Oleh: Adian Husaini
JAKARTA (voa-islam.com) -Kelompok Syi’ah
di Indonesia semakin terbuka aktivitasnya dalam memecah belah umat Islam,
melalui pelestarian dan perayaan kebencian dan dendam terhadap para
sahabat Nabi Muhammad saw terkemuka, khususnya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin
Khathab, dan Utsman bin Affan r.a. Hari Sabtu (26/10/2013), di Gedung Smesco
Jln Gatot Subroto, Jakarta Selatan, kaum Syiah akan merayakan Hari Raya
terbesar dalam agama mereka, yaitu “Idul Ghadir”.
Perayaan Hari Raya Idul Ghadir ini semakin membuktikan bahwa Syiah
memang satu aliran yang secara mendasar berbeda dengan kaum Muslim lainnya.
Penolakan dan penistaan kepada para sahabat Nabi yang utama justru dirayakan
sebagai ibadah yang agung menjadi Hari Raya tersendiri. Mereka menganggap Idul
Ghadir adalah hari raya terbesar yang melebihi keagungan ‘Idul Fithri dan ‘Idul
Adha. ‘Idul Ghadir adalah sebuah perayaan atas anggapan mereka mengenai
pengangkatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhusebagai khalifah di
kebun Ghadir Khum.
Menurut pemuka Syiah, Idul Ghadir adalah hari ketika Nabi saw
menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah penerus kepemimpinan umat setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Yang kata mereka Jibril turun menyampaikan wahyu
kepada Nabi berkenaan dengan hal ini, bahkan Idul Ghadir menurut mereka adalah
Hari Raya terbesar. (Lihat Idul Ghadir A’zhamul
A’yad fil Islam/ Idul Ghadir Hari Raya Terbesar dalam Islam, karangan Sayyid
Muhammad Husain Al-Syirazi, hal. 12).
Salah satu situs Syiah di Indonesia menulis, “Hari
ke 18 bulan Dzulhijjah merupakan hari Ghadir Khum, Ied al-Akbar (hari raya
besar), hari raya keluarga Muhammad Saw dan termasuk hari raya yang paling
besar. Allah SWT tidak mengutus seorang nabi kecuali merayakan hari raya ini
dan menjaga kehormatannya (?!). Nama hari ini di langit adalah Yaumu al-‘Ahdu al-Ma’hud
(hari yang dijanjikan) dan di bumi Yaumu al-Mitsaq al-Ma’khudz (hari
perjanjian) dan al-Jam’u al-Masyhud (hari perkumpulan).” (nama-nama khusus bagi
Idul Ghadir itu dikutip dari doa Sayid Thawus yang menukilnya dari Syaikh
Al-Mufid,
اَللَّهُمَّ فَكَمَا جَعَلْتَهُ عِيْدَكَ الْأَكْبَرَ وَ
سَمَّيْتَهُ فِي السَّمَاءِ يَوْمَ الْعَهْدِ الْمَعْهُوْدِ وَ فِي
الْأَرْضِ يَوْمَ الْمِيْثَاقِ الْمَأْخُوْذِ وَ الْجَمْعِ
الْمَسْؤُوْلِ
“Ya Allah sebagaimana engkau jadikan hari
ini hari rayamu yang paling besar dan engkau beri nama dilangit dengan “Yaum
al-Ahd al-Ma’hud” (hari perjanjian yang dijanjikan) dan dibumi dengan “Yaum
al-Mitsaq” (hari perjanjian) Dan hari pertanyaan, lihathttp://www.ipabionline.com/2012/11/amalan-lengkap-hari-raya-idul-ghadir.html)
Menurut versi Syiah Rafidhah, dikemukakan salah satu riwayat.
