Monday,
28 March 2016
Ustadz Tiar Anwar Bachtiar (PERSIS)
Salah satu persoalan yang hari
ini sedang muncul ke permukaan adalah hubungan Sunni-Syiah seiring dengan
meletusnya perang di Suriah yang akhirnya menjadi jelas sebagai perang
Sunni-Syiah.
Kalangan Syiah tidak berani
secara terbuka menunjukkan permusuhan mereka kepada Ahlus-Sunnah.
Secara politis hal itu hanya akan
memunculkan solidaritas Sunni di seluruh dunia untuk melindungi keyakinan
mereka; dan apabila solidaritas itu muncul, negara-negara Sunni bersatu bukan
tandingan negara Syiah seperti Iran dan rezim Assad di Suriah.
Iran dan Syiah pada umumnya cukup
cerdik memainkan media. Mereka masuk ke dalam konflik modern di kalangan umat
Islam sendiri. Konflik yang mereka pilih adalah antara pendukung gerakan
Muhammad ibn Abdul Wahhab (baca: Wahabi) dengan penentangnya.
Umumnya penentang gerakan Wahabi
ini adalah kalangan tradisionalis bermazhab Syafii yang memiliki pengikut
paling banyak di berbagai belahan dunia. Sementara gerakan Wahabi bukan
mainstream. Syiah masuk ke dalam konflik yang sudah cukup lama ini dengan
mengambil posisi berlawanan dengan Wahabi.
Posisi ini kelihatannya tidak
diambil karena kalangan tradisionalis tidak menolak Syiah, tetapi lebih pada
strategi diplomasi dengan kelompok yang lebih besar. Kalangan tradisionalis,
sekalipun berkonflik dengan Wahabi, tetapi sebagai Sunni tetap menolak secara
mendasar ajaran-ajaran Syiah.
Akan tetapi di beberapa tempat,
kalangan tradisionalis ini lebih mudah untuk disusupi, walaupun sebenarnya
tegas menolak Syiah sehingga Syiah lebih leluasa untuk masuk kepada kelompok
ini.
Oleh sebab itu, sebagai aksi
nyatanya di dalam berbagai media cetak, elektronik, maupun dunia maya, Syiah
secara atraktif menyebut musuh mereka adalah Wahabi, Salafy, atau Takfiri.
Ketiga istilah itu kira-kira ditujukan untuk objek yang sama.
Pemilihan Wahabi sebagai musuh
Syiah di media ternyata cukup mengecoh umat Islam. Kalangan tradisionalis yang
selama ini memang banyak mengkritik pemikiran dan gerakan Wahabi ini seolah
mendapat tenaga untuk kembali mengungkit luka lama.
Banyak yang terjebak mendukung
Syiah dan menghantam Wahabi yang sama-sama Sunni. Syiah dianggap sebagai
mazhab, sementara Wahabi dianggap sempalan. Padahal, sepanjang sejarah tidak
pernah kaum Sunni menyebut Syiah sebagai “mazhab” dalam Islam. Bagaimana syubhat
ini terjadi, makalah berikut akan mencoba menelusuri silang sengkarut masalah
Wahabi dan Syiah ini.
Wahabi dalam Literatur para
Pengkritiknya di Indonesia
Belakangan ini literatur tentang
tema “Wahabi” dibanjiri dengan banyak buku yang bernada menyudutkan dan
menjelek-jelekkan. Tentu saja segera muncul pula buku bantahannya, namun
jumlahnya masih tetap lebih banyak yang menyerang Wahabi.
Umumnya buku-buku tersebut
ditulis oleh penulis dengan nama pena mereka atau nama alias yang tidak
dikenal. Secara psikologis ini menunjukkan “ketakutan” penulisnya untuk
membuktikan bahwa dirinya memang sedang memperjuangkan sesuatu yang benar.
