]
Kelaziman dari aqidah
Asya’irah, Abu Thalib dan Iblis adalah muslim. Karena Abu Thalib meyakini
keesaan Allah dan membenarkan ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
hatinya (tashdiiq). Begitu pula Iblis, ia pun meyakini keesaan Allah dan
meyakini kebenaran ajaran yang dibawa oleh para rasulshalawatullah ‘alaihim.
Berikut beberapa perkataan
para ulama Asya’irah atau perkataan mutasyabih sebagian ulama salaf yang
seolah-olah mendukung keyakinan Murji’ah:
Pertama, Asy-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri Al-Asy’ari rahimahullah berkata:
فمن اتى بالعمل فقد حصل الكمال و من تركه فهو مؤمن لكنه فوت على نفسه الكمال اذا لم يكن مع ذلكاستحلال او عناد للشارع او شك في مشروعيته
“Barangsiapa yang beramal,
sungguh ia telah memperoleh kesempurnaan. Barangsiapa yang meninggalkan
amal, maka ia mukmin namun terluput kesempurnaan iman darinya, apabila tidak dibarengi
dengan penghalalan, sikap membangkang terhadap syariat atau ragu terhadap
disyariatkannya amal” [Tuhfatul Murid hal. 66]
Kedua, Badruddin Al-‘Aini menukilkan ungkapan Abu Ishaq Asy-Syirazi
ketika menghikayatkan perkataan Asy-Syafi’i berikut:
الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحدهفاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة
“Iman itu adalah
tashdiiq, iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama
saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan
hal ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan
(kemudian) masuk ke dalam surga”
[Dinukil Asy-Syiiraaziy dalam ‘Umdatul-Qaari’, 1/175]
Tahukah Anda bahwa
Badruddin Al-Aini dan Abu Ishaq Asy-Syirazi, keduanya merupakan ulama
Asya’irah? Ini beberapa buktinya:
Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah berkata:
وأبوالحسن الأشعري إمام أهل السنة، وعامة أصحاب الشافعي على مذهبه، ومذهبه مذهب أهل الحق
“Abul-Hasan Al-Asy’ari adalah seorang imam ahlussunnah.
Kebanyakan para sahabat (ulama –pen) Asy-Syafi’i berada di atas madzhab beliau. Madzhab Asy’ari
merupakan madzhab ahlul haq.” [Thabaqat Asy-Syafi’iyyah, 3/376]
Badruddin Al-Aini rahimahullah mengomentari
hadits-hadits yang berbicara tentang sifat Allah:
والحديث من المتشابهات فحكمه التفويض أو التأويل بما يليق به
“Hadits ini termasuk
hadits-hadits mutasyabih, maka dihukumi tafwidh atauta’wil yang
layak dengannya” [Umdatul Qari, 22/139]
Al-Aini berkomentar tentang
hadits an-nuzuul:
وهذا من باب المتشابهات والأمر فيها قد علم أنه إما التفويض وإما التَّأويل بنزول ملك الرحمة
“Ini termasuk bab mutasyabihat, perkaranya telah diketahui yaitu dihukumitafwidh atau ta’wil dengan
turunnya malaikat rahmat” [Umdatul Qari, 25/159]
Al-Aini mengomentari hadits
“Pada hari kiamat nanti, Allah menjadikan langit-langit di satu jari, sedangkan
bumi-bumi dan air di jari yang lain”:
وقد قلنا إن الحديث من المتشابهات والأمر فيه إما التَّفويض وإما التَّأويل
“Sungguh kami telah
menyatakan bahwa hadits ini termasuk mutasyabih, perkaranya dihukumi tafwidh atau ta’wil.” [Umdatul
Qari, 25/168]
Alasan lain karena Al-Aini
bermadzhab Hanafi, barangkali ia mengikuti aqidah Abu Hanifah dalam masalah
iman yaitu Murji'atul Fuqaha. Allahua'lam
Ketiga, An-Nawawiy rahimahullah berkata:
مذهبُ أهلِ الحقِّ : أنّ الإيمانَ المُنجِي منَ الخلودِ في النّارِ لا بدّ فيه منَ الاعتقادِ والنّطق
“Madzhab ahlul-haq :
bahwasannya keimanan yang terlindung dari kekekalan neraka adalah i’tiqaad
dan pengucapan (dua kalimat syahadat)” [Syarh
Shahiih Muslim, 1/240]
Jawaban dari nukilan di
atas, telah diketahui secara pasti bahwa An-Nawawi bermadzاab Asy’ari dalam masalah aqidah. Kenyataan ini tidak bisa
dipungkiri, sehingga tidak membutuhkan banyak nukilan tentang beliau.