Diceritakan bahwasanya mereka bertanya kepada Imam Shadiq as, “Apakah
kaum muslimin mempunyai hari raya selain hari Jum’at, hari raya Fitri dan
Adha?” beliau menjawab:”Iya, yaitu hari raya
yang kehormatannya melebihi seluruh hari raya”. Perawi
mengatakan, “Hari raya apa itu?” beliau
menjawab, “Hari itu adalah hari dimana Rasulullah SAW
menobatkan Amirul Mukminin as sebagai khalifahnya dan bersabda: “barang siapa
yang menganggap aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya”, hari itu adalah hari
kedelapan belas bulan Zulhijjah“. Perawi bertanya lagi, “Apa
yang harus dikerjakan di hari itu?” beliau menjawab,”Berpuasa,
beribadah, menyebut-nyebut Muhammad dan keluarganya dan bershalawatlah atas
mereka”. Rasulullah SAWW telah berwasiat kepada Amiril Mukminin as
untuk merayakan hari raya ini, begitu juga setiap nabi berwasiat kepada washinya supaya merayakan
hari ini.” (Lihathttp://www.ipabionline.com/2012/11/amalan-lengkap-hari-raya-idul-ghadir.html)
Menurut situs Syiah Rafidhah, di hari itu umat syiah dianjurkan
membaca doa khusus selepas shalat 2 rakaat. Di dalam doa tersebut, ternyata
kaum Syiah tak pernah lepas dari cacian dan pelaknatan terhadap sahabat-sahabat
terbaik Nabi Muhammad saw, diantara petikan doanya sbb:
فَإِنَّا يَا رَبَّنَا بِمَنِّكَ وَ لُطْفِك أَجَبْنَا دَاعِيَكَ وَ
اتَّبَعْنَا الرَّسُوْلَ وَ صَدَّقْنَاهُ وَ صَدَّقْنَا مَوْلَى الْمُؤْمِنِيْنَ
وَ كَفَرْنَا بِالْجِبْتِ وَ الطَّاغُوْتِ، فَوَلِّنَا مَا
تَوَلَّيْنَا وَ احْشُرْنَا مَعَ أَئِمَّتِنَا، فَإِنَّا بِهِمْ مُؤْمِنُوْنَ
مُوْقِنُوْنَ وَ لَهُمْ مُسَلِّمُوْنَ، آمَنَّا بِسِرِّهِمْ وَ عَلاَنِيَتِهِمْ وَ
شَاهِدِهِمْ وَ غَائِبِهِمْ وَ حَيِّهِمْ وَ مَيِّتِهِمْ وَ رَضِيْنَا بِهِمْ
أَئِمَّةً وَ قَادَةً وَ سَادَةً وَ حَسْبُنَا بِهِمْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ اللَّهِ
دُوْنَ خَلْقِهِ لاَ نَبْتَغِيْ بِهِمْ بَدَلاً وَ لاَ نَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهِمْ
وَلِيْجَةٍ وَ بَرِئْنَا إِلَى اللَّهِ مِنْ كُلِّ مَنْ نَصَبَ لَهُمْ حَرْبًا
مِنَ الْجِنِّ وَ الْإِنْسِ مِنَ الْأَوَّلِيْنَ وَ الْآخِرِيْنَ وَ كَفَرْنَا
بِالْجِبْتِ وَ الطَّاغُوْتِ وَ الْأَوْثَانِ الْأَرْبَعَةِ وَ أَشْيَاعِهِمْ وَ
أَتْبَاعِهِمْ وَ كُلِّ مَنْ وَالاَهُمْ مِنَ الْجِنِّ وَ الْإِنْسِ مِنْ
أَوَّلِ الدَّهْرِ إِلَى آخِرِهِ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نُشْهِدُكَ أَنَّا نَدِيْنُ
بِمَا دَانَ بِهِ مُحَمَّدٌ وَ آلُ مُحَمَّدٍ
Ya tuhan kami sesungguhnya kami dengan anugerah
dan lutuf mu Telah menerima utusanmu, mengikuti rasul, mempercayai pemimpin
kaum mu’minin dan mengkafirkan taghut, maka
jagalah iman dan wilayah kami kumpulkan kami bersama Imam-imam kami,
sesungguhnya kami mengimani dan meyakini mereka, tunduk kepada mereka, beriman
kepada lahir, batin, kehadiran keghaiban, kematin dan kehidupan mereka, dan