Buku paling fenomenal adalah yang
ditulis oleh Syekh Idahram (nama samaran). Buku yang ditulisnya dibuat dalam
tiga jilid dengan judul-judul yang bombastik dan berbau fitnah seperti Sejarah
Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik,
dan Ulama Sejagad Menggugat salafi Wahabi.
Ada juga buku lain berjudul
Radikalisme Sekte Wahabiyyah karangan Syekh Fathi Al-Azhari (nama samaran); dan
Khawarij dan Dajjal ada di Indonesia tulisan K.H. Alawi Nurul Alam Al-Bantani
yang sebelumnya menulis buku stensilan yang cukup menghebohkan warga Bandung
berjudul Ustadz Persis Bertanya Al-Bantani Menjawab.
Keenam buku tersebut semuanya
berisi caci maki dan tuduhan yang sangat keji terhadap kelompok yang
disebut-sebut dalam buku itu sebagai “Wahabi”. Sejak judulnya, buku-buku
tersebut sudah berisi kecaman dan tuduhan yang tidak mengenakkan. Apalagi kalau
kita masuk ke dalam buku-buku tersebut.
Namun sayang, seringkali istilah
“Wahabi” yang ada dalam buku-buku tersebut amat kabur, tidak jelas entah ke
mana arahnya sehingga stigma Wahabi bisa diarahkan kepada siapa saja yang
diinginkan oleh penulisnya. Jelas secara ilmiah tulisan-tulisan semacam ini
adalah karya picisan dan kacangan, sekalipun pembaca dikelabui dengan sederet
catatan kaki berisi rujukan-rujukan yang kelihatannya amat meyakinkan.
Kita lihat misalnya dalam buku
Syaikh Idahram yang disebut sebagai Wahabi adalah pengikut Muhammad ibnu Abdul
Wahhab. Terkadang namanya berubah menjadi “Salafi”.
Tokoh yang dianggap sebagai
rujukan ketika berubah istilahnya menjadi Salafi adalah Nashiruddin Al-Albani
(Sejarah Berdarah…, hal. 26). Akan tetapi, ujung-ujung ajarannya bermuara
kepada Muhammad ibnu Abdil Wahhab sehingga tetap disebut sebagai Wahabi.
Mengenai siapa yang layak disebut
“Wahabi” di Indonesia, Idahram rupanya tidak terlalu berani untuk menyebut
organisasi pembaharu seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad sebagai
“Wahabi”.
Ia hanya menyebutnya sebagai
memiliki “kesamaan ide” bukan “kesamaan faham”, tapi tidak dijelaskan apa
maksudnya. Ia bahkan tidak memasukkan Ikhwanul Muslimin dan Hizbut-Tahrir
sebagai bagian di dalamnya. Idahram lebih fokus pada tokoh-tokoh yang menamakan
dirinya di Indonesia sebagai “Salafi” seperti Ja’far Umar Thalib, Umar
As-Sewed, Abu Qatadah, dan lainnya. (Sejarah Berdarah… hal. 45).
Oleh sebab itu, serangan Idahram
lebih diarahkan kepada kelompok “Salafi” dengan seluruh varian dan afiliasinya.
Sementara itu, dalam buku
Al-Bantani, istilah Wahabi ia beri garis miring Persis: PERSIS/WAHABI (Persis
Bertanya…hal. Pengantar) Itu menunjukkan bahwa yang dimaksud Wahabi oleh
Al-Bantani juga termasuk yang idenya sama seperti Persis, mungkin juga
Muhammadiyah dan Al-Irsyad.
Al-Bantani bahkan tidak menyebut
satu pun istilah “Salafi” pada bukunya yang pertama. Ia baru menyebut istilah
itu pada buku keduanya, Khawarij dan Dajjal (Salafi Wahabi) Ada di Indonesia.
Cukup mengherankan, pada buku keduanya ia hanya menyebut dua istilah, yaitu
“Salafi” dan “Wahabi”. Tapi sampai akhir bukunya, tidak ada penjelasan tentang
frasa “Ada di Indonesia” yang ia tulis di cover bukunya.
