Dari Abu Umayyah Asy Sya’ baniy berkata:
Aku bertanya kepada Abu Tsa’labah: “Ya Aba Tsa’labah apa yang engkau katakan
tentang ayat Allah yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah
diri-diri kalian (tetaplah di atas diri-diri kalian); tidak akan bisa
orang-orang yang sesat itu memberikan mudharat kepada kalian apabila kalian
telah mendapatkan petunjuk.” (QS. Al Maidah: 105)
Berkata Abu Tsa’labah:
“Demi Allah, aku telah bertanya kepada
Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam tentang ayat itu, maka beliau
‘alaihisshalaatu wasallam bersabda yang artinya:
“Beramar ma’ruf dan nahi mungkarlah
kalian sehingga (sampai) kalian melihat kebakhilan sebagai perkara yang
dita’ati, hawa nafsu sebagai perkara yang diikuti; dan dunia (kemewahan)
sebagai perkara yang diagungkan (setiap orang mengatakan dirinya di atas agama
Islam dengan dasar hawa nafsunya masing-masing.
Dan Islam bertentangan dengan apa yang
mereka sandarkan padanya), setiap orang merasa ta’jub dengan akal pemikirannya
masing-masing, maka peliharalah diri-diri kalian (tetaplah di atas diri-diri
kalian) dan tinggalkanlah orang-orang awam karena sesungguhnya pada hari itu
adalah hari yang penuh dengan kesabaran (hari dimana seseorang yang sabar
menjalankan al haq dia akan mendapatkan pahala yang besar dan berlipat).
Seseorang yang bersabar pada hari itu
seperti seseorang yang memegang sesuatu di atas bara api, seseorang yang beramal
pada hari itu sama pahalanya dengan 50 orang yang beramal sepertinya.”
Seseorang bertanya kepada Rasulullah
‘alaihisshalaatu wasallam yang artinya: “Ya Rasulullah, pahala 50 orang dari
mereka?” Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam berkata: “Pahala 50 orang dari
kalian (para Sahabat Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam)”
{HR.Abu Daud: 4341, At Tirmizi: 3058, dan
dihasankan olehnya; Ibnu Majah: 4014, An Nasai dalam kitab Al Kubro:
9/137-Tuhfatul Asyrof, Ibnu Hibban: 1850-Mawarid, Abu Nuaim dalam Hilyatul Aulia:
2/30, Al Hakim: 4/322-dishohihkan dan disetujui oleh Adz Dzahabi, Ath Thahawi
dalam Misykalul Atsar: 2/64-65, Al Baghowi dalam Syarhu Sunnah: 14/347-348 dan
dalam Ma’alimul Tanzil: 2/72-73, Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Jamiul Bayan:
7/63, Ibnu Wadloh Al Qurtubi dalam Al bida’u wa nahyuanha: 71, 76-77; Ibnu Abi
Dunya dalam Ash Shobr: 42/1} Hadits Tsabit dari Rasulullah dengan syawahidnya
(jalan lainnya).
Dalam hadits Rasullallah
shallallahu’alaihi wasallam di atas menunjukkan:
– Kewajiban untuk terus beramal ma’ruf
nahi munkar sampai datang masa yang disifatkan oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam.
– Masa yang disifatkan oleh Rasullalllah
shallallahu’alaihi wasallam tersebut menunjukkan bahwa tidak bermanfaat lagi
amal ma’ruf nahi munkar karena disebabkan kerusakan manusia pada waktu itu.
Terkadang ada pertanyaan yang mengatakan:
bagaimana derajat pahala yang diberikan orang-orang yang bersabar dalam beramal
di atas al haq pada waktu itu berlipat ganda dibandingkan dengan amalan para
sahabat radhiallahu’anhum? Dimana, mereka adalah generasi pertama yang
membangun Islam, menegakkan cahaya Islam, membuka negeri-negeri, meninggikan
kekuasaan dan menancapkan Agama Allah.
Dan Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bersabda yang artinya : “Sekiranya kalian menginfakkan emas sebesar
Gunung Uhud setiap hari, tidak akan bisa menyamai mereka (para sahabat
Rasullallah ‘alaihisshalaatu wasallam) meskipun setengahnya.” {Hadits shahih,
lihat takhrijnya dalam (Juz’u Muhammab bin Ashim An Syuyukhihi: 12)}
Maka jawabannya adalah sesungguhnya para
sahabat Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam adalah generasi yang telah masyhur
amalannya, tiada satupun manusia setelah generasinya yang sebanding amalannya
dengan mereka. Mereka telah menjalankan amal ma’ruf nahi munkar sebagai perkara
yang besar untuk membuka dan menancapkan agama Allah yaitu Al-Islam.