Duhai, kenapa mereka mesti
menukil perkataan ulama Asya’irah? Kenapa tidak mencukupkan denga
nukilan-nukilan dari para ulama ahlus-sunnah? Apakah mereka tidak ridha dengan
aqidah para ulama ahlus-sunnah? Ataukah hawa nafsu telah menguasai mereka,
sehingga nekad mencomot semua nukilan yang mendukung, meskipun berasal dari
orang-orang yang memiliki penyimpangan aqidah.
Keempat, seringkali mereka menukil perkataan Ibnu Hazm rahimahullahberikut:
وَمَن ضيّعَ الأعمالَ كلَّها فهُوَ مؤمِنٌ عاصٍ ناقصُ الإيمانِ ، لا يكفُر
“Dan barangsiapa yang menelantarkan
seluruh amal, maka ia mukmin yang bermaksiat lagi kurang
imannya. Tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa,
1/40-41]
Jawaban dari syubhat ini
dari dua sisi:
Sisi pertama, perkataan Ibnu Hazm dalam masalah aqidah tidak bisa dipegang,
terutama dalam masalah shifaat karena beliau bergelimang dalam ilmu manthiq dan filsafat.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
ابن حزم وأمثاله ممن وافقوا الجهمية على نفي الصِّفات
“Ibnu Hazm dan yang
semisalnya mencocoki Jahmiyyah dalam peniadaan shifaat” [Dar’ut Ta’arudh
Al-Aql wan Naql, 7/263]
Ibnu Abdil Hadi rahimahullah berkata:
ولكن تبين لي منه أنه جهمي جلد…
وقد كان ابن حزم قد اشتغل في المنطق والفلسفة، وأمعن في ذلك، فتقرر في ذهنه لهذا السَّبب معانيباطلة
“Namun telah jelas bagiku
dari Ibnu Hazm bahwa ia adalah seorang Jahmi tulen… Dahulu Ibnu Hazm
menyibukkan diri dengan ilmu manthiq dan filsafat serta memperdalamnya. Oleh
karena itu, bercokol dalam pikirannya (perkataan-perkataan –pen) yang
mengandung makna batil” [Mukhtashar Thabaqat Ulama Al-Hadits hal. 401]
Ibnu Aqil Az-Zhahiri rahimahullah berkata:
وإنما ضلَّ أبو محمد في العقائد لأنه لم يحسن تطبيق أصول الأخذ بالظاهر
“Abu Muhammad (Ibnu Hazm
–pen) tersesat dalam masalah aqidah, karena ia tidak pandai dalam menerapkan
ushul mengambil nash yang zhahir” [Ibnu Hazm Khilal Alfa ‘Am, 4/254]
Sisi kedua, Ibnu Hazm sendiri menukilkan ijma’ tentang kekafiran seorang
yang meninggalkan shalat dalam perkataannya:
وقد جاء عن عمر وعبد الرحمن بن عوف ومعاذ بن جبل وأبي هريرة وغيرهم من الصحابة - رضي اللهعنهم - أن من ترك صلاة فرض واحدة متعمدا حتى يخرج وقتها فهو كافر مرتد ، ولا نعلم لهؤلاء منالصحابة مخالف
“Telah datang riwayat dari Umar, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu
Hurairah dan para sahabat yang lain bahwa barangsiapa yang meninggalkan
satu shalat fardhu hingga keluar waktunya secara sengaja, maka ia kafir
murtad. Kami tidak mengetahui adanya sahabat yang
menyelisihi.” [Al-Muhalla, 2/15]
Bagaimana mungkin seorang
yang meninggalkan satu shalat dikafirkan oleh Ibnu Hazm, sedangkan seorang yang
meninggalkan seluruh amal dikatakan mukmin!! Akal siapakah yang bisa menjawab
kontradiksi ini?
Kelima, mereka menerjemahkan perkataan Asy-Syafi’i rahimahullah dengan
ungkapan berikut:
وكان الإجماع من الصحابة و التابعين من بعدهم ومن أدركناهم يقولون الإيمان قول وعمل ونية لا يجزئواحد من الثلاثة إلا بالأخر
“Para
sahabat, tabi’in setelah mereka, dan para ulama yang kami temui,
mereka telah bersepakat (ijma’) mengatakan iman adalah
perkataan, amal, dan niat. Salah satu dari ketiganya tidaklah
mencukupi kecuali dengan yang
lainnya”
Penafsiran mereka dalam memahami
perkataan Asy-Syafi’i tidaklah mengeluarkan keyakinan mereka dari aqidah
Murji’ah, karena tidak ada perselisihan di antara kelompok Murji’ah sendiri
bahwa amal ketaatan adalah hal yang dituntut dalam syariat. Hanya
saja beberapa sekte Murji’ah berselisih tentang konsekuensi bagi orang-orang
yang meninggalkan amal. Sebagian menyatakan imannya sempurna seperti iman
malaikat Jibril, sebagian menyatakan iman mereka tidak berkurang dengan
meninggalkan amal, sebagian menyatakan imannya tidak sempurna meskipun tidak
beramal sama sekali.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
فإن المرجئة لا تنازع في أن الإيمان الذي في القلب يدعو إلى فعل الطاعة ويقتضي ذلك، والطاعة منثمراته ونتائجه
“Sungguh Murji’ah tidak
berselisih bahwa iman yang ada dalam hatimengharuskan amal
ketaatan dan merupakan konsekuensinya, amal ketaatan merupakan buah dan
hasilnya.. [Al-Iman hal. 45]
Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata:
فمن عرف ارتباط الظاهر بالباطن زالت عنه الشبهة في هذا الباب وعلم أن من قال من الفقهاء أنه إذاأقر بالوجوب وامتنع عن الفعل لا يقتل أو يقتل مع إسلامه فإنه دخلت عليه الشبهة التي دخلت علىالمرجئة والجهمية
“Barangsiapa yang
mengetahui keterkaitan antara zhahir (amal jawarih) dan batin
(ashlul-iman), maka akan terjawablah syubhat dalam bab ini. Ia akan
mengetahui kenapa ada dari sebagian fuqaha’ yang menyatakan “ketika seorang mengakui
kewajibannya, namun tidak mau beramal maka ia tidak dibunuh atau dibunuh dalam
keadaan masih muslim (bukan karena kekafirannya –pen-)”. Sungguh mereka terpengaruh
oleh syubhat yang masuk pada kelompok Murji’ah dan Jahmiyyah”. [Majmuu’
Al-Fatawa, 7/616]
Keenam, keganjilan berikutnya, kesamaan keyakinan mereka dengan aqidah
pendahulu mereka dari kalangan Murji’ah bahwa meninggalkan amal tidak
menyebabkan berkurangnya iman dalam satu kondisi, yaitu saat iman dalam hati
tinggal tersisa ashlul-iman. Meninggalkan amal dalam kondisi ini sama sekali tidak mengurangi
iman menurut mereka. Keyakinan “meninggalkan
amal tidak mengurangi iman” bertentangan dengan aqidah ahlus-sunnah tanpa ada
keraguan sedikit pun.
Al-Bukhari rahimahullah berkata:
وَسُئِلَ الأَوْزَاعِيُّ وَأَنَا أَسْمَعُ عَنِ الإِيمَانِ، فَقَالَ: " الإِيمَانُ يَزِيدُ، وَيَنْقُصُ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيمَانَ لا يَزِيدُ، وَلايَنْقُصُ فَهُوَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ فَاحْذَرُوهُ ".