Ia hanya menjelaskan tentang
Muhammad ibn Abdul Wahhab dan kecaman terhadapnya. Buku keduanya ini malah
sangat banyak mengutip ketiga buku Idahram.
Ketidakjelasan mengidentifikasi
siapa yang dimaksud “Wahabi” dalam berbagai tulisan yang menyudutkan kelompok
Wahabi menyebabkan istilah ini menjadi sangat bias. Apalagi ketika sampai di
kalangan awam. Dengan mudah orang awam menyebut semua orang yang anti-Maulid
dan anti-Tahlilan sebagai Wahabi tanpa mempertimbangkan lagi alasan dan
argumentasi yang melatarinya.
Pada momen-momen tertentu seperti
musim Pilpres, Pilkada, dan Pileg isu semacam ini bahkan seperti diobral untuk
menjatuhkan lawan-lawan politik calon tertentu dengan tuduhan “Wahabi”.
Akhirnya, istilah “Wahabi” berkembang bukan sebagai sebuah istilah ilmiah yang
objektif, melainkan sebagai stigmatisasi negatif.
Setiap kali disebut kata “Wahabi”
seolah melekat secara otomatis segala konotasi negatif seperti teroris,
radikal, keras, intoleran, dan semisalnya.
Memang semenjak pertama kali
muncul dalam kosakata umat Islam pada abad ke-19 istilah ini bukan suatu
istilah ilmiah, melainkan sebagai stigmatisasi negatif untuk mendiskreditkan
gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibnu Abdul Wahhab di Uyainah Nejd.
Gerakan ini dianggap membahayakan
kepentingan kolonialisme di Timur Tengah terutama setelah berhasil mendapatkan
back up politik dan militer dari penguasa Uyainah keluarga Ibnu Sa’ud. Klan ini
bahkan sanggup menyatukan Nejd dan Hijaz di bawah satu kekuasaan tahun 1924 dan
mendirikan Kerajaan Saudi Arabia.
Banyak kepentingan kolonialisme
yang terganggu oleh gerakan ini sehingga perlu ada upaya pelemahan salah
satunya memberikan stigma ideologis negatif terhadap pilihan mazhab penguasa
ini, yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Untuk kepentingan penciptaan
citra buruk pada gerakan ini, maka disebarkanlah berbagai tulisan yang konon
dinasabkan kepada suadara Muhammad ibnu Abdul Wahab, yaitu Sulaiman ibnu Abdul
Wahab.
Ada pula yang mengklaim bahwa
Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Masjidil Haram saat keluarga Ibnu Saud berkuasa juga
menulis buku yang mengecam ajaran-ajaran Wahabi. Kecaman terhadap Wahabi ini
semakin menjadi-jadi seiring dengan banyak amalan berbagai kelompok yang
dikritik oleh dakwah Wahabi seperti perayaan Maulid Nabi, perayaan Isra Mi’raj,
membangun kuburan, ziarah kubur orang-orang shaleh, dan semisalnya.
Oleh sebab kolaborasi antara
kepentingan kolonialisme yang merasa terganggu dengan dakwah Wahhabiyah dengan
kelompok umat Islam yang juga merasa amalan-amalan mereka pun telah
diotak-atik, maka fitnah terhadap Wahhabiyah pun semakin mendapatkan
momentumnya. Setelah terstigmakan secara negatif dengan sangat mudah Wahhabiyah
ini dituduh berada di belakang berbagai tindak kejahatan seperti terorisme.
Wahabi dan Syiah
Ketidakjelasan dan stigmatisasi
negatif terhadap Wahabi semakin keruh lagi ketika pemain yang ikut menyerang
wahabi bertambah, yaitu dari kalangan Syiah. Sebetulnya, bagi Syiah bukan hanya
Wahabi yang dianggap sebagai musuh malainkan seluruh Ahlus-Sunnah (baca:
Sunni).
Akan tetapi, setelah Revolusi
Iran tahun 1979, salah satu musuh serius yang dihadapi Syiah adalah dari
kalangan Wahabi ini. Oleh sebab itu, stigmatisasi negatif yang sudah sejak lama
muncul menjadi semakin kencang karena didukung oleh kekuatan Syiah
internasional yang sangat tidak senang dengan keberadaan kelompok Sunni yang
satu ini.
Kalau memperhatikan berbagai
tulisan dari para penulis Syiah kontemporer, permusuhan dan kebencian mereka
kepada Wahabi ini terlihat sangat luar biasa besarnya. Akan tetapi, tidak ada
argumen baru untuk menyerang Wahabi dari kalangan Syiah, selain yang sudah
tersebar sejak awal abad ke-20 seperti yang bisa dibaca dalam buku-buku Idahram
dan yang lainnya di atas.
Kalangan Syiah ini hanya semakin membesar-besarkan
character assassination yang telah lama dialamatkan kepada Wahabi. Syiah hanya
memanfaatkan kelompok Sunni yang tidak senang dengan Wahabi untuk semakin
memojokkan posisi Wahabi, tapi pada saat yang sama mereka “cuci tangan” atas
serangan mereka.
Strategi ini selain digunakan
untuk melemahkan Wahabi juga untuk memecah-belah Sunni yang secara umum menjadi
musuh besar mereka.
Dalam hal ini dapat dilihat kasus
buku Syaikh Idahram. Beberapa penulis berkesimpulan bahwa buku Idahram ini
diduga kuat dibuat oleh aktivis Syiah atau minimal yang bersimpati pada Syiah
dan membenci Wahabi.
Faktanya, terhadap Wahabi Syaikh
Idahram ini amat benci sampai mebutakan matanya sama sekali terhadap banyak
kebenaran yang dibawa oleh Wahabi. Akan tetapi, pada saat yang sama ia
menunjukkan simpatinya terhadap Syiah. Beberapa kutipan berikut dari bukunya
Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi memperlihatkan hal tersebut.
(1). Pada bulan Safar 1221 H/1806
M, Saud menyerang an-Najaf Al-Asyraf, namun hanya sampai di As-Sur (pagar
perlindungan). Meskipun gagal menguasai An-Najad, tetapi banyak penduduk tak
berdosa mati terbunuh (hal. 104-105)
(2). Dalam Islam, sedikitnya ada
7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam Ja’far ash-Shadiq (Mazhab
Ahlul Bait), mazhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas,
Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal. Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud
azh-Zhahiri. Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama salaf itu
banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (hal. 208)
Dua kutipan ini cukup menunjukkan
bahwa penulisnya adalah Syiah atau—minimal—simpatisan Syiah. Pada kutipan
pertama penulis menyebut kata “An-Najaf Al-Asyraf”. Najaf adalah salah satu
kota suci orang Syiah. Mereka selalu akan menyebut kota ini dengan sebutan
Al-Asyraf (yang paling mulia).
Orang Syiah berkeyakinan bahwa
kota ini lebih suci daripada kota Mekah dan Madinah. Kalau penulisnya
benar-benar Syiah, ia menulis hal ini dengan keyakinannya. Bila hanya
simpatisan, ia hanya latah saja menyebut kota ini dengan tambahan “al-asraf”.
Kalau kemungkinan kedua yang terjadi berarti orang ini sudah termakan
propaganda Syiah mengadu domba kalangan Sunni.
Pada kutipan kedua, jelas sekali
penulis menyetujui Syiah dianggap sebagai salah satu mazhab dalam Islam (Mazhab
Imam Ja’far Ash-Shadiq dan Mazhab Syiah Imamiyah), sedangkan Mazhab Salaf yang
sering dilontarkan oleh Wahabi ditolak tanpa ada penjelasan apa yang dimaksud
mazhab Salaf oleh ulama yang dituding Wahabi oleh penulis ini.
Kutipan ini semakin memperjelas
kecenderungannya kepada Syiah. Bisa jadi dia adalah Syiah sungguhan yang tengah
melakukan propaganda di kalangan Ahlus-Sunnah, atau Sunni yang sudah termakan
provokasi Syiah sehingga dia menganggap Syiah lebih baik dan lebih layak
dijadikan teman daripada kelompok yang disebutnya sebagai Wahabi.
Kebencian Syiah terhadap Wahabi
akan segera dengan mudah ditemukan apabila kita masuk ke dalam website, blog,
atau grup di sosial media yang dibuat oleh orang-orang Syiah. Bahkan saat ini
sudah hampir menjadi stereotyping di kalangan Syiah bahwa musuh utama mereka
adalah Saudi dan Wahabi.
Ada beberapa alasan yang dapat
menjelaskan mengapa Syiah begitu benci terhadap Wahabi.
Pertama, Wahabi dianggap sebagai
gerakan paling serius dalam mengungkap ajaran-ajaran Syiah dan segi-segi
kesesatannya terhadap umat Islam di seluruh dunia. Sebagaimana dimaklumi bahwa
gerakan Wahabi ini berakar pada pemikiran-pemikiran Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah. Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibnu Taimiyyah adalah salah satu
ulama yang paling serius menguliti Syiah sampai ke akar-akarnya. Buku tebalnya
Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah adalah salah satu tulisannya yang membongkar
akidah Syiah dan segi-segi kesesatannya dari sudut pandang Islam. Hampir semua
kritik terhadap Syiah setelah periode Ibnu Taimiyyah selalu merujuk pada kitab
ini. Buku ini berisi argumen ilmiah yang sangat mendasar yang sulit untuk
dibantah, sehingga siapa pun yang memahami buku ini dengan baik akan
berkesimpulan bahwa Syiah bukan Islam. Kalau buku sampai tersebar luas, maka
akan semakin sulit bagi Syiah untuk melancarkan misinya di tengah-tengah umat
Islam karena segera akan diketahui bahwa keyakinannya berbeda sama sekali
dengan keyakinan Islam.
Kedua, secara sengaja atau tidak
ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahhab yang sangat anti terhadap Syiah ini
didukung oleh penguasa Saudi Arabia. Bahkan, kebijakan Saudi soal Syiah pun
sangat ketat sampai-sampai Saudi tidak memperkenankan orang Syiah menjadi warga
negaranya. Kebijakan ini tentu menyulitkan Syiah untuk melakukan penetrasi ke
kota pusat ibadah umat Islam, Mekah dan Madinah. Oleh sebab itu, hampir semua
Negara dan gerakan Syiah tidak suka dengan penguasa Saudi Arabia.
Ketiga, secara geopolitik saat
ini Saudi Arabia masih tercatat sebagai negara di Teluk Arab yang paling kuat.
Salah satu buktinya adalah peristiwa Arab Springs yang melanda berbagai Negara
Arab. Satu-satunya negara yang tahan dari guncangan Arab Springs adalah Saudi
Arabia. Ini menunjukkan bahwa kekuatan internal Kerajaan Saudi Arabia cukup
tangguh. Sebagaimana dimaklumi bahwa Iran tengah berusaha untuk menjadi pemain
utama di Timur Tengah. Negara ini bahkan ingin membangun Imperium Syiah di
kawasan ini. Penetrasi ke wilayah ini telah dilakukannya segera setelah revolusi
Iran dengan menciptakan gerakan boneka Iran Hizbullah di Lebanon. Selain itu,
Iran juga terus menjalin hubungan persahabatan sangat erat dengan Rezim Asaad
di Suriah. Iran pun mendapat keuntungan besar dari runtuhnya rezim Saddam
Hussein di Irak hingga saat ini yang berhasil menjadi penguasa di Irak adalah
Syiah. Ganjalan paling seirus yang dihadari Iran dan gerakan Syiah dunia adalah
Saudi Arabia. Oleh sebab itu, sekuat tenaga mereka akan melakukan stigmatisasi
negatif terhadap Kerajaan Saudi Arabia agar semakin lemah di mata umat Islam.
Keempat, strategi adu domba di
kalangan Ahlus-Sunnah. Syiah tahu bahwa di kalangan Ahlus-Sunnah ada yang tidak
senang dengan kemunculan gerakan Wahabi di Saudi ini. Sudah sejak lama pula
mereka yang tidak setuju melancarkan berbagai serangan negatif terhadap Wahabi
ini. Salah satu strategi dalam membelah musuh adalah dengan menginjak yang satu
dan mengangkat yang lain, mirip seperti membelah bambu. Strategi ini dikenal
pula dengan sebutan “strategi belah bambu.” Untuk tujuan ini, secara serius
kalangan Syiah memberikan dukungan penuh kepada mereka yang tidak setuju pada
gerakan Wahabi. Tidak segan-segan pula menunjukkan persahabatan dan
persaudaraan mereka di hadapan kelompok-kelompok yang tidak setuju pada Wahabi
ini.
Meluruskan Wahabi-phobia
Sama seperti halnya Islamophobia
di Barat yang justru melahirkan kepenasaranan publik Barat terhadap Islam,
Wahabi-phobia pun menimbulkan banyak kepenasaranan di kalangan umat.
Kepenasaranan seperti inilah yang mengundang orang-orang Barat mempelajari
Islam secara objektif. Hasilnya, banyak di antara mereka yang malah tertarik
pada Islam dan akhirnya masuk Islam.
Terhadap Wahabi pun demikian.
Kepenasaranan mengundang orang untuk membaca literatur-literatur yang ditulis
oleh para ulama yang dituduh sebagai Wahabi seperti karangan Muhammad ibn Abudl
Wahhab sendiri, Abdullah ibn Bazz, Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Jamil Zainu,
Shalih Fauzan, dan sebagainya.
Bahkan buku-buku Ibnu Taimiyyah
yang dianggap sebagai fondasi dasar pemikiran Wahabi pun menjadi salah satu
warisan yang banyak dipelajari. Setelah banyak yang membaca tidak sedikit yang
akhirnya malah bersimpati. Saat ini dakwah Wahabi atau Salafi justru malah
semakin berkembang. Bahkan cenderung lebih atraktif karena mampu mengakses
media masa lebih luas seperti radio, televisi, majalah, dan penerbitan
buku-buku.
Kelihatannya, dibanding dengan
gerakan-gerakan dakwah yang telah ada lebih dulu seperti Muhammadiyah, NU,
Persis, Al-Irsyad, PUI, Mathla’ul-Anwar, Perti, dan lainnya para aktivis dakwah
Salafi ini lebih melek media.
Radio dan televisi dakwah yang
dimiliki para aktivis Salafi lebih banyak dan beragam jenisnya dari mulai tivi
kabel, tivi web, radio, dan sebagainya. Bahkan kini mulai bergerak ke televisi
publik melalui berbagai acara bukan hanya pengajian. Program yang paling
popular antar lain Khazanah di Trans 7 yang cukup digemari para pemirsa saat
ini.
Isi programnya sangat dipengaruhi
oleh pendapat-pendapat aktivis dakwah Salafi-Wahabi. Pemanfaatan media yang
sangat spektakuler adalah penerbitan buku. Hampir 70 persen lebih penerbitan
buku-buku Islam didominasi oleh para aktivis Salafi, baik kerangan langsung
maupun terjemahan.
Abdul Moqsith Ghazali, tokoh
Liberal NU, mengakui salah satu kelebihan dakwah Wahabi (sepanjang yang disebut
Wahabi adalah “Salafi” yang merujuk kepada ulama-ulama di atas) ini adalah
mampu mengkongkritkan konsep tauhid yang terlampau abstrak. Teologi tauhid ala
Sunni, kata Moqsith, adalah sangat rumit sebanding dengan konsep teologi
Katholik-Romawi.
Di tangan orang-orang Wahabi,
konsep tauhid yang tadinya rumit dan abstrak itu menjadi lebih sederhana dan
lebih konkrit. Orang-orang Wahabi tidak mau bermain dengan filsafat dan
definisi-definisi yang rumit sehingga ajarannya mudah dicerna oleh awam.
Mengenai hal ini disampaikan Moqsith dalam bedah buku karya Idahram di Litbang
Departemen Agama 11 Juni 2011. (AM Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi, hal.
93).
Karena kelebihan itulah setelah
karya-karya ulama Wahabi itu diterbitkan dalam edisi terjemahan dan dibaca
banyak yang akhirnya tertarik. Konsepnya yang sederhana, aplikatif, dan
meyakinkan membuat ajaran-ajaran mereka mudah diterima.
Selain itu, karena dalam
menggerakkan dakwahnya di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, gerakan
ini bersifat sangat filantropis, maka semakin banyak orang yang bersimpati.
Gerakan dakwah Wahabi inilah yang saat ini banyak mendirikan
pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan
tinggi tanpa berbayar sedikit pun.
Di mana-mana mendirikan masjid
tanpa meminta dana kepada masyarakat sekitar, membangun asrama anak-anak yatim,
membagi-bagikan hewan Qurban, membagi-bagikan ifthar gratis, menyumbang untuk
bencana alam, dan sebagainya. Gerakan filantropis kelompok dakwah inilah yang
semakin meyakinkan umat terhadap dakwah Wahabi.
Apa yang dituduhkan dan
difitnahkan kepada kelompok ini sebagian besar tidak terbukti di lapangan.
Bahkan ketika terorisme muncul ke permukaan dan dituduhkan kepada Wahabi,
segera muncul bantahan dan penjelasan dari para ulama Wahabi ini tentang sikap
dan pandangan mereka atas pengeboman, jihad, dan sebagainya.
Sekalipun begitu, stigma
terorisme tetap diasal-usulkan pada Wahabi dengan istilah lain, yaitu adanya
kelompok “Salafi Jihadi” atau “Wahabi Jihadi”, walaupun varian ini kelihatannya
agak dipaksakan. Mengenai varian baru Wahabi ini tentu butuh penjelasan ilmiah
panjang dan perlu diuji secara serius. Apalagi sejak awal memang definisi apa
yang disebut “Wahabi” dan “Salafi” pun tidak begitu jelas.
Hal lain yang juga menarik dari
gerakan dakwah ini adalah sifatnya yang cair dan tidak mau mengikatkan diri
pada organisasi gerakan tertentu, baik yang bersifat local, regional, maupun
global. Orang hanya diajak untuk mengikuti ajaran yang disampaikan tanpa harus
dibaiat menjadi anggota organisasi atau partai tertentu.
Ini berlainan dengan sebagian
gerakan dakwah Islam di Indonesia. Umumnya gerakan dakwah mengorganisasikan
diri sehingga ada kecenderungan orang-orang yang didakwahi takut untuk diajak
masuk organisasinya, padahal belum mendengar apa yang disampaikan.
Berlainan dengan dakwah
Salafi-Wahabi yang cenderung cair. Ini menjadi keuntungan tersendiri sehingga
dakwah ini dapat masuk ke wilayah manapun tanpa takut diajak masuk organisasi
tertentu. Dengan cara ini, sebagian masyarakat menjadi tertarik dengan ajaran-ajarannya.
Namun demikian, sebagai kelompok
dakwah, sekalipun tidak mengorganisasikan diri secara khusus dakwah
Salafi-Wahabi ini tetap secara sosiologis harus menerima kategori tertentu di
tengah masyarakat sebagai “kelompok” yang memiliki karakter dan ciri khas
tertentu, terutama ketika yang bersangkutan tidak mau bergabung dengan kelompok
manapun yang sudah ada.