Keberadaan mereka diawal Islam sangat
sedikit disebabkan karena berkuasanya orang-orang kafir di atas al haq.
Demikian juga di akhir zaman akan kembali keadaannya seperti di awal penegakkan
Islam. Dimana janji tersebut dipersaksikan di atas lisan yang selalu benar
perkataannya yaitu Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam yang telah
mengkhabarkan akan terjadinya kerusakan zaman, dhohirnya fitnah, berkuasanya
kebatilan, berkuasanya dan tingginya manusia dalam mengganti dan merubah al
haq, terjatuhnya kaum muslimin kepada jalan yang ditempuh oleh golongan ahli
kitab sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.
Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam
bersabda yang artinya: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing
sebagaimana datangnya.” (Hadits Mutawatir, lihat kitabku: Tuba lil Ghuroba, Al
Ghurbatu wal Ghuroba, Penerbit Darul Hijroh, Damam)
Maka pasti terjadi -Wallahu a’lam-
keadaan yang telah dijanjikan oleh Ash Shoodiq (yang benar perkataannya)
shallallahu’alaihi wasallam yaitu Islam akan kembali seperti awalnya dimana
lemahnya amar ma’ruf nahi munkar sehingga seseorang yang berdiri menjalankan al
haq dalam keadaan dilingkupi ketakutan dan dia telah menjual dirinya kepada
Allah dalam doanya, sehingga Allah lipat gandakan pahalanya lebih besar dari
pada keadaan para sahabat radhiyallahu ta’ala anhum yang mereka adalah orang
orang yang mutamakin (tetap dan kuat) dalam beramar maruf nahi mungkar, dan
pada waktu itu banyak sekali orang yang memberikan pertolongan kepada orang
yang beramar ma’ruf nahi mungkar serta banyak sekali orang yang menyeru kepada
Allah Ta’ala (yakni pada zaman shahabat ).
Dan ini sesuai dengan apa yang disabdakan
oleh Rasulullah shallallahu’alihi wasallam yaitu ketika beliau mengkhabarkan
bahwa pahala mereka akan dilipatgandakan sama dengan 50 orang amalan yang
dilakukan oleh para sahabat radhiyallahuanhum, yang kemudian Nabi
‘alaihisshalatu wasallam mengatakan (artinya): “Karena sesungguhnya kalian
(para sahabat) Di atas kebaikan dan dalam keadaaan kalian mendapatkan banyak
pertolongan sedang mereka dan orang-orang
yang beramal di atas al haq (di akhir zaman) tidak mendapat pertolongan.”
Sehingga akhirnya sampailah pada zaman
terputusnya amal kebaikan (tidak ada lagi orang-orang yang menjalankan amal
kebaikan) karena lemahnya keyakinan & agama. Sebagaimana sabda Rasulullah
‘alaihisshalaatu wasallam yang artinya: “Tidak akan tegak hari kiamat sampai
tidak disebut (dikatakan) di bumi lafadz: ‘Allah Allah”. {HR.Muslim dari Anas
bin Malik radhiyallahu anhu}.
Hadits ini mempunyai makna tidak ada
seorang muwahid (orang yang mentauhidkan Allah) pun yang tinggal di bumi, yang
berdzikir mengucapkan lafadz ‘laa ilaaha illallah’ dan tidak seorang pun yang
beramar ma’ruf nahi mungkar mengucapkan: “Aku takut kepada Allah”.
Apabila demikian keadaannya, seseorang
yang berakal pada waktu itu menginginkan (berangan-angan) untuk mati
sebagaimana sabda Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam (artinya): “Tidak akan
tegak hari kiamat sehinggga seseorang berjalan dikubur saudaranya (seseorang)
kemudian berkata: ‘Sekiranya aku menempati tempatnya.’ (Muttafaqun’alaih, dari
hadist AbuHurairoh radliyallahu’anhu)
Siapakahالقابضون
على الجمر ?
Mereka adalah orang-orang yang
mendapatkan tarbiyah dan bukan hizbi (golongan yang berbangga dengan
kelompoknya).
Mereka adalah orang-orang yang teguh di
atas asas Al-Qur’an dan As Sunnah, berdiri menghiasi dirinya dengan dakwah
kepada keduanya dengan berlandaskan manhaj (jalan) kenabian, tidak tergoyahkan
dengan nama, alamat, dan bentuk. Karena sesungguhnya kedudukan ini adalah
bagian dari syi’ar-syi’ar ubudiyah (peribadatan) yang digariskan di atas
petunjuk Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam
dan para sahabatnya.
Berkata Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziah
ketika menyebutkan tanda orang-orang yang selalu menjalankan peribadatan (di
atas dalil) dalam kitabnya Madarijus Salikin juz III/174):
“Mereka tidak menyandarkan dirinya pada
suatu nama yang dengan nama tersebut mereka masyhur dikalangan manusia; tidak
membatasi dengan satu amal dari sekian banyak amal yang dengannya dikenal
manusia (hanya sebatas satu amalan) karena hal ini menyebabkan madharat dalam
peribadatan; tidak dibatasi dengan nama tertentu yang menyebabkan perbedaan dan
perpecahan; tidak terkait dengan formalitas, isyarat, kesempurnaan dan
peraturan yang ditetapkan. Bahkan sebaliknya, apabila ditanya:
Siapa syaikhnya?
Dia akan menjawab: “Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam”
Apa jalan yang ditempuh ?
Dia akan menjawab: “Al-ittiba’ (mengikuti
sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam)
Apa pakaiannya?
Dia kan menjawab: “Pakaiannya adalah
taqwa.”
Apa madzhabnya?
Dia akan menjawab: “Berhukum di atas
Assunnah”
Apa yang dituju dan dicari?
Dia akan menjawab: (يريدون
وجهه)
“Mereka menghendaki wajah Allah”.
(Q.S. Al An’aam : 52).
Dimana tempat jaganya?
Dia akan menjawab: Firman Allah yang
artinya :
“(Bertasbih) di masjid-masjid yang telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi
dan petang. (yaitu) laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
(pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan (dari) mendirikan sholat, dan
(dari) membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang.”
(Q.S. An Nuur : 36-37)
Pada siapa nasabnya disandarkan?
Dia akan menjawab: “Bapaknya adalah
Islam, tidak ada bapak selainnya.”
Apa makanan dan minumannya?
Dia akan menjawab: “Hidup di bawah pohon
sampai bertemu Robb-nya”
Dan sungguh dia telah ditanya oleh
sebagian imam mengenai “sunnah”.
Maka beliau (Ibnu Qayyim) menjawab:
“sesungguhnya ahlussunnah tidak menyandarkan kepada nama, kecuali nama sunnah.”
Sebaliknya, golongan hizbi adalah
golongan yang menetapkan dan terikat dengan peraturan resmi dari amalan
“kebajikan resmi” dan istilah-istilah yang dihiasi (distempel), sehingga
terlihat “kebajikan resmi” itu adalah satu-satunya amal yang sesuai dengan
sunnah. Tetapi pada hakekatnya mereka adalah golongan yang jauh dari bimbingan
sunnah Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam. Apabila disebutkan kepada mereka
perkara yang berkaitan dengan al wala’ fillah (pemberian loyalitas karena
Allah), permusuhan yang disebabkan atas pemberian al wala’ fillah, amar ma’ruf
nahi mungkar, mereka akan mengatakan dan menuduh bahwa yang demikian adalah
perkara yang berlebihan dan akan mengakibatkan kerusakan dan madhorot.
Apabila mereka melihat diantara sesamanya
(anggotanya) terdapat orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) hal-hal
tersebut, mereka akan mengeluarkannya dan
mencari pengganti yang sesuai dengan
peraturan mereka.
Saya tidak mengetahui kapan mereka
memahami bahwa sesungguhnya lingkaran Islam itu paling luas, persaudaraan di
atas dasar keimanan itu yang paling penting, dan jalan yang ditempuh oleh
generasi salaf itu yang paling alim, paling hakim, dan paling selamat.
Sesungguhnya seluruh golongan hizbi dalam keadaan berbangga dengan kelompok dan
golongannya masing-masing. Sungguh mereka telah menyandarkan qudwah-nya (suri
tauladan) kepada selain Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, menyeru ke
jalan selain jalan beliau , memberikan al wala’ wal bara’ karena sebab selain
beliau shallallahu’alaihi wasallam . Mereka telah menulis perkataan yang tidak
bersumber dari alqur’an dan assunnah dan menyandarkan diri kepadanya.
Apabila dibuka hijab yang menutupi mereka
(golongan orang-orang hizbi) akan ditemukan bahwa mereka adalah golongan yang
mentaati kebakhilan, mengikuti hawa nafsu, dan mengagungkan dunia atau
kemewahan (mereka menyatakan dirinya di atas agama Islam dengan dasar hawa
nafsunya masing-masing. Dan Islam bertentangan dengan apa yang mereka sandarkan
padanya), mereka merasa takjub dengan akal pemikirannya masing-masing.
Oleh sebab itulah Islam yang hakiki
sangat asing dan orang-orang yang mengamalkannya sangat asing sekali keadaannya
diantara manusia.
Bagaimana tidak mungkin mereka sebagai
orang-orang yang sangat asing keberadaannya diantara manusia ?! Mereka adalah
satu kelompok yang sangat sedikit pengikutnya diantara 72 golongan (sebagaimana
yang telah dikhabarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam) yang
masing-masing mempunyai pengikut, pemimpin, bendera, dan wilayah yang mereka
tidak berdiri dan berjalan kecuali menyimpang dari jalan yang telah
dibimbingkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ?!
Apabila satu kelompok tersebut mengamalkan
salah satu hukum Islam yang hakiki, yang telah dibimbingkan oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang paling
bertentangan dengan hawa nafsu, kenikmatan, syubhat, dan syahwat dari 72
golongan tersebut. Karena syubhat dan syahwat merupakan cita-cita akhir dari
kehendak dan maksud mereka (72 golongan).
Satu kelompok tersebut adalah sebagai
orang-orang yang paling asing diantara orang-orang yang menjadikan kebakhilan
sebagai perkara yang dita’ati, hawa nafsu sebagai perkara yang diikuti; dan
dunia (kemewahan) sebagai perkara yang diagungkan.
Pahala yang sangat besar ini [sebagaimana
disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam di atas (lihat
edisi 11) diberikan kepada mereka karena keberadaannya yang sangat asing
diantara manusia, dan berpegang teguhnya kepada sunnah Rasulullah
shallallahu’alihi wasallam diantara kegelapan hawa nafsu dan pemikiran manusia.
Apabila seorang mukmin yang telah
diberikan rizki pemahaman dalam agamanya, kefakihan dalam sunnah Rasul-Nya,
pemahaman dalam kitab-Nya, hendak berjalan dan mengamalkan bimbingan Allah dan
Rasul-Nya, dalam keadaan dia melihat manusia dihiasi dengan hawa jalan nafsu,
bid’ah, kesesatan, dan penyimpangan dari shirothol mustaqim yang telah ditempuh
oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, maka orang mukmin tersebut telah
mempersiapkan dirinya menjadi tempat celaan, fitnah, caci makian, dan hinaan
dari orang-orang yang jahil dan ahlul bida’. Demikan juga penggembosan dan
peringatan kepada manusia untuk menjauhinya. Sebagaimana keadaan salaf
(pendahulu) mereka, yaitu Rasulullah shallallahu’alihi wasallam sebagai imamnya
orang-orang yang beriman dan pengikut-pengikutnya dari perlakukan orang-orang
kafir pada waktu itu.
Apabila orang-orang yang jahil dan ahlul
bida’ diseru untuk kembali ke shirothol mustaqim, dengan segala penghinaan yang
ada pada mereka, mereka tetap berbangga di atas kesesatannya.
Maka seseorang yang tetap di atas Islam
yang hakiki (satu kelompok yang telah di khabarkan oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam), dia berada dalam keadaan:
-Asing dalam agamanya, karena kerusakan
agama kaum muslimin.
-Asing di dalam berpegang teguh di atas
sunnah, karena berpegang teguhnya kaum muslimin dengan bid’ah-bid’ah.
-Asing dalam akidahnya (keyakinannya),
karena rusaknya akidah kaum muslimin.
-Asing dalam sholatnya, karena buruk dan
rusaknya sholat kaum muslimin.
-Asing dalam manhajnya (jalannya), karena
kesesatan dan kerusakan jalan yang ditempuh oleh kaum muslimin.
-Asing dalam penyandarannya, karena
bertentangan dengan penyandaran kaum muslimin.
-Asing dalam muamalahnya (hubungannya)
dengan kaum muslimin, karena kaum muslimin bermuamalah di atas hawa nafsu
mereka.