kami merelakan mereka sebagai Imam, pemimpin dan tuan, dan cukuplah mereka bagi
kami sebagai perantara menuju Allah tanpa mahkluk yang lain,Kami tidak
menginginkan ganti mereka, kami tidak akan menjadikan kawan selain mereka, kami
mensucikan diri dihadapan Allah dari musuh mereka dari jin dan Manusia dari
awal sampai akhir, kami mengkafirkan taghut
(musuh-musuh mereka) , penyembah empat berhala, pengikut mereka dan semua Yang
mencintai mereka dari jin dan manusia dari awal sampai akhir. Ya Allah
sesungguhnya kami bersaksi kepadamu bahwasanya kami menganut agama yang dianut
oleh Mohammad dan keluarga Mohammad
(Lihat doa lengkapnya dihttp://www.ipabionline.com/2012/11/amalan-lengkap-hari-raya-idul-ghadir.html)
Siapakah yang dimaksud dengan Thagut dan 4 berhala yang mereka
kafirkan itu? Sebagaimana dimaklumi, kitab-kitab utama syiah dijejali aneka
cacian dan laknat serta pengkafiran terhadap Abu Bakar ra dan Umar bin
al-Khattab ra, sehingga keduanya tak segan-segan dijuluki oleh syiah
sebagai al-Jibtdan al-Thagut, demikian pula
gelar Haman dan Fir’aun, atau julukan keji
lainnya. Muhammad bin Ya'kub al-Kulaini dalam kitabnya al-Ushul
min al-Kaafi, kitab al Hujjah, Vol.I/373, hadits no.4, menukilkan sebuah riwayat yang
disandarkan kepada Abu Abdillah:
"Tiga orang yang tidak akan diajak bicara
oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan disucikan, dan bagi mereka adzab yang
pedih: Orang yang mengaku berhak imamah dari Allah yang bukan haknya, dan orang
yang menentang imamah dari Allah, dan orang yang meyakini bahwa mereka berdua
(Abu Bakar dan Umar) termasuk orang Islam."
Demikian pula Al-Kaf'ami dalam kitabnya al-Mishbah, hal.552 menyebutkan
doa yang berisi laknat terhadap Abu Bakar dan Umar yang dinamakan dengan Doa
Shanamai Quraisy (Doa laknat atas dua berhala Quraisy). Dia menyebutkan bahwa
doa ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu
'anhu. "Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad
dan keluarga Muhammad, dan laknatlah dua berhala Quraiys, dan kedua jibt dan
thaghutnya (maksudnya: syetan yang disembah selain Allah-Pent), kedua tukang
dustanya, dan kedua putrinya yang telah menyelisihi perintah-Mu dan mengingkari
wahyu-Mu..”Tak ketinggalan Ali al-Hara-iri dalam kitabnya Ilzam
al-Nashib fii Itsbaat al-Hujjah al-Ghaib, Vol.II/266 menyebut Abu
Bakar dan Umar sebagai Fir'aun dan Hamman. Diriwayatkan, Al-Mufadhall bertanya,
'Wahai tuanku, siapakah Fir'aun dan Hamman itu?' Sang Imam menjawab, 'Abu Bakar
dan Umar'."
Sebenarnya kapan pertama kali hari Idul Ghodir ini diselebrasikan?
Menurut ulama syi’ah, awal mula selebrasi Idul Ghodir ini pertamakali terjadi
dalam sejarah pada saat Ali bin Abi Thalib berkuasa sebagai khalifah.
