Wednesday, January 17, 2018

Persatuan, Dengan Syarat Tak Mengusik (Mengkritik) 'Aqidah Dan Amalan Mereka ? Tidak Akan Terwujud Diatas Perbedaan Manhaj Dan Akidah (Manhaj Bunglon, Mutalawwin)


Mendahulukan Akidah Sebelum Ukhuwah
Perselisihan Adalah Rahmat? Yang Benar Saja!
Solusi Di Tengah Kondisi Keterpurukan Dan Perpecahan Ummat Islam.
Tantangan Aktual Ahlusunnah Wal Jama’ah
Tong Sampah
Ahlus Sunnah Untuk Keutuhan NKRI
Al Aqidah Al Washithiyah: Penjelasan Aqidah Islam
Nasehat Menggugah Hadratus Syaikh Kh. Hasyim Asy’ari Untuk Menjaga Persatuan


oleh Abu Al-Jauzaa
Seandainya kita mengaji dan mendakwahkan tauhid yang 3 (Rubuubiyyah, Uluuhiyyah, dan Asmaa wa Shifaat), mengatakan sebagian amalan tawassul dan istighatsah termasuk bid'ah bahkan syirik, ritual tahlilan dan perayaan maulid bid'ah, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah adalah salah satu ulama besar Islam; apakah itu akan membuat umumnya orang-orang Asw*j* tenang dan suka cita ? Tidak, bahkan mereka terusik serta akan senantiasa menggembosi dan memprovokasi sebagaimana terekam dalam sejarah bapak dan kakek-kakek kita.

Seandainya kita mengatakan cara-cara politik praktis, demokrasi dan demonstrasi, serta taktik oportunistik ala Al-Ikhwaanul-Muslimuun tidak disyari'atkan dalam Islam, terlarang, dan perlu ditahdzir; apakah ini akan membuat mereka lapang dada dalam menerima kita ?. Belum lagi jika kita katakan 'aqiidah tafwiidl-nya Hasan Al-Bannaa dan fikrah takfiriy nya Sayyid Quthb merupakan bentuk penyimpangan dari manhaj Ahlus-Sunnah..... tentu akan membuat mereka meradang.
Apakah Anda mengira sebagian habaaib (include : para penganut thariqah) bersama pengikut dan simpatisan fanatiknya itu akan gembira ria dengan dakwah tauhid yang telah berabad-abad ingin mereka musnahkan dengan stigma dakwah Wahabi (sesat) ?
Apakah Anda mengira orang Hizbut-Tahriir, Jama'ah Tabligh, LDII, dan yang lainnya menjadi tambah sehat, gemuk-gemuk, sejahtera, dan sentausa jika dakwah tauhid atau dahwah salafiyyah menjadi bergema di semua penjuru tempat disertai penjelasan penyelisihan mereka terhadap manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah ?
Sebaliknya, kita pun tak akan tenang bergaul akrab dengan penggemar klenik berdalih karamah, pelaku bid'ah, takfiri, atau oportunis politik yang gemar menggunakan label dakwah untuk kepentingan dunia. Atau, (pasti) tidak akan tenang pula membiarkan anak, istri, dan keluarga kita banyak memperoleh siraman rohani pencerahan dari mereka.....
Mereka akan 'menerima' kita dengan syarat tak mengusik/mengkritik 'aqidah dan amalan mereka atau - sukur-sukur - kita menerima apa yang menjadi bagian dari agama mereka. Dan itu tak mungkin,…. karena ketika kita bicara tauhid, pasti akan menyinggung syirik dan segala macam bentuk amalannya. Ketika kita bicara sunnah, tentu kita ikuti dengan kebalikannya, bid'ah. Ketika bicara manhaj Ahlus-Sunnah, secara langsung atau tidak langsung akan bicara manhaj lain yang menjadi musuhnya. Sejarah permusuhan antara tauhid dan syirik, bid’ah dan sunnah sudah sangat tua. Lebih tua dibandingkan Prasasti Ciaruteun di Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Jika kita ingin diterima semua golongan tanpa gesekan, PASTI ada yang dikorbankan. Sedikit atau banyak. Silakan lihat kenyataan yang dapat diindera dengan mata dan telinga kita, bagaimana keadaan para penyeru 'pluralitas' itu ..... Mulut mereka terpenjara. Mau bilang syirik dan bid'ah; dari semula bebas, jelas, dan lantang dikatakan di setiap pengajian; menjadi lirih, bisik-bisik, dan akhirnya blackout alias mati lampu. Sunyi dan sepi. Sesekali terdengar suara jangkrik. Lidah yang semula sangat berat mengatakan yang bid'ah bukan bid'ah; sekali, dua kali, dan tiga kali, menjadi terbiasa. Bahasa diplomatis keluar : perkara khilafiyyah. Akhirnya malah berani mengatakan : Tak mengapa, atau bahkan Sunnah.
Hati orang yang seaqidah dan semanhaj akan nyaman berkumpul dengan yang sejenisnya. Nabi bersabda:
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh itu bagaikan tentara yang berkelompok-kelompok. Jika saling mengenal (mempunyai kesesuaian) di antara mereka, maka akan bersatu. Namun jika saling mengingkari (tidak ada kesesuaian), maka akan berselisih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3336, Muslim no. 2638, Abu Daawud no. 4834, dan yang lainnya].
Ini adalah realitas, sunnah kauniyyah. Bukan kampanye pendikotomian antar kelompok, tapi memang wujud riil dikotomi itu sendiri. Bukankah Allah ta'ala berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ * إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu" [QS. Huud : 118-119].
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” [QS. An-Nahl : 93].
???
Dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ، أَنَّهُ قَامَ فِينَا، فَقَالَ: أَلَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَامَ فِينَا، فَقَالَ: " أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Dari Abu ‘Aamir Al-Hauzaniy, dari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan bahwasannya ia (Mu’aawiyyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata : “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda : ‘Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. (Adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu Al-Jama’ah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4597].
Tujuhpuluh dua golongan tersebut adalah sekte-sekte yang menyimpang dari Ahlus-Sunnah dari kalangan ahlul-bid’ah. Sekte-sekte tersebut ada yang masih tetap dalam keislamannya, ada yang telah keluar dari wilayah Islam (kafir).
Ketika menafsirkan ayat ‘akan tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’ (QS. Huud : 118-119), beberapa ulama menjelaskan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ، قَالَ: أَهْلُ الْبَاطِلِ، إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: أَهْلُ الْحَقِّ
Dari Ibnu ‘Abbaas tentang ayat ‘akan tetapi mereka senantiasa berselisih’, ia berkata : “Yaitu Ahlul-Baathil”; dan ayat ‘kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : “Ahlul-Haq”.
عَنْ عِكْرِمَةَ، فِي قَوْلِهِ: "وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: لا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ فِي الْهَوَى
Dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : “Mereka senantiasa berselisih dalam hawa nafsu”.
عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلَهُ: "وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، فَأَهْلُ رَحْمَةِ اللَّهِ أَهْلُ جَمَاعَةٍ، وَإِنْ تَفَرَّقَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ، وَأَهْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ أَهْلُ فُرْقَةٍ، وَإِنْ اجْتَمَعَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ
Dari Qataadah tentang firman-Nya ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata : ‘Orang yang diberikan rahmat Allah adalah Ahlul-Jamaa’ah, meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka (secara fisik) terpisah. Sedangkan orang yang bermaksiat kepada Allah adalah Ahlul-Furqah (orang-orang yang berpecah-belah), meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka (secara fisik) berkumpul”.
[Tafsiir Ath-Thabariy, 15/533].
Menilik ayat, hadits, dan atsar di atas dapat diambil beberapa faedah:
1.    Merupakan sunnah kauniyyah umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dimana hanya ada satu yang masuk surga, yaitu Al-Jama’ah.
2.    Al-Jama’ah atau disebut Ahlur-Rahmah adalah orang-orang yang tidak berselisih dan terpecah. Mereka adalah orang yang menetapi kebenaran meskipun terpisah badan dan tempat tinggalnya.
3.    Tidak disebut Al-Jama’ah dengan berkumpulnya fisik selama mereka berada di atas kemaksiatan, hawa nafsu, dan kebid’ahan.
Ketika ada perintah Allah untuk mengikat persatuan di antara kaum muslimin, maksudnya adalah persatuan di atas asas kebenaran (al-haq). Seandainya orang yang beridentitas Islam dan mengaku muslim dengan segala ragam ‘aqidah dan manhaj semuanya disatukan – atau bahkan dipaksa satu – tetap saja tidak dinamakan al-jama’ah, karena al-jama’ah itu satu, yaitu orang-orang yang mengikatkan diri pada manhaj Nabi dan para shahabatnya, sebagaimana tafsiran Al-Jama’ah itu sendiri dalam riwayat yang lain:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Apa yang aku dan para shahabatku ada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/218-219].
Kenyataannya memang tidak bisa (disatukan), sebagaimana realitas disebutkan di awal. Kecuali akan timbul sekte baru yang ‘pluralis’, enjoy diam satu dengan yang lainnya (sukutiyyun).