“Al-Auzaa’iy pernah ditanya
- dan waktu itu aku mendengarnya – tentang iman, lalu ia menjawab : “Iman dapat
bertambah maupun berkurang. Barangsiapa yang menyangka iman tidak bertambah dan
tidak pula berkurang, maka ia adalah pelaku bid’ah. Waspadalah terhadapnya” [Juz’u
Raf’il-Yadain fish-Shalaah hal. 154]
Al-Baghawi rahimahullah berkata:
المرجئة: هُم الّذين لا يرون الطاعة مِن الْإِيمَان، ويقولون: الْإِيمَان لا يزيد بالطاعة، ولا ينقص بالمعصية
“Murji’ah adalah mereka
yang tidak memandang ketaatan termasuk bagian dari iman. Mereka berkata : ‘Iman
tidak bertambah dengan ketaatan dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan” [Syarhus-Sunnah 13/129]
Abul-Qasim
Al-Ashbahani rahimahullah berkata:
والمرجئة تقول: إن العمل ليس من الإيمان وإن مرتكب الكبيرة مؤمن، وإن الإيمان لا يزيد ولا ينقص
“Dan Murji’ah berkata:
‘Sesungguhnya perbuatan tidak termasuk keimanan, orang yang melakukan dosa
besar adalah seorang mukmin, serta iman tidak dapat bertambah dan tidak pula
berkurang” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/383]
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ إِدْرِيسَ، يَقُولُ: كَذَبَ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيمَانَ لا يَزِيدُ وَلا يَنْقُصُ
Dari ‘Abdullah bin Idriis,
ia berkata : “Telah berdusta orang yang menyangka iman tidak bertambah dan
tidak pula berkurang” [Al-Muntaqaa no. 97]
Ketujuh, mereka juga selalu mengulang-ulang perkataan Al-Barbaharirahimahullah berikut
untuk berlepas diri dari aqidah Murji’ah:
ومن قال : (الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص)، فقد خرج من الإرجاء كلِّه، أوَّله وآخره.
“Barangsiapa yang
mengatakan : ‘iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah maupun
berkurang’ ; sungguh ia telah keluar dari (bid’ah) irjaa’ secara
keseluruhan, dari awal hingga akhirnya” [Syarhus-Sunnah, hal. 123, 161]
Syubhat ini juga dijawab
dari dua sisi:
Sisi pertama, keyakinan mereka dalam masalah iman merupakan keyakinan yang
baru muncul belakangan, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullahmenggolongkan mereka termasuk sekte kelima dari sekte Murji’ah.
و هناك فرقة خامسة ظهرت الآن و هم الذين يقولون : إن الأعمال شرط في كمال الإيمان الواجب أوالكمال المستحب
“Di sana terdapat kelompok
kelima yang baru muncul sekarang, mereka menyatakan bahwa amal adalah syarat
kesempurnaan iman wajib atau syarat kesempurnaan iman mustahhab” [At-Ta’liq
Al-Mukhtashar ‘alal Qashidah An-Nuniyah, 2/647]
Perkataan Al-Barbahari yang
mereka nukil merupakan penyifatan tentang sekte Murji’ah di masa beliau,
sehingga tidak tepat jika dikaitkan dengan sekte Murji’ah yang baru muncul
belakangan ini. Seandainya Al-Barbahari hidup sekarang dan melihat kesesatan
mereka, tentu Al-Barbahari akan mengingkari mereka dengan keras sebagaimana
pengingkaran Al-Fauzan, Al-Luhaidan, Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Abdullah
Al-Ghudayyan, Abdul Aziz Ar-Rajihi dan para ulama kibar yang lain.
Sisi kedua, telah berlalu penjelasannya, mereka meyakini bahwa meninggalkan
amal tidak mengurangi iman dalam satu kondisi yaitu saat iman dalam hati
tinggal tersisa ashlul-iman. Meninggalkan
amal dalam kondisi ini sama sekali tidak mengurangi iman menurut mereka. Sehingga
perkataan Al-Barbahari di atas pada hakikatnya masih menyinggung keyakinan
mereka.