Kesimpulannya : Dia sebagai seorang yang
asing dalam seluruh perkara dunia dan akhiratnya, dia tidak menemukan keumuman
kaum muslimin yang membantu dan memberikan pertolongan kepadanya. Dia menjadi
orang yang:
– ‘Alim diantara orang-orang yang jahil,
– Pembawa sunnah diantara orang-orang
ahlul bida’,
– Da’i yang menyeru kepada Allah dan
Rasul-Nya diantara da’i-da’i yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah-bid’ah,
– Memerintahkan kepada perkara yang
ma’ruf (baik) dan melarang dari perbuatan mungkar diantara kaum muslimin yang
menganggap perkara yang ma’ruf adalah mungkar dan perkara yang mungkar adalah
ma’ruf.
(Madarijus Salikin: Ibnu Qoyyim Al
Jauziyah; Juz III/198-200)
Mereka adalah kelompok pembeda antara al
haq dan al bathil yang berada di atas dasar alqur’an dan assunnah baik dari
sisi akidah, manhaj, maupun amal.
Kejelasan seorang mu’min, baik da’i
maupun mad’u (kaum muslimin yang diseru) berada di atas dasar al haq merupakan
perkara yang dhoruri (mendasar), karena kebathilan banyak dihiasi dan
ditampilkan dalam bentuk atau pakaian iman. Khususnya golongan orang-orang
hizbi dan pribadi-pribadi yang dahulunya mengetahui dan memahami tentang iman
kemudian menyimpang dan menyelisihinya. Karena mereka berkeyakinan bahwa
setelah penyimpangannya tersebut, pemikirannya tetap di atas petunjuk
(kebenaran). Apabila seorang da’i demikian keadaannya, maka dia akan
menimbulkan kerusakan terhadap Islam yang hakiki.
Seorang muslim yang tetap dan kokoh dalam
menjalani agamanya akan senantiasa adil dalam muamalahnya. Tidak bersifat lemah
lembut kepada pendusta-pendusta dari golongan Yahudi, Nashara, dan yang
lainnya, menempatkan lemah lembut dan kebalikannya sesuai dengan bimbingan
Allah dan Rasul-Nya; paling baik muamalahnya kepada keluarga, isteri dan
anak-anaknya; paling tinggi pemeliharaannya kepada sesuatu yang mudah, sulit,
dan perkara yang berkaitan dengan kabar gembira. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman
(yang artinya):
“Maka janganlah kalian mentaati
orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya
kalian bersikap lunak (lemah lembut) lalu mereka bersikap lunak (pula kepada
kalian)”. (Q.S. Al Qolam : 8-9)
“Dan orang-orang yang mengikuti
syahawatnya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari
kebenaran)”.(Q.S. An Nisaa’ : 27)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak
akan ridho kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka”. (Q.S. Al Baqoroh :
120)
Perhatikanlah sikap yang haq dalam
melepaskan diri dari kesyirikan, dan orang-orang yang menjalankannya di dalam
alqur’an (yang artinya):
”Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku
tidak akan beribadah kepada apa yang kalian ibadahi, dan kalian bukan penyembah
Robb yang aku ibadahi, dan aku tidak pernah beribadah kepada apa yang kalian
ibadahi, dan kalian tidak pernah pula menjadi penyembah Robb yang aku ibadahi.
Untuk kalianlah agama kalian dan untukkulah agamaku”. (Q.S. Al Kaafirun : 1-6)
Dan perhatikanlah permisalan yang
dicontohkan dengan sangat jelas oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
kepada para sahabatnya radhiallahu ta’ala anhum: {“Kami duduk disisi Rasulullah
‘alaihisshalaatu wasallam, maka beliau membuat satu garis lurus di depannya
demikian, dan berkata: ‘Ini adalan jalan Allah Azza wa Jalla’. Kemudian beliau
membuat garis-garis di sebelah kanan dan kiri garis lurus tersebut, dan
berkata: ‘Ini adalah jalan-jalan syaithon’. Kemudian beliau meletakkan tangannya
pada garis lurus yang ada di tengah-tengah dan beliau membaca ayat yang mulia
ini (yang artinya):
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian ikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian
bertaqwa”.(QS. Al An’am: 153)}.
{Hadits Shahih dari jalan sahabat Jabir
bin abdillah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu Ta’ala
anhum.Lihat takhrijnya dalam Kitab Kami : Al Junnah fi Takhrijis Sunnah , Hal
5-8).
(Diterjemahkan Oleh Al Ustadz Abu ‘Isa
Nurwahid Dari Kitab Al Qabidhuna ‘ala Al Jamri)
Referensi : Buletin Dakwah Al Atsary,
Semarang Edisi 11 dan 12/ Th.I
Dikirim via Email Oleh Al Akh Dadik