Eksistensi al-jama’ah atau al-firqatun-naajiyyah dengan sekte-sekte sesat dari kalangan pengikut kebid’ahan dan hawa nafsu saling meniadakan dan saling bermusuhan. Dan memang tidak akan dapat disatukan antara yang haq dan yang bathil. Al-haq akan senantiasa bermusuhan dengan al-baathil. Allah ta’ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap” [QS. Al-Anbiyaa’ : 18].
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” [QS. Al-Israa’ : 81].
Allah ta’ala melarang untuk mencampurk-adukkan yang haq dan yang bathil.
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 42].
Ketika kita mengajak berjama’ah (baca : persatuan), maka jalan yang kita tempuh adalah berdakwah mengajak orang beragama sesuai dengan pemahaman salaf. Sesuai patron Nabi yang murni. Inilah jama’ah yang hakiki atau persatuan yang hakiki.
Abu 'Abdillah Al-Marwaziy rahimahullah pernah memberikan nasihat :
قَبَضَ اللَّهُ رَسُولَهُ إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ أَكْمَلَ لِلْمُسْلِمِينَ دِينَهُمْ ، فَقَالَ : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا سورة المائدة آية 3 ، نَزَلَتْ وَرَسُولُ اللَّهِ وَاقِفٌ بِعَرَفَاتٍ ، فَلَمْ يَنْزِلْ بَعْدَهَا حَلالٌ وَلا حَرَامٌ ، وَرَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ فَمَاتَ
وَأَمَرَهُمُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِالاجْتِمَاعِ عَلَى مَا جَاءَهُمْ عَنْهُ ، وَنَهَاهُمْ عَنِ التَّفَرُّقِ مِنْ بَعْدِ أَنْ جَاءَهُمُ الْبَيَانُ ، فَقَالَ : وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا سورة آل عمران آية 103 ، وَقَالَ سُبْحَانَهُ : وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ سورة آل عمران آية 105 ،
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " لا تَقَاطَعُوا وَلا تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا " ، وَقَالَ : " لا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ " ، وَقَالَ : مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
"Allah ta'ala mewafatkan Rasul-Nya setelah menyempurnakan bagi kaum muslimin agama mereka. Allah berfirman : 'Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu' (QS. Al-Maaidah : 3). Ayat itu turun dimana waktu itu Rasulullah sedang berdiri di 'Arafah. Tidak turun perkara halal dan haram setelahnya (ayat tersebut). Lalu Rasulullah kembali dan kemudian wafat.
Dan Allah tabaraka wa ta'ala memerintahkan mereka untuk BERSATU di atas agama yang turun kepada mereka (yang telah sempurna), dan melarang PERPECAHAN setelah datang penjelasan kepada mereka. Allah ta'ala berfirman : 'Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara' (QS. Aali 'Imraan : 103). Dan Allah juga berfirman : 'Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka' (QS. Aali 'Imraan : 105).
Rasulullah bersabda : ‘Janganlah kalian saling memutuskan hubungan dan jangan pula saling memalingkan muka. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara’. Beliau bersabda : ‘Jangan kalian berselisih sehingga hati-hati kalian berselisih’. Beliau juga bersabda : ‘Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, hendaklah ia menetapi jama’ah”  [As-Sunnah, hal. 43-44 no. 6].[1]
Selain itu, jama’ah juga dapat berarti : ‘berkumpul di atas pemimpin (ulil-amri) yang satu’. Nabi bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَالنُّصْحُ لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ، وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ
“Ada tiga perkara yang membuat hati seorang muslim tidak merasa dengki terhadapnya : ikhlash beramal karena Allah, menasehati para pemimpin kaum muslimin, dan menetapi jama’ah mereka” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2658].
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan:
وقوله ولزوم جماعتهم هذا ايضا مما يطهر القلب من الغل والغش فإن صاحبه للزومه جماعة المسلمين يحب لهم ما يحب لنفسه ويكره لهم ما يكره لها ويسوؤه ما يسؤوهم ويسره ما يسرهم وهذا بخلاف من انجاز عنهم واشتغل بالطعن عليهم والعيب والذم لهم كفعل الرافضة والخوارج والمعتزلة وغيرهم فإن قلوبهم ممتلئة نحلا وغشا ولهذا تجد الرافضة ابعد الناس من الاخلاص اغشهم للائمة والامة واشدهم بعدا عن جماعة المسلمين
Dan sabda beliau : ‘dan menetapi jama’ah mereka’; ini juga termasuk satu hal yang bisa membersihkan hati dari sifat iri dan dengki. Karena pelakunya, dengan menetapi jama’ah kaum muslimin, berarti dia mencintai mereka sebagaimana cintanya kepada diri sendiri. Dan akan menyakitkannya apa yang membuat mereka sakit. Akan membuatnya mudah (lapang) apa yang memudahkan mereka. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan orang yang menentang (membelot) dari imam dan menyibukkan diri dengan celaan-celaan kepada mereka, serta (membeberkan) aib dan menghinakan mereka, seperti tindakan Raafidlah, Khawaarij, Mu’tazillah, dan yang sejenis dengan mereka; karena hati mereka telah dipenuhi dengan rasa dengki. Oleh karena itu kamu akan dapati bahwa Rafidlah adalah sejauh-jauh manusia dari rasa ikhlash dan sedengki-dengki manusia terhadap para penguasa dan rakyat jelata, serta sejauh-jauh manusia dari jama’ah kaum muslimin….” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, 1/72-73].
Dalam konteks pemahaman ini, terhadap orang yang tidak atau belum sepenuhnya menetapi manhaj salaf, kita dapat bersatu di bawah pemimpin kaum muslimin (ulil-amri) untuk mewujudkan kemaslahatan umum yang diakui syari’at Islam. Yaitu, tetap mendengar dan taat kepada mereka (pemimpin/ulil-amri) dalam perkara yang ma’ruf. Nabi bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai dan yang ia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat (pada perintah maksiat tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7144].
Implementasinya banyak dalam kehidupan sehari-hari. Bersama-sama ikut menjaga stabilitas, keamanan, dan kenyamanan umum/masyarakat……
Tapi apa lacur, sebagian mereka pun enggan dalam prinsip ini dengan berbagai alasan. Pemimpin jadi objek yang menyatukan mereka dalam celaan. Common enemy (selain salafi/wahabi tentu saja he he he). Yang mengajak persatuan – yaitu mendengar dan taat kepada ulil amri dalam perkara yang ma’ruf – mereka cibir sebagai penjilat.
Jadi kalau ada orang yang mengajak persatuan, kita tanyakan : “Persatuan dalam hal apa dan atas dasar apa ? Persatuan untuk kemudian berpecah? Persatuan agitasi ? Persatuan dalam demonstrasi ? Persatuan saling memaklumi kerusakan masing-masing ?”.
Mari kita serukan persatuan dengan menempuh jalannya. Bukan hanya dendangan slogan dan yel-yel fatamorgana.
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِي عَلىَ الْيَبَسِ
"Engkau mengharapkan keselamatan, namun tidak menempuh jalan-jalannya,....
Sesungguhnya perahu tidaklah berlayar di atas daratan".
Mari kita upayakan sesuatu yang hakiki, yang langgeng. Optimis, karena ini adalah tugas kita bersama, bukan tugas sekelompok orang.
Terakhir, seorang muslim diberikan walaa’ dan baraa’ sesuai kadar ketaatan dan kemaksiatan mereka. Mereka kita cintai karena ketaatan mereka kepada Allah, dan kita benci karena kemaksiatan mereka kepada Allah. Cinta dan benci karena Allah. Kita tunaikan hak-hak mereka dan tidak boleh mendhalimi mereka, siapapun mereka. Kita bermudarah dan tidak bermudahanah.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – rnn – 17012018].
[1]    Faedah dari penjelasan beliau rahimahullah:
1.Agama telah sempurna.
2.Perintah untuk bersatu di atas agama/syari'at yang telah sempurna tersebut.
3.Persatuan yang disyari'atkan didasarkan oleh syari'at Allah, bukan didasarkan atas aneka macam maksiat dan kebid'ahan.
4.Larangan perpecahan setelah datangnya penjelasan tentang syari'at yang sempurna kepada kita.
5.Barangsiapa yang menginginkan keselamatan, wajib baginya menetapi jama’ah.


Diposting oleh Abu Al-Jauzaa'
Nabi bersabda:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak untuk diibadai melainkan Allah dan bersaksi bahwasannya aku adalah utusan Allah; kecuali dengan dengan satu diantara tiga perkara : (1) orang yang pernah menikah lalu berzina; (2) jiwa dibalas dengan jiwa, dan (3) orang yang meninggalkan agamanya (murtad), yang memisahkan diri dari jama’ah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1676].

An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan salah satu makna al-mufaariqu lil-jamaa'ah dari para ulama:
كل خارج عن الجماعة ببدعة أو بغي أو غيرهما وكذا الخوارج
"Setiap orang yang keluar dari jama'ah dengan kebid'ahan, pemberontakan, atau yang lainnya. Begitu juga dengan Khawaarij" [Syarh Shahiih Muslim, 11/165].
Artinya, perbuatan bid'ah dan berbagai bentuk pemberontakan yang keluar dari makna mendengar dan taat kepada pemimpin muslim yang sah; maka itu paradoks dengan makna persatuan, dan persatuan itu identik dengan jama'ah.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
ومن لم يندفع فساده في الأرض إلا بالقتل قُتل، مثل المفرق لجماعة المسلمين، والداعي إلى البدع في الدين. قال تعالى: {من أجل ذلك كتبنا على بني إسرائيل أنه من قتل نفساً بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعاً} [المائدة: 32]، وفي الصحيح عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: ((إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما)).
وقال: ((من جاءكم وأمركم على رجل واحد يريد أن يفرق جماعتكم فاضربوا عنقه كائناً من كان))
"Barangsiapa yang kerusakannya di muka bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan pembunuhan, maka ia (boleh) dibunuh. Misalnya orang yang memisahkan diri dari jama'ah kaum muslimin dan penyeru kebid'ahan dalam agama. Allah ta'ala berfirman : 'Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya' (QS. Al-Maaidah : 32). Dalam kitab Ash-Shahiih dari Nabi , beliau bersabda : 'Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling akhir baiatnya di antara mereka'. Beliau juga bersabda : 'Barangsiapa yang mendatangi kalian sedangkan perkara kalian berkumpul pada diri satu orang (pemimpin/ulil-amri) yang dirinya itu hendak memecah belah jama'ah kalian, maka bunuhlah siapapun ia" [Majmuu' Al-Fataawaa, 28/108-109].
Bid'ah serta paham memberontak, enggan untuk mendengar dan taat (terhadap ulil-amri); bertentangan dengan makna persatuan.
Apakah kita bermimpi akan terjalin persatuan dengan orang/kelompok yang keberadaan/eksistensinya justru menjadi sebab perpecahan umat ?
Benar, dulu Nabi pernah mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi dengan melahirkan beberapa butir kesepakatan untuk kemaslahatan yang kaum muslimin - yang saat itu masih belum kuat. Sebagian ulama menjelaskan bahwa kesepakatan dalam perjanjian (Piagam Madinah) itu dalam konteks ayat:
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Meski demikian, bara'ah dan kebencian kaum muslimin terhadap orang kafir dan kekafirannya tetap ada dan wajib sebagaimana difirmankan Allah ta'ala dalam ayat:
لاّ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ يُوَآدّونَ مَنْ حَآدّ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوَاْ آبَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara atau keluarga mereka” [QS. Al-Mujaadalah : 22].
Dalam realitas kehidupan sehari-hari pun, insya Allah terpraktekkan, seperti misal kerjasama kaum muslimin dengan orang kafir dalam menjaga stabilitas dan keamanan lingkungan (desa, RT, RW), saling menghormati hak dan tidak saling mengganggu, dan yang semisalnya. Tolong-menolong dalam mengatasi krisis dan bencana. Banyak ikhwah yang telah berpartisipasi.
Sama halnya dengan kerjasama kaum muslimin pada umumnya seperti NU, Muhammadiyyah, Persis, PKS, HTI, dan yang lainnya. Insya Allah kita hidup rukun dan saling menghormati (kecuali gerombolan yang sering main persekusi ngalahin kerja pak polisi). Berkumpul melakukan kerjabakti bersama, menjadi anggota DKM masjid komplek, menjadi panitia kurban di lingkungan sekitar, dan hal lainnya. Hubungan muamalah yang baik di kantor, di pasar, di jalan, dan yang lainnya. Atau bersama-sama menangkal permurtadan (Kristenisasi).
Sayang memang, ada yang menginginkan lebih. Persatuan dalam 'aqidah, manhaj, dan pemikiran. Memang tak vulgar dikatakan, tapi cukup dapat dirasakan. Mencampurkan yang haq dan yang bathil. Yang bathil disamarkan dengan nama 'khilaf ulama'. Bahkan yang syirik pun dianjurkan agar kita meninjau ulangnya seperti shalawat nariyyah. Mungkin nanti menyusul qasidah burdah, dan yang lainnya. Yang bid'ah menjadi bukan bid'ah. Semua akhirnya berbungkus khilaf ulama. Semua kelompok dianggap benar berlabel al-firqatun-naajiyyah. Apakah ini ilusi ? Tidak, lha wong saya lihat dan dengar sendiri kok rekamannya. Bahkan muncul kemudian dagelan istilah 'pengkapling surga'...😀😎. Haloo..... how are you ? Have you been to see the doctor yet??
Allah ta'ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [QS. Aali 'Imraan : 103].
Ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan ayat tersebut:
وتمسَّكوا بدين الله الذي أمركم به، وعهده الذي عَهده إليكم في كتابه إليكم، من الألفة والاجتماع على كلمة الحق، والتسليم لأمر الله
“Dan berpegah teguhlah kepada agama Allah yang telah Allah perintahkan kepada kalian dengannya, perjanjian-Nya yang telah Allah mandatkan kepada kalian dalam Kitab-Nya untuk menjalin persahabatan dan persatuan DI ATAS KALIMAT AL-HAQ, serta tunduk terhadap perintah Allah” [Tafsiir Ath-Thabariy, 7/70].
Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhu berkata:
إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ، تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ: يَا عِبَادَ اللَّهِ، هَذَا الطَّرِيقُ، فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ، فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ
“Sesungguhnya jalan ini dihadiri para setan yang menyeru: 'Wahai hamba-hamba Allah, inilah jalanmu.' Oleh karena itu berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah, sesungguhnya tali Allah itu adalah Al-Qur'an” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3317].
Perkataan Ibnu Mas’uud ini serupa dengan yang ada dalam riwayat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: " خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: " هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ "، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: " هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ "، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : Rasulullah membuatkan kami satu garis kemudian beliau bersabda : “Ini adalah jalan Allah” Kemudian beliau menggaris beberapa garis dari sebelah kanan dan sebelah kirinya, lalu beliau bersabda : “Ini adalah jalan-jalan, yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat “dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am (6) : 153) [Diriwayatkan oleh Ahmad, Ad-Daarimiy, dll.].
Penjelasan riwayat Ibnu Mas’uud ini memberikan faedah bagi kita bahwa:
1.    Berpegang pada tali Allah maksudnya adalah berpegang teguh pada Kitabullah.
2.    Berpegang pada tali Allah adalah dengan menetapi jalan yang lurus (ash-shiraathul-mustaqiim). Ibnu Mas’uud berkata:
الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ
“Maksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditinggalkan Rasulullah kepada kami” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, shahih].
Selaras dengan sabda Nabi :
تفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة، كلهم في النار إلا ملة واحدة». قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: ما أنا عليه وأصحابي
“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golonan. Semuanya masuk neraka kecuali satu”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya”.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وهذا الأصل العظيم وهو الإعتصام بحبل الله جميعا وأن لا يتفرق هو من أعظم أصول الإسلام ومما عظمت وصية الله تعالى به فى كتابه
ومما عظم ذمه لمن تركه من أهل الكتاب وغيرهم ومما عظمت به وصية النبى فى مواطن عامة وخاصة مثل قوله عليكم بالجماعة فإن يد الله على الجماعة
“Ini adalah pokok yang agung, yaitu berpegang teguh semuanya kepada tali Allah dan agar tidak berpecah-belah. Perkara ini termasuk pokok Islam yang paling agung dan termasuk wasiat Allah yang besar yang Allah wasiatkan dalam Kitab-Nya; celaan Allah yang sangat keras terhadap orang yang meninggalkannya (berpegang teguh terhadap tali Allah) dari kalangan Ahli Kitab dan yang laiunnya; serta termasuk wasiat Nabi yang paling agung dalam beberapa tempat secara umum maupun khusus, misalnya sabda beliau : ‘Wajib atas kalian berpegang pada Jama’ah, karena tangan Allah di atas Jama’ah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 22/359].
Intinya, perintah untuk bersatu adalah bersatu dalam berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful-ummah. Ini adalah diantara pokok Islam yang paling agung.
Terakhir, ….. kaum muslimin pada prinsipnya adalah bersaudara, namun mereka diberikan walaa’ dan baraa’ sesuai kadarnya. Diberikan walaa’ berdasarkan kadar ketaatannya dan kesesuaiannya terhadap sunnah; serta diberikan baraa’ berdasarkan jenis dan kadar kemaksiatan dan penyimpangannya dari pokok-pokok Ahlus-Sunnah.
Jika kita ingin persatuan, maka tempuhlah jalannya dengan menetapi ketauhidan serta berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful-ummah. Jangan sekedar berdendang tentang persatuan namun melupakan jalannya……
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa – dps – 02122017].

Syaikh Shalih bin Fauzan: “Tidak Akan Terwujud Persatuan Diatas Perbedaan Manhaj dan Akidah”

Apakah Mungkin Persatuan Itu (Akan Terwujud) Bersamaan Dengan Berbeda-Bedanya Manhaj Dan Aqidah?
Oleh

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Pertanyaan

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Apakah mungkin persatuan itu (akan terwujud) bersamaan dengan berbeda-bedanya Manhaj dan Akidah ?

Jawaban.

Persatuan tidak akan terwujud bersamaan dengan (adanya berbagai kelompok) yang memiliki bermacam-macam manhaj dan akidah, sebaik-baik bukti akan hal itu adalah: Keadaan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam, di mana mereka saat itu berpecah-belah dan saling bertengkar, maka setelah mereka masuk Islam dan berada di bawah bendera tauhid, akidah dan manhajnya menjadi, maka bersatulah mereka, dan berdiri tegaklah daulahnya.

Sungguh Allah Ta’ala mengingatkan tentang hal itu dengan firman-Nya.
“Artinya : Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.”[Ali Imran:103]
Dan Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Artinya : Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah akan mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Al-Anfal: 63]
Allah Ta’ala selama-lamanya tidak akan menyatukan antara hati orang-orang kafir, murtad dan firqah-firqah (kelompok-kelompok) sesat [1], Allah hanya menyatukan hati orang-orang mukmin yang bertauhid. Allah Ta’ala berfirman mengenai orang-orang kafir dan munafik yang menyelisihi manhaj Islam dan akidahnya.
“Artinya : Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-pelah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak mengerti.” [Al-Hasyr : 14]
Dan firman-Nya.
“Artinya : Dan mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” [Hud : 118]
“Kecuali orang-orang yang diberi rahmat Rabbmu”, mereka itu ialah orang-orang yang memiliki akidah yang benar dan manhaj yang benar, maka mereka itulah orang-orang yang selamat dari perselisihan dan perpecahan.
Adapun orang-orang yang berusaha menyatukan umat, padahal akidahnya masih rusak, manhajnya bermacam-macam dan berbeda-beda, maka itu adalah (upaya) yang mustahil terwujud, karena sesungguhnya menyatukan dua hal yang berlawanan itu adalah hal yang mustahil.
Karena tidak bisa menyatukan hati dan menyatukan umat ini, kecuali kalimat tauhid [2], yang dimengerti makna-maknanya, diamalkan kandungannya secara lahir dan batin, bukan hanya sekedar mengucapkannya, sedang pada sisi yang lain masih mau menyelisihi apa yang menjadi tuntutannya. Maka sesungguhnya ketika itu kalimat tauhid ini tidak akan ada manfaatnya.
[Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufiah ?An-As-ilah Al-Manahij Al-Jadidah, edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah II, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Penerjemah Muhaimin, Penerbit Yayasan Al-Madinah]

_________

Foote Note

[1]. Keadaan firqah-firqah dan hizb-hizb (golongan-golongan yang menyimpang) yang ada di muka bumi saat ini -sebagaimana dikatakan adalah merupakan saksi dan menjadi bukti yang paling nyata, karena mereka berbeda-beda dalam memahami Al-Kitab (Al-Qur’an), dan berbeda-beda dalam mengamalkannya, serta mereka menyelisihi Al-Kitab. Apabila hati manusia itu sepakat dan saling mengenal maka akan menyatu, dan demikian pula sebaliknya.
Sebagaimana Rasulullah menyebutkannya dalam hadits shahih bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Ruh-ruh adalah pasukan tentara maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang saling mengingkari akan berselisih.” [HR. Al-Bukhari: 3158]

[2]. Orang-orang yang berusaha menyatukan umat manusia bersamaan dengan rusaknya akidah dan manhaj (berbagai kelompok) yang berbeda-beda itu -sebagai contoh saja bukan hanya terbatas pada contoh ini- pada jaman kita ini adalah firqah Ikhwanul Muslimin (IM) di mana mereka berusaha menyatukan barisan-barisannya yang terdiri dari Rafidhah, Jahmiyyah, Asy’ariyah, Khawarij, Mu’tazilah. Bahkan orang-orang Nasrani pun bisa masuk pada barisan mereka, maka janganlah engkau lupakan perkara yang sangat nyata ini. Wahai para pembaca yang budiman, telah kita lewati ucapan-ucapan beberapa ahli ilmu (ulama) mengenai mereka ini dalam sela-sela kitab ini. Yang kesimpulannya merka (IM) tidak mementingkan dakwah tauhid dan tidak berhati-hati dan memperingatkan kesyirikan. Dan ini adalah meruapan sifat (ciri-ciri) khusus yang dimiliki oleh ‘firqah tabligh’ pula. Karena Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyah (pengikut Sayyid Quthub) tidaklah jauh berbeda dari firqah tablih ini.
almanhaj.or.id

Ahlul Sunnah Wal Jamaah, Al-Asyairah , Al-Maaturidiyyah, Salafiyah dan Wahabiyah

Ahlul Sunnah Wal Jamaah
Mereka adalah golongan yang berpegang teguh pada al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad serta orang-orang yang mengikut jejak langkah mereka. Generasi paling awal dan utama di kalangan mereka adalah para sahabat, kemudian diikuti oleh para tabi’in dan orang-orang yang menurut jejak langkah mereka.
Generasi pertama di kalangan mereka dikenali dengan nama Salaf. Mereka berpandukan al-Quran dan sunnah tanpa membahas secara mendalam ayat-ayat yang samar (mutasyabihat) dan menyerahkan maksudnya kepada Allah. Ini berdasarkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7.
Maksudnya: “Dia lah Yang menurunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Kitab suci Al-Quran. sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat “Muhkamaat” (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. Dan yang lain lagi ialah ayat-ayat “Mutasyaabihaat” (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). Adapun orang-orang yang ada dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang mutasyaabihaat kerana mempunyai tujuan menimbulkan fitnah dan mencari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. Dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu ugama, berkata:” Kami beriman kepada-Nya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami” dan tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang yang berfikiran.”
Pada zaman awal salaf, mereka tidak banyak berhujah menggunakan logika akal. Mereka menerima tanpa perlu banyak berhujah tentang apa saja yang dinyatakan dalam al-Quran, dan as-sunnah.
Mengenai para sahabat, mereka menjunjung tinggi semuanya, mengakui keempat khalifah ar-Rasyidin adalah orang yang paling layak pada zaman masing-masing. Mereka memohon supaya Allah mengampuni para sahabat dalam perseturuan dan peperangan yang berlaku di kalangan mereka. Ini kerana jasa mereka besar bagi menegakkan kalimah Allah walaupun di antara mereka sudah tentu ada yang bersalah dalam pertentangan itu. Inilah yang disifatkan oleh Allah dalam al-Quran surah al- Hasyr, ayat 10.
Maksudnya: “Dan orang-orang yang datang kemudian daripada mereka berkata, “Wahai Tuhan kami! Ampuni kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman dan janganlah engkau menjadikan dalam hati kami perasaan hasad dan dendam terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya Engkau amat limpah belas kasih-Mu dan maha penyayang”.
Generasi pertama ini tidak menamakan diri mereka dengan nama aliran-aliran pemahaman tertentu. Ini kerana umat Islam pada waktu itu bersatu dari segi hidupnya dan para sahabat yang masih hidup menjadi tumpuan bagi bertanya berbagai masalah. Amalan ini juga terjadi pada zaman para tabi’in. Mereka bukan saja tidak mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, sebaliknya menyandarkan apa yang dinyatakan oleh Allah dan Nabi Muhammad tanpa tambahan apapun dan penguraian yang bertele-tele.
Semua imam mazhab yang terkenal seperti Abu Hanifah, Malik, Syafie, Ahmad bin Hambal, Sufian as-Sauri dan lain-lain berpegang dengan aliran salaf ini.
Al-Asyairah
Apabila negara Islam berkembang luas, terjadi perbincangan-perbincangan mengenai agama di antara mereka yang baru masuk Islam. Di antara topik yang terpenting adalah membicarakan masalah akidah. Sayangnya ketika membicarakan masalah akidah, mereka terpengaruh dengan filsafat barat yang materialis dan rasionalis yang sedang diterjemahkan secara besar-besaran ke dalam dunia Islam. Hasil dari beberapa pembicaraan itu, lahirlah berbagai macam pemahaman yang berpandukan logika. Pemahaman-pemahaman yang berdasarkan logika itu saja, menyebabkan penyelewengan dalam memahami teks al-Quran yang sebenarnya. Dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Walaupun begitu, apapun yang terjadi Allah berjanji memelihara agama-Nya dengan melahirkan ilmuwan untuk mempertahankan akidah yang murni. Di antara ilmuwan-ilmuwan tersebut adalah Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basrah pada tahun 260 Hijrah. Beliau pernah berpegang pada pemahaman Muktazilah dan berguru kepada ayah tirinya Abu Ali aljubbai, syeikh aliran Mu’tazilah. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk beluk aqidah Mu’tazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
Abu Hasan al-Asy’ari membuat pembaharuan dalam aliran Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah akal beserta teks-teks al-Quran dan hadis yang ada. Hujah-hujah yang dikumpulkan cukup kuat bagi mematahkan hujah Muktazilah yang berkembang pesat pada masa itu.
Untuk membedakan dengan aliran-aliran akidah yang ada, beliau membangkitkan atau mempopulerkan kembali istilah Ahli Sunnah wal Jamaah. Berlainan dengan anggapan kebanyakan pengikut aliran Asya’irah, istilah Ahli Sunnah wal Jamaah sudah ada sejak zaman para sahabat dan bukannya diciptakan oleh Abu Hasan al-Asy’ari. Sayangnya oleh sebagian pengikut aliran Asya’irah yang fanatik, Ahli Sunnah wal Jamaah tetap identik dengan Asya’irah. Jadi tidak bisa dikatakan golongan Ahli Sunnah wal Jamaah, kalau tidak memakai metode Abu Hasan al Asy’ari dalam memahami akidah.
Hujah-hujah Abu Hasan al-Asy’ari membawa kekuatan kepada Ahli Sunnah wal Jamaah bagi menghadapi hujah golongan Muktazilah yang berkembang pesat dan mendapat dukungan dari kerajaan Abbasiah. Pada akhirnya, golongan Muktazilah bukan saja dapat dibendung dengan hujah, tetapi kerajaan yang didirikan di kemudian hari, memberi sumbangan politik yang besar bagi mempertahankan dan mengembangkan pemahaman Asya’irah.
Akidah ini menyebar luas di zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Semakin berkembang lagi di masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-syafi’i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-’ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
Mereka yang beraqidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah adalah yang paling dekat di antara yang lain kepada ahlussunnah wa al-jamaah yang sebenarnya. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Al-Maaturidiyyah
Di sebelah timur negara Islam yaitu di daerah Maturid, wilayah Samarkand, lahir seorang ilmuwa Islam yang bernama Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Maturidi. Beliau lahir pada tahun 332 Hijrah. Beliau membawa aliran ideologi akidah mengikuti pemahaman Ahli Sunnah wal Jamaah bagi menghadapi beberapa penyelewengan pada zamannya. Beliau adalah seorang ilmuwan Islam yang bermazhab Hanafi.
Beliau muncul di Asia Tengah pada waktu masyarakat Islam dilanda aliran ideologi yang menyeleweng dari akidah yang sebenarnya. Di antaranya adalah aliran Muktazilah, Mujassimah, Muhammad bin Karam Sajassatani yaitu pemimpin ideologi Karamiah, Qaramitah yang dipimpin oleh Hamdan As’ad, Jaham bin Safuan iaitu pemimpin ideologi Jahamiah, dan ahli tasauf Husin bin Mansur al-Hallaj. Imam Abu Mansur Maturidi membawa peranan yang besar bagi menghadapi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh mereka.
Walaupun beliau hidup sezaman dengan Imam Abu Hasan al-Asy’ari, namun beliau mempunyai teknik berhujah dan huraian yang berbeda. Para sarjana Islam menyatakan, Imam Abu Mansur Maturidi lebih cenderung kepada pendapat Imam Abu Hanifah dalam perkara akidah. Ini kerana beliau merujuk risalah-risalah dan buku-buku yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah seperti Fikh Akbar, Fikh Absat, Kitab Ilm dan sebagainya.
Terdapat beberapa perselisihan antara Abu Mansur Maturidi dengan Abu Hassan al-Asy’ari. Antaranya dalam isu Makrifatullah (mengenal Allah), Abu Hassan menyatakan wajib mengetahuinya menurut sumber agama tetapi Abu Mansur berkata wajib juga dengan berpandu dengan akal.
Pemahaman Maturidiah mewajibkan hukum akal beserta syarak sehingga beliau bertentangan dengan sebagian ilmuwan Fikah dan Hadis. Ada lagi penjelasan-penjelasannya mengenai Qada’ dan Qadar dan lain-lain yang berbeda dengan penguraian aliran Asya’irah.
Pengikut golongan ini kebanyakan dari ahli kalam, sufi, murjiah dan kuburiyah (lihat dalam Kitab Qawaid Fi Bayan Hakikatul Iman tulisan Syeikh Adil Ali Syaikhan cetakan Maktabah Adhaul Salaf).
Abu Mansur Maturidi juga seperti Abu Hassan Asy’ari yang membawa pembaharuan dalam pengajian akidah. Beliau memasukkan hujah-hujah logika akal ketika menghadapi perkembangan pemahaman baru yang timbul pada zamannya.
Pada zaman para sahabat dan generasi awal kalangan tabi’in termasuk imam-imam mujtahidin yang pertama lebih bergantung kepada hujah-hujah teks daripada al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saja.
Ilmu kalam dan akal menurut Imam Abu Yusof ra (Ya’kub Ibn Ibrahim) merupakan sesuatu yang tercela dan dibenci oleh para ulama salaf soleh.
Pemahaman Maturidiyah ini adalah sebuah pemahaman yang berdasarkan ilmu kalam dan filsafat. Pemahan seperti ini tidak diakui oleh ulama ahlul sunnah seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafie, Imam Ahmad ra, serta ulama ahlul sunnah wal jamaah lainnya.
Salafiyah
Setelah lahir berbagai teori mengenai akidah beserta lahirnya pemahaman yang bukan saja berhujah dengan logika tetapi juga menggunakan falsafah, maka lahir pula dalam masyarakat Islam orang-orang yang mahu supaya kembali pada sumber asli saja. Mereka muncul pada abad ke tujuh Hijrah.
Aliran ini berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal yang mengingankan pembahasan mengenai akidah dikembalikan seperti zaman Nabi Muhammad s.a.w, para sahabat dan tabi’in. Salah satu tokoh terkemuka yang menghidupkan pendekatan ini kembali adalah Imam Ibnu Taimiyah.
Beliau dan pengikut-pengikutnya menentang keras golongan yang mencoba menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka hanya menyebut sifat-sifat Allah berdasarkan teks-teks yang jelas di dalam al-Quran dan hadis. Di antara ayat-ayat mutasyabihat adalah seperti nuzul (turun), istiwa’ (bersemanyam), al-dhahaq (ketawa) dan lain-lain, dengan tidak menyamakan Allah dengan makhluk.
Selain itu, mereka membangkitkan kembali isu amalan masyarakat yang berkaitan dengan perkara-perkara yang membawa kepada kesyirikan, seperti kesalahan-kesalahan yang terjadi ketika bertawassul (memohon dengan perantaraan), ziarah kubur dan sebagainya.
Mereka juga dengan tegas menentang penggunaan ilmu logika. Ini menyebabkan golongan salaf yang baru ini bergesekan dengan aliran Asya’irah dan Maturidiah yang menjadikan ilmu logika sebagai bagian dari perbincangan akidah. Golongan salaf ini menolak penguraian ayat-ayat mutasyabihat yang dilakukan oleh Asya’irah dan Maturidiah.
Wahabiyah
Sebenarnya istilah Wahabi bukanlah istilah yang disepakati oleh mereka yang sering diidentikkan dengan istilah itu. Mereka lebih sering menyebut dengan istilah salafiyyin, karena dakwah mereka merupakan kesinambungan dari aliran salaf yang dibawa oleh Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah.
Gerakan ini diperlopori oleh seorang tokoh ulama terkemuka yaitu Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M). Beliau lahir di Uyaynah dan belajar Islam dalam mazhab Al-Hanabilah dan telah menghafal Al-Quran sejak usia 10 tahun.
Dakwah beliau banyak disambut ketika beliau datang di Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan dimuliakan oleh penguasa setempat yaitu pangeran Muhammad bin Suud yang berkuasa 1139-1179. Oleh pangeran, dakwah beliau ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam gerakan nasional di seluruh wilayah Saudi Arabia hingga hari ini.
Para pendiri dakwah ini umunya bermazhab fiqih dengan mazhab Al-Hanabilah, jadi tidak benar kalau dikatakan mereka anti mazhab. Namun memang mereka tidak selalu terikat dengan mazhab tersebut dalam fatwa-fatwanya. Terutama bila mereka menemukan dalil yang lebih rajih. Oleh karena itu dakwah merka sering disebut La Mazhabiyyah, namun sebenarnya lebih kepada masalah ushul, sedangkan masalah furu`nya, mereka tetap pada mazhab Al-Hanabilah.
Dakwah ini jelas-jelas sebuah dakwah ahlisunnah wal jamaah serta berpegang teguh dengannya. Mereka menyeru kepada pemurnian tauhid dengan menuntut umat agar mengembalikan kepada apa yang dipahami oleh umat Islam generasi pertama.
Mereka pun aktif menumpas segala bentuk khurafat, syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam yang asli. Mereka melarang membangun bangunan di atas kuburan, menyelimutinya atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang meminta kepada kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal, tukang sihir dan tukang teluh. Mereka juga melarang tawassul dengan menyebut nama oran shaleh sepeti kalimat bi jaahi rasul atau keramatnya syiekh fulan dan fulan.


Oleh : Ustadz Ahmad Zainuddin ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ
"Dimana pohon rindang disitulah tempatku. Dimana yang sedang aman disitulah majelisku. Dimana yang paling gampang itulah manhajku..."


Di zaman fitnah ini, syubhat menyambar-nyambar. Jalan pintas menerima syubhat dalam agama adalah dengan *berprinsip belajar agama ke siapa pun, yang penting ambil yang baiknya dan buang buruknya. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu_ ,berkata .

ﺍُﻧْﻈُﺮُﻭﺍ ﻋَﻤَّﻦْ ﺗَﺄْﺧُﺬُﻭﻥَ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﺩِﻳﻦٌ

# Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena, sesungguhnya ia adalah agama” ```(Riwayat Al-Khaththib al Baghdadi di dalam al Kifayah, hlm. 121) Perkataan ini juga diriwayatkan dari sejumlah _Salafush Shalih,_ seperti _Muhammad bin Siirin, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lain-lain_ *(Lihat muqaddimah Shahih Muslim) Jadi jangan sok-sok'an bisa menyaring kalimat " #Ambil baiknya dan buang buruknya" karena engkau takkan pernah tahu pada pertemuan keberapa syubhat itu telah merasuk ke dalam hatimu. #Tau -tau udah terjangkit virus syubhat dan sulit keluarnya. .
Allahul musta'an
ungarans.blogspot.co.id


Kunci Kemenangan Kaum Muslimin

Dalam dirinya hanya ada satu kalimat, asalkan agama Allah yang menang, jadi apapun diriku tidaklah begitu penting.
SESAAT setelah kabar kekalahan tentara Romawi dari pasukan kaum Muslimin di bawah komando Khalid bin Walid, Raja Romawi Heraklius berdiri di singgasananya lalu berkata.

“Katakan kepadaku siapa mereka (yang telah mengalahkan Romawi)? Bukankah mereka orang-orang seperti kalian?”

Di antara para pembesar Romawi itu ada yang menjawab, “Ya, benar. Mereka manusia seperti kita.”

Heraklius kian tak sabar, ia segera mengejar dengan pertanyaan berikutnya, “Jumlah kalian yang lebih banyak atau mereka?”

“Jumlah kami lebih banyak dan berlipat ganda dari jumlah mereka,” ucap salah satu komandan pasukan Romawi.

Baca: Ketika Umat Islam Mengadopsi Sistem Persi dan Romawi .

Dengan sedih bercampur marah dan kesal, Heraklius berkata, “Mengapa kalian bisa kalah?”

Heraklius dan semua pembesar seperti ditimpa kegelapan dan beban tak tertanggungkan. Frustasi, marah dan kecewa menyeruak ke seluruh rongga dada mereka. Suasana hening, hanya deru nafas mereka masing-masing yang terdengar begitu kuat, naik dan turun.

Hingga akhirnya, salah seorang yang paling senior di antara mereka mengangkat tangan dan memberikan penjelasan perihal mengapa Romawi bisa kalah.

“Karena mereka (pasukan Khalid bin Walid) bangun malam hari untuk beribadah kepada Tuhannya dan pada siang hari mereka berpuasa. Mereka menepati janji yang mereka sepakati, memerintahkan untuk berbuat baik, mencegah dari perbuatan keji dan saling memberi nasihat di antara mereka sendiri. Karena itu wajar Allah menolong dan memenangkan mereka.

Sedangkan kita dan pasukan kita, wahai Raja kami, kita meminum minuman keras. Kita mengingkari janji yang telah kita buat. Kita berbuat zalim dan melakukan kejahatan. Semua ini telah menjauhkan datangnya pertolongan Allah. Bagaimana Dia akan menolong kita, jika kita tidak menolong-Nya?”

Demikian dialog penuh hikmah yang terjadi di dalam kubu Kerajaan Romawi pasca kekalahan mereka dari pasukan umat Islam di bawah komando Khalid bin Walid yang ditulis oleh Dr. Abdurrahman ‘Umairah dalam bukunya “Fursan Min Madrasatin Nubuwwah.”

Fakta tersebut semestinya menjadi penggerak jiwa kita sebagai Muslim dalam keseharian. Bahwa kunci kemenangan umat Islam akan terjadi jika dan hanya jika umat Islam sendiri benar-benar mengamalkan ajaran Islam itu sendiri.

Baca: Beberapa Alasan Turunnya Nubuwah di Hijaz

Perhatikan kaliman, mereka bangun di malam hari dan berpuasa di siang hari. Artinya kunci kemenangan itu adalah amal dan amal.

Betapa pentingnya ketaatan yang dimanivestasikan dalam bentuk amal, Aid Al-Qarni dalam bukunya “Beginilah Zaman Mengajari Kita” menulis, “Ada orang yang mengisi lembaran hidupnya dengan kajian, produktivitas, dan penghimpunan pengetahuan, tapi dia lupa terhadap amal shalih. Bagi yang mencermati Al-Qur’an, dia akan mendapati bahwa Al-Qur’an memuji ilmu yang bermanfaat dan disertai dengan amal. Di dalamnya juga disebutkan tentang ketaatan seperti sholat, puasa, zakat, jihad, dan takwa, lebih banyak dari pada penyebutan ilmu. Hendaknya hal yang sedemikian mendapat perhatian secara khusus.”

Tentu saja semua amal yang bisa dilakukan tidak harus diumumkan baik melalui lisan kepada teman dekat. Apalagi melalui status di media sosial.

Al-Qarni menekankan bahwa para sahabat Nabi dalam beramal sangatlah luar biasa antusiasnya. Meski mereka sholat, puasa, melakukan amalan yang bisa dilihat, akan tetapi amal-amal yang tersembunyi jauh lebih banyak mereka amalkan dan itu hanya sedikit yang bisa diselidiki.

Selain amal ibadah tentu saja, kunci kemenangan dan kebahagiaan hidup umat Islam ada pada komitmen untuk saling memberikan nasehat, menepati janji dan saling mendoakan, berjiwa besar dan tetap mau mendengar.

Hal demikian pernah dilakukan Pendiri PP Hidayatullah, KH Abdullah Said, “Kalau ada orang yang memberi teguran terhadap apa yang kamu ceramahkan, mungkin karena kesalahan membaca ayat dan hadits aau kekeliruan embawakan suatu kisah, dan lain-lain, janganlah merasa dipermalukan, kendatipun teguran itu disampaikan di depan umum. Ucapkanlah terimakasih dan jadikanlah sebagai gurumu, niscaya engakau akan dijadikan sahabat. Peganglah prinsip ‘satu musuh itu sudah banyak sekali tapi seribu kawan itu masih sangat kurang.” (Mencetak Kader: 130).

Sikap demikian lebih dahulu diteladankan oleh Khalid bin Walid kala dirinya ditetapkan untuk tidak lagi menjadi panglima pasukan kaum Muslimin.

Baca: Ibrah Tiga Jenderal Besar dan Ksatria dalam Tiga Peradaban

Kala itu banyak yang mendesak Khalid agar memprotes keputusan Umar bin Khathab, namun dengan jiwa besar, Khalid menjawab tuntutan sahabat-sahabatnya.

“Tidak saudaraku yang seiman, saudara semedan pertempuran. Kita telah menghancurkan kota-kota di Persia. Kita juga telah enghancurkan benteng Romawi. Apakah ada kekuatan lain yang mengancam penduduk Muslim yang membutuhkan kepada pedangnya Khalid?”

Khalid lalu melanjutkan, “Jadi, pada saat ini negara lebih butuh kepada akal Umar bin Khathab daripada pedangnya Khalid. Fitnah tidak akan terjadi selama Umar bin Khathab masih hidup.”

Demikianlah sikap Khalid, wujud manivestasi keimanannya sebagai seorang jenderal besar yang tak pernah kalah dalam pertempuran menolong agama Allah.

Sikapnya penuh ketangguhan moral dan kecerdasan spiritual. Inilah kunci-kunci kemenangan umat yang kini harus kita hidupkan dan segar-segarkan kembali.

Dalam dirinya hanya ada satu kalimat, asalkan agama Allah yang menang, jadi apapun diriku tidaklah begitu penting. Sebab tugas utamaku adalah mengamalkan ajaran Islam dengan baik sepanjang hayat. Wallahu a’lam.*


Salafiyun bersikap berdasarkan manhaj, sehingga tidak mudah terombang ambing dengan berita media, melihat ma'alaaat umur (akibat jangka panjang) dan mempertimbangkan maslahat dan mafsadat, sehingga sering pendapatnya dianggap tidak populer dan terlihat aneh bagi muslimun lainnya
Harakiyun bersikap lebih karena didorong faktor semangat bela islam, bergelora, menggelegar, namun -maaf- kurang bisa melihat ma'alaat umur dan mempertimbangkan maslahat dan mafsadat
Mau contoh???? Mau bukti????
1. Lihat ketika khomaini mendeklarasikan revolusi islamnya (baca revolusi syiah), berapa banyak kaum muslimin yang tertipu...hingga bisa engkau lihat waktu itu saudara2 kita IM atau HT pun ikut mengelu2kan revolusi tersebut, hal tsb berbeda dengan ulama salafiyun mereka kokoh dengan manhajnya bahwa syiah sampai hari kiamat tidak akan pernah ridho dengan sunni.
Dan realita membenarkan salafiyuun, meski di awal kali di cap sebagai anti persatuan islam....dan dicap sebagai penggerogot persatuan islam...
Tapi lihatlah sekarang siapa yang benar????
2. Lihatlah Ketika kaum muslimin banyak yg tertipu dengan hizbullah, bahkan syekh qordhowi pun sempat terkecoh dan ikut mengkritik ulama saudi yg dianggap anti persatuan islam...
Tapi lihatlah hasilnya....siapa yang di atas kebenaran???.. Dan akhirnya syekh qordhowi pun mengakui hal itu...semoga Allah selalu membimbing dan menjaga beliau.
Syaikh Al-Qordhowi berkata :
ﻣﺸﺎﻳﺦ ﺍﻟﺴﻌﻮﺩﻳﺔ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺃﻧﻀﺞ ﻣﻨﻲ ﻷﻧﻬﻢ ﻋﺮﻓﻮﺍ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﻣﺎ ﻳﺴﻤﻰ " ﺣﺰﺏ ﺍﻟﻠﻪ " ﻓﻲ ﺣﻴﻦ ﻛﻨﺖ ﺃﺩﺍﻓﻊ ﻋﻨﻪ ﺇﻧﻪ ﺣﺰﺏ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ
"Para ulama Saudi mereka lebih matang dari pada saya, karena mereka mengetahui hakekat kelompok yang disebut Hizbullah (syiah), di saat aku membela kelompok tersebut, sesungguhnya kelompok tersebut adalah Hizbus Syaithon"
Dan lihatlah sampai detik inipun harakiyun menganggap salafiyuun anti persatuan islam....
Tapi Biarlah hari-hari yang akan menjawabnya...
Penyair Arab berkata:
ﺳﺘﺒﺪﻱ ﻟﻚ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﻣﺎ ﻛﻨﺖ ﺟﺎﻫﻼ ........ ﻭﻳﺄﺗﻴﻚ ﺑﺎﻷﺧﺒﺎﺭ ﻣﻦ ﻟﻢ ﺗﺰﻭﺩ
hari-hari akan menampakkan kepadamu sesuatu yang belum engkau ketahui
Dan akan datang kepadamu pembawa berita yang engkau tidak membekalinya.
---------------------------
Silakan ditambhkan sendiri contoh2 yg lain dan masih banyak.
Semoga Allah menjaga kaum muslimiin... Amiin.
Akhukum fillah:
Fadlan Fahamsyah
(Dosen STAI Ali bin Abi tholib)


Dengan dakwah dakwah yang semakin besar di NKRI, banyak dai-dai muncul ... Ini adalah sisi baiknya yang patut kita syukuri, karena semakin banyak sunnah, semakin luas jangkauan sasaran, dan semakin memudahkan tugas sunnah yang sudah ada. ada sebelumnya Tapi di sisi lain, kita akan menghadapi penurunan dari sisi kualitas .. karena biasanya kualitasnya akan turun, seiring bertambahnya kuantitas .. dan ini harus direalisasikan dan diawasi. Penurunan kualitas tentu tidak hanya pada penonton, tapi juga pada ustadznya ... Bisa dilihat, antara lain dari menurunnya semangat menyebarkan atau mendengarkan tauhid ... Turunkan semangat penerapan sunnah Nabi sallallaahu alaihi wasallam kepada pribadinya ... Berkurangnya semangat mengemukakan pendapat generasi salaf. dalam membahas masalah ... dll. Karena itu, sangat mendesak dan sangat penting bagi kita, untuk memilih ustadz yang sudah jelas manhajnya .. apalagi di daerah yang memiliki banyak ustadznya. Di antara cara sederhana dan mudah untuk melihat sunnah ustadz, entah bagus atau tidak manhajnya adalah:

Dengan dakwah dakwah yang semakin besar di NKRI, banyak dai-dai muncul ... Ini adalah sisi baiknya yang patut kita syukuri, karena semakin banyak sunnah, semakin luas jangkauan sasaran, dan semakin memudahkan tugas sunnah yang sudah ada. ada sebelumnya Tapi di sisi lain, kita akan menghadapi penurunan dari sisi kualitas .. karena biasanya kualitasnya akan turun, seiring bertambahnya kuantitas .. dan ini harus direalisasikan dan diawasi. Penurunan kualitas tentu tidak hanya pada penonton, tapi juga pada ustadznya ... Bisa dilihat, antara lain dari menurunnya semangat menyebarkan atau mendengarkan tauhid ... Turunkan semangat penerapan sunnah Nabi sallallaahu alaihi wasallam kepada pribadinya ... Berkurangnya semangat mengemukakan pendapat generasi salaf. dalam membahas masalah ... dll. Karena itu, sangat mendesak dan sangat penting bagi kita, untuk memilih ustadz yang sudah jelas manhajnya .. apalagi di daerah yang memiliki banyak ustadznya. Di antara cara sederhana dan mudah untuk melihat sunnah ustadz, entah bagus atau tidak manhajnya adalah:

1. Lihatlah, bersama siapa ustadz yang berkumpul .. apakah dengan ustadz² yanghish salaf atau tidak .. karena seseorang diatas agama teman dekatnya.

 2. Dimana ustadz belajar, baik almamater, maupun ustadz dan masyikhnya .. Atau siapa karakter kesayangannya .. karena sumber pengetahuannya akan sangat mempengaruhi pengertian dan manhaj seseorang.

 3. Dari segi pendapat, memang banyak yang menyelisihi pendapat ulama yang bersikap salaf atau tidak .. jika banyak pendapatnya yang menyelisihi pendapat ulama yang bersikap salaf .. maka itu merupakan indikasi bahwa manhaj yang menjadi dasar seseorang dalam menganalisa argumen juga berbeda.

 4. Dari topik khotbah khotbah, apakah yang menjadi perhatian adalah tauhid atau tidak .. karena itulah perbedaan antara dakwah salaf dan dakwah lainnya.

 5. Dari sisi perhatiannya kepada generasi salafi Ijma .. jika dia tidak memperhatikan sisi ini, maka dia akan memiliki kesempatan untuk membahas suatu masalah, terutama dalam masalah iman dan bid'ah.

Karena itu, jadilah pintar dalam memilih ustadz, karena itu adalah sumber agama kita .. yang terpenting adalah manhajnya .. seperti untuk sisi lain seperti kecerdasan, retorika, hapalan yang kuat, dll, maka itu adalah pelengkap .. jangan membuat pelengkap sebagai intinya. Ingat, itu tidak menjadikannya referensi ustadz, tidak berarti membenci, atau menyimpannya, atau tidak menerima kebenaran darinya .. seperti yang sering kita lihat pada dokter tertentu dalam penyakit tertentu, dengan hati-hati, bukan karena kita membenci dokter lain.
Semoga bermanfaat
Oleh: Ust. Musyaffa Ad Dariny Hafizhahullah via Fanspage Ustadz Ahmad Zainuddin