Kamis, 4 februari
2016 - 14:13 wib
Hukum tak melarang
belajar bahasa Arab di luar jam sekolah. Namun fakta di lapangan, rezim
seringkali diadili dengan dakwaan tidak jelas bahkan hukumannya bisa mati
“Jika
kamu tidak mengikuti ideologi rezim (Syiah-Iran, red), kamu bahkan tidak akan
dapat mengikuti Pemilu”
KEADAAN buruk dari
minoritas Arab Ahwazi Iran dan protes yang baru-baru ini mereka
lakukan di negara yang kaya akan minyaknya ini, sengaja tidak dilaporkan
meskipun ini serius dan secara sistematis ini adalah diskriminasi yang dilakukan Teheran pada mereka, kata salah satu anggota
komunitas itu kepada Middle East Eye(MEE).
Orang
Arab melengkapi mayoritas bagian dari apa yang secara resmi disebut provinsi
Khuzestan, tetapi Ahwazis menyebutnya dengan “Arabistan”, mereka menggunakan
nama historis wilayah itu untuk menekannya asal etnis mereka.
Sensus
resmi iran tidak menampilkan statistik dari latar belakang
etnis, tetapi anggota dari komunitas ini mengatakan bahwa jumlah mereka sekitar
5 juta, dari 75 juta populasi warga Iran.
Mereka
dibedakan dari komunitas etnis Arab lainnya di Iran, yang dikenal sebagai
Hula, yang hidup di wilayah timur pesisir Iran dan berjumlah sekitar
1,5 juta. Tidak seperti kebanyakan etnis Ahwazi yang berfaham Syiah, Arab Huwla
kebanyakan berfaham Sunni.
Terdapat
juga banyak etnis Arab yang dilaporkan berada di provinsi Khurasan, dan
kelompok etnis lain dalam jumlah kecil di banyak provinsi. Meskipun komunitas
Arab yang berbeda – maupun minoritas dan kelompok lain – mengeluhkan tentang
diskriminasi, etnis Ahwazis menyatakan mereka yang terkena diskriminasi
terparah.
Bahasa
dan Identitas
Etnis
Ahwazis mengatakan mereka sedang menghadapi dua bentuk diskriminasi: yang
pertama mengenai identitas dan bahasa mereka, sedangkan yang kedua terkait
dengan kedudukan ekonomis mereka – termasuk pengangguran, masalah kesehatan dan
lingkungan.
“Bayangkan,
kamu mempunyai anak yang bahasa utamanya di rumah adalah bahasa Arab, kemudian
mereka memulai sekolah dasar di mana mereka belajar segala sesuatunya dengan
bahasa Persia,” Ramadan Alsaedi, seorang jurnalis Ahwazi di London, mengatakan
pada MEE, tahun 2015 lalu.
“Mereka
pertama akan menghadapi masalah dengan pembelajaran mereka di sekolah, karena
mereka belajar membaca dan menulis dengan bahasa Persia, lidah mereka yang
terbiasa berbahasa Arab di rumah menderita karena mereka tidak diajarkan
satupun pelajaran yang berbahasa Arab hingga mereka mencapai sekolah menengah
pertama (sekitar umur 13 tahun),” ujar Alsaedi menjelaskan.
“Dari
sekolah menengah pertama hingga seterusnya, orang Arab hanya akan diperbolehkan
mengambil satu mata pelajaran pendidikan formal per minggu, dari sebuah
kurikulum yang memaksa dunia melihat rezim yang menolak identitas [pelajar
Arab],” dia menambahkan.
Banyak
etnis Ahwazis terpaksa menyewa guru privat untuk mengajari anak-anak mereka
budaya Arab serta bahasa mereka. Bagaimanapun, jika tertangkap,
keluarga-keluarga ini dilaporkan akan diancam hukuman berat.
“Oleh
hukum, tidak ada pelarangan tentang pembelajaran bahasa Arab di luar jam
sekolah atau kepemilikan buku berbahasa Arab yang tidak disetujui oleh rezim.
Tetapi pada kenyataannya, mereka yang menerapkan hal itu seringkali diadili
karena dakwaan yang tidak jelas, yang hukumannya bisa mencapai hukuman mati,”
Yousef Azizi, seorang penulis etnis Ahwazi yang sekarang tinggal di Britania
setelah mengungsi dari Iran, berkata pada MEE.
Aktivisi
HAM, aktivis budaya, dan penggiat bahasa serta penyair berpengaruh juga dapat
terkena hukuman yang sama jika tidak sepakat dengan peraturan dari pemerintah
pusat, kata Azizi, dia menambahkan bahwa “tindakan rezim mendorong semakin
banyak orang mendesak kemerdekaan dari Teheran, meskipun sekarang kebanyakan
menjadi orang yang menginginkan otonomi.”
Kaya
minyak, gas dan sumber air
Etnis
Ahwazis menikmati pemerintahannya sendiri hingga 1925, ketika Shah Reza Pahlavi
menggulingkan penguasa Arab, Sheikh Khazaal al-Hajj Jabber, dan menguasai
seluruh provinsi, yang hari ini dilaporkan sebagai sumber dari 80 persen minyak
negara itu dan 50 persen gas, belum lagi pasokan air yang kaya.
“Pengeringan
secara sengaja rawa-rawa di wilayah itu serta pengalihan air sungai kepada
wilayah lain [Persia] telah menyebabkan etnis Ahwazis menderita di segala
aspek, paling tidak akses pada air minum,” Amir Saedi, seorang penggiat hak
asasi dan lulusan medis di London, mengatakan pada MEE.