Kategori ini secara tidak
langsung telah membentuk jamaah pengajian Salafi-Wahabi komunitas tersendiri
yang terpisah dari komunitas lain sekalipun pada praktiknya tidak memiliki
organisasi yang terstruktur.
Realitas ini tentu saja akan
memaksa kelompok dakwah ini harus berdampingan dengan kelompok-kelompok dakwah
lain yang sudah terlebih dahulu mengorganisasikan diri. Sekalipun banyak ide-ide
dari para ulama pelopor dakwah Salafi-Wahabi yang digunakan oleh gerakan dakwah
lain, namun dalam ranah pergaulan sosial kelompok Salafi-Wahabi ini akan
dianggap sebagai “orang lain” yang datang belakangan.
Oleh sebab itu akan berlaku hukum
pergaulan seperti dengan organisasi atau kelompok lain pada umumnya. Akan ada
yang tidak senang karena ada posisi dan aset yang terganggu; akan ada yang
tersinggung karena disinggung beberapa hal yang sensitif. Ketegangan juga bisa
diselesaikan melalui komunikasi yang baik dan intensif sehingga kelompok dakwah
ini dapat berdampingan dengan yang lainnya.
Ketidaksenangan beberapa ormas
yang merasa terganggu dengan kehadiran para da’i Salafi-Wahabi ini tidak
menutup kemungkinan memunculkan kembali isu lama yang mencoba menyudutkan
gerakan dakwah ini seperti yang terjadi pada awal kemunculan dakwah Syaikh
Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Tuduhan-tuduhan miring kaum
kolonial terhadap kelompok Wahabi ini pasti akan muncul kembali seperti tuduhan
aliran sesat yang bukan Ahlus-Sunnah, Khawarij, antek kolonial, dan sebagainya.
Isu semacam ini sudah banyak diklarifikasi oleh para penulis dan aktivis dakwah
Wahabi sebagaimana secara umum sebagiannya akan dikutip pada tulisan ini.
‘Ala kulli hâl, kemunculan
kelompok dakwah Salafi-Wahabi ini adalah merupakan varian dalam pengembangan
dan perluasan dakwah di dunia ini yang harus diapresiasi. Persoalan ada
perbedaan pendapat dalam beberapa hal dengan kelompok dakwah lain adalah
sesuatu yang lumrah sepanjang yang menjadi objek ikhtilaf adalah
perkara-perkara furu’iyyah.
Memang ada masalah akidah yang
juga diperdebatkan, namun bukan materi akidah yang ushûl, muttafaq, dan qath’i,
melainkan masalah akidah yang sifatnya furû’iyyah. Ini tentu saja harus menjadi
sesuatu yang dimaklumi. Pendapat kelompok ini jangan terlebih dahulu ditolak
sebelum ditelaah apa yang dibicarakannya sehingga dapat terjadi
mutual-understanding saat berhadapan dengan kolompok ini.
Sumber:
Persatuan Islam website
Kepada Ustadz KH Muh Idrus Ramli ( Dan Haters Lainnya
) Dari Pada Syahwat Kebenciannya Terhadap Wahhabi Menggangu Ketaqwaan Anda,
Lebih Baik Kumpulkan Semua Tulisan Anda Silahkan Bandingkan Dan Simpulkan
Dengan Ratusan Artikel Dilamurkha Terkait Masalah Pokok ( Ushul ) Yang Sering
Dinisbatkan Negatif Terhadap Wahhabi.
Fatwa Radikal Syiah Iran Untuk Hinakan ‘Musyrikin’
Sunni Arab Saudi Di Musim Haji. Jamaah Haji Iran Dikendalikan Garda Revolusi
Iran, Langsung Dibawah Ali Khamenei, Bukan Dibawah Presiden Iran.
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/06/fatwa-radikal-syiah-iran-untuk-hinakan.html