Kedelapan, mereka juga menukilkan perkataan Ibnu Jarir At-Thabarirahimahullah berikut:
إذا عرف وأقر وفرط في العمل هو مؤمن بالله ورسوله، لا نقول مؤمن بإطلاق
“Apabila ia mengetahui,
mengakuinya, namun meninggalkan amal, maka ia orang yang beriman (mukmin)
terhadap Allah dan Rasul-Nya (= tidak kafir), namun kami tidak mengatakannya
orang yang beriman (mukmin) secara mutlak” [At-Tabshiir fi Ma’alamid Din,
hal. 196]
Syubhat ini juga dijawab
dari dua sisi:
Sisi pertama, “mufarrith fil amal” tidak tepat jika diterjemahkan dengan
“meninggalkan”, sebab seorang mufarrith belum tentu meninggalkan. Sebagai contoh, seorang yang melakukan tafriith dalam
shalat, belum tentu ia meninggalkan shalat, artinya meninggalkan hal-hal yang
wajib dan sunah dalam shalat dengan sengaja juga dinamakan tafriith. Sehingga perkataan At-Thabari di atas bukan dalam mahallun
niza’ (letak perselisihan)
Sisi kedua, terdapat perkataan Ibnu Jarir At-Thabari yang lebih sharih dalam
masalah iman yang mencocoki ahlus-sunnah, yaitu:
عن علي بن سهل الرملي حدثنا الوليد بن مسلم قال : ( سمعت الأوزاعي ومالك بن أنس وسعيد بن عبدالعزيز رحمهم الله ينكرون قول من يقول: إن الإيمان إقرار بلا عمل ، ويقولون لا إيمان إلا بعمل ، ولاعمل إلا بإيمان
“Dari Ali bin Sahl Ar-Ramli, ia berkata: menceritakan pada kami
Al-Walid bin Muslim, ia berkata: “Aku mendengar Al-Auza’i, Malik bin Anas dan
Sa’id bin Abdul Aziz rahimahumullah mengingkari sebagian orang
yang menyatakan: “sesungguhnya iman adalah iqraar (syahadat –pen-) tanpa amal. Al-Auza’i, Anas bin Malik dan Sa’id bin Abdul Aziz
menyatakan bahwa tidak ada iman tanpa amal, serta tidak ada
amal tanpa iman.” [Shariihus Sunnah]
Seperti biasanya, mereka
hanya menukil perkataan ulama yang mencocoki hawa nafsunya, tanpa menoleh pada
nukilan perkataan ulama tersebut di kitab-kitab yang lain.
Kesembilan, mereka menukil perkataan Az-Zuhri berikut secara terpotong, sehingga
menjadi rusak maknanya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْرٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، قَالَ: وَقَالَ الزُّهْرِيُّ "قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْقُولُوا أَسْلَمْنَا، قَالَ: نَرَى أَنَّ الْإِسْلَامَ الْكَلِمَةُ وَالْإِيمَانَ الْعَمَلُ "
Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin ‘Ubaid : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Tsaur, dari
Ma’mar, ia berkata : Telah berkata Az-Zuhriy tentang ayat : Akan tetapi
katakanlah: ‘Kami telah tunduk’, ia berkata : “Kami berpendapat bahwa islam
adalah kalimat (syahadat) dan iman adalah amal”
Dipahami dari nukilan
terpotong di atas bahwa seorang cukup bersyahadat untuk menjadi seorang muslim,
ia tidak dituntut untuk beramal, karena amal hanyalah dilakukan untuk
memperoleh tingkatan mukmin. Mukmin adalah tingkatan di atas muslim. Allahulmusta’an
Syaikhul
Islam rahimahullah menukil perkataan Az-Zuhri tersebut dengan
sedikit tambahan dari apa yang mereka sebutkan. Az-Zuhri rahimahullah berkata:
كنا نقول الإسلام بالإقرار والإيمان بالعمل, والإيمان قول وعمل قرينان لا ينفع أحدهما إلا بالأخر
“Kami menyatakan bahwa Islam adalah iqraar dan
iman adalah amal. Iman adalah perkataan dan amal, keduanya sangat dekat. Tidak
bermanfaatmencukupkan salah satunya tanpa yang lain.” [Majmu’ Al-Fataawa,
7/295]
Bandingkan nukilan mereka
dengan nukilan Syaikhul Islam, siapa yang lebih jujur dalam menukil?
Berkat taufiq dari Allah,
saya telah menyebutkan ketidak-jujuran mereka dalam menukil perkataan ulama
dalam artikel berikut:
Allahua’lam, semoga bermanfaat.
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 15 Rabi’uts
Tsani 1436