Situs syiah menulis, “Sekitar 30 tahun
setelah rombongan besar kaum Muslimin berkumpul di Ghadir Khum, untuk pertama
kalinya umat Islam kembali memperingati hari bersejarah dan paling menentukan
bagi nasib Umat Islam di era kekhilafahan Imam Ali dan kehadiran beliau di
Kufah. Pada hari Jumat bertepatan dengan peringatan hari raya Ghadir, Imam Ali
di hadapan kaum Muslimin yang berkumpul dalam acara shalat Jumat menyampaikan
Khutbah mengenai Ghadir. Beliau menyampaikan kembali peristiwa Ghadir bagi umat
Islam yang tidak hadir dalam peristiwa besar itu, maupun masyarakat yang tidak
mengetahuinya. Sayidina Ali bin Abi
Thalib menyebut hari Ghadir sebagai hari raya terbesar umat Islam. Pernyataan
beliau tersebut menegaskan urgensi tradisi memperingati hari raya Ghadir
sebagai hari paling bersejarah bagi umat Islam yang harus diperingati setiap
tahun.” (Lihat artikel “Idul Ghodir dalam Perspektif Imam Ali” yang
dirilis hari Selasa, 22 Oktober 2013 di situshttp://indonesian.irib.ir/headline2)
Para para ulama dan sejarawan muslim terkemuka mencatat, tradisi
selebrasi Idul Ghadir baru dimulai sejak era Daulah Buwaihi menguasai sebagian
wilayah Irak di abad ke-4 H. Itu artinya perayaan tersebut tidak pernah
dilakukan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup,
maupun di era tabi’in dan tabi’ tabi’in yang disebutkan oleh Rasul bahwa mereka
adalah 3 periode Islam yang terbaik.“Khairunnasi qorni
tsumma al-ladzina yaluunahum tsumma al-ladzina yaluunahum”. Bahkan tidak pula
diperingati pada saat Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib ra berkuasa pasca
syahidnya Sayidina Utsman bin Affan ra.
“Perayaan Hari Raya Idul Ghadir itu memang tidak ada dalilnya
dalam Islam,” tegas Prof. Dr. Mohammad Baharum, pakar tentang Syiah dari MUI
Pusat.
Itu bisa dipahami bahwa perayaan Idul Ghadir ini adalah suatu
rekayasa kelompok Syi’ah. Nabi saw bersabda: “Siapa
yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya,
maka hal itu tertolak” (HR. Muslim)
Keyakinan adanya pelantikan Ali di Ghadirkhum, telah dibantah oleh
seluruh ulama sahabat, tabiin dan generasi setelahnya. Peristiwa itu tidak
pernah diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadis yang sahih seperti al-Bukhari
dan Muslim. Hadis Ghadir Khum “Man kuntu mawlahu fa
‘Aliyyun mawlah” dengan redaksi yang berbeda-beda diriwayatkan oleh Ahmad,
Tirmidzi dan Al-Hakim. Menurut para ulama, teks hadis itu sebatas keutamaan Ali
dan bukan pengangkatan khalifah sesudah beliau. Teks hadis itu jelasnya bukan
kepemimpinan umat (al-wilayah/al-imarah), melainkan kasih
sayang dan tolong menolong yang muncul dari dua pihak (al-walayah/al-muwalah yang darinya berasal
kata ‘al-waliyyu’ dan ‘al-mawla’ sebagaimana teks hadis, ed.).
Jika teks hadis itu menegaskan (sharih) tentang pelantikan Ali
sebagai khalifah setelah Rasulullah, pasti sudah digunakan sebagai dalil dan
hujjah oleh Ali bin Abi Thalib saat Rasulullah wafat sebelum pengangkatan Abu
Bakr ra sebagai khalifah, atau pada saat musyawarah enam tokoh sahabat setelah
wafatnya Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab ra untuk menetapkan khalifah baru,
dan juga telah dijadikan dalil oleh Abu Musa Al-Asy’ari ra untuk memantapkan
posisi Khalifah Ali pada saat peristiwa Tahkim (arbitrase) antara
Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasca perang Shiffin. Namun tak ada satu sahabat
pun, termasuk Ali yang memahaminya demikian. Sahabat adalah orang yang paling
memahami maksud perkataan Rasul dan kemurnian bahasa Arab mereka tidak
diragukan lagi. Pemahaman ulama sahabat yang menjadi ijma' adalah bentuk
kepastian petunjuk (Qoth'iy Dilalah) dalam memahami
Al-Qur’an dan hadits.
Karena sifat ajarannya yang sangat destruktif dan dilandasi dengan
semangat kebencian terhadap tokoh-tokoh panutan umat Islam, seperti Abu Bakar
ash-Shiddiq r.a. dan para sahabat Nabi lainnya – sangat aneh jika pemerintah
SBY mendukung acara tersebut. Acara seperti jelas memecah belah umat
Islam dan menistakan agama Islam.
Sudah sangat gamblang, hari raya umat Islam di Indonesia dan
seluruh dunia hanya 2 yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Diluar kedua hari raya
itu jelas suatu bid’ah agama yang sesat. Ia bukan hanya merusak akidah umat
Islam Indonesia, tetapi juga mengancam keutuhan dan persatuan umat Islam di
Indonesia ini yang meyakini dan mengamalkan akidah ahlusunnah wal jama’ah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak lama telah mengukuhkan hal tersebut
dengan menegaskan bahwa“mayoritas umat Islam
Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) yang tidak
mengakui dan menolak paham Syi’ah secara umum dan ajarannya tentang nikah
mut’ah secara khusus” (Fatwa Nikah Mut’ah 25 Oktober 1997, lihat Himpunan Fatwa
MUI: 376).
jAKARTA (Arrahmah.com) - Majelis Intelektual dan Ulama Muda
Indonesia (MIUMI) mengencam keras perayaan hari raya besar Syiah yang akan
diselenggarakan pada Sabtu (26/10) di Gedung Smeco, Jakarta. Dalam pandangan
mayoritas umat Islam Indonesia yang menganut Ahlu Sunnah wal Jamaah, hanya ada
dua hari raya besar, yakni Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Sekjen
MIUMI Ustadz Bachtiar Nasir menilai perayaan Idul Ghadir sebagai aktivitas
kelompok Syiah Indonesia yang berupaya memecah belah umat Islam. Hal itu
disebabkan perayaan Idul Ghadir merupakan pelestarian dan perayaan kebencian
dan dendam Syiah kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkemuka, yakni
Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Perayaan
Hari Raya Idul Ghadir ini semakin membuktikan bahwa Syiah memang satu aliran
yang secara mendasar berbeda dengan kaum Muslim lainnya. Penolakan dan
penistaan kepada para sahabat Nabi yang utama justru dirayakan sebagai ibadah
yang agung menjadi Hari Raya tersendiri. Mereka menganggap Idul Ghadir adalah
hari raya terbesar yang melebihi keagungan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. ‘Idul
Ghadir adalah sebuah perayaan atas anggapan mereka mengenai pengangkatan Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah di kebun Ghadir
Khum.
Menurut
pemuka Syiah, Idul Ghadir adalah hari ketika Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam
menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah penerus kepemimpinan umat setelah
wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Yang kata mereka Jibril
turun menyampaikan wahyu kepada Nabi berkenaan dengan hal ini, bahkan Idul
Ghadir menurut mereka adalah Hari Raya terbesar. (Lihat Idul Ghadir
A’zhamul A’yad fil Islam/ Idul Ghadir Hari Raya Terbesar dalam Islam, karangan
Sayyid Muhammad Husain Al-Syirazi, hal. 12).
Para
ulama dan sejarawan muslim terkemuka mencatat, tradisi selebrasi Idul Ghadir
baru dimulai sejak era Daulah Buwaihi menguasai sebagian wilayah Irak di abad
ke-4 H. Itu artinya perayaan tersebut tidak pernah dilakukan oleh kaum muslimin
di zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup, maupun di era tabi’in dan
tabi’ tabi’in yang disebutkan oleh Rasul bahwa mereka adalah 3 periode Islam
yang terbaik.“Khairunnasi qorni tsumma al-ladzina yaluunahum tsumma al-ladzina
yaluunahum”. Bahkan tidak pula diperingati pada saat AmirulMu’minin Ali bin Abi
Thalib ra berkuasa pasca syahidnya Sayidina Utsman bin Affanra.
“Perayaan
Hari Raya Idul Ghadir itu memang tidak ada dalilnya dalam Islam,” tegas Prof.
Dr. Mohammad Baharum, pakar tentang Syiah dari MUI Pusat.
Itu bisa
dipahami bahwa perayaan Idul Ghadir ini adalah suatu rekayasa kelompok Syi’ah.
Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini
sesuatu yang bukan bagian darinya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim)
Keyakinan
adanya pelantikan Ali di Ghadir Khum, telah dibantah oleh seluruh ulama
sahabat, tabiin dan generasi setelahnya. Peristiwa itu tidak pernah
diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadis yang sahih seperti al-Bukhari dan
Muslim. Hadis Ghadir Khum “Man kuntu mawlahu fa ‘Aliyyun mawlah” dengan redaksi
yang berbeda-beda diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Al-Hakim. Menurut para
ulama, teks hadis itu sebatas keutamaan Ali dan bukan pengangkatan khalifah
sesudah beliau. Teks hadis itu jelasnya bukan kepemimpinan umat
(al-wilayah/al-imarah), melainkan kasih sayang dan tolong menolong yang muncul
dari dua pihak (al-walayah/al-muwalah yang darinya berasal kata
‘al-waliyyu’ dan ‘al-mawla’ sebagaimana teks hadis, ed.).
Jika
teks hadis itu menegaskan (sharih) tentang pelantikan Ali sebagai khalifah
setelah Rasulullah, pasti sudah digunakan sebagai dalil dan hujjah oleh Ali bin
Abi Thalib saat Rasulullah wafat sebelum pengangkatan Abu Bakr ra sebagai
khalifah, atau pada saat musyawarah enam tokoh sahabat setelah wafatnya Amirul
Mukminin Umar bin Al-Khattab ra untuk menetapkan khalifah baru, dan juga telah
dijadikan dalil oleh Abu Musa Al-Asy’ari ra untuk memantapkan posisi Khalifah
Ali pada saat peristiwa Tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali dan
Mu’awiyah pasca perang Shiffin. Namun tak ada satu sahabat pun, termasuk Ali
yang memahaminya demikian. Sahabat adalah orang yang paling memahami maksud perkataan
Rasul dan kemurnian bahasa Arab mereka tidak diragukan lagi. Pemahaman ulama
sahabat yang menjadi ijma’ adalah bentukkepastianpetunjuk(Qoth’iyDilalah) dalam
memahami Al-Qur’an dan hadits.
Karena
sifat ajarannya yang sangat destruktif dan dilandasi dengan semangat kebencian
terhadap tokoh-tokoh panutan umat Islam, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dan
para sahabat Nabi lainnya – sangat aneh jika pemerintah SBY mendukung acara
tersebut. Acara seperti ini jelas memecah belah umat Islam dan menistakan
agama Islam.
Sudah
sangat gamblang, hari raya umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia hanya 2
yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Diluar kedua hari raya itu jelas suatu bid’ah
agama yang sesat. Ia bukan hanya merusak akidah umat Islam Indonesia, tetapi
juga mengancam keutuhan dan persatuan umat Islam di Indonesia ini yang meyakini
dan mengamalkan akidah ahlusunnah wal jama’ah. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat sejak lama telah mengukuhkan hal tersebut dengan menegaskan
bahwa “mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlu
Sunnah wal Jama’ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi’ah secara umum
dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus“ (Fatwa Nikah Mut’ah 25
Oktober 1997, lihat Himpunan Fatwa MUI: 376).
(azmuttaqin/miumi/arrahmah.com)