“Wilayah Iran yang
pasokan airnya berlimpah itu tidak dapat mengaliri pertanian mereka sendiri
karena bendungan milik rezim menyalurkan air sungai menjauh dari yang bisa
digunakan penduduk setempat. Badai pasir yang terjadi baru-baru ini adalah
hasil langsung dari kebijakan diskriminasi rezim, yang telah merugikan
lingkungan di provinsi itu, menuntun pada memburuknya kesehatan penduduk,
termasuk meningkatnya kasus kanker,” Saedi menambahkan.
Ahwaz
menduduki peringkat kedua sebagai kota paling berpolusi pada 2014 leh World Health Organisation (WHO)
Etnis
Ahwazi seringkali mengeluhkan bahwa para penduduk asli wilayah itu tidak
mendapatkan keuntungan dari wilayah mereka, kendati menjadi wilayah yang paling
kaya akan minyak, gas, dan air di seluruh Iran.
Polusi
dan pengangguran
Pada saat yang sama, ketika wilayah lain mendapat
keuntungan dari sumber daya Ahwaz, orang Arab setempat yang paling
menderita karena
polusi yang dihasilkan, namun mereka tidak mempunyai uang untuk membayar
tagihan medis.
“Hanya
5 persen dari posisi pemerintahan di wilayah ini yang diduduki oleh orang Arab.
Wilayah yang mayoritas ini tidak pernah dipimpin oleh gubernur beretnis Arab
sejak 1925. Di satu pabrik pengeboran minyak yang mempunya 4000 karyawan,
setelah ditelusuri hanya 7 orang diantaranya yang beretnis Arab,” kata Azizi.
“Anda
akan menemukan lowongan pekerjaan di Ahwaz diiklankan di luar provinsi ini,
dimana etnis Arab bahkan tidak menyadari lowongan pekerjaan yang tersedia di
halaman belakang rumah mereka sendiri. Dan mereka yang mendengar tentang itu
dan mendaftar, jarang mendapat pekerjaan itu,” dia menambahkan.
Puncak
ketegangan antara pemerintah dan Ahwazis terjadi pada 2005, dimana milisi
melakukan beberapa pengeboman dan tentara membalasa dengan serangan mematikan.
Dua orang terbukti bertanggung jawab melakukan pengeboman dan telah digantung
pada tahun 2006. Hari ini, demo damai yang menolak diskriminasi, marjinalisasi
dan “penahanan dari pembangkang non-kekerasan” berlanjut.
Para
etnis Ahwazis di pengasingan juga ikut serta dalam sebuah kampanye panjang
untuk mengubah demografis wilayah itu, dimana banyak keringanan diberikan
kepada orang-orang dari luar wilayah untuk dapat bekerja di provinsi itu,
walaupun angka pengangguran di wilayah itu kadang mencapai angka 37 persen.
Wacana
Anti-Arab
Mereka
juga berbicara sekaligus tentang rasisme pada level nasional, kendati diklaim
oleh banyak dari kelompok ulama bahwa mereka ada keturunan dari Nabi Muhammad,
yang merupakan orang Arab.
“Minoritas
lain, seperti Kurdi, Turk, Azeris, Baluchi dan Lor mungkin menghadapi
‘penindasan nasiona’. Tetapi Ahwazi Iran menemukan bentuk-bentuk
tambahan dari wacana anti-Arab di media dan di buku-buku,” kata Azizi.
“Orang
Arab diluar Iran tidak mengetahuinya karena bentuk rasisme itu tidak
ditampilkan dalam publikasi rezim yang berbahasa Arab dan siaran, yang
sasarannya adalah penonton Arab diluar Iran. Tetapi kamu (Orang Arab
di Iran) merasakan itu setiap saat,” dia menambahkan.
“Rezim
membutuhkan bahasa Arab untuk tujuan propaganda dan juga karena terdapat banyak
warisan reliji yang berbahasa Arab. Tetapi mereka tidak ingin Ahwazis
berkomunikasi dengan bahasa asli mereka sendiri. Mereka bahkan mengubah
nama-nama wilayah yang awalnya berbahasa Arab menjadi bahasa Persia,” kata
Azizi.
Berubah
menjadi Sunni
Sikap
keras terhadap identitas Arab di wilayah itu membawa pada bertambahnya jumlah
dari pemuda Ahwazi yang berpindah menjadi Sunni, yang beberapa dari mereka
anggap lebih mendekati akar keturunan Arab mereka. Iran sendiri
dulunya didominasi Sunni hingga Shah Ismail dari dinasti Safavid mengeluarkan
kebijakan yang memaksa mereka berganti keyakinan di abad 16.
Bagaimanapun,
para Ahwazi yang berpindah menjadi Islam Sunni akan menghadapi masalah karena
otoritas mengancam mereka dengan hukuman penjara, meskipun tidak ada
undang-undang resmi yang melarang berpindah sekte atau agama.
Alsaedi,
Azizi, dan Saedi berpendapat bahwa identitas atau kepercayaan apapun yang
berada di luar apa yang penguasa telah inginkan akan mendapat penindasan yang
amat berat, dengan dakwaan-dakwaan elastis yang dirancang khusus agar dapat
cocok dengan segala bentuk perbedaan pendapat yang dirasakan.
“Jika
kamu tidak mengikuti ideologi rezim, kamu bahkan tidak akan dapat mengikuti
Pemilu, rezim akan menang sendiri,” kata Saedi, “itulah kenapa orang Arab tidak
mempunyai wakil di pemerintahan. Lagipula hasilnya telah ditentukan.”.*/Nashirul Haq AR
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar